Epos Mahabharata

Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Baratayuda

Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri.

Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

Sebab Peperangan

Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.

Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa.

Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.

Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.

Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi.

Kitab Jitabsara

Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan.

Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.

Aturan Peperangan

Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju.

Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.

Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat.

Pembagian babak

Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa:
  • Babak 1: Seta Gugur
  • Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
  • Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
  • Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
  • Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
  • Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
  • Babak 7: Karna Tanding
  • Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
  • Babak 9: Lahirnya Parikesit


Bersambung


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 1: Seta Gugur

Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.”

Pasukan dari negara-negara baik yang mendukung Pandawa maupun yang mendukung Kurawa telah berdatangan di Tegal Kurusetra. Mereka telah mendirikan perkemahan-perkemah an.Malam ini mereka mulai berjaga jaga, karena esok hari Perang Barata Yuda, akan dimulai. Hati dan perasaaan mulai bergetar, mengapa harus berperang, yang akan mengorbankan banyak orang tewas, mengapa tidak memilih damai, berdasar kan pembagian tanah Astina yang telah dibagi secara adil oleh Resi Bisma waktu itu, Kembalikanlah Indraprasta ke Pandawa. Perda maian telah diajukan kepada Kurawa, namun ditolak.Besok pagi Bisma menjadi Panglima Perang Kurawa melawan Pandawa.

Sementara itu Prabu Sri Bathara Kresna meminta Pandawa bersiap-siap memasuki medan laga Kurusetra. Seta ditun juk menjadi Senapati perang Pandawa. Sedang kan kedua adiknya Utara memimpin pasu kan disayap kanan dan Wratsangka pendamping kiri, memimpin pasukan disayap kiri. Matahari mulai bersinar, suara sangkakala menyayat nya yat. Bergetar jiwa dan raga. Semua prajurit bersi ap berperang. Kedua belah pihak telah mengatur strategi perang.Resi Bisma telah memasuki me dan laga dan melayangkan beberapa senjata pada Perajurit Pandawa. Arjuna menangkis serangan senjata Bisma.Sementera itu kereta perang Bisma melaju cepat ketengah prajurit Pandawa. Resi Bisma bertemu dengan Abimanyu, dimintanya Abimanyu mundur saja, karena masih terlalu muda. Kereta Perang Resi Bisma bertemu dengan kereta perang Arjuna, yang di saisi Prabu Kresna.Resi Bisma memberi pesan agar Prabu Kresna memerintahkan Srikandi maju ke medan laga, Srikandi lah orang yang bisa menghantarkan kematian Resi Bisma.

Sementara kereta perang Prabu Salya mengawal kereta perang Resi Bisma dari arah kiri. Sedangkan disebelah kanan kereta perang Resi Bisma disebelah kanan adalah Kereta perang Pandita Durna.Sementara itu Arjuna kehilangan daya juang, melihat senapati Astina adalah kakeknya yang sangat disayangi, Sejak masih kecil kakek Bisma menyayanginya. Disnilah timbul dialog antara Arjuna dan Prabu Kresna.Untuk menggugah kembali semangat Arjuna.Dialog ini dikenal dengan Bagawad Gita.

Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa.

Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika.

Kereta perang Resi Bisma bertemu Senapati Pandawa, Seta. Terjadilah adu panah antara Seta melawan Resi Bisma. Namun walaupun Bisma sudah berusia lanjut, ia masih lincah memainkan panah dan pedangnya. Keduanya masih berim bang. Sementara itu Werkudara dengan gadanya menyambar nyambar kepala Para Kurawa, Arjuna dengan panahnya melesat ke semua arah penjuru musuh,dan Nakula serta Sadewa membabat Kurawa dengan pedang kembarnya. Gatut kaca menyambar Nyambar-nyambar lawannya dari angkasa.

Para Kurawa banyak yang ketakutan dengan kegesitan para Pandawa. Sementara Putera Wirata, Utara sebagai pendamping Senapati sayap Kanan dan Wratsangka disayap kiri terus melaju ketengah medan pertempuran. Resi Bisma merasa mulai terdesak. Resi Bisma meninggalkan medan laga. Resi Seta mengejarnya.Resi Bisma berlari ke Sungai Gangga dan masuk kedalam Sungai Gangga menemui ibunya. Resi Bisma pamit mati pada ibunya, Dewi Gangga merasa sedih, karena seingatnya Resi Bisma, yang sewaktu muda bernama Dewabrata, sampai sekarang hidupnya tidak pernah bahagia, Bisma mestinya yang ber tahta di Astina menggantikan ayahnya. Dewi Gangga memberikan cundrik. Resi Bisma berpamitan dan keluar dari sungai Gangga, ternyata di luar sudah ditunggu Seta. Resi Bisma meloncat dan menusukan cundrik di dada Seta, yang membuat Seta Gugur.

Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)

Sementara perang semakin sengit, kini Prabu Salya telah dapat lawan yang seimbang, Prabu Salya bertemu dengaan putera Wirata, Utara. Keduanya duanya sama sama gesit dalam memainkan segala senjata, dari panah, pedang dan adu kesaktian. Namun ketika terdengar sorak sorai Seta Gugur, Utara terlena, terperanjat, dan Utara tidak teringat lagi kalau masih di medan perang,Kesempatan baik itu tidak disia siakan oleh Prabu Salya, sehingga dengan mudah membidikkan senjatanya kepada Raden Utara. Senjata Prabu Salya mengenai dada Utara, maka gugurlah Raden Utara ditangan Prabu Salya.

Demikian juga Raden Wratsangka mendapat lawan tangguh yaitu dengan Pendita Durna. Yang gesit dan pandai olah senjata dan kanuragan,maka dengan mudah Pendita Durna membunuh Wratsangka. Pihak Kurawa bersorak sorai dengan gugurnya tiga Satria Wirata. Kubu Pandawa sangat berduka dengan kematian tiga satria Wirata.Sementara itu pada hari kesepuluh Perang Barata Yudha, Prabu Kresna meminta Srikandi segera bersiap untuk melawan Resi Bisma. Resi Bisma juga telah siap kembali bertempur, setelah berhasil mengalahkan Seta ditepi Sungai Gangga.Dewi Srikandi sudah berhadapan dengan Eyang Bisma. Dewi Srikandi berkali kali dipukul, oleh Resi Bisma, namun tidak membalas.Tiba-tiba Resi Bisma terkesima, waktu memandang Dewi Srikandi, seperti berhadapan dengan Dewi Amba.

Resi Bisma tidak bisa berbuat apa-apa, ia teringat sekali waktu Dewi Amba dengan manja mempesona Resi Bisma. Rupanya Dewi Amba telah memasuki tubuh Dewi Srikandi. Melihat situasi yang sede mikian rupa,Prabu Kresna langsung memerin tahkan Dewi Srikandi untuk memanah Resi Bisma, Dewi Srikandi segera memanah Resi Bisma, panahpun dengan cepat melesat kearah Resi Bisma, tetapi apa karena ia seorang wanita atau ia ragu ragu terhadap Resi Bisma, panah Dewi Srikandi hampir tidak sampai kepada Resi Bisma.

Dengan cepat Arjuna melayangkan sebuah panah, dengan kekuatan tinggi mendorong panah Srikandi melaju dengan cepat dan mengenai dada Resi Bisma. Resi Bisma , jatuh ke bumi. Sasangkala berbunyi seiring dengan tumbangnya Resi Bisma di Tegal Kurusetra. Untuk menghor mati Resi Bisma, seseorang yang telah banyak berbuat baik kepada Pandawa maupun Kurawa, yang merelakan melepas tahta Astina demi adik-adiknya, tetapi malah menjadikan Negeri Asti napura hancur lebur, Demikianlah nasib Negeri Astinapura, peninggalan ayahanda Bisma yaitu Prabu Sentanu.

Resi Bisma ingin tidur diatas bantal. Prabu Suyudana memerintahkan Dursasana mengambil tilam bersulam emas dari istana Astina. Tetap Resi Bisma tidak mau, Resi Bisma minta pada Arjuna untuk mengambilkan bantal pahlawan. Secepat kilat Arjuna mengambil busurnya dan menancapkan beberapa anak panah di dekat Resi Bisma tidur. Kepala Resi Bisma disangga diatas panah Arjuna yang menancap di tanah dibawah kepalanya.

Sedangkan Werkudara memberikan perisai-perisai perajurit yang telah gugur untuk menyelimuti Resi Bisma. Resi Bisa mmeminta pada Dewa untuk memberikan umur sampai akhir Perang Barata Yudha. Karena ia ingin melihat akhir perang Barata Yudha.Kemudian oleh Pandawa, Resi Bisma dibuatkan penutup kelambu untuk menghormati Resi Bisma.

Pandawa dalam perang Barata Yudha ini kehilangan banyak tokoh-tokoh berguguran. Karena Resi Bisma adalah ahli strategi Perang yang handal.

Resi Bisma bertahan selama 10 hari menjadi senapati pihak Kurawa.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)

Sepeninggal resi Bisma, prabu Bogadenta diangkat menjadi senopati pengganti dengan pengapitnya kertipeya. Untuk menghadapinya, pandawa menampilkan arjuna sebagai senopti dengan werkudara sebagai pengapitnya. dengan mengendarai gajah murdaningkung dengan sratinya dewi murdaningsih, prabu bogadenta mengamuk dengan hebatnya.

melihat keadaan itu, arjuna dengan kereta perangnya menempuh aliran wadyabala astina dan membawa pasukannya menerobos masuk ke dalam pertahanan kurawa sehingga barisan lawan terdesak mundur. arjuna berhadapan langsung dengan prabu bogadenta. perang tanding antara 2 panglima ini dimenangkan oleh arjuna. prabu bogadenta beserta gajah dan sratinya mati sekaligus.

werkudara dengan gada pusakanya membabat hancur wadyabala astina, bergerak seperti banteng luka. ia mendesak senopati pengapit kurawa, kertipeya, dan menghantamkan gadanya hingga dada kertipeya hancur.

prabu duryudana menyaksikan senopatinya gugur segera menunjuk penggantinya dan mengangkat prabu gardapati, raja puralaya sebagai senopati dan wresaya sebagai pengapitnya. mengetahui perubahan siasat kurawa, pandawa lalu menggeser kedudukan senpati dan pengapitnya. werkudara menjadi panglima dan arjuna sebagai pendamping.

akibat siasat prabu gardapati, yang memancing bima bergeser dari tempat kedudukannya ketempat yang tidak dikenal, maka werkudara dan arjuna terjebak ke dalam tempat yang berlumpur/embel/paluh. tapi pada saat terakhir, werkudara dapat menangkap prabu gardapati dan wresaya untuk berpegangan naik keatas, sehingga keduanya terjerembab masuk ke dalam lumpur.

werkudara yang menggendong arjuna dengan memanjat punggung kedua lawannya segera meloncat keluar dari lumpur berbahaya itu. prabu gardapati dan wresaya mati tenggelam dalam lumpur.

Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)

Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu ksatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai gelar strategi perang hanya tiga orang yakni Werkodara, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Werkodara dan Arjuna dipancing oleh ksatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.

Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur gelar perang, dia maju sendiri ketengah barisan Kurawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ketubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya “arang kranjang” (banyak sekali) dan Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata ditubuhnya) sebagai risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Uttari bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha, padahal ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.

Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putra mahkota Hastina (Lesmana Mandrakumara) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya, pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyupun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)

Prabu Matswapati Tanya kepada Raden Wrekudara bagaimana dalam menghadapi Prabu Partipa, Raden Wrekudara bilang bahwa Prabu Pratipa sudah gugur beserta gajahnya Kyai Jayamaruta. Belum sampai selesai dalam berbicara, Patih Udakawara datang, melaporkan bahwa Ngastina sudah ada senopati lagi yaitu raden Harya Burisrawa dan Senopati Pendamping Raden Windandini.

Prabu Matswapati minta petunjuk kepada Prabu Kresna, siapa tandingannya, tiada lain adalah raden Harya Sencaki Romo Prabu. Sebetulnya Raden Harya Wrekudara tidak setuju bila Raden Harya Sencaki yang mnejadi tandingannya. Sebaiknya saya saja, karena yang sama-sama tingginya, perkasanya. Tetapi Bathara Kresna tetap menunjuk Raden Harya Sencaki, karena sebelumnya keduanya sudah ada perjanjian, bila Baratayuda terjadi akan saling ketemu sebagai tandingannya. Akhirnya Raden Wrekudara setuju tapi dengan satu syarat asalkan kuat menerima lemparan gada dari Raden Wrekudara.

Akhirnya antara Raden Wrekudara dengan Raden Harya Sencaki terjadi lempar-lemparan gada. Raden Harya Sencaki dinilai kuat menerima lemparan gada dari Harya Wrekudara dan kuat melempar, akhirnya Raden Harya Wrekudara setuju bila sebagai tandingannya Raden Burisrawa Raden Sencaki. Setelah minta do’a restu kepada Prabu Matswapati dan yang hadir, Raden Harya Sencaki segera berangkat ke medan perang.

Dari kejauhan sudah terdengar tantangan-tantangan dari prajurit-prajurit Ngastina, raden Janaka yang kadang masih lupa ingatannya karena masih sedih akibat kematian abimanyu, ketemu dengan Senopati Pendamping Raden Windandini, terjadi pertempuran, sama-sama kuatnya, tetapi Raden Janaka melepaskan Jemparing, gugurlah Raden Windandini.

Raden Sencaki sudah saling menyapa dengan Raden Harya Burisrawa. Sama-sama puasnya bisa ketemu untuk bertanding sesuai dengan janjinya.

Terjadi pertempuran sengit, Raden Sencaki semakin lama semakin menurun staminanya, kewalahan menghadapi keerkasaannya Raden Burisrawa.

Prabu Bathara Kresna melihat Adindan Raden Harya Sencaki kerepotan dalam menghadapi musuh, lalu memerintahkan kepada Raden Janaka supaya Njemparing rambut yang dipegangnya, tapi rambut yang dipegang sejajar dengan lehernya Raden Burisrawa.

Akhirnya Raden Janaka melepaskan jemparing pasopati, karena Raden Janaka kadang masih lupa ingatan, jemparing meleset kena pinggir tidak kena tengah-tengah, rambut tatas putus bablas mengenai bau Raden Burisrawa sampai timpal, maka tema ini juga disebut TIMPALAN.

Sesudah Raden Burisrawa kena pasopati, Raden Sencaki melepaskan jemparing kena lehernya Raden burisrawa sampai putus, akhirnya gugur di palagan Raden Burisrawa.

Raden Sencaki besar kepala karena bisa membunuh Raden Burisrawa akhirnya sombong tidak tahunya pada waktu Raden Sencaki kerepotan dalam perang telah dilepasi pasopati oleh Raden Janaka, yang membuat Raden Burisrawa lemah karena timpal baunya. Lalu Raden Sencaki mudah keluar dari cengkraman musuh akhirnya melepaskan jemparing sampai gugur Raden Burisrawa terkena lehernya. Padahal sebelumnya sudah mendapat perhatian dari Bathara Kresna, jangan sombong. Tetapi karena merasa menang dalam pertandingan melawan Raden Burisrawa, sampai tidak ingat kata welingnya Prabu Bathara Kresna jangan sombong.

