Penganeka-ragaman Pangan: Pengalaman 40 Tahun Dan Tantangan Ke Depan

nurcahyo

New member
Bayu Krisnamurthi

PENGANEKA-RAGAMAN PANGAN: PENGALAMAN 40 TAHUN DAN TANTANGAN KE DEPAN



Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat strategis dan penting. Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Disamping itu ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional yang saat ini dinilai paling rapuh. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskannya sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rurnah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, arnan dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu.

Memperhatikan definisi tersebut, saat ini ketahanan pangan belum dicapai pada seluruh rurnah tangga walaupun pada tingkat nasional hasilnya telah lebih baik. Masih banyak rurnah tangga yang belum rnampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Dalam hal ini keaneka-ragarnan pangan menjadi salah satu pilar utarna dalam ketahanan pangan

Keaneka-ragarnan pangan mernang merupakan salah satu prasyarat pokok dalam konsumsi pangan yang cukup mutu dan gizinya. Dan usaha menganeka-ragamkan pangan rnasyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Beberapa tonggak sejarah yang penting dalam usaha penganeka-ragarnan pangan, pada tahun 1950-an telah dilakukan usaha melalui Panitia Perbaikan Makanan Rakyat; tahun 1963 dikembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, tahun 1974 dikeluarkan Inpres 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (PMMR) yang kemudian disempurnakan dengen Inpres 20/1979, melanjutkan proses sebelumnya pada Pelita VI telah pula dikembangkan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG).

Usaha membangun Ketahanan pangan pada umumnya dan keaneka-ragaman pangan khususnya saat ini diaktualisasikan kembali antara lain melalui Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang :propenas, yang menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan keaneka-ragarnan produksi bahan pangan, segar maupun olahan; mengembangkan kelembagaan pangan yang menjarnin peningkatan produksi dan konsurnsi yang lebih beragam, mengembangkan bisnis pangan, dan menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat.

Banyak keberhasilan telah dicapai, tetapi juga banyak kegagalan masalah yang timbul. Berpuluh seminar dan diskusi telah dilakukan dan ratusan makalah dan buku telah diterbitkan berkaitan dengan usaha penganeka-ragaman pangan tersebut. Namun demikian usaha lenganekaragamkan pangan masyarakat tetap harus terus dilakukan.

Pertama, karena ketahanan pangan adalah hal yang tidak dapat ditunda apalagi ditinggalkan. Sebagai komponen utama ketahanan pangan masyarakat, pengembangan keaneka-ragaman pangan harus terus dilakukan, diperkuat, dan dikembangkan. Kedua, karena walaupun proses penganeka-ragaman pangan telah terjadi dalam masyarakat Indonesia, namun tingkat keaneka-ragaman pangan seperti yang selama ini diharapkan hingga kini masih belum tercapai. Misalnya, konsurnsi beras (dalam gr/kapita/hari) mencapai 44 % terhadap total rata-rata konsurnsi pangan orang Indonesia pada tahun 1987, menurun menjadi 42 % tahun ~96 tetapi meningkat lagi menjadi 45,5 % tahun 1999. Jika dilihat porsinya dalam konsurnsi pangan sumber karbohidrat, maka pada tahun 1986 beras memberi kontribusi hingga 77,9 %, meningkat menjadi 81,5 % tahun 1996 dan meningkat kembali menjadi 86,3 % tahun 1999.

Kondisi pola konsurnsi karbohidrat di atas saja telah memberikan indikasi bahwa usaha menganeka-ragamkan pangan masyarakat masih lembutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak yang terlibat. Belum 1agi jika dilihat dari keragaman pangan dikaitkan dengan aspek kecukupan gizi, dimana saat ini rata-rata konsurnsi orang Indonesia baru mencapai sekitar 2000 Kal/hari dari 2200 Kal/hari yang direkomendasikan, aspek protein, serat, vitamin, dan sebagainya. Oleh sebab itu, walaupun telah berjalan cukup lama, usaha penganeka-ragaman pangan harus tetap dilakukan. Pengalaman yang panjang itu harus menjadi sumber pelajaran (lesson learn) mengenai apa yang harus dilakukan menjawab berbagai tantangan baru yang telah dan akan dihadapi. Kristalisasi dari usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini dapat menjadi penentu bagi keberhasilan masa yang akan datang.



