Profil Kehidupan Keluarga Sukapjo

nurcahyo

New member
Ferry
PROFIL KEHIDUPAN KELUARGA SUKAPJO



Lahan di Desa Sriharjo hampir separuhnya merupakan hamparan sawah dan ladang yang ditanami padi, sehingga mata pencaharian pokok penduduk desa ini adalah bertani dan buruh tani. Desa Sriharjo memiliki jumlah penduduk sebesar 9465 jiwa dengan proporsi laki-laki sebesar 4578 jiwa, dan wanita sebesar 4887 jiwa. Total kepala keluarga di desa Sriharjo adalah 2077 KK',.yang tersebar di 13 pedusunan. Dari dusun- dusun yang ada hanya empat dusun yang memiliki jumlah penduduk terpadat, yakni dusun Pelem Madu, dusun Jati, dusun Miri, dusun Mojohuro, untuk dusun dusun lainnya jumiah penduduknya hanya separuh dari jumlah penduduk yang tinggal di empat dusun tersebut.

Gambaran desa Sriharjo sendiri tidaklah seluruhnya miskin. Desa ini termasuk desa yang berkembang dan cukup maju penduduknya. Namun sayangnya masih terdapat ketimpangan di desa tersebut, antara yang kaya dan yang miskin. Adapun sarana transportasi dan jalan-jalan penghubung dengan pusat pemerintahan di Kecamatan dan ibukota propinsi DIY sudah baik. Sehingga pemasaran hasil-hasil pertanian dan komunikasi dengan pusat pemerintahan dapat berjalan dengan sangat baik. Pendapatan perkapita penduduknya mengalami peningkatan terus-menerus. Pendapatan perkapita penduduk/thn (2001) adalah setara 432 kg, sedangkan jumlah penduduk miskin (<320 kg/kapita/thn) juga menurun menjadi 38,4%, sedangkan jumlah penduduk miskin sekali (<240 kg/kapita/thn) 26,7%.

Kehangatan dan keramahan penduduk Sriharjo dapat saya rasakan semenjak pertama kalinya saya menapakkan kaki di desa ini. Kehangatan dan keramahan yang sangat berbeda dengan kehidupan di kota-kota besar yang penuh dengan kamuflase kehidupan. Saya merasa bersyukur Tuhan telah membukakan mata hati saya setelah kunjungan kami ke desa Sriharjo ini. Karena kebesaran-NYA lah saya merasa hidup saya sekarang sudah jauh lebih baik dari rata-rata kehidupan masyarakat di desa tersebut. Selama ini kita tidak pemah merasa berkecukupan, sementara masyarakat di desa tersebut ada yang hidup hanya berpenghasilan Rp 1500/ hari. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan yang mereka alami.

Kebetulan pada kunjungan kali ini secara random/acak saya kebagian mewawancarai seorang penduduk dusun Jati yaitu keluarga Bapak Sukapjo. Secara umum dusun Jati selain merupakan dusun yang memiliki penduduk yang cukup, dusun ini juga cukup maju dan berkembang dibandingkan dusun-dusun lain di Desa Sriharjo. Letak dusun ini berada di sebalah timur desa Sriharjo, dipimpin Kepala Dusun Bapak Slamet. Kami diterima oleh istri Pak Slamet Ibu Rojiah.

Dusun Jati berpenduduk sekitar 970 jiwa dengan proporsi laki-laki 469 jiwa dan wanita sebesar 501 jiwa. Jumlah kepala keluarga di dusun tersebut sebanyak 224 KK. Dusun Jati terdiri dari 3 RW dan 7 RT dan ada 3 Kelompok Masyarakat (POKMAS). Lahan di dusun tersebut lebih banyak sawah daripada ladang. Disamping itu penduduk di dusun ini juga mengembangkan industri kecil tempe, kripik, bakpia, dan gula jawa. Peranan POKMAS di desa tersebut berkembang dengan baik. Arisan ibu-ibu PKK juga efektif berjalan tiap 2 minggu sekali.

POKMAS di dusun Jati ini pernah mendapatkan bantuan dana hibah dari LSM YAE-Bina Swadaya berupa hibah Rp 1.000.000/ dusun. Dan dari BKKBN Bantul berupa pinjaman sebesar Rp 1.500.000 dengan bunga 1%/bulan, dengan waktu jatuh tempo pengembalian selama 10 bulan. Menurut Ibu Rojiah dana tersebut selama ini dimanfaatkan dengan baik dan berkembang terus.

