[Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang Dunia I

Perang Dunia I atau Perang Dunia Pertama, disingkat PD I, dan istilah-istilah dalam bahasa Inggris lainnya : Great War, War of the Nations, dan "War to End All Wars" (Perang untuk Mengakhiri Semua Perang) adalah sebuah konflik dunia yang berlangsung dari 28 Juli 1914 hingga 11 November 1918, yang berawal dari Semenanjung Balkan.

Pihak Yang Terlibat :

Blok Sekutu
Rusia
Perancis
Britania Raya
Kanada
Italia
Amerika Serikat

Blok Sentral
Austria-Hungaria
Jerman
Kekaisaran Ottoman
Bulgaria

Latar Belakang

PD I dimulai setelah Pangeran Franz Ferdinand dari Austro-Hongaria (sekarang Austria) beserta istrinya, dibunuh di Sarajevo, Bosnia, oleh anggota kelompok teroris Serbia, Gavrilo Princip. Bosnia merupakan kawasan Austria yang dituntut oleh Serbia, salah satu negara kecil di Semenanjung Balkan, dimana pembunuhan tersebut telah direncanakan sebelumnya.

Dengan bantuan Jerman, Austria-Hungaria memutuskan perang terhadap Serbia. Tidak pernah terjadi sebelumnya konflik sebesar ini, baik dari jumlah tentara yang dikerahkan dan dilibatkan, maupun jumlah korbannya.

Senjata kimia digunakan untuk pertama kalinya, pemboman massal warga sipil dari udara dilakukan, dan banyak dari pembunuhan massal berskala besar pertama abad 19 berlangsung saat perang ini. Empat dinasti, Habsburg, Romanov, Ottoman, dan Hohenzollern, yang memiliki akar kekuasaan hingga zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang.

images
images
images


Austria-Hungaria menyerang Serbia pada 28 Juli 1914. Rusia membuat persediaan untuk membantu Serbia dan diserang oleh Jerman. Perancis pun turut membantu Rusia dan diserang oleh Jerman. Untuk tiba di Paris dengan secepat mungkin, tentara Jerman menyerang Belgia, dan kemudian Britania menyerang Jerman.

Pada awalnya, Jerman memenangkan peperangan tersebut, akan tetapi Perancis, Britania, serta Rusia terus menyerang. Jerman, Austria-Hungaria, dan sekutunya disebut "Blok Sentral", dan negara-negara yang menentang mereka disebut "Blok Sekutu".

Sewaktu peperangan berlanjut, negara lain pun turut campur tangan. Hampir semuanya memihak kepada Sekutu. Pada tahun 1915, Italia bergabung dengan Sekutu karena ingin menguasai tanah Austria. Dan pada tahun 1917, Amerika Serikat memasuki peperangan, dan memihak kepada Sekutu.

Meskipun Tentera Sekutu sangat kuat, Jerman terlihat seperti akan memenangkan peperangan tersebut. Setelah 1914, Jerman pun menguasai Luxemburg, hampir seluruh daratan Belgia, serta sebagian dari Perancis utara. Jerman juga menang di Barisan Timur, ketika usaha Rusia gagal. Akan tetapi, menjelang tahun 1918, tentara Jerman mengalami kelelahan. Perbekalannya tidak mencukupi dan timbul pergolakan sosial di dalam negerinya sendiri.

Pada waktu yang sama, semakin banyak tentara Amerika Serikat yang baru tiba dan langsung bergabung kepada Sekutu. Pada musim panas 1918, tentera Amerika Serikat membantu menghalau serangan Jerman terakhir di barat. Jerman pun menandatangani perjanjian gencatan senjata pada 11 November 1918.

Perjanjian Versailles

WilsonVersailles.jpg


Di dalam Perjanjian Versailles yang ditandatangani setelah Perang Dunia I, pada 12 Januari 1919, Jerman menyerahkan tanah-tanah jajahannya dan sebagian dari wilayah Eropa-nya. Polandia dibebaskan dan mendapat wilayah Posen (sekarang kota Poznan), sebagian Silesia, serta sebagian lagi Prussia Barat.

Alsace dan Lorraine yang dikuasai oleh Jerman dikembalikan ke Perancis. Perancis juga dapat menguasai kawasan Saar selama 15 tahun. Perjanjian ini juga meletakkan Rhineland dibawah pendudukan Tentera Sekutu selama 15 tahun. Jumlah pasukan tentara Jerman di perkecil tidak melebihi 100.000 orang, serta dilarang memiliki pasukan udara. Jerman juga harus membayar pampasan perang kepada Tentara Sekutu sebesar £6.600 juta.

Diperkirakan 8.6 juta korban jiwa dalam Perang Dunia I. Blok Sekutu kehilangan 5.1 juta jiwa, sementara Blok Sentral 3.5 juta jiwa. PD I tersebut mengakibatkan kehancuran yang sangat besar terhadap negara-negara yang terlibat, yang dikenal dengan "Perang Untuk Mengakhiri Semua Perang" sehingga terjadilah Perang Dunia II(PD II).

Puncak Perang Dunia I

Perang Dunia I menjadi saat pecahnya orde dunia lama, menandai berakhirnya monarki absolutisme di Eropa. Ia juga menjadi pemicu Revolusi Rusia, yang akan menginspirasi revolusi lainnya di negara-negara lain, seperti : Tiongkok dan Kuba, serta akan menjadi basis bagi Perang Dingin antara Uni Soviet dan AS.

Kekalahan Jerman dalam perang ini dan kegagalan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih menggantung yang telah menjadi sebab terjadinya Perang Dunia I, akan menjadi dasar kebangkitan Nazi, dan dengan itu pecahnya Perang Dunia II pada 1939. Ia juga menjadi dasar bagi peperangan bentuk baru yang sangat bergantung kepada teknologi, dan akan melibatkan non-militer dalam perang, seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Parit Perlindungan

PD1.jpg


Perang Dunia menjadi terkenal dengan peperangan parit perlindungannya, di mana sejumlah besar tentara dibatasi geraknya di parit-parit perlindungan dan hanya bisa bergerak sedikit karena pertahanan yang ketat.

Ini terjadi khususnya terhadap Front Barat. Lebih dari 9 juta jiwa meninggal di medan perang, dan hampir sebanyak itu juga jumlah warga sipil yang meninggal akibat kekurangan makanan, kelaparan, pembunuhan massal, dan terlibat secara tak sengaja dalam suatu pertempuran.

Front Timur

Front Timur adalah Front dimana Jerman berhadapan dengan Russia. Pada awalnya Jerman dapat mengalahkan Russia, meskipun Russia melancarkan Mobilisasi yang menyebabkan ekonomi Russia terbengkalai. Dan nantinya mencetus Revolusi Russia. Tapi karena musim dingin di Russia, dan tentara Jerman tidak dilengkapi pakaian musim dingin, akhirnya Russia menang.

Korban Jiwa Akibat PD I

Sekutu : 5.497.600
  • Belgia: 13.700
  • Kekaisaran Britania: 908.000
  • Australia: 60.000
  • Kanada: 55.000
  • India: 25.000
  • Selandia Baru: 16.000
  • Afrika Selatan: 7.000
  • Inggris: 715.000
  • Perancis: 1.354.000
  • Yunani: 5.000
  • Italia: 650.000
  • Jepang: 300
  • Rumania: 336.000
  • Rusia: 1.700.000
  • Serbia: 450.000
  • AS: 50.600
Terluka: 12.831.000
Hilang: 4.121.000

Sentral : 3.382.500
  • Austria-Hungaria: 1.200.000
  • Bulgaria: 87.500
  • Jerman: 1.770.000
  • Kerajaan Ottoman: 325.000
Terluka: 8.388.000
Hilang: 3.629.000

Warga Sipil : 6.493.000
  • Austria: 300.000
  • Belgia: 30.000
  • Inggris: 31.000
  • Bulgaria: 275.000
  • Perancis: 40.000
  • Jerman: 760.000
  • Yunani: 132.000
  • Rumania: 275.000
  • Rusia: 3.000.000
  • Serbia: 655.000
  • Kerajaan Ottoman: 1.005.000


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang Dunia II

Perang Dunia II, atau Perang Dunia Kedua (biasa disingkat PDII) adalah konflik militer global yang terjadi pada 1 September 1939 sampai 2 September 1945 yang melibatkan sebagian besar negara di dunia, termasuk semua kekuatan-kekuatan besar yang dibagi menjadi dua aliansi militer yang berlawanan: Sekutu dan Poros. Perang ini merupakan perang terbesar sepanjang sejarah dengan lebih dari 100 juta personil. Dalam keadaan "perang total", pihak yang terlibat mengerahkan seluruh bidang ekonomi, industri, dan kemampuan ilmiah untuk melayani usaha perang, menghapus perbedaan antara sipil dan sumber-sumber militer. Lebih dari tujuh puluh juta orang, mayoritas warga sipil, tewas. Hal ini menjadikan Perang Dunia II sebagai konflik paling mematikan dalam sejarah manusia.

Umumnya dapat dikatakan bahwa peperangan dimulai saat Jerman menginvasi Polandia pada tanggal 1 September 1939, dan berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 pada saat Jepang menyerah kepada tentara Amerika Serikat. Secara resmi PD II berakhir ketika Jepang menandatangani dokumen Japanese Instrument of Surrender di atas kapal USS Missouri pada tanggal 2 September 1945, 6 tahun setelah perang dimulai.

Perang Dunia II berkecamuk di tiga benua tua; yaitu Afrika, Asia dan Eropa.

Pihak Yang terlibat

Blok Poros (AXIS)
  1. Nazi Jerman : Adolf Hitler
  2. Italia : Benito Mussolini
  3. Jepang : Hideki Tojo
Militer tewas: 8.000.000
Sipil tewas: 4.000.000
Total tewas: 12.000.000

Negara-negara Poros (AXIS) adalah negara-negara yang menentang pihak Sekutu selama Perang Dunia II. Ada 3 negara utama dalam kekuatan poros yaitu: Nazi Jerman, Italia dan Kekaisaran Jepang. Pada puncak kejayaan mereka, Kekuatan Poros menguasai dominasi daerah yang sangat luas di Eropa, Asia, Afrika dan Oseania/Pasifik. Tetapi Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan mereka. Seperti pihak Sekutu, keanggotaan Negara-negara Poros tidak tetap, dan beberapa negara bergabung dan kemudian meninggalkan Negara-negara Poros selama perang berlangsung.

Anggota Negara-negara Poros minoritas:
  1. Bulgaria, Hongaria, Yugoslavia, Finlandia, Thailand, Rumania
  2. Negara Boneka Jepang: Manchukuo, Mengjiang (bagian wilayah di Mongolia], Nanking (bagian wilayah di Tiongkok), Burma, Filipina, dan India
  3. Negara boneka Italia: Albania dan Ethiopia
  4. Negara boneka Jerman: Serbia
  5. Negara lainnya yang berkoalisi: Spanyol dan Denmark
  6. Bekas anggota: Uni Soviet, Berdiri sendiri/memihak Sekutu pada 1941.
Negara Sekutu:
  1. Britania Raya : Winston Churchill
  2. Uni Soviet : Joseph Stalin
  3. Amerika Serikat : Franklin Roosevelt
  4. Republik China : Chiang Kai-Shek
Militer tewas: 17.000.000
Sipil tewas: 33.000.000
Total tewas: 50.000.000

Blok Sekutu pada Perang Dunia II adalah negara-negara yang berperang bersama melawan Blok Poros (Jerman, Italia, dan Jepang) dari 1939 sampai 1945.

Anggota Sekutu
  1. Setelah penyerangan Jerman ke Polandia (1939): Polandia, Britania Raya (termasuk Kerajaan India & Negara Koloni), Perancis, Australia, Selandia Baru, Nepal, Afrika Selatan, Kanada.
  2. Setelah berakhirnya perang Poni (1940): Norwegia, Belgia, Luksemburg, Belanda, Yunani, Kerajaan Yugoslavia, Uni Soviet, Tannu Tuva.
  3. Setelah pengeboman Pearl Harbor (1941): Panama, Kosta Rika, Republik Dominika, El Salvador, Haiti, Honduras, Nikaragua, Amerika Serikat, China, Guatemala, Kuba, Cekoslowakia.
  4. Setelah pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1942): Meksiko, Brasil, Ethiopia, Irak, Bolivia, Iran, Italia, Kolombia, Liberia.
  5. Setelah D-Day (1944): Romania, Bulgaria, San Marino, Albania, Hungaria, Bahawalpur, Ekuador, Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela, Turki, Arab Saudi, Argentina, Chile
  6. Setelah pengeboman Hiroshima (1945): Mongolia
Perkiraan jumlah korban tewas Perang Dunia II
1. Uni Soviet = 23,200,000
2. Cina = 10,000,000
3. Jerman = 7,500,000
4. Polandia = 5,600,000
5. Indonesia = 4,000,000
6. Jepang = 2,600,000
7. India = 1,587,000
8. Yugoslavia = 1,027,000
9. Perancis Indochina = 1,000,000
10. Rumania = 841,000
11. Hungaria = 580,000
12. Perancis = 562,000
13. Italia = 459,500
14. U.K = 450,400
15. Amerika Serikat = 418,500
16. Cekoslowakia = 365,000
17. Lithuania = 353,000
18. Yunani = 300,000
19. Latvia = 227,000
20. Belanda = 205,900
21. Ethiopia = 205,000


Bersambung.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Area Asia Pasifik

1937: Perang Sino-Jepang

Konflik perang mulai di Asia beberapa tahun sesudah pertikaian di Eropa. Jepang telah menginvasi Cina pada tahun 1931, jauh sebelum Perang Dunia II dimulai di Eropa. Pada 1 Maret, Jepang menunjuk Henry Pu Yi menjadi kaisar di Manchukuo, negara boneka bentukan Jepang di Manchuria. Pada 1937, perang dimulai ketika Jepang mengambil alih Manchuria.

Roosevelt menandatangani sebuah perintah eksekutif yang tidak diterbitkan (rahasia) pada Mei 1940 yang mengijinkan personel militer AS untuk mundur dari tugas sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam operasi terselubung di Cina sebagai "American Volunteer Group" (AVG) (juga dikenal sebagai Harimau Terbang Chennault). Selama tujuh bulan, kelompok Harimau Terbang berhasil menghancurkan sekitar 600 pesawat Jepang, menenggelamkan sejumlah kapal Jepang, dan menghentikan invasi Jepang terhadap Burma. Dengan adanya tindakan Amerika Serikat dan negara lainnya yang memotong ekspor ke Jepang, maka Jepang merencanakan serangan terhadap Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 tanpa peringatan deklarasi perang; sehingga mengakibatkan kerusakan parah pada Armada Pasifik Amerika. Hari berikutnya, pasukan Jepang tiba di Hong Kong, yang kemudian menyebabkan menyerahnya pasukan Inggris pada Hari Natal di bulan itu.

1940: Jajahan Perancis Vichy

Pada 1940, Jepang menduduki Indocina Perancis (kini Vietnam) sesuai persetujuan dengan Pemerintahan Vichy meskipun secara lokal terdapat kekuatan Pembebasan Perancis (Forces Françaises Libres/FFL), dan bergabung dengan kekuatan Poros Jerman serta Italia. Aksi ini menguatkan konflik Jepang dengan Amerika Serikat dan Britania Raya yang bereaksi dengan memboikot kiriman minyak terhadap Jepang.

1941: Pearl Harbor, A.S. turut serta dalam perang, invasi Jepang di Asia Tenggara

Pada 7 Desember 1941, pesawat Jepang dikomandoi oleh Laksamana Madya Chuichi Nagumo melaksanakan serangan udara kejutan terhadap Pearl Harbor, pangkalan angkatan laut AS terbesar di Pasifik. Pasukan Jepang menghadapi perlawanan kecil dan menghancurkan pelabuhan tersebut. AS dengan segera mengumumkan perang terhadap Jepang.

Bersamaan dengan serangan terhadap Pearl Harbor, Jepang juga menyerang pangkalan udara AS di Filipina. Setelah serangan ini, Jepang menginvasi Filipina dan koloni-koloni Inggris di Hong Kong, Malaya, Borneo dan Birma dengan maksud selanjutnya menguasai ladang minyak Hindia Belanda. Seluruh wilayah ini dan daerah yang lebih luas lagi, jatuh ke tangan Jepang dalam waktu beberapa bulan saja. Markas Britania Raya di Singapura juga dikuasai, yang dianggap oleh Churchill sebagai salah satu kekalahan dan sejarah yang paling memalukan bagi Britania.

1942: Invasi Hindia-Belanda

Penyerbuan ke Hindia Belanda diawali dengan serangan Jepang ke Labuan, Brunei, Singapura, Semenanjung Malaya, Palembang, Tarakan dan Balikpapan yang merupakan daerah-daerah sumber minyak. Jepang sengaja mengambil taktik tersebut sebagai taktik gurita yang bertujuan mengisolasi kekuatan Hindia Belanda dan Sekutunya yang tergabung dalam front ABDA (America (Amerika Serikat), British (Inggris), Dutch (Belanda), Australia) yang berkedudukan di Bandung. Serangan-serangan itu mengakibatkan kehancuran pada armada laut ABDA khususnya Australia dan Belanda.

Sejak peristiwa ini, Sekutu akhirnya memindahkan basis pertahanannya ke Australia meskipun demikian Sekutu masih mempertahankan beberapa kekuatannya di Hindia Belanda agar tidak membuat Hindia Belanda merasa ditinggalkan dalam pertempuran ini.

Jepang mengadakan serangan laut besar-besaran ke Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942 dimana terjadi Pertempuran Laut Jawa antara armada laut Jepang melawan armada gabungan yang dipimpin oleh Laksamana Karel Doorman. Armada Gabungan sekutu kalah dan Karel Doorman gugur.

Jepang menyerbu Batavia (Jakarta) yang akhirnya dinyatakan sebagai kota terbuka, kemudian terus menembus Subang dan berhasil menembus garis pertahanan Lembang-Ciater, kota Bandung yang menjadi pusat pertahanan Sekutu-Hindia Belanda terancam. Sementara di front Jawa Timur, tentara Jepang berhasil menyerang Surabaya sehingga kekuatan Belanda ditarik sampai garis pertahanan Porong.

