Penanggulangan Kemiskinan Di Jawa Tengah Dalam Era Otonomi Daerah

nurcahyo

New member
Mubyarto
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI JAWA TENGAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH


Pendahuluan

Sejak era pembangunan ber-Pelita mulai tahun 1969 propinsi Jawa Tengah ?terjepit? di antara 2 propinsi besar Jawa Barat-DKI Jakarta dan Jawa Timur, yang keduanya ?maju pesat? melalui industrialisasi yang berpusat di ?Jabotabek? dan Surabaya. Memang benar Jawa Tengah memperoleh ?pelimpahan kemakmuran? (trickle down) dari kemajuan propinsi-propinsi tetangganya ini, tetapi pada saat yang sama juga menerima dampak negatif karena menjadi pemasok tenaga kerja murah yang hanya dinikmati mereka yang meninggalkan desanya. Akibatnya kemiskinan tetap luas dan SDM-nya terdiri atas mereka yang ?tersisa?, yang kualitasnya bukan yang terbaik. Nilai Indek Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah tahun 1996 adalah 67,0 lebih rendah dari IPM Jakarta 76,1 dan Surabaya 72,1. IPM 5 ibukota propinsi di Jawa adalah sebagai berikut: (tabel 1)

Yang menarik, IPM Semarang kecuali dalam pendidikan selalu lebih baik dari IPM Surabaya meskipun selalu lebih buruk dibanding 3 kota lainnya yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Amat jelas IPM kota Semarang yang tinggi berbeda jauh sekali dengan IPM terburuk di Jawa Tengah yaitu Brebes (60.5, 1996) dan Pemalang (56.1, 1999).


Kemiskinan di Jawa Tengah

Jika tingkat kemiskinan di Jawa Tengah di bagi 3, Kemiskinan Tinggi, Sedang dan Rendah, maka pada tahun 1999 3 besar kabupaten termiskin adalah Banjarnegara (52,4%), Blora (45,4%), dan Banyumas (44,1%) dengan rata-rata 12 kabupaten termiskin mencatat tingkat kemiskinan 38,3%, yang 1,5 kali lebih miskin ketimbang kemiskinan sedang (25,8%) dan hampir 3 kali lebih miskin dibanding kemiskinan rendah (13,1%). Dari tabel 2 adalah menarik membandingkan tingkat kemiskinan tahun 1996 (sebelum krismon) dan tahun 1999 (setelah krismon). Ada kabupaten yang dalam periode 3 tahun kemiskinannya berlipat dua (Banyumas) bahkan di kabupaten Rembang meningkat 3 kali dari 5,1% menjadi 15,7%. Sebaliknya ada 3 kabupaten Sragen, Batang, dan Kudus, yang tingkat kemiskinan penduduknya menurun meskipun kecil. Fenomena pergeseran-pergeseran ini sangat penting bagi penentu kebijakan Pemerintah Daerah propinsi yang harus terus menerus melakukan pemantauan kondisi kesejahteraan rakyatnya, terma-suk mengadakan evaluasi program-program penang*gulangan kemiskinan, mana yang berjalan dan efektif dan mana yang tidak efektif mencapai sasaran.



Kemiskinan Versi BKKBN

Jika angka-angka kemiskinan yang disebut dan dianalisis di atas bersumber pada taksiran angka kemiskinan ?makro? berdasar penetapan garis kemiskinan tertentu (pengeluaran pangan dan bukan pangan), sejak krismon 1997-98 dikenal angka-angka kemiskinan versi BKKBN dengan menjumlahkan angka keluarga Pra-KS dan KS-I alasan ekonomi. Dengan menggunakan data BKKBN ini diperoleh angka keluarga miskin di Jawa Tengah seperti terlihat pada tabel 2 kolom 3. Terlihat perbedaan antara taksiran jumlah penduduk miskin versi BPS yang 26,07% tahun 1999 dengan data keluarga miskin versi BKKBN yang mencapai 29,96%.

