Partisipasi Dan Dimensi Keswadayaan

nurcahyo

New member
Bambang Ismawan
PARTISIPASI DAN DIMENSI KESWADAYAAN:
PENGALAMAN LSM MEMBANGUN KESWADAYAAN MASYARAKAT





PENDAHULUAN

Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berasal dari suatu seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di Ungaran, Jawa Tengah 1978. Penulis berkonsultasi dengan Prof. Dr. Sayogyo minta pendapat beliau tentang istilah yang sebaiknya dipakai untuk menyebut berbagai kelompok, lembaga atau organisasi yang bermunculan pada waktu itu, yang sangat aktif dalam upaya-upaya pembangunan terutama diantara lapisan masyarakat bawah.

Di kalangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kelompok, lembaga atau organisasi tersebut disebut Non Government Organization (NGO) yang kemudian dalam suatu konferensi (1976) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) diterjemahkan menjadi Organisasi Non Pemerintah (disingkat ORNOP). Penulis merasa kurang "sreg" dengan istilah tersebut. Pertama, karena pengertian organisasi Non Pemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organisasi Pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga dan lain-lain, padahal dengan NGO yang dimaksud lebih khusus yaitu yang berhubungan langsung dengan pembangunan.

Kedua, dalam sejarah pengerakan, kita mengenal istilah ''Non" dan "Co". Pada waktu pendudukan Belanda ada kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut "golongan Co" dan ada kelompok yang menolak kerjasama disebut "golongan Non". Istilah NGO dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah. Padahal untuk mencapai tujuan dari kelompok, lembaga atau organisasi tersebut, yaitu meningkatkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang dilayani, sering perlu banyak bekerjasama dengan Pemerintah.

Dalam mencari istilah Indonesia bagi NGO, penulis kemudian menemukan istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama International Jerman (Barat) yaitu Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO), masing-masing dimaksudkan sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong yang lain, sedang yang kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Penulis pikir istilah ini cocok untuk Indonesia. Dan atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO.

Dalam Seminar (kerjasama antara SBD dan WALHI) di Gedung YTKI 1981 antara lain dimaksudkan memberi masukan pada Undang-undang Lingkungan Hidup yang sedang disusun DPR, untuk memudahkan pemahaman di masyarakat disepakati menggunakan satu istilah saja yaitu LSM.

Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.

Dalam Pilot Proyek Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PPHBK) istilah LSM mencakup pengertian LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). PPHBK yang dikelola oleh Bank Indonesia dimaksudkan menghubungkan Bank (formal) dengan KSM (non formal) dalam bidang permodalan. Sejak diperkenalkan Bank Indo*nesia tahun 1988, skema HBK telah berjalan sangat baik, hingga September 2001, dilaksanakan di 23 propinsi, mencakup lebih dari 1000 kantor bank partisipan, 257 LPSM, 34.227 kelompok swadaya masyarakat dengan anggota sekitar 1.026.810 KK, menyalurkan kredit (akumulasi) Rp 331 milyar, memobilisasi tabungan beku (akumulasi) Rp 29,5 milyar, dan tingkat pengembalian kredit 97,3%.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian LSM mencakup dua kategori yaitu KSM dan LPSM. Disamping itu ada kategori ketiga yang disebut LSM Jaringan, yaitu suatu bentuk kerjasama antara LSM dalam bidang kegiatan atau minat tertentu, misalnya :

1.

Sekretariat Bina Desa (SBD), berdiri 1974, merupakan forum dari LSM yang bekerja di kawasan pedesaan

2.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), berdiri 1976, merupakan wadah kebersamaan LSM yang memusatkan perhatian pada upaya pelestarian lingkungan

3.

Forum Indonesia untuk Keswadayaan Penduduk (FISKA), berdiri 1983, merupakan forum LSM yang bergerak dibidang kependudukan

4.

Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi (FORMASI), berdiri 1986, merupakan forum LSM yang bekerja mengembangkan koperasi

5.

