[Sejarah] Candi-Candi di Nusantara.

Dipi76

New member
Candi (Stupa) Sumberawan


Stupa_Sumberawan%20(4).jpg

Stupa Sumberawan merupakan satu-satunya bangunan stupa yang pernah ditemukan di Jawa Timur, terletak di Desa Sumberawan (Toyomarto), Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Struktur Candi (Stupa) Sumberawan

Bangunan Stupa Sumberawan berbentuk lonceng yang disangga oleh sebuah batur (alas kaki candi) berbentuk bujur sangkar. Stupa ini memiliki panjang 6,35 meter, lebar 6,35 meter, dan tinggi 5,56 meter. Secara keseluruhan, bangunan stupa Sumberawan terdiri dari batur, kaki candi, dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur yang tinggi, terdapat selasar namun tidak terdapat tangga masuk; pada stupa ini pun tidak ada hiasan atau pun relief yang menghiasai candi.

Kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya, dan di atas kaki candi ini berdiri stupa berlapik bujur sangkar dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan padma. Bagian atas berbentuk lonceng (genta) yang puncaknya telah hilang. Diduga, apabila bagian puncak stupa masih ada maka bangunan ini bisa mencapai ketinggian 6 meter.

Candi (Stupa) Sumberawan dalam Sejarah

Stupa Sumberawan diduga berasal dari abad ke-14 M. Analisa tersebut berdasarkan dugaan atas adanya kesamaan dengan Candi Kasurangganan yang dalam Nagarakretagama tercatat pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada 1359 M.


Sumber: Wacana Nusantara


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

Candi Agung Amuntai



Candi%20Agung%20Amuntai.JPG

Candi Agung Amuntai merupakan sebuah situs candi Hindu peninggalan Kerajaan Nagaradhipa (Nagara Dipa). Candi Agung Amuntai terdapat di Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

Candi Agung Amuntai dibangun oleh Ampu Jatmaka (Ampu Jatmika) abad ke-14. Menurut Hikayat Banjar, Ampu Jatmika berasal dari Keling. Ia tiba di tanah Banjar bersama armada Prabayaksa, sekitar tahun 1355 . Veerbek berpendapat bahwa Keling, yang termasuk kerajaan vasal dari Majapahit, terletak di barat daya Kediri, bukan Kalingga di India. Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia (401 dan 435), menulis bahwa Ampu Jatmika mendirikan Nagaradhipa pada 1387 dan berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmaka menjabat sebagai mantri sakai di Nagaradhipa, bukan sebagai raja Nagaradhipa. Hal ini terjadi, seperti telah disinggung di atas, karena Ampu Jatmika bukan keturunan bangsawan dan bukan pula keturunan raja Kuripan (kerajaan sebelum era Nagaradhipa). Dengan begitu, Ampu Jatmaka diperkirakan hanya sebagai Penjabat Raja atau Pemangku Kerajaan.

Menurut cerita, Kerajaan Hindu Nagaradhipa berdiri pada 1438 di persimpangan tiga aliran sungai: Tabalong, Balangan, dan Negara. Cikal bakal Kerajaan Banjar ini diperintah oleh Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Mangkubumi (Patih) Lambung Mangkurat. Negaradhipa kemudian berkembang menjadi Kota Amuntai.

Candi Agung diperkirakan telah berusia 740 tahun. Bahan material Candi Agung ini didominasi oleh batu dan kayu. Kondisinya masih sangat kokoh. Di candi ini juga ditemukan beberapa benda peninggalan sejarah yang usianya kira-kira sekitar 200 tahun SM. Batu yang digunakan untuk mendirikan candi ini pun masih terdapat di sana. Batunya sekilas mirip sekali dengan batu bata merah. Namun bila disentuh terdapat perbedaannya, lebih berat dan lebih kuat dari bata merah biasa.

Banyak pengunjung yang datang ke Candi Agung Amuntai untuk sekadar berekreasi. Banyak pula yang bertujuan ziarah. Maklum di areal candi ini terdapat makam kuno. Kalau Anda ke Kota Amuntai, luangkan waktu untuk melihat candi ini. Meski berbeda dengan candi yang ada di Jawa, namun keberadaannya jelas memberikan informasi tentang keberadaan candi di Kalimantan.

Menurut Hikayat Banjar

Hikayat Banjar diwariskan secara tuttur lisan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat Banjar. Orang-orang “modern” akan menganggap cerita hikayat ini tak lebih sebagai sebuah dongeng karena banyak kejadian yang diceritakan di dalamnya berada di luar jangkauan akal manusia. Namun, ternyata dari Hikayat Banjar ini diperoleh keterangan tentang keberadaan Candi Agung Amuntai dan Candi Laras (Margasari Rantau) yang tentu merupakan informasi berharga sebagai pijakan untuk melakukan penelusuran terhadap keberadaan dua candi tersebut.

Alkisah, seperti dituturkan dalam Hikayat Banjar, sebuah pelayaran dilakukan oleh Ampu Jatmaka dengan armada Prabayaksa. Ampu Jatmaka merupakan seorang saudagar dari Keling, yang sebelum pergi diwasiati oleh orangtuanya agar ia harus bersinggah di suatu wilayah yang berhawa panas, dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai karena hawanya dirasa sesuai dengan wasiat itu. Karena Ampu Jatmaka menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan anak raja, ia membangun sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan Candi Agung. Dan untuk melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah patung replika dirinya yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina.

Ampu Jatmaka memunyai dua orang anak: Ampu Mandastana dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat ). Kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih Kerajaan. Suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau Kerajaan Dipa tidak memunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu (kini Sungai Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terakhir pertapaannya sebuah petunjuk gaib datang bahwa ia harus menyediakan 40 jenis makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang yang berpakaian serba kuning melambangkan kemewahan pada Kerajaan Dipa pada saat itu. Setelah itu Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa, tak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan raja perempuan di Kerajaan Dipa dan diberi nama Putri Junjung Buih.

Ampu Mandastana, saudara Lambung Mangkurat, memunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan Putri Junjung Buih yang terkenal cantik Luar biasa dan keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. Karena merasa kedua keponakannya tidak sesuai untuk sang putri, Lambung Mangkurat membunuh kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “Lubuk Badangsanak” (Danau Berdarah) yang bisa kita lihat sampai sekarang di Candi Agung Amuntai.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

Candi Badut


Candi_Badut_%20(2).jpg


Candi Badut terletak di Dukuh Gasek, Desa Karang Besuki, Kesamatan Dau, Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Candi Badut terletak di kaki Gunung Kawi. Candi Badut diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi.

Struktur Candi

Candi Badut merupakan suatu kompleks Percandian yang dikelilingi pagar tembok, namun sekarang telah hilang. Letak bangunan candi tidak di pusat halaman candi. Terletak di dataran rendah, pada ketingian 508 meter di atas permukaan air laut. Candi ini terbuat dari bahan batu andesit dengan ukuran panjang 17,27 meter, lebar 24 meter dan tinggi 8 meter. Pintu Candi barat. Pada pintu masuk ke ruang candi dihiasi Kalamakara.

Dilihat dari segi arsitekturnya Candi Badut memiliki kemiripan dengan candi-candi di Jawa Tengah periode bad ke-8 hingga ke-10 Masehi, terutama kemiripannya bisa kita lihat di kawasan dataran tinggi Dieng seperti Candi Gedong Songo. Dari peninggalan berupa sisa-sisa pondasi tiga buah candi perwara (candi kecil yang mengitari candi Induk), menunjukan apabila Candi Badut merupakan kompleks percandian.

Kuat dugaan bahwa Candi Badut merupakan Candi denga gaya Arsitektur peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kemungkinan juga merupakan suatu bukti terjadinya perpindahan pusat kerajaan ke timur. Dalam hubungan ini para sarjana cenderung menghubungkan berita perpindahan kerajaan Holing ke timur sekitar tahun 740 Masehi. Kemudian diartikan bahwa raja dari dinasti sanjaya menyingkir ke timur karena terdesak oleh dinasti Sailendra. Daerah yang dimaksud mungkin adalah sekitar Malang sekarang.

Bagian kaki

Secara morfologis, kaki candi terdiri atas perbingkaian bawah, badan kaki dan perbingkaian atas tetapi kaki Candi Badut hanya mempunyai bingkai bawah dan badan kaki. Bingkai bawah terdiri dari pelipi rata, sedangkan badan kaki candi berupa susunan bata-bata rata, polos dan tidak mempunyai hiasan sama sekali. Pada bagian depan candi terdapat tangga naik ke bilik candi dihiasi ukiran, pada tangga sebelah selatan terdapat Fragmen relief kinarakinari (Mahluk Surga berkepala manusia berbadan burung yang bertugas memainkan lantunan musik Surgawi). Sebelum masuk ke bilik candi terdapat selasar keliling dengan pradaka sinaptha.