Setelah tahu Raden Sencaki sombong Prabu Bathara Kresna mendekati dan menceritakan apa adanya tentang gugurnya Burisrawa. Raden Sencaki merasa malu, diam saja lalu pergi meninggalkan Prabu Bathara Kresna tanpa minta ijin.

Para prajurit dari Ngastina tahu yang tadinya Raden Burisrawa unggul dalam peperangan tapi baunya bisa timpal lalu pada bilang kalau Pandawa curang dalam peperangan.

Prabu Bathara Kresna mendengar berita bahwa pandawa curang dalam peperangan, akhirnya mendekati para Kurawa memberi keterangan bahwa timpalnya bau dari harya Burisrawa tidak ada unsur kesengajaan. Itu kena pasopati pada waktu Raden Janaka gladi melepas jemparing.

Prabu Salya marah akan membunuh para Pandawa, tetapi dihalang-halangi Patih Harya Sengkuni, supaya mundur melaporkan bahwa Raden Burisrawa gugur di medan perang.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)

Setelah burisrawa gugur, kurawa mengangkat adipati karna dari awangga sebagai senopati. Hari sudah gelap, sang surya sudah lama meninggalkan jejak sinarannya di ladang Kurusetra. Harusnya perang dihentikan, masing – masing pihak beristirahat dan mengatur strategi untuk perang esok hari. Namun entah mengapa Kurawa mengirim senopati malam – malam begini.

Adipati Awonggo ngamuk punggung menerabas dan menghancurkan perkemahan pasukan Pandawa di garda depan. Penjaga perkemahan kalang kabut tidak kuasa menandingi krida Sang Adipati Karno. Secepat kilat berita ini terdengar di perkemahan Pandawa Mandalayuda. Sri Kresna tahu apa yang harus dilakukan. Dipanggilnya Raja Pringgondani Raden Haryo Gatotkaca, putra kinasih Raden Brataseno dari Ibu Dewi Arimbi. Disamping Sri Kresna, Raden Brataseno berdiri layaknya Gunung memperhatikan dengan seksama dan waspada pembicaraan Sri Kresna dengan putranya.

”Anakku tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di tengah malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi senopati Hastina di malam gelap gulita seperti ini”

”Waduh, wo prabu…..terimakasih Wo. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai juga kali ini. Wo prabu, sejak hari pertama perang baratayuda saya menunggu perintah wo prabu untuk maju ke medan perang. Wo prabu Kresna, hamba mohon do’a restu pamit perang. Wo hamba titipkan istri dan anak kami Danurwindo. Hamba berangkat wo, Rama Wrekudara mohon pamit….”

“Waaa………Gatot iya…..“

Sekejap Gatotkaca tidak terlihat. Sri Kresna merasakan bahwa inilah saatnya Gatotkaca mati sebagai pahlawan perang Pandawa. Dia tidak mau merusak suasana hati adik – adiknya Pandawa dengan mengutarakan apa yang dirasakannya dengan jujur. Namun perasaan wisnu nya mengatakan Wrekudara harus disiapkan untuk menerima kenyataan yang mungkin akan memilukannya nanti.

“Wrekudoro…“

“Kresna kakangku, iya ….“

“Aku kok agak merasa aneh dengan cara pamitan Gatotkaca, mengapa harus menitipkan istri anaknya ??“

“Wah…Kakang seperti anak kecil. Orang berperang itu kalau nggak hidup ya mati. Ya sudah itulah anakku Gatotkaca, dia mengerti tugas dan akibatnya selaku satria.“

“Oo..begitu ya, ya sudah kalau begitu. Kita sama – sama doakan mudah-2an yang terbaik yang akan diperoleh anakmu Gatotkaca.“. Sebenarnya Kresna hanya mengukur kedalaman hati dan kesiapan Wrekudara saja. Paling tidak untuk saat ini, Wrekudara terlihat sangat siap dengan apapun yang terjadi.

Malam gelap gulita, namun di angkasa ladang Kurusetra kilatan ribuan nyala obor menerangi bawana. Nyala obor dari ribuan prajurit dua belah pihak yang saling hantam gada, saling sabet pedang, saling lempar tombak, saling kelebat kelewang dan hujan anak panah. Gatotkaca mengerahkan semua kesaktian yang dimilikinya. Dikenakannya Kutang Antakusuma, dipasangnya terompah basunanda, dikeluarkan segala tenaga yang dimilikinya. Terbang mengangkasa layaknya burung nazar mengincar mangsa. Sesekali berkelebat menukik merendah menyambar buruannya. Sekali sambar pululan prajurit Hastina menggelepar tanpa daya disertai terpisahnya kepala – kepala mereka dari gembungnya.

Semenjak lahir, Gatotkaca sudah menunjukkan tanda-tanda kedidgyaannya. Ari – arinya berminggu – minggu tidak bisa diputus dengan senjata tajam apapun. Kuku pancanaka Wrekudara mental, Keris Pulanggeni Arjuna tiada arti, Semua senjata Amarta sudah pula dicobai. Namun ari – ari sang jabang bayi seperti bertambah alot seiring bertambahnya usia si jabang bayi. Para pinisepuh Amarta termasuk Sri Kresna pun kehabisan reka daya bagaimana menolong Sang jabang bayi Dewi Arimbi ini.

Maka lelaki kekasih Dewata – Sang Paman Raden Arjuna – menyingkirkan sejenak dari hiruk piruk dan kepanikan di Kesatrian Pringgondani. Atas saran Sri Kresna, Raden Arjuna menepi. Semedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya memberikan kemurahannya untuk menolong Pandawa mengatasi kesulitan ini.

Di Kayangan Suralaya, permintaan Arjuna didengar oleh para dewa. Bethara Guru mengutus Bethara Narada untuk memberikan senjata pemotong ari – ari berupa keris Kunta Wijayandanu. Bethara Narada turun dengan membawa senjata Kunta bermaksud menemi Arjuna yang kala itu diiringi oleh para punakawan, abdi tersayang.

Sahdan di tempat lain, Adipati Karno sedang mengadu kepada Ayahnya Dewa Surya, dewanya Matahari. Adipati Karno, memohon welas asih kepada Sang Ayah untuk memberikan kepadanya senjata andalan guna menghadapi perang besar nanti. Dewa Surya menyarankan anaknya untuk merampok Senjata Kunta dari Bethara Narada. Karno dan Arjuna adalah saudara seibu yang wajah dan perawakkanya sangat mirip melebihi saudara kembar. Hanya suara saja yang membedakan keduanya. Maka ketika Adipati Karno dirias oleh Dewa Surya menyerupai Arjuna, Bathara Narada tidak akan mengenal Adipati Karno lagi melainkan Arjuna.

Kelicikan Dewa Surya tidak cukup di situ. Siang yang terik dan terang benderang itu tiba – tiba meredup seolah menjelang malam. Dengan upaya dan rekayasanya, terjadilah gerhana surya. Narada, dewa yang sudah tuwa dengan wajah yang selalu mendongak ke atas itu, semakin rabun karena gerhana ini.

Adipati Karno mencegat Bethara Narada, tanpa perasaan curiga diberikannya senjata Kunta kepada ”Arjuna”. Merasa tugas selesai Narada berniat kembali ke Kahyangan. Ternyata masih ditemuinya Arjuna lagi yang kali ini tidak sendiri melainkan diiring para punakawan. Sadar Narada tertipu, diperintahkannya Arjuna untuk merebut senjata kunta dari Sang Adipati Karno. Perang tanding tak bisa dielakkan, namun hanya warangka senjata yang dapat direbut oleh Arjuna dari kakak tertuanya itu. Dengan warangka senjata itulah ari – ari jabang bayi arimbi yang kelak bernama Raden Gatotokaca dapat diputus. Keanehan terjadi ketika sesaat setelah ari – ari jabang bayi diputus, seketika warangka hilang dan menyatu ke badan si jabang bayi.

Sekarang, saat perang besar terjadi takdir itu sudah sampai waktunya. Senjata Kunta mencari warangkanya, di tubuh Raden Gatotkaca. Tidak berarti sesakti apapun Gatotkaca, setajam pisau cukur tangannya memancung leher musuhnya. Konon pula otot gatotkaca sekuat kawat tembaga, tulangnya sealot besi tempa. Kesaktiannya ditempa di Kawah Candradimuka. Namun garis tangan Gatotkaca hanyalah sampai di sini.

Di gerbang yang memisahkan antara alam fana dengan alam baka, sukma Kalabendono, paman yang sangat menyawangi Gatotkaca menunggu “sowan ke pengayunan yang Maha Pemberi Hidup”. Begitu sayangnya Kalabendono kepada keponakannya, sukmanya berjanji tidak akan kembali ke asal kehidupan jika tidak bersama sang keponakan.

Di sisi seberang ladang pertempuran, Karno telah siap dengan busur panahnya dengan anak panah Kunta Wijayandanu. Dalam hatinya berbisik “Anakku bocah bagus, belum pupus bekas ari – arimu….berani – beraninya kamu menghadapi uwakmu ini. Bukan kamu yang aku tungggu ngger…Arjuna mana? Ya ya ..sama – sama menjalani darma satria, ayo aku antarkan kepergian syahidmu dengan Kunta Wijayandanu”.

Gatotkaca, mata elangnya sangat tajam melihat gerak – gerik seekor tikus yang baru keluar dari sarangnya. Pun meski dia melihatnya dari jarak ribuan tombak diatas liang tikus itu. Begitu pula, dia tahu apa yang sedang dilakukan Sang Adipati Karno. Dia tahu riwayatnya, dia tahu bahwa warangka senjata Kunta ada di tubuhnya dan menyokong kekuatannya selama ini. Dicobanya mengulur takdir. Dia terbang diantara awan – awan yang gelap menggantung nun di atas sana. Dicobanya menyembunyikan tubuhnya diantara gelapnya awan yang berarak – arakan di birunya langit.

Namun takdir kematian sama sekali bukan di tangan makhluk fana seperti dia. Takdir itu sejengkal pun tidak mungkin dipercepat atau ditunda. Sudah waktunya Gatotkaca, sampai di sini pengabdian kesatriaanmu. Kunta Wijayandanu dilepaskan dari busurnya oleh Adipati Karno. Di jagad ini hanya Arjuna yang mampu menyamai keahlian dan ketepatan Basukarno dalam mengolah dan mengarahkan anak panah dari busurnya. Kuntawijandanu melesat secepat kilat ke angkasa, dari Kereta perang Basukarno seolah keluar komet bercahaya putih menyilaukan secepat kilat melesat.

Di angkasa….Kalabendono yang sudah siaga menunggu tunggangan, dengan sigap menumpang ke senjata Kunta. Senjata kunta dan Kalabendono, menghujam ke dada Gatotkaca, membelah jantung Sang Satria Pringgandani. Dalam sekaratnya, Gatotkaca berucap ”Aku mau mati kalau dengan musuh ku….”. Seperti bintang jatuh yang mencari sasaran, jatuhnya badan Gatotkaca tidak lah tegak lurus ke bawah, namun mengarah dan menghujam ke kereta perang Basukarno. Basukarno bukanlah prajurit yang baru belajar olah kanuragan setahun dua tahun. Dengan keprigelan dan kegesitannya, sebelum jasad Gatotkaca menghujam keretanya dia melompat seperti belalang menghindar dari sergapan pemangsa.

Jasad gatotkaca menimpa kereta, Keretapun hancur lebur, pun delapan kuda dengan kusirnya tewas dengan jasad tidak lagi bebentuk. Selesailah episode Gatotkaca dengan perantaraan Uwaknya, Adipati Karno Basuseno.

Gugurnya Gatotkaca menjadi berita gembira di kubu kurawa. Para prajurit bersorak sorai mengelu – elukan sang Adipati Karno. Kepercayaan diri mereka berlipat, semangat perang mereka meningkat. Keyakinan diri bertambah akan memenangi perang dunia besar yang ke empat ini.

Sebaliknya, kesedihan mendalam tergambar di kubu Pandawa. Wrekudara hampir – hampir tidak mampu menguasai diri ”Gatot…, jangan kamu yang mati biar aku saja bapakmu…Hmmm Karno…..!!! beranimu hanya dengan anak kemarin sore..Ayo lawanlah Bapaknya ini kalau kamu memang lelaki sejati…!”. Arimbi, sang ibu, tidak kuasa menahan emosi. Selagi para pandawa meratapi dan merawat jasad Gatotkaca, Arimbi menceburkan ke perapian membara yang rupanya telah disiapkannya. Sudah menjadi tekatnya jika nanti anak kesayangannya mati sebelum kepergiannya ke alam kelanggengan, dia akan nglayu membakar diri. Dan itu dilakukannya sekarang.

Pandawa, dengan demikian kehilangan dua keluarga dekat sekaligus di malam menjelang fajar ini. Wrekudara kehilangan anak tersayang dan istri tercintanya. Namun keturunan tidaklah terputus, karena baik Antareja maupun Gatotkaca telah mempunyai anak laki – laki sebagai penerus generasi Wrekudara.

Fajar menjelang, jenazah Gatotkaca dan abu Arimbi telah selesai diupakarti sesuai dengan ageman dan keyakinan mereka. Sri Kresna sudah bisa menenangkan Wrekudara dan para pandawa yang lain. Sekarang saatnya mengatur strategi. Tugas harus dilanjutkan. Pekerjaan harus diselesaikan, perang harus dituntaskan. Dunia akan segera mengetahui, gunjingan dunia mengenai perang besar antar dua saudara kembar akan segera terjadi siang ini.

Dursasana gugur

Werkudara melihat anaknya, Gatutkaca gugur di Tegal Kurusetra menjadi marah. Werkudara menyapu para Kurawa dengan gada Rujakpolonya. Banyak korban berjatuhan.

Akhirnya Werkudara mendapatkan Dursasana dalam posisi sudah terpojok. Dursasana adalah pendamping Senapati Adipati Karna. Werkudara dan Dursasana berkelahi habis-habisan.

Werkudara teringat waktu Perang dadu. Yaitu tantangan Kurawa bermain judi kepada Pandawa, namun dengan kecurangan Patih Sengkuni maka semua harta benda, Istana sampai dengan Dewi Drupadi menjadi taruhan. Sampai Pandawa menjadi budak. Harus melepaskan seluruh pakaian kerajaan. Sedangkan Dursasana belum puas dengan itu, masih berbuat kurang ajar. Ia menjambak rambut Dewi Drupadi dan menyeret Dewi Drupadi ketengah tengah jkerumunan Kurawa sampai sanggulnya lepas, dan Dursasana berusaha menelanjangi Dewi Drupadi.

Para Pandawa yang telah menjadi budak tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak bisa menolong Dewi Drupadi.Namun atas pertolongan Sanghyang Wisnu, maka setiap lapis kain yang lepas selalu diganti , sehingga Dursasana sampai bercucuran keringat ketika melepas kain Dewi Drupadi. Pakaian Drupadi sudah menumpuk, namun kain yang dibadan Dewi Drupadi tidak pernah habis.

Disinilah Dewi Drupadi bersumpah, bahwa selama hidupnya tidak akan menyanggul rambutnya, sebelum keramas dengan darah Dursasana Sedangkan Werkudara bersumpah untuk membunuh Dursasana dan menghirup darahnya.

