Epos Mahabharata

Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Yap, Bhisma memang bijaksana sekali, dan sebenarnya kalau dia mau, pihak kurawa bisa saja memenangkan perang mengingat begitu saktinya Bhisma, tapi sayangnya dia memegang teguh prinsip yang Terry sebutkan di atas...:D


-dipi-

dia gak tega sama cucu2nya keturunan pandu dewanata,,,saking nyuaahnya...:):):)
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Lanjutin soal Punakawan...

Semar

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Sejarah Semar

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:

* Batara Wungkuham
* Batara Surya
* Batara Candra
* Batara Tamburu
* Batara Siwah
* Batara Kuwera
* Batara Yamadipati
* Batara Kamajaya
* Batara Mahyanti
* Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Bentuk Fisik

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.

Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Gareng

Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.

Riwayat

Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.

Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.

Dulunya, Gareng berujud satria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para satria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu.

Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Kadempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.



-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Petruk

Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.

Kisah

Masa lalu

Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.

Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi fatwa dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.

Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.

Istri dan keturunan

Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.

Petruk dalam lakon pewayangan

Oleh karena Petruk merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Petruk Ilang Pethele menceritakan pada waktu Petruk kehilangan kapak/pethel-nya.

Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatutkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh (Wel Edel Bey). Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu. Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan badar/terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.

Hubungan dengan punakawan lainnya

Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau punakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.

Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya punakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prapat”.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Bagong

Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar. Dalam wayang banyumasan Bagong lebih dikenal dengan sebutan Bawor.

Ciri fisik

Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble.

Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.

Asal-usul

Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.

Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.

Bagong pada zaman Kolonial

Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.

Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.

Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.

Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwana I yang bertakhta di Yogyakarta.

Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.

Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Togog

Togog adalah putra dewa yang lahir sebelum Semar, tapi karena tidak mampu mengayomi bumi maka Togog kembali ke asal lagi alias tidak jadi lahir. Dan pada waktu bersamaan lahirlah Semar.

Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga cucunya yaitu Batara Antaga (Togog), Batara Ismaya (Semar) dan Batara Manikmaya (Batara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga cucunya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan. Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus ketika gunung tersebut berada di dalam rongga mulut Togog. Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang.

Adapun Batara Antaga (Togog) dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk.

Bilung

Bilung adalah seorang raksasa kecil yang berteman dengan para Punakawan. Dia adalah sahabat dari Togog dan kemana-mana selalu berdua. Bilung digambarkan sebagai tokoh dari luar Jawa yaitu Melayu. Bilung sering kali menggunakan bahasa campuran Jawa & Melayu. Setiap bertemu dengan Petruk dia selalu menantang berkelahi & mengeluarkan suara kokok seperti ayam jago. Tapi sekali dipukul oleh Petruk dia langsung kalah & menangis. Dalam beberapa cerita wayang, Bilung yang punya nama lain Sarawita ini kadang-kadang berperan menjadi Punakawan yang memihak musuh. Biasanya Bilung akan memberi masukan yang baik kepada majikannya . Tetapi bila masukannya tidak didengarkan oleh majikannya, dia akan berbalik memberi berbagai masukan yang buruk.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Di dalam beberapa babad dan kitab (terutama kitab2 dari kraton jogja ataupun Surakarta) banyak didapati cerita2 Mahabharata versi jawa. Berikut diantaranya:

Perkawinan Arjuna dengan Sumbadra

Prabu Baladewa menemui Prabu Kresna di Kerajaan Dwarawati. Mereka berunding tentang rencana perkawinan Sumbadra. Prabu Kresna ingin mengawinkan Sumbadra dengan Arjuna. Prabu Baladewa tidak menyetujui, ia ingin mengawinkan Sumbadra dengan Burisrawa. Prabu Kresna mengingatkan pesan Prabu Basudewa, yaitu bila Sumbadra kawin supaya dinaikan kereta emas, disertai kembang mayang kayu Dewanaru dari Suralaya, dengan diiringi gamelan Lokananta, berpengiring Bidadari. Mempelai laki-laki menyerahkan harta kawin berupa kerbau danu. Prabu Baladewa akan mengajukan persyaratan itu kepada raja Duryodana. Prabu Kresna menyuruh Samba dan Setyaki ke Ngamarta untuk menyampaikan persyaratan itu juga.

Prabu Kresna masuk ke istana memberi berita rencana perkawinan Sumbadra kepada Dewi Rukmini, Dewi Jembawati dan Dewi Setyaboma.

Prabu Kalapardha raja negara Jajarsewu jatuh cinta kepada Dewi Sumbadara. Raja menyuruh Kala Klabangcuring supaya menyampaikan surat lamaran ke Dwarawati. Kala Klabangcuring berangkat, ditemani KalaKurandha dan Kala Kulbandha. Kyai Togog Wijamantri menjadi penunjuk jalan.

Prabu Puntadewa raja Ngamarta, duduk dihadap oleh Wrekodara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Mereka menyambut kedatangan Bagawan Abyasa Samba dan Setyaki datang menyampaikan syarat perkawinan kepada Prabu Puntadewa. Bagawan Abyasa menyanggupinya. Wrekodara disuruh mencari kerbau danu. Arjuna disuruh ke Kahyangan Cakrakembang minta pohon Dewandaru, gamelam Lokananta dan Bidadari. Arjuna berangkat ke Cakrakembang, ditemani para panakawan.

Wrekodara masuk ke hutan Setragandamayu. Ia berhasil memperoleh kerbau danu setelah mengalahkan Dhadhungawuk dan menghadap Sang Hyang Pramuni. Wrekodara menemui Anoman di Kendalisada, ia minta kereta emas dan tiang dhomas. Wrekodara diajak ke Singgela menemui Prabu Bisawarna. Prabu Bisawarna mengabulkan permintaan Wrekodara. Wrekodara kembali ke Ngamarta. Anoman mengikutinya. Wrekodara diberi kereta emas dan tiang dhomas oleh Prabu Bisawarna.

Prabu Suyudana dihadap oleh pendeta Durna, Patih Sengkuni dan keluarga Korawa. Prabu Baladewa datang, memberitahu tentang permintaan Sumbadra. Patih Sengkuni dan Korawa pergi mencari persyaratan. Pendeta Durna diminta menemui Dewi Wilutama untuk minta pohon Dewandaru, gamelan Lokananta dan bidadari pengiring mempelai.

Para Korawa berjumpa Wrekodara. Mereka merebut kerbau danu. Terjadilah perkelahian. Korawa tidak mampu melawan, mereka lari tungganglanggang takut amukan Wrekodara dan Anoman.

Arjuna menghadap Hyang Kamajaya dan Dewi Ratih di Kahyangan Cakrakembang. Arjuna berhasil meminta pohon Dewandaru, gamelan lokananta dan bidadari pengiring mempelai.

Burisrawa minta segera dikawinkan dengan Sumbadra. Prabu Suyudana berunding dengan Prabu Baladewa. Tiba-tiba datang Patih Sengkuni dan para Korawa, mereka mengatakan telah berhasil memperoleh kerbau danu dan tiang dhomas, tetapi dirampas oeh Wrekodara. Kemudian pendeta Durna datang, ia mengatakan telah berhasil, tetapi hasil itu dirampas oleh Arjuna. Prabu Baladewa mengajak Burisrawa ke Dwarawati untuk dikawinkan dengan Sumbadra.