Bagian badan

Badan Candi Badut lebih besar dari tingginya. Pintu bilik berpenampil (poritico) yang mengingatkan pada langgam seni bangunan Jawa Tengah. Pada dinding luar badan candi terdapat relung-relung yang di dalamnya terdapat arca. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa. Durga Mahesasuramardhini (relung utara), Syiwa sebagai Mahaguru atau Agastya (biasanya terdapat di relung selatan), sedangkan di relung timur biasnya berisi arca Ganesa. Relung-relung tersebut memiliki bingkai kara makara. Di sisi kiri-kanan pintu masuk terdapat relung-relung kecil dengan penampil berisi Mahakala dan Nandiswara. Bidang-bidang di samping relung-relung itu diisi dengan hiasan pola bunga.

Bagian Atap

Bagian atap candi telah rusak, hanya tinggal lapis pertama yang tidak lengkap. Menurut hasil rekonstruksi yang pernah dilakukan, tampak bagian atap candi terdiri atas dua tingkat yang serupa dengan tubuh candi tetapi makin ke atas semakin kecil dan ditutup dengan puncak ratna. Hiasan yang terdapat pada atap berupa antefix.

Candi Perwara

Candi_Badut_%20(6).jpg


Di depan candi induk terdapat tiga bekas alas candi kecil (candi perwara). Diperkirakan bentuknya sama dengan candi induk. Candi tersebut berjajar arah utara selatan dan menghadap ke timur.

Candi perwara yang di tengah berisi arca Nandi, di selatan terdapat lingga yoni, sedangkan di utara tidak diketahui. Susunan yang terdiri dari tiga candi yang lebih kecil dan berhadapan membuktikan bahwa Candi Badut merupakan salah satu candi yang tertua di Jawa Timur.

Candi Badut dalam Sejarah

Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni.

Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.

Candi Badut diperkirakan dibangun pada abad VIII Masehi. Masa pendirian bangunan dihubungkan dengan prasasti Dinoyo 760 Masehi (682 Saka). Prasasti dibuat dari batu bertuliskan huruf Kawi, berbahasa Sansekerta dan menyebutkan bahwa pada abad VIII Masehi, ada kerajaan berpusat di Kanjuruhan Desa Kejuron) di bawah pemerintahan Raja Dewa Simha yang berputera seorang laki-laki bernama Limwa. Limwa mempunyai seorang puteri. Uttejana yang menikah dengan Jananeya. Limwa menggantikan ayahnya dan berganti nama dengan Gajayana. Pada pemerintahan Gajayana itulah didirikan Candi Badut. Dikatakan pula bahwa pendirian bangunan tersebut tanggal 1 Kresnapaksa bulan Margasirsa tahun 682 Saka (28 Nopember 760 Masehi) untuk tempat Agastya berikut arcanya dari batu hitam yang sangat indah. Arca tersebut ditasbihkan oleh para pendeta yang paham akan kitab Weda beserta para petapa sthapaka dan rakyat. Pada kesempatan ini raja menganugerahkan sebidang tanah, sapi dan kerbau, budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaga, juga segala keperluan untuk pendeta seperti keperluan pemujaan, penyucian diri dan bangunan tempat peristirahatan para pengunjung. Dengan adanya arca Durga, Agastya dan lingga yoni maka Candi Badut merupakan candi-candi agama Hindu.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

Candi Bajang Ratu


8532_102242096457019_100000136868296_64814_994873_n.jpg


Gapura Bajang Ratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten. Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, dengan arah hadap ke timur laut dan berada pada ketinggian ± 41,49 meter di atas permukaan air laut.

Deskripsi Bangunan

Gapura Bajang Ratu merupakan bangunan pintu gerbang berbentuk ‘pradakursa’ yaitu gapura berupa pintu gerbang dengan atap yang menyatu (memiliki atap). Bahan utamanya adalah batu bata, kecuali lantai tangga serta ambang pintu (bawah dan atas) gapura yang dibuat dari batu andesit. Denah bangunan berbentuk persegi empat, berukuran 11,20 x 6,7 meter, dengan tinggi 16, 10 meter, mempunyai lorong masuk keluar dengan lebar 1,40 meter. Secara keseluruhan, Gapura Bajang Ratu terdiri dari bagian induk dengan struktur kaki, tubuh dan atap. Selain itu, Gapura Bajang Ratu mempunyai sayap dan pagar tembok di kedua sisinya yang bagian-bagiannya dihiasi relief-relief.

Pada sudut-sudut kaki gapura masing-masing terdapat panel-panel yang pada bagian depannya dihiasi dengan relief fragmen cerita Sri Tanjung (keadaannya sudah nampak aus dan ada juga yang sengaja dirusak).

8532_102242263123669_100000136868296_64825_284960_n.jpg
8532_102242316456997_100000136868296_64826_115806_n.jpg


Hiasan pada panel pertama (secara samar-samar) berupa dua orang berdiri dikelilingi oleh sulur-sulur diduga merupakan penggambaran seorang pria dan wanita (Sidapaksa dan Sri Tanjung.). Panel kedua terdapat penggambaran ikan yang pada bagian atasnya terdapat hiasan menyerupai bonggol rumput di tengah riak air. Ada yang beranggapan relief tersebut adalah hewan kalajengking yang berkaki enam dengan sengatnya (namun, penelusuran Tim Wacana Nusantara akan mitologi Hindu khususnya, hewan kalajengking tidak terdapat dalam mitologi Hindu). Pada panel ketiga digambarkan seorang wanita mengendarai ikan yang dipahatkan serupa dengan relief sebelumnya (panel kedua). Relief pada panel keempat menggambarkan seorang wanita dengan posisi menoleh ke belakang, sumber yang kami dapatkan memberikan penjelasan bahwa pahatan pada relief ini adalah bagian dimana Sri Tanjung setelah sampai ke alam baka.

Pada sayap gapura terdapat penampil berhiaskan relief fragmen Ramayana, menggambarkan dua orang yang sedang berkelahi. Salah seorang di antaranya menderita kekalahan badannya diinjak oleh musuhnya yang berbentuk seekor kera. Pihak yang kalah berbadan besar dan berkepala raksasa. Bingkai di kiri-kanan pintu masuk berdiri pahatan berupa binatang bertelinga panjang dengan ekor berbentuk sulur gulung naik ke atas. Sulur gulung ini pun tidak selesai di pahat. Sebagian besar bingkai masih polos atau diberi goresan rancangan. Di atas lantai dipahatkan sepasang umpak dengan dua buah lubang bekas engsel pintu yang daun pintunya membuka ke dalam. Penampil-penampil gapura dihias dengan pelipit bawah, pelipit tengah dan pelipit atas masing-masing diukir dengan rangkaian bunga atau hiasan belah ketupat panjang, ada beberapa pelipit yang belum rampung ukirannya.

Bagian atap banyak dihiasi dengan pahatan-pahatan kecil sehingga nampak indah dan unik, setiap dua lapis atap diselingi oleh deretan menara yang pejal dan bersambung dengan tingkat atap berikutnya. Hiasan menara ini berjumlah tiga tingkat. Dua lapisan atap yang terbawah tidak berhias atau mungkin telah rusak.

8532_102242249790337_100000136868296_64821_3094460_n.jpg


Dua lapis ke dua masing-masing berhiaskan:
- Kepala kala di tengah dengan sepasang taring yang panjang yang mirip dengan sepasang duri seperti pipi kala Candi Jago.
- Relief matahari memancarkan sinar.

Sisi kiri maupun sisi kanan kepala kala diapit oleh dua ekor binatang yang berdiri berhadapan, tetapi mempunyai sebuah kepala saja berupa kala. Relief serupa ini kita dapatkan pula pada Candi Jago. Sistem pahatan berupa binatang atau makhluk lainnya yang digambarkan berhadapan ke arah pusat.

Relief Matahari Memancarkan Sinar.

Matahari ini merupakan perubahan bentuk dari kepala kala. Pada lapis atau ketiga berhiaskan relief kepala atau mungkin kepala garuda yang dipahat miring. Relief ini terdapat di bagian tengah maupun sudut-sudut atas. Kepala-kepala kala yang di tengah diapit oleh sepasang binatang seperti motif yang terdapat pada Candi Panataran.

Dua lapis atas keempat berhiaskan bentuk menyerupai siput yang bulat, baik di tengah maupun di sudut atap. Hiasan pada tingkat atap di bawah puncak atap berupa hiasan geometris dan kelopak bunga, sedangkan puncak atap sendiri diberi hiasan seperti bonggol.

