Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Update: Mata Keranjang & Hidung Belang)

Dipi76

New member
Postinglah hal2 yang ringan, yang nggak perlu pembahasan yang rumit, di Thread ini. Hal2 yang sekiranya terlalu ringan untuk dibuatkan Thread tersendiri, bisa digabungkan di sini.

Dalam cerita dan ilmu sejarah, banyak hal yang unik dan ringan yang terjadi. Marilah kita rangkum hal2 itu di sini...


-dipi-
 
Last edited:
Re: Cerita-Cerita Ringan dan Unik Dalam Sejarah

20 Kisah Kebetulan yang Unik di Zaman Dulu


Kisah-kisah kebetulan yang aneh dan unik yang terkenal ini bukan fiksi. Ini sungguhan. Terserah, Ada maknai apa semua ini. Inilah 20 kisah itu:

  1. Pada tahun 1979, majalah German - Das Besteran – mengadakan lomba mengarang.
    Para penulis harus mengirimkan cerita yang tidak biasa, tapi harus berdasarkan kisah nyata. Pemenangnya, Walter Kellner dari Munich, akhirnya memenangkan lomba itu dan ceritanya dimuat. Ia menulis tentang saat ia menerbangkan pesawat Cessna 421 antara Sardinia dan Sicily. Pesawatnya mengalami masalah di laut, mendarat di atas air, akhirnya ia terapung-apung dgn pelampung darurat cukup lama sebelum akhirnya diselamatkan. Cerita ini tak sengaja dibaca oleh seorang warga Austria, yang namanya juga Walter Kellner, yang menuduh si Kellner dari Jerman telah menjiplak ceritanya. Kellner dari Austria mengatakan bahwa ia menerbangkan pesawat Cessna 421 melewati laut yang sama, mengalami masalah mesin, dan akhirnya harus mendarat di Sardinia. Jadi intinya, itu cerita yang sama, tapi dengan akhir yang berbeda. Majalah tersebut mengecek kebenaran cerita mereka berdua, dan dua2nya ternyata benar, bahkan nyaris sama persis.
  2. Pada 28 Juli 1900, Raja Italia Umberto I makan malam di sebuah restoran di kota Monza. Ternyata si pemilik restoran wajahnya sama persis dengan raja. Nama pemilik restoran itu juga Umberto, dan nama istrinya juga sama dengan nama ratu, bahkan restoran itu dibuka pada tanggal yang sama dengan pelantikan raja. Si pemilik restoran Umberto mati tertembak keesokan harinya. Begitu pula Raja Umberto.
  3. Claude Volbonne membunuh Baron Rodemire de Tarazone dari Perancis pada tahun 1872. 21 tahun sebelumnya, ayah Baron telah dibunuh juga oleh seseorang yang lain yg juga bernama Claude Volbonne
  4. Pada 13 February 1746, seorang Perancis, Jean Marie Dubarry, dieksekusi karena telah membunuh ayahnya.
    Tepat 100 tahun kemudian, tanggal 13 February 13, seorang Perancis juga, yang juga bernama Jean Marie Dubarry, dieksekusi – juga karena membunuh ayahnya.
  5. Pada tanggal 26 November 1911, tiga orang pria dihukum gantung di Greenberry Hill di London setelah terbukti bersalah atas pembunuhan Sir Edmund Berry. Nama mereka bertiga antara lain Green, Berry dan Hill.
  6. Aktor asal British Anthony Hopkins senang sekali saat ia mendapatkan peran utama dalam film yang berdasarkan sebuah buku berjudul The Girl From Petrovka yang ditulis George Feifer. Beberapa hari setelah menandatangani kontrak, Hopkins pergi ke London untuk membeli buku tersebut. Ia mencoba beberapa toko buku tetapi tidak ada yang menjualnya. Saat menunggu kereta pulang di Leicester Square, ia melihat ada sebuah buku yang tergeletak begitu saja di kursi tunggu. Ajaibnya, ternyata itu buku The Girl From Petrovka. Ternyata kebetulan itu tidak sampai di situ saja.

    Dua tahun kemudian, saat sedang syuting film di Vienna, Hopkins dikunjungi oleh George Feifer, pengarang buku tersebut. Feifer menyebutkan bahwa ia kehilangan buku miliknya sendiri. Ia meminjamkan buku miliknya – dengan beberapa catatan tulisan tangannya sendiri – kepada temannya, yang kemudian kehilangan buku itu di suatu tempat di London. Dengan terheran-heran, Hopkins memberikan Feifer buku yang ia temukan. 'Ini bukunya?' tanyanya, 'dengan catatan di pinggiran halamannya?' Itu buku yang sama.
  7. Seorang petugas Inggris, Major Summerford, ketika sedang bertempur di daerah Flanders pada February 1918 terjatuh dari kudanya karena tersambar petir dan ia menjadi lumpuh dari pinggang ke bawah. Summerford pensiun dan pindah ke Vancouver.

    Satu hari pada tahun 1924, saat ia memancing di pinggir sungai, sebuah petir menyambar pohon di mana ia sedang duduk dan melumpuhkan tubuh bagian kanannya. Dua tahun kemudian Summerford sudah cukup pulih dan sudah bisa berjalan-jalan di taman. Dan ia sedang berjalan2 di taman itu di musim panas pada tahun 1930 saat sebuah petir kembali menyambarnya, dan akhirnya melumpuhkannya secara permanen. Ia meninggal dua tahun kemudian. Tetapi petir nampaknya belum puas dan masih mengejarnya. Empat tahun kemudian, saat badai, petir menyambar kuburan dan menghancurkan sebuah batu nisan. Siapa yang terkubur di bawah nisan itu? Major Summerford
  8. Pada tahun 1899 sebuah petir membunuh seorang pria saat ia berdiri di halaman belakangnya di Taranto, Italy. 30 tahun kemudian, anaknya mati dengan cara yang sama di tempat yang sama. Pada 8 October 1949, Rolla Primarda, cucu dari korban pertama dan anak dari korban kedua, menjadi korban yang ketiga.
  9. Henry Ziegland mengira ia sudah berhasil menghindar dari takdirnya. Pada tahun 1883, ia memutuskan hubungan dengan pacarnya. Karena stress gadis itu kemudian bunuh diri. Kakak laki2 gadis itu sangat marah sehingga ia mengejar Ziegland dan menembaknya. Pria itu setelah mengira ia telah membunuh Ziegland, menggunakan pistolnya untuk membunuh dirinya sendiri. Tetapi Ziegland belum mati. Peluru tersebut, ternyata hanya menggores wajahnya dan bersarang di sebuah pohon. Ziegland jadi yakin bahwa ia pria yang beruntung. Tapi beberapa tahun kemudian, Ziegland memutuskan untuk menebang pohon itu, yang masih ada peluru di dalamnya. Tugas itu nampaknya sulit sehingga ia memutuskan untuk meledakkannya dengan beberapa dinamit. Ledakan itu melontarkan peluru tersebut ke kepala Ziegland dan membunuhnya
  10. Cerita tentang kembar identik yang nyaris sama hidup bersama biasanya menakjubkan, tapi mungkin tidak ada yang bisa menyamai cerita dua kembar identik yang lahir di Ohio. Kakak adik kembar itu terpisah saat lahir, diadopsi oleh keluarga yang berbeda. Meski tak saling mengenal, kedua keluarga yg berbeda sama-sama menamai mereka James. Dan kebetulannya belum berhenti sampai di situ saja. Kedua James tumbuh besar tak saling mengenal, tetapi keduanya mencari pelatihan law-enforcement training, keduanya sama-sama memiliki kemampuan dalam menggambar mekanik dan pertukangan, dan mereka sama-sama menikahi wanita yang bernama Linda.

    Mereka berdua punya putra, yang satu dinamai James Alan dan yang satu lagi menamai anaknya James Allan. Kedua kembar itu juga menceraikan istri mereka, dan menikahi wanita lain – yang sama-sama bernama Betty. Dan mereka sama-sama punya anjing yang diberi nama Toy. Empat puluh tahun setelah mereka terpisah, kedua kembar itu berkumpul kembali, dan kemudian berbagi cerita kehidupan mereka yang ternyata mirip satu sama lain (Source: Reader’s Digest, January 1980)
  11. Pada abad 19, penulis horror terkenal, Egdar Allan Poe, menulis sebuah buku berjudul ‘The narrative of Arthur Gordon Pym’.

    Buku itu mengisahkan empat orang yang berhasil selamat dari kecelakaan di laut, mereka berada di kapal di laut terbuka berhari-hari sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk membunuh dan memakan petugas kabin yang bernama Richard Parker.

    Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1884, sebuah kapal, Mignonette, tenggelam. Yang selamat hanya 4 orang, yang berada di kapal kecil berhari-hari. Kemudian diketahui, anggota kru yang lebih senior, membunuh dan memakan petugas kabin. Nama petugas kabin itu Richard Parker
  12. Pada tahun 2002, dua pria bersaudara kembar berumur 70 tahun mati dalam jam yang sama di jalan yang sama tapi kecelakaan yang berbeda di Finlandia.

    Kakak kembarnya mati saat ia tertabrak kereta lori saat ia mengendarai sepedanya di Raahe, 600 kilometer dari Helsinki. Ia mati hanya 1.5 km dari tempat di mana saudaranya dibunuh. “Ini benar-benar kebetulan yang pantas diingat. Meskipun jalannya cukup padat, tapi kecelakaan tidak terjadi setiap hari,” Petugas polisi Marja-Leena Huhtala saat diwawancara Reuters mengatakan “Aku jadi merinding saat aku tahu mereka ternyata bersaudara dan kembar identik. Aku jadi berpikir mungkin yang di atas sana punya rencana untuk hal ini.” (Source: BBC News)
  13. Joseph Aigner adalah seorang pelukis potret pada abad 19 di Austria yang nampaknya seorang pria yang tidak bahagia. Ia beberapa kali mencoba bunuh diri. Pertama kalinya, saat berusia 18 tahun ia mencoba gantung diri, tetapi dicegah oleh kehadiran seorang biksu Capuchin yang misterius. Waktu berusia 22 tahun ia mencoba gantung diri lagi, tetapi ia lagi2 diselamatkan oleh biksu yang sama. Delapan tahun kemudian, ia diajukan ke tiang gantungan karena kegiatan politiknya. Sekali lagi, hidupnya diselamatkan oleh campur tangan biksu yang sama. Pada usia 68, Aiger akhirnya berhasil bunuh diri, kali ini menggunakan pistol. Upacara pemakamannya dipimpin oleh biksu Capuchin yang sama – seorang pria yang bahkan Aiger saja tak pernah tahu namanya. (Source: Ripley’s Giant Book of Believe It or Not!)
  14. Pada tahun 1858, Robert Fallon ditembak mati oleh teman-teman main pokernya. Fallon, menurut mereka, telah memenangkan $600 dengan cara curang. Setelah posisi Fallon kosong dan tak ada satu pemain pun yang bersedia mengambil uang $600 yang penuh kesialan itu, mereka kemudian menemukan pemain baru untuk menggantikan posisi Fallon dan memberikannya uang orang mati $600 tersebut untuk dipertaruhkan. Saat polisi tiba untuk menyelidiki pembunuhan, pemain baru itu telah melipatgandakan uang $600 jadi $2,200. Polisi meminta agar $600 yang asli diberikan kepada keturunan Fallon – dan ternyata pemain baru tersebut adalah anak Fallon, yang sudah tak pernah bertemu dengan ayahnya selama 7 tahun! (Source: Ripley’s Giant Book of Believe It or Not)
  15. Ketika Norman Mailer memulai novelnya Barbary Shore, ia tak berencana menggunakan mata-mata Rusia sebagai karakter dalam novelnya. Namun sembari ia menulis, ia mulai memperkenalkan mata-mata Rusia sebagai karakter kecil. Semakin ia menulis, mata-mata tersebut menjadi karakter yang dominan. Setelah novelnya selesai, U.S. Immigration Service menahan seorang pria yang tinggal satu lantai di atas Mailer di apartemen yang sama.
    Ia adalah Colonel Rudolf Abel, yang dicurigai sebagai mata-mata Russian kelas atas yang bekerja di U.S. saat itu. (Source: Science Digest)
  16. Pada tahun 1920, tiga orang pria Inggris bepergian menggunakan kereta melalui Peru. Pada saat mereka berkenalan, hanya ada mereka di ruangan tersebut. Perkenalan mereka tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Pria pertama nama akhirnya Bingham, dan pria kedua nama akhirnya Powell. Pria yang ketiga ternyata bernama Bingham Powell. Mereka bertiga tidak berhubungan sama sekali.
  17. Pada tahun 1975, saat sedang mengendarai motor di Bermuda, seorang pria tak sengaja tertabrak mati sebuah taxi. Satu tahun kemudian, kakak laki2 dari pria ini mati dengan cara yang sama. Bahkan, ia mengendarai motor yang sama. Tak hanya itu, ia juga ditabrak oleh pengendara taxi yang sama, bahkan taxi itu sedang membawa penumpang yang sama!
  18. Tahun 1950 di kota Nebraska 15 orang anggota paduan suara seharusnya berkumpul di gereja pada jam 7.20, dalam hidupnya mereka jarang sekalit terlambat, bahkan hampir tidak pernah, tp mereka semua datang terlambat pada hari itu karena berbagai alasan, tiba2 saja pada jam 7.25, gereja itu hancur ditabrak pesawat. 15 orang itu selamat secara kebetulan
  19. Tahun 1976 seorang bayi jatuh dari lantai 14 dan mendarat tepat dalam pelukan seorang pria inggris yang bernama Joseph Figlock, setahun kemudian seorang bayi kembali jatuh dari lantai yang sama, dan kembali diselamatkan oleh Joseph Figlock
  20. Seorang wanita belanda menemukan cincinnya sendiri yang telah lama hilang, dalam kentang yg hendak ia makan, kemungkinan cincin tersebut jatuh ke ladang kentang dan akhirnya berada dalam kentang

Source


-dipi-
 
Re: Cerita-Cerita Ringan dan Unik Dalam Sejarah

Kenapa Donat Berlubang


Bila Anda penggemar kue donat, kurang mantap rasanya bila tak mengetahui asal-usul kenapa donat harus berlubang di bagian tengah.

Ternyata, dahulu ada seorang nahkoda asal Denmark bernama Hanson Gregory yang ingin dibuatkan kue yang cocok untuk dibawa berlayar. Seperti kamu ketahui bahwa di laut saat ombak besar tentu kapal beserta isinya akan bergoyang-goyang.

Akhirnya sang nakhoda mendapatkan bentuk kue yang cocok untuk konsidi tersebut. Yaitu kue yang bagian tengahnya berlubang, sehingga dia bisa meletakkannya di sisi roda kemudi. Kamu pasti juga bagaimana bentuk kemudi kapan laut kan?

Nah dengan "menancapkan" kue itu di kemudi, sang nakhoda tidak perlu lagi khawatir kuenya akan berceceran saat kapal menghadapi ombak besar.

Namun benarkah cerita itu? Donat adalah kue yang dibuat dengan cara di goreng diatas minyak (seperti halnya ibu kamu membuat pisang goreng) Bahan baku donat adalah seperti halnya roti yaitu diberi ragi supaya bisa "mengembang".

Nah jadi saat adonan donat itu digoreng, akan mengembang dan "menggelembung" ke segala arah. Satu-satunya cara supaya bentuk kue itu nantinya bundar pipih (bukan bulat) adalah dengan cara memberi lubang di bagian tengahnya (seperti halnya ban dalam).

Cara membuat lubang pada donat pun bisa dengan cara tradisional, yaitu membuat adonan berupa silinder panjang yang kemudian di satukan ujung-ujungnya, atau dengan cara moderen dengan sebuah cetakan yang sudah berlubang di bagian tengahnya.

Source: Joepastry.com


-dipi-
 
Re: Cerita-Cerita Ringan dan Unik Dalam Sejarah

Sambal Setan

Kebanyakan lidah orang Indonesia menganggap makan tanpa sambal terasa belum lengkap. Hampir semua masakan Nusantara selalu diiringi dengan sambal. Bahkan di Menado, pisang goreng pun dimakan dengan sambal. Kalau pun sambal tak tersedia di meja, beberapa potong gerusan cabai merah atau beberapa potong cabai rawit dicepluskan ke mulut sebagai teman makan.

Perkara kebiasaan makan sambal ini terbawa sampai di luar negeri. Alasannya, masakan yang disantap terasa hambar, belum pedas. Apalagi bila ada sambal yang tersedia pun tidak sepedas sambal dari tanah air. Maklum saja lidah dan perut orang asing berbeda dengan kita. Oleh karena itu sambal botolan menjadi pilihan untuk dibawa. Untungnya ada sambal botolan. Coba bila harus mengulek sendiri dengan membawa serta cobek batunya. Bayangkan berapa berat bagasi yang harus dibawa.