Ahirnya Werkudara dengan kekuatan amarah, bagai serigala hutan, memukul Dursasana dengan Gada Rujakpolo. Berkali kali dihantamkannya Gada Rujakpala ke tubuh dan kepala Dursasana, sehingga tubuh dan kepalanya hancur. Werkudara menghirup darah Dursasana untuk memenuhi sumpahnya. Setelah itu dengan sebuah topi baja prajurit,yang tergeletak didekatnya, Werkudara mengambilnya, untuk dijadikan sebagai bokornya, untuk menampung darah Dursasana dan dibawanya pergi menjumpai Dewi Drupadi yang sedang menunggu di perkemahan Tegal Kurusetra. Werkudara memberikan bokor berisi darah Dursasana kepada Dewi Drupadi. Dewi Drupadi segera membasuh rambutnya dengan darah Dursasana, maka Dewi Drupadi telah memenuhi sumpahnya. Dewi Drupadi berterima kasih kepada Werkudara.


Source


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 7: Karna Tanding

Adipati karno tetap menjadi senopati kurawa, sementara pengapitnya adalah durgandasena, durta, dan jayarata. Pandawa mengangkat arjuna sebagai senopati dan werkudara sebagai pengapitnya.

Raden Arjuna, satria panengah Pandawa telah berganti busana bagai seorang Raja, mengenakan busana keprabon. Karena keahlian Prabu Kresna dalam ndandani sang adik ipar Arjuna pada kali ini jika diamati tidak ada bedanya dengan kakak tertuanya Adipati Karno. Saking miripnya, Arjuna dan Karno ibarat saudara kembar. Meskipun mereka hanya saudara seibu lain Bapak keduanya bagai pinang dibelah dua. Bahkan karena begitu miripnya, Dewa Kahyangan Bathara Narada pun tidak mampu membedakan mana Arjuna yang mana Basukarno kala itu.

Kedua senopati perang telah bersiap di kereta perang masing – masing. Basukarno dikusiri oleh mertuanya Prabu Salya. Basukarno tahu bahwa Prabu Salya tidak dengan sepenuh hatinya dalam mengendalikan kereta perangnya. Prabu Salya, juga tidak sepenuh hatinya dalam mendukung Kurawa dalam perang ini. Hati dan jiwanya berpihak kepada Pandawa meskipun jasadnya di pihak Kurawa. Karena putri – putrinya istri Duryudono dan Karno, maka dengan keterpaksaan yang dipaksakan Prabu Salya memihak Kurawa pada perang besar ini.

Meskipun demikian, berulang kali sebelum perang terjadi Prabu Salya membujuk Duryudono agar perang ini dibatalkan. Bahkan dengan memberikan Kerajaan Mandaraka kepada Duryudono pun, Prabu Salya merelakan asal perang ini tidak terjadi. Namun tekat dan kemauan Duryodono tidak dapat dibelokkan barang sejengkal pun. Tekad Duryudono yang keras dan kaku ini juga karena dukungan Adipati Karno yang menghendaki agar perang tetap dilaksanakan. Adipati Karno, berkepentingan dengan kelanjutan perang ini demi mendapatkan media balas budi kepada Duryudono dan kurawa yang telah mengangkat derajatnya dan memberikan kedudukan yang terhormat sebagai Adipati Awangga yang masih bawahan Hastina Pura. Maka latar belakang ini pula yang menambah kebencian Salya kepada menantunya, Adipati Karno.

Di seberang sana, Kresna telah bersiap sebagai kusir Arjuna. Kereta Kerajaan Dwarapati Kyai Jaladara telah siap menunaikan tugas suci. Delapan Kuda penariknya bukanlah turangga sewajarnya. Kedelapan kuda itu adalah kuda – kuda pilihan Dewa Wisnu yang dikirim dari Kahyangan untuk melayani Sri Kresna. Turangga – turangga itu telah mengerti kemauan dari tuannya, bahkan jika tanpa menggunakan isyarat tali kekang pun. Berbagai medan laga telah dilalui dengan kemengan – demi kemenangan. Bahkan saat Raden Narayana, Kresna di waktu muda, menaklukkan Kerajaan Dwarawati ketika itu.

Atas permintaan Prabu Kresna, Arjuna menghampiri dan menemui Adipati Karno untuk mengaturkan sembah dan hormatnya.

Dengan menahan tangis sesenggukan Arjuna menghampiri kakak tertuanya ”Kakang Karno salam hormat saya untuk Kakanda. Kakang, jangan dikira saya mendatangi Kakang ini untuk mengaturkan tantangan perang. Kakang, dengan segala hormat, marilah Kakang saya iringkan ke perkemahan Pandawa kita berkumpul dengan saudara pandawa yang lain layaknya saudara Kakang…”

Adipati Karno ”Aduh adikku, Arjuna…Kakang rasakan kok kamu seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Menahan tangis sesenggukkan, karena perbuatan sendiri. Adikku yang bagus rupanya, tinggi kesaktiannya, mulya budi pekertinya. Sudah berapa kali kalian dan Kakang Prabu Kresna membujuk Kakang untuk meninggalkan Astina dan bersatu dengan kalian Para Pandawa. Aduh..adikku, jikalau aku mau mengikuti ajakan dan permintaan itu, Kakang tidak ada bedanya dengan burung dalam sangkar emas. Kelihatannya enak, kelihatannya mulia, kelihatannya nyaman.

Tapi adikku, kalau begitu, sejatinya Kakang ini adalah seorang pengecut, seseorang yang tidak dapat memegang omongan dan amanah yang telah diniatinya sendiri. Adikku…bukan dengan menyenangkan jasad dan jasmani Kakang jikalau kalian berkehendak membantu Kakang mencari kebahagiaan sejati. Adikku..Arjuna, jalan sebenarnya untuk mendapatkan kebahagiaan sejatiku adalah dengan mengantarkan kematianku di tangan kalian, sebagai satria sejati yang memegang komitmen dan amanah yang Kakang menjadi tanggung jawab Kakang. Oleh karena itu Adikku, ayo kita mulai perang tanding ini layaknya senopati perang yang menunaikan tugas dan tanggung jawab yang sejati.

Ayo yayi, perlihatkan keprigelanmu, sampai sejauh mana keprawiranmu, keluarkan semua kesaktinmu. Antarkan kakangmu ini memenuhi darma kesatriaannya. Lalu sesudah itu, mohon kanlah pamit Kakang kepada ibunda Dewi Kunti. Mohonkan maaf kepadanya, dari bayi sampai tua seperti ini belum pernah sekalipun mampu membuatnya mukti bahagia meskipun hanya sejengkal saja.”

”Aduh Kakang Karno yang hamba sayangi, adinda mohon maaf atas segala kesalahan. Silakan Kakang kita mulai perang tanding ini”

Setelah saling hormat antara keduanya, perang tanding kedua senopati perang yang mewakili kepentingan berbeda namun demi prinsip yang sama secara substansi itu dimulai. Keduanya mengerahkan segala kemampuan perang darat yang dimiliki. Sekian lama adu jurus kanuragan ini berlangsung. Saling menerjang, saling menghindar dan berkelebat ibarat burung Nasar yang menyasar mangsanya di daratan. Bagi siapa yang melihat, keduanya sama – sama prigel, keduanya sama – sama tangkas dan keduanya sama – sama sakti. Kelebat mereka demikian cepat seperti kilat.

Ribuan prajurit kedua pihak menghentikan pertempuran demi melihat hebatnya adegan perang kedua satria bersaudara ini. Namun bagi mereka yang melihat, kabur sama sekali tidak mampu membedakan yang mana Arjuna dan yang mana Karno. Keduanya mirip, keduanya menggunakan busana yang sama. Perawakan dan pakulitannya sama. Hanya desis suara masing – masing yang sesekali terucap yang membedakan keduanya.

Perkelahian tangan kosong ini telah berlangsung sampai matahari sampai di tengah kubah langit. Tidak ada yang kalah tidak ada yang unggul sampai sejauh ini. Keduanya menyerang dengan sama baik, keduanya menghindar dengan sama sempurna. Keduanya menghunus keris masing – masing. Pertarungan tangan kosong dilanjutkan dengan pertarungan dengan senjata keris. Karno memulai dengan menerjang mengarahkan keris ke ulu hati Arjuna. Secepat kilat arjuna menghindar melompat vertikal layaknya belalang menghindar dari sergapan burung pemangsa, Keris Adipati Karno menerjang sasaran hampa, berkelebat berkilat diterpa sinar panas matahari tengah hari. Sejurus kemudian posisi mereka saling bertukar, Arjuna kini menyerang, leher Karno menjadi incaran. Demikian cepat tusukan ini menerobos udara panas menerjang leher Adipati Karno.

Namun Adipati Karno tidak kalah cepat dalam berkelit, digesernya leher dan kepalanya menyamping kiri. Tidak hanya menghindar yang dilakukan, penyeranganpun dapat dilakukannya. Sambil menyempingkan badan dan kepalanya ke kiri, tangan kirinya mengirimkan pukulan ke dan mengenai bahu kanan Arjuna. Sedikit terhuyung Arjuna saat mendaratkan kakinya di tanah, meskipun tidak sampai membuatnya roboh. Adipati Karno tersenyum kecil, melihat adiknnya terhuyung. Kini keduanya saling menerjang dengan keris terhunus di tangan. Masing – masing mencari sasaran yang mematikan sekaligus menghindar dari sergapan lawan. Adu ketangkasan keris ini berlangsung sampai matahari condong ke barat, hampir mencapai paraduannya di akhir hari. Tidak ada yang cedera dan mampu mencedarai, tidak ada yang kalah dan mampu mengalahkan.

Keduanya memutuskan perang tanding dilanjutkan dari atas kereta. Arjuna sekali melompat sudah sampai pada kereta Jaladara. Demikian juga Karno, sekali langkah dalam sekejap sudah bersiap di kereta perangnya. Di kereta perang Karno, Karno meminta nasehat sang mertua

”Rama Prabu, saya tidak dapat mengalahkan Arjuna saat perang di daratan Rama”

”Karno, aku ini hanyalah Kusir, tanggung jawabku hanyalah mengendalikan kuda. Asal kudanya tidak bertingkah tugasku selesai.”

”Iya benar Romo, namun putra paduka ini mohon pengayoman Rama Prabu Salya”

”E lah, apa kamu lupa kondangnya Raja Awangga itu kalau perang menerapkan kesaktian aji Naraca Bala”

”Terimakasih Rama”

Adipati Karna menyiapkan anak panah dengan ajian Naraca Bala, begitu dilepaskan dari busurnya terjadilah hujan panah yang mengerikan. Kyai Naraca Bala yang telah ditumpangkan pada anak panah menyebabkan anak panah terlepas dan menjadi hujan ribuan anak panah di udara. Anak panah itu berkilatan seperti kilat menjelang hujan turun di musim pancaroba.

Tidak cukup itu, ribuan anak panah itu juga mengandung racun mematikan. Jangankan menghujam ke tubuh, hanya menyenggol kulit pun dapat mengakibatkan kemaitan. Tidak heran para prajurit lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari hujan anak panah itu. Pun demikian ratusan prajurit menemui ajal tanpa mampu menyelematkan diri.

Namun di sisi lain, Arjuna adalah satria kinasih Dewata dengan kesaktian tanpa tanding. Meski terkena ratusan anak panah Naraca Bala, tiada gores sedikitpun kulit sang Panengah Pandawa. Baginya ratusan anak panak yang menghujam ke tubuhnya tiada beda dirasakan layaknya digiit semut hitam.

Penasaran Adipati Karno melihat kesaktiannya tidak berarti apa – apa bagi Arjuna, maka dihunusnya Anak Panak Kunta Drewasa pemberian Dewa Surya. Jagad sudah mendengar bagaimana kesaktian anak panah ini, jangankan tubuh manusia gunung pun akan hancur lebur jika terkena anak panah ini. Secepat kilat anak panah Kunta Drewasa sudah terpasangkan di busurnya.

Seperti halnya Arjuna, keahlian Karno dalam memanah tiada tanding di dunia ini. Jangankan sasaran diam, nyamuk yang terbang pun dapat dipanah dengan tepat oleh Sang Adipati. Prabu Salya, hatta melihat anak panah sudah siap dilepaskan dan dapat dipastikan tidak akan bergeser seujung rambutpun dari sasaran leher Arjuna, timbul rasa dengki dan serik nya kepada Karno. Prabu Salya tidak rela anak – anaknya Pandawa kalah dalam perang ini. Maka disentaknya kendali kerata perang bebarengan dengan dilepaskannya Kunta Drewasa, akibatnya kureta perang mbandang tidak terkendali. Tangan Karno pun goyah, dan lepasnya anak panah meleset dari sasaran.

Di sisi lain, Kresna adalah kusir bukan sembarang Kusir. Penghlihatannya sangat presisi, dia tahu apa yang akan dilepaskan oleh Karno. Dia tahu kesaktian dan apa yang akan terjadi kepada Arjuna jika Kunta Drewasa tepat mengenai sasarannya. Maka dihentaknya kereta kuda dengan kaki dan kesaktannya. Roda kereta amblas dua jengkal menghujam bumi. Anak panah Kunta Drewasa terlepas, namun meleset dari leher dan mengenai gelung rambut Arjuna. Jebolnya gelung rambut Arjuna disertai dengan lepasnya topong keprabon yang dikenakannya.

Malu Arjuna karena gelung rambutnya ambrol dan topongnya terlepas. Dia juga was – was jangan – jangan ini pertanda kekalahannya dalam perang tanding ini. Namun Kresna sekali lagi, bukan hanya pengatur strategi dan penasehat perang bagi Pandawa. Dia juga adalah pamong dan guru spiritual para Satria Pandawa. Dihiburnya Arjuna bahwa ini hanyalah risiko perang. Disambungnyanya rambut Arjuna dengan rambutnya sendiri. Digantikannya topong harjuna dengan yang lebih bagus.

”Arjuna…,kelihatannya ini sudah sampai waktunya Adi Prabu Karno menyelesaikan darma baktinya. Semoga Tuhan menerima bakti dan darmanya adikku. Siapkanlah anak panah pasopati yang busurnya berupa bulan tanggal muda itu. Kiranya itu yang akan menjadi sarana menghantarkan Kakangmu Karno menuju kebahagiaan sejatinya”

”Sendiko dawuh Kakanga Prabu, mohon do’a restu Kakang Prabu”

Arjuna menghunus Panah Kyai Pasopati yang anak panahnya berbentuk bulan sabit. Ketajaman bulan sabit ini tidak ada makhuk jagad yang meragukannya. Galih kayu jati terbaik di jagad pun akan teriris layaknya kue lapis diterjang pisau cukur.

Arjuna adalah satria dengan tingkat keahlilan memanah mendekati sempurna. Ibaratnya, Arjuna mampu memanah sasaran dengan membelakangi sasaran itu. Dia membidik bukan dengan mata lahirnya namun dengan mata batinnya. Oleh karena itu, meski matanya ditutup rapat dengan kain hitam berlipat – lipat, dia akan mampu mengenai sasaran dengan tepat.