Bajang Ratu dalam Sejarah

Bajang Ratu diperkirakan dibangun sekitar abad ke-13 s/d abad ke-14 Masehi. Nama Bajang Ratu pertama kali terdapat dalam Oudheidkundig Versalag (OV) tahun 1915, yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut telah diperbaiki dengan penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisi spesi dari campuran PC dan pasir halus pada nat-nat yang renggang. Jauh sebelum itu, masyarakat sekitar Trowulan telah menyebutnya demikian. Bajang berarti kecil/kerdil, sama halnya dengan kata Pabajangan yang berarti kuburan anak kecil.

Menurut tutur penduduk setempat, Gapura Bajang Ratu merupakan bangunan yang dibangun untuk mengenang Jayanegara sebagai Putera Mahkota Majapahit yang semasa dalam kandungan beliau sudah dinobatkan menjadi Kumaraja (Raja Muda). Pendapat lain menyebutkan bahwa Gapura Bajang Ratu dibangun untuk mengenang seorang putera mahkota Majapahit yang semasa dalam kandungan sudah menjadi Raja (ditetapkan menjadi Raja Pengganti) akan tetapi bayi mahkota tersebut kemudian meninggal saat dilahirkan dan gagal menjadi Raja (Ratu).

Dalam Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat pada tahun 1328 M. Teks itu berbunyi: “sira dhinarmeng Kapopongan, bhisekering cranggapura, pratistaning antawulan.” Kata cranggapura dalam Pararaton diperkirakan sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakertagama, sedangan Antarwulan (Trowulan) sama dengan Antarisasi. Dengan demikian, Atas dasar ini maka dapat dikatakan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Cranggapura atau Cri Ranggapura. Pratistanya (bangunan suci) berada di Antarwulan/Antarisasi atau Trowulan.

Jayanegara (Kalagement) adalah Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1309-1328 M. Ia adalah anak dari Kertarajasa dengan Dyah Sri Tribhuwaneswari. Di dalam Prasasti Taharu yang berangka tahun 1245 Caka (1323 M), Jayanegara disebtukan dengan nama gelas Cri Sundara Pandyadewadhiswara. Pada waktu ayahnya masih memerintah yakni pada tahun 1218 S (1296 M), ia sudah dinobatkan sebagai Raja Muda (Kumararaja) dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan nama Bajang Ratu, yaitu dinobatkan tatkala masih “bajang” sehingga jelas menjadi Ratu (Raja) sewaktu masih ‘bajang’ atau Ratu Bajang dan atau Bajang Ratu menjadi sebutan yang melekat padanya.

Dapat disimpulkan berkenaan dengan uraian di atas, fungsi Gapura Bajang Ratu diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci (memperingati wafatnya Jayanegara) yang dalam Negarakretagama disebutkan kembali ke dunia Wisnu. Dugaan tersebut mengarah kepada relief Fragmen Sri Tanjung dan relief fragmen Ramayana yang mempunyai rangkaian arti sebagai lambang pelepasan/kematian.


-dipi-
 
Last edited:
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

Candi_Badut_%20(2).jpg



kenapa candi itu dinamakan Candi Badut yah? Apakah ada tokoh berpengaruh pada saat penamaan Candi tersebut
 
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

kenapa candi itu dinamakan Candi Badut yah? Apakah ada tokoh berpengaruh pada saat penamaan Candi tersebut
Karena ini dek..
dipi76 said:
Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni.
:)

anyway, untuk candi2 lainnya...akan menyusul..


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

Candi Borobudur

borobudur.jpg


Lokasi dan Pembuatan

Candi Borobudur merupakan nama sebuah candi Buddha yang terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah baratdaya Semarang dan 40 km di sebelah baratlaut Yogyakarta, dan berada pada ketinggian kira- kira 265,4 m di atas permukaan laut.

Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Candi ini diduga dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja Kerajaan Mataram Kuno. Pembangunan candi itu diduga selesai pada 847 M. Menurut Prasasti Klurak (784 M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddha Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samaratthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.

buddha_of_borobudur.jpg


Asal dan Jejak Kata “Borobudur”

Nama Borobudur sendiri masih mengandung banyak penafsiran dan banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalnya, kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara berasal dari kata vihara (Sansekerta) yang artinya kompleks candi atau biara dan budur yang berasal dari kata beduhur yang berarti di atas. Dengan demikian, Borobudur berarti “biara di atas bukit” yang mungkin diidentifikasikan dengan sebuah gunung yang berteras-teras (budhara). Sumber lain mengatakan Borobudur berarti “biara yang terletak di tempat tinggi”.

Nama Borobudur diketahui terdapat dalam naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, di mana disebutkan “biara di Budur”. Kemudian pada naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.

Arsitektur

Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari dua juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton.

Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar.

Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.

Candi Borobudur terdiri dari 10 tingkat: enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar, dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Tersebar pula di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.

sunset-at-borobudur.jpg


Stupa

Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Buddha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Buddha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut. Candi Borobudur memiliki 504 stupa Buddha di kompleksnya.

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.

Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga “unfinished Buddha”, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha—padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama. Patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan, patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa lem.

Relief

Candi Buddha ini memiliki 1.460 relief, di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita Jātaka.

2969067643_3c125b6d5f_o%20%28229%29.jpg


2969067643_3c125b6d5f_o%20%28219%29.jpg


2969067643_3c125b6d5f_o%20%28232%29.jpg

Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya; mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meski sisi-sisi lainnya serupa benar.

2969067643_3c125b6d5f_o%20%28170%29.jpg

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut:

Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara). Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang memunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan ukiran ini merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.

Lalitawistara

Relief ini merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat Kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di surga mau pun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai “Pemutaran Roda Dharma”, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

Jataka dan Awadana

Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain mana pun. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat kebuddhaan.

Ada pun Awadana, pada dasarnya, hampir sama dengan Jataka tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti “perbuatan mulia kedewaan”, dan kitab Awadanasataka atau “seratus cerita Awadana”. Pada relief Candi Borobudur, Jataka dan Awadana diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup pada abad ke-4 M.

Gandawyuha

Relief ini menghiasi dinding lorong ke-2, adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

Pemugaran-pemugaran

Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Pemugaran selanjutnya oleh Cornelius pada masa Raffles mau pun Residen Hatmann. Periode selanjutnya pemugaran dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang.

Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya menemukan bentuk Candi Borobudur. Ada pun landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.

Robert von Heine Geldern (antropolog-etnolog Austria,) berdasarkan hasil penyelidikan yang ia lalukan menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolitik dan Megalitik yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalitik itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko, Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara mana pun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Buddhis di Indonesia.

Monograf Borobudur untuk pertama kalinya diterbitkan dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis setahun kemudian. Monograf ini memuat ratusan sketsa dan gambar candi beserta isinya, dibuat atas prakarsa pemerintah Belanda dengan melibatkan sedikitnya tiga orang ahli: Leeman, Wilsen, dan Brumund. Sejak diterbitkan monograf ini, akses masyarakat luas (terutama Eropa) terhadap informasi Borobudur menjadi terbuka lebar. Mulai Borobudur mengambil tempat dalam “peta sejarah dunia” dan menarik perhatian para ahli untuk meneliti lebih jauh.

Restorasi pertama dilakukan dibawah pimpinan Theodore van Erp dengan dana pemerintah Belanda. Selain restorasi, dia membuat dokumentasi foto keadaan candi sebelum, selama, dan sesudah restorasi, serta melakukan pendataan dan inventaris jumlah stupa dan relief. Namun yang paling menonjol adalah keberhasilan van Erp merekonstruksi candi secara utuh hingga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Namun, sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi misteri Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, serta teknologi yang digunakan dan lagi proses pembuatan relief yang ada pada dinding-dinding candi, semuanya masih merupakan misteri yang membuat kita takjub.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

Candi Brahu

8532_102242503123645_100000136868296_64836_5328730_n.jpg


Candi Brahu terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.

Deskripsi Bangunan

Candi Brahu dibangun dengan menggunakan batu bata sebagai bahan utamanya, dengan panjang sekitar 18 meter, lebar 22,5 meter, dan tinggi 20 meter, Candi Brahu Nampak kokoh dan megah. Dari pintu masuk ke ruang bilik Candi yang terletak di sisi barat dapatlah diketahui bahwa Candi Brahu menghadap ke arah barat.

Denah Batu Candi Brahu berbentuk bujur sangkar dengan masing-masing sisinya menjorok keluar. Keadaan bangunan Candi Brahu polos tanpa adanya fragmen relief maupun hiasan yang umumnya dapat kita temui pada bangunan Candi.

Candi Brahu dalam Sejarah

Kata Brahu menurut keterangan beberapa masyarakat sekitar Trowulan, berasal dari kata Wanaru atau Warahu (perabuan/pembakaran). Dalam data sejarah, nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari candi brahu. Kendatipun demikian, dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi.