Terancamnya kota Bandung yang menjadi pusat pertahanan dan pengungsian membuat panglima Hindia Belanda Letnan Jendral Ter Poorten mengambil inisiatif mengadakan perdamaian. Kemudian diadakannya perundingan antara Tentara Jepang yang dipimpin oleh Jendral Hitoshi Imamura dengan pihak Belanda yang diwakili Letnan Jendral Ter Poorten dan Gubernur Jendral jhr A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Pada Awalnya Belanda bermaksud menyerahkan kota Bandung namun tidak mengadakan kapitulasi atau penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Pihak Jepang. Pada saat itu posisi Panglima tertinggi angkatan perang Hindia Belanda tidak lagi berada pada Gubernur Jendral namun diserahkan kepada Ter Poorten sehingga dilain waktu Belanda menganggap bahwa kedudukan di Hindia Belanda masih tetap sah dilanjutkan. Namun setelah Jepang mengancam akan mengebom kota Bandung akhirnya Jendral Ter Poorten setuju untuk menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

1942: Laut Coral, Port Moresby, Midway, Guadalcanal

Pada Mei 1942, serangan laut terhadap Port Moresby, Papua Nugini digagalkan oleh pasukan Sekutu dalam Perang Laut Coral. Kalau saja penguasaan Port Moresby berhasil, Angkatan Laut Jepang dapat juga menyerang Australia. Ini merupakan perlawanan pertama yang berhasil terhadap rencana Jepang dan pertarungan laut pertama yang hanya menggunakan kapal induk. Sebulan kemudian invasi Atol Midway dapat dicegah dengan terpecahnya pesan rahasia Jepang, menyebabkan pemimpin Angkatan Laut AS mengetahui target berikut Jepang yaitu Atol Midway. Pertempuran ini menyebabkan Jepang kehilangan empat kapal induk yang industri Jepang tidak dapat menggantikannya, sementara Angkatan Laut AS kehilangan satu kapal induk. Kemenangan besar buat AS ini menyebabkan Angkatan Laut Jepang kini dalam posisi bertahan.

Namun, dalam bulan Juli penyerangan darat terhadap Port Moresby dijalankan melalui Track Kokoda yang kasar. Di sini pasukan Jepang bertemu dengan pasukan cadangan Australia, banyak dari mereka masih muda dan tak terlatih, menjalankan aksi perang dengan keras kepala menjaga garis belakang sampai tibanya pasukan reguler Australia dari aksi di Afrika Utara, Yunani dan Timur Tengah.

Para pemimpin Sekutu telah setuju mengalahkan Nazi Jerman adalah prioritas utama masuknya Amerika ke dalam perang. Namun pasukan AS dan Australia mulai menyerang wilayah yang telah jatuh, mulai dari Pulau Guadalcanal, melawan tentara Jepang yang getir dan bertahan kukuh. Pada 7 Agustus 1942 pulau tersebut diserang oleh Amerika Serikat. Pada akhir Agustus dan awal September, selagi perang berkecamuk di Guadalcanal, sebuah serangan amfibi Jepang di timur New Guinea dihadapi oleh pasukan Australia dalam Teluk Milne, dan pasukan darat Jepang menderita kekalahan meyakinkan yang pertama. Di Guadalcanal, pertahanan Jepang runtuh pada Februari 1943.

1943–45: Serangan Sekutu di Asia dan Pasifik

Pasukan Australia and AS melancarkan kampanye yang panjang untuk merebut kembali bagian yang diduduki oleh Pasukan Jepang di Kepulauan Solomon, New Guinea dan Hindia Belanda, dan mengalami beberapa perlawanan paling sengit selama perang. Seluruh Kepulauan Solomon direbut kembali pada tahun 1943, New Britain dan New Ireland pada tahun 1944. Pada saat Filipina sedang direbut kembali pada akhir tahun 1944, Pertempuran Teluk Leyte berkecamuk, yang disebut sebagai perang laut terbesar sepanjang sejarah. Serangan besar terakhir di area Pasifik barat daya adalah kampanye Borneo pertengahan tahun 1945, yang ditujukan untuk mengucilkan sisa-sisa pasukan Jepang di Asia Tenggara, dan menyelamatkan tawanan perang Sekutu.

Kapal selam dan pesawat-pesawat Sekutu juga menyerang kapal dagang Jepang, yang menyebabkan industri di Jepang kekurangan bahan baku. Bahan baku industri sendiri merupakan salah satu alasan Jepang memulai perang di Asia. Keadaan ini semakin efektif setelah Marinir AS merebut pulau-pulau yang lebih dekat ke kepulauan Jepang.

Tentara Nasionalis Cina (Kuomintang) dibawah pimpinan Chiang Kai-shek dan Tentara Komunis Cina dibawah Mao Zedong, keduanya sama-sama menentang pendudukan Jepang terhadap Cina, tetapi tidak pernah benar-benar bersekutu untuk melawan Jepang. Konflik kedua kekuatan ini telah lama terjadi jauh sebelum Perang Dunia II dimulai, yang terus berlanjut, sampai batasan tertentu selama perang, walaupun lebih tidak kelihatan.

Pasukan Jepang telah merebut sebagian dari Burma, memutuskan Jalan Burma yang digunakan oleh Sekutu untuk memasok Tentara Nasionalis Cina. Hal ini menyebabkan Sekutu harus menyusun suatu logistik udara berkelanjutan yang besar, yang lebih dikenal sebagai "flying the Hump". Divisi-divisi Cina yang dipimpin dan dilatih oleh AS, satu divisi Inggris, dan beberapa ribu tentara AS, membersihkan Burma utara dari pasukan Jepang sehingga Jalan Ledo dapat dibangun untuk menggantikan Jalan Burma. Lebih ke selatan, induk dari tentara Jepang di kawasan perang ini berperang sampai terhenti di perbatasan Burma-India oleh Tentara ke-14 Inggris yang dikenal sebagai "Forgotten Army", yang dipimpin oleh Mayor Jendral Wingate yang kemudian melancarkan serangan balik dan berhasil dengan taktik gerilyanya yang terkenal dan bahkan dijadikan acuan bagi Tentara dan Pejuang Indonesia pada tahun 1945-1949. Setelah merebut kembali seluruh Burma, serangan direncanakan ke semenanjung Malaya ketika perang berakhir.

1945: Iwo Jima, Okinawa, bom atom, penyerahan Jepang

Perebutan pulau-pulau seperti Iwo Jima dan Okinawa oleh pasukan AS menyebabkan Kepulauan Jepang berada dalam jangkauan serangan laut dan udara Sekutu. Diantara kota-kota lain, Tokyo dibom bakar oleh Sekutu, dimana dalam penyerangan awal sendiri ada 90.000 orang tewas akibat kebakaran hebat di seluruh kota. Jumlah korban yang tinggi ini disebabkan oleh kondisi penduduk yang padat di sekitar sentra produksi dan konstruksi kayu serta kertas pada rumah penduduk yang banyak terdapat di masa itu. Tanggal 6 Agustus 1945, bomber B-29 "Enola Gay" yang dipiloti oleh Kolonel Paul Tibbets, Jr. melepaskan satu bom atom Little Boy di Hiroshima, yang secara efektif menghancurkan kota tersebut.

Pada tanggal 8 Agustus 1945, Uni Soviet mendeklarasikan perang terhadap Jepang, seperti yang telah disetujui pada Konferensi Yalta, dan melancarkan serangan besar terhadap Manchuria yang diduduki Jepang (Operasi Badai Agustus). Tanggal 9 Agustus 1945,pesawat bomber jenis Boeing B-29 Superfortress "Bock's Car" yang dipiloti oleh Mayor Charles Sweeney melepaskan satu bom atom Fat Man di Nagasaki.

Kombinasi antara penggunaan bom atom dan keterlibatan baru Uni Soviet dalam perang merupakan faktor besar penyebab menyerahnya Jepang, walaupun sebenarnya Uni Soviet belum mengeluarkan deklarasi perang sampai tanggal 8 Agustus 1945, setelah bom atom pertama dilepaskan. Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 14 Agustus 1945, menandatangani surat penyerahan pada tanggal 2 September 1945 di atas kapal USS Missouri di teluk Tokyo.

bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Area Afrika dan Timur Tengah

1940: Mesir dan Somaliland

Pertempuran di Afrika Utara bermula pada 1940, ketika sejumlah kecil pasukan Inggris di Mesir memukul balik serangan pasukan Italia dari Libya yang bertujuan untuk merebut Mesir terutama Terusan Suez yang vital. Tentara Inggris, India, dan Australia melancarkan serangan balik dengan sandi Operasi Kompas (Operation Compass), yang terhenti pada 1941 ketika sebagian besar pasukan Persemakmuran (Commonwealth) dipindahkan ke Yunani untuk mempertahankannya dari serangan Jerman. Tetapi pasukan Jerman yang belakangan dikenal sebagai Korps Afrika di bawah pimpinan Erwin Rommel mendarat di Libya, melanjutkan serangan terhadap Mesir.

1941: Suriah, Lebanon, Korps Afrika merebut Tobruk

Pada Juni 1941 Angkatan Darat Australia dan pasukan Sekutu menginvasi Suriah dan Lebanon, merebut Damaskus pada 17 Juni. Di Irak, terjadi penggulingan kekuasaan atas pemerintah yang pro-Inggris oleh kelompok Rashid Ali yang pro-Nazi. Pemberontakan didukung oleh Mufti Besar Yerusalem, Haji Amin al-Husseini. Oleh karena merasa garis belakangnya terancam, Inggris mendatangkan bala bantuan dari India dan menduduki Irak. Pemerintahan pro-Inggris kembali berkuasa, sementara Rashid Ali dan Mufti Besar Yerusalem melarikan diri ke Iran. Namun kemudian Inggris dan Uni Soviet menduduki Iran serta menggulingkan shah Iran yang pro-Jerman. Kedua tokoh Arab yang pro-Nazi di atas kemudian melarikan diri ke Eropa melalui Turki, di mana mereka kemudian bekerja sama dengan Hitler untuk menyingkirkan orang Inggris dan orang Yahudi. Korps Afrika dibawah Rommel melangkah maju dengan cepat ke arah timur, merebut kota pelabuhan Tobruk. Pasukan Australia dan Inggris di kota tersebut berhasil bertahan hingga serangan Axis berhasil merebut kota tersebut dan memaksa Divisi Ke-8 (Eighth Army) mundur ke garis di El Alamein.

1942: Pertempuran El Alamein Pertama dan Kedua

Pertempuran El Alamein Pertama terjadi di antara 1 Juli dan 27 Juli 1942. Pasukan Jerman sudah maju ke yang titik pertahanan terakhir sebelum Alexandria dan Terusan Suez. Namun mereka telah kehabisan suplai, dan pertahanan Inggris dan Persemakmuran menghentikan arah mereka.

Pertempuran El Alamein Kedua terjadi di antara 23 Oktober dan 3 November 1942 sesudah Bernard Montgomery menggantikan Claude Auchinleck sebagai komandan Eighth Army. Rommel, panglima cemerlang Korps Afrika Tentara Jerman, yang dikenal sebagai "Rubah Gurun", absen pada pertempuran luar biasa ini, karena sedang berada dalam tahap penyembuhan dari sakit kuning di Eropa. Montgomery tahu Rommel absen. Pasukan Persemakmuran melancarkan serangan, dan meskipun mereka kehilangan lebih banyak tank daripada Jerman ketika memulai pertempuran, Montgomery memenangkan pertempuran ini.

Sekutu mempunyai keuntungan dengan dekatnya mereka ke suplai mereka selama pertempuran. Lagipula, Rommel hanya mendapat sedikit atau bahkan tak ada pertolongan kali ini dari Luftwaffe, yang sekarang lebih ditugaskan dengan membela angkasa udara Eropa Barat dan melawan Uni Soviet daripada menyediakan bantuan di Afrika Utara untuk Rommel. Setelah kekalahan Jerman di El Alamein, Rommel membuat penarikan strategis yang cemerlang ke Tunisia. Banyak sejarawan berpendapat bahwa berhasilnya Rommel pada penarikan strategis Korps Afrika dari Mesir lebih mengesankan daripada kemenangannya yang lebih awal, termasuk Tobruk, karena dia berhasil membuat seluruh pasukannya kembali utuh, melawan keunggulan udara Sekutu dan pasukan Persemakmuran yang sekarang diperkuat oleh pasukan AS.

1942: Operasi Obor (Operation Torch), Afrika Utara Perancis

Untuk melengkapi kemenangan ini, pada 8 November 1942 dilancarkanlah Operasi Obor (Operation Torch) dibawah pimpinan Jendral Dwight Eisenhower. Tujuan utama operasi ini adalah merebut kontrol terhadap Maroko dan Aljazair melalui pendaratan simultan di Casablanca, Oran, dan Aljazair, yang dilanjutkan beberapa hari kemudian dengan pendaratan di Bône, gerbang menuju Tunisia.

Pasukan lokal di bawah Perancis Vichy sempat melakukan perlawanan terbatas, sebelum akhirnya bersedia bernegosiasi dan mengakhiri perlawanan mereka.

1943: Kalahnya Korps Afrika

Korps Afrika tidak mendapat suplai secara memadai akibat dari hilangnya pengapalan suplai oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara Sekutu, terutama Inggris, di Laut Tengah. Kekurangan persediaan ini dan tak adanya dukungan udara, memusnahkan kesempatan untuk melancarkan serangan besar bagi Jerman di Afrika. Pasukan Jerman dan Italia terjepit diantara pergerakan maju pasukan Sekutu di Aljazair dan Libia. Pasukan Jerman yang sedang mundur terus melakukan perlawanan sengit, dan Rommel mengalahkan pasukan AS pada Pertempuran Kasserine Pass sebelum menyelesaikan pergerakan mundur strategisnya menuju garis suplai Jerman. Dengan pasti, bergerak maju baik dari arah timur dan barat, pasukan Sekutu akhirnya mengalahkan Korps Afrika Jerman pada 13 Mei 1943 dan menawan 250.000 tentara Axis.

Setelah jatuh ke tangan Sekutu, Afrika Utara dijadikan batu loncatan untuk menyerang Sisilia pada 10 Juli 1943. Setelah merebut Sisilia, pasukan Sekutu melancarkan serangan ke Italia pada 3 September 1943. Italia menyerah pada 8 September 1943, tetapi pasukan Jerman terus bertahan melakukan perlawanan. Roma akhirnya dapat direbut pada 5 Juni 1944.

Bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Area Eropa dan Rusia (Uni Soviet)

1939: Invasi Polandia, Invasi Finlandia

Perang Dunia II mulai berkecamuk di Eropa dengan dimulainya serangan ke Polandia pada 1 September 1939 yang dilakukan oleh Hitler dengan gerak cepat yang dikenal dengan taktik Blitzkrieg, dengan memanfaatkan musim panas yang menyebabkan perbatasan sungai dan rawa-rawa di wilayah Polandia kering yang memudahkan gerak laju pasukan lapis baja Jerman serta mengerahkan ratusan pembom tukik yang terkenal Ju-87 Stuka. Polandia yang sebelumnya pernah menahan Uni Soviet di tahun 1920-an saat itu tidak memiliki kekuatan militer yang berarti. Kekurangan pasukan lapis baja, kekurang siapan pasukan garis belakang dan koordinasinya dan lemahnya Angkatan Udara Polandia menyebabkan Polandia sukar memberi perlawanan meskipun masih memiliki 100 pesawat tempur namun jumlah itu tidak berarti melawan Angkatan Udara Jerman "Luftwaffe". Perancis dan kerajaan Inggris menyatakan perang terhadap Jerman pada 3 September sebagai komitment mereka terhadap Polandia pada pakta pertahanan Maret 1939.

Setelah mengalami kehancuran disana sini oleh pasukan Nazi, tiba tiba Polandia dikejutkan oleh serangan Uni Soviet pada 17 September dari timur yang akhirnya bertemu dengan Pasukan Jerman dan mengadakan garis demarkasi sesuai persetujuan antara Menteri Luar Negeri keduanya, Ribentrop-Molotov. Akhirnya Polandia menyerah kepada Nazi Jerman setelah kota Warsawa dihancurkan, sementara sisa sisa pemimpin Polandia melarikan diri diantaranya ke Rumania. Sementara yang lain ditahan baik oleh Uni Soviet maupun Nazi. Tentara Polandia terakhir dikalahkan pada 6 Oktober.

Jatuhnya Polandia dan terlambatnya pasukan sekutu yang saat itu dimotori oleh Inggris dan Perancis yang saat itu dibawah komando Jenderal Gamelin dari Perancis membuat Sekutu akhirnya menyatakan perang terhadap Jerman. Namun juga menyebabkan jatuhnya kabinet Neville Chamberlain di Inggris yang digantikan oleh Winston Churchill. Ketika Hitler menyatakan perang terhadap Uni Soviet, Uni Soviet akhirnya membebaskan tawanan perang Polandia dan mempersenjatainya untuk melawan Jerman. Invasi ke Polandia ini juga mengawali praktek-praktek kejam Pasukan SS dibawah Heinrich Himmler terhadap orang orang Yahudi.

Perang Musim Dingin dimulai dengan invasi Finlandia oleh Uni Soviet, 30 November 1939. Pada awalnya Finlandia mampu menahan pasukan Uni Soviet meskipun pasukan Soviet memiliki jumlah besar serta dukungan dari armada udara dan lapis baja, karena Soviet banyak kehilangan jendral-jendral yang cakap akibat pembersihan yang dilakukan oleh Stalin pada saat memegang tampuk kekuasaan menggantikan Lenin. Finlandia memberikan perlawanan yang gigih yang dipimpin oleh Baron Carl Gustav von Mannerheim serta rakyat Finlandia yang tidak ingin dijajah. Bantuan senjata mengalir dari negara Barat terutama dari tetangganya Swedia yang memilih netral dalam peperangan itu. Pasukan Finlandia memanfaatkan musim dingin yang beku namun dapat bergerak lincah meskipun kekuatannya sedikit (kurang lebih 300.000 pasukan). Akhirnya Soviet mengerahkan serangan besar besaran dengan 3.000.000 tentara menyerbu Finlandia dan berhasil merebut kota-kota dan beberapa wilayah Finlandia. Sehingga memaksa Carl Gustav untuk mengadakan perjanjian perdamaian.

Ketika Hitler menyerang Rusia (Uni Soviet), Hitler juga memanfaatkan pejuang-pejuang Finlandia untuk melakukan serangan ke kota St. Petersburg.

1940: Invasi Eropa Barat, Republik-republik Baltik, Yunani, Balkan

Dengan tiba-tiba Jerman menyerang Denmark dan Norwegia pada 9 April 1940 melalui Operasi Weserübung, yang terlihat untuk mencegah serangan Sekutu melalui wilayah tersebut. Pasukan Inggris, Perancis, dan Polandia mendarat di Namsos, Andalsnes, dan Narvik untuk membantu Norwegia. Pada awal Juni, semua tentara Sekutu dievakuasi dan Norwegia-pun menyerah.