"Lesson-learn" 40 tahun Usaha Penganeka-ragaman Pangan

Jika program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga dapat dipandang sebagai usaha atis pertama yang secara khusus ditujukan untuk menganeka-ragamkan pangan masyarakat sebagai bagian dari usaha memperbaiki mutu konsumsi pangan, maka proses usaha penganeka- ragaman pangan di Indonesia telah berjalan 40 tahun. Terdapat beberapa pelajaran berharga dari proses yang panjang tersebut:

Keaneka-ragaman pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keaneka-ragaman dalam pola menu konsumsi pangan dimana terdapat keaneka-ragaman bahan makanan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang (pola makan yang memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, vitamin, dll); dan keaneka-ragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi yang dibutuhkan (protein diperoleh dari hewan, ikan, tumbuhan; dan seterusnya). Kedua dimensi tersebut sangat erat keterkaitannya dan saling mempengarnhi.

Pola makan masyarakat sebenarnya telah beragam, walaupun tingkatannya masih belum seperti yang diharapkan, terutama dalam standar kualitas dan kuantitas makanannya. Dalam hal ini keaneka- ragaman pola makan tersebut sangat dipengarnhi oleh tingkat pendapatan, pendidikan dan pengetahuan, serta ketersediaan dan keterjangkauan. Disamping itu terdapat pula pengaruh lintas budaya terutama akibat globalisasi yang signifikan. Dengan demikian tingkat keaneka-ragaman pangan akan berbeda menurut kelompok masyarakat. Pola makan yang beragam diduga lebih disebabkan karena peningkatan pendapatan dan sebagai basil komunikasi antara produsen (industri) pangan dan konsumen, yang sebenarnya tidak ditujukan untuk mendorong keaneka-ragaman pangan masyarakat tetapi untuk mempromosikan produk yang dihasilkan.

Program Penganeka-ragaman pangan yang dilakukan selama ini cenderung didominasi oleh peran pemerintah (pusat). Dalam program tersebut terdapat banyak konsep tetapi kurang diturunkan dalam bentuk langkah implementatif yang melibatkan stake-holder, dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama. Implementasi program banyak yang terjebak dalam proyek-proyek parsial yang kurang berkesinambungan. Disamping itu, peran Departemen Pertanian sangat menonjol dalam program yang disusun, sedangkan departemen lain cenderung untuk enggan berperan aktif di dalamnya. Dalam hal ini terlihat adanya hambatan koordinasi baik secara horizontal maupun vertikal.

Dalam masyarakat Indonesia sebenarnya terdapat potensi sosial budaya yang besar untuk mendukung pola makan yang beragam, baik di dalam satu kelompok masyarakat (suku, masyarakat satu wilayah tertentu) maupun antar kelompok masyarakat. Faktor sosial budaya dan preferensi konsumsi akibat perubahan pendapatan dan status sosial tersebut dinilai kurang diperhatikan dalam pengembangan keaneka-ragaman pangan Social marketing, khususnya dalam meningkatkan citra produk-produk pangan altematif dan pola pangan beragam merupakan hal yang sangat menentukan.

Selama ini terdapat usaha yang sebenarnya tidak sejalan dengan pola pangan beragam tersebut, yaitu dengan adanya dukungan yang sangat besar terhadap beras, yang secara langsung mendukung berkembangnya pola makan berbasis nasi. Dukungan terhadap beras tersebut antara lain dengan memposisikan beras sebagai komoditas politik, timbul kemakmuran, alat pembayaran gaji pegawai negeri dan TNI/Polri, indikator keberhasilan pembangunan daerah, dan sebagai komoditi yang mendapat dukungan sangat komprehensif. Hal tersebut menjadi disinsentif untuk diversifikasi produksi, dan penganeka- ragaman konsumsi. Akibatnya konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia adalah yang tertinggi di dunia dan citra produk pangan selain beras menjadi relatif lebih rendah.