Di sekitar Candi Brahu banyak terdapat temuan Candi-candi kecil yang sebagian sudah runtuh, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Saat penggalian dilakukan di sekitar Candi, banyak ditemukan benda-benda kuno seperti alat alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari emas, arca dan lain lainnya. Penemuan peninggalan benda-benda di sekitar Candi Brahu hingga saat ini pun masih terus berlanjut menururt keterangan masyarakat sekitar Trowulan, tahun 1996 pernah ditemukan berangkas perunggu, menururt informasi yang Tim Wacana Terima, Brangkas tersebut berisikan pakaian Kebesaran lengkap dengan perhiasan untuk dikenakan.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Mari Mengenal Candi-Candi di Nusantara.

Candi Cangkuang

cangkuang%202.bmp


Candi Cangkuang diketemukan oleh tim Sejarah Leles sekitar tanggal 9 Desember 1966. Awal ditemukannya batu yang merupakan fragmen dari sebuah candi dan makam kuno serta arca Siwa yang telah rusak. Selain itu, diketemukan pula peninggalan kehidupan dari jaman pra sejarah yaitu berupa alat dari batu obsidian (batu kendan), pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neolithicum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum.

Lokasi dan Keadaan Geografis

Cangkuang adalah nama suatu desa dan sekaligus danau yang ada di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di daerah ini ada sebuah candi yang namanya sama dengan nama desa dan danau yang ada di sana, yaitu Candi Cangkuang. Candi ini ada di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,4 hektar. Pulau kecil yang ada di tengah Danau Cangkuang ini secara astronomis letaknya pada koordinat 106 derajat bujur timur dan 7 derajat Lintang Selatan. Selain pulau ini ada juga dua pulau lainnya yang ukurannya lebih kecil.

Candi Cangkuang adalah satu-satunya candi Hindu yang ada di tatar Sunda. Sampai sekarang belum ditemukan bukti yang dapat mengaitkan candi tersebut dengan masyarakat atau kerajaan tertentu. Namun demikian, data arkeologis menunjukkan bahwa sebelum datangnya pengaruh Hindu, di daerah Cangkuang dan sekitarnya sudah berkembang kebudayaan yang menghasilkan alat-alat mikrolit-obisidian, kapak/beliung batu, tembikar, alat-alat logam serta bangunan yang terbuat dari susunan batu. Candi Cangkuang sendiri diperkirakan merupakan produk budaya masa klasik Jawa Barat pada abad ke-5, yaitu pada masa kerajaan Taruma atau To lo mo (menurut tambo Cina) yang kemudian menjadi Sun to (Sunda?) yang hingga akhir abad ke-7 masih disebut-sebut.

Jika dilihat dari bentuk bangunannya, maka sementara ahli berpendapat bahwa Candi Cangkuang berasal dari abad ke-8. Namun, jika dilihat dari kesederhanaan hiasan, teknik pembuatan, serta keterangan dari tambo Cina, maka tidak mustahil bangunan Candi Cangkuang berasal dari abad ke-7, bersamaan dengan pembuatan candi-candi lainnya di Pulau Jawa.

Danau Cangkuang terletak di sebuah lembah yang subur, di atas ketinggian kurang lebih 690 meter dari permukaan laut, dan dikelilingi pegunungan Pegunungan itu adalah: Gunung Haruman (1.218 m) yang berada di sebelah timur-utara; Gunung Pasir Kadaleman (681 m) yang berada di sebelah di tenggara; Gunung Pasir Gadung (1.841 m) yang berada di sebelah selatan; Gunung Guntur (2.849 m) yang berada di sebelah barat-selatan; Gunung Malang (1.329 m) yang berada di sebelah barat; Gunung Mandalawangi yang berada di sebelah selatan-utara; dan Gunung Kaledong (1.249 m) yang berada di sebelah timur.
Sedangkan, Pulau Cangkuang terdiri atas bagian perbukitan dan daratan rendah. Dan, Candi Cangkuang terletak pada bagian yang paling tinggi. Candi ini sekarang telah dihiasi dengan pertamanan dan dilengkapi dengan sebuah balai informasi. Pemakaman masyarakat setempat ada bagian bawahnya (kurang lebih 3 kilometer).

Pada bagian dataran rendahnya terdapat kampung adat (Kampung Pulo) dengan beberapa rumah tinggal dan satu langgar. Di tengah-tengah kampung tersebut terdapat halaman yang cukup luas. Penghuninya terikat pada peraturan-peraturan adat tertentu yang berkaitan dengan makam Islam legendaris yang berada di atas bukit Cangkuang. Sebenarnya Pulau Cangkuang dapat dicapai bukan hanya dengan getek (semacam perahu) dari Desa Ciakar, tetapi juga dapat dengan berjalan kaki menyusuri jalan setepak di tengah persawahan.

Candi Cangkuang ditemukan pertama kali pada bulan Desember 1966 oleh Uka Tjandrasasmita (anggota Tim Penulisan Sejarah Jawa Barat) berdasarkan laporan Vorderman (1893) tentang sisa-sisa arca Dewa Siwa serta makam leluhur Arif Muhammad di daerah Cangkuang. Ternyata yang ditemukan di pulau itu bukan hanya arca Siwa, melainkan juga batu-batu bekas bangunan candi yang digunakan sebagai nisan-nisan kubur Islam yang berserakan di beberapa tempat.

Serpihan pisau dan batu-batu besar yang ditemukan itu diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Dan, setelah Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bersama para dosen dan mahasiswa dari Jakarta dan Bandung melakukan ekskavasi (penggalian), mengumpulkan batu-batu, penggambaran, penyusunan percobaan dan serangkaian diskusi, maka kesimpulannya bahwa batu-batu itu jelas sisa bangunan candi. Konsentrasi batu-batu itu terletak di bawah pohon besar dekat timbunan batu yang dikenal oleh masyarakat sebagai makam Dalam Arief Mohammad.

Setelah dikaji hampir sepuluh tahun lamanya, LPPN yang pada waktu itu dipimpin oleh Satyawati Soeleiman, berpendapat bahwa pemugaran secara memuaskan tidak mungkin, karena bahannya tinggal + 40% dan di mana letak serta arah menghadapnya secara pasti belum diketahui. Namun apabila dibiarkan, batu-batu akan makin aus dan banyak yang hilang. Untuk itu, diputuskan untuk direkonstruksinya. Untungnya sisa-sisa candi yang 40% itu masih mewakili unsur-unsur seluruh bagian candi. Tentang lokasinya tentunya di tempat konsentrasi batu. Soal menghadapnya disesuaikan dengan letak candi-candi yang ada di Jawa, yaitu ke timur (walaupun ada yang ke barat). Pada Pelita II yakni tahun 1974 sampai 1977 rekonstruksi candi dapat diselesaikan. Hasilnya meskipun masih kurang mantap namun dapat menggugurkan pendapat umum yang berkembang selama ini bahwa di Jawa Barat tidak ada candi.

Struktur Bangunan

Candi cangkuang berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang bahannya terbuat dari batu andesit, berukuran 4,7 x 4,7 meter dengan tinggi 8,5 meter. Seperti candi-candi yang lain, Candi Cangkuang terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi, ukurannya 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 1,37 meter. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 meter dan lebar 1,26 meter.

Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22m dengan tinggi 2,49 meter. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran tinggi 1,56 meter dan lebar 0,6 meter. Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 meter dengan tinggi 1,56 meter dan 2,74 x 2,74 meter yang tingginya 1,1 meter. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 meter yang tingginya 2,55 meter. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 meter yang dalamnya 7 meter (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).

Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala lembu nandi yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga. Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 centimeter, lebar pundak 18 centimeter, lebar pinggang 9 centimeter, padamasana 38 centimeter (tingginya 14 centimeter), lapik 37 centimeter dan 45 centimeter (tinggi 6 centimeter dan 19 centimeter), tinggi 41 centimeter.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Candi-Candi di Nusantara.

Candi Cetha

cetho.bmp

Sesungguhnya Candi Cetha tidak dapat dikelompokkan ke dalam candi-candi di Jawa Timur karena letaknya di Dukuh Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Namun secara historis Candi Cetha lebih erat kaitannya dengan Kerajaan Majapahit.

Candi Cetha merupakan salah satu candi yang dibangun pada zaman Kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V. Konon, nama Cetha, yang dalam bahasa Jawa berarti "jelas", digunakan karena dari Dusun Cetha orang dapat dengan jelas melihat ke berbagai arah. Ke arah utara terlihat pemandangan Karanganyar dan Kota Solo dengan latar belakang Gunung Merbabu dan Merapi serta, lebih jauh lagi, puncak Gunung Sumbing. Ke arah barat dan timur terlihat bukit-bukit hijau membentang, sedangkan ke arah selatan terlihat punggung dan anak-anak Gunung Lawu.