Sekarang anak panah telah siap di busurnya. Ditariknya tali busur, dikerahkan segala konsentrasinya, dibidiknya leher Sang Kakak, Adipati Karno. Dalam konsentrasi yang dalam ini, sebentar – sebentar dia menarik napas. Sebentar – sebentar menata hati dan pikirannya. Saat ini yang dituju anak panah adalah leher Adipati Karno. Saudara sekandung lain bapak. Bagaimanapun, susunan tulang, urat, darah dan leher itu dari benih yang sama dengan lehernya.

Darah yang mengalir pada Karno adalah dari sumber yang sama dengan darahnya. Putih tulang leher itu dari jenis yang sama dengan putih tulangnya. Urat leher itu, tiada beda dengan bibit pada urat lehernya. Namun, tugas adalah tugas. Darma adalah darma yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Dibulatkan tekatnya, dimantapkan hatinya bahwa bukan karena ingin menang dan ingin mengalahkan dia melakukan ini. Ditetapkannya hatinya, inilah cara yang dikehandaki sang Kakak untuk membuatnya bahagia. Dalam hati dia berdoa kepada Tuhan Yang Maha tunggal, agar kiranya mengampuni kesalahannya ini.

Di seberang sana, Adipati Karno tahu apa yang akan dilakukan adiknya. Dia sudah dapat mengira apa yang akan terjadi padanya. Kesaktian dan ketajaman pasopati, sudah tidak perlu diragukan lagi. Kulit dan dagingnya tidak akan mampu melawannya. Namun, tidak ada rasa takut dan khawatir yang terlihat pada ronanya menghadapi akhir hidupnya ini. Yang adalah senyum kebahagiaan, karena adik yang dicintainya yang akan mengantarkannya menemuai kebahagian sejati. Sebaliknya bukan rona takut dan pucat terpancar pada wajahnya, namun senyum manis dan bersinar wajah yang terlihat. Semakin kentara indahnya wajah sang Adipati Karno.

Sang Kusir, Prabu Salya melihat apa yang akan dilakukan Arjuna. Ketakutan dan khawatir nampak pada wajah dan sikapnya.

Anak panah dilepaskan dari busurnya oleh Arjuna. ”Ssseeeettttttt”, begitu suaranya tenang setenang Karno dalam menerimanya. Lepasnya panah seperti kilatan petir dari kereta Jaladara. Secepat dia mampu, Prabu Salya melompat dari kereta mengindari bahaya. Anak panah tepat mengenai leher Adipati Karno, putus seketika. Kepala menggelinding ke tanah, badanya menyampir di kereta. Adipati Karno telah sampai pada garis akhir kesatraiannya. Dia telah mendapatkan apa yang diharapkannya. Kematian yang terhormat dalam menegakkan darma bakti satria. Basukarno adalah satria sejatinya satria.

Duka menyelimuti Kurusestra dari pihak Pandawa. Lagi mereka kehilangan saudara yang dicintainya. Meskipun Karno di pihak musuh, sejatinya dia adalah saudara kandung mereka. Tidak terkira bagaimana pedih dan perih yang dirasakan Dewi Kunti. Semenjak lahir, anak sulungnya itu telah dibuangnya ke Sungai Gangga. Jangankan memelihara dan membesarkan, menyusui dan membelai bayinyapun tidak pernah dirasakannya. Belasan tahun dia tidak pernah mendengar kabar lagi mengenai anaknya.

Setelah sekian belas tahun tidak ada khabar berita, begitu berjumpa anaknya telah memihak musuh Pandawa, anak – anaknya yang lain. Sekarang saat perang ini terjadi, putranya telah menjadi bangkai di tangan Arjuna anaknya yang lain.


Source


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)

Dengan tewasnya adipati karna, kurawa mengangkat resi durna menjadi senopati kurawa yang disampaikan oleh kartamarma.

Kartomarmo mulai menyampaikan kabar yang dibawanya…

“Sinuwun mohon maaf, hari ini seperti yang Paman Sangkuni perintahkan hamba mendampingi Sang Senopati Agung Bapa Begawan Druna maju ke medan laga Baratayudha….”.

Dengan gaya dan cengkok suara yang khas, Sengkuni menyela

“Iya, kowe paman kasih pekerjaan enteng Kartomarmo, mendampingi Senopati Agung yang jelas tidak terkalahkan…”

“Inggih Paman…”

“Kartomarmo, teruskan ceritamu adikku”, perintah Prabu Duryudono

“Terlaksana Bapa Druna maju sebagai senopati perang Astina. Pandawa menggunakan konfigurasi pasukan berupa bulan sabit, Permadi di sisi kiri, Bratasena di sisi kanan. Keduanya sebagai ujung konfigurasi bulan sabit itu. Bapa Druna menggunakan konfigurasi Bangau Terbang, dengan pucuk perang Bapa Druna sendiri. Terbukti gunjingan dunia bahwa Bapa Druna tanpa tanding. Tanpa waktu lama barusan pasukan bulan sabit pandawa diterjang, diterabas seolah tanpa perlawan. Konfigurasi pasukan wulan tinanggal itu kocar – kacir, morat marit terkena badai panah dan lautan api dari Sang Pandita Sukalima itu”.

Sangkuni “He..he…he…, ya sudah paman perkirakan kok ngger. Kalau Bapa Druna bertindak lama mijit buah ranti, dalam sekejap Pandawa akan takluk..terus lanjutannya gimana le ??”

”Melihat pasukannya kocar – kacir, hamba lihat Arjuna bertindak. Busur panah disiapkan, panah andalannya kiai Pasopati dihunus, dipasangkan di busur panah siap dilepaskan ke arah Bapa Druna. Tiba – tiba gemetar tangan Arjuna, keringat dinginnya keluar, otot dan tulangnya seperti di-lelesi. Tanpa daya, Arjuna lemas ambruk dan semaput…”

Duryudana ”Ha..ha…wah harusnya aku ada di sana. Aku akan bertepuk tangan dan kalau perlu sekalian tepuk kaki untuk menyemangati Bapa Druna dan mempermalukan Arjuna. Terusannya gimana Kartomarmo ? Pandawa menyerah tentunya…”.

”Belum kakang prabu. Melihat adiknya pingsan, Wrekudara siap tumandang. Diayunkannya Gada Rujakpolo ke kiri dan ke kanan. Beberpa prajurit Astina yang dekat dengan Wrekudara terlempar dan terluka. Bapa Druna memang memiliki daya magis yang luar biasa, belum sampai jarak selemparan tombak Wrekudara mengarah ke Bapa Druna, seolah dipakukan di bumi, kaki Wrekudara tidak bisa digerakkan. Wrekudara termangu seperti patung, balik kanan ketika dipanggil oleh Prabu Kresna..”.

Sengkuni ”He..he…ya pasti begitu, Druna itu gurunya, jadi Wrekudara tidak akan berani melawan. Sudah saya duga kok ngger..terus Puntadewa nongol juga?? Atau menyerah pastinya ”

”Belum paman. Nggih..puntadewa mencoba maju perang…”

”Alah anak itu nggak pernah perang kok, ya pasti kalahnya sama Pandita Druna”

”Iya dicegah oleh Prabu Kresna, Puntadewa tidak jadi maju. Pandita Druna terus menerus mengamuk mengeluarkan kesaktiannya. Ratusan prajurit pandawa tewas. Tetapi tiba – tiba Wrekudara kembali ke arena lagi berteriak ’Swatama mati – swatama mati’”

Sengkuni”Loh, padahal Aswatama khan gak ikut perang dan belum mati ?”

”Iya paman Sangkuni”

”We lah, teriakan tipuan itu. Apus krama namanya…”

”Inggih Paman…teriakannya begitu nyaring dan disambut gemuruh oleh seluruh pasukan Pandawa…Teriakan ini terdengar oleh Paman Druna. Mendengar isu yang beredar di arena pertempuran ini, Bapa Druna seperti kehilangan tenaga, linglung, bingung kehilangan daya sangga tubuhnya. Beliau menangis gero – gero seperti anak kecil. Begawan Druna menyingkir dari arena perang, sembunyi di balik bukit. Badannya lemas ditumpukan pada lututnya yang bersandar di tanah merah. Tanpa diketahuinya, ada satria bertindak curang. Drestajumena menebas leher Pandita Druna dari belakang. Putus leher Pandita Druna, kepalanya menggelinding, ditendang – tendang oleh pasukan Pandawa, Kakang Prabu…hu..hu…..tidak tega saya melihatnya….oh ho…ho…”

Sampai di sini cerita Kartomarmo, tangis yang tadi ditahannya tidak bisa dia bendung. Rebah badannya seketika…

Demikian juga semua yang hadir diterpa kesedihan, kekecewaan, penyesalan dan rasa amarah tidak tahu kepada siapa. Tidak terlukiskan bagaimana perasaan kesedihan, kekecewaan dan kepedihan Prabu Suyodono mendengar kabar ini.

”Aduhh……Gustiii…gusti…, betapa tidak adilnya Engkau….Mengapa selalu kami yang tertima nestapa, mengapa hanya Pandawa yang engkau kasihi…..”

Salya gugur

setelah resi durna gugur, kurawa mengangkat prabu salya menjadi panglima dan sebagai pendampingnya diangkat kartomarmo. sebelum tampil perang untuk keesokan harinya, prabu salya telah membeberkan rahasia kelemahannya kepada kemenakannya nakula dan sadewa. karena ia telah merasa tiba saatnya. ia sekaligus menyerahkan kerajaan mandaraka kepada nakula, putra dewi madrim adiknya. selanjutnya ia mengatakan bahwa orang yang berdarah putihlah yang bisa mengalahkan ajian candrabirawa nya yaitu prabu yudhistira.

keesokan harinya Di ladang Kuru setra. Bau busuk bangkai hewan tunggangan perang yang berserakan semakin menusuk hidung. Darah para prajurit, senopati, dan agul agul pandawa maupu kurawa yang gugur sebagian mengering, sebagian masih terasa basah berjampur rereumputan kering dan debu musim kemarau. Semilir angin pagi hari mendendangkan senandung kepedihan, kesedihan. Rumput rumput kering berserakan tercerabut dari tanah berpijak, begitu pula nyawa para prajurit yang telah gugur terpisah dari raganya.

Ladang Kurusetra, sejak jaman kuno ketika Hutan Hastinapura diubah menjadi kerajaan oleh Prabu Gajah Hoyo (oleh karena itu jagad mengenal Hastinapura dengan sebutan Kerajaan Gajahoyo) telah menjadi saksi puluhan perang besar. Perang besar dunia pertama juga terjadi di sini. Ketika Prabu Tremboka dari Pringgandani mati sampyuh bersama Prabu Pandu kala itu. Pandu mati muda meninggalkan dua orang istri dengan anak2 yang masih kecil, bahkan Nakula Sadewa belum putus tali pusarnya.

Hari ini ternyata Sangkuni tidak mematuhi pesan Salya kemarin sore. Paling tidak itulah yang dilihat Salya. Kurawa telah memulai formasi perangnya dan menyerang prajurit Kurawa. Dari kejauhan Salya melihat Setyaki bertempur melawan…siapa di sana? Salya tidak mengenalinya. Namun perkiraannya mengatakan, pastilah lawan Setyaki itu adalah salah satu sekutu Duryudono dari Kerajaan sebrang. Drestajumena, senopati Pandawa itu, melawan musuh lain yang juga tidk dikenalnya. Begitu pula para prajurit tingkat bawah saling beradu satu sama lain. Salya belum lagi beranjak untuk memerintahkan pasukan setianya maju menggempur formasi Pandawa. Dalam hati dia mengumpat, Sangkuni memang tidak tahu tata krama. Sudah dipesannya jangan sampai tanpa perintahnya digelar formasi perang. Sebab dia adalah Senopati Agung. Di bawah kendalinya lah seharusnya segala pergerakan perag hari ini berada. “Duwoyoto…!”

“Hamba sinuwun prabu..”

“Sangkuni dan para kurawa memang tidak tahu tata krama dan sopan santun. Sudah aku pesankan, jangan sampai menggelar pasukan hari ini tanpa seijinku. Tapi mengapa mereka lancang mendahului perintah senopati??”

“Sinuwun Prabu memang benar adanya, namun lama lama saya amati, kelihatannya mereka bukan pasukan Kurawa sinuwun. Hamba tidak melihat pasukan kurawa dan kurawa ada di medan laga..”

“Oh ya…we la…siapa mereka Duwayata? Kelihatannya memang mereka sekutu Kurawa. Tetapi mengapa tidak terlihat Kurawa di sana? Hmm….ya sudah biarkan saja. Tahan pasukanmu, tidak perlu melakukan gerakan apapun”
“Sendika sinuwun…”

Maka demikianlah, Salya dan pasukan Mandaraka hanya diam menunggu dan mengamati apa yang terjadi di medan laga. Debu bergulung gulung beterbangan karena sapuan kaki kaki prajurit yang sedang bertempur, atau karena hentakan kaki kuda, gajah dan tunggangan yang lain. Suara gemuruh terdengar riuh rendah. Teriakan kemenangan berselang seling dengan jerit kesakitan. Sorak sorai yang berhasil merobohkan ditimpali erangan mereka yang dirobohkan. Pedang beradu dengan tameng, tusukan tombak mendesis menerjang sasarang. Anak panah bagai guyuran hujan dari dan menuju kedua belah pihak yang berlawanan.

Teriakan sorak sorai dari arah pandawa tiba tiba membahana. Setyaki berhasil merobohkan lawannya. Dengan ketangkasan dan keprigelannya, Si Bima Kunting ini berhasil merebut tombak lawannya setelah dua tiga kali menghindar terjangan. Sambil melenting menghindari tusukan horisontal tombak sang lawan, dikirimkannya tendangan tumit kaki kiri mengenai leher lawan. Lawan terhuyung ke belakang. Secepat ular mematuk mangsa, tangan Setyaki menghujamkan tinju ke pergelangan lawan, tombak terjatuh. Bersamaan dengan robohnya sang lawan. Setyaki sudah menggenggam tombak itu. Kendali sekarang ada padanya. Lawan yang roboh mencoba bangun, dengan terhuyung dia berdiri. Dicabutnya keris dari pinggangnya. Di sebrang sana Setyaki siaga memasang kuda kuda. Lawan melompat menerjang dengan keris terhunus. Setyaki melemparkan tombak ke sasaran. Tepat menghujam dadanya. Darah mengucur deras. Sang lawan sekali lagi roboh, kali ini tidak mampu bangun lagi. Sorak kemenangan prajurit pandawa menggema menggetarkan Kurusetra.

Di sisi lain, Drestajumana sibuk dengan lawan yang lain. Namun kelihatannya, ini bukan lawan sebanding baginya. Nyalinyapun ciut. Belum lagi sampai beradu senjata, namun begitu diketahunya bahwa senopatinya telah dikalahkan Setyaki diperintahkan pasukannya mundur.

Begitulah akhirnya, sekutu kurawa inipun kalah memalukan. Gemuruh kemenangan prajurit pandawa. Mereka tidak mengejar pasukan musuh yang lari tunggang langgang. Sebab, meskipun ini perang besar dan bisa jadi akan habis habisan, ada aturan yang harus dipatuhi kedua belah pihak. Salah satunya, tidak boleh ada penyerangan bagi mereka yang mundur. Apalagi sudah di luar padang Kurusetra. Perang ini hanya berlaku di ladang Kurusetra.
“Sekarang saatnya Duwoyoto, ayo perintahkan pasukanmu maju menerjang Pandawa..!”. Dan pasukan Mandaraka pun maju menyerbu. Sebagai incaran mereka tentu saja jika berhasil meringkus atau merobohkan salah satu pandawa lima, sudah cukup untuk menyatakan mereka menang.