Adapun penduduk yang merantau menurut Ibu Rojiah sekitar 20 orang. Kebanyakan tujuan merantau penduduk dusun tersebut adalah kota-kota besar seperti: Jakarta dan Surabaya, dan keluar negeri seperti Malaysia dan Singapore. Mereka yang merantau kembali ke dusunnya setiap tahun pada saat-saat merayakan lebaran bersama keluarga di desa. Mereka juga setiap bulannya mengirimkan uang buat keluarga yang ada di dusun Jati.

Setelah mendapatkan informasi yang cukup banyak dari Ibu Rojiah, akhirnya kami pun berpamitan dan berpencar berdua-duaan sesuai dengan petunjuk dari Bapak Prof. Mubyarto yang mengharuskan setiap orang minimal mewawancarai dua keluarga. Keluarga yang menjadi tujuan wawancara saya adalah keluarga Pak Sukapjo, yang merupakan seorang pegawai kelurahan dan memiliki toko mebel di desa tersebut.

Namun Bapak Sukapjo kebetulan tidak berada di rumahnya karena ada rapat di kelurahan, sehingga kami diterima oleh Ibu Sukapjo yang bernama asli Jumilah (35 tahun). Keluarga Sukapjo tinggal di RW 3 RT 7. Ibu Jumilah sendiri merupakan anggota kelompok masyarakat Dasa Wisma yang merupakan kumpulan 10 keluarga berdekatan di dusun tersebut, sedangkan Pak Sukapjo tergabung dalarn kelompok masyarakat di tingkat RT/RW.

Sekilas tempat tinggal keluarga Sukapjo sudah permanen dan cukup ?mewah? dibandingkan dengan rumah-rumah tetangganya. Apalagi jika dibandingkan dengan rumah keluarga yang kami wawancarai berikutnya, yang ?semi permanen? dan dihuni oleh tiga KK. Ketika ditanya apakah keluarga Ibu sudah termasuk keluarga mampu di desa tersebut? Dijawab dengan tertawa kecil sambil mengatakan mereka masih kekurangan. Yah, begitulah mungkin salah satu budaya masyarakat Jawa yang suka merendahkan diri.

Menurut ibu Jumilah, keadaan keluarganya saat ini termasuk menengah/ sedang dibandingkan dengan penduduk sekitarnya, hal ini sedikit berbeda dengan keadaan keluarganya pada saat sebelum krisis berkepanjangan melanda Indonesia. Menurut dia dulu keadaan keluarganya lebih baik lagi dibandingkan sekarang, dan ia tetap pesimis bahwa kehidupan keluarganya akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dari sekarang. Kondisi keluarga Sukapjo hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sedangkan kondisi sebulan sebelumnya dikatakan lebih baik lagi yaitu lebih dari mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini saya rasa karena tingkat inflasi yang meningkat sementara pendapatan penduduk tetap. Penghasilan keluarga Sukapjo perbulannya berkisar antara Rp 250.000-RP 300.000. Hal ini karena mereka menjalankan usaha mebel yang tidak pasti omsetnya, tergantung pesanan masyarakat. Sedangkan gaji Pak Sukapjo sebagai pegawai Kelurahan adalah Rp 250.000/ bulan.

Kesehatan keluarga Sukapjo boleh dikatakan sangat baik dan cukup terjamin karena semenjak menikah belum dikaruniai seorang anak pun. Sementara keluarga Sukapjo hanya berdua tinggal dalam satu rumah. Maka ketika ditanya kondisi kesehatan keluarganya, maka dijawab dengan yakin bahwa kesehatan keluarganya terawat baik sekali.

Di dusun Jati penduduk miskin masih ada dan cukup banyak jumlahnya. Rata-rata penduduk dusun miskin karena sebagian besar hanya merupakan buruh kasar atau pekerja kasar dan umumnya mereka berasal dari keluarga yang miskin juga. Banyak penduduk dusun ini bekerja sebagai pekerja proyek sehingga penghasilannya tidak tetap dan tergantung pesanan. Kadang kala mereka menganggur jika tidak ada pesanan.