Bagawan Abyasa dan Prabu Puntadewa menanti kedatangan Wrekodara dan Arjuna. Wrekodara datang memberitahu, bahwa ia telah memperoleh empat puluh kerbau danu dan telah siap di alaun-alaun. Arjuna memberitahu bahwa dewa akan mengijinkan permintaannya. Kemudian Hyang Narada datang bersama bidadari pengiring mempelai, beserta pohon Dewandaru dan gamelan Lokananta.

Prabu Kala Pardha raja Jajarsewu, menerima laporan dari Tejamantri, bahwa para utusan mati oleh Arjuna Prabu Kala Pardha berangkat ke Dwarawati akan membununh Arjuna.

Arjuna datang di Dwarawati. Di Dwarawati telah hadir Hyang Narada, para dewa dan keluarga Pandhawa. Hyang Narada menyerahkan persyaratan yang diminta oleh Sumbadra. Setelah siap, Arjuna dipertemukan dengan Sembadra.

Prabu Baladewa datang dengan mengawal Burisrawa, lengkap berpakaian pengantin. Prabu Kresna memberitahu bahwa, Sembadra telah dikawinkan dengan Arjuna Prabu Baladewa meminta agar perkawinan itu dibatalkan, sebab Korawa yang berhasil mendapatkan semua permintaan Sumbadra. Arjuna dan Wrekodara merampas hasil mereka. Dhadhungawuk dan Hyang Narada memberi penjelasan, bahwa Wrekodara dan Arjuna yang memperoleh hasil, para Korawa yang mencoba merampasnya.

Prabu Baladewa marah lalu mengamuk. Wrekodara menahan amukan Prabu Baladewa. Keluarga Korawa membantu, tetapi diserang oleh amukan kerbau danu. Korawa lari tunggang langgang, kembali ke Ngastina. Pergulatan Prabu Baladewa dan Wrekodara dipisah oleh Kresna. Arjuna dan Sumbadra menghadap Prabu Baladewa. Sumbadra mohon dibunuh saja bila harus cerai dengan Arjuna. Prabu Baladewa menaruh kasihan kepada adiknya, seketika hilang kemarahannya, dan merestui perkawinan adiknya.

Prabu Kala Pardha datang bersama perajurit, menyerang kerajaan Dwarawati. Wrekodara ditugaskan untuk memadamkan serangan musuh. Raja raksasa gugur, semua perajurit raksasa hancur, habis binasa. Kerajaan Dwarawati telah aman, kemudian berlangsung pesta perkawinan Arjuna dan Sumbadra.


Sumber: Kitab Mangkunagara VII jilid XIII, 1931: 1-6



-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Kunthi Dilema

Sepeninggal Kresna, Dewi Kunti merasa sangat sedih memikirkan anak-anaknya. Ia ngeri membayangkan peperangan yang akan terjadi. Dalam hati, ia bertanya-tanya, “Bagaimana aku bisa menyatakan isi hatiku kepada anak-anakku ? Bagaimana mungkin kukatakan, pikullah segala penghinaan. Sebaiknya kita tak usah meminta pembagian kerajaan dan hindari peperangan. Bagaimana mungkin anak-anakku bisa menerima pikiranku yang bertentangan dengan tradisi ksatria ? Tetapi sebaliknya, apa yang akan dapat diperoleh dari saling membunuh dalam peperangan ? Dan kebahagiaan seperti apakah yang akan dicapai setelah musnahnya bangsa ini ? Bagaimana aku harus menghadapi ini ?”.
Berbagai pertanyaan timbul dalam hati Dewi Kunti.

“Bagaimana anak-anakku bisa mengalahkan bersatunya tiga kekuatan ksatria Bisma, Drona dan Karna ? Mereka adalah senapati-senapati perang yang belum pernah terkalahkan”.
“Dari ketiga ksatria itu, mungkin mahaguru Drona tidak akan membunuh anak-anakku, bekas murid-murid yang dikasihinya. Kakek Bisma tentu tidak akan sampai hati membunuh Pandawa. Tetapi, Karna adalah musuh bebuyutan Pandawa. Ia sangat ingin menyenangkan hati Duryodana dengan membunuh anak-anakku”.
“Karna sungguh tangkas berolah senjata perang, senjata apapun. Bila kubayangkan Karna bertempur melawan anak-anakku, hatiku pedih sekali. Sepertinya sudah waktunya aku menemui Karna dan mengatakan kepadanya siapa sebenarnya dia. Kuharap, setelah tahu asal-usulnya ia mau meninggalkan Duryodana”.

Maka pergilah Dewi Kunti untuk menemui Karna. Ia pergi ke tepi sungai Gangga, ke tempat Karna setiap hari melakukan samadi. Benarlah, Karna tampak sedang bersamadi menghadap ke Timur, kedua tangannya tertangkup dalam sikap menyembah. Dengan sabar Dewi Kunti menunggu Karna selesai bersamadi. Sungguh khusyuk bersamadi, hingga Karna tak merasa bahwa sinar matahari telah naik sampai di atas punggungnya.

Setelah selesai bersamadi, Karna berdiri. Barulah ia melihat Dewi Kunti menunggu di belakangnya, di bawah terik matahari. Segera ia melepas bajunya untuk melindungi kepala Dewi Kunti dari panas matahari. Karna menduga permaisuri Pandu itu telah lama menunggunya. Ia agak bingung, menebak-nebak apa maksud kedatangan ibu Pandawa itu.

Kemudian ia berkata, “Anak Adirata, sais kereta, menyembah engkau, wahai Ratu Kunti, apa yang dapat kulakukan demi pengabdianku kepadamu ?”
“Ketahuilah, Karna. Sesungguhnya Adirata bukan ayahmu”, kata Dewi Kunti. Mata Dewi Kunti berkaca-kaca karena menahan rasa haru, ketika mengucapkan kata-kata itu. Kemudian Dewi Kunti melanjutkan, “Janganlah engkau berpikir bahwa dirimu berasal dari keturunan sais kereta. Sesungguhnya, engkau adalah putra Batara Surya, Dewa Matahari. Engkau lahir dari kandungan Pritha, putri bangsawan yang dikenal dengan nama Kunti. Semoga engkau diberkahi keselamatan dan kesejahteraan”.
Saking kagetnya mendengar kata-kata Dewi Kunti, Karna terdiam dan terpana, tak sanggup berkata-kata.

Dewi Kunti pun melanjutkan ucapannya, “Engkau dilahirkan lengkap dengan senjata suci dan anting-anting emas. Karena engkau tidak tahu bahwa Pandawa adalah saudara-saudaramu seibu, engkau memihak Duryodana dan membenci Pandawa. Hidup menggantungkan diri pada belas kasihan anak-anak Drestarata tidaklah patut bagimu. Bergabunglah dengan Arjuna dan kau akan bisa memerintah sebuah kerajaan di dunia ini. Semoga engkau dan Arjuna bisa menghancurkan mereka yang jahat dan tidak adil. Seisi dunia pasti akan menghormati kalian berdua. Kalian akan disegani banyak orang, seperti Kresna dan Balarama. Dalam situasi kalut seperti sekarang, orang harus menurut nasehat orangtua yang mencintainya. Itulah kewajiban utama setiap anak”

Ketika ibunya bercerita tentang asal-usul kelahirannya, Karna merasakan sesuatu dalam hatinya. Ia merasa Batara Surya membenarkan kata-kata Dewi Kunti. Tetapi ia menahan diri dan menganggap kabar itu sebagai ujian dari Batara Surya terhadap kesetiaan dan keteguhan hatinya. Ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya.