Namun tentu saja hal ini tidaklah mudah. Sudah tujuh belas hari perang ini berlangsung. Sudah berribu2 pasukan dikerahkan, sudah berpuluh panglima perang diturunkan Kurawa. Toh para pandawa masih segar bugar tanpa cela.
Drestajumena sedikit terkejut melihat serbuan pasukan Mandaraka. Meski sudah terdengar kabar sebelumnya, akan turun nya Salya di perang ini, tetap saja ada rasa was was di dadanya. Dia tahu, bagaimana tingginya keahlian Salya dalam strategi perang dan keprajuritan. Narayana pun mengakui ini. Ajian Canda Birawa yang disandang Salya, membuat siapapun miris. Namun dia adalah Senopati Pandawa sekarang, maka ditatanya perasaan diteguhkannya tekat. Dilihatnya wajah – wajah cemas pasukan Pandawa. Bahkan Setyaki sekalipun miris. Kabar mengerikan yang sayup – sayup dihembuskan Kurawa memakan mangsa. Tidak akan setengah hari, Pandawa dan seluruh pasukannya akan tumpas oleh Canda Birawa. Drestajumena, sang senopati membangkitkan kembali semangat pasukannya, “Kalian prajurit Pandawa…! Ingatlah kalian mengemban tugas suci saat ini. Jangan kalian ingkari kesanggupan dan janji kalian hanya karena kengerian akan kabar kesaktia Salya yang belum tentu benar. Aku sama sekali belum pernah melihat kebenarannya, kecuali kabar bohong yang sengaja disebarkan Kurawa. Para pendusta itu….! Apakah kalian percaya? Apakah kalian tidak malu ngeri dengan kabar bohong itu? Hayo tunjukkan keberanian kalian yang sudah terbukti dalam perang ini..Sudah terbukti ribuan prajurit kita robohkan, ratusan panglima Kurawa kita lumpuhkan, bahkan Maha guru Druno sekalipun. Tidak ada alasan untuk tidak bisa merobohkan Salya hari ini. Kembali ke formasi bunga teratai, lindungi Pandawa…!!! “

Pasukan pimpinan Drestajumena mengikuti perintah panglimanya. Entah sukarela atau terpaksa, hanya mereka yang tahu. Di pihak lawan, para prajurit Mandaraka maju menyerbu. Riuh rendah suara penyemangat perang terdengar dari arah mereka. Memang benar kondangnya, meski jumlahnya tidak seberapa ketangkasan mereka luar biasa. Mereka yang menunggang kuda atau menyerbu dengan berlari sama tangkasnya. Ketika jangkauan mereka sudah tercapai anak panah, ribuan anak panah menghujani pasukan Mandaraka itu. Luar biasa, tidak satupun dari mereka terkana. Sambil tetap maju menyerbu, mereka menangkis anak panah yang melesat dengan tameng, pedang, atau bahkan tombak mereka. Pasukan Mandaraka semakin dekat…dan duel satu lawan satu tak terelakkan. Bergelimangan pasukan Drestajumena tak kuasa menghadang mereka.

Namun jumlah pasukan Mandaraka tidak sebanding. Perlahan mereka kewalahan juga, satu pasukan Mandaraka kira kira berhadapan dengan sepuluh pasukan Pandawa yang juga sangat terlatih. Melihat pasukannya berjatuhan, timbul amarah Salya. Yang tadinya sebenarnya hanya “lamis” dia berperang, cintanya kepada pasukan dan simbul simbul Negara manadaraka yang dicederai lawan, membuatnya marah juga. Disingkirkannya rasa ewuh pekewuh dan rasa welas kepada para pandawa keponakannya. Di medan laga ini, tidak ada keluaarga, tidak ada sanak saudara, tidak ada pepunden sesepuh. Yang ada hanyalah lawan, yang ada hanyalah musuh. Tidak ada kasih sayang, tidak ada welas asih. Yang ada hanyalah melukai jika tidak ingin terlukai, yang ada hanyalah membunuh jika tidak mau terbunuh.

Dikerahkannya kesaktiannya. Panah disiapkan dibusurnya, secepat kilat panah itu terlepas dan ribuahn panah tiba2 saja seolah menyembur dari kereta salya menghujani arah pandawa. Drestajumena berteriak memberikan komando, “Kakang setyaki…bawa pasukanmu seutuhnya, kepung kereta Salya..Jangan sampai dia mendekat ke arah Pandawa…!” Segera Setyaki dan ratusan pasukannya mengepung kereta Salya. Ratusan tombak dilemparkan ke arah Salya. Tidak satupun mampu melukainya. Bahkan kuda kuda kereta itupun seolah hanya digigit semut ketika terkena senjata dari arah pasukan Setyaki. Setyaki dan pasukannya terdesak mundur, meski hanya menghadapi seorang Salya. Sebagian pasukan Drestajumena membantu menghadang laju Salya. Tak kuasa, panah Salya seolah tiada henti menyembur dan memakan korbannya. Jarak antara salya dan para pandawa di tengah formasi bunga teratai tak lebih dari sepuluh lapis pasukan, dengen Setyaki dan Drestajumana di garis depan. Arjuna bertindak. Dilepasknnya panah ardodedali, tidak mampu mengeni Salya. Namun menghantam payung kereta, menyambar leher kusir Duwuyoto. Mati seketika sang patih Duwoyoto.
Semakin menjadi jadi marah Salya. Sejenak kereta kehilangan keseimbangan karena ditinggalkan kusirnya. Sekarang Salya memegang sendiri tali kekang, sambil sesekali tangan kanannya melempar tombak ke arah pasukan pandawa untuk mencari jalan menyerbu Pandawa. Salya benar benar tidak lagi melihat pandwa sebagai kelurga, mereka semua dalah musuh saat ini.
Dari luar gelanggang Kresna berteriak, “Yayi Yudistira…sekarang giliran adinda…!”

Yudistira maju menerjang dengan menunggang kuda putih. Mengitari kereta salya seolah2 meledek Salya, “Mana ajian Canda Birawa Salya yang terkenal itu? Apakah terkenal kabar dustanya saja? Sebab sekalipun belum pernah aku melihatnya… ” Sayup sayup itulah yang didengar Salya. Meski terbersit juga keraguan, benarkah Yudistira selancang itu kepadanya meski ini di medan perang??

Di alam tapaksuci yang memisahkan dunia dan alam baka, arwah Bagaspati yang masih menunggu anak menantu tersayangnya mendapati momen yang dinantikan. “We lah…inilah saatku menghadap ke pengayunan Yang Maha Menang, sudah cukup lama aku menunggu. Sekarang Narasoma sudah berhadapan dengan manusia berdarah putih. Yudistira….jangan kaget, aku akan menyatu dengan ragamu.”

Salya semakin merasa terhina ketika kuda Yudistira hanya mengitari, mengejek dirinya. Lemparan tombak dan lontaran panah, tidak satupun mengenai Yudistira. Dikesampingkannya rasa ragu dan kasih sayang pada Yudistira, diucapkannya mantra ajian Candabirawa. Seketika muncul dihadappnya monster kerdil menyeramkan,”Narasoma….mengapa kamu panggil aku hmmm?”

“Canda birawa..,berpuluh tahun kamu di ragaku baru kali ini aku menyuruhmu. Yang menunggang kuda putih itu Ratu pandawa, hisaplah ubun2nya agar sampai pada kematiannya..”

“Wah..ha ha, jangan kuwatir tidak sampai kedip matamu usai, Yudistira akan tewas”. Dan ketika monster itu menampakkan wujudnya benar2 membuat prajurit yang melihat heran dan ngeri. Meski secara spontan itu membuat mereka maju menyerbu monster kecil itu. Bukan erangan kesakitan yang keluar dari mulut monster itu ketika berbagai sanjat menghujam tubuhnya, tetapi tawa kegirangan. Dan seketika monster itu berlipat seperti amuba membelah diri. Satu jadi sepuluh, sepuluh menjadi seratus, dan ratusan monster itu membuat pasukan pandawa dan senopatinya tunggang langgang. Sekarang hanya Yudistira yang menghadapi. Semua yang melihat keheranan melihat keanehan ini. Selama hidupnya, Yudistira tidak pernah perang. Kali ini begitu gagah beraninya dia menghadang Candabirawa, yang bahkan Bima Janaka pun ciut nyalinya. Keajaiban itu semakin bertambah ketika ratusan monster kerdil itu mendekati Yudistira. Bukan rasa benci apalagi amarah yang terlihat di wajah monster itu, tetapi kegembiraan yang luar biasa karena kerinduan yang kelihatannya sangat lama terpendam. Lihatlah seolah mereka anak anak kecil yang seharian ditinggal ibunya. Semmuanya menubruk dan ingin merangkul Yudistira. Entah apa yang terjad, ketika tubuh2 mereka menyentuh Yudistira, seketika hilang tidak berbekas.

Tak terdengar lagi raungan monster2 canda birawa. Yudistira bersiap. Dihusnya panah dari sarungnya, dipasangkannya ke busur. Panah itu sudah ditumpangi Jimat Kalimasada. Seolah tanpa ragu dan tetlihat sangat terlatih, Ydistira melepaskan anak panahnya. Tepat mengenai dada Salya. Salya gugur memenuhi janji dan melunasi hutangnya. Bagi yang melihat kasar mata mungkin itu adalah penderitaan dan aib. Namun bagi Salya sebaliknya. Inilah bukti cintanya pada pandawa dan kebenaran. Dikorbankannya nyawa untuk membelanya. Ini pula momen yang ditunggunya, ketika dia melunasi hutang kepada Bapak mertuanya. Dengan demikian, dia pulang ke pangkuan yang maha sempurna, dengan kesempurnaan. Paling tidak tiada membawa beban dan janji yang tak terlunasi.

Sengkuni gugur

Setelah Prabu Salya gugur di Tegal Kurusetra, kini ganti Patih Sengkuni dengan kereta pe rangnya memasuki Tegal Kurusetra, menuju pertahanan Pandawa. Ternyata Patih Sengkuni betul betul mahir dalam memainkan segala senjata, dari panah, pedang, juga gada.Patih Sengkuni dikala mudanya, satria dari Gandara, bernama Sri Gantalpati, seorang pemuda yang tampan dan sakti pula. Ia mengikuti Sayembara memperebutkan Dewi Kunti di kerajaan Mandura. Namun gagal, ia dikalahkan oleh Pandu.

Berkali kali senjata senjata Pandawa mengenai tubuh Sengkuni namun, tidak satupun bisa melukai Sengkuni. Bahkan Sengkuni melepaskan berbagai panah ke arah Arjuna dan Patih Sengkuni berhasil mematahkan serangan panah Arjuna.

Werkudara mencegat kereta perang Sengkuni. Werkudara me maksa Sengkuni turun dari Kereta perang. Sengkuni pun turun. Terjadi perkelahian antara Werkudara dan Sengkuni.

Berkali-kali Werkudara memukul tubuh Sengkuni dengan Gada Rujakpolo. Namun Sengkuni hanya ketawa-ketawa, ia tidak merasakan kesakitan. Werkudara terus memukul Sengkuni dari kepala, dada, perut, sampai paha,betis dan telapak kaki, namun kelihatannya tidak merasakan apa apa.

Werkudara tidak patah semangat. Gada Rujakpolo ditinggalkan, Werkudara maju menghadapi Sengkuni, terjadilah perkelahian, berkali-kali Werkudara menangkap Sengkuni, namun kulit Sengkuni licin bagaikan belut, sehingga selalu lepas.

Werkudara terus melawan Sengkuni. Werkudara, teringat masa lalu, kejadian Bale Sigolo golo, yang hampir membawa korban para Pendawa, itu karena perbuatan Sengkuni. Perang dadu, itu ide Sengkuni yang mencurangi Pandawa, hingga Pandawa sengsara 13 tahun di hutan.

Sedangkan Sengkuni merasa kecewa ketemu Prabu Pandu di Mandura, waktu sayembara memperebutkan Dewi Kunti, Sengkuni menyerahkan Dewi Gendari, kakaknya pada Pandu, dengan harapan agar kakaknya bisa berbahagia bersama Pandu. tetapi ternyata kakaknya di berikan pada Drestarastra. Andaikata Dewi Gendari tidak diberikan pada Drestarastra, Kurawa itu menjadi anak Pandu. Sehingga Pandu akan memiliki 105 anak. Pastilah Astina sangat kuat. Dan tidak ada perang Barata Yudha. Semua ini gara-gara Pandu. Maka Sengkuni ingin membunuh anak-anak Pandu, yang telah membikin sengsara.

Werkudara capek menghadapi Sengkuni. Tiba-tiba Werkudara ingat, bahwa kulit Sengkuni amat licin, dan peluhnya berbau lengo tolo (mungkin, minyak tanah), ini pasti ada hubungannya waktu Kurawa dan Pendawa masih kecil bermain di sumur tua menemukan cupu lengo tolo milik kakek Abiyasa yang berisi minyak kesaktian. Yang akhirnya lengo tolo diambil Sengkuni dan dilumurkan keseluruh tubuhnya.

Werkudara langsung meraih leher Sengkuni, lalu dihimpitnya dengan lengannya kuat kuat, sehingga lehernya tercekik, dan mulutnya pun membuka lebar kehabisan napas. Werkudara memasukkan kuku Pancanaka kedalam mulut Sengkuni karena Sengkuni tidak meminum lengo tolo,maka dengan mudah dirobek robeknya sampai kedalam leher dan menembus ke jantungnya. Namun Sengkuni masih hidup. Ia mengerang kesakitan. Werkudara menjadi ngeri dan ketakutan. Walaupun sudah luka berat, Sengkuni tidak mati mati.

Prabu Kresna meminta Werkudara bisa menyempurnakan kematiannya. Werkudara akhirnya mengerti keadaan ini dikarenakan kesaktian Lengo tolo yang dioleskan kesekujur tubuh Sengkuni. Setelah terkelupas kulitnya, akhirnya Sengkuni pun Gugur.

Duryudana gugur

senopati terakhir kurawa akhirnya maju ke medan perang. werkudara menekan pasukan astina sehingga mereka terdesak. prabu duryudana lari namun dapat ditemukan oleh bima. dua raksasa pihak kurawa dan pandawa bertemu. pertarungan berjalan seimbang. hingga lama pertarungan belum juga dapat diketahui pemenangnya. hingga batara kresna ingat bahwa kelemahan(pengapesan) duryudana berada di paha kanannya. ia lalu memberi tanda pada bima dengan menepuk2 pahanya. bima segera tanggap dan menyerang paha duryudana, akhirnya duryudana kalah oleh bima

dengan matinya duryudana maka selesai sudah perang bharatayudha.

Source



-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

Babak 9: Lahirnya Parikesit

Perang Baratayudha telah usai, Resiwara Bisma telah moksha ke alam kadewatan sesuai dengan waktu yang diinginkannya, setelah kematian Prabu Suyudana sebagai penutup Perang Baratayudha.