Mengapa sambal begitu populer di Nusantara dan nyaris menjadi makanan utama, bukan sekedar pelengkap? Hal ini dikarenakan seni kuliner Nusantara bersifat koud eten (hidangan dingin). Sehingga cabai menjadi hal penting dalam setiap masakan. Rasa pedas cabe tidak hanya memberikan rasa yang menggugah selera tetapi juga memiliki fungsi sebagai pengganti temperatur panas.

Jacob de Bondt alias Bontius, dokter VOC yang juga dokter pribadi Jan Pieterszoon Coen pernah menyebut adanya Ricino Brasiliensi atau lada Chili vocato. Menurutnya ini adalah lombok, cabai merah atau yang dikenal sebagai cabai Brazil. Orang Brazil sendiri menyebutnya Chili lada. Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal kata nama ricino dari recche atau reche berasal dari bahasa Portugis. Kata ini mengingatkan kita pada kata rica yang juga mengacu pada cabai atau lombok. Tentu kita ingat ‘rica-rica’, masakan khas Menado. Namun, kata reche menurut pendeta P.J Veth tidak ditemui dalam kamus Portugis. Veth berpendapat bahwa yang disebut Spaanse peper, cabai Spanyol adalah Capsicum alias cabai Brazil. Pendapatnya ini juga menolak anggapan bila cabai dibawa oleh orang Portugis dari West Indien/Hindia Barat (Amerika Tengah dan Selatan) ke Hindia Timur pada penghujung abad ke-16.

Pendapat Veth beralasan bahwa cabai pun telah ada sebelumnya. Seperti yang diungkapkan oleh arkeolog Titi Surti Nastiti bahwa cabai pada masa Jawa Kuno telah menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual. Bahkan menurut Nastiti dalam teks Ramayana dari abad ke-10, cabai juga sudah disebut sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan.

Namun, setidaknya kata reche atau ritsjes pernah populer pada 1669 yang dapat diketahui dari syair Van Overbeeke di Batavia:
“Soya, Gengber, Loock en Ritsjes Maeckt de maegh wel scharp en spitsjes”.
(Kedelai, jahe, bawang putih dan cabai Membuat perut melilit karena pedas dan diaduk-aduk)

Pendeta Valentijn pun menyebutkan ada tiga jenis cabai merah. Yaitu cabai merah besar, cabai merah kecil dan cabai kecil yang berwarna kekuningan.

Hal yang mengerikan sehubungan dengan cabai ini adalah sebagai alat untuk menghukum para kuli kontrak perempuan di Sumatra pada akhir abad ke-19 yang dianggap menentang perintah. Jan Breman dalam Koelies, planters en koloniale politiek, Het arbeidregime op de grootlandbouwondernemingan aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw (1992) menuliskan bahwa para kuli perempuan itu diikat di tonggak berposisi salib , lalu kemaluan mereka digosok dengan cabai.

Sebaliknya para budak pada masa VOC yang mahir membuat sambal mendapatkan tempat ‘khusus’ karena disenangi para majikannya. Bisa jadi ‘harga pasaran’ mereka menjadi cukup tinggi.

Sementara itu dalam turisme, sambal pun mendapat catatan tersendiri. Dalam beberapa buku panduan turisme dituliskan peringatan kepada para calon turis untuk “berhati-hati” dalam mengkonsumsi sambal yang pedas karena ini berurusan dengan kesehatan perut. Tentu tidak akan mengesankan bila liburan terganggu karena masuk rumah sakit gara-gara menikmati sesendok sambal.

Namun, tetap saja ada juga turis yang tetap nekat ingin mencicipi. Seperti pengalaman dari Justus van Maurik, pengusaha cerutu asal Amsterdam yang mengunjungi Batavia akhir abad ke-19. Ia menuturkan: “ Salah satu dari hidangan dalam rijsttafel yang menarik perhatian saya adalah Spaanse peper (lada Spanyol/cabai rawit). Suatu kali saya pernah melihat seorang nona muda dengan pipinya yang kemerahan menikmati lada spanyol seperti menikmati permen bon-bon. Matanya tidak berair. Rasanya, saya tak akan bisa menikmati hidangan itu seperti dirinya karena saya pernah merasakan pedasnya Lombok setan itu. Mulut saya terbuka dan mata sepertinya mau keluar karena rasa panas dan pedas. Rasanya mau meledak. Ini semua gara-gara rasa penasaran dan bisikan pelayan yang menawari saya sambil berbisik: Sambal, toewan?”

Demikian pula pengalaman jurnalis perempuan yang juga seorang guru, Augusta de Wit yang juga mengunjungi Batavia. Pengalamannya yang tak akan terlupakan adalah ketika ia untuk pertama kali mencicipi sambal. Bibirnya langsung gemetar kepedasan. Leher terasa panas seperti terbakar sehingga harus diguyur air. Sementara itu air mata bercucuran. Untunglah ada seorang pengunjung yang kasihan dan menyarankan agar ia menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun menuruti nasihat itu dan tak lama kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun, ternyata ia melanggar sumpahnya tersebut. Ia malah suka dan terbiasa dengan hidangan pedas itu.

Louis Couperus dalam Oostwaarts (1992, 1924) mengingatkan para turis yang belum pernah mencicipi dasyhatnya sambal oelek untuk berhati-hati. “Sebaiknya,” tulis Couperus, “…sambal itu jangan dicampur di nasi, tetapi letakkan di pinggir piring.” Lalu “Setiap suap nasi yang diiringi daging ayam, sapi atau ikan dicocolkan sedikit sambal.”

Memang selain garam, sebagai cara menghilangkan rasa pedas membakar di mulut, dianjurkan meneguk susu, yoghurt. Jangan minum air apalagi air es. Bergelas-gelas air tak akan mampu memadamkan panasnya cabai. Selain susu, bisa juga dengan mengunyah roti, kerupuk, nasi tapi tentunya jangan dicocolkan ke sambal lagi.

Dalam buku resep lama, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek karya J.M.J Catenius van der Meijden (1903) yang juga buku pegangan wajib para perempuan Belanda sebelum datang ke Hindia, tercantum resep “Sambal Bajak”. Sambal ini berpenampilan kasar, persis sawah yang baru dibajak. Atau “Sambal Serdadu”, sambal terasi yang khusus disiapkan untuk bekal para serdadu pada saat ekspedisi atau bertempur. Bahkan pada masa itu, para keluarga Indo ada yang gemar mengoleskan sambal sebagai beleg (isi roti) di atas rotinya. Hmm lekker, zeg !(Hmm lezat!)

Ketika berkunjung ke Belanda untuk pertama kali, saya yang lumayan doyan sambal disuguhi “Sambal Setan”. Terbayang di benak saya, rasa pedas yang luar biasa. Namun, kekecewaanlah yang saya terima. Sambal Setan tidak “se-setan” dan seseram namanya karena minus rasa pedas. Rasanya hanya agak asin manis.


-dipi-
 
Re: Cerita-Cerita Ringan dan Unik Dalam Sejarah (Lastest: Sambal Setan)

Naik Haji

Menurut catatan sejarah, pada abad ke-17 dan 18 sudah ada jemaah haji dari Nusantara. Tentunya ketika itu perjalanan menuju Mekkah tidak sekedar ritual belaka melainkan perjalanan menantang maut karena sarana transportasi yang digunakan yaitu masih kapal layar. Perjalanan pun dilakukan jauh-jauh sebelumnya, bahkan jika perlu para calon haji bermukim setahun sebelum musim haji tiba. Di Mekkah mereka berguru pada ‘guru-guru’ terkenal dari tanah kelahiran nabi.

Pada masa pemerintahan Raffles (1811-1814), mereka menganggap agama Islam unsur yang sangat berbahaya. Dalam History of Java (1817) disebutkan dua aspek negatif mengenai para haji. Pertama, mereka dianggap sebagai orang istimewa dan suci sehingga rakyat sederhana menganggap mereka memiliki kekuatan gaib. Selanjutnya, para haji dianggap mempunyai pengaruh politik dan sering berperan sebagai pemimpin pemberontakan terhadap orang Eropa.

Di sini jelas bahwa haji kerapkali dikaitkan dengan kegiatan politis. H.J. de Graaf dalam Geschiedenis van Indonesië menuliskan, Pangeran Diponegoro yang dikhianati oleh Jenderal De Kock pada 1830 ditolak keinginannya untuk menjalankan ibadah haji ke Mekkah. Alasannya, pemerintah kolonial tak ingin mengambil resiko jika Pangeran Diponegoro diberikan izin menunaikan ibadah haji, maka kesempatan ‘berguru’ di tanah nabi akan terbuka lebar. Mereka khawatir Pangeran Diponegoro akan melakukan ‘pemberontakan’ yang lebih hebat lagi. Apalagi pada masa itu gerakan Pan-Islamisme mulai muncul di mana-mana.