Dalam 20 tahun terakhir terdapat kecenderungan penganeka-ragaman pangan ke arah konsumsi produk -produk tepung terutama dalam bentuk mie. Proses tersebut patut dicatat sebagai bagian dari proses penganeka-ragaman pangan rakyat. Namun tetap patut disayangkan bahwa makanan alternatif tersebut adalah produk yang berbasis bahan baku impor. Pengalarnan perkembangan penerimaan rnasyarakat terhadap mie dan mie-instan berbahan baku gandum menunjukkan adanya peluang bagi proses penganeka-ragarnan, yaitu melalui 'pengindustrian' pangan altematif yang melibatkan kegiatan produksi, distribusi, pernasaran, dan promosi.

Pengalarnan beberapa industri yang mengembangkan pangan altematif menunjukkan bahwa kendala utarna pengembangan produk pangan altematif sebagai pangan pokok yang memiliki nilai yang sebanding dengan beras adalah ketidak-seimbangan perbandingan antara biaya pengembangan dan harga produk altematif tersebut relatif terhadap harga beras. Harga beras sendiri sangat ditentukan oleh besamya dukungan yang diberikan pemerintah.



Peluang dan Tantangan Masa Depan

Indonesia merupakan negara besar yang sangat dinarnis, yang ditandai oleh berbagai perkembangan strategis beberapa tahun terakhir clan tahun-tahun yang akan datang. Dilihat dari perspektif pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, terdapat beberapa peluang dan tantangan yang perlu diperhatikan:

1. Dengan pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun, Indonesia harns rnampu menyediakan pangan untuk 210 juta penduduknya saat ini dan pertambahan setidaknya 3 juta konsumen baru setiap tahun. Pada saat yang sarna ditengarai sekitar 100.000 hektar lahan pertanian umurnnya pangan terkonversi setiap tahunnya untuk berbagai kepentingan non-pertanian. Juga telah sernakin seriusnya penurunan kesediaan air dan meningkatnya kompetisi penggunaan air tersebut antara keperluan konsumsi rurnah tangga dan industri dengan keperluan pertanian. Kondisi ini perlu dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan pola konsumsi beraneka-ragam bagi "konsumen baru" yang cukup besar, sekaligus tantangan yang besar karena sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut semakin terbatas.

2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragam. Keragaman sosial ekonomi tersebut sekaligus sekaligus juga menjadi peluang dan potensi untuk mengembangkan pangan yang beragam. Kebutuhan tersebut tidak hanya dari jenis pangannya tetapi juga dari pengolahan, tambahan kandungan nutrisi, penampilan, pengemasan, dan sebagainya.

3. Globalisasi merupakan kondisi riil yang telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa fenomena globalisasi yang mempengaruhi kondisi keaneka-ragaman pangan Indonesia:

*

Indonesia dengan jumlah konsumen yang besar merupakan pasar yang sangat menarik bagi produsen pangan dunia. Dengan dorongan bagi terbukanya pasar domestik Indonesia menyebabkan berbagai produk dipasarkan ke Indonesia, yang walaupun juga mendorong penganeka-ragaman pola pangan, tetapi dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah baru dalam ketahanan pangan Kondisi tersebut juga dikhawatirkan akan menciptakan playing field yang tidak seimbang antara pelaku bisnis pangan domestik dan MNC.
*

Dalam 5 tahun pasar beras dunia menunjukkan trend penurunan harga. Hal ini menyebabkan masuknya beras impor ke pasar Indonesia legal maupun ilegal dengan harga relatif murah. Walaupun hal ini memungkinkan lebih tersedianya "pangan murah" bagi penduduk miskin, namun hal ini dapat sangat serius mempengaruhi ketahanan pangan jangka panjang. Beras impor murah akan (1) menimbulkan ketergantungan terhadap beras semakin tinggi dan mengurangi insentif untuk menganeka- ragamkan sumber karbohidrat, dan (2) menjadi disinsentif bagi petani untuk menanam beras sehingga dapat menimbulkan ketergantungan terhadap beras impor.
*