Resiwara Bisma dalam perjalanannya menuju surga bertemu dengan Dewi Amba, kekasih pujaan didunia. Ia kelihatan bahagia. Hal itu tidak akan terjadi kalau ia masih hidup. Karena didunia ia seorang Brahmacari.

Kurawa pun sudah habis, semua sudah gugur di medan perang Kurusetra. Demikian pula Pandawa juga telah kehilangan banyak sanak saudaranya.

Demikian pula duka mendalam Dewi Drupadi, yang telah kehilangan ayahnya, Prabu Drupada. Serta pula keluarga Wirata, telah kehilangan Prabu Matswapati, Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka dalam Perang Baratayudha.Terlebih lagi Pandawa disamping telah kehilangan sanak saudaranya, juga kehilangan saudara saudaranya Para Kurawa, Eyangya, Gurunya, sahabat serta kerabatnya. Namun yang menjadikan Keluarga Pandawa mempunyai semangat hidup mereka masih memiliki Ibu Kunti dan Eyang Abiyasa.

Dengan kemenangan Pandawa, maka Pandawa beserta seluruh keluarga tang tersisa memasuki Istana Astina. Kedatangan Para Pandawa disambut oleh Dewi Kunti. Dewi Kunti terharu, karena betapa mahalnya untuk sebuah kemerdekaan Indraprasta, terlalu banyak yang menjadi korbannya. Dewi Kunti juga mengucapkan terima kasihnya pada Kresna yang telah mendampingi Para Pandawa selama Perang Baratayudha.Kedatangan Pandawa telah diketahui oleh Uwa Prabu Drestarastra dan Uwa Dewi Gendari. Para Pandawa dijemput oleh Paman Yama Widura yang merangkulnya penuh keharuan.

Dalam perang Baratayudha, Paman Yama Widura kehilangan satu orang puteranya, Sang Yuyutsu, telah gugur di medan pertempuran Barata Yudha dipihak Pandawa. Setelah berbincang bincang agak lama, maka datang pula Sanjaya, anak Paman Yama Widura pertama, yang disuruh Uwa nya Prabu Drestarastra, untuk meminta Pandawa keistana Kasepuhan, karena Prabu Drestarastra telah menyiapkan pertemuannya dengan para Pandawa.

Sementara itu Prabu Sri Batara Kresna merasakan fiirasat yang buruk.Prabu Kresna membisikkan agar para Pandawa berhati hati dan waspada dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada, karena ini mungkin perang belum selesai. Pandawa memakluminya. mereka segera menemui Uwa Prabu Drestarastra.Prabu Drestarastra sedang duduk serimbit dengan Dewi Gendari. Prabu Drestarastra memeluk satu persatu para Pandawa.Walaupun ia memeluk para Pandawa, namun sebenarnyan hatinya merindukan anak anak kandungnya, yaitu Para Kurawa yang telah tiada. Sekarang giliran Werkudara yang hendak dipeluk Prabu Drestarastra. Werkudara segera mendekati Uwa nya. Namun Prabu Kresna menarik tangan Werkudara, sambil berbisik, tidak perlu mendekati. Biar saja uwa nya yang datang menjemput.

Prabu Drestarastra menangisi kematian putera puteranya para Kurawa, karena tidak satupun yang disisakan hidup,oleh Para Pandawa. Sebenarnya Pandawa bisa saja menyisakan Suyudana untuk hidup. Tetapi semuanya sudah terjadi. Prabu Drestarastra akhirnya berdiri mendekati Wekudara. Sementara itu Werkudara berdiri dekat sebuah patung raksasa sebesar Werkudara.Werkudara menghindar ketika uwa nya mengulurkan kedua tangannya untuk memeluknya. Tetapi yang tersentuhlah adalah Patung raksasa yang menghalangi Werkudara dan patung pun menjadi hancur lebur.

Sementara kedua tangan uwa nya masih mengeluarkan api yang menyala nyala. Semua terjadi karena uwa nya telah menyalurkan aji Gumbalageni yang sebenarnya ditujukan untuk membunuh Werkudara. Keadaan menjadi hening tidak satupun orang berkata. Prabu Drestarastra menyesal telah membunuh Werkudara. Ia mohon maaf kepada Dewata karena ia tak mampu menahan nafsu balas dendam pada Pandawa khususnya Werkudara yang telah membunuh Suyudana anaknya yang paling dicintainya. Andaikata ia mampu, Werkudara akan dihidupkannya. Ia menyesal tak bisa menjaga amanat Pandu adiknya, untuk menjaga keselamatan Pandawa.

Namun Dewi Gendari berkata lain,ia menyesal melihat kegagalan Prabu Drestarastra untuk membunuh Werkudara. Dewi Gandari bersupata, bahwa Kresna juga akan mengalami penderitaan Bangsa Kuru, karena Kresna adalah yang membunuh seluruh para Kurawa, walaupun tidak dengan tangannya sendiri Maka bangsa Yadawa, juga akan mengalami hal yang sama, Bangsa Yadawa akan mengalami perpecahan, hingga terjadi pertumpahan darah antar bangsa Yadawa sendiri. Prabu Kresna terperanjat mendengar sumpah Dewi Gendari. Keadaan kembali menjadi hening, tidak satu pun orang bersuara.

Prabu Drestarastra merasa bahagia ketika mengetahui Werkudara masih hidup. Werkudara kemudian merangkul Prabu Drestarastra, Prabu Destarastra mengharap diantara yang masih hidup jangan ada pertengkaran lagi, jangan ada pembunuhan lagi. Prabu Batara Kresna mohon maaf kepada Prabu Drestarastra dan Ibu Gendari serta siapa saja yang dendam pada Prabu Kresna dan juga atas nama Pandawa, yang didalam perang Bartayudha juga memakan korban banyak dari Pandawa, para putera Pandawa, termasuk juga kehilangan Saudara saudaranya dari darah Pandawa maupun Kurawa.

Prabu Drestarastra akhirnya merelakan kepergian seluruh para putreranya, yaitu Para Kurawa. Para Pandawa kemudian mohon pamit untuk memasuki pakuwon Pandawa. Disanalah para Pandawa beristirahat, Sementara itu Dewi Utari telah melahirkan sorang anak yang tampan. Arjuna memberi nama Parikesit.Setelah kelahiran Parikesit, Prabu Sri Batara Kresna berpesan agar Para Pandawa tidak boleh lengah, tetap waspada, dan jagalah bayi Parikesit dari segala yang mengancam. Prabu Kresna berpesan agar jangan sampai bayi ditegakan tidak dijaga, dan dibawah kaki Parikesit, ditaruh senjata pusaka Pulanggeni yang sudah dilepas dari warangkanya..Setelah banyak berpesan Prabu Sri Batara Kresna berpamitan kembali ke Dwarawati. Karena Dwarawati dalam keadaan darurat.

Sampai di tengah malam Pandawa masih kuat untuk berjaga menunggui bayi Parikesit yang tidur di tempat nya. Sementara itu Aswatama yang sudah lama menghilang dari medan perang Kurusetra, kini telah muncul kmbali. Kali ini ia telah menghimpun kekuatan baru, yaitu bergabung dengan Resi Krepa dan Kertawarma. Kertawarma adalah adik Prabu Suyudana yang satu satunya masih hidup.Ternyata perkiraan Para Pandawa dan bahkan Prabu Drestarastra sendiri meleset, semua memperkirakan Kurawa sudah tertumpas habis.

Mereka berencana mau memberontak ke Astina, untuk merebut kembali Astina ketangan Kurawa, Tetapi mereka tak ada keberanian. Pertapaan Sokalima walaupun luasnya sama dengan kerajaan Pancala, namun tidak memiliki perajurit. Mereka memutuskan akan memasuki Istana Astina secara diam diam, pada malam hari dan akan membunuh orang orang Pandawa sebanyak banyaknya.Sebenarnya Aswatama sudah membuat terowongan di taman Kadilengen, dan sudah tembus ke Goa.

Sekarang Aswatama dengan bekal sebuah obor sebagai penerang jalan,dan ditemani Kertawarma dan Resi Krepa memasuki. Namun ditengah jalan, mereka terkejut karena ada sebagian tanah yang gugur sehingga menutup jalan masuk ke goa. Aswatama terpuruk, terlebih lebih ketika api oncor padam, tidak tahu harus bagaimana. Tiba tiba saja ada cahaya yang menerangi Goa. Ternyata Dewi Wilutama datang menolong.Dewi Wilutama menerangi goa dengan sinar dari kedua telapak tangannya. Karena pintu Goa yang telah dilalui juga roboh dan menutupi pintu goa. Sehingga walaupun mereka pulang juga tidak bisa keluar. Mereka terjebak didalam goa, pulang tidak bisa, terus juga tidak bisa. Dewi Wilutama menanyakan, mau kembali ke jalan semula, atau mau meneruskan kehendaknya.

Aswatama ingin meneruskan perjalanannya ke Astina. Dewi Wilutama tidak mau membantu keinginan dan tidak mau ikut bertanggung jawab atas perbuatan Aswatama yang akan dilakukan. Dewi Wilutama membuka jalan ke pintu Goa. Sehingga apabila mereka berniat mau pulang kembali, bisa lewat kepintu goa semula. dan akan keluar dengan mudah. Namun Dewi Wilutama tidak tega pada Aswatama,karena Aswatama sudah tidak bisa dihentikan niatnya. akhirnya Dewi Wilutama memberikan senjata untuk menyingkirkan tanah tanah yang menghalangi perjalananannya.

Ibunda Dewi Wilutama tidak ikut bertanggung jawab apa yang hendak dilakukan oleh Aswatama, dan disarankankan anaknya pulang saja kembali ke Sokalima.Resi Krepa ganti membujuk Aswatama agar pulang saja kembali ke Sokalima. Akhirnya Resi Krepa meninggalkan mereka semua, kembali ke pertapaannya. Dewi Wilutama kembali kekahyangan. Dalam waktu singkat Aswatama beserta Kertawarma telah memasuki Astinapura. Kertawarma tidak mengikuti kepergian Aswatama yang memasuki Istana Astinapura.

Kertawarma menunggu diluar istana. Ia bersembunyi di luar Istana. Aswatama membaca mantera agar orang orang yang ada didalam Istana Astina tertidur.Sementara itu seluruh penghuni Istana telah tertidur semua. Memasuki kamar pertama, terlihat Pancawala dan Drestajumna sedang tidur dengan nyenyaknya. Tanpa pikir panjang lebar, ditebasnya calon Raja Astina baru, Pancawala dan Pembunuh ayahnya, Drestajumna sehingga terpelantinglah kedua kepalanya. Dendam masih membara ia membuka kamar yang kedua, terlihat Srikandi tidur tergeletak tidak berdaya, ia kelihatan lemah gemulai seperti wanita wanita lainnya, walaupun dalam perang Baratayudha ia kelihatan gagah perkasa bagaikan seorang pria jantan dalam menghadapi musuh musuhnya. Ia akan segera membunuhnya, tetapi dirasanya percuma saja karena tidak merasakan sakitnya kalau dibunuh, Srikandi tidak akan merasakan kematiannya.

Dengan cepat penuh dendam Aswatama menjambak rambut Srikandi. Srikandi terbangun, dan terkejut ada Aswatama masuk kamar dan dirinya sudah di pegang oleh Aswatama. Ia berusaha melawan tetapi tidak berdaya. Aswatama menjambak Srikandi dan membentur-benturkan kepala Srikandi ke dinding kamar, hingga tewas. Dendam masih membara, ia melihat Dewi Sembadra, langsung dibunuh sebagai pembayar utang Arjuna, demikian pula Niken Larasati dan Sulastri terbunuh. Dilihatnya pula Dewi Banowati istri Prabu Suyudana, dengan pandangan sinisnya, menganggap Banowati, yang semula dihormati seluruh keluarga Para Kurawa, ternyata ia seorang wanita murahan, dengan mudah mengikuti Arjuna. Tanpa ampun lagi Banowati dibunuhnya. Aswatama tidak mengetahui posisi dimana Parikesit tidur karena pengaruh senjata Pulanggeni, dan pasti pula ada didalam lindungan Dewata.

Aswatama melihat pula Dewi Drupadi, namun ketika akan membunuhnya terdengar, seperti ada suara tangisan bayi, Aswatama terkejut. Ia mengalihkan niatnya untuk membunuh Drupadi, dan ia melihat dengan mata batinnya suatu tempat yang penuh kabut. Aswatama melihat bayi itu. Aswatama memandang benci kepada Parikesit, karena Pancawala sudah terbunuh, maka bayi ini adalah pewaris tahta Astina pura. Segera Aswatama berusaha menikam bayi itu. Tetapi kekuasaan dewa yang menentukan, tiba tiba saja keris Pulanggeni yang terletak dibawah kaki jabang Parikesit,tertendang sang bayi, dan keris Pulanggeni terpental dan menembus dada Aswatama, Aswatama tewas. Sementara ada keributan dan suara tangisan mereka yang terhindar dari pembunuhan, seperti Dewi Untari dan dewi Drupadi. Menjadikan Werkudara dan Arjuna terbangun dari tidurnya.

Mereka langsung keluar dari Keputren. Sementara itu, Kertawarma bersiap memukul Werkudara, andaikata melewati persembunyiannya. Werkudara akhirnya melewati persembunyian Kertawarma. Melihat Werkudara berjalan melewati persembunyiannya, Kertawarma segera memukul Werkudara dengan gadanya dengan keras, namun Wekudara dapat menangkisnya. Terjadilah perkelahian, antara Werkudara dan Kertawarma.Kepala Kertawarma pecah terkena pukulan Gada Rujakpala, Kertawarma pun tewas Pandawa pagi ini dirundung duka. Semua istri Arjuna yang berada di Istana terbunuh semua, juga Dewi Drupadi kehilangan puteranya Pancawala, Srikandi dan Drestajumna. Seluruh keluarga Pandawa berduka.

Prabu Kresna kecewa tidak bisa ikut menjaga ketentraman Istana Astina. Prabu Kresna sendiri masih menghadapi pergolakan keluarga Yadawa. Prabu Kresna minta agar Puntadewa segera menyiapkan pemerintahan Astina. Untuk itu dibutuhkan pengangkatan seorang raja. Kemudian mereka merencanakan pelantikan seorang raja. Setelah mereka berembug maka ditunjuklah Parikesit menjadi Raja Astina. Mengingat Parikesit masih bayi, maka Puntadewa diminta untuk menjadi wali. Maka diangkatlah Prabu Puntadewa mewakili Parikesit. Dengan gelar Prabu Kalimataya. Uwa Drestarastra merestui pengangkatan Puntadewa menjadi Ratu Wali. Prabu Kalimataya dalam pemerintahannya dibantu oleh Sadewa, Sadewa ditunjuk menjadi patih Kerajaan Astinapura.

Source


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Epos Mahabharata

silsilah-mahabarata-jawa.jpg


-dipi-
 
Pandawa Mengakhiri Hidupnya di Istana Alam

Tiga puluh enam tahun telah berlalu sejak pecah perang Baratayuda antara Pandawa dan Kurawa yang dimenangkan oleh pandawa. Sejak itu kerajaan Astina di bawah pimpinan prabu Yudhistira berhasil mewujudkan suatu negara yang subur makmur gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja. Jauh daris engketa politik tidak seperti ketika negara amsih dikuasi kaum Kurawa, dimana Pandawa harus mengalami hidp sengsara merana di hutan belantaa 13 tahun lamanya.