Dengan menguatkan hatinya dengan keras, Karna dapat mengatasi keinginannya untuk mendahulukan kepentingannya sendiri, untuk membalas cinta ibunya, untuk bergabung dengan Pandawa. Maka, dengan hati yang sedih namun teguh ia berkata, “Ibu, ibu telah merenggut segala hak kelahiranku sebagai ksatria dengan melemparkan aku, bayi yang tidak berdaya, ke sungai. Mengapa sekarang engkau bicara tentang tugasku sebagai ksatria ? Engkau tidak pernah mencintaiku dengan cinta ibu yang merupakan hak setiap anak yang terlahir di dunia. Induk binatang saja tak pernah membuang anaknya, mengapa engkau membuangku?”

“Sekarang, ketika engkau mencemaskan nasib anak-anakmu yang lain, kau ceritakan semua ini kepadaku. Apabila sekarang aku menghidari kewajibanku, berarti aku akan menyakiti diriku lebih parah dari apa yang dapat dilakukan musuhku terhadap diriku. Seandainya sekarang aku menggabungkan diri dengan Pandawa, bukankah dunia akan mengutuk aku sebagai pengecut ?”
“Selama ini aku dihidupi oleh anak-anak Drestarastra. Aku dipercaya oleh mereka sebagai sekutu yang setia. Aku berhutang budi pada mereka. Semua harta dan kehormatan yang kumiliki kuperoleh dari mereka. Sekarang, ketika perang akan meletus dan aku harus membela Kurawa, engkau menghendaki agar aku mengkhianati Kurawa, menyeberang ke pihak Pandawa. Ibu, mengapa kau minta aku mengkhianati garam yang telah kumakan ?”

“Anak-anak Drestarastra memandang aku sebagai jaminan kemenangan mereka dalam peperangan yang akan datang. Katakan, adakah yang lebih hina daripada mengkhianati orang yang telah menolong kita ? Katakan, adakah yang lebih hina daripada orang yang tak tahu membalas budi ? Ibuku tercinta, aku harus membayar hutangku, bila perlu dengan nyawaku. Kalau tidak, aku ini ibarat perampok yang hidup dari hasil curian dan rampasan selama bertahun-tahun. Tentu aku akan menggunakan segala kekuatanku untuk melawan anak-anakmu dalam perang nanti. Aku tidak akan mengkhianati siapapun. Aku tidak akan menipu engkau dan diriku sendiri. Ampunilah aku”, kata Karna dengan lembut tetapi tegas.

“Biarpun demikian, aku tidak akan menyia-nyiakan permintaan ibu. Soalnya adalah antara aku dan Arjuna. Dia atau aku yang harus mati dalam pertempuran nanti. Ibu, aku berjanji tidak akan membunuh anak-anakmu yang lain, apapun yang mereka perbuat terhadap diriku. Wahai ibu para ksatria, anakmu tak akan berkurang, tetap lima. Salah satu dari kami, aku atau Arjuna, akan tetap hidup setelah perang usai”.

Mendengar kata-kata Karna yang demikian tegas, hati Dewi Kunti semakin sedih dan pikirannya diliputi pergulatan yang makin tajam. Ia tidak kuasa berkata-kata. Dipeluknya Karna dengan kasih ibu yang melimpah-limpah. Hatinya hancur membayangkan kedua anaknya akan bertanding, bunuh-membunuh. Hatinya terharu melihat keteguhan Karna dalam menjalani takdir hidupnya. Akhirnya ia pergi meninggalkan putra Batara Surya itu tanpa berkata-kata lagi.


Sumber: Mahabharata karangan Nyoman Pendit


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Perkawinan Bima dan Arimbi

Pada suatu hari ketika si Bratasena sedang asik menebang pohon membuka hutan, lewatlah seorang Dewi dari sebuah kerajaan, Dewi itu datang mendekat ingin melihat dengan jelas siapa yang sedang bekerja membuka hutan itu. Dewi itu ternyata seorang raksasa, ia adalah putri kerajaan Pringgandani yang sedang melintas di hutan Amarta. Pada saat melihat si Bratasena sedang bekerja, putri itu begitu terpesona dengan si Bratasena dan diapun jatuh cinta padanya. Karena sadar bahwa ia adalah seorang raksasi sedangkan orang itu nampak seperti seorang satria yang gagah, Dewi itu menjadi kecil hati, namun karena begitu terpesonanya dia dia menghampiri Bratasena dan memeluk kakinya secara tiba-tiba seolah tidak ingin melepaskannya.

Bratasena yang merasa terganggu pekerjaannya menjadi tidak suka dengan putri itu, walaupun sebagai seorang lelaki normal telah sekian lama hidup di hutan pastilah menginginkan kehadiran seorang wanita, namun karena dia raksasa dan caranya mendekatinya sangat aneh maka dia kibaskan kakinya hingga Dewi raksasi itu terjatuh.

Tidak jauh dari situ ternyata Dewi Kunti melihat segalanya. Perasaannya yang peka tahu bahwa Dewi raksasa itu menyenangi putranya. Maka dia datang menolong Dewi raksasi itu sambil berkata “Aduh kasihan sekali Dewi yang cantik ini terjatuh di hutan seperti ini.” Kemudian dilihatnya si Bratasena sambil berkata “Lihatlah anakku alangkah cantiknya Dewi ini”.

Bratasena yang tadinya melihat muka sang Dewi saja tidak mau, kini mencoba melihat wajah Dewi raksasi itu. Dan memang dilihatnya memang Dewi itu cantik juga, hanya saja tubuhnya itu besar sekali tidak seperti wanita lain. Eh tapi akan cocok dengan badanku yang juga tinggi besar ini, pikir si Bratasena.

Dewi Kunti mengajak Dewi raksasi itu berjalan ke arah tempat tinggal Pandawa di Hutan Amarta. Sambil berjalan Dewi itu memperkenalkan namanya Dewi Arimbi dari negara Pringgodani. Tak lama kemudian si Bratasena ikut menyusul pulang ke rumah. Didapatinya Kakaknya Puntadewa sedang bercakap-cakap dengan Dewi yang tadi memegangi kakinya.

Kemudian didengarnya kakaknya memanggil namanya ” Adikku Bratasena kemarilah, Putri ini berasal dari Pringgodani, namanya Dewi Arimbi. Dia ingin melanjutkan perjalanan pulang ke Pringgodani. Apakah kamu bersedia mengantarkannya?

“Apapun perintah kakang akan aku laksanakan” demikian si Bratasena menyahut. Tidak lama kemudian Dewi Kunti keluar dengan membawa sebungkus bekal dan memberikannya kepada Bratasena, ini anakku pergilah antarkan Dewi ini ke Pringgodani.