Kompleks Candi Cetha pertama kali ditemukan oleh Van der Vlis pada 1842. Selanjutnya bangunan bersejarah itu banyak mendapat perhatian para ahli purbakala seperti W.F. Sutterheim, K.C. Crucq, N.j. Krom, A.J. Bernet Kempers, dan Riboet Darmosoetopo. Pada 1928 Dinas Purbakala mengadakan penelitian melalui penggalian untuk mencari bahan-bahan rekonstruksi yang lebih lengkap. Bangunan yang ada saat ini, termasuk bangunan-bangunan pendopo dari kayu, merupakan hasil pemugaran yang dilakukan pada akhir 1970-an. Sangat disayangkan bahwa pemugaran--atau lebih tepatnya pembangunan kembali--tersebut dilakukan tanpa memperhatikan aspek arkeologis, sehingga keaslian bentuknya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dari tulisan yang ditemukan di lokasi candi, diketahui candi ini dibangun sekitar tahun 1451-1470, yaitu pada masa akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit. Candi Cetha merupakan candi Hindu yang dibangun untuk tujuan ruwatan, yaitu upaya penyelamatan dari malapetaka dan berbagai bentuk tekanan akibat kekacauan yang sedang berlangsung. Kenyataan bahwa candi ini merupakan candi Hindu sangatlah menarik, karena raja-raja Majapahit kebanyakan menganut Buddha. "Penyimpangan" tersebut diduga berkaitan erat dengan tujuan pembangunannya. Pada masa itu Kerajaan Majapahit sedang mengalami proses keruntuhan dengan memuncaknya kekacauan sosial, politik, budaya dan bahkan keagamaan sebelum akhirnya mengalami keruntuhan total pada abad ke-15.

Candi Cetha merupakan kelompok bangunan yang terdiri atas 11 teras berundak yang membentang arah timur-barat. Teras pertama terletak di sisi timur, makin ke barat makin tinggi. Masing-masing teras dihubungkan oleh sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membelah halaman teras menjadi dua sisi. Di sisi timur teras paling bawah terdapat sebuah gapura yang merupakan pintu gerbang kompleks Candi. Di depan gapura terdapat sebuah arca batu "Nyai Gemang Arum".

Di sisi selatan teras pertama terdapat bangunan tanpa dinding yang berdiri di atas fondasi setinggi kurang lebih 2 m. Dalam bangunan terdapat susunan batu yang tampaknya sering digunakan untuk meletakkan sesajian. Di ujung barat jalan setapak yang melintasi halaman teras pertama terdapat gapura batu dengan tangga batu. Tangga menuju teras berikutnya ini diapit oleh sepasang arca Nyai Agni. Hanya satu dari kedua arca ini yang masih agak utuh, yaitu masih berkepala.

Di halaman teras kedua terdapat susunan batu yang terhampar di halaman, membentuk gambar seekor garuda terbang dengan sayap membentang. Di punggung garuda terdapat susunan batu yang menggambarkan seekor kura-kura. Tepat di atas kepala garuda terdapat susunan batu berbentuk matahari bersinar, segitiga sama kaki dan kalacakra (kelamin laki-laki). Di ujung masing-masing sayap garuda terdapat dua bentuk matahari lain.

Garuda adalah burung kendaraan Wisnu yang yang melambangkan dunia atas, sedangkan kura-kura yang merupakan titisan Wisnu merupakan simbol dunia bawah. Kura-kura dianggap binatang sakti yang mampu menyelami samudra untuk mendapatkan air kehidupan (tirta amerta). Adanya kalacakra di halaman ini menyebabkan Candi Cetha disebut sebagai candi "lanang" (lelaki).

Matahari bersinar 7 (tujuh) melambangkan Sang Surya yang diyakini sebagai sumber kekuatan kehidupan. Segitiga sama kaki melambangkan pedoman bagi dunia yang sedang tenggelam ke lautan kegelapan. Di tengah segitiga sama kaki terdapat lingkaran yang memuat tiga ekor katak, masing-masing menghadap ke sudut yang berbeda.

Dalam setiap segitiga terdapat lukisan seekor kadal. Pada garis berat yang membagi sisi timur terdapat bentuk belut bermahkota dengan gambar ketam di sisi selatan dan mimi (sejenis binatang laut) di sisi utara. Keseluruhan bentuk tersebut merupakan gambaran harapan akan kesuburan, baik kesuburan tanah maupun manusia. Segitiga dengan bentuk kelamin laki-laki di puncaknya melambangkan kesatuan wanita dan pria, dua makhluk yang berlawanan sifat namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai perlambang jagad kecil (mikrokosmos) dalam diri manusia. Di sisi barat teras kedua, masing-masing di kiri dan kanan tangga menuju teras berikutnya, terlihat dua buah ruangan yang tinggal fondasinya saja. Tangga menuju teras berikutnya merupakan susunan batu andesit yang susunannya tidak rapi. Di kiri dan kanan tangga terdapat reruntuhan batu yang tidak jelas bentuk aslinya.

Teras ketiga merupakan halaman yang tidak terlalu luas. Seperti yang terdapat di teras sebelumnya, di sisi barat teras ini juga terdapat sepasang ruangan yang mengapit jalan menuju tangga ke teras yang lebih atas. Di dalam ruangan terdapat susunan batu membentuk segi empat membujur dari utara ke selatan. Pada dinding susunan batu tampak relief bergambar orang dan binatang. Konon, relief tersebut merupakan cuplikan dari cerita Kidung Sudamala. Relief dengan tema Kidung Sudamala juga terdapat di Candi Sukuh. Relief ini yang menguatkan dugaan bahwa Candi Cetha dibangun untuk tujuan ruwatan. Tangga menuju teras berikutnya terbuat dari batu andesit yang sangat rapi susunannya, dibuat bertingkat dengan jeda (landing) yang cukup lebar di setiap tingkat. Tebing di kira dan kanan tangga disangga oleh turap batu bersusun. Tidak didapat informasi apakah tangga ini merupakan hasil pemugaran yang pernah dilakukan sebelumnya atau merupakan tangga asli.

Di sisi dalam (barat) teras keempat, terdapat sepasang arca Bima yang menjaga sebuah tangga batu menuju teras kelima. Teras kelima merupakan halaman dengan sepasang bangunan beratap, yang disebut pendapa luar. Bangunan tanpa dinding tersebut mengapit jalan menuju tangga ke teras ke enam. Menurut keterangan yang didapat dari juru kunci, pendopo luar merupakan ruang tunggu bagi tamu yang akan menghadap Sang Prabu Brawijaya.

Di sisi barat teras keenam, di depan kaki tangga, terdapat sebuah arca kalacakra dan sepasang arca Ganesha. Tangga menuju teras ketujuh ini sangat rapi susunannya dan dibuat bertingkat tiga. Tebing di kiri kanan tangga diperkuat dengan turap batu. Di puncak tangga terdapat gapura yang merupakan pintu masuk ke teras ketujuh, yang merupakan halaman yang dikelilingi oleh dinding batu. Mirip dengan pendopo luar, di teras ini juga terdapat sepasang pendopo beratap tanpa dinding. Teras ini disebut pendopo dalam. Di sisi barat pendopo-dalam terdapat tangga menuju di teras berikutnya.

Teras kedelapan merupakan sebuah ruangan yang digunakan untuk bersembahyang. Di depan pintu ruangan terdapat dua buah arca batu dengan tulisan Jawa yang menunjukkan tahun dibangunnya Candi Cetha. Di sisi barat, di belakang ruangan, terdapat tangga menuju teras kesembilan.

Di kiri dan kanan sisi barat teras kesembilan terdapat ruangan yang menghadap ke timur. Kedua ruangan tersebut berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda kuno. Di sisi timur, berseberangan dengan masing-masing ruang penyimpanan tersebut terdapat dua bangunan. Bangunan di sisi utara berisi arca Sabdapalon, dan yang di sisi selatan berisi arca Nayagenggong. Keduanya merupakan tokoh punakawan (pengasuh sekaligus penasihat kerajaan) pada masa itu.

Sisi barat teras kesembilan dibatasi oleh dinding batu yang berfungsi sebagai gapura-masuk ke sebuah lorong tangga batu menuju ke sebuah ruangan di teras kesepuluh.

Di masing-masing sisi ruang ini terdapat tiga buah bangunan kayu yang saling berhadapan. Dalam masing-masing bangunan terdapat sebuah arca. Salah satu di antara deretan arca yang terletak di deretan utara adalah arca Prabu Brawijaya. Di deretan selatan, lagi-lagi, terdapat arca kalacakra. Ujung barat deretan selatan merupakan tempat penyimpanan pusaka Empu Supa. Empu Supa adalah seorang pembuat senjata pusaka yang terkenal dan dihormati pada masa hidupnya. Sisi barat teras kesepuluh dibatasi oleh dinding batu yang berfungsi sebagai gapura masuk ke sebuah lorong tangga batu menuju ke teras kesebelas.