Operasi Fall Gelb, invasi Benelux dan Perancis, dilakukan oleh Jerman pada 10 Mei 1940, mengakhiri apa yang disebut dengan "Perang Pura-Pura" (Phony War) dan memulai Pertempuran Perancis. Pada tahap awal invasi, tentara Jerman menyerang Belgia, Belanda, dan Luxemburg untuk menghindari Garis Maginot dan berhasil memecah pasukan Sekutu dengan melaju sampai ke Selat Inggris. Negara-negara Benelux dengan cepat jatuh ke tangan Jerman, yang kemudian melanjutkan tahap berikutnya dengan menyerang Perancis. Pasukan Ekspedisi Inggris (British Expeditionary Force) yang terperangkap di utara kemudian dievakuasi melalui Dunkirk dengan Operasi Dinamo. Tentara Jerman tidak terbendung, melaju melewati Garis Maginot sampai ke arah pantai Atlantik, menyebabkan Perancis mendeklarasikan gencatan senjata pada 22 Juni dan terbentuklah pemerintahan boneka Vichy.

Pada Juni 1940, Uni Soviet memasuki Latvia, Lituania, dan Estonia serta menganeksasi Bessarabia dan Bukovina Utara dari Rumania.

Jerman bersiap untuk melancarkan serangan ke Inggris dan dimulailah apa yang disebut dengan Pertempuran Inggris atau Battle of Britain, perang udara antara AU Jerman Luftwaffe melawan AU Inggris Royal Air Force pada tahun 1940 memperebutkan kontrol atas angkasa Inggris. Jerman berhasil dikalahkan dan membatalkan Operasi Singa Laut atau Seelowe untuk menginvasi daratan Inggris. Hal itu dikarenakan perubahan strategi Luftwaffe dari menyerang landasan udara dan industri perang berubah menjadi serangan besar-besaran pesawat pembom ke London. Sebelumnya terjadi pemboman kota Berlin yang ddasarkan pembalasan atas ketidaksengajaan pesawat pembom Jerman yang menyerang London. Alhasil pilot peswat tempur Spitfire dan Huricane dapat beristirahat. Perang juga berkecamuk di laut, pada Pertempuran Atlantik kapal-kapal selam Jerman (U-Boat) berusaha untuk menenggelamkan kapal dagang yang membawa suplai kebutuhan ke Inggris dari Amerika Serikat.

Pada 27 September 1940, ditanda tanganilah pakta tripartit oleh Jerman, Italia, dan Jepang yang secara formal membentuk persekutuan dengan nama (Kekuatan Poros).

Italia menyerbu Yunani pada 28 Oktober 1940 melalui Albania, tetapi dapat ditahan oleh pasukan Yunani yang bahkan menyerang balik ke Albania. Hitler kemudian mengirim tentara untuk membantu Mussolini berperang melawan Yunani. Pertempuran juga meluas hingga wilayah yang dikenal sebagai wilayah bekas Yugoslavia. Pasukan NAZI mendapat dukungan dari sebagian Kroasia dan Bosnia, yang merupakan konflik laten di daerah itu sepeninggal Kerajaan Ottoman. Namun Pasukan Nazi mendapat perlawanan hebat dari kaum Nasionalis yang didominasi oleh Serbia dan beberapa etnis lainnya yang dipimpin oleh Josip Broz Tito. Pertempuran dengan kaum Nazi merupakan salah satu bibit pertempuran antar etnis di wilayah bekas Yugoslavia pada dekade 1990-an.

bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

1941: Invasi Uni Soviet

  • Operasi Barbarossa
Operasi Barbarossa (Jerman: Unternehmen Barbarossa) adalah sebutan invasi tentara Nazi Jerman di Uni Soviet pada Perang Dunia II. Invasi ini dimulai pada tanggal 22 Juni 1941. Lebih dari 4,5 juta tentara dari kekuatan Axis Uni Soviet menyerbu sepanjang 2.900 km (1.800 mil). Perencanaan untuk Operasi Barbarossa dimulai pada tanggal 18 Desember 1940; rahasia persiapan dan operasi militer itu sendiri berlangsung hampir satu tahun, dari musim semi tahun 1940 sampai musim dingin 1941.

Barbarossa adalah nama seorang Kaisar Jerman pada Abad Pertengahan.

Mula-mula pasukan Adolf Hitler menang dengan taktik Blitzkrieg nya, tetapi musim dingin tiba dan ini adalah sekutu terbaik Rusia. Pasukan Jerman mampu menghancurkan pasukan-pasukan Uni Soviet namun gagal memperhitungkan kemampuan Uni Soviet untuk secara terus-menerus memperbarui dan mempersenjatai pasaukan baru. Yakin bahwa Jepang tidak akan menyerang di Timur, Stalin juga menarik pasukan Uni Soviet dari Siberia untuk mempertahankan Moskwa dan melakukan serangan balik. Pasukan Jerman dapat menekan sampai beberapa kilometer dari Moskwa, namun serangan balik Uni Soviet di tengah musim dingin akhirnya berhasil mematahkan Operasi Barbarossa. Hitler mengharapkan pukulan cepat dan tidak mempersiapkan perang yang berkelanjutan di tengah musim dingin Rusia.

Tujuan operasional Barbarossa adalah penaklukan cepat Eropa bagian barat Uni Soviet dari jalur yang menghubungkan kota-kota Arkhangelsk dan Astrakhan, yang sering disebut jalur AA. Pada akhir bulan Januari 1942, Tentara Merah telah ditolak Wehrmacht , sebuah pukulan terkuat. Adolf Hitler tidak mencapai kemenangan yang diharapkan, tetapi situasi Uni Soviet tetap mengerikan. Taktis, Jerman telah memenangkan beberapa kemenangan gemilang dan menduduki beberapa wilayah ekonomi paling penting di negeri, terutama di Ukraina. Meskipun keberhasilan ini, Jerman didesak mundur dari Moskow dan tak pernah me-mount sebuah serangan secara simultan di sepanjang seluruh Soviet-Jerman strategis depan lagi.

Operasi Barbarossa merupakan kegagalan Hitler dan menyebabkan tuntutan untuk melakukan operasi lebih lanjut di Uni Soviet, yang semuanya pada akhirnya gagal, seperti melanjutkan Pengepungan Leningrad, Operasi Nordlicht, dan Pertempuran Stalingrad, pertempuran antara lain di wilayah yang diduduki Soviet . Operasi Barbarossa masih merupakan operasi militer terbesar, dalam hal kekuatan pasukan dan korban, dalam sejarah manusia. Kegagalan tersebut merupakan titik balik dalam keberuntungan Reich Ketiga. Paling penting, Operasi Barbarossa membuka Blok Timur, di mana pasukan lebih berkomitmen daripada di medan pertempuran dalam sejarah dunia. Operasi Barbarossa dan daerah-daerah yang jatuh di bawahnya menjadi tempat beberapa pertempuran terbesar, mematikan, kekejaman, korban tertinggi, dan kondisi yang paling mengerikan bagi Soviet dan Jerman - yang semuanya mempengaruhi Perang Dunia II dan sejarah abad ke-20.

  • Pertempuran Stalingrad
Pertempuran Stalingrad, yang terjadi pada 21 Agustus 1942 hingga 2 Februari 1943, merupakan pertempuran sengit antara Jerman dan sekutunya melawan Uni Soviet, memperebutkan kota Stalingrad (yang sekarang bernama Volgograd), dalam Perang Dunia II. Pertempuran ini dianggap sebagai titik balik Perang Dunia II, dan sebagai pertempuran paling berdarah sepanjang sejarah, dimana 1,5 juta orang lebih terbunuh dari kedua pihak. Kedua pihak bertempur dengan brutal dan tidak memperdulikan korban warga sipil. Pertempuran ini terdiri dari beberapa fase, yaitu pengepungan Jerman terhadap Stalingrad, pertempuran dalam kota, serangan balik Soviet, serta pengepungan serta penghancuran kekuatan-kekuatan Poros di sekitar Stalingrad, yang ditulangpunggungi Tentara Keenam Jerman.

Pada bulan Juni 1942, Tentara Jerman (Wehrmacht) melancarkan kampanye musim panas kedua mereka terhadap Uni Soviet, yang disebut Operation Blau (Operasi Biru). Sebelumnya dalam operasi Barbarossa, Wehrmacht dihalau di pintu gerbang Moskow pada musim dingin 1941-1942. Operasi Biru diarahkan ke Rusia selatan dengan tujuan merebut ladang minyak di Baku, Azerbaijan, dan membuka jalan untuk menguasai ladang-ladang minyak di Timur Tengah. Pasukan penyerbu Jerman dibagi dua kekuatan, Grup Tentara A menyerbu Kaukasus dan Grup Tentara B menuju sungai Volga dan kota Stalingrad.

Pada mulanya, Tentara Merah Soviet memilih untuk bergerak mundur guna membuat jalur logistik pasukan Jerman keteteran dengan memanfaatkan luasnya wilayah Uni Soviet. Akan tetapi kemudian Stalin memerintahkan pasukannya untuk bertahan di Stalingrad, yang secara harfiah berarti "kota Stalin". Selain karena menyandang nama Stalin, kota Stalingrad juga penting karena merupakan kota industri terbesar di tepi sungai Volga (jalur transportasi penting ke Laut Kaspia). Jatuhnya Stalingrad ke tangan Jerman akan memudahkan gerak maju pasukan Jerman menuju Kaukasus, yang memiliki cadangan minyak besar, yang amat dibutuhkan oleh Jerman.

Menurut perkiraan, sekitar empat puluh ribu tentara dari kedua belah pihak terbunuh dalam setiap harinya. Fuhrer Adolf Hitler memerintahkan pasukannya agar dalam kondisi apapun, kota Stalingrad harus direbut. Akibatnya pasukan Jerman bertempur mati-matian untuk merebut kota tersebut. Namun, rakyat dan tentara di kota Stalingrad juga melakukan perlawanan yang sangat kuat sehingga pasukan Nazi dapat dihadang.

Sementara pasukannya terjebak dalam perang mati-matian di Stalingrad, Komando Tertinggi Jerman tidak menyadari bahwa Stalin telah mengumpulkan bala bantuan untuk menghancurkan pasukan Jerman dalam suatu kampanye musin dingin. Serangan balasan Uni Soviet dilancarkan pada bulan November 1942 ketika salju mulai turun. Serangan tersebut dengan cepat menggulung pasukan Italia, Rumania, dan Hungaria yang melindungi garis belakang Angkatan Darat ke-6 Jerman. Akibatnya, pasukan Jerman yang beroperasi di Stalingrad terkepung.

Sebenarnya, Jerman memiliki kesempatan untuk menarik mundur pasukannya sebelum Tentara Merah menyelesaikan kepungannya. Akan tetapi, Hitler bersikeras agar pasukannya tetap bertahan di Stalingrad dan memerintahkan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) untuk mengirimkan perbekalan bagi mereka. Akan tetapi, musim dingin yang ganas menghalangi usaha tersebut sehingga bantuan yang dikirimkan tidak cukup untuk memberi makan 330.000 prajurit Jerman dan sekutunya yang berada di Stalingrad.

Suatu usaha lain untuk membebaskan pasukan Jerman yang terkepung dilakukan dengan mengirimkan Tentara Grup Don pimpinan Marsekal Erich von Manstein, salah seorang ahli strategi Jerman yang cemerlang. Akan tetapi, serangan tersebut berhasil dihentikan oleh bala bantuan Soviet yang masih segar di Kotelnikovo. Akhirnya, ketika dihadapkan pada kemungkinan terkepung, von Manstein menarik mundur pasukannya dan meninggalkan rekan-rekannya di Stalingrad menunggu nasib.

Pada tanggal 30 Januari 1943, Tentara Merah dibawah pimpinan Marsekal Georgy Zhukov melancarkan serangan umum ke Stalingrad dan dengan cepat menggulung pasukan Poros yang sudah kelelahan dan menderita kelaparan dan penyakit. Dua hari kemudian, Marsekal Friedrich von Paulus dan 90.000 prajuritnya yang tersisa menyerah.

Para sejarawan menilai, kekalahan Jerman di Stalingrad merupakan awal dari kejatuhan Nazi. Hingga kini pertempuran ini dianggap sebagai pertempuran terbesar dan paling berdarah dalam sejarah manusia. Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai 3 juta jiwa.


bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

1944: Serangan Balik
  • Invasi Normandia
Invasi Normandia, yang nama kodenya adalah Operasi Overlord, adalah sebuah operasi pendaratan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu saat Perang Dunia II pada tanggal 6 Juni 1944. Hingga kini Invasi Normandia merupakan invasi laut terbesar dalam sejarah, dengan hampir tiga juta tentara menyeberangi Selat Inggris dari Inggris ke Perancis yang diduduki oleh tentara Nazi Jerman.

Mayoritas satuan tempur pada serangan ini adalah pasukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Kanada. Pasukan Kemerdekaan Perancis dan pasukan Polandia ikut bertempur setelah fase pendaratan. Selain itu, pasukan dari Belgia, Cekoslowakia, Yunani, Belanda, dan Norwegia juga turut serta.

Invasi Normandia dibuka dengan pendaratan parasut dan glider pada dini hari, serangan udara dan artileri laut, dan pendaratan amfibi pagi hari, pada 6 Juni, D-Day. Pertempuran untuk menguasai Normandia berlanjut selama lebih dari dua bulan, dengan kampanye untuk menembus garis pertahanan Jerman dan menyebar dari pantai yang sudah dikuasai Sekutu. Invasi ini berakhir dengan dibebaskannya Paris, dan jatuhnya kantong Falaise pada akhir Agustus 1944.

Persiapan sekutu

Setelah invasi Jerman terhadap Uni Soviet (Operasi Barbarossa), Sovietlah yang melakukan mayoritas pertempuran menghadapi Jerman di Eropa. Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada tahun 1942 menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya siap membuka "front kedua" di Eropa untuk membantu Uni Soviet menghadapi Jerman, pernyataan ini dinyatakan lagi pada musim semi tahun 1943.

Britania Raya, di bawah Winston Churchill, ingin menghindari serangan langsung seperti pada Perang Dunia I yang pasti akan menyebabkan banyak korban. Mereka juga lebih menyukai menggunakan taktik terselubung dengan membantu para pemberontak yang diduduki Jerman, lalu melakukan serangan dari Mediterania, ke Wina, lalu memasuki Jerman dari selatan. Cara seperti ini juga dianggap dapat membatasi masuknnya Soviet ke Eropa.

Namun Amerika Serikat menganggap bahwa cara paling optimal adalah serangan langsung dari markas Sekutu yang paling dekat dan besar. Mereka sangat menginginkan metode ini, dan menyatakan bahwa hanya cara inilah yang akan mereka dukung dalam jangka panjang. Dua proposal awal direncanakan: Operasi Sledgehammer, yang merupakan invasi untuk tahun 1942, dan Operasi Roundup, yaitu invasi lebih besar pada tahun 1943. Proposal yang kedua diterima, lalu diganti namanya menjadi Operasi Overlord dan ditunda sampai 1944.

Sekitar 6.900 kendaraan laut, termasuk 4.100 kendaraan pendarat, digunakan untuk invasi ini, dipimpin oleh Admiral Bertram Ramsay. Kemudian 12.000 pesawat terbang, termasuk 1.000 pesawat pembawa penerjun payung, berada di bawah Marsekal Udara Trafford Leigh-Mallory. 10.000 ton bom akan dijatuhkan ke pertahanan Jerman, dan pesawat-pesawat ini akan melakukan 14.000 misi serangan.

Peralatan khusus

Untuk melancarkan jalannya invasi ini, Sekutu mengembangkan banyak peralatan khusus. Mayor-Jenderal Percy Hobart ditugaskan untuk mengetuai pengembangan kendaraan lapis baja khusus. Kendaraan-kendaraan ini, yang dijuluki Hobart’s Funnies, antara lain tank yang bisa berenang Sherman Duplex Drive, tank pembersih ranjau, tank pembuat jembatan, tank pembuat jalanan, dan tank khusus untuk menghancurkan gedung beton. Pengetesan kendaraan-kendaraan ini dilakukan di Kirkham Priory di Yorkshire, Inggris.

Selain kendaraan lapis baja, dibuat juga dua pelabuhan buatan Mulberry Harbour agar bisa mendatangkan persediaan secara cepat, ditambah dengan tidak adanya pelabuhan laut dalam di lokasi pendaratan. Untuk mengirimkan bahan bakar dari Inggris, Sekutu menjalankan Operasi PLUTO (Pipe Line Under The Ocean), yaitu jalur pipa bawah laut.

Persiapan Jerman

Pada tahun 1942 dan 1943, Jerman menganggap bahwa kemungkinan serangan Sekutu dari barat sangat kecil. Persiapan menghadapi invasi hanya berupa pembangunan fortifikasi yang melindungi pelabuhan-pelabuhan utama oleh Organisasi Todt.

Pada akhir 1943, berkumpulnya kekuatan Sekutu di Inggris menyebabkan Komandan Bagian Barat Jerman, Marsekal Medan Gerd von Rundstedt, untuk meminta tambahan pasukan. Pasukan yang dimiliki sebelumnya hanya merupakan formasi statik saja, tanpa alat-alat transportasi dan peralatan dukungan. Selain itu pasukan itu terdiri dari tentara yang tidak sempurna secara fisik (misalnya orang-orang yang kehilangan jarinya oleh dinginnya Front Timur), atau merupakan wajib militer Polandia dan negara non-Jerman lainnya.

Selain tambahan pasukan, von Rundstedt mendapatkan anak buah baru, Marsekal Medan Erwin Rommel. Rommel awalnya hanya ditugaskan untuk memeriksa Tembok Atlantik, namun kemudian meminta untuk diberi tugas memimpin pasukan pertahanan Perancis utara, Belgia, dan Belanda. Permintaan ini dipenuhi dan pasukan yang dipimpinnya digabungkan dalam Grup B Angkatan Darat pada Februari 1944.

Pendaratan udara

Pendaratan udara dilakukan untuk merebut posisi-posisi kunci, dengan tujuan memblokir serangan balik Jerman, mengamankan bagian samping pendaratan laut, dan melancarkan pergerakan pasukan laut dari pantai. Divisi Lintas Udara Amerika Serikat ke-82 dan 101 ditugaskan untuk mengamankan samping barat, dan Divisi Lintas Udara ke-6 Britania Raya ditugaskan ke samping timur.

Pendaratan udara Britania Raya

Di timur lokasi pendaratan laut, terdapat wilayah yang terbuka dan datar, yang ideal untuk serangan kendaraan lapis baja Jerman. Namun, wilayah terbuka tersebut dan lokasi pendaratan laut dipisahkan oleh Sungai Orne, yang mengalir dari Caen sampai Tanjung Seine. Satu-satunya penyeberangan sungai ini di utara Caen berada tujuh kilometer dari lokasi pendaratan laut, yaitu di dekat Bénouville dan Ranville. Untuk Jerman, ini merupakan satu-satunya rute untuk serangan balik dari samping timur, sementara bagi Sekutu, penyeberangan ini sangat penting untuk serangan ke Caen.