Sementara itu SAKERTI 3 (Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia) yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerjasama dengan Rand Corporation Santa Monica (Juni ? Oktober 2000) melaporkan tingkat kemiskinan yang menurun di perkotaan Jawa Tengah dari 20,4% menjadi 14,3% selama periode 1997-2000 meskipun di perdesaan meningkat dari13,7% menjadi 17,1%. Penemuan angka-angka kemiskinan dengan menggunakan garis kemiskinan BPS yang disempurnakan ini merupakan hasil-hasil penelitian ekonomi riil di 13 propinsi dengan mewawancarai 10.000 kepala keluarga (40.300 individu), sehingga dapat dibandingkan dengan ?mikro? data BKKBN.

Kriteria keluarga miskin yang dipakai BKKBN pada awalnya memang bukan untuk mendata keluarga miskin, tetapi untuk tugas operasional kantor/lembaga itu yakni program keluarga berencana dan kemudian keluarga sejahtera. Tetapi dalam perkem-bangannya, data tersebut dipakai sebagai pedoman dalam berbagai macam program peningkatan kesejahteraan keluarga yaitu program Takesra/Kukesra, dan sejak krismon 1997, program JPS OPK beras dan program JPS lainnya. Dengan demikian besar kemungkinan terjadi kelebihan taksiran.

Taksiran keluarga miskin yang ?pesimistis? di daerah diduga ada kaitannya dengan usulan DAU dan DAK pada pemerintah pusat. Dengan kata lain, data penduduk miskin tersebut ditetapkan tinggi supaya dana yang masuk ke daerah juga besar. Menurut pejabat di dinas sosial, memang petimbangan yang dipakai tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika diadakan pendataan desa miskin dalam program IDT. Pada awalnya sedikit sekali yang mau mengakui daerah/desanya masuk kategori miskin. Tetapi setelah mengetahui bahwa daerah/desa miskin itu akan mendapatkan guliran dana, maka banyak kepala daerah/desa yang berusaha meyakinkan daerah/desanya adalah miskin. Namun sumber di BKKBN tidak sependapat jika angka kemiskinan yang diterbitkan dikaitkan dengan guliran dana dari pusat. Menurutnya, yang penting bukanlah mempertentangkan data/kriteria kemiskinan, tetapi bagaimana manfaat data itu bagi program-program yang akan dilaksa-nakan. Menurutnya semakin banyak kriteria akan semakin banyak pula informasi yang didapat, dan karena itu akan semakin memperkaya wawasan. Namun diakuinya, bahwa saat ini ada kesan bahwa data yang dikeluarkan BKKBN untuk melaksanakan program dari pusat, dan data dari dinas-dinas di pemda untuk melaksanakan program-program Pemerintah Daerah.

Selain masalah transparansi yang sering dituduhkan pada penyelenggaraan program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah, kritik yang banyak dilontarkan dalam program penanggulangan kemiskinan adalah dalam penentuan target sasaran, yaitu dalam penentuan penduduk yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan. Data/ informasi penduduk miskin yang tepat dan akurat sangat menentukan tepat tidaknya sasa-ran dan keberhasilan suatu program. Baik data dari Badan Pusat Statistik, BKKBN, mau-pun Dinas Sosial, semuanya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.

BPS menyadari bahwa terdapat beberapa kelemahan data/informasi tentang pendu-duk miskin yang dihasilkannya sejak 1976 hingga 1999, dan karena itu tidak sepenuhnya dapat dipakai sebagai dasar ketepatan pelaksanaan program bantuan pada penduduk miskin (BPS, 2000). Baik data tentang penduduk miskin maupun daftar desa tertinggal pada tahun 1993-1995 bersifat ?makro? dan tidak sampai pada nama individu dalam suatu daerah tertentu yang dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin.


Kriteria Kemiskinan Bank Dunia

Publikasi Bank Dunia Indonesia Constructing a New Strategy for Poverty Reduction Oktober 2001 berisi pembahasan komprehensif tentang agenda penanggulangan kemiskinan (poverty reduction) di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan adalah perlunya memperluas definisi, fakta-fakta dan tujuan-tujuan dari program anti kemiskinan. Selain ?pujian? bahwa sampai dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu mencapai hasil ?spekta-kuler? dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kritik bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan terlalu menitikberatkan pada target-target angka. Garis kemiskinan (poverty line) misalnya, dite-kankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti yang sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan pembangunan yang bersifat atas-bawah (top-down approach) telah mengesampingkan banyak dimensi kemiskinan yang mes-kipun sulit diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya melihat mereka yang secara statistik masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.