Singkat cerita berangkatlah Bratasena dan teman barunya ke istana kerajaan Pringgodani. Sampai di Istana menghamburlah putri raja itu ke Ayahnya dan menceritakan semua yang terjadi, dan tanpa malu ia mengatakan bahwa ia menyukai ksatria yang mengantarkannya itu. Kemudian pada saat Bratasena si ksatria itu menghadap, dia menanyakan asal-usul si Bratasena dan menanyakan juga mengapa ia tinggal di hutan.

Bratasena menceritakan semua hal tentang asal-usul nya dan kejadian sejak mereka dikhianati oleh saudara mereka Kurawa dan keluar dari sumur Jalatunda serta mendapatkan hadiah dari raja Wirata.

Ayahanda Dewi Arimbi manggut-manggut, setelah ia mengetahui asal-usulnya ia tidak keberatan apabila Putrinya akan menikah dengan si ksatria Pandawa putera Pandu Dewanata itu. Kemudian sang Raja bertanya kepada Bratasena, apakah benar ia mau memperistri anaknya? Bratasena tertegun sejenak, kemudian dia menjawab bahwa ia bersedia. Dewi Arimbi yang mendengar dari dalam hatinya berbunga-bunga, dipeluknya ibunya yang saat itu sedang disampingnya. Ibunya mengelus-elus rambut Arimbi dengan penuh kasih.

Apabila engkau bersedia dan anakkupun juga senang dengan sira maka sebaiknya segera hal ini engkau beritahukan kepada Ibu dan saudara-saudaramu.

Maka Bratasena segera meminta diri untuk kembali pulang ke hutan Amarta, keberangkatannya diantarkan oleh Ayahanda Dewi Arimbi, Ibunya dan Dewi arimbi sendiri hingga ke depan gerbang istana.

Sementara itu di Hutan Amarta, tidak lama setelah Bratasena pergi mengantar dewi Arimbi datanglah Patih Nirbita, utusan dari Raja Wirata Prabu Matswapati, bersama dengan rombongannya, ikut pula para putera raja Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Pada saat kedatanganya Raden Seta menanyakan kepada Puntadewa kemana gerangan si Jagalbilawa Bratasena, kemudian Puntadewa menceritakan kejadian sehari kemarin. Raden Seta hanya tersenyum mendengarnya, dia sangat kagum dengan kekuatan dan kesaktian Jagalbilawa yang mampu mengalahkan Rajamala yang amat ditakuti seluruh rakyat Wirata.

Dengan hadirnya rombongan Patih Nirbita, pekerjaan membuka hutan menjadi cepat selesai, apalagi setelah itu si Bratasena juga datang dan dengan cepat terbukalah sebuah daerah yang cukup luas untuk didirikan sebuah tempat tinggal dan mungkin dapat berkembang menjadi desa, kota bahkan kerajaan.

Bratasena sejak kedatangannya memberitahukan kepada ibunya bahwa Raja kerajaan Pringgodani telah berkenan untuk mengambilnya sebagai menantu. Dewi Kunti yang mendengarnya menjadi sangat senang dan mengumumkan hal itu kepada semua orang yang ada kepada anak-anaknya Pandawa juga kepada rombongan patih Nirbita, para pangeran kerajaan Wirata, dan kepada para prajurit.

Berkatalah Patih Nirbita bahwa semua senang dengan berita itu dan berkenan untuk ikut mengantarkan Bratasena ke negeri Pringgodani untuk menghadiri pesta perkawinan sang Bratasena dengan Dewi Arimbi, apalagi pekerjaan membuka hutan juga sudah selesai. Maka bersiaplah mereka untuk pergi dalam rombongan yang mengantar mereka ke Negeri Pringgodani. Pinten dan Tangsen senang sekali karena sudah lama mereka ingin melihat kota, setelah sekian lama mereka hidup di hutan berteman dengan binatang hutan. Dewi Kunti menangkap kegembiraan itu dan dalam hati ia berkata, Madrim … untunglah anakmu kembar dua, apabila cuma satu, maka alangkah merananya anakmu itu.

Tidak lama kemudian berangkatlah rombongan itu ke Istana kerajaan Pringgodani. singkat cerita mereka sampai di Istana kerajaan Pringgodani dan disambut dengan meriah oleh rakyat Pringgodani dan ternyata kerajaan juga tengah bersiap-siap mengadakan pesta untuk pernikahan putri raja mereka yaitu putri Arimbi.

Selang sehari setelah kedatangan mereka pernikahan segera dilangsungkan dan Raja mengumumkan hal itu kepada rakyatnya, dan setelah itu diadakan pesta untuk menyambutnya. Semua rakyat berduyun-duyun ingin melihat wajah si Ksatria yang menjadi suami Dewi Arimbi itu.

Setelah perkawinan, Bratasena memboyong istrinya ke Hutan Amarta tentu saja seijin ayah dan ibunya. Dewi arimbi tidak berkeberatan tinggal dihutan. Maka begitu pesta perkawinan usai pulanglah Dewi Kunti dan puteranya, Patih Nirbita dan rombongannya, serta Bratasena dan istrinya untuk kembali ke hutan. Sesampai dihutan Amarta Patih Nirbita dan rombongannya meminta diri untuk langsung pulang ke kerajaan Wirata. Maka tingggalah Pandawa dan Ibunya serta anggota baru keluarga yaitu Dewi Arimbi di Hutan Amarta. Untuk beberapa waktu lamanya Dewi Kunti dan Putra-putranya masih hidup dalam keadaan prihatin.

Pada suatu hari tanpa di duga-duga datanglah Begawan Abyasa, Mertua dari Dewi Kunti, Kakek dari para Pandawa. Dewi Kunti menceritakan kejadian bagaimana asalnya hingga mereka tinggal dihutan, hidup sengsara dan mengembara. Dia juga mengulangi lagi kesedihan hatinya karena akibat perbuatan Kurawa yang dengki dan keterlaluan itu mereka hidup terlunta-lunta.

Maka bersabdalah Begawan Abyasa bahwa mereka tidak perlu bersedih hati karena perbuatan Kurawa. Di dunia ini menurut Begawan Abyasa tidak akan ada orang yang luput dari sengsara. Bagi manusia suka dan duka itu memang silih berganti, dan setiap orang secara adil akan mengalaminya.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Serat Dewa Ruci untuk Sang Bima

Menjelang Bharatayudha, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa buat melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari Pendawa kecuali karena satu hal saja; Pendawa memiliki Bima yang sangat sakti. Di samping sangat perkasa, Bima juga ksatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauan. Ia tidak bisa dibeli. Ia bepegang teguh pada keyakinannya. Bima berkata, ” Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu kanan-kering jen ala binuwang”.

Supaya Kurawa menang, sidang memutuskan: Bima harus dibinasakan. Tapi, masalahnya, Bima terlalu kuat untuk dikalahkan. Maka dibuatlah sebuah skenario. Bima harus dibuang. Caranya bagaimana? Bima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, Resi Dorna. Resi Dorna memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan: Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip, tirta kamandalu. Amrtanjiwangi, amrta, atau tirta amrta.