Objektif taktis Divisi Lintas Udara ke-6 Britania Raya adalah merebut jembatan-jembatan penyebrangan di Bénouville-Ranville, bertahan menghadapi serangan balik Jerman, menghancurkan meriam artileri di Merville yang menembak ke Pantai Sword, dan menghancurkan lima jembatan di Sungai Dives.

Pendaratan udara Amerika Serikat

Pendaratan udara Amerika Serikat dilakukan oleh Divisi Lintas Udara ke-82 (Operasi Detroit) dan 101 (Operasi Chicago). Pada saat pendaratan, para penerjun payung tersesat dan tidak dapat berkumpul dengan baik. Ini dikarenakan oleh lokasi pendaratan yang tidak ditandai, cuaca yang buruk, dan medan yang sulit. Setelah 24 jam, hanya 2.500 dari 6.000 anggota Divisi Lintas Udara 101 yang telah bergabung kembali. Tetapi, tersebarnya pasukan penerjun payung Amerika Serikat membantu membingungkan tentara Jerman.

Pada pagi hari tanggal 6 Juni, Divisi Lintas Udara ke-82 berhasil merebut Sainte-Mère-Église, kota pertama yang direbut pada invasi ini.

Pantai Sword

Serangan pada Pantai Sword dimulai pada jam 03.00 dengan serangan udara ke pertahan laut dan artileri Jerman. Serangan artileri laut dimulai beberapa jam kemudian. Pada jam 0730, satuan-satuan pertama berhasil mendarat di pantai. Satuan ini adalah satuan tank Sherman DD milik Hussar ke-13/18, yang diikuti oleh infanteri Brigade ke-8.

Pada Pantai Sword, infanteri Britania Raya berhasil mendarat dengan sedikit korban. Pada akhir hari itu, mereka berhasil maju sejauh delapan kilometer, tetapi gagal mendapatkan target ambisius Montgomery, khususnya Caen yang merupakan objektif utama, yang tetap dikuasai Jerman sampai akhir D-Day.

Pantai Juno

Pasukan Kanada yang mendarat di Pantai Juno berhadapan dengan 11 meriam berat 155 mm dan 9 meriam sedang 75 mm, juga senapan mesin, bunker, dan fortifikasi beton lainnya. 50% gelombang pertama yang mendarat tewas, pendaratan ini adalah pendaratan pantai dengan jumlah korban tertinggi ke-2 setelah Pantai Omaha. Pemakaian Sherman DD termasuk sukses di Pantai Juno, dengan beberapa, sesuai rencana, sampai duluan sebelum infanteri dan membantu menghancurkan pertahanan Jerman.

Pantai Gold

Korban juga banyak pada Pantai Gold, di mana kedatangan tank perenang Sherman DD tertunda, dan Jerman telah memfortifikasi sebuah desa di pantai dengan baik. Namun Divisi Infanteri ke-50 berhasil mengalahkan pertahanan ini dan maju sampai dekat Bayeux. Divisi ini adalah salah satu yang paling jauh mendekati objektif utamanya.

Pantai Omaha

Pendaratan di Pantai Omaha merupakan pendaratan yang paling banyak memakan korban. Elemen Divisi Infanteri ke-1 dan ke-29 Amerika Serikat berhadapan dengan Divisi Infanteri ke-352 Jerman, salah satu divisi yang paling berpengalaman di invasi pantai ini. Intelijen Sekutu gagal mengetahui bahwa Divisi Infanteri Statik ke-714 yang relatif berkualitas rendah digantikan oleh Divisi ke-352 beberapa hari sebelum invasi. Omaha merupakan pantai dengan pertahanan yang paling berat, dan serangan udara serta artileri sebelum invasi ternyata tidak efektif.

Di bagian timur, 27 dari 32 tank Sherman DD tidak sampai ke pantai. Di bagian Barat, tank DD berhasil mendarat namun banyak yang hancur oleh artileri Jerman. Data resmi mengatakan bahwa "10 menit setelah mendarat, kompi [pemimpin] menjadi tidak berfungsi, tanpa komandan, dan hampir sama sekali tidak bisa bertempur. Setiap perwira dan sersan telah tewas atau terluka, Ini berubah menjadi perjuangan untuk bertahan dan penyelamatan". Korban pada Pantai Omaha sampai 2.400 orang pada jam-jam pertama. Beberapa komandan sempat ingin mundur dari pantai itu, tetapi beberapa satuan kecil membentuk tim-tim ad hoc yang akhirnya berhasil menguasai pantai dan maju masuk ke daratan.

Pointe du Hoc

Point du Hoc merupakan tempat penempatan meriam yang berada pada tebing beton tinggi. Di sini, Batalyon Ranger ke-2, yang dipimpin oleh James Earl Rudder, ditugaskan untuk memanjat tebing-tebing setinggi 30 meter tersebut dengan menggunakan tali, lalu menghancurkan meriam-meriam di atas, yang diperkirakan menembak ke Pantai Omaha dan Utah. Tetapi setelah tiba di atas tebing ternyata meriam-meriam tersebut sudah dipindahkan. Para Ranger kemudian maju masuk ke daratan lalu akhirnya menemukan dan menghancurkan meriam-meriam tersebut.

Pantai Utah

Pendaratan di Pantai Utah merupakan pendaratan dengan korban paling sedikit. Divisi Infanteri ke-4 yang mendarat di pantai ini ternyata mendarat di tempat yang salah karena arus yang mendorong kendaraan pendarat mereka ke arah tenggara, ke daerah yang tidak dijaga dengan baik. Divisi ini kemudian maju ke daratan dengan mudah, ditambah dengan bantuan dari Resimen Infanteri Parasut ke-502 dan 506. Dengan korban yang sangat sedikit, mereka juga dapat bergerak dengan cepat, dengan tingkat kesuksesan yang sangat tinggi.

Setelah pendaratan

Setelah pantai dikuasai, dua pelabuhan buatan Mulberry Harbour diderek melalui Selat Inggris dan selesai dirakit pada D+3 (9 Juni). Satu dibuat di Arromanches oleh pasukan Britania Raya, dan satu lagi di Pantai Omaha oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 19 Juni sebuah badai menunda kegiatan pengiriman persediaan dan menghancurkan pelabuhan buatan di Pantai Omaha. Ketika itu, Britania Raya sudah mendaratkan 314.547 orang, 54.000 kendaraan, dan 102.000 ton persediaan. Sementara Amerika Serikat telah mendaratkan 314.504 orang, 41.000 kendaraan, dan 116.000 ton persediaan.

Cherbourg

Di bagian barat invasi, pasukan Amerika Serikat ditugaskan untuk menguasai Semenanjung Cotentin, khususnya Cherbourg, yang memiliki pelabuhan laut dalam. Wilayah di belakang pantai Utah dan Omaha dicirikan oleh bocage, yaitu parit kuno dan pagar tanaman yang tebalnya sampai tiga meter, tersebar setiap 100 sampai 200 meter, membuatnya sangat menyulitkan untuk tank, peluru, dan penglihatan, dan menjadi tempat bertahan yang ideal. Infanteri Amerika Serikat maju menuju Cherbourg dengan lambat, dan dengan banyak korban. Bagian ujung semenanjung baru didatangi pada 18 Juni. Setelah melawan pasukan Sekutu dengan gigih, komandan Cherbourg, Letnan Jenderal von Schlieben, akhirnya menyerah setelah sebelumnya sempat menghancurkan pelabuhan Cherbourg, yang membuat pelabuhan itu baru bisa dipakai pada pertengahan Agustus.

Caen

Caen dianggap sebagai objektif yang penting oleh Montgomery, maka Caen menjadi target beberapa serangan. Serangan pertama adalah Operasi Perch, yang mencoba menyerang Jerman lewat samping di Villers-Bocage. Tapi serangan ini dihentikan oleh Jerman pada Pertempuran Villers-Bocage. Usaha serangan sempat tertunda karena badai yang menghentikan laju persediaan pada 17 sampai 23 Juni, walau begitu, serangan balik Jerman bisa dihentikan pada Operasi Epsom, dikarenakan serangan balik tersebut sudah diketahui oleh intelijen. Caen kemudian dihujani bom dari pesawat, dan bagian utaranya berhasil diduduki pada Operasi Charnwood, 7 sampai 9 Juli. Ini kemudian dilanjutkan dengan serangan besar-besaran yang dipimpin Jenderal Miles Dempsey, yang diikuti oleh seluruh divisi lapis baja Britania Raya, Operasi Goodwood, 18 sampai 21 Juli, berhasil menguasai sisa Caen beserta dataran tinggi di bagian selatannya.

Menembus garis pantai

Strategi penting yang dilakukan Montgomery adalah membuat Jerman memfokuskan pasukan cadangan mereka ke bagian timur invasi agar garis pertahanan Jerman bisa ditembus di bagian barat. Strategi ini berhasil, dan setelah Operasi Goodwood, Jerman telah memobilisasikan sisa pasukan cadangan mereka untuk menghadapi pasukan Britania Raya dan Kanada di selatan Caen. Operasi untuk menembus garis pantai (beachhead), yang dinamakan Operasi Kobra, dilakukan pada tanggal 24 Juli oleh First Army Amerika Serikat. Operasi ini berhasil dengan baik, Korps VIII berhasil menembus pertahanan Jerman dan memasuki Coutances, di bagian barat Semenanjung Cotentin, pada 28 Juli.

Montgomery lalu melanjutkan serangan di bagian barat dengan bergerak ke selatan, kemudian divisi-divisi lapis baja Britania Raya dibuat ikut maju ke selatan bersama dengan Third Army Amerika Serikat pada Operasi Bluecoat, 30 Juli sampai 7 Agustus. Serangan ini berhasil membuat Jerman terpaksa mengalihkan pasukan ke arah barat, yang kemudian ditindak-lanjuti oleh Britania Raya dan Kanada yang maju dari Caen pada Operasi Totalize, 7 Agustus.

Kantong Falaise

Dengan hampir terkepungnya Jerman oleh pasukan Sekutu, Komando Tinggi Jerman menginginkan pasukan cadangan Jerman dari daerah sekitar untuk membantu mundurnya pasukan Jerman ke sungai Seine. Namun keinginan ini ditolak oleh Hitler, yang memerintahkan serangan ke Mortain, bagian barat kantong Falaise, pada 7 Agustus. Serangan ini dimentahkan oleh Sekutu, yang lagi-lagi mendapat pemberitahuan duluan oleh intelijen. Rencana awal Sekutu setelah itu adalah untuk mengitari pasukan Jerman sampai sejauh lembah Loire, tetapi Jenderal Omar N. Bradley menyadari kalau pasukan Jerman sudah tidak bisa bergerak, dan setelah mendapat persetujuan dari Montgomery, ia memerintahkan untuk langsung menuju ke utara dan mengepung Jerman. Perintah ini dilaksanakan oleh George S. Patton, pasukannya bergerak hampir tanpa perlawanan melalui Le Mans, lalu ke utara menuju Alençon. Pasukan Jerman akhirnya terkepung pada tanggal 21 Agustus, dengan 50.000 tentara Jerman terperangkap di kantong Falaise.

Paris berhasil direbut tak lama kemudian. Pemberontak Perancis berdiri menghadapi Jerman pada 19 Agustus, dan Divisi Lapis Baja ke-2 Perancis yang dipimpin Jenderal Jacques Leclerc, bersama dengan Divisi Infanteri ke-4 Amerika Serikat menerima penyerahan pasukan Jerman di Paris pada 25 Agustus.

Penutupan invasi

Kampanye Normandia menurut beberapa sejarawan berakhir pada tengah malam 24-25 Juli 1944, yaitu pada awal Operasi Kobra, atau pada tanggal 25 Juli, dengan direbutnya Sungai Seine. Rencana awal Operasi Overlord memperkirakan kampanye sepanjang 90 hari di Normandia, dengan tujuan akhir mencapai Sungai Seine; target ini tercapai dengan lebih cepat. Pihak Amerika Serikat berhasil mencapai target mereka lebih awal dengan penembusan besar pada Operasi Kobra.

Kemenangan Sekutu di Normandia kemudian dilanjuti dengan usaha untuk menguasai perbatasan Perancis, dan Jerman terpaksa mengirim pasukan dan sumber daya dari Front Timur dan Italia untuk membantu pasukan mereka di front baru ini.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

1945: Runtuhnya Kekuasaan Nazi Jerman

Pada akhir bulan april 1945, ibukota Jerman yaitu Berlin sudah dikepung oleh Uni Soviet dan pada tanggal 1 Mei 1945, Adolf Hitler bunuh diri dengan cara menembak kepalanya sendiri bersama dengan istrinya Eva Braun didalam bunkernya, sehari sebelumnya Adolf Hitler menikahi Eva Braun, dan setelah mati memerintah pengawalnya untuk membakar mayatnya. Setelah menyalami setiap anggotanya yang masih setia. Pada tanggal 2 Mei, Karl Dönitz diangkat menjadi pemimpin menggantikan Adolf Hitler dan menyatakan Berlin menyerah pada tanggal itu juga. Disusul Pasukan Jerman di Italia yang menyerah pada tanggal 2 juga. Pasukan Jerman di wilayah Jerman Utara, Denmark dan Belanda menyerah tanggal 4. Sisa pasukan Jerman dibawah pimpinan Alfred Jodl menyerah tanggal 7 mei di Rheims, Perancis. Tanggal 8 Mei, penduduk di negara-negara sekutu merayakan hari kemenangan, tetapi Uni Soviet merayakan hari kemenangan pada tanggal 9 Mei dengan tujuan politik.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Operasi Bagration

Pada Perang Dunia II, Operasi Bagration adalah serangan umum oleh tentara Soviet untuk mengusir tentara Nazi dari Belarusia yang menyebabkan hancurnya Satuan Tentara Tengah Jerman dan mungkin merupakan kekalahan Wehrmacht yang terbesar selama Perang Dunia II.

Satuan Tentara Tengah terbukti sulit untuk dihancurkan sebagaimana ditunjukkan oleh kekalahan Zhukov dalam operasi Mars. Tetapi pada bulan Juni 1944, situasinya berbeda karena meskipun garis depannya telah diperpendek, Satuan ini jadi terbuka setelah hancurnya Satuan Tentara Selatan pada pertempuran-pertempuran yang terjadi sesudah Pertempuran Kursk, Pembebasan Kiev dan Pembebasan Krimea pada akhir musim panas dan berlanjut sampai musim gugur dan musim dingin 1943 - 1944 yang kemudian dinamakan periode ketiga Perang Patriotik Besar.

Operasi Bagration, digabung dengan Operasi Lvov-Sandomierz yang dimulai beberapa minggu kemudian di Ukraine, menyebabkan Uni Soviet menguasai kembali praktis semua wilayahnya berdasarkan perbatasan tahun 1941, bergerak ke wilayah Jerman di Prusia Timur, dan mencapai pinggiran Warsawa setelah menguasai wilayah Polandia di timur sungai Vistula.

Pertempuran ini digambarkan sebagai kemenangan teori "seni operasi" Soviet - yaitu koordinasi total antara semua gerakan di garis depan dan lalu lintas sinyal untuk menipu musuh mengenai arah serangan yang sebenarnya. Meskipun satuan yang terlibat sangat banyak, para komandan garis depan Soviet membuat musuh mereka bingung tentang poros serangannya hingga pihak Jerman sangat terlambat untuk memperbaiki keadaan.

Serangan

Serangan ini dimulai pada pagi tanggal 22 Juni 1944, tepat tiga tahun setelah serangan Jerman ke Uni Soviet. Namun Panglima Tertinggi Angkatan Perang (OKW) telah memperkirakan serangan terhadap Satuan Tentara Selatan, yang sudah sangat lemah dan dipukul mundur dari sebagian besar Ukraina, dan karena itu mendapatkan bantuan persenjataan dari Satuan Militer Tengah sesaat sebelum serangan.

Operasi Bagration mempertarungkan 1.700.000 tentara Soviet yang terbagi dalam 200 divisi dengan 6000 tank dan artileri melawan 34 divisi Jerman dari Satuan Tentara Tengah. Hasilnya adalah hampir 350.000 tentara Jerman terbunuh atau tertawan.

Operasi Lvov-Sandomierz yang berlangsung tidak begitu jauh dari Operasi Bagration dimulai pada tanggal 17 Juli 1944, dengan cepat memukul mundur tentara Jerman di Ukraina. Serangan yang sangat cepat membawa pasukan Soviet ke gerbang Warsawa pada akhir Juli. Operasi Bagration juga memotong dan mengisolasi unit Jerman dari Satuan Tentara Utara yang bertempur di Courland. Operasi ini membantu Soviet bergerak ke Balkan pada bulan Agustus 1944.

Operasi ini dihentikan hanya setelah garis pasokan Soviet terancam karena terlalu banyak dikerahkan, begitu hebatnya sesuai dengan kemenangan mereka. Namun, masih tetap muncul pertikaian tentang keputusan pasukan Soviet untuk menawarkan bantuan yang terbatas - dan terlambat - kepada Pasukan Polandia dalam Pemberontakan Warsawa yang mulai tepat ketika pasukan-pasukan Soviet mencapai perbatasan timur kota itu.

Yang ikut menyebabkan kekalahan Jerman adalah pemindahan unit-unitnya untuk menghadapi invasi Normandia dua minggu sebelumnya. Karenanya, empat "Front" (satuan militer) Soviet dengan jumlah keseluruhan lebih dari 120 divisi menghantam garis pertahanan Jerman yang dipertahankan oleh sedikit pasukan. Soviet memperoleh rasio sepuluh banding satu untuk tank dan tujuh banding satu untuk pesawat dibandingkan musuhnya. Kelebihan Soviet dalam hal jumlah dan kualitas menyebabkan Jerman kewalahan. Pertahanan Jerman berantakan.

Ibukota Belorusia, Minsk, direbut pada tanggal 3 Juli, memerangkap 50.000 tentara Jerman. Sepuluh hari kemudian Tentara Merah mencapai perbatasan Polandia pada masa sebelum perang. Hancurnya Satuan Tentara Tengah membuat Jerman kehilangan 2.000 tank dan 57.000 kendaraan lainnya. Korban di pihak Jerman diperkirakan 300.000 meninggal, 250.000 terluka, dan sekitar 120.000 tertawan; korban keseluruhan 670.000 orang. Korban di pihak Soviet adalah 60.000 terbunuh, 110.000 terluka, dan sekitar 8.000 hilang. Selain itu Soviet juga kehilangan 2.957 tank, 2.447 artileri, dan 822 pesawat.