Mengabaikan angka-angka dan menjauhkan diri dari target-target matematik tentu juga tidak mungkin, karena bagaimanapun angka-angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu menitikberatkan pada pencapaian target-target statistik juga tidak bijaksana karena terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan penggunaan indikator-indikator pembangunan internasional (International Development Goals indicators) yang disusun oleh wakil-wakilnya dari komunitas internasional dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan target-target penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut lebih terfokus pada kedalaman target-target yang telah ditetapkan selama ini. Pada dimensi standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin (1999) adalah 27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar 13,5%. Pada dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target-target misalnya angka tamat pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana, apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi dapat ditingkatkan lima tahun mendatang, Dan yang tidak kalah pentingnya apakah partisipasi kalangan penduduk miskin dalam keputusan-keputusan politik setempat yang mempengaruhi kehidupan mereka dapat ditingkatkan melalui program-program tertentu.

Selama kurun waktu 1975 ? 1995 Indonesia dipuji-puji telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun 1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama umur harapan hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7 tahun, angka kematian bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan tingkat partisipasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.

Pendekatan yang dipakai pemerintah selama ini lebih mementingkan target-target angka untuk mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan. Tanpa tujuan yang pasti dan disepakati bersama oleh berbagai pelaku (stakeholder), maka pelaksanaan program penang-gulangan kemiskinan hanya sekedar memenuhi target-target yang bersifat sektoral belaka.


Kriteria Miskin Pada Era Otonomi Daerah

Sampai saat ini masih sulit untuk membayangkan bahwa suatu daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun desa, memiliki program penanggulangan kemiskinan yang lebih baik daripada daerah yang lain. Misalnya, propinsi A memiliki program penang-gulangan kemiskinan yang jauh lebih baik dengan pencapaian target ?X? persen ketimbang propinsi B. Demikian pula untuk pemerintahan daerah di bawahnya yaitu kabupaten dan desa. Sulit pula untuk dapat mengukur kinerja suatu pemerintah daerah dikaitkan dengan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Salah satu sebabnya adalah selain tidak/belum adanya kesamaan persepsi dari dinas-dinas di pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah pusat yang masih sangat besar. Selama ini sulit ditemukan publikasi dari pemerintah daerah untuk konsumsi masyarakat umum menyang-kut permasalahan kinerja pembangunan yang ada di daerah. Berbagai laporan tebal yang disusun instansi-instansi pemerintah daerah lebih ditujukan untuk memenuhi tuntutan ?administratif? dari pusat sebagai ?laporan kepada atasan?, dan bukan untuk masyarakat daerah sendiri.

Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Di sisi lain, masalah kemiskinan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian, garis kemiskinan Sajogyo misalnya mungkin saja tidak relevan diterapkan di daerah yang makanan pokok penduduknya bukan beras, atau kriteria mengenai luas dan kondisi lantai rumah yang dipakai BKKBN tentu tidak akan relevan diterapkan di daerah yang rumah penduduknya kebanyakan berbentuk rumah panggung atau perumahan nelayan yang terapung di pantai. Dengan kata lain keanekaragaman budaya masyarakat perlu dipertimbangkan dalam menyusun data kemiskinan suatu daerah.

Paradigma penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah saat ini adalah bahwa kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila ?kaum miskin menjadi aktor utama dalam perang melawan kemiskinan? (HS.Dillon: 2001). Untuk membantu kaum miskin keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian, komit-men, kebijaksanaan, orga*nisasi, dan program yang tepat. Diperlukan pula sikap yang tidak memper*lakukan orang miskin sebagai obyek, tetapi sebagai subyek. ?Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang yang memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya? (Mubyarto: 2001).

Disadari bahwa pendekatan sektoral yang telah berlangsung selama ini kurang berhasil dalam menanggulangi kemiskinan sebagaimana yang pernah dijalankan peme-rintah karena yang dipakai sebagai kriteria adalah target-target sektoral. Sebagaimana dikemukakan di atas, masing-masing instansi dalam pemerintahan mempunyai kriteria penentuan orang miskin menurut ?versi?nya masing-masing sehingga kadang-kadang terdapat perbedaan-perbedaan besar.