Perusahaan-perusahaan industri pangan di Indonesia sebagian besar telah dimiliki oleh perusahaan multinasional. Hal tersebut akan menyebabkan pengambilan keputusan industri menjadi tergantung pada kepentingan perusahaan induknya. Hal ini dapat menjadi kendala bagi pengembangan 'industrialisasi pangan alternatif .
*

Globalisasi dapat mengurangi keleluasaan pemerintah Indonesia dalam memformulasi dan menerapkan kebijakan dibidang pangan akibat keterkaitannya dengan kepentingan beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF.
*

Globalisasi juga membawa pengaruh budaya pangan baru: mie, fast food, dll. Namun sebagian besar pola pangan baru tersebut berbasis bahan baku yang harus impor dan kurang menyerap potensi alam Indonesia.

4. Proses reformasi yang menginginkan penyeimbangan peran masyarakat daD peran pemerintah mendorong peningkatan partisipasi masyarakat yang lebih besar. Disamping itu dominasi peran pemerintah dalam pengambilan keputusan yang terjadi selama ini juga semakin terbatasi oleh kemampuan pemerintah sendiri dalam menjalankan keputusannya, terutama akibat keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah dan keterkaitan pemerintah dengan lembaga- lembaga internasional. Oleh sebab itu pengambilan keputusan publik dimasa yang akan datang akan sangat ditentukan oleh kemampuan melibatkan partisipasi masyarakat secara optimal. Dalam konteks penganeka-ragaman pangan, baik dalam pengertian konsumsi maupun produksi, hal tersebut perlu menjadi pusat perhatian karena akhirnya masyarakatlah yang akan melakukan dan memperoleh dari basil penganeka-ragaman.

5. Pengambilan keputusan publik oleh pemerintah juga tidak dapat lagi dilakukan hanya oleh pemerintah pusat, tetapi melalui keseimbangan yang optimal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana peran pemerintah daerah akan lebih dominan tanpa mengesampingkan peran penting pemerintah pusat dalam mengembangkan kebijakan makro yang kondusif. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan pada tingkat operasional saat ini dan di masa yang akan datang akan sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan pemerintah daerah. Disamping itu perlu pula dikembangkan pemahaman pemerintah daerah bahwa sangat banyak masalah sosial ekonomi yang tidak bisa hanya diselesaikan dalam lingkup batas kewenangan administratif satu daerah tetapi membutuhkan kerjasama yang erat antar pemerintah daerah. Peran pemerintah pusat terbatas pada masalah- masalah yang tidak dapat diatasi oleh propinsi dan kabupaten serta mengembangkan hubungan dengan masyarakat internasional (international relations and diplomacy).

6. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, swasta nasional juga telah menunjukkan perannya dalam mendorong penganeka-ragaman pangan. Prinsip industrialisasi pangan membutuhkan peran swasta secara aktif. Agar industrialisasi yang dikembangkan terkait dengan kegiatan petani menghasilkan bahan baku pangan, maka proses industrialisasi pangan tersebut perlu diletakkan pula dalam kerangka pengembangan dan usaha agribisnis pangan Hal tersebut juga membutuhkan partisipasi aktif kalangan pengusaha. Dalam hal ini pengembangan "public-private partnership" termasuk pelibatan petani merupakan langkah strategis yang perlu dikembangkan. Disamping itu pengembangan pola 'user-fee' atau 'fee-services' juga dapat menjadi wujud kongkrit tantangan dan peluang peran swasta dan petani tersebut.

7. Peluang dan tantangan lain yang melingkupi pengembangan keaneka- ragaman pangan pada masa yang akan datang adalah perkembangan teknologi pangan yang semakin maju sekaligus mudah diimplementasikan. Pendayagunaan teknologi yang sesuai akan menjadi faktor menentukan keberhasilan proses penganeka-ragaman pangan

8. Pada tahap implementasi, proses penganeka-ragaman pangan membutuhkan pemahaman yang benar mengenai apa yang dimaksud dengan keaneka-ragaman pangan, apa indikator yang dapat memberikan gambaran mengenai tingkat keaneka-ragaman tersebut, dan bagaimana proses pengukuran yang mudah dari indikator tersebut.


Oleh: Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi -- Kepala Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (PSP-IPB)
 
Back
Top