Setelah pertempuran

Dibandingkan pertempuran lainnya, pertempuran ini adalah kemenangan terbesar Soviet dalam hal jumlah, karena menyebabkan 4 kali lipat korban di pihak Jerman dan berhasil menguasai kembali wilayahnya dalam jangka waktu 2 bulan. Ini adalah satu dari sedikit pertempuran dimana Jerman kehilangan lebih banyak tentara dibandingkan Soviet.

Tentara Jerman tidak pernah pulih dari kehilangan material dan pasukan yang dideritanya kali ini setelah kehilangan seperempat dari tentaranya di Front Timur, sama dengan persentase kehilangan di Stalingrad.

Nama operasi ini diambil dari nama Jenderal Petr Bagration, yang gugur pada Pertempuran Borodino.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang Indochina Pertama

Perang Indochina Pertama (juga disebut Perang Indochina Perancis, Perang Perancis-Vietnam, Perang Indochina adalah pertempuran yang terjadi di Perancis Indochina antara tahun 19 Desember 1946 sampai 1 Agustus 1954 antara Perancis yang dibantu oleh Vietnam Selatan melawan Viet Minh, dipimpin oleh Ho Chi Minh dan Vo Nguyen Giap. Kebanyakan pertempuran terjadi di Tonkin, Vietnam Utara, walaupun konflik ini menyerang seluruh negera dan juga menyerang Laos dan Kamboja.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang India-Pakistan 1947

Perang India-Pakistan 1947, kadang-kadang disebut sebagai Perang Kashmir Pertama, adalah perang yang terjadi antara India dan Pakistan terhadap wilayah Kashmir dari tahun 1947 sampai 1948. Perang ini merupakan perang pertama dari empat perang yang terjadi antara India dan Pakistan. Akibat perang ini masih mempengaruhi geopolitik kedua negara.

Latar belakang

Kashmir mulai didiami oleh kasta Brahma pada saat agama Budha diperkenalkan oleh para misionaris Asoka pada tahun 274 sebelum masehi. Pada abad ke-7 daerah ini dipimpin oleh dinasti Karkota. Kemudian diteruskan oleh dinasti Utpalas, Tantrins, Yaskaras dan Parva Gupta. Pada tahun 1001 tentara Muslim menyerang Kashmir tapi tidak pernah dapat menguasainya. Ratu Didda dari dinasti Gupta memerintah Kashmir di tahun 1003 ketika dinasti Lohara mengambil alih pemerintahan. Raja Hindu yang terakhir, Udiana Deva, diganti oleh Shams-ud-Din di tahun 1346, yang mana dinastinya memerintah hingga tahun 1586 ketika bangsa Mughul (turunan Persia-Mongol) Kaisar Akbar menaklukan Kashmir dan memperkuat pengaruh Muslim disana. Akbar adalah cucu dari Babur, yang telah mengembangkan dinasti Muslim paling berpengaruh di India (di tahun 1526). Akbar mentoleransi kehidupan antar agama dan menikahi seorang putri Hindu. (cucu Akbar, Shah Jahn adalah yang membangun Taj Mahal.)

Di tahun 1752 pemimpin Afghanistan yang bernama Ahmed Shah Durrani mengalahkan pasukan Mughal dan menguasai Kashmir. Perselisihan antara Muslim dan Hindu pecah, menciptakan situasi yang tidak kunjung reda dan bibit konflik di Kashmir hingga saat ini .

Di tahun 1819 Sikh Ranjit Singh menguasai Kashmir, tetapi akibat kerapuhan pemerintahannya maka kekaisarannya hancur dan jatuh ketangan Inggris pada saat Inggris mengambilalih Punjab di tahun 1846. Kashmir kemudian dijual kepada Maharaja Ghulab Singh (yang menobatkan dirinya sendiri) dari Jammu seharga 7.5 juta Rupee (sekitar US$ 166) dibawah Perjanjian Amritsar. Ghulab Singh juga menguasai Ladakh, Zanskar, Gilgit dan Baltistan dibawah kontrolnya. Dilanjutkan oleh para penerus Maharajah, yang ditandai dengan beberapa pemberontakan oleh rakyat Kashmir, yang sebagian besar saat ini adalah Muslim. Di tahun 1889 Maharajah Pratap Singh kehilangan kekuasaan administratif atas Kashmir akibat memburuknya kondisi pada daerah perbatasan. Inggris kemudian mengembalikan kekuasaan penuh kepada Dogra untuk memerintah di tahun 1921.

Sementara itu di India, pergerakan kemerdekaan semakin mendapatkan kekuatan dibawah kepemimpinan Mohandas Karamchand Gandhi. (Orang India menamakannya "Mahatma" yang berarti "Jiwa yang besar"). Seruan kemerdekaan segera menggema didaerah-daerah yang dikuasai para raja, terutama di Kashmir. Setelah sebuah pemberontakan masal terhadap Hari Singh di tahun 1931, Sheikh Mohammad Abdullah mendirikan partai politik pertama di Kashmir, Kongres Persatuan Muslim Jammu & Kashmir di tahun 1932. Di tahun 1934 Maharajah mengijinkan dan memberikan demokrasi yang terbatas dalam bentuk sebuah Dewan Legislatif . Pimpinan Muslim tertinggi di lembah Kashmir, Mirwaiz Maulvi Yusuf Shah, bergabung dalam Kongres, tetapi kemudian setelah nampaknya mendapatkan tunjangan bulanan dari Maharajah, Sheikh Abdullah beralih dari Kongres Muslim dan membentuk Kongres Nasional yang sekular di tahun 1939, terdiri dari golongan Hindu, Muslim dan Sikh.

Di tahun 1947, Mahatma Ghandi memimpin bangsa India untuk merdeka dari penjajahan Inggris dengan perjuangan yang gigih. Tapi perjuangan itu memang mahal sekali. Pada saat Gandhi memimpin pergerakan umat Hindu, Mohammed Ali Jinnah sedang berjuang bersama umat Muslim. Jinnah menuntut pemisahan India menjadi dua bagian: Muslim dan Hindu. Ketika Inggris angkat kaki dari India, Liga Muslim mendirikan negara Pakistan (berasal dari Propinsi Pakistan Barat) dan Banglades. Kerusuhan merebak ketika minoritas Muslim dan Hindu merasa terjebak di beberapa daerah, dan dalam waktu 1 minggu 1/2 juta manusia tewas. Gandhi yang renta bersumpah untuk berpuasa hingga kerusuhan berhenti, dan hal itu dilakukannya hingga membahayakan kesehatannya sendiri. Pada saat yang sama, Inggris kembali untuk membantu mengembalikan keadaan. Keadaan kembali aman, kecuali daerah Kashmir.

Selama masa pembagian India di tahun 1947, Jammu & Kashmir adalah salah satu dari 560 Princely States, yang bukan merupakan daerah teritori dibawah hukum Negara Inggris tetapi berada dibawah wewenang langsung Kerajaan Inggris. Hukum yang berlaku saat itu memberikan kebebasan untuk bergabung dengan India atau Pakistan, atau tetap berdiri sendiri. Pada tanggal 19 Juli 1947 Kongres Muslim memberikan keputusan resmi melawan India, yaitu tetap berdiri sendiri. Tetapi suara mereka tidak mewakili suara seluruh rakyat, terutama tidak adanya dukungan dari pihak Hindu. Pada tanggal 15 August sebagai batas akhirnya, Maharajah Hari Singh merasa berkeberatan, dan secara otomatis negara bagian Jammu & Kashmir menjadi berdiri sendiri..

Setelah itu , Jammu dan Kashmir telah terbagi menjadi 2 bagian, akibat terjadinya friksi antara Muslim dan Hindu. Maharajah yang merasa ngeri atas perang antar suku kemudian menyetujui untuk menggabungkan Kashmir kedalam India berdasarkan sebuah Perjanjian Asesi pada tanggal 26 Oktober 1947. Perjanjian Asesi inilah yang hingga kini masih merupakan isu perselisihan antara India dan Pakistan, yang mempersoalkan kesyahan dari perjanjian ini, dengan mrnunjuk bahwa India tidak pernah mengadakan referendum seperti yang direncanakan oleh Gubernur Jenderal India, Lord Mountbatten akan diadakan tanggal 27 Oktober 1947

Gerakan yang dilakukan oleh Mohammed Ali Jinnah, yang menjadi pendiri negara Pakistan, menambah kesengsaraan di daerah ini. Menurut otobiografi Sheikh Abdullah, ketika seorang aktifis National Conference, Ali Mohammad Tariq, bertanya kepada Jinnah sesaat setelah pembagian daratan India, apakah masa depan Kashmir akan diputuskan oleh rakyat Kashmir. Dia sangat terkejut atas jawaban Jinnah: "Biarkan mereka mati!." Pakistan memutus suplai komiditi penting seperti garam, bahan bakar ke Jammu & Kashmir; dan juga suplai surat berharga dan sejenis uang koin kepada Imperial Bank di Kashmir. Karena jalan yang menghubungkan antara Kashmir dan India berada di wilayah Pakistan, permasalahan menjadi semakin rumit akibat timbulnya protes dari Maharaja, yang sekarang menikmati dukungan Sheikh Abdullah untuk memimpin India.

Untuk mendukung gerakan Muslim mencapai kekuasaan di Pakistan, Jinnah mengijinkan sekelompok suku dari perbatasan propinsi Barat Laut untuk menggertak Kashmir. Selama tiga hari penduduk Kashmir menjadi korban perampasan masal, kerusuhan dan pemerkosaan, yang membuat India segera mengirimkan pasukannya ke Kashmir. Ketika pasukan India mendarat di lapangan terbang Srinagar (ibukota Kashmir) pada pukul 9.00 malam tanggal 27 Oktober 1947, Pakistan telah menguasai sepertiga daerah Kashmir, dan pertempuran dahsyat terjadi hingga tahun 1948. Gencatan senjata diadakan pada tanggal 1 January 1949 dengan membuat garis demarkasi di Jammu & Kashmir, yang memisahkan daerah: sebelah Timur (lembah Kashmir, Jammu dan Ladakh) dijaga oleh pasukan India, sebelah Barat (dikenal sebagai 'Azad [Bebas] Kashmir'), diawasi oleh Pakistan. Pasukan PBB hingga saat ini masih menjaga daerah persengkataan tersebut sejak tahun 1949.


-dipi-
 
Last edited:
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang Troya (1200 SM)

Perang Troya atau Perang Peloponesos, menurut legenda, adalah penyerbuan terhadap kota Troya yang terletak di Asia Kecil, oleh tentara Achaean (Yunani Mycenaean), yang terjadi setelah Paris menculik Helena dari suaminya Menelaus, raja Sparta. Perang ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam mitologi Yunani dan diceritakan di banyak karya sastra Yunani. Dua karya paling terkenal adalah Iliad dan Odyssey karya Homer. Iliad berhubungan dengan suatu bagian dari tahun terakhir pengepungan Troy, sedangkan Odyssey menceritakan perjalanan pulang Odysseus, salah seorang pemimpin Achaean. Bagian lain dari kisah ini diceritakan dalam suatu seri epik yang hanya tersisa dalam bentuk fragmen-fragmen. Episode dari perang ini menjadi bahan untuk kisah-kisah tragedi Yunani dan karya-karya sastra Yunani lainnya, dan juga untuk penyair Romawi seperti Virgil dan Ovid.

Kuda Troya

Pada Perang Troya, para prajurit Yunani bersembunyi di dalam Kuda Troya yang berukuran raksasa yang ditujukan sebagai pengabdian kepada Poseidon. Kuda Troya tersebut menurut para petinggi Troya dianggap tidak berbahaya, dan diizinkan masuk ke dalam benteng Troya yang tidak dapat ditembus oleh para prajurit Yunani selama kurang lebih 10 tahun perang Troya bergejolak. Pada malam harinya, pasukan Yunani keluar dari perut kuda kayu tersebut dan akhirnya merebut kota Troya.


-dipi-


Kalau tidak salah sejarah ini yg diperankan oleh Brad Pitt dalam film Troy, bukan?
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang Arab-Israel 1948

Perang Arab-Israel 1948, atau disebut juga sebagai "Perang Kemerdekaan" atau "Perang Pembebasan" oleh orang Israel, adalah konflik bersenjata pertama dari serangkaian konflik yang terjadi antara Israel dan tetangga-tetangga Arabnya dalam konflik Arab-Israel. Bagi orang-orang Palestina, perang ini menandai awal dari rangkaian kejadian yang disebut sebagai "Bencana" (Bahasa Inggris: "The Catastrophe").

Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan untuk membagi wilayah Mandat Britania atas Palestina. Tetapi hal ini ditentang keras oleh negara-negara Timur Tengah lainnya dan juga banyak negeri-negeri Muslim. Kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini. Sedangkan kota Yerusalem yang dianggap suci, tidak hanya oleh orang Yahudi tetapi juga orang Muslim dan Kristen, akan dijadikan kota internasional.

1948_arab_israeli_war_-_May15-June10.jpg


Israel diproklamasikan pada tanggal 14 Mei 1948 dan sehari kemudian langsung diserbu oleh tentara dari Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak dan negara Arab lainnya. Tetapi Israel bisa memenangkan peperangan ini dan malah merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayah daerah mandat PBB Britania Raya, Palestina. Perang ini menyebabkan banyak kaum Palestina mengungsi dari daerah Israel. Tetapi di sisi lain tidak kurang pula kaum Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab lainnya.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang Korea

Perang Korea, dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Perang ini juga disebut "perang yang dimandatkan" (bahasa Inggris proxy war) antara Amerika Serikat dan sekutu PBB-nya dan komunis Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet (juga anggota PBB). Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Sekutu utama Korea Selatan termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya, meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB.

Sekutu Korea Utara termasuk Republik Rakyat Tiongkok, yang menyediakan kekuatan militer, dan Uni Soviet yang menyediakan penasehat perang dan pilot pesawat, dan juga persenjataan, untuk pasukan China dan Korea Utara. Di Amerika Serikat konflik ini diistilahkan sebagai aksi polisi (police action) di bawah bendera PBB dari pada sebuah perang, dikarenakan untuk menghilangkan keperluan Kongres mengumumkan perang.

Latar belakang

Di Amerika Serikat, perang ini secara resmi dideskripsikan sebagai tindakan polisi (police action) karena tidak adanya deklarasi perang resmi dari Kongres AS. Dalam bahasa sehari-hari, perang ini juga sering disebut The Forgotten War ("perang yang terlupakan") dan The Unknown War ("perang yang tidak diketahui") karena dianggap sebagai urusan PBB, berakhir buntu (stalemate), sedikitnya korban dari pihak AS, dan kurang jelasnya isu-isu menjadi penyebab perang ini, bila dibandingkan dengan Perang Vietnam dan Perang Dunia ke-2.

Di Korea Selatan, perang ini biasa disebut sebagai Perang 6-2-5 (yuk-i-o jeonjaeng) yang mencerminkan tanggal dimulainya perang pada 25 Juni. Di Korea Utara, perang ini secara resmi disebut Choguk haebang chǒnjaeng ("perang pembebasan tanah air"). Perang ini juga disebut Chosǒn chǒnjaeng ("Perang Joseo", Joseon adalah sebutan Korea Utara untuk tanah Korea). Di Republik Rakyat Cina, perang ini secara resmi disebut Chao Xian Zhan Zheng (Perang Korea). kata "Chao Xian" merujuk ke Korea pada umumnya, dan secara resmi Korea Utara. Istilah Perang Korea juga dapat menyatakan pertempuran sebelum invasi maupun setelah gencatan senjata dilakukan.

Pendudukan Jepang (1910–1945)

Setelah mengalahkan Dinasti Qing Cina pada Perang Sino-Jepang Pertama (1894–96), Kekaisaran Jepang menduduki Kekaisaran Korea (1897–1910) yang dipimpin oleh Kaisar Gojong. Satu dekade kemudian, saat mengalahkan Kekaisaran Russia pada Perang Russo-Jepang (1904–05), Jepang menjadikan Korea sebagai protektorat-nya melalui Perjanjian Eulsa di tahun 1905, kemudian menganeksasinya melalui Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea di tahun 1910. Sejak saat itu banyak Nasionalis Korea dan kaum intelektual yang melarikan diri. Beberapa dari mereka membentuk Pemerintahan Sementara Korea, dipimpin oleh Syngman Rhee, di Shanghai pada tahun 1919, dan menjadi "pemerintahan di pengasingan" (government-in-exile) yang hanya diakui oleh sedikit negara. Pada tahun 1919 hingga 1925, komunis Korea memulai pemberontakannya terhadap Jepang.

Korea di bawah pendudukan Jepang dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang bersama dengan Taiwan, yang merupakan bagian dari Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya; pada tahun 1937, Gubernur-Jenderal koloni, Jenderal Minami Jiro, memerintahkan dilakukannya asimilasi budaya Jepang terhadap 23,5 juta penduduk koloni dengan melarang bahasa, literatur, dan budaya Korea, dan menggantinya dengan budaya Jepang, serta memerintahkan orang Korea mengganti nama mereka menjadi nama Jepang. Pada tahun 1938, pemerintahan kolonial menjalankan sistem kerja paksa; hingga 1939, 2,6 juta orang Korea bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja paksa; pada 1942, pria-pria di Korea dipaksa menjadi tentara Jepang.

Sementara itu di Cina, kelompok nasionalis Tentara Revolusi Nasional dan kelompok komunis Tentara Pembebasan Rakyat mengorganisir (sayap-kanan dan sayap-kiri) patriot Korea yang mengungsi. Kelompok Nasionalis yg dipimpin oleh Yi Pom-Sok bertempur di Pertempuran Burma (Desember 1941 — Agustus 1945). Kelompok komunis, yang dipimpin oleh Kim Il-sung, bertempur melawan Jepang di Korea.

Selama Perang Dunia II, tentara Jepang memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari Korea untuk tujuan perang. Tentara Jepang di Korea meningkat dari 46.000 (1941) ke 300.000 personel (1945). Tentara Jepang juga merekrut paksa 2,6 juta tenaga kerja yang dikontrol oleh Polisi kolaborasionis Korea; lebih dari 723.000 orang dikirim ke luar negeri dan juga ke kota-kota di Jepang. Pada Januari 1945, 32% tenaga kerja Jepang adalah orang Korea; pada Agustus 1945, ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima, 25% di antara mereka tewas. Namun, pendudukan Jepang di Korea dan Taiwan itu tidak diakui oleh negara kekuatan dunia di akhir perang.