Menurut Sang Begawan, siapa saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup yang sempurna. Ia akan memiliki pranawa “ilmu kebebasan jiwa.” Ia akan memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia akan “saestu sumerep purwa-wekasaning jagadh royo” atau ilmu tentang sangkan paraning dhumadhi. Bima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena “jen rering rangu bade mboten sumerep sarto dhumugi telenging kawruh kasunyataan.” Tirta amrta ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung Candramuka, di Rimba Palasara. Tanpa ragu, Bima berangkat, walaupun saudara-saudaranya menghalanginya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus berkhidmat kepada gurunya. Ia memasuki gua di Gunung Candramuka itu. Di situ ia bertemu dengan dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Melalui pertempuran yang dahsyat, Bima berhasil mengalahkan keduanya; yang ternyata kemudian -setelah mati- berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu. Dan melalui suara batin, Bima mendengar dari kedua dewa itu bahwa Dorna sebenarnya berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada di Candramuka.

Bima bergegas ke Ngastina. Dorna berkata kepadanya, “O, anakku, hal ini tidak mengherankan. Memang kami sengaja, telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya kami hanya ingin mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu pada umumnya. Tempat air hidup ini sebenarnya terletak di tengah-tengah rimba Palasari tadi, di dalam sebuah gua yang berbentuk ’sumur gumuling’ Silakanlah kembali mengambilnya dari dalam gua tersebut. ”

Bima kembali lagi. Tetapi sebelum kembali, ia sekali lagi menghadap saudara-saudaranya, mohon doa restunya. Mereka meminta Werkudara untuk tidak berangkat. Tapi Bima tidak menghiraukannya.

Ia masuk ke dalam Gua Sigrangga, di tengah rimba Palasara. Di sini juga, alih-alih air kehidupan, Bima bersua dengan seekor ular besar. Ular itu membelit tubuh Bima dengan belitan yang sangat ketat. Ketika dengan “kuku Pancanaka” Bima berhasil mengalahkannya, ular itu menghilang dan menjelma menjadi bidadari, Dewi Maheswari. Kali ini, Sang Dewi memberitahu putra kedua Pendawa itu bahwa air kehidupan sebenarnya tidak terletak di Gua Sigrangga.

Ia kembali lagi kepada gurunya. Seperti biasa, Pendeta Dorna mengatakan bahwa ia hanya ingin menguji muridnya. Pada kali pertama, ia ingin menguji keikhlasannya; kedua, kesetiaannya; dan ketiga, ketetapan akan kesempurnaan hidupnya. Air kehidupan itu sebenarnya ada di dalam lautan selatan, yang penuh gelombang besar.

Dalam perjalanannya menuju Laut Selatan, ia sampai di sebuah rimba belantara, yang penuh bahaya, Wana Sunyapringga. Di sini, ia tiba-tiba dicegat oleh empat saudara. Mereka menghalang-halangi maksud Bima untuk menceburkan dirinya ke dalam samudra. Keempat saudara itu adalah Anoman, kera yang berwarna putih; Jajagwreko, raksasa yang berwarna merah; Setubandha, gajah berwarna hijau; dan Begawan Maenaka, pendeta berwarna kuning. Bima sendiri berwarna hitam. Bima menolak nasihat keempat bersaudara itu dengan mengatakan tekadnya untuk “nggebyur ing telenging samudro,….sanadhyan tumekeng antaka anetepi ugo janji kautaman.”

Bima mengusir mereka dalam pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya. Bima mengembalikan mereka ke tempatnya masing-masing. Lepas dari halangan saudara-saudaranya sekekuatan (tunggil bayu), Bima melocat ke dalam lautan. Ia disambut dengan semprotan racun dari ular besar Nabatnawa. Bima dapat menghindarkan bahaya bisa ular itu dengan aji Jalasengsara yang dimilikinya. Ia juga bisa berjalan di dalam dan di atas air laut. Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bima dan Nabatnawa.

Kemenangan – sudah dapat diduga – berada pada Bima, tetapi ular yang terluka dengan Kuku Pancanakanya itu mengeluarkan banjir darah yang mencelup air samudra menjadi merah. Ketika Bima mengambil air laut yang merah itu dan mempersembahkannya kepada gurunya sebagai air amrta, Resi Dorna menolaknya. Ia mengatakan bahwa yang diberikan Bima itu bukan amrta sejati, tetapi air yang sudah tercemari. Ia diperintahkan untuk terjun kembali.

Sekarang Bima yang perkasa sudah hampir kehabisan tenaga. Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Ia berulangkali dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya.

Pada saat itulah Dewa Ruci muncul.

Ia menaruh kasihan kepada Bima yang sengsara. Ia mula-mula muncul sebagai cahaya yang terang benderang (mencorong manter sak sodho lanang). Setelah itu ia muncul sebagai anak kecil yang rupanya persis seperti Bima.

“Apa yang kau cari, hai Werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini di tempat sesunyi dan sekosong ini.”

Terkejut Sang Sena dan mencari ke kanan kiri setelah melihat sang penanya ia bergumam; “Makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?”

“Serba sunyi di sini,” lanjut Sang Marbudyengrat, “Mustahil akan ada sabda leluhuran di tempat seperti ini. Sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya”.

Sang Bima semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa, “Ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. Entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. Dan siapa sebenarnya diriku ini”.

“Ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewaruci, atau Sang Marbudyengrat yang tahu segalanya tentang dirimu anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak Kunti, keturunan Wisnu yang hanya beranak tiga, Yudistira, dirimu, dan Janaka. Yang bersaudara dua lagi Nakula dan Sadewa dari ibunda Madrim si putri Mandraka. Datangmu kemari atas perintah gurumu Dahyang Durna untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini”.

“Bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya agar tidak mengalami kegelapan seperti ini terasa bagai keris tanpa sarungnya”, kata Bima.

“Sabarlah anakku, memang berat cobaan hidup ingatlah pesanku ini senantiasa jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipnya. Tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. Janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan”, sambung Dewaruci.

“Duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba bertindak tanpa tahu asal tujuan sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka”, kata Bima.

“Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku”, lanjut Sang Marbudyengrat.

Sang sena tertegun tak percaya mendengarnya, “Ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit kelingking pun tak akan mungkin muat.”

“Wahai werkudara si dungu anakku, sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam,” kata Dewaruci.

Mendengar ucapan Sang Dewaruci, Bima merasa kecil seketika, dan segera melompat masuk ke telinga kiri Sang Dewaruci yang telah terangsur ke arahnya

“Heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana?”.

“Hanya tampak samudera luas tak bertepi,” ucap Sang Sena, “alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang”.

“Janganlah mudah cemas”, ujar Sang Dewaruci, “Yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata”. Dalam seketika Sang Bima menemukan kiblat dan melihat surya. Setelah hati kembali tenang tampaklah Sang Dewaruci di jagad walikan.

“Heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!”.

“Awalnya terlihat cahaya terang memancar”, kata Sang Sena, “kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. Apakah gerangan semua itu?”.

“Ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. Cahaya empat warna, itulah warna hati hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal, hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. hanya si putih-lah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam, namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. Hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma. Adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.”

“Duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu”, kata Bima.

“Setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna, ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar. Itulah kesejatian yang tunggal.”

“Anakku terkasih semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. sering disebut jagad agung jagad cilik dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading amatilah lebih cermat, wahai Werkudara anakku”.