Akan tetapi perjalanan hidup tidak selalu langgeng, situasi dan kondisi turut menentukan, terutama setelah meninggalnya para pini sepuh seperti Destarata, Gendari, Kunti dan kresna, Pandawa seperti kehilangan pegangan. Kelezatan dan kemewahan tak mampu menjamin ketenangan batin. Resah gelisah dan serba salah akhirnya menimbulkan rasa jenuh, seolah mereka sudah tidak betah lagi tinggal di dalam istina. Untuk menetralisir keadaan, Yudhistira bersama saudara-saudaranya sepakat akan minta nasehat Begawan Abiyasa di pertapaan Ukir Retawu.

Bersabdalah sang Begawan: “Cucuku, segala sesuatu yang diciptakan tidak ada yang sempurna. Begitu pula hidup di dunia tidak ada yang langgeng, cepat atau lambat kita akan kembali menghadap Yang Maha Kuasa. Karena itu aku menasehatkan agar kalian segera berpindah dari istana kerajaan dengan segala kelezatan dan kemewahannya, pindah ke istana alam dengan segala keasliannya untuk mencapai kemuliaan akherat sambil menunggu kedatangan Hyang Kala,” ujarnya.

Wejangan Abiyasa itu memberi tanda lampu kuning, agar Pandawa meninggalkan kelezatan duniawi beralih mencari kemuliaan akhirat, mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu dipanggil menghadap Tuhan Maha Kuasa. Atas wejangan itu Pandawa sepakat akan meninggalkan kerajaan membuang diri menjelajah alam terbuka bertapa mendekatkan diri dengan Hyang Maha Tungal. Sedang untuk meneruskan tahta kerajaan telah diangkat Parikesit sebagai raja Astinapura.

Demikianlah pada hari yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi meningalkan istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga dan rakyatnya. Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan pakaian pun terbuat dari kulit. Ketika mereka keluar dari istana seekor anjing mengikuti dari belakang. Mereka berjalan ke arah timur masuk hutan keluar hutan, kemudian berbelok ke selatan dan akhirnya sampai di pegunungan Himawan (Himalaya) yang di situ terbentang alam terbuka gurun pasir yang terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah yang akan mereka tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah mereka memasuki istana alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat sekujur badan.

Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian menemui ajal, Bima sedih melihatnya dan bertanya: “Kakangku, Drupadi telah mati, apakah ia membawa dosa?”

Yudhistira: “Adikku Bima, setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya Drupadi bertindak pilih kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa itulah yang akan ia bawa,” jelasnya.
 
Tidak lama kemudian Sadewa pun terjatuh dan ajal seketika. Bima bertanya: “Kakang lihat, Sadewa pun mati, apa pendapatmu?”

Yudhistira: “Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. Ketika masih hidup Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling pintar tak ada yang mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai keterbatasan. Itulah dosanya.”

Perjalanan diteruskan dan semakin jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan pun semakin terasa. Tiba-tiba nakula pun tejratuh dan menghembuskan nafas yang terakhir. Bima kembali bertanya: “Kakang Yudhis, Nakula pun menyusul, bagaimana pendapatmu?”

“Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu takabur. Begitupun Nakula. Ia merasa dirinya yang paling tampan tiada duanya. Itu pertanda hatinya tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak dapat mengikuti kita,” jelasnya. Belum kering mulut Yudhistira berkata, giliran Arjuna jatuh terkulai mengalami nasib yang sama. Padahal kesaktiannya seperti Hyang Indra “Apakah dosanya Kang?”

Yudhistira: “Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati, ia telah sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum matahari terbenam. Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu semata, sehingga janjinya tak dapat dibuktikan. Itulah dosanya.”

Tak berapa lama tiba-tiba Bima mengerang: “Oh, kakang tolong aku, badanku gemetar aku tak mampu berjalan, tolong aku kang…: “Adikku Bima, engkau makan sangat gembul tanpa mengindahkan orang lain yang juga butuh makanan. Kata-katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara. Selain itu engkau selalu menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah apa yang telah engkau lakukan,” dan sang Bima pun menemui ajalnya. Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya ditemani angjingnya yang sangat setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa: “Duh Maha Agung, terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati membawa dosa, tetapi mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya. Karena itu ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal perbuatannya.”

Kemudian ia berkata kepada anjingnya: “Anjingku yang setia, engkau telah menjadi saksi atas kepergian adik-adikku. Tak lama lagi mungkin giliranku. Tapi aku sangat sedih karena kau harus menyendiri. Padahal selama ini engkau begitu setia menyertaiku.” Baru saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar suara mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba di hadapan Yudhsitra seraya bersabda: “Ya Yudhistira, janganlah engkau bersedih atas kematian adik-adik dan istrimu. Mati telah menjadi bagian setiap manusia. Sekarang naiklah ke atas kereta, engkau akan kubawa ke swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu sebagai penghargaan atas keutamaanmu.

Yudhistira : “Ya sang Pikulun, hamba sangat bersykur mendapat anugerah yang tak terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan sebelum paduka membawa hamba.” “katakan apa yang kau minta?” tanya Indra. “Hamba mohon supaya anjing ini diperkenankan turut serta naik ke swarga,” pintanya.
 
Indra : “Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau akan kubawa ke alam yang teramat suci tanpa noda sedikit pun. Seedang anjing adalah hewan yang sangat kotor. Karena itu jangalah engkau memikirkannya, walaupun ia setia padamu.”

Yudhistira : “Kalau demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba tidak tega meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat sangat menempuh perjalanan yang amat jauh bersama hamba,” jawab Yudhistira bertahan.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?” sergahnya.

Yudhistira : “Tidak dapat dikatakan hamba tak akan setia kepada mereka, karena mereka telah ajal lebih dahulu. Kecuali jika mereka masih hidup kemudian hamba meninggalkan mereka, barulah itu dikatakan bahwa hamba tidak setia kepada mereka. Dan kini seekor anjing walaupun hewan kotor, karena dia sangat setia kepada hamba dan adik-adik hamba, apakah hamba harus tega meninggalkannya sendirian di alam terbuka tanpa ada yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk Tuhan? Oh, tidak sang Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada harus meninggalkan dia,” kilahnya.

Tiba-tiba anjing itu menghilang dan Dewa Darma telah berada di hadapan yudhistira merangkul dan bersabda: “Anakku Yudhistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika saudara-saudaramu mati di tepi hutan karena minum air kolam. Ketika kau minta supaya Nakula yang dihidupkan bukan Arjuna saudara sekandungmu, karena engkau lebih mengutamakan keadilan daripada kasih sayang. Dan sekarang engkau lebih baik tak jadi ke swarga daripada harus meninggalkan seekor anjing yang setia kepadamu. Mengingat keutamaanmu, engkau diperkenankan naik ke swarga bersama jasadmu.”

Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana ia melihat-lihat apakah saudara-saudaranya berada di situ. Ternyata taks eorang pun ia lihat. Bahkan ia kaget ketika melihat Duryudana sedang duudk di singgasana disanjung dan dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya: “Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia. Walaupun ia raja tapi ia berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang Baratayudha. Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?” Batara Narada yang menyertai terusik rasa tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu berkata: “Wahai Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di medan perang sebagai seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa mengganjar dengan kemulian.”

“Hamba tak berhak mencampuri urusan akhirat, silahkan bila Duryudana diberi ganjaran kemuliaan. Tetapi kalau tempat ini pantas untuk Duryudana, lalu di manakah tempat berkumpulnya saudara hamba?” tanya Yudhistira.

Narada lalu menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat saudaranya berkumpul. Ternyata jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan nyamuk berterbangan, di sepanjang jalan darah berceceran, daging terkeping-keping serta tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat menyengat. Tak lama terlihat sebuah kancah dengan godongan minyak yang sangat panas sedang menggodog manusia-manusia yang sedang disiksa. Yudhistira tak sampai hati dan ingin berlalu. Tetapi tiba-tiba ada suara menghimbau: “Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air minyak yang sangat panas ini, begitu tuand atang mendadak menjadi sangat dingin bagai hawa di pegunungan.”

Ternyata yang berbicaa bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang yang sedang mendapat siksaan. Yudhistira kaget, karena ia mengenal satu-satunya suara itu. Lalu ia bertanya siapa tadi yang bertanya. Maka mereka menjawab: “Aku Karna, Aku Bima.” Lalu lainnya: “Saya Arjuna,” demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa dan Drupadi. Setelah jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu adalah saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar meninggalkan tempat itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar godongan minyak itu tetap dingin.

Tetapi tak lama kemudian berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan.. seketika tempat yang semula berupa kancah godongan berubah menjadi suatu tempat yang amat indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir angin yang menyejukkan ditambah tercium harum yang mewangi di sekitarnya. Hyang Indra kemudian bersabda:

“Yudhistira, jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu rahasia. Setiap manusia tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada aturan tertentu, siapa yang ke swarga dahulu, selanjutnya harus ke nereka. . Dan siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan ke swarga. Artinya apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan harus melihat, sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang tuan mengatakan bahwa Aswatama telah mati. Demikian pula saudara-saudara tuan masuk kenera karena ada dosanya. Tetapi sejak hari ini, hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk swarga. Nah, biarkan mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana.”

Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan.


-dipi-
 
wuiiih, dikupas tuntas nih ma non Dipi76
secara garis besar dan juga panjang lebar dari versi India dan wayang udah dibahas
saya benar2 salu pada anda

eh gimana klo sekarang bahas serba-serbinya misalnya cuplikan adegan yg berkesan bagi kita, ato bisa juga diskusi peristiwa dalam alur cerita scr lebih mendalam

oke saya coba nyumbang nih
tuk Dipi76 ( ternyata Idola kita sama di Mahabharata) Karna atau Radheya
saya lebih suka menyebutnya Radheya

kisah dibawah ini pernah saya posting dua tahun lalu disebuah forum, kemudian posting lagi di forum lain setahun yg lalu, jadi ga salah klo saya posting disini lagi, mumpung kita ngomongin Mahabharata
sebuah babak dari Mahabharata yang sangat menyentuh bagi saya, dan sering saya baca lalu saya susun kembali berdasarkan beberapa literatur, tapi sebagian besar saya ambil dari Mahabharata Kamala Subramaniam

Radheya dan Kunti



Kisah ini diambil dari Udyoga parva, setelah Lord Khrisna gagal menjadi Duta Perdamaian guna mencegah perang Pandava dengan Kurawa

Kunti begitu gelisah setelah usaha damai yang ditempuh menemui jalan buntu, berarti perang sebentar lagi akan pecah, pasukan Raja Raja di seluruh dunia telah menuju Kurukhsetra.
Namun yang ada dalam benak Kunti adalah Radheya (Karna), kebencian Radheya terhadap Pandava terutama Arjuna melebihi kebencian Duryodhana terhadap Pandava
Kunti berniat menemui putra tertuanya itu dan memberitahu sejatinya Radheya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Radheya baru saja selesai melakukan Surya Sewana (pemujaan terhadap Dewa Matahari ), telah terkenal bahwa setiap selesai melakukan Puja tersebut Radheya akan memberikan anugerah kepada siapapun yang datang dan meminta kepadanya.

Ditepi sungai Gangga………
Saat berbalik Radheya melihat Seorang wanita duduk berteduh dibawah pohon, diapun menghampiri (karena sesuai kebiasaan bahwa orang yang menunggunya melakukan Puja adalah orang yang akan meminta berkahnya) lalu membungkuk hormat

Radheya ( R ) : salam Ibu.. apa yang ibu minta? Radheya menunggu perintahmu

Kunti hanya memandangnya dengan tatapan sedih, terkenang kembali ke masa lalu saat dia membuang Radheya begitu lahir dengan menghanyutkannya di sungai Gangga.

R : aku adalah Radheya, Putra Adhirata ibuku bernama Radha karena itu orang memanggilku Radheya, katakanlah Ibu apa Permintaanmu ?

Kunti (K) : aku kesini bukan untuk meminta anugerahmu, aku hanya ingin bertanya tidakkah kau mengenal siapa aku ?

Radheya menatap wanita didepannya, mencoba mengingat ingat lalu sesuatu pun terlintas dalam pikirannya ................dadanya pun berdebar

R : ini aneh, aku tidak tahu siapa dirimu, tapi aku merasa telah lama mengenalmu.................. ya engkau adalah wanita yang hadir dalam mimpiku

K : Maukah kau duduk disampingku, dan menceritakan wanita impianmu ?

Radheya mendekat dan duduk disamping Kunti

R : ini aneh, selama ini aku tidak pernah menceritakan tentang mimpiku ini kepada siapapun bahkan kepada ibuku Radha, tapi kenapa sekarang aku ingin menceritakan kepadamu Ibu.
Mungkin kau sudah tau siapa aku mungkin juga tidak, aku adalah Radheya putra Radha, ayahku Adhirata kusir sang Raja, tapi aku bukanlah anak Ibuku........ ayahku memungut aku dari Gangga dalam kotak kayu waktu aku kecil.
Semasa kecil aku selalu bermimpi, seorang wanita cantik yang berpakaian layaknya Putri Raja datang padaku, dia selalu menangis dan sedih
Dalam mimpi aku bertanya “ siapa engkau Ibu? Mengapa kau menangis?”
Wanita itu selalu menjawab ” aku menangis dan sedih karena aku melakukan ketidakadilan ini padamu”
Ketika aku bertanya ” mengapa Ibu, mengapa kau lakukan ini padaku ?
Dia hanya diam membisu hanya air mata yang menjawab semua pertanyaanku, lalu wanita itu akan menghilang dari pandanganku seberapa keras pun aku memanggilnya....
Mimpi yang sama selalu terulang berkali2.
Mimpi itu terus menghantuiku sampai aku remaja mimpi itu mulai berkurang, wanita itu semakin jarang menemuiku dalam mimpi, dan sampai sekarang dia tak pernah lagi menemui aku dalam mimpi ................ yah mungkin karena dia mulai lupa denganku atau dia sudah punya anak yang lain

K : kau salah anakku , wanita itu tidak pernah dan tidak akan bisa melupakanmu, meski dia sudah punya anak yang lain

R : mengapa kau begitu yakin Ibu, seolah olah kau tau dan mengenal wanita dalam mimpiku ?

Dada Radheya semakin berdebar2, semakin lama dia memandang wanita itu dia semakin yakin kalau wanita dihadapannya adalah wanita yang hadir dalam mimpi2nya
Kunti pun menangis, dengan tersendat dia berkata

K : Aku tau siapa wanita dalam mimpimu, karena akulah wanita itu aku adalah Kunti wanita yang melahirkanmu.........

