Berbagai Permasalahan

nurcahyo

New member
PENELITIAN PENGOBATAN KOMPLEMENTER DAN ALTERNATIF :
BERBAGAI PERMASALAHAN

Dr. Yuda Turana

When a thing ceases to be a subject of controversy, it ceases to be a subject of interest ( William Hazlitt ; 1778 ? 1830 )

Perbedaan mendasar PKA dengan kedokteran konvensional lebih kepada tidak adanya dasar penelitian (1). Sebenarnya penelitian mengenai PKA ini sudah banyak dilakukan namun berbagai permasalahan seperti kelemahan metodologi penelitian maupun intepretasi akhir hasil penelitian yang berbeda mengakibatkan PKA belum dapat diterima secara luas pada kalangan medis (2,3,4).

Jenis PKA sangat beragam dan biasanya sangat dipengaruhi oleh kultural, lokasi geografi, kepercayaan dan menggunakan multimodalitas terapi (1,4). Sistem kesehatan di Inggris membagi PKA berdasarkan profesionalisme dan banyaknya penelitian pendukung (5), yaitu :

1. Group 1 : merupakan terapi alternatif yang secara profesional terorganisasi yang meliputi :akupuntur, chiropractic, pengobatan dengan tanaman obat, homeopati, osteopati.
2. Group 2 : Terapi komplementer yang terdiri dari : teknik alexander, aromaterapi, pijat, terapi konseling, hipnoterapi, meditasi, refleksiologi, shiatsu, terapi ayurvedic Maharishi , terapi nutrisi, yoga
3. Group 3 : disiplin alternatif lain seperti terapi tanaman obat china, terapi tradisional china, terapi kristal, iridologi,terapi ayurvedic, kinesiologi, radionik, pendulum , naturopati.

Variasi praktisi PKA untuk suatu jenis terapi yang sama sangat besar , seperti banyak pendekatan dari praktisi Chiropractic dan akupuntur untuk diagnosa penyakit konvensional yang sama pendekatan terapi bisa berbeda (2,3,4). Sebagai contoh pada terapi akupuntur terdapat variasi yang besar terhadap titik yang digunakan maupun jumlah jarum yang digunakan (2,3).

Hasil penelitian PKA seringkali variasinya besar atau tidak konsisten dan metodologi penelitiannya tidak adekuat. Pada systematic review menemukan bahwa banyak uji klinik pada PKA mempunyai kelemahan yang mendasar, seperti : kelemahan kemaknaan statistik, kontrol yang kurang, inkonsistensi dari hasil pengobatan, kurangnya perbandingan dengan jenis pengobatan lama, dengan plasebo maupun keduanya (3,4,6).

Peneliti seringkali hanya meneliti satu atau dua intervensi yang dilakukan dari seluruh intervensi yang dilakukan oleh pengobat ? holistik? tersebut. Sebagai contoh : ratusan penelitian telah dilakukan untuk melihat efektifitas akupuntur tersendiri untuk mengobati asma, nyeri, hipertensi, muntah, sedangkan dalam praktek sehari-hari akupuntur hanya satu dari sekian banyak intervensi yang dilakukan oleh seorang ahli akupuntur selain dari terapi dengan menggunakan tanaman obat, cupping, perubahan pola makan, terapi fisik, moksibusi, dan pemijatan (3,6). Peneliti dihadapkan pada pembuatan metodologi penelitian intervensi tunggal yang keakuratannya tidak merefleksikan praktik sehari-hari atau peneliti sering dihadapkan pada metodologi penelitian dengan berbagai intervensi yang cukup komplek, seperti kesulitan dalam membuat plasebo pada kelompok kontrol ( 1,4,6).

Permasalahan pada saat uji klinik tersamar ganda pada PKA adalah luasnya kriteria eksklusi yang akan menurunkan partisipasi pasien dan sulitnya pada saat generalisasi hasil penelitian. Pada pengobatan dengan suplemen makanan, pasien yang sangat menginginkan terapi menolak randomisasi dan bila menerima, akses yang mudah dari suplemen makanan dan intervensi alternatif lainnya akan memperbesar ?likelihood cheating? dari kelompok kontrol (3). Selain itupula penggunaan plasebo pada pengobat alternatif menimbulkan kesulitan tersendiri karena pada pengobatan alternatif seringkali adanya interaksi yang intensif antara pengobat dan pasien yang sebenarnya pula menimbulkan efek plasebo (1,3).

Kontradiksi bukti ilmiah dan scientific judment

Penulis menggunakan Homeopati sebagai contoh untuk mendiskusikan mengenai evaluasi PKA karena Homeopati mempunyai perjalanan panjang evaluasi penelitian ilmiah dan sudah dilakukan uji klinik tersamar ganda (4,7).