Menariknya, seabad kemudian yaitu pada 26 Desember 1960, Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat RI ketika itu justru menawarkan kepada Kartosuwiryo, pimpinan Darul Islam untuk menjalankan ibadah haji ke Mekkah atas biaya pemerintah. Tetapi dengan syarat ia berjanji memperbaiki dirinya dan berhenti bergerilya.

Ada pula kebijakan pemerintah kolonial terhadap para haji di Hindia Belanda pada masa kolonial. Ordonansi itu tercantum dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indië tahun 1859 No 42. Salah satu isi peraturan itu adalah sekembali dari ibadah haji, seseorang harus mengikuti ujian haji dan harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Ujian itu dilakukan oleh bupati dan kyai yang ditunjuk. Bila seseorang lulus, maka ia berhak menyandang gelar haji dan mengenakan busana haji khusus. Sebaliknya, bila gagal tapi ia nekad mengaku-aku dirinya haji dan mengenakan pakaian haji, maka ia didenda 25 hingga 100 gulden. Kebijakan tersebut dikecam oleh Snouck Hurgronje, seorang orientalis dan ahli Islam. Baru pada awal abad ke-20 kebijakan ini dihapus.

Perihal pakaian haji yang lengkap dengan sorbannya ini pun memiliki kisah menarik. Konon ketika orang Muslim pertama dari Demak yaitu Raden Patah sesaat sebelum akan menaiki tahtanya dengan berbusana haji, ia berkali-kali jatuh sakit hingga kehilangan kesadaran alias pingsan. Penderitaan itu baru berakhir setelah ia mengenakan hiasan kepala kerajaan Jawa, demikian tulis H.J. de Graaf dalam Geschiedenis van Indonesië.

Aturan berbusana haji itu rupanya pada masa kolonial diwajibkan untuk memudahkan mengindentifikasi seseorang, khususnya bila ia bepergian. Seorang haji yang hendak bepergian dengan kereta api, ia harus naik gerbong kelas dua dan tidak diperbolehkan menumpang gerbong kelas tiga. Jika ketahuan, ia harus membayar denda.

Dalam literatur kolonial pun sosok haji yang digambarkan dengan seorang pria berpakaian Arab terkadang muncul sebagai sosok yang menakutkan dan memiliki kekuatan gaib. Simak saja Stille Kracht, karya Louis Couperus yang terbit pada 1900. Bahkan dalam beberapa karya Pramoedya Ananta Toer, haji digambarkan sebagai sosok antagonis, bukan hero.

Pada awal abad ke-20 pun ternyata sudah ada praktek percaloan jemaah haji. Maksudnya adalah para agen perantara. Mereka tentu lebih senang disebut agen karena istilah “calo” ketika belum dikenal. Para “calo” itu berupaya menghubungkan para calon haji itu dengan perusahaan pelayaran, misalnya perusahaan KPM. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan calon haji sebanyak mungkin. Maklum saja, ketika itu belum ada kuota haji. Namun, tetap saja para haji itu kelak harus didata dan dikarantina, sebelum dan setelah mereka berhaji.

Akibat ulah para agen tersebut ada istilah “Haji Singapura”. Mereka adalah yang ketika itu berniat pergi haji ke Mekkah hanya sampai di Singapura. Para calon jemaah haji itu rupanya dibohongi oleh agen “nakal” yang menjanjikan akan mengurus kelanjutan perjalanan. Namun, mereka malah diperas sehingga tak bisa melanjutkan perjalanan. Para agen itu memang tak peduli apakah seseorang mampu atau tidak, semua orang dibujuk untuk pergi haji. Di Singapura malah ada yang mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa seseorang telah melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Oleh karena biaya yang mereka miliki hanya cukup untuk pergi ke Singapura, maka “berhajilah” mereka di Singapura.

Hingga awal tahun 70-an, perjalanan menunaikan ibadah haji masih dilakukan dengan menggunakan kapal laut. Sejak 1978 perjalanan dilakukan dengan pesawat terbang. Memang pada 1966 di antara 15.983 jemaah calon haji sudah ada yang menggunakan pesawat tetapi jumlahnya hanya 373 orang.

Penggunaan pesawat terbang ini pun pada awalnya menimbulkan persoalan baru, terutama bagi para jemaah calon haji yang sama sekali belum pernah naik pesawat dan tidak dibekali “bekal” pengetahuan yang cukup. Misalnya saja mereka mengambil wudhu dan shalat sebagaimana mereka di darat. Bisa dibayangkan suasana pesawat terbang pada masa itu.

Prof. Martin Bruinessen dari Universiteit Utrecht dalam artikelnya “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci, Orang Nusantara Naik Haji” justru mengkritik hilangnya fungsi sosial dengan adanya kemajuan teknologi modern (baca: pesawat terbang) dalam ibadah haji. Jemaah haji Indonesia hanya berada beberapa minggu saja di tanah suci. Mereka tinggal bersama-sama dengan orang Indonesia lainnya sehingga kontak dengan umat Islam lainnya minim sekali. Tapi bukankah kita semua dewasa ini cenderung ingin yang praktis hingga untuk beribadah pun jika memungkinkan dilakukan dengan praktis.

Terlepas dari itu semua, menunaikan ibadah haji, pergi ke tanah suci menjadi tamu Allah, hanya diri kita dan Allah yang mengetahuinya. Di sana lah kadar keimanan dan kesabaran seseorang diuji. Apakah kita kelak mau menjadi haji yang mabrur atau haji yang mabur.


Source


-dipi-
 
Re: Cerita-Cerita Ringan dan Unik Dalam Sejarah (Lastest: Naik Haji)

Sejarah "SUSU" di Indonesia

Sejarah susu di Indonesia ini pun menarik untuk diketahui mengingat tidak semua orang mengetahuinya. Tahun 1906 atas anjuran Pemerintah Hindia Belanda, maka diimporlah beberapa jenis sapi pedaging ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan Sumba sebagai pusat pengembangbiakan ternak sapi daging dari jenis O ngole (India). Sekitar tahun ini pula, sapi perah mulai masuk ke Hindia Belanda. Namun, tahun masuknya sapi perah ini perlu dipertanyakan lagi. Alasannya, sejak akhir abad ke-19, wilayah Bandung terkenal sebagai penghasil susu sapi berkualitas tinggi di Nusantara.

Restorasi kereta pos pada awal abad ke-20 yang melewati jalur Cirebon-Bandung- Bogor – Batavia konon menghidangkan susu sapi segar kepada para penumpangnya. Lumayan sebagai pelepas dahaga dan obat lapar di perjalanan. Bahkan jauh sebelumnya , berdasarkan catatan Heer Medici pada 1786 yang melancong ke ‘Negorij Bandoeng’ dengan rombongan berkuda dari Batavia, sudah mencicipi segarnya susu Bandung tatkala rombongan sampai di Cianjur.

Menurut catatan sejarah, pada tahun 1938 di wilayah Bandung terdapat 22 usaha pemerahan susu dengan produksi 13.000 liter susu per hari. Hasil produksi susu ini semua ditampung oleh “Bandoengsche Melk Centrale” untuk diolah (pasturisasi) sebelum disalurkan kepada para langganan di dalam maupun luar kota Bandung.

Direktur B.M.C dengan nada sedikit sombong menulis: ‘Vergeet U niet, dat er in geheel Nederlandsch Oost-Indië slechts een Melk centrale is, en dat is de Bandoengsche Melkcentrale’ (Anda jangan lupa, bahwa di seantero Nusantara ini cuma ada satu Pusat Pengolahan Susu dan itu adalah Bandoengsche Melk Centrale)

Dari sejarah persusuan di Indonesia, di wilayah Bandung ada 3 perusahaan pemerahan susu (Boerderij) yang terkemuka. Mereka inilah yang merupakan cikal bakal usaha peternakan sapi perah dari jenis unggul yang didatangkan dari Friesland, salah satu propinsi di Belanda.

Model peternakan sapi perah yang terkenal adalah perusahaan ‘Generaal de Wet Hoeve’ milik Tuan Hirschland dan Van Zijll di Cisarua, kabupaten Bandung. Mereka inilah yang pertama kali mendatangkan sapi perah Friesland ke Nusantara pada awal abad ke-20.

Kemudian tercatat pula Lembangsche Melkerij ‘Ursone’, sebuah perusahaan pemerahan susu di Lembang yang didirikan oleh tiga diantara empat bersaudara Ursone pada tahun 1895. Keluarga Ursone yang berkebangsaan Italia ini terkenal sebagai pemain musik gesek ulung di kota Bandung. Usaha keluarga Ursone diawali dengan 30 ekor sapi dengan hasil hanya 100 botol per hari. Kemudian pada tahun 1940 telah berkembang menjadi 250 ekor sapi dengan produksi ribuan liter susu perhari.