Forum Pengembangan Keswadayaan (Participatory Development Forum- PDF), berdiri 1991, merupakan peningkatan dari Forum Kerjasama LSM -- PBB (NGO - UN Cooperation Forum) yang didirikan pada 1988. PDF menggabungkan berbagai LSM berinteraksi dengan Pemerintah, dunia usaha dan badan-badan Internasional dalam suatu forum untuk mengembangkan peran serta berbagai aktor dalam pembangunan



MOTIVASI LSM

LSM tidak hanya muncul dalam dekade 70-an, ada pula yang telah berdiri pada dekade 50-an dan 60-an. Bahkan Budi Utomo dan Serikat Islam yang telah didirikan jauh lebih lama adalah LSM juga. Walaupun pada prinsipnya tujuan LSM dari berbagai jaman adalah sama yaitu mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi dari masyarakat yang dilayani, tetapi mereka mempunyai motivasi kerja yang berbeda dari jaman ke jaman. LSM jaman penjaiahan didirikan dengan motivasi membebaskan diri dari kungkungan penjaiahan dengan upaya pendidikan dan usaha di bidang ekonomi. Sementara LSM dalam jaman Orde Lama menghadapi situasi yang berbeda. Penjajahan oleh bangsa asing sudah tiada, diganti dengan arus berbangsa dan bernegara yang kita kenal dengan istilah "politik komando" atau politik nomor satu. Pada situasi semacam itu motivasi LSM memperjuangkan agar pembangunan mendapat tempat yang memadai yaitu melalui upaya-upaya peningkatan keswadayaan rakyat kecil, para petani dan nelayan di desa-desa dan lain sebagainya sambil memperjuangkan suatu kebijakan yang kondusif bagi upaya-upaya tersebut dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemudian karena situasi dan kondisi berbeda, berbeda pula motivasi kerja LSM di jaman Orde Baru. Pada orde pembangunan ini, LSM berusaha mempersiapkan masyarakat agar berkemampuan memanfaatkan berbagai peluang yang muncul dari proses pembangunan meningkatkan keswadayaan mereka sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan nasional. Selanjutnya dari berbagai pengalaman pelayanan kepada masyarakat disusun model-model pendekatan yang dapat direkomendasikan untuk perbaikan pendekatan pembangunan yang sedang berjalan.



ORANG KECIL DAN LSM

Dalam proses pembangunan tersebut, LSM pada umumnya memusatkan perhatian kepada orang kecil. Mereka berada dalam situasi serba kekurangan yang dibalut oleh berbagai kondisi yang menekan kehidupan, yang satu sama lain saling berpengaruh dan mensejarah. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah : lemahnya nilai tukar hasil produksi, lemahnya organisasi, rendahnya perkembangan sumberdaya manusia, rendahnya produktivitas, lemahnya akses dari hasil pembangunan, minimnya modal yang dimiliki, rendahnya pandapatan, sederhananya teknologi yang dimiliki, adanya kesenjangan antara kaya dan miskin, minimnya kemampuan berpartisipasi dalam sistem pembangunan nasional, lemahnya posisi tawar menawar. Kalau kondisi-kondisi tersebut dikaitkan satu sama lain dalam pola hubungan sebab akibat, maka muncullah wajah orang keeil yang serba kurang mampu berbentuk segitiga yang terdiri dari rendahnya pendapatan, adanya kesenjangan sosial yang semakin melebar dan rendahnya kemampuan berpartisipasi dalam sistem nasional. Kalau ditelusuri sebab-sebabnya maka yang menjadi sebab paling pokok adalah lemahnya pengembangan sumberdaya manusia.

Pada saat ini ada ratusan, bahkan ribuan LSM dengan full-timer. Ada yang lebih besar organisasinya dengan ratusan tenaga full-timer. Ada yang bekerja langsung melayani masyarakat kecil dengan memperkuat kemampuan mereka. Ada yang mengkhususkan kegiatan memperjuangkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat bawah. Ada pula yang berusaha menjembatani berbagai sektor : yang kuat dengan yang lemah, yang formal dengan non formal, inti dan plasma, tradisional dan modern dan lain-lain. Dan ada pula yang melaksanakan hal-hal tersebut secara serempak. Sedang bidang kegiatan LSM saat ini meliputi kegiatan yang cukup luas, meliputi bidang-bidang lingkungan hidup, konsumen, bantuan hukum, pendidikan dan latihan, perhutanan sosial, pengairan, koperasi, penerbitan, kesehatan dan keluarga berencana, dan pengembangan pedesaan dan pertanian dan lain-lain.