Homeopati dipopulerkan di Jerman oleh Samuel Hanemann ( 1755- 1843 ). Prinsip pengobatan dengan Homeopati adalah : apapun gejala yang ditimbulkan oleh suatu substansi pada orang sehat, penyakit dengan gejala yang sama akan dapat disembuhkan dengan jumlah yang sangat kecil substansi tersebut ( similia similibus curentur , like cures like ) (7,8,9) . Sebagai contoh : sediaan homeopati Allium cepa berasal dari bawang. Kontak dengan bawang seperti diketahui dapat menimbulkan iritasi sekitar mata dan hidung , lakrimasi, dan keluarnya sekret jernih dari hidung. Maka Allium cepa dapat diresepkan pada pasien dengan Hay fever khususnya bila ada gejala iritasi mata dan hidung (9). Sediaan Homeopati sering diencerkan sampai mencapai bilangan avogadro ( 10 pangkat 23 ) dengan tidak satupun molekul aktif yang masih tersisa dalam larutan tersebut. Homeopati mengklaim bahwa semakin diencerkan substansi tersebut maka semakin besar efek dari subtansi tersebut ( less become more ). Secara ilmiah ( pemikiran kedokteran modern ) hal ini tidak masuk akal karena bagaimana mungkin ada efek farmakologi pada larutan dengan tidak satupun molekul aktif yang tersisa. konsep dasar homeopati ini sangatlah bertentangan dengan konsep fisika modern.

. Banyaknya bukti positif uji klinik pada homeopati sangatlah mengejutkan bagi kedokteran konvensional (4,7). Kalangan medis tidak sepenuhnya menerima hasil uji klinik tersebut karena konsep dasar homeopati yang kontroversial. Bagaimana masyarakat ilmiah mempercayai suatu bukti empiris tergantung pada keyakinan sebelumnya dan kualitas dari bukti yang didapat tersebut. Setelah membaca mengenai bukti ilmiah yang banyak tentang homeopati maka kemungkinan ada 3 sikap dari masyarakat ilmiah : masyarakat kritis yang tidak mempercayai efektifitas dari homeopati mungkin tetap tidak mempercayainya., masyarakat yang mengalami keraguan mungkin akan mendapat pandangan yang lebih optimistik, dan bertambah yakinnya masyarakat yang sebelumnya sudah percaya mengenai efektifitas homeopati (4).

Sebenarnya pengobatan dengan cara Homeopati ini sudah diperdebatkan sejak satu setengah abad yang lalu sampai akhirnya sudah pula dilakukan meta-analisis terhadap 89 uji klinik tersamar ganda membuktikan efek positif dari Homeopati bukanlah akibat dari plasebo (10).

Hasil meta-analisis ini memperpanjang perdebatan baru dan kemudian dilakukan re-analisis dari meta-analisis dengan menggunakan meta-regresi. Hasilnya : efek positif yang diperlihatkan oleh Homeopati adalah akibat dari metodologi penelitian yang tidak adekuat, jumlah sampel yang kecil dan adanya bias publikasi (2,11). Penulis meta-analisis Homeopatipun menegaskan kembali bahwa hasil analisis meta-regresi tidak membuktikan efek positif dari Homeopati semata-mata akibat plasebo (2).

Debat berkepanjangan mengenai homeopati ini memberikan pelajaran untuk kita , bila suatu saat dilakukan uji klinik terhadap suatu PKA, menjadi pertanyaan lebih lanjut : Apakah suatu terapi yang memberikan hasil bermakna secara statisitik ( dengan menggunakan uji klinik tersamar ganda ) diterima hanya bila cara kerja pengobatan tersebut ?masuk akal? ?. Dalam praktik sehari-hari jika terapi tersebut memang bermanfaat sebenarnya pengetahuan mengenai mekanisme kerja tidaklah terlalu penting (4). Akhir dari tulisan ini saya mencoba mengutip perkataan dari Vandenbronche (2) : When reflecting on own behavior in several controversies, we recognize that sometimes we accept the evidence from randomized trial and overturn a theory- however beautiful it was- but that at other times we stick with the theory and dismiss the evidence.

SIMPULAN

Penelitian PKA mempunyai beberapa permasalahan terutama dari sudut metodologis. Hasil akhir penelitian uji klinis positif belum sepenuhnya diterima oleh semua pihak karena seringkali konsep dasar PKA bertentangan dengan konsep dasar ilmu kedokteran modern
 
Back
Top