“Semakin cerah rasa hati hamba. kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. Warna sejatikah yang hamba saksikan itu?”.

“Bukan, anakku yang dungu, bukan, berusahalah segera mampu membedakannya zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat, tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.”

“Sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya. Dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati, ialah yang merawat raga tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.”

“Pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?”

“Itu tidaklah mudah dijelaskan,” ujar sang dewa ruci, “gampang-gampang susah”.

“Sebelum hal itu dijelaskan,” kejar Sang Bima, “hamba tak ingin keluar dari tempat ini serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.”

“Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara, mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda, di saat itulah sang suksma akan menghampirimu, dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati.”

“Janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu; perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka, jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.”

Maka habislah wejangan Sang Dewaruci, sang guru merangkul Sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya, dan seketika wajah Sang Sena menerima wahyu kebahagiaan bagaikan kuntum bunga yang telah mekar. Menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta

dan blassss . . . ! keluarlah Sang Bima dari raga Dewaruci Sang Marbudyengrat kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa Sang Dewaruci. Sang Bima melompat ke daratan dan melangkah kembali siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.

Source


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Raden Werkudara (kisah lengkap sang Bima)

Raden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki keturunan.

Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut.

Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih), Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak., anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan, setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata atau Tirtanata.

Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima, Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga, Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.

Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu, Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman Ramayana).

Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas, berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara halus dan mau menyembah.

Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.

Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa, sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu, datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan Peksajandu.

Akal para Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu menantang Yudistira untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan Astina seutuhnya. Jelas saja Pandawa akan kalah karena seratus satu orang melawan lima, namun Werkudara memiliki akal, ia meminta kakaknya menyisakan sedikit tempat buat dirinya. Werkudara lalu mundur beberapa langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang disisakan kakaknya, sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung menjadi terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke negri-negri sebrang itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.” Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu Gardapati dari kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi pendamping Prabu Gardapati sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari kerajaan Purantura, dan Kartamarma dari kerajaan Banyutinalang. Cerita ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai Pandawa Timbang.

Belum puas dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan Pandawa lewat siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang untuk datang dalam acara penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu pesanggrahan yang terbuat dari kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara penyerahan tersebut diulur-ulur hingga larut malam dan para Pandawa kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa tertidur, hanya Bima yang masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum- minuman keras. Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira Pandawa telah tidur mulai membakar pesanggrahan. Sebelumnya Arjuna memperbolehkan enam orang pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa kasihan. Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak, dan adik-adiknya kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura, yang mengetahui akal licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan putih yang merupakan jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara kemudian berkenalan dan menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama Dewi Nagagini. Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak menjadi sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja.

Setelah para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan. Di tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan putra dari Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan Sengkuni. Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin membunuh mereka, tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan Werkudara. Namun Adik dari Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah menaruh hati pada Werkudara. Sebelum mati Prabu Arimba menitipkan adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena Arimbi adalah seorang rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi Kunti yang melihat ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune, bocah iki…” (Duh cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa itu menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai Gatotkaca. Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani sebagai pengganti pamannya, Prabu Arimba.

Pada saat berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya meminta Werkudara dan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula dan Sadewa yang kelaparan. Werkudara datang kesebuah negri bernama Kerajaan Manahilan dan di sana ia menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya, mereka menjawab bahwa putra mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan oleh raja di negri tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka atau Prabu Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut.

Saat dimakan oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi gigi dari Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu Baka. Tetapi dalam perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan seluruh rakyat bersuka ria karena raja mereka yang gemar memangsa manusia telah meninggal. Oleh rakyat negri tersebut Werkudara akan dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat ditanyai apa imbalan yang ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin dua bungkus nasi. Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke hutan dan kelak keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan Pandawa di Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan dua bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna, makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba seseorang.

Selain Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang ahli perang dalam air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu, putri dari Hyang Mintuna, dewa penguasa air tawar.

Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira Pandawa telah meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang habis terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa masih hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Para Pandawa yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara denagn membunuh Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan Jayajatra yang ikut sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari Gandamana, Werkudara memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji Bandung Bandawasa. Setelah memenangkan sayembara tersebut, Werkudara mempersembahkan Dewi Drupadi kepada kakaknya, Puntadewa.

Setelah mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti Resi Bisma, Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk memberikan Pamdawa hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan Pandawa tidak bersatu dan menghindarkan perang saudara. Akhirnya Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa lalu dihadiahi hutan Wanamarta yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang keras akhirnya mereka dapat mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta. Werkudara pun berhasil mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang bersemayam di Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian menyatu dalam tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol sebagai patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi dengan gelar Prabu Tugu Wasesa.

Pada saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa harus hidup sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun menyamar. Dalam penyamaran tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal atau juru masak istana di negri Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di sana ia berjasa membunuh Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh Kencakarupa dan Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri yang tidak lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang menyamar.

Pernah Bima diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta Prawitasari atau air kehidupan di dasar samudra. Sebenarnya Tirta Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra tetapi ada di dasar hati tiap manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan yang di rencanakan oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke dasar samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan Rukmakala yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang di sumpah oleh Batara Guru menjadi raksasa.

Setelah berhasil membunuh kedua rakasasa tersebut dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke ujud aslinya dan kembali ke kayangan, Werkudara melanjutkan peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia kembali diserang oleh seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku pancanakanya, disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya terdiam di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati, Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam lubang telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat wejangan tentang makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang damai, aman, dan tenteram. Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh dari Dewa Ruci.

Werkudara juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat.

Dalam lakon Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk mendapat ilham kemenangan dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan kegagahan sang Werkudara. Mereka lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara Guru, suami Dewi Uma, memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin Werkudara dipotong dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka pengusir Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.

Selain Ajian yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki Aji Blabak pangantol-antol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata, Werkudara memiliki senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu Werkudara juga memiliki pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta Bargawastra yang berbentuk anak panah. Anak panah tersebut tak dapat habis karena setiap kali digunakan, anak panah tersebut akan kembali ke pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan Anoman, saudara tunggal Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara mendapat Ilmu Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam cerita Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut bertambah kuat.

Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil membunuh banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua kurawa yang dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk melunasi sumpah Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas rambutnya setelah dikeramas dengan darah Dursasana setelah putri Pancala tersebut dilecehkan saat Pandawa kalah bermain dadu. Bima juga membunuh adik- adik Prabu Duryudana yang lain seperti, Gardapati di hari ke tiga Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda, dan Banyak lagi. Werkudara pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan cara menyobek kulitnya dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya yang tidak akan berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura tersebut dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga sesuai dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang dikuliti.

Pada hari terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal saingan terbesar Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri, Prabu Duryudana. Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri yang merupakan guru dari kedua murid dengan aturan hanya boleh memukul bagian tubuh pinggang keatas. Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya telah kebal dan hanya paha kirinya yang tidak terkena minyak tala, karena ia tidak mau membuka kain penutup kemaluannya yang masih menutupi paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan minyak tersebut ke tubuh Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini dengan mengatakan betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam bahasa Jawa wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha kiri Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah Kumbakarna yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat, ditempat lain Werkudara mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan segala pukulan Gada Rujak Polonya. Untunglah Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri nya.