LSM BIDANG PERTANIAN DAN PEDESAAN

Mungkin jumlah LSM yang bergerak dibidang pertanian dan pedesaan adalah yang terbanyak diantara LSM-LSM yang ada. Hal ini disebabkan karena mereka tergerak oleh kondisi yang memprihatinkan di desa-desa kita. Salah satu kondisi memprihatinkan adalah seperti yang dilukiskan Prof. Sayogyo [1]: ?gambaran mengenai garis batas antara dunia ekonomi barat dan desa tradisional seperti dilukiskan Boeke, terletak antara 'kota' dan 'desa' kini telah bergeser ke tengah-tengah desa itu sendiri. Hal ini terwujud dengan adanya petani lapisan atas dengan pemilikan tanah rata-rata 1,16 ha yang mencakup unsur ?kota?. Mereka tidak hanya merupakan kelas statistik, melainkan mempunyai arti sosiologis. Program-program pelayanan Pemerintah baik berupa BIMAS maupun kelembagaan baru koperasi, telah meningkatkan kemampuan mereka sebagai petani komersial, serta meningkatkan pendapatan mereka sedemikian rupa sehingga meninggalkan rekan-rekan petani gurem dan sering tak terjangkau oleh pelayanan Pemerintah dan sebaliknya mereka pun tak mampu menjangkau pelayanan itu."

[1] Sayogyo, 1978: Lapisan Masyarakat yang paling Lemah di pedesasaan Jawa, Prisma No. 3, LP3ES.

Kegawatan masalah ekonomi dari petani lemah tidak hanya karena jumlahnya yang besar, tetapi juga karena celah pemisah yang makin melebar antara yang mampu dan yang tidak. Lebih lanjut Prof. Sayogyo (1979), mengatakan, "Partisipasi Masyarakat, khususnya golongan petani kita, adalah jalur strategik dalam seperangkat 8 jalur pemerataan pembangunan kita. Arti partisipasi golongan petani itu mesti kita kembangkan lebih lanjut, melampaui arti ikut melaksanakan dan ikut mengeyam hasil pembangunan yaitu dengan memberikan tanggung jawab yang dikerjakan secara berkelompok usaha bersama yang mereka bentuk sendiri, agar dengan kekuatan dan kesadaran yang dibina, lapisan yang tertinggal di dalam pembangunan kita dapat mengangkat diri kepada martabat yang lebih tinggi. Orang lain hanya dapat membantu proses itu, tak dapat melakukan untuk mereka."

Pengamatan Prof. Sayogyo tersebut diatas ikut membentuk visi yang mendasari kerangka kerja LSM bidang pertanian dan pedesaan. Untuk memutuskan tali-temali yang satu sama lain menjerat golongan petani miskin kita, diperlukan kebijakan, komitmen, organisasi dan kegiatan yang dapat memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Lebih dari itu, diperlukan juga suatu, sikap yang bersumber dari suatu pandangan bahwa mengatasi masalah kemiskinan tidak boleh memperlakukan orang miskin sekedar sebagai obyek dari upaya-upaya penanggulangan, tetapi harus memperlakukan mereka sebagai subyek. Hal ini bersumber dari keyakinan bahwa betapapun miskin seseorang, mereka bukannya tidak punya apa-apa sama sekali, melainkan bahwa mereka mempunyai sesuatu, walaupun sedikit. Mereka bukan ?the have not?, melainkan ?the have little?, kalau potensi mereka yang serba sedikit itu digalang dan dihimpun dalam suatu wadah kebersamaan yang mereka percaya dan kelompok-kelompok swadaya usaha bersama, maka mereka akan mampu mengatasi masalah-masalah mereka dengan kekuatan mereka sendiri..

KESWADAYAAN

Dengan keswadayaan kami maksudkan sebagai suatu kondisi yang memiliki sejumlah kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta kemampuan untuk memperhitungkan kesempatan-kesempatan dan ancaman yang ada di lingkungan sekitar, maupun kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat dipakai untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan berlanjut.