Selain kedua perusahaan ini, di Pangalengan, sekitar danau Cileunca, ratusan ekor sapi perah diternakkan orang Eropa di sana. Begitu banyaknya sapi perah bibit luar negeri di lembah danau Cileunca, hingga majalah Mooi Bandoeng sering menyebut wilayah di Pangalengan sebagai ‘Friesland in Indië (Friesland di Hindia)’.

Selain minuman dengan bahan baku susu seperti es krim, susu coklat (chocomelk), B.M.C mengolah susu menjadi mentega, keju dan cream untuk kosmetika. Hampir seluruh produksi susu di Jawa Barat tertampung oleh B.M.C pada jaman sebelum perang.

Jika demikian hebatnya sejarah susu di Indonesia lalu mengapa di Indonesia yang lebih populer adalah susu bubuk dibandingkan susu segar? Hal ini pun ada alasannya.

Sekitar tahun 1920, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan aturan mengenai produksi susu yang disebut Melk-Codex. Salah satu aturan persusuan ini adalah mengenai kondisi mikroba atau bakteri psychotropic pada susu segar di bawah satu juta mikroba untuk setiap satu sentimeter kubik susu segar. Standar ini dibuat untuk memenuhi kualitas susu segar yang siap minum tanpa melalu proses pengolahan lebih lanjut.

Dapatlah dibayangkan betapa Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu telah menyosialisasikan kualitas susu segar untuk siap minum tanpa proses lebih lanjut. Namun, kebanyakan kualitas susu segar kita di atas satu juta mikroba sehingga kita terpaksa harus melupakan kebiasaan minum susu segar dan susu tersebut harus diolah dalam bentuk bubuk dan diminum dalam keadaan hangat.

Menariknya lagi tradisi minum susu segar pada masa Hindia Belanda ternyata juga tak tersosialisasi dengan baik meski sudah ada Melk-Codex. Masyarakat kita pada masa itu masih menganggap susu adalah minuman yang hanya dikonsumsi oleh orang kulit putih (baca: Belanda) serta golongan tertentu yang berkuasa. Sehingga muncul anekdot jika mau berkuasa, maka minumlah susu.

Lucunya lagi ada yang berpendapat sinis, tak perlulah bangsa kita punya tradisi minum susu (segar) nanti kelewat pintar. Alasannya, dahulu kala nenek moyang kita sangat getol puasa mutih atau hanya minum air segar (putih), nasi serta umbi-umbian saja mampu menjadi orang “pintar” dan ditakuti. Apalagi jika minum susu (putih), bisa-bisa kita menjadi “super pintar”.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisata di Hindia, peternakan sapi menjadi salah satu daya tarik fasilitas yang ditawarkan. Promosi tersebut dimuat Gids voor Indie: Handleiding en Hotel Pension-, Toko en Dienstengids voor New Comers en Touristen in Ned-Indie. Misalnya iklan peternakan sapi di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Salah satunya iklan Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar di Petamboeran, Paalmerah (Jakarta). Iklan tersebut memperlihatkan bahwa para turis (kulit putih) tak perlu khawatir jika di Hindia juga tersedia minuman susu.

Kita tentu ingat slogan pemerintah “Empat Sehat Lima Sempurna” yang ternyata disosialisasikan pada awal 1950-an. Menurut Prof. Dr. Ali Khomsan, ahli gizi IPB, pencetus “Empat Sehat Lima Sempurna” adalah Prof. Poorwo Sudarmo yang menempatkan susu pada urutan terakhir dari empat hidangan lainnya. Akibatnya masyarakat biasa akhirnya beranggapan bahwa susunan hidangan kita menjadi tak sempurna tanpa susu. Meskipun komposisi kandungan susunya itu sendiri perlu dipertanyakan karena lebih banyak airnya dibandingkan susunya.

Mungkin masyarakat melihat yang terpenting adalah warna putihnya. Perkara komposisi kandungan susunya urusan belakangan. Maka tak heran ketika harga susu (formula) melambung, sebagian ibu-ibu menggantikan susu dengan air tajin (susu beras). Padahal sangat jelas dari segi kualitas air tajin tak dapat menggantikan susu formula apalagi ASI meski dilihat dari warnanya nyaris serupa.

Memang kandungan protein air tajin mungkin setara atau bahkan lebih rendah dari pada beras. Apalagi kandungan vitamin dan mineralnya. Sehingga bisa diduga jika air tajin tak akan menandingi susu terutama dari segi kandungan kalsium dan fosfor.


-dipi-
 
Re: Cerita-Cerita Ringan dan Unik Dalam Sejarah (Lastest: Sejarah "SUSU")

Mandi dari Masa ke Masa

‘Bangun tidur kuterus mandi…’ Inilah penggalan lagu anak-anak di Indonesia yang saya ingat mengenai kebiasaan di pagi hari. Kebiasaan yang ‘tabu’ dilakukan pada hari libur atau Minggu karena pada hari itu kita cenderung bermalas-malasan sebelum mandi. Namun, kebiasaan mandi khususnya di pagi hari, baik untuk kesegaran, memulai hari kita.

Ada satu hal yang tidak saya temui di Belanda yaitu bak mandi plus gayungnya. Tentu saja karena bak mandi tidak dikenal di Belanda. Di Belanda hanya ada badkuip atau bathtub dan pancuran (shower). Kalau pun ada bak, itu juga yang berukuran besar alias kolam (renang). Oleh karena itu dalam bahasa Belanda sebelumnya hanya dikenal baden (mandi di kolam atau sungai) dan douchen (mandi dengan pancuran). Barulah setelah mandi dikenal oleh mereka, kosakata mandiën akhirnya masuk dalam bahasa Belanda. Termasuk kata mandiebak (bak mandi), mandiekamer (kamar mandi), dan gajoeng (gayung). Tidak hanya itu, menurut sastrawan Louis Couperus, istilah sirammen juga dipakai yang mengacu pada urusan membersihkan tubuh ini.

Urusan membersihkan diri ini bagi orang Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda tentu sangat menarik karena di negeri asal mereka, apalagi jika musim dingin, mandi adalah suatu keterpaksaan. Bagi mereka tak perlu mandi, cukup membasuh atau mengelap tubuhnya. Lalu disemprotkan parfum, selesailah sudah. Maka ketika mereka menginjakkan kaki di negeri tropis ini, kebiasaan mandi adalah suatu keharusan. Jika tidak mau tubuhnya berbau harum.

Menurut sejarawan Anthony Reid, melimpahnya air merupakan salah satu ciri negeri tropis, khususnya Asia Tenggara. Oleh karena itu kelihatannya mereka tak perlu khawatir kehabisan air dan seolah tampak ‘boros’ jika membersihkan tubuh. Namun, saat ini persediaan air di beberapa kawasan dapat dikatakan begitu mengkhawatirkan.

Pada abad ke-17 orang Asia lebih dahulu memiliki kebiasaan mandi dengan menggunakan air mengalir dibandingkan orang Eropa yang antipati dengan kebiasaan itu. Orang Asia telah memanfaatkan sungai sebagai tempat untuk membersihkan tubuh. Oleh karena itu mereka senang tinggal di tepi aliran sungai.

Jika tidak ada sungai, orang menuangkan seember air sumur di kepala mereka. Cara mandi seperti ini cenderung melarutkan bakteri tubuh bagian bawah menjauh dari kepala. Praktik ini lebih aman dibandingkan dengan mandi di dalam bak yang sama untuk semua anggota keluarga. Dimulai dari anggota keluarga tertua sampai termuda (bayi). Seperti yang dilakukan di negeri bercuaca dingin (Eropa).

Pada masa VOC, seperti halnya orang Portugis, orang Belanda yang ‘lebih berani’ pada air adalah kaum perempuan. Sementara itu kaum prianya ‘takut’ air alias enggan untuk mandi. Di kalangan orang Belanda di Batavia sendiri ada yang berpendapat pro dan kontra. Mereka yang terbiasa mandi, merasa tidak nyaman jika tidak mandi. Saat itu istilah yang dipakai adalah wassen (mencuci), bukan baden (mandi).

Pihak yang menganggap pentingnya mandi mengeluarkan peraturan khusus untuk para serdadu VOC yang mewajibkan mereka mandi setiap delapan atau sepuluh hari sekali. Namun, peraturan itu tak dipatuhi sebagaimana mestinya. Tetap saja mereka tak mau mandi. Maka dikeluarkan lagi peraturan susulan. Isinya para serdadu VOC di Rijswijk tidak boleh dipaksa mandi seminggu sekali.