Meskipun saat ini belum ada titik temu ?pola otonomi? yang disepakati antara peme-rintah pusat dan daerah sehingga masih muncul tuntutan-tuntutan untuk mengkaji ulang UU otonomi daerah, namun desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya telah mulai berjalan. Daerah-daerah dan desa-desa sudah banyak yang dengan rasa percaya diri yang tinggi mengeluarkan Perda/Perdes, semuanya disesuaikan dengan kebutuhan, aspirasi masyarakat setempat, tuntutan-tuntutan, serta prioritas-prioritas yang ada di lingkungan mereka. Banyak daerah sudah mengeluarkan Perda tentang pembentukan BPD (Badan Perwakilan Desa), dan bahkan sudah melakukan pemilihan serta melantik anggota-anggotanya. Di beberapa daerah lain, karena bukan menjadi prioritas atau dianggap tidak diperlukan, ada yang belum memilih anggota BPD termasuk belum membuat Perda/ Perdesnya. Dalam era otonomi daerah tidak ada lagi ?penyeragaman?, kecuali untuk bidang-bidang tertentu seperti bidang pendidikan, yang mengharuskan setiap daerah membuat Perda dan sekaligus melaksanakannya.

Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi daerahnya masing-masing. Asumsi yang menda-sarinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk kebijaksanaan yang dihasil-kan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat.

Seiring dengan jiwa dan semangat otonomi daerah, dan kenyataan bahwa ?daerah lebih mengetahui potensi daerahnya masing-masing?, diperlukan re-orientasi peran baik pemerintah pusat, daerah, maupun desa dalam program-program penanggulangan kemis-kinan. Program penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah harus lebih mengan-dalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pandangan dan pendampingan-pendampingan bagi program-program penanggulangan kemiskinan.

Kesimpulan

Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah diperlukan indikator tertentu bagi keluarga miskin? Untuk apa kriteria atau indikator kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran? Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru? Apakah tidak tercapainya sasaran-sasaran program penanggulangan kemiskinan selama ini tidak disebabkan faktor-faktor lain, misalnya kurangnya kepedulian dan komitmen para pelaksana program? Demikian banyak lagi pertanyaan serupa dapat diajukan dewasa ini untuk lebih memastikan langkah-langkah apa yang kiranya tepat dilakukan untuk memperbaiki kinerja program-program penang-gulangan kemiskinan di masa datang khususnya pada era otonomi daerah.

Pertama, sudah cukup banyak program-program yang baik dan tepat sasaran di masa lalu yang sepertinya diabaikan hanya karena setiap pejabat masa sekarang merasa berhak menganggap semua program di masa lalu gagal. Jika program-program di masa lalu dianggap semuanya gagal maka pejabat-pejabat dan penentu kebijakan masa sekarang merasa harus mulai dari nol lagi. Benarkah?

Kedua, dalam era otonomi daerah pemerintah daerah yang paling dekat dengan rakyat, yaitu pemerintah desa, harus benar-benar mendapat kepercayaan untuk bersama rakyat menyusun program-program penanggulangan kemiskinan yang paling tepat dan yang paling mengena pada sasaran. Kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas) yang berjumlah 135.000 buah yang dibentuk dalam program IDT masih banyak yang berjalan dengan baik di daerah-daerah seperti DIY dan Bali. Inilah Pokmas yang semestinya mendapat kepercayaan untuk terus berkembang. Penduduk miskin tidak dapat ?dientas-kan?, tetapi pemerintah dapat membantu menciptakan iklim yang mendukung mereka agar lebih mampu menanggulangi kemiskinan mereka. Penduduk miskin bukanlah orang yang tidak mempunyai apa-apa tetapi memiliki serba sedikit modal sosial untuk mengembang-kan diri.

Ketiga, pemerintah tidak perlu terlalu merisaukan indikator kemiskinan dan tidak perlu menetapkan kriteria-kriteria yang ketat dengan harapan dapat menyampaikan pro-yek/program yang tepat bagi orang/penduduk miskin. Namun setiap program yang dipra-karsai pemerintah harus cepat berubah menjadi gerakan masyarakat dari, oleh, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.




Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM)
 
Back
Top