Berswadaya secara individual bagi orang kecil lagi miskin sulit dilaksanakan, tetapi secara bersama dalam kelompok lebih berprospek. Karena itu prinsip-prinsip swadaya tersebut dalam rangka pembinaan orang kecil perlu dilaksanakan dalam wadah kelompok-kelompok swadaya. Betapapun di dalam masyarakat sudah ada kelompok-kelompok swadaya yang tumbuh dan berkembang secara tradisional. Kelompok-kelompok swadaya tersebut organisasinya sangat sederhana, peraturannya disusun dalam norma-norma yang tak tertulis, sedangkan penyelenggaraan kelompok tidak mengarah pada pemupukan modal swadaya. Karena itu kelompok-kelompok tradisional tidak berkemampuan mengatasi masalah-masalah kemiskinan yang laten. Untuk mengatasi masalah kemiskinan yang laten diperlukan unsur-unsur modern, memperkuat komponen yang ada pada kelompok swadaya.

Pengalaman penulis dalam penyelenggaraan LSM Bina Swadaya, menunjukkan perlunya pengetrapan secara konsisten tiga komponen yang merupakan acuan penyelenggaraan kelompok swadaya yaitu :

(1) Kelompok swadaya perlu berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan. Dalam rangka ini perlu diupayakan terus-menerus pemahaman dan peningkatan penyelenggaraan ekonomi rumah tangga yang efektif, pemupukan modal swadaya serta pengembangan usahausaha produksi dan pemasaran.

(2) Kelompok swadaya perlu bersikap terbuka, yaitu terbuka terhadap gagasan-gagasan baru serta terbuka terhadap kerjasama baru untuk mencapai tingkat skala usaha yang lebih besar.

(3) Kelompok swadaya perlu diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi yang tinggi di antara anggota. Dalam rangka ini perlu didorong agar pertemuan anggota dapat diselenggarakan secara ajeg dan teratur satu bulan atau satu minggu sekali, pengurus dipilih dari antara anggota, diselenggaraan secara teratur program pendidikan kader, administrasi yang tertib dan terbuka, serta perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan secara partisipatif.

Untuk mencapai kemantapan dalam pengetrapan kerangka acuan tersebut, diperlukan proses pengentalan atau internalisasi di dalam kelompok swadaya dengan tahap-tahap : penggalian motivasi, konsolidasi organisasi, penumbuhan dan pengembangan usaha, dan pengembangan kemandirian kelompok.

Perkembangan kelompok untuk mencapai tingkat kematangannya akan dipercepat dengan kehadiran seorang pendamping yang mendapat dukungan dari Lembaga Pengembangan yang secara khusus membina kelompok sesuai dengan potensi dan kemungkinan-kemungkinan yang ada setempat. Upaya-upaya pendampingan ini akan mencapai hasil yang diharapkan apabila dikenali atau dipahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya.

Pengalaman menunjukkan ada 3 (tiga) faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan kelompok swadaya.

Pertama, faktor internal, yaitu faktor yang terdiri dari sub faktor anggota, sub faktor pengurus, sub faktor kegiatan dan sub faktor mekanisme kerja. Semakin berkembang anggota secara kualitatif dan kuantitatif, semakin tinggi dedikasi dan waktu yang tersedia serta kemampuan pengurus, semakin banyak kegiatan kelompok yang melayani kepentingan anggota dan semakin baik mekanisme kerja yang ada di dalam kelompok maka akan semakin berpeluang kelompok tersebut untuk berhasil.

Kedua, faktor eksternal yang terdiri dari sub faktor lingkungan sosial ekonomi, sub faktor hubungan dengan pamong dan sub faktor program pemerintah yang ditujukan untuk pengembangan wilayah dimana kelompok swadaya tersebut berada. Semakin besar potensi sosial ekonomi yang menunjang perkembangan kelompok swadaya tersebut, serta semakin baik hubungan kelompok swadaya dengan pamong setempat, dan adanya program-program pemerintah yang menguntungkan bagi pengembangan kelompok swadaya tersebut, maka kelompok swadaya itu akan berpeluang untuk berkembang dengan lebih baik.