Pada 1804, kelompok yang anti mandi mendapat angin dari Keuchenius, seorang dokter. Ia menyatakan mandi tidak perlu dan tidak baik untuk kesehatan. Keuchenius mengacu pada tempat mandi mereka di sungai yang secara detil digambarkan oleh J. Rach.

Tempat-tempat mandi pada masa VOC itu disebut paviljoentjes dan merupakan salah satu bagian dari gedung-gedung mewah milik para pembesar VOC. Di bawah tempat mandi berbentuk paseban itu dibuat semacam kerangkeng berterali kayu. Dalam kandang itulah, orang yang akan mandi turun ke bawah. Jelas, tempat mandi ini berada di udara terbuka.

Namun, pada abad ke-18 itu sudah ada pula kamar mandi tertutup dan setengah tertutup. Misalnya di halaman milik Reinier de Klerk di Jalan Gajah Mada (sekarang gedung Arsip Nasional). Menurut F. De Haan dalam Oud Batavia (1922) ada pula rumah-rumah besar pada masa itu yang memiliki waschhuis (rumah cuci) di halaman belakang rumah. Di tempat yang tak beratap itu disediakan tahang/tong kayu beserta gayung. Tempat semacam itu seringpula disebut mandihok (kandang mandi).

Pada masa berikutnya, melalui foto-foto tempo doeloe kita bisa menyaksikan sumur di halaman belakang rumah milik orang Belanda yang berfungsi sebagai sumber air kamar mandi. Kamar mandinya pun besar. Seperti kamar mandi rumah nenek saya di daerah Menteng (sekarang sudah rata dengan tanah) yang berukuran 2 x 1,5 x 1 meter. Jika harus membersihkannya kita pun harus masuk ke dalamnya.

Justus van Maurik, seorang pengusaha cerutu asal Amsterdam ini menceritakan masalah mandi ini. Menurutnya, di beberapa hotel di Hindia tergantung papan peringatan:
“Het is verboden in den mandiebak te baden of het water met zeep te verontreinigen.” (Dilarang masuk ke dalam bak mandi atau mengotori air dengan sabun).

Menariknya pada 1 Juni 1861, seorang pengusaha bernama Victor Thornerieux membuka sebuah hotel di Molenvliet (di kawasan Harmoni) yang diberi nama Hotel de l’Univers, mungkin sebagai saingan dan membedakan dengan Hotel des Indes di seberangnya. Menurut iklan yang dipasangnya, Hotel de l’Univers dilengkapi dengan kolam mandi berisi air kali!

Sementara itu Augusta de Wit, salah seorang turis Belanda yang berkunjung ke Jawa pada akhir abad ke-19 menuturkan kesannya tentang mandi. Menurutnya mandi beberapa kali sehari adalah keharusan. Kalau tidak mandi berarti tidak sopan. Mandi di Hindia pun berbeda dengan di Eropa. Di Eropa ia biasanya hanya berendam tapi di Hindia ia harus mengguyur badan dengan bergayung-gayung air. Suatu kenikmatan untuk jiwa dan raga, tulisnya.


-dipi-
 
Re: Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Mandi dari Masa ke Masa)

Sejarah Teka Teki Silang

Kita semua tahu apa teka-teki silang, yakni sarana asah otak paling populer. Tapi bagaimana sih asal usul dan sejarahnya? Ini dia.

Arthur Wynne sekitar tahun 1913 yang menciptakan TTS. Suatu ketika, Arthur yang bekerja di sebuah media bernama New York World mendapat tugas dari bosnya untuk membuat semacam permainan yang akan dimuat di media itu pada bagian “fun”. Berbagai hal dicobanya untuk menciptakan permainan yang menarik pembaca.

Suatu kali, ia teringat pada masa kecilnya. Arthur ingat bahwa ia pernah memainkan sebuah permainan yang dinamakan “Magic Squares”. Permainan itu adalah permainan kata-kata, dimana sang pemain harus menyusun kata agar sama mendatar dan menurun hingga membentuk kotak. Dari permainan ini, ia kemudian mencoba berkreasi dengan menambah luasan kata-kata dengan bentuk yang lebih kompleks. Dan, untuk menyusun hal itu, ia memberi semacam pertanyaan untuk membuka kunci jawabannya.

TTS ala Arthur ini kemudian muncul pertama kali pada 21 Desember 1913. Bentuknya waktu itu dibuat dengan pola ketupat. Sederhana dan sangat mudah dimainkan. Namun, justru dengan kesederhanaan dan kemudahan ini, membuat banyak orang langsung menyukai permainan ini. Maka, kesuksesan ini segera diikuti oleh berbagai media lain. Dan, saking suksesnya, permainan ini pun dibukukan pada tahun 1924.

Kemudian, pada tahun 1942-an, New York Times, koran ternama di Amerika membuat semacam standar untuk TTS. Standar itu seperti bentuk yang simetris dan panjang kata minimal tiga huruf. Hal ini membuat permainan TTS makin asyik dan populer, hingga akhirnya menyebar ke berbagai belahan dunia.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Sejarah Teka-Teki Sil

RUJAK

Negeri kita yang tropis ini memang terkenal dengan buah-buahan yang beraneka ragam. Tercatat dalam prasasti dan kakawin kuno, aneka buah-buahan seperti mangga (Mangifera indica), jambu bol (Anacardium occidentale), salak (Zallaca edulis), nangka (Artocarpus integer), rambutan (Nephelium lappaceum), manggis (Garcinia mangostana), wuni (Antidesma bunius), langsat (Lansium domesticum), jamblang (Syzyqium cumini), jeruk (citrus), durian (Durio zitbethinus), pisang ( Musa), kecapi (Sandoricum koecape) begitu melimpah. Komoditas ini pula yang kerap dijumpai di pasar-pasar desa.

Melimpahnya buah-buahan ini pernah dijadikan kambing hitam oleh Jacob de Bondt alias Bontius, dokter VOC yang juga dokter pribadi J.P.Coen. Sebab banyak pelaut Eropa pada saat mampir ke Nusantara menjadi sakit karena mereka terlalu berlebihan menikmati aneka buah-buahan itu dan nyaris rakus. Walaupun sebenarnya itu kesalahan mereka sendiri karena setelah berbulan-bulan di atas kapal dan kekurangan vitamin, terutama vitamin C, perut mereka diisi dengan bermacam-macam buah-buahan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Sementara itu dalam laporan penjelajah William Dampier pada 1697 menyebutkan kelapa (Cocos nucifera) dan pepaya (Carica papaya) merupakan buah-buahan utama, sedangkan durian, mangga, manggis, jeruk besar /jeruk Bali (Citrus maxima), rambutan dan berbagai buah-buahan lainnya silih berganti sepanjang tahun. Bahkan mangga yang masih mengkal pun dijadikan teman makan nasi setelah dibuat asinan. Sejak dibawanya pepaya (Carica papaya) dan nenas (Ananas comusus) dari benua Amerika di penghujung abad 17 ke Asia Tenggara, buah-buahan ini berkembang dengan pesat dan dianggap buah-buahan eksotis oleh para turis yang datang kesini.

Buah-buahan yang sudah masak biasanya dinikmati sebagai pencuci mulut setelah menikmati hidangan utama atau dimakan begitu saja. Sedangkan buah-buahan yang masih mengkal biasanya dibuat manisan, asinan dan rujak. Walaupun terkadang buah-buahan yang sudah masak digunakan juga untuk rujak.

Rujak merupakan jajanan yang sangat populer di Indonesia dan Malaysia. Hampir di setiap sudut dapat kita temui penjual rujak dengan gerobak berkacanya. Biasanya untuk penjual rujak keliling ini, bumbu rujaknya telah mereka persiapkan dan ditempatkan di toples kaca sehingga tidak perlu diolah lagi. Supaya buah-buahannya tetap segar dan dingin, bongkahan kecil es batu diletakkan di antara buah-buahan itu. Ada pula penjual rujak yang mangkal di kios atau warung.

Khusus untuk penjual rujak yang mangkal ini biasanya mereka mengolah terlebih dahulu bumbunya. Sebuah cobek besar dan ulekan selalu tersedia untuk meramu semua bumbu-bumbu tersebut. Sehingga para pembeli dapat memesan, mulai dari yang paling pedas, sedang, hingga tidak pedas. Serta kombinasi rasa lainnya, seperti misalnya pedas manis, sedang manis, dan sebagainya. Dulu rujak itu biasa dibungkus dengan daun pisang dan disematkan dengan potongan biting (lidi), sekarang biasa menggunakan kertas pembungkus atau plastik.