Di puncak lorong terdapat sebuah dinding batu setinggi sekitar 1,6 meter yang menyekat tangga dengan ruang utama, berupa bangunan tanpa atap, dikelilingi dinding batu setinggi hampir 2 m, dengan luas sekitar 5 m2. Ruang utama yang merupakan pesanggrahan Prabu Brawijaya ini letaknya lebih tinggi dari semua ruang lain, sehingga dari tempat ini dapat dilihat dengan jelas ruang-ruang di bawahnya.

Bangunan utama Candi Cetha terletak di halaman paling belakang dan di teras yang paling tinggi serta menghadap ke puncak gunung. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa kekeramatan candi merupakan bagian dari alam di sekitarnya. Arsitektur Candi Cetha didasarkan pada konsep bahwa dewa-dewa bukan bersemayam di langit, melainkan di puncak gunung. Gunung adalah sumber enerji yang nampak maupun tidak nampak. Bahwa bangunan utama candi ini justru terletak di halaman paling atas dan paling bagian belakang, berbeda dengan konsep candi pada umumnya yang menempatkan ruang bagian depan sebagi pusat dari seluruh kegiatan, mirip dengan yang didapati di Candi Panataran, Blitar. Jauh di barat kompleks candi ini, di sebuah dataran yang agak tinggi, terdapat sendang atau kolam tempat mandi para selir raja beserta dayang-dayangnya. Sayang sekali bahwa sendang ini tak terawat, berbeda dengan candi yang selalu dibersihkan setidaknya setahun sekali.

Sampai saat ini Candi Cetha masih digunakan sebagai tempat beribadah dan dikunjungi umat Hindu, terutama pada Selasa dan Jumat setiap tanggal 1 Sura (penanggalan Jawa). Setiap 6 bulan sekali di candi ini diselenggarakan peringatan Wuku Medangsia. Selain umat Hindu, banyak juga wisatawan yang mengunjungi candi ini, baik pria maupun wanita. Ada satu pantangan bagi pengunjung wanita, yaitu mengenakan rok. Dianjurkan bagi wanita yang berkunjung agar memakai celana panjang. Mungkin pantangan tersebut berkaitan dengan keyakinan bahwa Candi Cetha adalah candi lanang, yaitu candi yang banyak menggambarkan bagian sensitif tubuh pria.

Candi Cetha memunyai kaitan erat dengan Candi Sukuh yang letaknya relatif berdekatan. Candi Sukuh yang didirikan pada 1440 M terletak di dataran yang lebih rendah bila dibandingkan dengan Candi Cetha.


-dipi-
 
Last edited:
Bls: [Sejarah] Candi-Candi di Nusantara.

Candi Dieng

dieng.jpg

Dieng adalah nama pegunungan yang berada sekitar 26 kilometer ke arah utara dari Kota Wonosobo, Jawa Tengah. Luasnya kurang lebih 619,846 hektar. Wilayahnya dikelilingi oleh beberapa gunung (gugusan gunung). Gunung-gunung itu antara lain: Sumbing, Sindoro, Perahu, Rogojembangan, dan Bismo. Nama Dieng, konon, berasal dari kata Di-Hyang yang berarti "tempat bersemayamnya para dewa". Di ketinggian sekitar 2050 meter dari permukaan air laut ada suatu dataran berukuran sekitar 14.000 meter persegi. Dataran tinggi tersebut merupakan daratan yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawahnya terlihat jelas dari dataran yang terletak di tengah yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Bekas-bekas kawah lainnya, Sikidang misalnya, kadang-kadang masih menampakkan aktivitas vulkaniknya. Disamping itu, ada juga aktivitas vulkanik yang berupa gas/uap panas bumi yang dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar. Gas panas bumi itu dijadikan sebagai pembangkit listrik. Satu hal yang menarik adalah di dataran tinggi tersebut ada peninggalan nenek moyang yang berupa beberapa candi (kompleks percandian).

Komplek Candi Dieng dibangun pada masa Hindu, karena di areal percandian tersebut banyak ditemukan peninggalan-peninggalan berupa arca-arca Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya yang bercirikan agama Hindu. Namun, masyarakat setempat (sekitarnya) menamainya dengan tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, Candi Bima, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi dan Candi Puntadewa. Nama candi-candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi-candi diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti siapa yang membangunnya. Yang jelas bahwa berdasarkan salah satu dari 12 prasasti yang ada, kompleks percandian tersebut dibuat 731 (Saka) atau 809 Masehi. Jadi, pada awal abad ke-9.

Komplek Candi Dieng

Komplek percandian yang ada di dataran tinggi Dieng itu dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, dan Candi Bima. Masing-masing kelompok terdiri dari beberapa candi yang juga dinamai dengan nama tokoh-tokoh dalam cerita Mahabarata. Berikut ini akan diuraikan benda-benda cagar budaya yang terdapat dalam komplek percandian di dataran tinggi Dieng dari arah utara ke selatan.

Kelompok Candi Dwarawati

Kelompok Candi Dwarawati terletak paling utara diantara candi-candi di dataran tinggi Dieng yang didirikan di Bukit Perahu. Dahulu kelompok ini terdiri dari dua buah candi, yakni Candi Dwarawati (di sebelah timur) dan Candi Parikesit (di sebelah barat). Namun, saat ini yang masih berdiri hanya Candi Dwarawati saja. Candi Dwarawati menghadap ke arah barat dengan bentuk empat persegi panjang, berukuran panjang 5 meter dan lebar 4 meter, sedangkan tingginya 6 meter. Pada masing-masing dinding luar dan dalam candi terdapat relung-relung tempat arca yang sudah kosong, kecuali sebuah alas arca di dalam bilik candi (dhatu garbha). Sedangkan, atap candi berhias menara-menara kecil dan dihias dengan simbar-simbar lukisan kepala. Bentuk atap dan hiasan-hiasannya merupakan pengaruh dari India Selatan.

Petirtaan Bimo Lukar

Pertirtaan ini berupa kolam yang bermata air jernih, aliran airnya cukup deras, dan berukuran 5 m x 2,5 m x 1 m. Bangunannya terdiri dari susunan batu yang berhiaskan relief. Airnya disalurkan melalui beberapa pancuran.

Kelompok Candi Arjuna

Kelompok Candi Arjuna merupakan kelompok terbesar. Kalau orang mengatakan Candi Dieng, biasanya yang dimaksud adalah kelompok Candi Arjuna, padahal sebenarnya masih banyak kelompok yang lain. Kelompok yang memanjang dari utara ke selatan ini terdiri atas dua deretan candi, yakni deretan sebelah timur dan sebelah barat.

Deretan sebelah timur semua menghadap ke barat dan terdiri atas beberapa bangunan candi, yakni: Candi Arjuna-Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Sedangkan, deretan sebelah barat tinggal satu candi yang masih berdiri, yakni Candi Semar yang berhadapan dengan Candi Arjuna.

Berbeda dengan kelompok Candi Dwarawati yang denahnya empat persegi panjang, candi-candi kelompok Arjuna berdenah bujur sangkar, tanpa penampil, hanya di bagian depan terdapat bilik pintu masuk yang menjorok ke depan. Pada dinding terdapat relung-relung dan hiasan-hiasan. Di bagian depan berhias kala-makara. Atapnya kaya akan hiasan. Sayang, kebanyakan candi di komplek ini sudah rusak dan beberapa diantaranya tinggal fondasinya saja. Sebenarnya sekitar 200 meter di sebelah barat-daya kelompok Candi Arjuna terdapat sisa-sisa bangunan yang dikenal sebagai Candi Setyaki, Petruk, Antareja, Nala Gareng, Nakula dan Sadewa, namun sudah sulit diidentifikasi karena tinggal fondasi-fondasinya saja.

Kelompok Candi Gatotkaca

Candi Gatotkaca tempatnya agak tinggi dibandingkan dengan kelompok Arjuna, yakni di sebelah barat telaga Bale Kambang dan di lereng bukit Panggonan. Candi Gatotkaca menghadap ke barat dan berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 m x 4,5 m, dengan penampil pada masing-masing sisinya.

Kelompok Candi Bima

Kelompok Candi Bima kini tinggal satu candi saja dan terletak pada deretan ujung paling selatan, menghadap ke timur. Baturnya bujur sangkar berukuran 6 m x 6 m, sedangkan fondasinya berbentuk segi delapan, tinggi candi 8 m. Dibandingkan dengan candi-candi lainnya, Candi Bima termasuk paling utuh. Gaya bangunannya khusus. Atapnya dipenuhi hiasan dan terdiri dari tiga tingkatan yang batas-batasnya tidak jelas. Bentuk seluruhnya seperti Sikhara (seperti mangkuk yang ditangkupkan) di India Utara, hanya hiasan-hiasan menara dan relung-relung yang berbentuk tapal kuda menunjukkan pengaruh India Selatan.