Werkudara yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung menghantamkan gadanya di paha kiri Duryudana, dalam dua kali pukul Duryudana sekarat, oleh Werkudara, Duryudana lalu dihabisi dengan menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk. Baladewa yang melihat hal itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak menghukumnya, namun atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang dilakukan terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya hanya berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Bagi Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia lalu menyumpahi Prabu Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang hancur.

Setelah Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra dan para tetua Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan dendam pada Werkudara yang mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di tangan Werkudara terutama Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat para Pandawa datang untuk memberi sembah sungkem pada Destarastra, diam-diam Destarastra membaca mantra Aji Lebursaketi untuk menghancurkan Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan hal itu mendorong Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut adalah arca batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu. Destarastra kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi Kunti. Beberapa pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah tewas sebelum pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa ke Astina. Saat itu ia tewas terinjak-injak putra-putranya yang berlarian karena takut akan kemarahan Prabu Kresna yang telah menjadi Brahala.

Akhir riwayatnya, Werkudara mati moksa bersama-sama saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Perkawinan Arjuna dengan Srikandhi

Prabu Drupada raja Pancalareja dihadap Trusthajumena dan Patih Trusthaketu. Mereka membicarakan Srikandhi yang pergi tanpa pamit. Tiba-tiba datang Patih Jayasudarga utusan raja Paranggubarja, untuk menyampaikan surat lamaran. Utusan tersebut diberitahu bahwa Srikandhi pergi dari istana, tidak diketahui tempat tujuannya. Prabu Drupada juga mengabarkan kepergian Srikandhi kepada raja Ngamarta.

Prabu Jungkungmardeya raja Paranggubarja, menerima kedatangan Patih Jayasudarga. Patih memberitahu tentang jawaban raja Drupada, bahwa Srikandhi pergi meninggalkan istana. Prabu Jungkungmardeya menyuruh para punggawa agar membantu pencarian Srikandi.

Prabu Puntadewa dihadap oleh Wrekodara, Nakula dan Sadewa. Trusthajumena datang menyampaikan surat pemberitahuan. Kemudian Trusthajumena kembali ke negara Pancalareja. Prabu Puntadewa memberi kabar kepada Durpadi, bahwa Srikandhi pergi meninggalkan istana. Drupadi diam-diam pergi ke Taman Maduganda.

Di Taman Maduganda Arjuna sedang mengajar memanah kepada Srikandhi, Drupadi datang mengamuk, Arjuna ditarik dan disembunyikan, Srikandhi dihajar sampai pingsan. Drupadi kembali ke Ngamarta. Setelah siuman Srikandhi melarikan diri, kembali ke Pancalareja. Arjuna tergopoh-gopoh akan menolong Srikandhi, tetapi yang dipeluk Sumbadra. Sumbadra marah dan mengerti bahwa Arjuna mencintai Srikandhi. Terjadilah pertengkaran. Arjuna melarikan diri kembali ke Madukara.

Drupadi menemui Prabu Puntadewa, lalu bercerita tentang Arjuna dan Srikandhi. Sadewa diminta untuk memanggil Arjuna. Sadewa pergi ke Madukara, Arjuna memenuhi panggilan kakaknya.

Prabu Kresna datang menemui Prabu Puntadewa di Ngamarta. Wrekodara dan Nakula ikut menyambutnya. Sadewa datang bersama Arjuna. Prabu Kresna mengerti persoalan Arjuna, lalu minta agar Arjuna diserahkan ke Pancalareja.

Prabu Drupada sedang bicara dengan Trusthajumena, kemudian Srikandhi datang. Raja amat gembira, Srikandhi disuruh masuk ke istana. Prabu Kresna, Wrekodara dan Arjuna datang menghadap raja. Prabu Kresna bercerita kepada Prabu Drupada tentang hubungan antara Arjuna dengan Srikandhi. Prabu Kresna mengusulkan agar mereka berdua dikawinkan. Trusthajumena diminta menanyai Srikandhi. Srikandhi menjawab, ia mau diperisteri Arjuna, bila Arjuna dapat mengalahkan kepandaian memanahnya. Arjuna menyanggupinya, tetapi minta diwakili oleh Rarasati.

Prabu Puntadewa dihadap oleh Nakula, Sadewa dan Gatotokaca. Gatotkaca diminta mencari berita tentang Arjuna di Pancalareja.

Prabu Jungkungmardeya menerima laporan dari Sarawita, bahwa utusan raja mati oleh Srikandi. Raja bersama Bagawan Tunggulmanik pergi ke negara Pancalareja.

Prabu Drupada sedang berbicara dengan Prabu Kresna dan Trusthajumena. Gatotkaca datang, menanyakan nasib Arjuna. Raja bercerita tentang perkawinan Srikandhi dan Arjuna

Perajurit Prabu Jungkungmardeya menyerang Pancalareja. Wrekodara, Arjuna dan Gatotkaca ditugaskan untuk menyongsong kedatangan musuh. Prabu Jungkungmardeya mati oleh Arjuna. Patih Jayasudarga mati oleh Gathotkaca dan Begawan Tunggulmanik mati oleh Wrekodara.

Perang telah selesai, Pancalareja menjadi aman kembali. Prabu Drupada mengadakan pesta perkawinan antara Arjuna dan Srikandhi, bersama keluarga Dwarawati dan Pandhawa.

Sumber:
Kitab Mangkunagara VII jilid XVI 1932: 23-26
R.S. Subalidinata

-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

arjuna idolah ku

saking idola nya aku suka lagu yang berjudul arjuna dari band dewa 19
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Di dalam cerita Mahabharata versi Jawa (pewayangan) ada beberapa tokoh yang tidak muncul di versi India, di antaranya...

Antasena

Anantasena, atau sering disingkat Antasena adalah nama salah satu tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam naskah Mahabharata, karena merupakan asli ciptaan para pujangga Jawa. Tokoh ini dikenal sebagai putra bungsu Bimasena, serta saudara lain ibu dari Antareja dan Gatotkaca.

Dalam pewayangan klasik versi Surakarta, Antasena merupakan nama lain dari Antareja, yaitu putra sulung Bimasena. Sementara menurut versi Yogyakarta, Antasena dan Antareja adalah dua orang tokoh yang berbeda.

Akan tetapi dalam pewayangan zaman sekarang, para dalang Surakarta sudah biasa memisahkan tokoh Antasena dengan Antareja, sebagaimana yang dilakukan oleh para dalang Yogyakarta.

Asal-Usul

Antasena adalah putra bungsu Bimasena atau Wrekodara, yaitu Pandawa nomor dua. Ia lahir dari seorang ibu bernama Dewi Urangayu putri Batara Mintuna. Bima meninggalkan Urangayu dalam keadaan mengandung ketika ia harus kembali ke negeri Amarta.

Antasena lahir dan dibesarkan dalam naungan ibu dan kakeknya. Setelah dewasa ia berangkat menuju Kerajaan Amarta untuk menemui ayah kandungnya. Namun saat itu Bima dan saudara-saudaranya sedang disekap oleh sekutu Korawa yang bernama Ganggatrimuka raja Dasarsamodra.