Di tahun berikutnya, Amerika Serikat dan Soviet membuat perjanjian untuk membagi Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Korea saat itu diwakili oleh kolonel Tentara Amerika Serikat Dean Rusk dan Charles Bonesteel. Dua tahun sebelumnya, di Konferensi Kairo (November 1943), Nasionalis Cina, Britania Raya, dan Amerika Serikat memutuskan bahwa Korea harus menjadi negara merdeka, "pada waktunya"; Stallin pun setuju. Pada bulan Februari 1945, di Konferensi Yalta, Sekutu gagal mendirikan perwalian Korea sebagaimana diwacanakan pada tahun 1943 oleh presiden Amerika Serikat Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill.

Sesuai perjanjian AS-Soviet, Uni Soviet mendeklarasikan perang pembebasan Korea dari Jepang pada tanggal 9 Agustus 1945, dan, pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah berhasil menduduki Korea bagian utara, dengan pendaratan amfibi di bagian utara garis lintang 38 derajat (38th parallel). Rusia juga berhasil mengusir tentara Jepang dan masuk melalui Manchuria, Cina. Tiga minggu kemudian, pada 8 September 1945, Letnan Jendral John R. Hodge dari Amerika Serikat tiba di Incheon untuk menerima penyerahan Jepang di bagian Selatan garis lintang 38 derajat.

Pemisahan Korea (1945)

Pada Konferensi Postdam (Juli—Agustus 1945), Sekutu secara sepihak memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak Korea sendiri—Hal ini berkontradiksi dengan Konferensi Kairo (November 1943) di mana Churchill, Chiang Kai-shek, dan Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan bahwa Korea harus menjadi negara bebas dan merdeka. Selain itu, sebelumnya, Konferensi Yalta (February 1945) mengizinkan Stallin membangun "zona penyangga" Eropa—negara satelit yang berada di bawah Moskwa—sebagai balasan karena telah membantu Amerika Serikat di Perang Pasifik melawan Jepang.

Pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah menguasai bagian utara semenanjung Korea, sebagaimana yang telah disepakati, dan pada tanggal 26 Agustus berhenti di garis lintang 38 derajat selama 3 minggu untuk menunggu kedatangan pasukan Amerika Serikat di Selatan.

Pada hari itu juga, dengan semakin dekatnya jadwal menyerahnya Jepang (15 Agustus), Amerika Serikat ragu Uni Soviet akan mengakui peran mereka dalam "komisi bersama", perjanjian pendudukan Korea yang disponsori Amerika Serikat. Sebulan sebelumnya, untuk memenuhi persyaratan politico-militer Amerika Serikat, Kolonel Dean Rusk dan Kolonel Charles Bonesteel III membagi semenanjung Korea menjadi dua di garis lintang 38 derajad setelah dengan terburu-buru (tiga puluh menit) memutuskan bahwa Daerah Pendudukan AS di Korea harus setidaknya memiliki dua pelabuhan.

Menjelaskan mengapa zona demarkasi (garis lintang 38 derajat) terlalu selatan, Rusk mengatakan, "bahkan meskipun perbatasan itu lebih ke utara daripada yang dapat secara realistis dicapai oleh pasukan Amerika, dalam hal terjadi perselisihan Soviet ... kami merasa penting untuk menyertakan ibu kota Korea sebagai tanggung jawab pasukan Amerika," terutama ketika "dihadapkan dengan kurangnya jumlah pasukan AS yang tersedia, juga faktor ruang dan waktu, yang mengakibatkan sulitnya pasukan mencapai lebih jauh ke utara sebelum pasukan Soviet sampai terlebih dahulu.” Pasukan Soviet setuju dengan demarkasi itu.

Dengan berkuasanya pemerintahan militer, Jenderal John R. Hodge secara langsung mengontrol Korea Selatan melalui Pemerintahan Militer Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di Korea(USAMGIK 1945–48). Ia memperkuat kontrolnya dengan cara, pertama, mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang dan juga polisi kolabolatornya, kedua menolak pengakuan USAMGIK terhadap People's Republic of Korea (PRK) (August–September 1945)—pemerintahan sementara Korea yang mulai berkuasa di semenanjung Korea—karena dianggap sebagai komunis. Kebijakan AS, yang menolak pemerintahan populer di Korea, menimbulkan gejolak dalam masyarakat, dan mengakibatkan munculnya Perang sipil Korea. Pada 3 September 1945, Letnan Jendral Yoshio Kozuki, komandan, Tentara Area ke-17 Jepang, mengontak Hodge, mengatakan bahwa tentara soviet mulai bergerak ke arah selatan lintang 38 derajat di Kaesong. Hodge mempercayai keakuratan informasi itu.

Pada bulan Desember 1945, Korea di bawah Komisi Bersama AS-Uni Soviet menyetujui Konferensi Menteri Luar Negeri Moskwa (October 1945), lagi-lagi tanpa melibatkan pihak Korea. Komisi tersebut memutuskan bahwa negara tersebut akan merdeka setelah lima tahun di bawah kepemimpinan dewan perwalian. Rakyat Korea marah dan memulai revolusil di Selatan, beberapa hanya melakukan protes, sisanya mengangkat senjata; untuk menahannya, USAMGIK melarang protes (8 December 1945) dan mencabut perlindungan hukum terhadap Pemerintahan Revolusioner PRK dan Komite Rakyat PRK pada 12 Desember 1945.

Penindasan kedaulatan ini mengakibatkan 8.000 pekerja-kereta-api berunjuk rasa pada 23 September 1946 di Pusan, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Korea yang dikuasai AS; USAMGIK pun kehilangan kontrolnya. Pada 1 Oktober 1946, polisi Korea membunuh tiga mahasiswa di “Pemberontakan Daegu”; rakyat menyerang balik dan membunuh 38 polisi. Demikian juga pada tanggal 3 Oktober, sekitar 10.000 orang menyerang kantor polisi Yeongcheon, membunuh tiga anggota polisi dan melukai 40 orang lainnya; di tempat lain, massa membunuh 20 tuan tanah dan pejabat Korea Selatan yang pro-Jepang. USAMGIK mendeklarasikan hukum perang untuk mengontrok Korea Selatan.

Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang dipimpin oleh nasionalis [Syngman Rhee], menentang perwalian Soviet-Amerika di Korea, berpendapat bahwa setelah tiga uluh lima tahun (1910–45) pemerintah kolonial Jepang (pemerintah asing), rakyat korea menolak dipimpin pemerintahan asing lainnya, termasuk AS dan Soviet. Mendapatkan keuntungan dari memanasnya suhu perpolitikan, AS keluar dari Persetujuan Moskwa—dan membentuk pemerintahan sipil anti-komunis di Korea Selatan. AS juga melakukan pemilu yang kemudian ditentang, dan diboykot oleh Uni Soviet untuk memaksa AS mematuhi Persetujuan Moskwa.

Resultan pemerintah anti-komunis Korea Selatan yang mengumumkan secara resmi konstitusi politik nasional (17 July 1948) memilih Syngman Rhee (20 July 1948) sebagai presiden dan mendirikan Republik Korea Selatan pada 15 Agustus 1948. Demikian juga di Zona Okupasi Rusia, Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il-sung. Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengusir komunis dan anggota kelompok sayap kiri dari dunia perpolitikan nasional. Merasa dicabut haknya, mereka pergi ke daerah perbukitan dan bersiap melakukan perang gerilya melawan pemerintahan Republik Korea yang disokong oleh Amerika Serikat.

Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung, bermaksud menyatukan Korea, namun di bawah sistem politik yang dianut masing-masing pihak. Dengan persenjataan yang lebih baik, Korea Utara berhasil meningkatkan ketegangan di perbatasan, dan kemudian menyerang—setelah sebelumnya melakukan provokasi—sebaliknya Korea Selatan, dengan bantuan terbatas dari Amerika Serikat, tidak mampu menandinginya. Di awal era Perang Dingin ketika itu, pemerintah AS menganggap semua komunis—dari bangsa apapun—adalah anggota blok Komunis yang dikontrol atau setidaknya mendapat pengaruh dari pemerintahan Moskwa; akibatnya AS mengaggap perang sipil di Korea sebagai manuver hegemoni dari Uni Soviet.

Tentara AS mundur dari Korea tahun 1949 meninggalkan tentara Korea Selatan dengan sedikit persenjataan. Di lain pihak, Uni Soviet memberikan bantuan persenjataan dalam jumlah banyak ke tentara Korea Utara dan mendukung rencana invasi Kim Il-Sung.


bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Jalannya perang

Peran Joseph Stalin dan Mao Zedong

Professor Shen Zhihua, yang menggunakan dana pribadinya untuk membeli arsip-arsip Uni Soviet, banyak menemukan telegram-telegram antara Moskwa dengan Beijing sebelum perang dimulai. Berikut ini adalah ikhtisar singkat dari sejumlah telegram antara Mao dan Stalin.
  • Pada 1 Oktober 1950 Kim Il-sung mengirim telegram ke Cina, meminta intervensi militer. Pada hari yang sama, Mao Zedong menerima telegram Stalin, yang juga meminta Cina mengirim pasukan ke Korea.
  • Pada 5 Oktober 1950, di bawah tekanan Mao Zedong dan Peng Dehuai, Komite Pusat Komunis Cina memutuskan untuk melakukan intervensi militer di Korea.
  • Pada 11 Oktober 1950 Stalin dan Zhou Enlai mengirim telegram yang ditandatangani bersama kepada Mao, yang menyatakan:
    1. Tentara Cina yang dikirimkan kurang persiapan dan tidak dilengkapi tank dan artileri; dibutuhkan waktu dua bulan sebelum bantuan perlindungan udara (air cover) sampai di sana.
    2. Dalam jangka waktu satu bulan, tentara dengan perlengkapan memadai harus sudah siap di posisinya masing-masing; bila tidak, maka pasukan AS akan berjalan lebih jauh ke utara dan mengalahkan Korea Utara.
    3. Pasukan dengan perlengkapan yang memadai harus dikirim ke Korea dalam jangka waktu enam bulan, bila lebih, maka Korea Utara diperkirakan telah diduduki AS, sehingga bantuan tentara akan sia-sia.
  • Pada 12 Oktober 1950, pukul 15:30 waktu Beijing, Mao mengirim telegram kepada Stalin melalui duta besarnya: Saya setuju dengan keputusan Anda (Stalin dan Zhou).
  • Pada 12 Oktober 1950, pukul 22:12 waktu Beijing, Mao mengirim telegram lain: Saya setuju dengan telegram 10 Oktober, pasukan saya akan tetap di tempatnya, saya telah mengeluarkan perintah untuk menunda rencana ke Korea.
  • Pada 12 Oktober 1950, Stalin mengirim telegram ke Kim Il-sung, mengatakan: tentara Rusia dan Cina tidak akan datang.
  • Pada 13 Oktober, duta besar Rusia di Beijing mengirim telegram kepada Stalin, mengatakan: Mao Zedong telah memberitahu kepadanya bahwa Komite Pusat Komunis Cina telah menyetujui keputusan pengiriman pasukan ke Korea.
Korea Utara menyerang (Juni 1950)

Meskipun PBB menerima banyak pesan yang memberitahu bahwa Korea Utara akan melakukan invasi, PBB menolak semuanya. Sebelum perang, pada awal tahun 1950, perwira CIA stasiun Cina Douglas Mackiernan menerima ramalan intelejen Cina dan Korea Utara yang meramalkan bahwa tentara Korut akan menyerang ke Selatan.

Dengan alasan membalas provokasi Korea Selatan, Tentara Korea Utara (tentara Korut) menyebrangi 38 derajat lintang Utara, dibantu tembakan artileri, Minggu pagi tanggal 25 Juni 1950. tentara Korut mengatakan bahwa pasukan Republik Korea (ROK), di bawah pimpinan "bandit pengkhianat Syngman Rhee", telah menyebrangi perbatasan terlebih dahulu—dan mereka akan menngkap serta mengeksekusi Rhee. Pada tahun-tahun sebelumnya, kedua Korea telah saling menyerang satu sama lain, seperti dalam sebuah perang sipil.

Beberapa jam kemudian kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengecam invasi Korea Utara terhadap Republik Korea (ROK), dengan Resolusi 82 DK PBB, meskipun Uni Soviet dengan hak vetonya memboikot pertemuan sejak Januari—memprotes status Taiwan sebagai anggota tetap DK PBB. Pada 27 Juni 1950, Presiden Truman memerintahkan angkatan udara dan laut AS untuk membantu rezim Korea Selatan. Setelah memperdebatkan masalah ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950, menerbitkan Resolusi 83 yang merekomendasikan negara anggota memberikan bantuan militer kepada Republik Korea. Kebetulan, ketika menunggu pengumuman fait accompli dari dewan kepada PBB, Deputi Menteri Luar Negeri Uni Soviet menuduh Amerika memulai intervensi bersenjataatas nama Korea Selatan.

Uni Soviet menentang legitimasi perang tersebut, karena (i) data intelejen tentara Korea Selatan yang menjadi sumber Resolusi 83 didapatkan dari intelejen AS; (ii) Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) tidak diundang sebagai anggota sementara PBB, yang berarti melanggar Piagam PBB Pasal 32; dan (iii) perang Korea di luar lingkup Piagam PBB, karena perang perbatasan Utara-Selatan awalnya dianggap sebagai perang sipil. Selain itu, perwakilan Soviet memboikot PBB untuk mencegah tindakan Dewan Keamanan, dan menantang legitimasi tindakan PBB; ahli hukum mengatakan bahwa untuk memutuskan suatu tindakan diperlukan suara bulat dari 5 anggota tetap DK PBB.

Korea Utara memulai "Perang Pembebasan Tanah Air" dengan melakukan infasi darat-udara secara komprehensif dengan 231.000 tentara, yang berhasil menguasai objek dan wilayah sesuai dengan yang direncanakan seperti Kaesŏng, Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin, yang mereka dapatkan setelah mengerahkan 274 tank T-34-85, dan 150 pesawat tempur Yak, 110 pesawat pengebom, 200 artileri, 78 pesawat latihan Yak, dan 35 pesawat mata-mata.

Sebagai tambahan pasukan invasi, tentara Korut memiliki 114 pesawat tempur, 78 pesawat pengebom, 105 tank T-34-85, dan 30.000 pasukan yang berpangkalan di Korea Utara. Di laut, meskipun hanya terdiri dari beberapa kapal perang kecil, juga terjadi pertempuran yang cukup sengit antara keduanya.

Di pihak lain, tentara Korea Selatan tidak siap. Di South to the Naktong, North to the Yalu (1998), R.E. Applebaum melaporkan bahwa tentara Korea Selatan memiliki tingkat kesiapan tempur yang rendah pada 25 Juni 1950. Tentara Korea Selatan hanya memiliki 98.000 tentara (65.000 tentara tempur, 33.000 tentara penyokong), tidak memiliki tank, dan 22 pesawat yang terdiri dari 12 pesawat tipe penghubung dan 10 pesawat latihan AT6. Selain itu tidak ada pasukan asing yang berpangkalan di Korea saat itu—meskipun ada pangkalan AS di Jepang.

Dalam jangka waktu beberapa hari saja, banyak tentara Korea Selatan—yang kurang loyal terhadap rezim Syngman Rhee—lari ke selatan atau malah berkhianat dan bergabung dengan tentara Korea Utara.

Aksi Polisi: intervensi Amerika Serikat

Meskipun terjadi demobilisasi besar besaran pasca-Perang Dunia Dua di tubuh sekutu, ada sepasukan tentara AS di Jepang dengan jumlah yang cukup besar; di bawah pimpinan Jenderal MacArthur, mereka bisa melawan Korea Utara. Selain AS, di sana Inggris juga memiliki kekuatan tempur yang hampir sama besarnya.

Pada hari sabtu 24 Juni 1950, Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson memberi tahun Presiden Harry S. Truman melalui telepon, "Bapak Presiden, saya memiliki berita yang sangat serius. Korea Utara telah menyerang Korea Selatan." Truman dan Acheson mendiskusikan sebuah serangan balasan sebagai respon yang akan diambil AS dengan pimpinan departemen pertahanan, yang setuju bahwa Amerika Serikat harus mengusir agresi militer, lalu menghubungkannya dengan agresi Adolf Hitler di tahun 1930 (yang ketika itu didiamkan AS). Kesalahan seperti itu tidak boleh terulang. Presiden Truman mengakui bahwa pertempuran ini berkaitan dengan usaha Amerika mencegah komunisme yang semakin mengglobal:

"Komunisme sedang beraksi di Korea, sebagaimana yang dilakuan Hitler, Mussolini, dan Jepang lakukan sepuluh, lima belas, dan dua puluh tahun yang lalu. Saya merasa yakin bila Korea Selatan dibiarkan jatuh, pemimpin Komunis akan semakin melebarkan kekuasaannya hingga ke negara dekat pantai kita sendiri. Jika Komunis dibiarkan memaksakan kehendak mereka di Republik Korea tanpa perlawanan dari dunia yang bebas, negara-negara kecil lainnya akan kehilangan keberanian untuk melawan ancaman dan agresi dari tetangga Komunisnya yang lebih kuat."

Presiden Harry S. Truman mengumumkan bahwa AS akan melawan "agresi yang tidak diprovokasi" dan "bersemangat mendukung upaya [PBB] dewan keamanan untuk mengakhiri pelanggaran serius terhadap perdamaian. Pada bulan Agustus 1950, Presiden dan Sekretaris Negara dengan mudah membujuk Kongres mengegolkan $12 milyar untuk menambah anggaran militer di Asia yang penting untuk mencapai tujuan National Security Council Report 68 (NSC-68), penahanan global AS terhadap komunisme.

Atas rekomendasi Acheson, Presiden Truman memerintahkan Jenderal MacArthur mentransfer material kepada tentara Republik Korea dan memberikan perlindungan udara pada evakuasi warga negara Amerika Serikat. Namun Presiden menolak mengebom Korea Utara secara langsung. Selain itu, Presiden juga memerintahkan US Seventh Fleet untuk melindungi Taiwan, yang meminta untuk ikut bertempur di Korea. Namun presiden menolak permintaan itu dengan alasan dapat memancing kemarahan Cina.

Pertempuran Osan adalah pertempuran besar pertama antara AS dan Korea Utara di Perang Korea. Pada 5 Juli 1950, Task Force Smith menyerang Korea Utara di Osan, namun karena tidak membawa senjata yang mampu menghancurkan tank Korea Utara, mereka gagal, dengan total 180 orang tewas, terluka, atau tertangkap. Korea Utara maju ke Selatan, memaksa Divisi ke-24 AS mundur ke Taejeon, yang di kemudian hari juga berhasil dikuasai Korea Utara pada Pertempuran Taejon; Divisi ke-24 menderita 3.602 tewas atau terluka dan 2.962 ditangkap—termasuk komandan divisi Mayor Jendral William F. Dean. Di udara, Angkatan Udara Korea Utara menembak jatuh 18 pesawat tempur dan 29 pengebom AS; sementara AS hanya menjatuhkan 5 pesawat tempur Korea Utara.