Dahulu Candi Bima mempunyai 24 arca kudu, yaitu arca yang berbentuk kepala manusia yang seolah-olah melongok keluar dari bilik jendela yang masing-masing beratnya sekitar 15 kilogram, tinggi 24 cm, lebar 20 cm dan tebal 27 cm. Namun, karena seringnya terjadi pencurian di komplek Candi Dieng, terutama Candi Bima, maka saat ini arca yang terdapat di Candi Bima hanya sekitar 13 buah saja.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Candi-Candi di Nusantara.

Candi Jabung

Candi_Jabung%20(13).jpg

Candi Jabung adalah candi peninggalan dari kerajaan Majapahit yang terletak di desa Jabung Candi, kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Berjarak hanya sekitar 5 km dari Kraksaan dan 500 meter sebelah tenggara kolam renang Jabung Tirta yang berada di pinggir jalan raya Surabaya - Situbondo. Situs terdiri dari dua bangunan utama yang terdiri atas satu bangunan besar dan yang satu bangunan kecil dan biasa disebut Candi Sudut. Yang menarik adalah material bangunan candi yang berupa batu bata merah berkualitas tinggi yang kemudian diukir dalam bentuk relief. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun.

Candi Jabung terletak di Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Candi yang ditahbiskan sebagai bangunan suci dengan nama Bajrajinaparamitapura ini merupakan bangunan untuk tempat pemujaan bagi tokoh wanita keluarga Hayam Wuruk, bernama Brha Gundal. Candi ini dalam Kitab Nagarakrtagama disebut Candi Kalayu, sedangkan dalam Kitab Pararaton disebut Candi Sajabung.

Dalam kitab Nagarakrtagama, nama Candi Kalayu disebut khususnya pada bagian yang memaparkan perjalanan raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M). Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat. Nagarakrtagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya, bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.

Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping. Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya), memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M), menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Padi di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.

Setelah dipugar oleh Raja Hayam Wuruk pada 1353 Masehi, untuk lebih dari 500 tahun, Candi Jabung seakan terlupakan. Candi yang secara tipologis memiliki kesamaan bentuk dengan Candi Muara Takus (Riau) dan Biaro Bahal (Padang Sidempuan) tersebut baru dipugar kembali pada tahun 1983 oleh pemerintah dan sekaligus dijadikan sebagai benda cagar budaya.

Data Bangunan

Candi Jabung terbuat dari batu merah dengan ukuran, panjang 13,11 meter, lebar 9,58 meter dan tinggi 15,58 meter. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat dengan luas 20.042 meter persegi. Sebelum dipugar areal candi hanya seluas 35x40 meter. Seperti bangunan candi umumnya, Candi Jabung terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Kaki bangunan bertingkat tiga, berbentuk persegi, dan disekelilingnya terdapat relief bermotif sulur-suluran dan medalion. Di sisi barat masih terlihat bagian yang menjorok ke depan yang merupakan bekas susunan tangga naik memasuki candi.

Badan candi berbentuk bulat (silender segi delapan). Badan candi ini bersifat Siwaistik karena sekelilingnya dipahatkan adegan-adegan cerita Sri Tanjung. Legenda Sri Tanjung pada dasarnya mengisahkan fitnahan terhadap Sri Tanjung, seorang dewi yang sangat cantik, isteri Raden Sidapaksa, yang berakhir dengan kematian/pembunuhan Sri Tanjung.
Karena tidak bersalah, maka Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh para dewa dan bertempat tinggal di kediamannya semula sebelum kawin. Singkat Cerita, Raden Sidapaksa disuruh oleh Betari Durga untuk pergi ke kediaman Sri Tanjung. Namun isteri yang teraniaya ini menolak untuk rujuk kembali, kecuali apabila Raden Sidapaksa dapat membunuh dan membawa rambut si pemfitnah untuk dijadikan kesed (pembersih kaki) Sri Tanjung. Setelah permintaan tersebut terlaksana, suami-isteri itu kembali hidup bersama-sama.

Pada ambang relung-relung candi terdapat hiasan kepala kala motif Jawa Timur, serta sebuah relief rosetta dengan angka tahun 1276 Caka (1354 M). Dalam bilik candi masih terdapat lapik arca, sedangkan pada atap candi bersifat Buddhistik dengan bentuk pagoda (stupa) dan berhias sulur-suluran.

Angka tahun 1276 Caka/1354 Masehi, boleh jadi bukanlah angka tahun pembangunan candi karena, baik menurut kitab Nagarakrtagama maupun Pararaton, angka tersebut menunjuk pada pertanggalan perjalanan Hayam Wuruk ke candi tersebut dan sekaligus memperbaiki/memugar candi pemujaan untuk Raden Wijaya itu.

Di sebelah barat daya halaman candi terdapat bangunan Candi Menara Sudut yang diperkirakan fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk. Candi Menara Sudut terbuat dari bahan batu bata, yang ukuran tiap-tiap sisinya 2,55 meter dan tinggi 6 meter.


sumber : Wacana Nusantara


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Candi-Candi di Nusantara.

Candi Jago

Candi_Jago%20(279).jpg

Candi Jago (dalam Nagarakretagama disebut Jajaghu) terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, dengan keseluruhan bangunannya tersusun atas bahan batu andesit.

Struktur Candi Jago

Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.

Candi_Jago%20(280).jpg

Atap Candi Jago


Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).

Candi_Jago%20(94).jpg

Panel relief kaki terbawah

Relief pada teras pertama (undak terbawah ) sebagai berikut:

Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.

Candi_Jago%20(155).jpg

Panel relief Kunjarakarna

Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.

Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.

Candi_Jago%20(24).jpg

Panel relief Parthayajna

Pada teras kedua terpahat cerita Parthayajna, berasal dari kitab Mahabharata. Isinya mengisahkan Arjuna dan saudaranya, Pandawa, yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila.

Candi_Jago%20(23).jpg

Panel relief Arjunawiwaha

Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.

Candi_Jago%20(221).jpg

Kaki Candi

Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.

Candi Jago dalam Sejarah

Seperti telah banyak diketahui, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Riwayat dan cerita tentang raja ini banyak dimuat dalam Pararaton dan Negarakretagama, yang aslinya berbahasa Jawa Kuno namun sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak terlalu sulit dipelajari. Sejak awal, keberadan kerajaan ini banyak tercatat dalam sejarah dan peninggalannya banyak tersebar di bumi Jawa Timur. Raja Rajasa yang memerintah selama 1222-1227, memunyai beberapa putra, di antaranya Mahisa Wong Ateleng dan Tohjaya, sedangkan putra tirinya Anusapati kemudian hari adalah yang membunuhnya.

Candi_Jago%20(92).jpg

Arca Wisynu Wardhana, halaman Candi Jago

Sepeninggal Raja Rajasa, Singasari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati, Kerajaan cukup aman. Setelah wafat ia digantikan oleh saudaranya, Tohjaya yang tidak seberapa lama memerintah karena meninggal dunia.

Pengganti Tohjaya adalah Ranggawuni, putra Anusapati. Ia bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana, berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di Singasari, Ranggawuni bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka. Dalam pemerintahannya, Ranggawuni memerhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu. Waktu masih memerintah, Ranggawuni mengangkat pula putranya, Kertanegara, menjadi raja muda. Bersama putranya Ranggawuni memimpin Kerajaan. Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268, Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai darma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Buddha-Siwa.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Candi-Candi di Nusantara.

Candi Jawi (Jajawa)


9630_1197149243026_1057342632_626978_4172309_n.jpg

Pasuruan adalah sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah peninggalan sejarah (masa lalu) yang berupa candi, yaitu Candi Jawi. Candi ini tepatnya terletak di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Untuk dapat mencapai lokasi tersebut (dari Kota Surabaya) dapat menggunakan jasa angkutan umum yang berupa bus jurusan Surabaya-Malang, kemudian turun di kilometer 45 (kota Kecamatan Pandaan) dan diteruskan dengan kendaraan lain (jurusan Tretes) dengan jarak kurang lebih 1 kilometer melewati Taman Candra Wilwatikta. Tidak seperti candi lain yang umumnya sudah berubah nama menurut tempat, keadaan, atau selera yang memberi nama (misal: Prambanan, Burbrah, Bima dan lain-lain), Candi Jawi termasuk salah satu diantara sedikit candi yang namanya boleh dikata tidak berubah, walau ada pula perubahan ucapan. Dalam Negarakertagama candi ini disebut Jawa-jawa atau Jajawi.