Pembangunan tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi keluarga Sukapjo. Pembangunan itu juga belum merambah ke pelosok desa / dusun ini. Mereka hanya merasakan sedikit sekali pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, sebagian besar jalan-jalan di dusun ini dibangun secara swadaya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di dusun ini cukup banyak berprakarsa membangun dusunnya sendiri tanpa menunggu pemerintah yang tidak tanggap pada kebutuhan dan keinginan rakyatnya.

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 dianggap cukup menyulitkan dan keluarganya terpaksa menghemat dan mengurangi porsi makan walaupun tidak sampai kelaparan. Ibu Jumilah hanya berharap krisis tidak lagi melanda kita sebab ia sudah cukup menderita dengan keadaan kehidupan sekarang. Tapi apabila krisis serupa kembali melanda Indonesia maka keluarganya akan bekerja lebih keras lagi dan lebih hemat lagi dari kehidupan sekarang yang menurutnya sudah sangat hemat.

Namun jika dibandingkan dengan kehidupan keluarga orangtua mereka dahulu kehidupan mereka sekarang jauh lebih baik. Walaupun Bapak Sukapjo dan Ibu Jumilah sama-sama tamatan Sekolah Dasar, namun mereka merasa lebih maju dibandingkan kehidupan orang tua mereka dulu. Pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan pemerintahan di desa Sriharjo dinilai sangat baik dibandingkan desa-desa tetangganya. Posyandu dan puskesmas berjalan dengan baik bahkan ada dokter yang buka praktek sore di desa tersebut.

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di desa Sriharjo juga berjalan dan berkembang pesat di kalangan masyarakat desa Sriharjo. Keluarga Sukapjo mengetahui dengan tepat tempat-tempat peminjaman uang apabila ada kebutuhan mendadak. Ibu Jumilah sendiri sering meminjam dari arisan Dasa Wisma dan bapak Sukapjo meminjam dari bank BRI yang terdapat di kelurahan. Selain itu mereka juga mengetahui tempat-tempat peminjaman lain. Selama ini mereka meminjam sesuai dengan kebutuhan keluarga mereka. Sedangkan praktek tengkulak atau renternir di desa tersebut tidak ada, karena peranan LKM cukup luas dan masyarakat dengan sangat mudah untuk mendapatkan pinjaman tanpa jaminan.

Dari informasi Ibu Jumilah jumiah Arisan di RT tersebut mencapai 35 arisan. Ibu Jumilah sendiri mengatakan hanya meminjam sebesar Rp 25.000 setiap kali meminjam di arisan Dasa Wisma. Ia mengatakan pinjaman tersebut hanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya tidak untuk tujuan produksi atau bisnis. Pinjaman diangsur dalam 5 kali pada pertemuan 2 minggu sekali. Pertemuan arisan tersebut berlangsung setiap tanggal 11 dan 25 setiap bulan. Arisan Dasa Wisma tidak mewajibkan jaminan atas pinjaman yang diberikan, cukup terdaftar sebagai anggota dan membayar simpanan wajib sebesar Rp100. Ibu Jumilah mengatakan belum pernah permintaan pinjamannya ditolak.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan inilah saya menyimpulkan bahwa ekonomi Indonesia memang sebenarnya masih bersifat agraris karena mayoritas pendudukya bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Ekonomi Indonesia bersifat sosial-ekonomi, yaitu tidak sekedar mendapatkan keuntungan. Masyarakat di perdesaan masih tetap menganut azas kekeluargaan. Masyarakat di desa tidak tega melihat tetangganya kelaparan dan tidak memiliki tempat tinggal yang sudah akan rubuh, atau tidak layak huni. Mereka akan secara bersama-sama bergotong-royong untuk membangunkan rumah atau memperbaiki rumah keluarga yang tidak mampu tersebut.

Oleh karena itulah saya berharap tulisan saya ini dapat menggugah ekonom-ekonom Indonesia untuk lebih melihat dan memperhatikan kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan yang umumnya keadaan perekonomian lokal tidak mengalami kendala dalam menghadapi krisis moneter yang melanda Indonesia. Juga untuk menegaskan bahwa ekonomi kapitalis tidak cocok untuk semua negara. Tampaknya ajaran-ajaran ilmu ekonomi yang sekarang semakin kapitalis, apalagi semenjak runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991, yang membuat kapitalis merasa telah memenangkan pergulatan panjang mengenai sistem yang unggul.



Ferry : Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Angkatan 1998, Peserta Kuliah Ekonomi Indonesia yang diasuh Prof. Dr. Mubyarto
 
Back
Top