Kunti mencurahkan air matanya, perasaan yang dipendam selama puluhan Tahun seakan ingin dia tumpahkan semua saat ini
Radheya diam mematung, tak percaya dengan apa yang dia dengar

R : ah mana mungkin.......... Kunti Devi Ratu Astina, ibu mulia dari lima Pahlawan Agung hari ini datang pada Radheya, dan mengaku sebagai Ibunya......... mungkin Radheya sedang bermimpi, sebaiknya aku tidur lagi

K : jangan lagi memanggil dirimu Radheya kau adalah Kaunteya putra Kunti, putra tertua ku............... mulai saat ini kau akan dikenal sebagai Putraku

R : Tapi mengapa Ibu..........?? aku sudah tau bahwa kau adalah ibuku......bahwa Radheya sebenarnya Putra Kunti dan Surya (Dewa Matahari ), tapi mengapa baru sekarang kau datang padaku

K : Bagaimana kau tau aku adalah ibumu dan Surya adalah ayahmu ?

R : Kemarin Khrisna dengan rasa cinta kasihnya memberitahuku jati diriku yang sebenarnya, tapi sudahlah Ibu janganlah kita membicarakan hal yang berlalu, hari ini aku begitu bahagia karena Ibu telah datang menemui aku......... jadi jangan berkata apa pa lagi

Keduanya berpelukan dan menangis bersama, melepas kerinduan mereka selama ini, Radheya merebahkan kepalanya di pangkuan Kunti, dengan lembut Kunti membelai rambut putranya yang ”Hilang”, mereka larut untuk sesaat dalam hening............
Beberapa saat berlalu, Radheya pun bangkit

R : Terima kasih Ibu, Ibu telah memberikan saat-saat yang paling suci dalam hidupku kini perintahlah Radheya

K : Tidak anakku, Ibu tidak memberimu perintah tapi Ibu akan memintamu melakukan sesuatu.

R : Katakanlah Ibu apa yang harus aku lakukan

K : Ikutlah bersama Ibu ke Pandava, mereka adalah saudaramu, Ibu akan memberi tau Yudhistira bahwa kau adalah Putra tertua ku, hilangkan kebencianmu selama ini kepada Arjuna, berperanglah di pihak Pandawa yang pasti akan menang, Dunia akan melihat engkau bersatu kembali dengan saudara saudaramu, mereka akan melihat dirimu bersatu dengan Arjuna, didunia ini siapa yang bisa mengalahkan Kalian berdua, kalian akan Jaya seperti Khrisna – Balarama, menangkan perang ini lalu perintahlah seluruh dunia karena kau lah Pewaris Tahta Kerajaan. Yudhisthira akan menjadi Yuvaraja (Putra mahkota) dan memegang Payung kebesaranmu, Arjuna akan menjadi kusirmu, Bhima akan menjadi kepala Pengawal, sedangkan si kembar akan selalu setia melayanimu.............
 
Radheya terdiam, betapa Hidup ini penuh misteri, selama ini dia hidup dengan pandangan orang yang menilai rendah dirinya karena hanya seorang ”Sutaputra” (putra kusir kereta), namun dalam 2 hari terakhir dua orang mulia (Khrisna dan Kunti) datang menawarkan Dunia kepadanya. Godaan yang begitu besar, namun Radheya tak bergeming

R : Ibu aku sangat ingin menuruti perintahmu, tapi aku tidak bisa

K : mengapa anakku? Aku akan mengakui pada dunia bahwa kau adalah putra tertua ku.......

R : Ibu tidakkah kau tau betapa aku membencimu, atas perlakuanmu padamu.... aku menyimpan kemarahan ini bertahun tahun. Aku menderita karena kelahiranku. Namun ketika hari ini kau datang semua kemarahanku itu lenyap bagai butiran salju yang jatuh di gurun pasir yang tandus
Dunia mengenalku sebagai Sutaputra, nama ini menodai kelahiranku yang sebenarnya, saat menginjak remaja kau bertanya pada Ibuku Radha ” Ibu mengapa aku ingin sekali menjadi seorang pemanah bukan menjadi kusir kereta seperti ayah ?”
Saat itu lah aku tau bahwa Ibuku Radha bukanlah ibuku, namun cinta kasihnya melebihi cinta kasih seorang ibu kepadaku........... karena itu aku bangga dengan nama Radheya nama yang aku bawa sampai mati
Lalu aku pun berkelana, untuk menuntut ilmu memanah, namun tidak ada yang mau mengajariku
Drona menolakku karena aku adalah seorang ’Sutaputra’, nama yang melekat dan menyakiti hatiku ini semua karena ketidakadilan mu padaku ”
Kemudian aku menghadap Bhargawa (Parasurama ) beliau mau mengajariku karena aku mengaku sebagai Brahmana, tetapi ketika Beliau tau aku bukan seorang Brahmana beliau mengutukku bahwa aku akan melupakan Mantra yang sangat aku perlukan.
Disamping itu seorang Brahmana mengutukku bahwa roda keretaku akan terbenam dan aku terbunuh pada saat aku tidak siap, seperti hal nya sapi Brahmana itu yang aku bunuh.
Saat aku kembali ke Astina, saat itu adalah waktu Perlombaan ketangkasan Para Pangeran Astina.
Jiwa Pemanahku bergolak melihat kesombongan Arjuna yang bangga akan keahliannya, akupun menantangnya lalu semua orang tau bahwa aku hanyalah seorang putra kusir, mereka menghina dan mencemoohkan aku terutama Bhima mu yang tersayang, mereka menilai aku bukan lah lawan yang pantas bagi Arjuna.
Saat itu lah Duryodhana yang Agung datang padaku, mengakui aku sebagai sahabatnya dan mengangkatku sebagai Raja Anga, Duryodhana lah orang yang mengangkat derajatku saat semua orang merendahkan ku, dia hanya meminta Hati ku sebagai balasanya, dan Mulai saat itu Hati ku milik sang Raja, Majikan sekaligus sahabatku Pangeran Duryodhana.
Ibu Tidakkah kau mengenalku saat itu ? aku yakin kau pasti mengenalku dari Kavaca ( Baju Pelindung ) dan kundala (anting-anting) yang kukenakan, namun dengan alasan yang kau ketahui sendiri saat itu Ibu diam membisu
Namun mengapa sekarang kau datang padaku.............????
Di Dunia ini hanya ada dua cinta terpenting bagi Radheya, cintaku kepada Ibu ku Radha dan Cintaku kepada Sahabat sejatiku Duryodhana.
Aku tidak pernah dan tidak berani berpikir akan ada cinta yang lebih agung datang dalam kehidupanku.
Aku tidak bisa meninggalkan Duryodhana untuk bergabung dengan saudara saudaraku yang baru aku temukan sesuai dengan permintaanmu ibu”

Dengan berlinang airmata Kunti bertanya

K : Mengapa anakku..........???

Terdengar suara dari langit, Surya Dewa Matahari berkata ” Anakku Turutilah kemauan Ibumu, bergabunglah dengan Pandawa ”
Namun Radheya tidak bergeming

R : Ibu ,Aku terikat jalinan jutaan untai benang dengan Sahabatku Duryodhana, satu satunya orang di dunia ini yang menjadikan aku sahabatnya tanpa peduli aku seorang Sutaputra, bergantung padaku Dia telah memulai perang ini, dunia mengenalku sebagai sahabat sang Raja, Duryodhana malah ingin berbagi Singasana yang sama denganku, aku tidak bisa memungkiri kebahagiaanku melewati hari hari bersama sang Pangeran.
Namun kini Ibu datang padaku dengan cinta yang membuat temaram cinta yang aku tau selama ini
Aku akan tetap berada disamping Duryodhana untuk melunasi hutangku, hutang cinta dan terima kasih adalah hutang yang sangat sulit untuk dibayar
Katakanlah ibu , begitu agungkah cinta seorang Ibu hingga membuat aku begitu bimbang, tapi Radheya tidak akan merubah pendiriannya , sekarang janganlah berkata2 apa apa lagi aku tidak ingin menyakitimu dengan kata kataku ”

Radheya menutup kedua matanya dan menangis, Kunti tertunduk lemas air matanya bercucuran tak terhingga, mereka kembali berpelukan dalam tangis.

Sesaat kemudian Radheya melepaskan pelukannya

R : Ibu tangisan ini tidak baik untukku, seorang Ibu hanya boleh menangisi anaknya yang sudah mati, aku akan tetap bersama sahabatku dan aku tau akhir hidupku
Aku tau bahwa kami semua yang berpihak pada Duryodhana akan dikirim ke alam Yama (kematian) kami akan kalah, aku tau itu Ibu
Namun jalan satu satunya orang hidup didunia ini adalah mengukir nama Baiknya, kemasyuran........... jika aku bergabung dengan Pandawa aku akan kehilangan nama baik yang telah aku ukir selama ini, apapun Takdir yang telah ditetapkan, seseorang tidak boleh menyerah untuk mempertahankan dan mencari Nama Baik dan kemahsyuran, itulah jalan yang aku tempuh selama ini, aku menginginkan nama baik.
Ibu Restuilah aku berikan aku anugerah :
”Bahwa namaku akan di ingat sepanjang manusia masih hidup di dunia ini, kemahsyuran ku akan abadi sepanjang sejarah”

Dengan Hati yang hancur lebur Kunti merestui permintaan putranya

R : Terimakasih ibu, namun ini tidaklah benar........... biasanya akulah yang memberikan anugerah kepada orang2 yang datang padaku setelah aku selesai memuja Ayahku, kini aku akan memberimu anugerah yang setara dengan Permintaanmu sesuai dengan kemampuanku, engkau menginginkan hatiku, tapi hatiku bukan miliku, hatiku milik sahabatku Duryodhana
” Engkau akan Tetap memiliki lima Putera, Yudhistira, Bhima,Nakula dan Sahadeva Tidak akan aku bunuh dalam perang, mereka tidak akan mati ditanganku, tapi tidak dengan Arjuna, pertarungan diantara kami harus terjadinya.......... itulah satu satunya cara untuk melunasi hutang kepada sahabatku Duryodhana, namun bagaimana pun hasilnya kau akan tetap punya lima Putera, dengan Aku tanpa Arjuna, ataupun Dengan Arjuna tanpa Radheya puteramu Tetap akan lima, itulah anugerahku ”

Radheya menghela nafas panjang, dengan tatapan sedih Kunti memandangnya

R : Tapi ibu aku tahu, Arjuna akan tetap bersamamu, dibawah lindungan Khrisna Pandawa akan aman seperti Bayi dalam rahim ibunya, mereka akan selamat melewati Perang besar ini
Sedangkan kami yang memihak Duryodhana sudah dikutuk, kami akan mati............
Engkau mungkin sudah tau Ibu....
Aku juga telah dikutuk
Guruku Bhargawa (Parasurama) telah mengutukku ” bahwa aku kan melupakan mantra senjata yang aku perlukan disaat saat genting.
Lalu seorang Brahmana mengutukku, bahwa roda kereta ku akan ditelan Bumi dan aku dibunuh oleh musuh saat aku tidak siap.
Selain dua kutukan tadi Indra Raja Dewata telah meminta Kavaca ( Baju pelindung) dan Kundala (anting2) yang akan melindungi aku dari kematian.
Dan kemarin Khrisna datang dengan cinta yang Agung menggoyahkan perisai hatiku dan hari ini kau datang dengan kasih seorang Ibu yang kau hempaskan dan menghancurkan Tameng Hatiku, satu satunya senjata ku untuk melawan Pandawa adalah kebencianku kini semuanya telah hancur, bagaimana aku bisa berhadapan dengan Arjuna yang kini dimataku adalah seorang anak kecil yang mengulurkan tangannya dengan penuh cinta.
Ibu katakanlah
Dengan semua itu bagaimana aku bisa selamat dari perang ???

Kini mata Radheya terang tanpa airmata, dengan suara pelan meyakinkan Kunti

R : Ibu janganlah sedih, apa yang sudah digariskan oleh Para Dewa tidak ada yang bisa merubahnya, tidak juga Cintamu yang Agung, aku harus bertarung dengan Arjuna dan aku akan mati ditangannya
Sekarang pulanglah Ibu ku sayang, jangan sampai ada orang yang melihat kau datang menemui aku, biarlah dunia tetap menganggapku ”Sutaputra” tapi dirimu dan aku tahu bahwa Radheya adalah putera Kunti dan Surya, biarlah rahasia kelahiranku lenyap bersama kematianku ”

Tubuh Kunti begitu lemas, Radheya berkali kali harus memapahnya, Dia telah kehilangan puteranya selama ini dan setelah menemui Radheya dia semakin kehilangan, Pertemuan mereka hanyalah kebahagiaan sesaat seperti sinar kilat menyambar lalu lenyap saat Dunia masih gelap. Kunti dengan segala kegetiran meninggalkan Puteranya yang Mulia..............

Selesai
 
Wuaaaahhh...senangnya ada yang ikutan posting...
Mantab, Mas Sakra...

Ditunggu postingan2 selanjutnya....[<:)


-dipi-
 
Tangisan merupakan sebuah ungkapan perasaan, menangis bukan milik kaum wanita tapi milik manusia dan mereka yang punya perasaan
Tangisan pun ga melulu menunjukkan kesedihan, kadang dia adalah perwujudan rasa haru gembira, putus asa, rasa syukur dll
Menangis adalah manusiawi, begitu pula yang terjadi pada tokoh tokoh Mahabharata, saya pengen menampilkan sisi manusiawi mereka
Hampir semua tokoh tokoh utama Mahabharata pernah menangis ( saat mereka kecil dan balita jangan dihitung dong J )
Bahkan dalam versi India Bhima pun pernah menangis
Sekali lagi menangis bukan berarti lemah, cengeng dsb_nya yg berpredikat tidak baik, tapi Tangis adalah cara manusiawi dalam mengungkapkan perasaan

Tokoh yang ingin saya tampilkan adalah Duryodhana atau Suyodhana
Anda mungkin sangat mengenal tokoh ini, dialah salah satu tokoh sentral dan penyebab terjadinya perang besar dan kemusnahan para kshatriya , dalam penggambaran karakter adalah sosok bengis dan ambisius, licik dan pengecut dan segudang label jelek lainnya
Namun dalah Mahabharata versi India tokoh ini digambarkan memiliki sifat sifat yang mulia juga, dia digambar sebagai tokoh pemberani, dermawan, perasa disamping sifatnya yang buruk.
Namun bagaimanapun juga Duryodhana adalah cerminan yang dimiliki hamper setiap manusia dimuka bumi ini, dimana akibat sifat buruk akan membuatnya kehilangan segala kebaikan yang ada pada dirinya
Dan menurut saya keburukan Duryodhana berpangkal pada sifat buruknya yaitu iri hati


Iri hati terhadap Yudhistira yang dijadikan yuvaraja (putra mahkota) membuatnya menuntut pada sang ayah Dhritharashtra agar dijadikan Raja, atas petunjuk Bhisma maka Hastina dibagi menjadi dua, bagian Kandavaprastha diserahkan pada pandava, yang nanti lebih dikenal dengan nama Indraprastha


Iri hati atas kejayaan sepupunya karena berhasil mengadakan Rajasuya ( penobatan raja besar/ raja diraja) membuatnya ingin merebut kerajaan Pandava, atas usul Sakuni sang paman maka terjadilah permainan Dadu itu.

Well kiranya cukup pendahuluannya, selanjutnya saya mengajak anda menyimak hal yang jarang diungkap ato mungkin sering terlewati dari Pangeran Kuru ini, sesuai topic adalah saat Duryodhana menangis


Duryodhana Menangis
 
Back
Top