Paparan bahan serta struktur bangunan menyatakan bahwa candi ini dibangun pada 2 masa pemerintahan dan kerajaan, yaitu masa pemerintahan krtanagara, kerajaan Singasari (singosari), serta masa Kerajaan Majapahit, namun tidak jelas dalam kepemimpinan siapa candi ini di bangun/dipercantik. candi Jawi yang diperkirakan dibangun untuk tujuan penghormatan dan pengagungan Krtanagara sedikit lebih beruntung di bandingkan dengan candi lain sesama candi-candi peninggalan Majapahit. Candi Jawi mendapatkan limpahan pemugaran yang lumayan besar dari pemerintah Indonesa sehingga saat ini dapat berdiri megah dan anggun, meskipun ada kejanggalan disana-sini pada struktur candi hasil rekonstruksi tersebut.

Krtanagara dikenal sebagai seorang tokoh yang memiliki visi jauh kedepan dalam jajaran raja-raja wangsa Rajasa, wangsa yang dibangun oleh Ken Arok. Dalam bidang pemerintahan beliaulah yang memperkenalkan pertama kali sistem otonomi luas terhadap daerah bawahannya, dimana putra-putra daerah yang bersangkutan yang diangkat menjadi penguasa daerah dan didampingi oleh seorang pejabat pusat yang ditempatkan sebagai penghubung didaerah tersebut, sementara dalam bidang kepemimpinan, ambisi krtanagara tidak dapat dibatasi oleh lautan, Ekspedisi Pamalayu membuktikan hal tersebut. Armada-armada laut dibangun dan dikirim ke luar nusantara, menggalang kekuatan kerajaan-kerajaan bawahan dan kerajaan tetangga untuk bersama-sama menolak hegemoni mongol terhadap nusantara yang berkeinginan menguasai jalur perdagangan di Nusantara yang terkenal dengan jalur rempah-rempahnya. Yang paling menarik dari kiprah seorang krtanagara dan sekaligus menjadi tolak ukur kualitas dari seorang pemimpin adalah kemampuan menciptakan kehidupan yang damai dalam bidang keagamaan pada masa pemerintahannya. Candi jawi dapat dijadikan bukti dalam hal ini. Perpaduan antara syiwa dan budha tercermin dalam bentuk megah dan anggun candi ini, sakti-sakti sang syiwa berdampingan dengan guru-guru bodhi dalam sebuah keselarasan dan harmoni yang membangun sebuah cerita utuh, setidaknya dalam struktur arsitektur candi.

9630_1197149283027_1057342632_626979_5270651_n.jpg

Struktur Candi

Candi jawi dipercaya pertama kali dibangun pada masa kerajaan Singosari sebagai bentuk pencitraan krtanagara sebagai dewa, kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan Majapahit dengan menambahkan struktur benteng serta kolam/parit yang mengelilingi areal candi.

Candi jawi merupakan satu dari dua candi yang letak dan posisinya agak diluar kebiasaan candi-candi peninggalan Majapahit yang tersebar di daerah Jawa Timur. Candi ini tidak menghadap kearah barat, melainkan kearah sebaliknya, yaitu kearah timur.

Dalam perspektif keyakinan Hindu saat ini di Indonesia, arah yang “diperbolehkan” memang hanya 2 arah matahari terbit dan tenggelam yaitu timur dan barat dalam konteks pembangunan candi sebagai tempat pemujaan. Matahari terbit sebagai perlambang kehidupan, dan matahari tenggelam sebagai pemberi makna sekaligus tempat kembali semua kehidupan.

Dengan tinggi kurang lebih 24,50 m, lebar 9,55 m, candi Jawi dibangun diatas teras tinggi yang dikelilingi oleh parit selebar 2,50 meter. Pintu masuk candi menghadap ke timur sedangkan bangunan lainnya yang ada dikompleks ini menghadap ke barat.

9630_1197150803065_1057342632_626991_1083163_n.jpg
Relief pada atap bagian dalam candi​

Bangunan candi terdiri atas batur, kaki, badan dan atap candi dalam keadaan utuh sebagai hasil dari pemugaran yang pernah dilakukan. Batur dihias oleh relief-relief yang agak “nyeleneh”, diluar keumuman candi-candi pada umumnya, kalau biasanya relief-relief pada candi menggambarkan kisah mengenai salah satu ajaran atau epik dalam kitab/keyakinan tertentu maka pada candi Jawi relief-reliefnya malah menceritakan keadaan disekitar candi jawi. Diatas batur terdapat selasar yang mengelilingi candi, di kanan kiri tangga menuju selasar terdapat makara. Makara juga terdapat pada kanan dan kiri tangga serta badan candi. Badan candi dihiasi pintu dan relung-relung yang diatasnya terdapat kala. Dalam bilik candi ditemukan yoni dan dilangit-langitnya terdapat sebuah relief yang menggambarkan lingkaran bersinar dengan gambar seorang naik kuda ditengahnya.

9630_1197149363029_1057342632_626981_4840207_n.jpg
Relief yang menggambarkan lingkungan candi​

Bagian tengah candi dan sudut-sudutnya dihiasi antefix. Atap candi tersusun makin keatas makin mengecil dan akhirnya sampai pada puncak atap berupa dagobha Budha/stupa. Dihalaman candi pernah ditemukan arca-arca yang bersifat siwaistis seperti arca Siwa Guru, Durga, Ganeca, Adhanari, Mahakala, Nandiswara serta Aksobya (Joko Dolog). Dari bentuk dagobha/stupa pada puncak atap candid an arca-arca yang pernah ditemukan di halaman candi yang bersifat siwaistis, diketahui bahwa candi Jawi merupakan candi perpaduan Siwa Budha seperti yang disebutkan dalam Nagarakertagama.


Candi Jawi dalam Sejarah

Sejarah mencatat melalui kitab Nagarakertagama yang menyebutkan candi Jawi sebagai Jajawa tempat pendharmaan raja Kertanagara yang wafat pada tahun 1292 masehi, diperkirakan candi Jawi dibangun pada tahun 1304.

Yang menarik dari kompleks candi Jawi adalah perpaduan gaya arsitektur dari sisi bahan antara masa Singosari dan Majapahit. Gaya Singosari jelas terlihat dari struktur batu andesit pembentuk candi utama, sementara gaya majapahit terlihat jelas dari reruntuhan gerbang menuju candi utama dan parit yang mengelilingi candi utama yang mengingatkan kita pada struktur kolam Segaran.

Candi Jawi yang dibangun sekitar abad ke-13 ini adalah tempat penyimpanan sebagian abu jenazah Raja Kertanegara (Raja terakhir Singosari) yang meninggal tahun 1292 M. Sebagian abu lainnya disimpan pada Candi Singosari. Pada zaman Majapahit, Candi Jawi pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) pada waktu mengadakan perjalanan ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M). Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat. Nagarakertagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.

Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping. Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya), memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M), menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Pari di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.

Menurut Nagarakrtagama, candi yang sarat akan nilai-nilai budaya ini pada candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 C/1331 M) pernah rusak karena disambar petir. Selain bangunan candi, ada salah satu arcanya yang ikut rusak yaitu arca Maha Aksobaya. Hal ini membuat Raja Hayam Wuruk sangat sedih, sehingga satu tahun kemudian (1332 M) ia mengerahkan rakyat untuk memperbaikinya kembali. Namun, sama seperti candi-candi lain yang ada di Jawa, Candi Jawi baru mulai diperhatikan lagi pada awal abad ke-20, setelah bangunannya menjadi porak-poranda dan begitu banyak unsur yang hilang.

Pemugaran

Candi Jawi baru dipugar kembali pada tahun 1938 karena kondisinya sudah rusak. Pemugaran yang konon telah memenuhi syarat tekno-arkeologis itu dilakukan oleh Oudheidkundige Dienst dengan membangun kembali lagi kaki candi, mengupas halaman candi serta menyusun beberapa bagian candi dalam bentuk susunan percobaan. Akan tetapi, pemugaran dihentikan pada tahun 1941 karena sebagian batunya telah hilang.

Usaha pemugaran baru dimulai lagi pada Pelita II (1975/1976) yang dilakukan oleh Dit. Linbinjarah, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud dengan Drs. Tjokrosudjono (Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur) sebagai pimpinan lapangan. Dalam pemugaran yang ketiga ini, berkat kejelian seorang pekerja yang bernama Mbah Karto Plewek dari Prambanan, batu-batu yang hilang dapat ditemukan lagi sebingga pemugaran dapat dilanjutkan sampai selesai pada tahun 1980. Dua tahun kemudian (1982), Candi Jawi diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus objek wisata sejarah.


Sumber : Wacana Nusantara



-dipi-
 
Back
Top