Ketiga, faktor Lembaga Pengembangan yang meliputi sub faktor wawasan Lembaga Pengembangan, sub faktor organisasi Lembaga Pengembangan, dan sub faktor tenaga yang tersedia dari Lembaga Pengembangan tersebut. Semakin tepat wawasan Lembaga Pengembangan, serta semakin berkemampuan organisasi Lembaga Pengembangan, dan semakin tersedia tenaga yang berkemampuan untuk melayani kelompok swadaya, maka akan semakin berpeluang bagi kelompok swadaya untuk mencapai tingkat-tingkat keberhasilannya.



PERANAN DAN DAMPAK KEGIATAN LSM DALAM PEMBANGUNAN

Dengan memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya, dapatlah kemudian disusun program-program pengembangan yang merupakan peran LSM untuk mendorong keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya. Berdasarkan pengalaman ada 5 (lima) program pengembangan yang dapat disusun untuk mendorong keberhasilan kelompok swadaya yang disalurkan melalui tenaga-tenaga pendamping kelompok, yaitu :

(1) Program Pengembangan sumber daya manusia, meliputi berbagai kegiatan pendidikan dan latihan baik pendidikan dan latihan untuk anggota maupun untuk pengurus yang mencakup pendidikan dan letihan tentang ketrampilan mengelola kelembagaan kelompok, ketrampilan teknik produksi, maupun ketrampilan mengelola usaha.

(2) Program pengembangan kelembagaan kelompok, dengan membantu menyusun peraturan rumah tangga, mekanisme organisasi, kepengurusan, administrasi dan lain sebagainya.

(3) Program pemupukan modal swadaya, dengan membangun sistem tabungan dan kredit anggota serta menghubungkan kelompok swadaya tersebut dengan lembaga-lembaga keuangan setempat untuk mendapatkan manfaat bagi pemupukan modal lebih lanjut.

(4) Program pengembangan usaha, baik produksi maupun pemasaran, dengan berbagai kegiatan studi kelayakan, informasi pasar, organisasi produksi dan pemasaran dan lain-lain.

(5) Program penyediaan informasi tepat guna, sesuai dengan kebutuhan kelompok swadaya dengan berbagai tingkat perkembangannya. Informasi ini dapat berupa eksposure program, penerbitan buku-buku maupun majalah-majalah yang dapat memberikan masukan-masukan yang mendorong inspirasi ke arah inovasi usaha lebih lanjut.

Membawakan peran nyata dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tersebut diatas, keberadaan LSM yang banyak itu akan berdampak positif seperti diuraikan dibawah ini:

a. Dampak dalam Aspek Sosial

Melalui proses pendidikan yang diberikan kepada kelompok swadaya diharapkan wawasan pemikiran mereka pun semakin meningkat; sehingga mempunyai kemampuan untuk memikirkan banyak alternatif dalam usaha mencukupi kebutuhan hidup. Peningkatan pendidikan yang terjadi pada kelompok swadaya dapat melalui dua jalur, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Peningkatan pendidikan secara langsung terjadi apabila kelompok swadaya mendapatkan penyuluhan, pelatihan, konsultasi, dan sebagainya. Sedangkan, peningkatan pendidikan secara tidak langsung terjadi sejalan dengan terintegrasinya orang-orang desa dalam suatu kelompok swadaya. Melalui kelompok tersebut setiap anggota berinteraksi menumbuhkan kesadaran akan posisi mereka. Penyadaran diri merupakan langkah awal untuk memulai memikirkan alternatif-alternatif baru yang mungkin dapat ditempuh dalam usaha memperbaiki tingkat kehidupan. Di samping itu, dengan adanya kesadaran akan posisi yang dimilikinya menyebabkan kelompok swadaya berani memperjuangkan hak-hak mereka dengan mengaktualkan potensi yang ada pada mereka serta mengikis kelemahan-kelemahan yang ada.