Bumbu rujak itu sendiri terdiri dari ; cabe merah (lombok), cabe rawit, gula jawa, terasi, asam jawa, garam, terkadang ditambahkan kacang tanah yang telah dihaluskan.
Buah-buahan yang biasa digunakan antara lain; mentimun (Cucumis sativus), nanas (Ananas comusus), bengkuang (Pachyrrhizus erosus), mangga muda (Mangifera indica), kedondong (Spondias dulcis), jeruk Bali (Citrus maxima), jambu air (Eugenia aquea), pepaya muda (Carica papaya), ada pula yang ditambahkan semangka (Citrullus vulgaris) dan melon (Cucumis melon).

Di Malaysia, ada rujak yang dikenal dengan nama rujak Penang. Rujak itu memiliki bumbu yang sama dengan rujak di Indonesia. Bedanya di atas bumbu yang telah diguyur di atas potongan buah-buahan itu ditaburi wijen. Ada jenis rujak yang lain. Rujak itu cukup dikenal di Jakarta. Biasanya dijajakan dengan pikulan. Rujak itu dikenal dengan nama rujak bebeg (baca bêbêg). Juga menggunakan buah-buahan, tetapi kebanyakan buah-buahan yang masih mengkal, seperti ubi merah mentah (Ipomoea batatas), jambu biji mengkal (Psidium guajava), nangka (Artocarpus integer), mangga muda(Mangifera indica) , kedondong (Spondias dulcis) , jeruk bali(Citrus maxima). Bumbu-bumbunya, seperti cabe merah, cabe rawit, gula merah, terasi, dimasukkan ke dalam alat yang disebut lumpang dari kayu kemudian ditumbuk. Lalu buah-buahan yang telah dipotong-potong itu dimasukkan ke dalam bumbu yang telah halus itu sambil ditumbuk hingga tercampur dan lumat. Rujak itu disajikan dengan takir ( pincuk dalam bahasa Jawa) , daun pisang yang disemat dengan lidi. Harganya pun cukup murah karena buah-buahannya masih mengkal. Mungkin saja, sang penjual memperolehnya dengan gratis hingga ia tak perlu menjualnya terlalu mahal. Saat ini penjual rujak bebeg sudah jarang kalaupun ada hanya dapat dijumpai di pinggiran kota Jakarta. Namun, rujak bebeg ini naik statusnya menjadi sedikit bergengsi. Kita dapat menjumpainya di beberapa pusat perbelanjaan ber-AC, berjejer dengan jajanan lainnya. Meskipun alat pengolahnya masih sama, dengan lumpang kayu.

Rujak pun kerap dikonsumsi para remaja, khususnya anak perempuan. Sambil belajar bersama, atau mengobrol kesana-kemari mereka menikmati rujak. Tak jarang ada undangan yang dibuat oleh para remaja itu dengan mencantumkan acara ‘rujakan’ atau ‘pesta rujak’ di dalamnya untuk memeriahkan acara mereka.

Kaum perempuan yang memiliki hasrat kuat dan tiba-tiba menginginkan makanan yang sangat pedas, terutama makanan dari buah-buahan dapat dianggap sebagai tanda pertama kehamilan. Hal ini yang sering disebut ngidam rujak. Menurut kepercayaan, keinginan ini harus dituruti karena jika tidak akan berakibat buruk pada jabang bayi yang dikandung. Nah, jika sang istri ngidam rujak tengah malam, maka sang suami yang kebingungan mencari penjual rujak. Tetapi bila kelak sang istri hamil, makanan pedas ini justru menjadi pantangan.

Penggerutu atau pengkritik nomor wahid dari Belanda pada awal abad 20, Bas Veth yang membenci Hindia Belanda dan menganggapnya hampir sebagai penyakit, menggambarkan rujak sebagai bentuk yang sama sekali tidak lebih baik dari ‘ambrosia’, dewa makanan. Ia menuliskan kesannya mengenai rujak dalam bukunya Het Leven in Nederlandsch Indië yang dalam waktu singkat menjadi best seller. Veth menceritakan tentang pengalaman para penumpang sebuah kapal yang melakukan perjalanan panjangnya dari Belanda ke Hindia Belanda pada tahun 1900:
“Pagi hari: para penumpang Indo berharap dapat menikmati aneka masakan dengan harga yang murah. Harga khusus kaum Indo. Tentu saja di warung-warung. ‘Barangkali nanti dapat roedjak ya,’, ujar salah seorang dari mereka. Roedjak yang disiapkan dengan jambu atau mangga mengkal. Rasanya cukup asam hingga membuat perut orang Eropa sakit dan nanti di dek kapal mereka akan bergulingan kesakitan seperti kera. Barangkali dapat roedjak kata mereka sambil menahan air liur dan seolah mendesis kepedasan”

Pada masa Tempoe Doeloe yang sering disebut jaman normaal yaitu masa sebelum pecah perang dunia kedua, para sinyo dan noni Indo sering memaksa kokkie mereka untuk membuatkan bumbu rujak dengan buah-buahan yang masih mengkal dari pohon-pohon yang tumbuh di keboen belakang rumah.mereka. Mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, si kokkie takut ketahuan nyonya rumah karena pada saat itu adalah jam tidur siang dan bila ketahuan bisa saja nyonya rumah marah besar karena sinyo dan noni tidak tidur siang. Melanggar aturan.

Dalam adat Jawa, rujak juga diikutsertakan. Seperti pada jamuan upacara memperingati tujuh bulan kehamilan pertama. Tetapi rujak yang dihidangkan dalam upacara ini bukan jenis rujak seperti yang biasa kita nikmati tetapi dalam bentuk seperti minuman manis yang segar. Rujak ini disebut rujak krobo atau gobed yaitu rujak yang terbuat dari bermacam-macam buah-buahan, seperti jeruk bali, delima (Punica granatum) yang dicacah dengan sambal gula yang diberi air asam. Semua ini melambangkan kesegaran. Sedangkan untuk mengetahui jenis kelamin si bayi yang masih dalam kandungan dapat ditandai dengan rasa rujak itu. Rujak itu lalu dihidangkan untuk handai tolan dan tetangga yang menghadiri upacara tersebut. Bila rujak itu terasa pedas, itu suatu tanda bahwa bayi yang dikandung adalah perempuan, sebaliknya bila tidak pedas, maka laki-lakilah bayi itu. Kebiasaan ini masih sering dilakukan baik di desa maupun di kota besar meskipun banyak yang tidak setuju tata cara jamuan ritual animistik ini.

Rujak juga dihidangkan untuk upacara perkawinan adat Jawa. Walaupun untuk yang satu ini tampak jarang dilakukan. Biasanya bila mantu anak sulung, dihidangkanlah rujak manis pada sepasang mempelai itu dan ayah mempelai perempuan. Ibu pengantin perempuan kemudian bertanya: “masih adakah kekurangannya?” . Yang dijawab oleh sang bapak pengantin perempuan; “ tak ada, sudah enak rasanya.” Itu melambangkan bahwa segalanya sudah berlangsung baik tanpa kekurangan dan mereka berharap demikian pula bila mereka mantu lagi.

Bahkan rujak pun dijadikan pola batik yang dikenal dengan nama ‘rujak senté’. Pola batik ini di Yogyakarta dianggap termasuk pola batik ‘larangan’, tidak sembarang orang dapat mengenakannya dan hanya para bangsawan yang diperkenankan mengenakannya. Dalam hal ini pola ‘rujak senté’ hanya boleh dikenakan oleh para anggota keluarga Sultan yang bergelar Raden Mas atau Raden, seperti yang diungkapkan Nyonya Veldhuisen-Djajasoebrata dalam Bloemen van het heelal. De kleurrijke wereld van de textile op Java ( Bunga-bunga semesta. Dunia penuh warna dari tekstil di Jawa).

Musim kemarau ini membuat kita butuh sesuatu yang menyegarkan. Potongan aneka warna buah-buahan segar itu kelihatan begitu menantang. Ditambah guyuran saus sambal berwarna merah kecoklatan di atasnya. Rasanya tak sabar untuk mencicipinya. Ya, itulah rujak, hidangan yang cocok di saat musim kemarau. Rasanya yang segar, manis dan pedas membuat kita ketagihan walaupun belum tentu cocok bagi lidah Eropa. Tak terasa keringat menetes dan mulut kepedasan.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: RUJAK)

Nyamuk di Batavia

Adalah Jan Pieterszoon Coen yang mendirikan Batavia yang mungkin memerintahkan kota itu ditata menurut peta buatan Simon Stevin, perancang di kota Belanda. Hal ini disimpulkan berdasarkan surat dari Heeren XVII, dewan direksi VOC yang meminta Stevin merancang sebuah benteng dan kota bagi mereka.