Antasena berhasil menemukan para Pandawa dalam keadaan mati karena disekap di dalam penjara besi yang ditenggelamkan di laut. Dengan menggunakan Cupu Madusena pusaka pemberian kakeknya, Antasena berhasil menghidupkan mereka kembali. Ia juga berhasil menewaskan Ganggatrimuka.

Antasena kemudian menikahi sepupunya yang bernama Janakawati putri Arjuna.

Sifat dan Kesaktian

Antasena digambarkan berwatak polos dan lugu, namun teguh dalam pendirian. Dalam berbicara dengan siapa pun, ia selalu menggunakan bahasa ngoko sehingga seolah-olah tidak mengenal tata krama. Namun hal ini justru menunjukkan kejujurannya di mana ia memang tidak suka dengan basa-basi duniawi.

Dalam hal kesaktian, Antasena dikisahkan sebagai putra Bima yang paling sakti. Ia mampu terbang, amblas ke dalam bumi, serta menyelam di air. Kulitnya terlindung oleh sisik udang yang membuatnya kebal terhadap segala jenis senjata.

Kematian

Antasena dikisahkan meninggal secara moksa bersama sepupunya, yaitu Wisanggeni putra Arjuna. Keduanya meninggal sebagai tumbal kemenangan para Pandawa menjelang meletusnya perang Baratayuda.

Ketika itu Wisanggeni dan Antasena menghadap Sanghyang Wenang, leluhur para dewa untuk meminta restu atas kemenangan Pandawa dalam menghadapi Korawa. Sanghyang Wenang menyatakan bahwa jika keduanya ikut berperang justru akan membuat pihak Pandawa kalah. Wisanggeni dan Antasena pun memutuskan untuk tidak kembali ke dunia. Keduanya kemudian menyusut sedikit-demi sedikit dan akhirnya musnah sama sekali di kahyangan Sanghyang Wenang.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Antareja

Anantaraja, atau yang lebih sering disingkat Antareja, adalah salah satu tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam Mahabharata karena merupakan asli ciptaan para pujangga Jawa. Ia merupakan putra sulung Wrekodara atau Bimasena dari keluarga Pandawa.

Dalam pewayangan klasik versi Surakarta, Antareja merupakan nama lain dari Antasena, sedangkan versi Yogyakarta menyebut Antasena sebagai adik lain ibu Antareja, selain Gatutkaca. Sementara itu dalam pewayangan zaman para dalang versi Surakarta umumnya juga mengisahkan Antareja dan Antasena sebagai dua orang tokoh yang berbeda.

Asal-Usul

Antareja adalah putra sulung Bimasena yang lahir dari Nagagini putri Batara Anantaboga, dewa bangsa ular. Perkawinan Bima dan Nagagini terjadi setelah peristiwa kebakaran Balai Sigala-Gala di mana para Korawa mencoba untuk membunuh para Pandawa seolah-olah karena kecelakaan.

Bima kemudian meninggalkan Nagagini dalam keadaan mengandung. Antareja lahir dan dibesarkan oleh Nagagini sampai ketika dewasa ia memutuskan untuk mencari ayah kandungnya. Dengan bekal pusaka Napakawaca pemberian Anantaboga dan Cincin Mustikabumi pemberian Nagagini, Antareja berangkat menuju Kerajaan Amarta.

Di tengah jalan Antareja menemukan mayat seorang wanita yang dimuat dalam perahu tanpa pengemudi. Dengan menggunakan Napakawaca, Antareja menghidupkan wanita tersebut, yang tidak lain adalah Subadra istri Arjuna.

Tiba-tiba muncul Gatutkaca menyerang Antareja. Gatutkaca memang sedang ditugasi untuk mengawasi mayat Subadra demi untuk menangkap pelaku pembunuhan terhadap bibinya itu. Subadra yang telah hidup kembali melerai kedua keponakannya itu dan saling memperkenalkan satu sama lain.

Antareja dan Gatutkaca gembira atas pertemuan tersebut. Kedua putra Bima itu pun bekerja sama dan akhirnya berhasil menangkap pelaku pembunuhan Subadra yang sebenarnya, yaitu Burisrawa.

Kisah kemunculan Antareja untuk pertama kalinya tersebut dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan judul cerita Sumbadra Larung.

Kesaktian

Antareja memiliki Ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi.

Sifat

Anantareja memiliki sifat jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.

Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuddha atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai Tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuddha.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Cakil

Buta Cakil merupakan seorang raksasa dengan rahang bawah yang lebih panjang daripada rahang atas. Tokoh ini merupakan inovasi Jawa dan tidak dapat ditemui di India.

Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu berhadapan dengan Arjuna ataupun tokoh satria yang baru turun gunung dalam adegan Perang Kembang. Tokoh ini hanya merupakan tokoh humoristis saja yang tidak serius namun sebenarnya Cakil adalah perlambang tokoh yang pantang menyerah dan selalu berjuang hingga titik darah penghabisan karena dalam perang kembang tersebut Cakil selalu tewas karena kerisnya sendiri.
Cangik

Cangik adalah seorang pelayan wanita pelawak kesayangan para penonton biasanya mengiringi kehadiran Sumbadra atau putri kelas atas lainnya. Meskipun perawakannya kurus, dadanya mengerut, dan penampilannya aneh, dia sangat mudah tersipu-sipu dan genit, dengan sisir yang selalu ia bawa sebagai buktinya. Suaranya tinggi, melengking dan seperti bersiul, karena dia tidak mempunyai gigi.
Limbuk

Limbuk adalah anak perempuan Cangik, juga seorang abdi perempuan yang konyol. Meskipun penampilannya sangat berbeda dengan ibunya, dia mempunyai rasa keyakinan yang sama akan daya tariknya yang tinggi. Dia juga membawa sebuah sisir dengannya ke mana-mana. Suaranya keras, rendah, dan menyentuh secara janggal.
Togog

Togog adalah putra dewa yang lahir sebelum Semar, tapi karena tidak mampu mengayomi bumi maka Togog kembali ke asal lagi alias tidak jadi lahir. Dan pada waktu bersamaan lahirlah Semar.

Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga cucunya yaitu Batara Antaga (Togog), Batara Ismaya (Semar) dan Batara Manikmaya (Batara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga cucunya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan. Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus ketika gunung tersebut berada di dalam rongga mulut Togog. Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang.

Adapun Batara Antaga (Togog) dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk.
Bilung

Bilung adalah seorang raksasa kecil yang berteman dengan para Punakawan. Dia adalah sahabat dari Togog dan ke mana-mana selalu berdua. Bilung digambarkan sebagai tokoh dari luar Jawa yaitu Melayu. Bilung sering kali menggunakan bahasa campuran Jawa & Melayu. Setiap bertemu dengan Petruk, dia selalu menantang berkelahi dan mengeluarkan suara kokok seperti ayam jago. Tapi, sekali dipukul oleh Petruk, dia langsung kalah dan menangis. Dalam beberapa cerita wayang, Bilung yang punya nama lain Sarawita ini kadang-kadang berperan menjadi Punakawan yang memihak musuh. Biasanya, Bilung akan memberi masukan yang baik kepada majikannya. Tetapi, bila masukannya tidak didengarkan oleh majikannya, dia akan berbalik memberi berbagai masukan yang buruk.


-dipi-
 
Back
Top