Di bulan Agustus, Korea Utara berhasil menekan Korea Selatan dan tentara AS ke kota Pusan, di Tenggara Korea. Dalam serangan itu, Korea Utara menghabisi akademisi Korea Selatan dengan membunuh pegawai negeri dan kaum intelektual. Pada 20 Agustus, Jenderal MacArthur memperingatkan pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung bahwa ia bertanggung jawab terhadap kekejaman tentara Korea Utara. Hingga bulan September, tentara PBB hanya bisa mengontrol pinggiran kota Pusan, atau hanya 10% dari wilayah Korea.


Bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Eskalasi

Dalam keputusasaan di Pertempuran Perimeter Pusan (Agustus-September 1950), Angkatan Darat Amerika Serikat menahan serangan tentara Korut yang bermaksud memasuki kota. Namun tak lama kemudian, USAF dapat menghambat logistik tentara Korut dengan menghancurkan 32 jembatan. USAF juga menghancurkan depot logistik, penyulingan minyak, dan pelabuhan untuk menghambat pasokan material tentara Korut. Sebagai akibatnya, tentara Korut di semenanjung Selatan tidak bisa mendapatkan pasokan.

Di saat yang sama, garnisun AS di Jepang terus-menerus mengirim tentara dan bahan untuk memperkuat Perimeter Pusan. Batalion tank dikerahkan ke Korea dari San Francisco (di daratan Amerika Serikat); pada akhir Agustus, Perimeter Pusan memiliki sekitar 500 tank. Pada awal September 1950, tentara Republik Korea dan pasukan komando PBB menyerang balik 100.000 tentara Korut dengan 180.000 pasukan.

Pertempuran Incheon

Keadaan di Pusan Perimeter telah berbalik; tentara Korut mulai kekurangan orang dan pasokan (supply) sementara di sisi Republik Korea pasukan telah mendapatkan tambahan senjata dan amunisi. Untuk membantu pertahanan di Perimeter Pusan, UN CIC Jenderal MacArthur merekomendasikan sebuah pendaratan amfibi di Incheon, di belakang garis pertahanan Korut. Pada 6 Juli, ia memerintahkan Mayor Jenderal Hobart Gay, komandan Divisi Kavaleri pertama, untuk merencanakan pendaratan amfibi tersebut pada 12—14 Juli, Divisi Kavaleri pertama berangkat dari Yokohama untuk membantu Divisi Invantri ke-24.

Operasi yang disebut sebagai Operasi Chromite ini dilaksanakan saat gelombang ombak mengganas. Jenderal McArthur telah lama merencanakan penyerbuan ini, namun Pentagon selalu mencegahnya. Ketika mendapatkan otoritas, ia mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 70.000 infantri Divisi Marinir Pertama, Divisi Infantri ke-7, dan 8.600 tentara Republik Korea. Pada tanggal hari-h tanggal 15 September, tim penyerang menghadapi sedikit—namun kuat—tentara Korut; intelejen militer, operasi psikologi, pengintaian, dan pengeboman turut berperan dalam operasi ini. Pengeboman itu sendiri menghancurkan sebagian besar kota Incheon.

Pendaratan Incheon memungkinkan Divisi Kavaleri Pertama untuk mulai menyerang ke bagian utara. Mereka maju 106.4 mil ke dalam wilayah musuh dan kemudian bergabung dengan Divisi Infantri Ke-7 di Osan. Perlahan-lahan mereka menghabisi tentara Korut, dan mengepung yang masih tersisa di wilayah Korea Selatan;[8] dengan cepat, Jenderal MacArthur merebut kembali Seoul; namun tentara Korut yang nyaris terkepung berhasil kabur ke Utara dengan hanya 25.000 hinga 30.000 pasukan tersisa.

Serangan PBB: Invasi ke Korea Utara (September–Oktober 1950)

Pada tanggal 1 Oktober 1950, Komando PBB mendorong tentara Korut hingga ke Utara, melewati paralel ke-38, Republik Korea kemudian mengejar mereka masuk ke wilayah Korea Utara. Enam hari kemudian, pada 7 Oktober, dengan otorisasi dari PBB, pasukan Komando PBB mengikuti pasukan Republik Korea menyerang ke wilayah Utara. Angkatan Darat AS kedepalam dan tentara Republik Korea menyerang ke bagian Barat Korea, dan berhasil merebut Pyongyang, ibukota Korea Utara, pada 19 Oktober 1950. Di akhir bulan, pasukan PBB menahan 135,000 tawanan perang; dan mereka melihat adanya perpecahan di tentara Korea Utara.

Jenderal MacArthur dan beberapa politisi Amerika sempat mengusulkan untuk menyerang Komunis Cina untuk menghancurkan depot Tentara Rakyat China yang memasok kebutuhan perang Korea Utara, namun Presiden Truman tidak setuju, dan memerintahkan Jenderal MacArthur tidak melewati perbatasan Sino-Korea.

Intervensi Cina

Pada 27 Juni 1950, dua hari setelah invasi terhadap Korut dan tiga bulan sebelum intervensi Cina untuk Perang Korea, Presiden Truman mengirimkan Armada 7 AS ke Selat Taiwan, untuk melindungi Republik Nasionalis Cina dari ancaman Republik Rakyat China (RRC). Tanggal 4 Agustus 1950, Mao Zedong melapor kepada Politbiro bahwa ia akan melakukan intervensi bila Tentara Relawan Rakyat (PVA) sudah siap untuk dimobilisasi. Pada 20 Agustus 1950, Perdana Menteri Zhou Enlai menginformasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa "Korea adalah tetangga Cina... Rakyat Cina harus terlibat mencari solusi untuk masalah Korea "-dengan demikian, melalui diplomat dari negara netral, Cina memperingatkan AS, bahwa dalam menjaga keamanan nasional Cina, mereka akan melakukan intervensi terhadap Komando PBB di Korea. Presiden Truman menafsirkan pesan ini sebagai "sebuah usaha untuk pemerasan terhadap PBB", dan mengabaikannya. Politbiro mengizinkan intervensi Cina di Korea pada tanggal 2 Oktober 1950-sehari setelah tentara Republik Korea menyeberangi perbatasan 38-paralel. Kemudian, Cina mengklaim bahwa pesawat-pesawat pembom AS telah melanggar wilayah udara nasional RRC dalam perjalanannya menuju Korea Utara-sebelum Cina melakukan invervensi di Korea Utara.

Pada bulan September, di Moskow, Perdana Menteri RRC Zhou Enlai menambahkan tekanan diplomatik dan personal dalam telegram Mao kepada Stalin, meminta bantuan militer dan material. Stalin menundanya; Mao dijadwalkan kembali meluncurkan "Perang Melawan Bala Bantuan Amerika dan Korea" dari 13 ke 19 Oktober 1950. Uni Soviet hanya mau memberikan bantuan serangan udara di bagian Utara Sungai Yalu. Namun Mao menganggap bantuan itu tidak berguna karena pertempuran lebih banyak terjadi di sisi Selatan sungai tersebut. Soviet juga membatasi bantuannya dan hanya mau mengirimkan material berupa truk, senjata mesin, granat, dan sejenisnya.

Pada 8 Oktober 1950, sehari setelah tentara AS menyebrang ke wilayah Korea Utara, Mao Zedong memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat Frontier Barat Laut direorganisasi ke dalam People's Volunteer Army (PVA), yang sedang bertempur dalam "Perang Melawan Amerika dan Membantu Korea." Mao menjelaskan kepada Stalin: "Bila kita membiarkan Amerika Serikat menduduki seluruh Korea, kekuatan revolusioner Korea akan mendapatkan kekalahan telak, penjajah Amerika akan merajalela dan memberikan efek negatif terhadap seluruh Timur Jauh."

Pengintaian udara AS mengalami kesulitan menemukan unit PVA di siang hari karena disiplin yang mereka miliki. PVA bergerak dari "malam-ke-malam" (19.00-03.00) dan membuat kamuflase agar tak terlihat dari udara pada jam 05.30. Di siang hari, mereka mengirim tim untuk mencari lokasi istirahat dan mendirikan bivak. Bila pesawat melintas, mereka diharuskan untuk diam tak bergerak hingga pesawat tersebut menghilang. Perwira PVA diperbolehkan menembak pasukannya yang dianggap dapat mengancam keamanan pasukan. Disiplin yang keras seperti itu membuat tiga divisi pasukan berjalan sejauh 286 mil (460 km) dari An-tung, Manchuria, ke medan pertempuran dalam 19 hari; divisi lain yang melewati daerah pegunungan berliku mampu berjalan rata 18 mil (29 km) setiap harinya selama 18 hari.

Pada 10 Oktober 1950, Batalion Tank ke-89 digabungkan dengan Divisi Kavaleri Pertama, menambah jumlah kendaraan baja yang tersedia untuk menyerang ke Utara. Pada 15 Oktober, setelah menghadapi perlawanan Korut, Resimen Kavaleri ke-7 dan Charilie Company, Batalion Tank ke-70 berhasil menguasai kota Namchonjam. Pada 17 Oktober, mereka menyerang lewat arah kanan, menjauhi jalan utama, untuk menguasai Hwangju. Dua hari kemudian, Divisi Pertama Kavaleri menguasai Pyongyang, ibu kota Korea Utara, sehingga pada 19 Oktober 1950 tentara AS sepenuhnya menguasai Korea Utara.

Di tempat lain, 15 Oktober 1950, Presiden Truman dan Jen. MacArthur bertemu di Wake Island di tengah Samudera Pasifik. Kepada Presiden Truman, Jen. MacArthur berspekulasi bahwa kecil risiko China akan mengintervensi di Korea; bahwa kesempatan tentara China membantu Korut telah hilang; bahwa China memiliki 300.000 tentara di Manchuria, dan sekitar 100.000-125.000 tentara di Sungai Yalu; dan menyimpulkan bahwa meskipun setengah dari seluruh tentara menyebrang ke Selatan, mereka dapat dengan mudah dihancurkan karena tidak memiliki perlindungan udara.

Setelah menghadapi dua pertempuran kecil pada 25 Oktober, pertempuran besar pertama antara China-Amerika terjadi pada 1 November 1950; jauh di wilayah Korea Utara, ribuan tentara China mengepung dan menyerang unit Komando PBB dalam Pertempuran Unsan. Di Barat, akhir November, di sepanjang Sungai Chongchon, tentara China menyerang dan mengalahkan beberapa divisi Korea Selatan, dan menghabisi tentara PBB yang tersisa. Pasukan PBB dan tentara ke-8 AS berhasil bergerak mundur karena mendapat dukungan Brigade Turki yang menahan serangan China selama 4 hari (26-30 November). Di Timur, pada Pertempuran Chosin Reservoir , dan Regimental Combat Team Divisi Infantri ke-7 (3000 tentara) dan divisi marinir (12.000—15.000 marinir) juga mundur setelah dikepung, dengan total tewas secara keseluruhan 15.000 orang.

Awalnya, infantri tentara China di garis depan tidak memiliki persenjataan berat maupun crew-served light infantry weapons, namun dengan cepat mereka menutupi kelemahan yang mereka miliki; dalam How Wars Are Won: The 13 Rules of War from Ancient Greece to the War on Terror (2003), Bevin Alexander melaporkan:

Metodenya adalah dengan menggabungkan unit-unit peleton yang terdiri dari 50 orang ke dalam kompi yang berisi 200 orang, yang kemudian dibagi lagi menjadi beberapa unit kecil. Satu tim memotong jalan lari tentara Amerika, yang lainnya menyerang baik dari arah depan maupun samping secara bersamaan. Penyerangan berlanjut dari segala arah hingga pasukan musuh dihancurkan atau terpaksa kabur.

Dalamn South to the Naktong, North to the Yalu, R.E. Appleman menggambarkan taktik menyerang tentara China:

Dalam Serangan Fase Pertama, tentara infantri ringan menjalankan taktik penyerangan, umumnya tidak membawa senjata yang lebih besar dari mortar. Serangan mereka menggambarkan betapa pasukan China sangat terlatih, disiplin, dan sangat ahli dalam penyerangan di malam hari. Mereka ahli dalam seni kamuflase. Unit patroli ahli dalam menemukan poisi musuh. Mereka merencanakan serangan mereka dari sisi belakang musuh, memotong jalur lari dan suplai mereka, kemudian menyerang dari depan dan samping untuk mengendapkan pertempuran. Mereka juga melakukan taktik yang mereka sebut sebagai hachi Shiki, di mana mereka membentuk formasi-V dan membiarkan musuh masuk ke formasi itu, kemudian memerintahkan pasukan lain menunggu di formasi V untuk mencegat pasukan musuh lainnya yang berusaha menyelamatkan pasukan yang sedang terkepung. Taktik ini berhasil di Onjong, Unsan, dan Ch'osan, namun tidak sepenuhnya berhasil di Pakch'on dan Ch'ongch'on.

Di akhir November, tentara China berhasil mengusir pasukan Komando PBB dari timur laut Korea Utara, hingga melewati perbatasan parallel ke-38. Pasukan PBB lari ke pantai timur dan membangun pertahanan di kota pelabuhan Hungnam—dan menunggu bantuan di sana. Pada Desember 1950, 193 kapal yang membawa 105.000 tentara, 98.000 penduduk sipil, 17.500 kendaraan, dan 350.000 ton suplai tiba di Pusan, di bagian selatan tanjung korea. Sebelum kabur, pasukan Komando melakukan operasi untuk menghambat pergerakan pasukan musuh dengan menghancurkan sebagian besar kota Hungam dan, pada 16 Desember 1950, Presiden Truman mendeklarasikan keadaan darurat nasional (national emergency) melalui Presidential Proclamation No. 2914, 3 C.F.R. 99 (1953), yang berlaku hingga 14 September 1978.


bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Penyerangan Musim Dingin China (awal 1951)

Pada bulan Januari 1951, tentara China dan Korut melaksanakan Penyerangan Fase Ketiga (atau dikenal pula dengan sebutan "Penyerangan Musim Dingin China") menggunakan taktik serangan malam di mana tentara PBB secara diam-diam dikepung kemudian diserang tiba-tiba. Penyerangan itu juga didukung oleh bunyi-bunyi trompet dan gong dengan tujuan sebagai alat komunikasi kepada pasukan yang menyerang sekaligus membuat pasukan musuh mengalami disorientasi secara mental. Pasukan PBB tidak memiliki pengalaman menghadapi taktik seperti ini dan sebagai hasilnya beberapa pasukan langsung lari meninggalkan persenjataannya ke arah Selatan. Penyerangan Musim Dingin China ini berhasil membuat pasukan PBB kewalahan. Tentara China dan Korut berhasil menguasai Seoul pada 4 Januari 1951.

Selain kekalahan itu, tentara AS juga mengalami pukulan telak setelah Jendral Walker tewas akibat kecelakaan mobil, yang membuat moral pasukan menurun. Kejadian ini hampir memaksa Jendral MacArthur menggunakan bom atom untuk menyerang China dan Korut serta memotong jalur suplai mereka. Namun, pengganti Walker, Letnan-Jendral Matthew Ridgway, moral pasukan kembali meningkat.

Pasukan PBB di bagian Barat mundur ke Suwon, di bagian Tengah mundur ke Wonju, di bagian timur mundur ke Samchok, di mana garis depan distabilisasi dan dipertahankan. Tentara China mulai kehabisan logistik dan terpaksa membatalkan rencananya menyerang lebih jauh; makanan, amunisi, dan material dibawa di malam hari, dengan berjalan kaki atau sepeda, melewati Sungai Yalu. Pada akhir Januari, setelah menemukan bahwa musuh telah meninggalkan garis pertempuran, Jendral Ridgway memerintahkan operasi mata-mata yang dikenal sebagai Operasi Roundup (5 February 1951) yang berlangsung secara bertahap sambil mempertahankan superioritas udara tentara PBB. Operasi ini sukses dan mengakibatkan tentara PBB mampu mencapai Sungai Han dan menguasai Wonju. Pada pertengahan Februari, tentara China menyerang balik dengan Penyerangan Fase Keempat, yang dilancarkan dari Hoengsong menghadapi tentara AS di Chipyong-ni, di bagian tengah. Tentara AS dan Tentara Perancis berjuang menghadapi serangan itu dalam sebuah pertempuran singkat namun cukup menghambat efektifitas serangan China.

Pada tanggal 11 April 1951, Commander-in-Chief Truman membebastugaskan Jendral MacArthur, Panglima Tertinggi di Korea, karena dianggap melakukan pembangkangan dan menunjuk Ridgway Jendral untuk menggantikannya. Serangan-serangan berikutnya , antara lain operasi Courageous (23-28 Maret 1951) dan Tomahawk (23 Maret 1951), berhasil mendorong mundur tentara China dan Korut. Tentara PBB maju ke "Garis Kansas", bagian Utara parallel ke-38.

China melakukan serangan balasan pada bulan April 1951, dengan Penyerangan Fase Kelima (dikenal pula sebagai "Penyerangan Musim Semi China") dengan tiga tentara lapangan (field army) (sekitar 700.000 orang)[8] Serangan utama terjadi di Sungai Imjin (22-25 April 1951) dan Kapyong (22-25 April 1951), yang dipertahankan mati-matian oleh tentara AS dan menumpulkan daya dorong Penyerangan Fase Kelima dan akhirnya berenti di No-name Line di Utara Seoul. Pada tanggal 15 Mei 1951, tentara China di timur menyerang Tentara Republik Korea dan Amerika Serikat, namun berhasil dihentikan tanggal 20 Mei. Pada akhir bulan, Angkatan Darat Amerika Serikat melakukan serangan balasan dan merebut kembali "Line Kansas", tepat di bagian Utara paralel 38. PBB kemudian menghentikan serangan dan bertahan di sana, mengakibatkan keadaan stalemate hingga gencatan senjata tahun 1953.

Gencatan senjata (Juli 1951—Juli 1953)

Pada tahun-tahun berikutnya, tentara PBB dan China tetap berperang, namun perubahan wilayah kekuasaan tidak banyak berubah dan terjadi kebuntuan (stalemate). Sementara pengeboman wilayah Korea Utara terus berlangsung, perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 10 Juli 1951 di Kaesong. Pertempuran juga terus berlangsung meskipun perundingan tengah berjalan; tujuan Korsel-PBB adalah untuk merebut kembali seluruh Korea Selatan dan menghindari kehilangan wilayah. Tentara China dan Korut juga melakukan operasi serupa serta melakukan operasi-operasi psikologikal. Pertempuran-pertempuran utama dalam fase ini antar alain Pertempuran Bloody Ridge(18 Agustus—15 September 1951) dan Pertempuran Heartbreak Ridge (13 September—15 Oktober 1951), Pertempuran Old Baldy (26 Juni—4 Agustus 1952), Pertempuran White Horse (6–15 Oktober 1952), Pertempuran Triangle Hill (14 Oktober—25 November 1952), dan Pertempuran Hill Eerie(21 Maret—21 Juni 1952), pengepungan Outpost Harry (10—18 Juni 1953), Pertempuran Hook (28—29 Mei 1953), dan Pertempuran Pork Chop Hill (23 Maret—16 Juli 1953).