Melalui aktifitas yang dilakukan, intervensi pembinaan membantu pemecahan permasalahan-permasalahan sosial yang terdapat dalam kelompok masyarakat. Melalui sistem pendekatan terlibat langsung dengan kelompok, pola pembinaan bersama kelompok yang bersangkutan mampu mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi secara mendalam. Akibatnya penanganan terhadap masalah yang dihadapi kelompok dapat dilakukan secara tepat sasaran dan lebih tuntas. Di Samping itu, berkat interaksi yang intens antara para pembina dengan kelompok, sementara para pembina telah dilatih secara khusus dan selalu diberikan masukan untuk meningkatkan kemampuannya dalam membina kelompok dan menghubungkannya dengan berbagai pelayanan setempat, maka terjadilah proses transformasi sosial.

b. Dampak dalam Aspek Ekonomi

Dalam, bidang ekonomi, intervensi pembinaan akan mampu mendorong masyarakat kecil untuk melakukan pemupukan modal. Selama ini faktor yang selalu dikemukakan tentang penyebab tidak berhasilnya masyarakat miskin dalam memperbaiki kehidupan adalah karena mereka tidak mampu untuk melakukan pemupukan modal yang dapat dipergunakan sebagai pengembangan usaha. Dengan sistem kelompok, maka modal yang kecil dari setiap warga dapat berkembang menjadi besar, sehingga dapat dipergunakan sebagai modal usaha. Di samping itu, dengan adanya modal yang terkumpul dapat mengundang partisipasi dana lebih besar dari pihak ketiga. Saat ini terbuka kemungkinan Bank melayani kelompok-kelompok swadaya yang berstatus non formal. Kemampuan permodalan kelompok yang semakin bertambah memberikan peluang semakin besar untuk mengembangkan usaha produktif.

Usaha produktif yang dilakukan kelompok menyebabkan terbukanya kesempatan kerja atau usaha bagi kelompok itu sendiri maupun masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa satu usaha produktif yang dilakukan, misalnya peternakan atau industri kecil, tentu memerlukan usaha lain untuk menunjang keberhasilan usaha produktif pokok. Usaha-usaha lain dari usaha pokok inilah yang membuka kesempatan kerja baru (diversifikasi) dan peningkatan pendapatan warga masyarakat.

c. Dampak dalam Aspek Kemasyarakatan

Proses interaksi didalam kelompok dengan sesama anggota maupun dengan berbagai sumber pelayanan dan pembinaan semakin meningkatkan wawasan berbangsa dan bernegara. Adanya kelompok sebagai wadah mengaktualisasikan diri warga masyarakat pedesaan menyebabkan mereka merasa terlibat dalam proses pembangunan. Keterlibatan mereka dalam pembangunan tidak lagi pasif, tetapi menjadi aktif karena telah turut berusaha dalam berbagai kegiatan produktif yang memberikan andil dalam sistem perekonomian yang lebih luas.

Kesadaran untuk turut berperan serta dalam kegiatan kelompok tersebut mempunyai dampak lebih lanjut, yaitu adanya kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam program-program pembangunan yang ditawarkan pemerintah. Proses pengembangan kemandirian dan kesadaran berpartisipasi telah menjembatani kesenjangan sosial di tingkat lokal. Dengan menyempitnya kesenjangan sosial berarti stabilitas sosial politik pun dapat terus berlanjut. Sementara itu, pengalaman lapangan LSM yang merupakan hasil kaji tindak (participatory action research) dapat merupakan rekomendasi bagi perbaikan dan peningkatan dari pendekatan pembangunan.



CATATAN PENUTUP

Organisasi dan peran LSM mungkin masih berkembang. Namun tulisan singkat ini kiranya dapat dipakai sebagai sarana untuk memahami keberadaan LSM yang kini lagi menjamur. Pemahaman yang tepat mengenai suatu hal akan memudahkan orang menentukan sikap dan merencanakan langkah-langkah sesuai dengan peran masing-masing di dalam masyarakat. Juga untuk membedakan antara LSM murni (genuine), dengan yang tidak dan yang palsu.***



Drs. Bambang Ismawan, MS, Ketua Yayasan Bina Swadaya, Sekretaris Jenderal Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia dan Sekjen HKTI.

Tulisan ini merupakan pembaharuan yang pernah ditulis sebelumnya
 
Back
Top