Negosiasi gencatan senjata berlanjut selama dua tahun; di Kaesone (Korea Utara bagian Selatan), kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea). Problem utama dari negosiasi ketika itu adalah repatriasi tawanan perang. China, Korea Utara, dan tentara PBB tidak bisa membuat kesepakatan karena banyak tentara China dan Korea Utara yang menolak kembali ke Utara. Dalam perjanjian gencatan senjata terakhir, sebuah Komisi Repatriasi Negara-Negara Netral dibentuk untuk mengurusi masalah tersebut.

Pada tahun 1952, AS memilih presiden baru, dan pada tanggal 29 November 1952, presiden terpilih Dwight D. Eisenhower terbang ke Korea untuk mempelajari hal-hal yang mungkin dapat mengakhiri perang Korea. Pada 27 Juli 1953, proposal gencatan senjata dari India disetujui oleh Korea Utara, China, dan tentara PBB sehingga mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan batas di paralel ke-38. Dalam persetujuan tersebut tertulis bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan sebuaeh Zona Demiliterisasi Korea. Tentara PBB, yang didukung oleh Amerika Serikat, Korea Utara, dan China menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata; Presiden Korea Selatan Syngman Rhee menolak untuk menandatangani perjanjian itu, karenanya Republik Korea dianggap tidak berpartisipasi dalam perjanjian tersebut.

Akhir perang

Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Seungman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun secara resmi, perang ini belum berakhir sampai dengan saat ini.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

Perang Enam Hari

Perang Enam Hari, juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.

Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.

Latar belakang

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.

Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat", dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pengangkut Air Nasional Israel

Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana Pengalihan Air". Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.

Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.

Israel dan Yordania: Peristiwa Samu

Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania. Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah".

Dalam "Operasi Shredder", operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.

Pasukan yang lebih besar, delapan tank Centurion diikuti dengan 400 pasukan lintas udara yang dimuatkan kedalam 40 truk dan 60 insinyur militer dalam 10 truk menuju kearah Samu, sementara sejumlah pasukan kecil yang terdiri daripada tiga tank dan 100 pasukan payung terjun dan insinyur militer yang menuju ke dua desa yang lebih kecil, Kirbet El-Markas dan Kirbet Jimba, dalam satu misi untuk mengebom rumah-rumah. Di Samu, tentara Israel menghancurkan satu-satunya klinik di desa, satu sekolah perempuan, pejabat pos, perpustakaan, satu kedai kopi dan sekitar 140 buah rumah. Laporan berbeda mengenai peristiwa ini telah dibuat yang merujuk kepada buku Terrence Prittie, Eshkol: The Man and the Nation dimana menyatakan 50 rumah telah diledakan tetapi penghuni-penghuni rumah tersebut telah dipindahkan beberapa jam sebelumnya. Batalion Infantri tentara Yordania ke-48, yang diarahkan oleh Mayor Asad Ghanma, bergerak menuju ke arah tentara Israel di barat laut Samu dan dua kompeni yang bergerak menuju timur laut telah diserang oleh Israel, ketika satu pleton Yordania yang bersenjatakan dua meriam 106 mm memasuki Samu. Dalam pertempuran, tiga orang sipil Yordania dan 15 tentara tewas, 54 tentara lain dan 96 orang sipil cedera. Letnan kolonel batalion pasukan lintas udara Israel, Kolonel Yoav Shaham, tewas dan sepuluh tentara lainnya cedera. Merujuk kepada data pemerintah Israel, lima puluh tentara Jordan tewas namun jumlah sebenarnya telah dirahasiakan demi menjaga moral dan keyakinan pada rezim Raja Hussein.

Dua hari kemudian dalam satu memo kepada Presiden Johnson, asisten khususnya Walt Rostow menulis "tindakan balas dendam bukan inti kasus ini. Serangan 3000 orang dengan tank dan pesawat-pesawat ini terlalu berlebihan terhadap provokasi yang terjadi, dan diarahkan kepada sasaran yang salah" dan kemudian menggambarkan kerusakan terhadap kepentingan Amerika Serikat dan Israel: "Mereka telah memusnahkan sistem kerjasama yang bagus diantara Hussein dan pihak Israel... Mereka telah menghianati Hussein. Kita telah mengeluarkan $500 juta untuk membinanya sebagai salah satu faktor kestabilan pada perbatasan terpanjang Israel dan terhadap Suriah dan Irak. Serangan Israel meningkatkan tekanan terhadap Hussein untuk menyerang balik, tidak hanya dari negara-negara Arab yang radikal dan orang Palestina di Yordania, tetapi juga dari angkatan darat, yang merupakan sumber dukungan utamanya, dan mungkin sekarang memaksa untuk mendapatkan kesempatan membalas kekalahan pada hari Minggu... Israel telah merusak kemajuan menuju adanya akomodasi dengan orang-orang Arab. Mereka mungkin memperlihatkan pada Suriah yang merupakan biang keladi, bahwa Israel tidak berani menyerang Suriah yang dilindungi oleh Uni Soviet, namun boleh menyerang Yordania yang didukung oleh Amerika Serikat tanpa ada hukuman."

Dalam menghadapi kritik dari orang Yordania, Palestina dan tetangga Arab lainnya karena kegagalannya dalam mempertahankan Samu, Hussein memerintahkan untuk menjalankan mobilisasi nasional pada tanggal 20 November 1966. Pada tanggal 25 November 1966, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 228 dan menyesali "kehilangan nyawa dan kerusakan besar menyebabkan terjadinya tindakan Israel pada tanggal 13 November 1966", mengancam "Israel karena jumlah pasukan berskala besar yang melanggar Piagam PBB dan Perjanjian Perdamaian antara Israel dan Yordania" dan menekan "kepada Israel bahwa tindakan balas dengan mengirim tentara tidak dapat ditolerir dan jika mereka mengulangi hal tersebut, Dewan Keamanan PBB akan mempertimbangkan langkah-langkah efektif seperti yang dibayangkan di dalam Piagam untuk memastikan pencegahan terhadap pengulangan tindakan yang sedemikian."

Dalam satu telegram untuk Departemen Negara Bagian pada tanggal 18 Mei 1967, Duta besar Amerika Serikat di Amman, Findley Burns, telah melaporkan bahwa Hussein telah menjelaskan opininya dalam sebuah perbincangan sehari sebelumnya bahwa "Yordania adalah salah satu sasaran dalam jangka pendek dan dalam pandangan Hussein, ia pasti berlaku dalam jangka panjang.... Israel mempunyai kebutuhan militer dan ekonomi yang panjang serta tradisi agama dan aspirasi sejarah yang tertentu dimana pada pandangan Hussein mereka masih belum puas. Satu-satunya cara agar keinginan mereka tercapai adalah dengan mengubah status Tebing Barat, Yordania. Oleh sebab itu pandangan Hussein adalah hal yang bagi Israel merupakan kesempatan untuk mengambil kelebihan dari suatu peluang dan memaksa situasi apapun yang membuat mereka lebih dekat kepada keinginan mereka. Hussein mengkhawatirkan bahwa keadaan pada saat itu yang memberi kesempatan terhadap teroris, penyelundupan dan perpecahan diantara orang Arab yang sangat jelas,

dan mengenang peristiwa Samu "Hussein menyatakan bahwa jika Israel melancarkan serangan serangan berskala-Samu terhadap Yordania, ia tidak memiliki pilihan lain selain untuk membalas serangan mereka atau ia akan menghadapi pemberontakan di negaranya. Jika Yordania menyerang balas, tanya Hussein, apakah ini akan memberikan Israel suatu kesempatan untuk merebut wilayah Yordania dan mempertahankan wilayah Yordania yang direbut? Atau Israel mungkin akan menyerang dengan jenis serangan tembak-dan-lari hanya untuk menaklukan dan mempertahankan wilayah dalam perang sebelumnya. Hussein menyatakan bahwa ia tidak mungkin mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan ini dari perkiraannya dan mendesak kami agar jangan berbuat demikian walaupun kita hanya ingin merasakannya."

Israel dan Suriah

Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.

Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat.

Selama kunjungan ke London pada bulan Februari tahun 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menjelaskan kepada hadirin tentang "harapan dan kegelisahan" Israel, bahwa walaupun Libanon, Yordania dan Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir sampai 1971) sepertinya berkeputusan untuk berkonfrontasi aktif melawan Israel, masih perlu dilihat apakah Suriah dapat mengekang diri sehingga permusuhan dapat dibatasi hanya sampai tingkatan retorik.

Pada tanggal 7 April 1967, suatu peristiwa kecil di perbatasan telah menyebabkan satu pertempuran udara berskala besar di Dataran Tinggi Golan yang mengakibatkan Suriah kehilangan enam MiG-21, yang dikalahkan oleh Dassault Mirage III Angkatan Udara Israel, yang juga terbang melintasi Damaskus. Tank, mortir, dan artileri digunakan oleh berbagai pihak sepanjang 47 mil (76 km) perbatasan, yang dijelaskan sebagai "suatu perselisihan terhadap hak pengerjaan tanah dalam Zona Demiliterisasi, di sebelah tenggara Danau Tiberias." Pada awal minggu, Suriah telah 2 kali menyerang traktor Israel yang bekerja di kawasan tersebut, dan ketika traktor itu kembali lagi di pagi hari tanggal 7 April 1967, Suriah pun melepaskan tembakan. Israel bereaksi dengan mengirim beberapa traktor lapis baja untuk terus membajak, mengakibatkan berlanjutnya aksi tembak-menembak. Pesawat Israel menjatuhkan bom-bom seberat 250 dan 500 kilogram ke lokasi-lokasi Suriah. Suriah membalas dengan menembak pemukiman-pemukiman Israel di perbatasan dan pesawat jet Israel membalas dengan mengebom desa Sqoufiye yang menghancurkan 40 rumah. Pada pukul 15:19, tembakan Suriah mulai jatuh di Kibbutz Gadot, sebanyak 300 tembakan telah jatuh dalam lingkungan kibbutz dalam waktu 40 menit. UNTSO mencoba untuk menyusun gencatan senjata, namun Suriah menolak untuk bekerja sama jika pengerjaan tanah Israel tidak dihentikan.

Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol yang berbicara dalam suatu pertemuan partai politik sayap kiri Mapai di Yerusalem pada tanggal 11 Mei 1967, ia memberikan ancaman bahwa Israel tidak ragu-ragu untuk mengirim serangan udara dalam skala yang sebesar pada tanggal 7 April 1967 sebagai balasan terhadap terorisme di perbatasan yang berkelanjutan. Pada hari yang sama, Gideon Rafael, utusan Israel memberikan surat kepada Dewan Keamanan PBB dan memberikan ancaman bahwa Israel akan "bertindak untuk mempertahankan diri jika keadaan sekitar memungkinkan". Ditulis dari Tel Aviv pada tanggal 12 Mei 1967, James Feron melaporkan bahwa sebagian dari pemimpin Israel memutuskan untuk mengirim pasukan "yang kuat tetapi dalam kurun waktu yang singkat dan pada kawasan yang terbatas" terhadap Syria. Laporan itu juga mengutip "seorang pengamat yang berwibawa" yang "berkata bahwa Republik Persatuan Arab, sekutu Suriah yang paling dekat di dunia Arab, tidak akan ikut campur kecuali jika serangan Israel meluas".

Pada awal bulan Mei tahun 1967, kabinet Israel memberikan hak atas serangan terbatas terhadap Suriah, namun permintaan semula oleh Rabin untuk menyerang secara besar-besaran agar dapat menggulingkan rezim Ba'ath ditentang oleh Eshkol.

Peristiwa di perbatasan terus bertambah dan banyak pemimpin Arab, termasuk para pemimpin politik dan militer, meminta untuk mengakhiri tindakan Israel. Mesir, yang pada saat itu mencoba merebut kedudukan yang utama di dalam dunia Arab di bawah Nasser, turut menyertai rencana-rencana untuk memiliterisasi Sinai. Suriah mengutarakan pandangan-pandangan itu, walaupun tidak siap untuk melakukan serangan tiba-tiba. Uni Soviet mendukung keperluan militer negara-negara Arab dengan aktif. Intelijen Soviet memberikan laporan yang diberikan oleh Presiden Uni Soviet Nikolai Podgorny kepada Wakil Presiden Mesir Anwar Sadat menyatakan bahwa tentara Israel sedang berkumpul di sepanjang perbatasan Suriah. Pada tanggal 13 Mei, laporan Soviet yang bohong itu didedahkan. Namun laporan palsu itu terungkap pada tanggal 13 Mei 1967. Pada bulan Mei tahun 1967, Hafez Assad, selanjutnya Menteri Pertahanan Suriah juga menyatakan: "Pasukan kami sekarang seluruhnya siap tidak hanya untuk menahan agresi, namun untuk mengusahakan aksi pembebasan, dan untuk menghancurkan kehadiran Zionis di tempat tinggal Arab. Pasukan Suriah, dengan jarinya mencetuskan persatuan... Saya, sebagai seseorang yang secara militer percaya bahwa waktunya telah tiba untuk memasuki pertempuran pembinasaan."


Bersambung


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Daftar Perang yang Pernah Terjadi di Dunia.

(lanjutan Perang Enam Hari)

Mundurnya Pasukan Keamanan PBB

Pada pukul 10.00 malam 16 Mei, Jendral Indar Jit Rikhye, letnan kolonel United Nations Emergency Force (UNEF), menerima surat dari Jendral Mohammed Fawzy yang berbunyi: "Sebagai informasi untuk anda, saya telah mengarahkan semua tentara Republik Persatuan Arab agar mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan terhadap Israel jika negara itu melakukan tindakan yang agresif terhadap salah satu negara Arab. Oleh karena instruksi ini, tentara kita kini bertumpu di perbatasan timur kita di Sinai. Oleh sebab itu, agar pasukan keamanan PBB yang ditempatkan di pos-pos pengawasan pada sepanjang perbatasan kita, saya meminta agar anda memerintahkan pengunduran semua tentara dengan segera."

Rikhye berkata bahwa ia akan melaporkan kepada sekretaris jendral untuk mendapat instruksi selanjutnya.

U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.

Selat Tiran

Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik". Nasser juga menyatakan, "Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun." Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.

Melihat hukum internasional, Israel menganggap bahwa Mesir telah menyalahi undang-undang jika negara tersebut menutup Selat Tiran, dan menyatakan bahwa Israel akan menganggap blokade itu sebagai suatu casus belli pada tahun 1957 ketika Israel mundur dari Sinai dan Jalur Gaza. Negara-negara Arab memperdebatkan hak Israel untuk melewati Selat Tiran kerana mereka tidak menandatangani Konvensi PBB tentang peraturan laut terutama kerana Pasal 16(4) memberikan hak tersebut kepada Israel. Dalam perselisihan Majelis Umum PBB, banyak negara mengemukakan alasan bahwa jika hukum internasional memberikan hak untuk lewat kepada Israel, Israel tidak berhak menyerang Mesir untuk menuntut haknya karena penutupan itu bukan merupakan "serangan bersenjata" seperti yang tertulis dalam Pasal 51 dalam Piagam PBB. Selain itu menurut profesor hukum internasional John Quigley, berdasarkan doktrin proporsional, Israel berhak menggunakan kekuatan bersenjata hanya seperlunya saja demi mengamankan haknya untuk lewat.

Israel memperhatikan penutupan selat itu dengan serius dan meminta Amerika Serikat dan Britania Raya untuk membuka Selat Tiran seperti yang telah mereka jaminkan pada tahun 1957. Proposal Harold Wilson agar adanya kekuatan laut internasional untuk memecahkan krisis ini disetujui oleh Presiden Johnson, akan tetapi ia tidak menerima banyak dukungan, dan hanya Britania Raya dan Belanda yang menawarkan bantuan berupa kapal-kapal.

Mesir dan Yordania

Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang "pesuruh imperialis", pada awal hari menyatakan: "Tujuan awal kita semua adalah kehancuran Israel. Orang-orang Arab ingin berperang."

Pada akhir bulan Mei tahun 1967, tentara Yordania telah dikomando oleh Jendral Mesir, Jendral Abdul Munim Riad. Pada hari yang sama, Nasser menyatakan: " Tentara Mesir, Yordania, Suriah dan Lebanon sedang dalam keadaan tenang di perbatasan Israel... untuk menghadapi tantangan, dimana di belakang kami berdiri tentara Irak, Aljazair, Kuwait dan Sudan dan semua negara Arab. Aksi ini akan mengherankan dunia. Hari ini mereka akan mengetahui bahwa Arab telah siap untuk sebuah pertempuran, waktu yang menentukan telah tiba. Kita telah mencapai panggung aksi serius dan bukan deklarasi-deklarasi lainnya. Kami telah mencapai panggung aksi serius dan tidak lagi mengeluarkan deklarasi."

Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania".

Israel memiliki pandangannya sendiri berkaitan dengan peranan Yordania dalam perang yang berdasarkan kekuasaan Yordania atas Tepi Barat. Hal ini akan membuat tentara Arab yang hanya berjarak 17 kilometer dari pantai Israel yang merupakan suatu titik perubahan dimana serangan tank akan membelah Israel menjadi dua dalam waktu 2 jam. Walaupun jumlah tentara Yordania memiliki arti bahwa Yordania mungkin tidak akan melaksanakan latihan militer karena berhubungan dengan sejarah bahwa negara ini digunakan oleh negara Arab lainnya sebagai panggung untuk operasi melawan Israel, oleh sebab itu, serangan dari Tepi Barat akan menjadi ancaman bagi Israel. Pada waktu yang sama, negara Arab yang tidak berbatasan dengan Israel, seperti Irak, Sudan, Kuwait dan Aljazair mulai menggerakkan tentara mereka.

Aliran menuju peperangan

Dalam ucapannya kepada orang-orang Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan: " Jika Israel memulai agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang umum... dan tujuan dasar kita adalah untuk menghancurkan Israel."

Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah diinformasikan oleh U Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel, sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan yang meyakinkan bahwa " ...Nasser tidak ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan."

Ditulis dari Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times James Reston memiliki pandangan : " Kairo tidak ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia menerima kemungkinan, walaupun hanya kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan kekuasaan atas situasi."

Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel "dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut." Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan "melakukan tindakan militer sebelum diserang" bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.

Bersambung


-dipi-
 
Back
Top