Batavia pun memiliki sebuah sistem kanal segi empat dan sangat mirip dengan tata kota Amsterdam pada masa itu. Sekarang, sistem ini menyisakan serta mewariskan masalah serius bagi Jakarta. Karena pekerjaan kanal banjir yang tak kunjung selesai, maka banjirlah yang dituai.

Kanal-kanal atau grachten itu yang sempat mendapat pujian dari Valentijn karena keindahannya hingga mendapat julukan Koningin van het oosten (Ratu dari Timur) ternyata menyimpan sesuatu yang mengerikan. Kanal-kanal yang dipagari pepohonan rindang menjadi sarang ideal bagi berkembang biaknya nyamuk Anopeles sundaicus. Ditambah lagi aliran air kanal hampir tak mengalir. Lumpur dari sungai-sungai mengendap di dasar kanal. Sekaligus menjadi sarang penyakit.

Leonard Blussé berpendapat berkembangnya nyamuk itu bukan karena tata letak kota yang meniru kota di Belanda atau bencana alam. Dalam hal ini, para pejabat VOC mengkambinghitamkan tata arsitektur kota dan Gunung Salak yang meletus pada 1699 hingga membuat kanal-kanal penuh lumpur. Blussé justru melihat polusi sistem drainase yang dicemari limbah gula dalam kota sebagai biang keroknya. Jika dirunut lagi, keserakahan para pejabat VOC dalam bisnis ‘manis’ gulalah sebagai sumber masalahnya.

Ironisnya, rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Sehingga para pegawai senior VOC , seperti yang diungkapkan Peter H. Van den Burg, kalau masih menyayangi nyawa disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak. Rumah sakit buruk atau yang lebih tepat disebut rumah mati itu, terletak di dalam kota dan yang satunya lagi berada di luar kota, kira-kira sekitar Glodok.

Setelah tahun 1730 satu dari empat pegawai VOC yang bertugas di Hindia meninggal di rumah sakit. Jika sebelumnya Batavia mendapat julukan ‘Ratu dari Timur’ maka gelar ‘Kuburan dari Timur’ lah yang disandang.

Begitu berbahayanya nyamuk si belang itu pada masa VOC membuat orang mengenakan “pakaian anti nyamuk” khusus dan menurut De Haan dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar.

Menjelang akhir abad ke-18 ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St. Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon adalah apakah Batavia masih tidak sehat. Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie. Setibanya di Falmouth dia dan pengiringnya terlihat begitu kurus. Mereka pun diinterogasi cukup lama dan baru diperbolehkan melanjutkan perjalanan setelah bersumpah bahwa mereka sehat.

Pada masa kolonial pun persoalan nyamuk belum selesai. Meskipun kantor-kantor penting telah dipindahkan ke daerah yang dianggap lebih sehat di Weltevreden (sekitar Monas, Gambir) pada masa Gubernur Jenderal Overstraten (1797) seiring bubarnya VOC serta penghancuran benteng di sekeliling kota dan penimbunan mookervaart pada masa Daendels, nyamuk tetap menyerang.

Pada masa Mohammad Husni Thamrin sebagai anggota Gemeenteraad (dewan kotapraja) Batavia pada bulan Februari 1922, kita pun dapat mengetahui: “Batavia masih tetap seperti lukisan dengan figura indah, dihiasi dengan vila luas serta jalan yang lebar. Sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga. Ratusan ribu penduduk sehari-harinya hidup dalam bahaya di kampung-kampung yang penuh lubang jamban berbau busuk, tempat berbiaknya nyamuk malaria.”

Mohammad Husni Thamrin akhirnya berhasil mendesak Dewan dan Pemerintah kotapraja Batavia untuk memerhatikan kampongvraagstuk (masalah kampung). Berbagai program perbaikan kampung dijalankan supaya tak menjadi sarang penyakit, apalagi nyamuk. Ironisnya, Thamrin tak kuasa menahan teror si belang Anopeles sundaicus. Pada awal 1941 demam tinggi menyerangnya. Ia pun meninggal pada hari Jumat 10 Januari 1941 karena malaria.



Source

-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Nyamuk di Batavia)

Singkong Dan Keju

Mungkin belum banyak orang yang tahu jika singkong atau cassava adalah tanaman impor di Indonesia. Tanaman ini adalah pohon tahunan tropika dan subtropika. Kita mengkonsumsi umbinya yang menghasilkan karbohidrat. Daunnya pun kerap kita konsumsi, baik sebagai lalap atau dijadikan sayur. Tanaman ini sebenarnya berasal dari benua Amerika. Tepatnya di Amerika Selatan yang kemudian dikembangkan di Brazil dan Paraguay pada masa pra-sejarah.

Tanaman singkong diperkenalkan di Nusantara oleh orang Portugis pada abad ke-16 dan mulai ditanam oleh masyarakat luas di Hindia-Belanda (Indonesia) sekitar tahun 1810. Sejak saat itu singkong menjadi salah satu sumber karbohidrat di samping tanaman-tanaman lainnya. Seperti jagung dan padi. Namun, dibandingkan padi yang dijadikan beras, singkong kalah pamor. Reputasi singkong pernah sangat menyedihkan dan tidak bergengsi, dijadikan makanan pokok masyarakat miskin dan kelas bawah. Ketika itu, jika ada orang yang hanya mengkonsumsi singkong, maka dapat dipastikan tingkat perekonomiannya jauh di bawah sejahtera alias miskin.

Padahal jika kita telusuri lebih jauh, singkong ini dapat dibuat berbagai penganan. Pengolahannya tidak sekedar direbus, digoreng saja. Berbagai jenis penganan tradisional menggunakan singkong sebagai bahan bakunya, seperti comro, misro, tape, getuk, tiwul. Bahkan dengan bahan singkong dapat dibuat jadi tepung (tapioka) dikenal dengan nama ‘gaplek’, krupuk (opak) atau keripik singkong yang renyah. Tak jarang, singkong olahan ini diekspor ke mancanegara.

Dalam Handbook of the Netherlands East-Indies tahun 1930 dituliskan bahwa tepung tapioka adalah salah satu komoditas Hindia-Belanda yang banyak diproduksi di Jawa. Namun, para pemilik penggilingan tepung, biasanya orang Eropa dan Tionghoa lalu hasil olahannya diekspor ke luar negeri. Pada tahun 1928 tercatat 21,9 % dikirim ke Amerika Serikat, 16,7 % ke Inggris, 8,4 % ke Jepang, lalu 7 % dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya singkong olahan tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem dan permen karet. Bahkan singkong olahan tersebut juga digunakan untuk industri tekstil dan furniture.

Pada tahun 50-an pun, Bung Karno menganjurkan pada rakyat Indonesia untuk menanam singkong di pekarangan demi ketahanan pangan.

Menariknya, singkong ini disandingkan atau dapat dikatakan diadu dengan jenis makanan lain yang sebenarnya juga makanan impor yaitu keju. Pada tahun 80-an, di Indonesia ada sebuah lagu populer yang berjudul “Singkong dan Keju”. Lagu ini menggambarkan pertentangan antara tradisional yang diwakili oleh singkong dan modern yang diwakili keju.

Sekali lagi, mungkin belum banyak orang yang tahu, kata keju ini berasal dari bahasa Portugis, queijo. Kemungkinan besar, masuknya singkong dan keju bersamaan karena dibawa oleh orang-orang Portugis di Nusantara. Keju merupakan makanan padat yang dibuat dari air susu hewan, biasanya sapi. Makanan ini dikenal di seluruh dunia. Namun diduga pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah.

Jika singkong banyak mengandung karbohidrat, maka keju yang biasanya tahan lama (merupakan salah satu bentuk pengawetan susu), memiliki kandungan lemak, protein, kalsium dan fosfor yang tinggi.

Di Indonesia, keju dikenal berasal dari Belanda. Ketika itu di Indonesia belum ada pabrik pengolahan keju. Keju-keju tersebut didatangkan dari Belanda untuk dikonsumsi orang Belanda yang tinggal di Indonesia. Dengan kata lain, keju dinikmati hanya terbatas untuk kalangan Eropa. Penduduk pribumi hanya cukup makan singkong. Maka dalam salah satu dialog film-film Indonesia berlatar-belakang perang (yang sebenarnya tidak begitu jelas perang yang mana) para serdadu Belanda membujuk rakyat untuk memberitahu tempat persembunyian para pejuang dengan keju. Dialog tersebut kira-kira seperti ini: “Hey, kamuorang, coba jij kasih tunjuk di mana itu ekstrimis-ekstrimis bersembunyi. Nanti ik kasih roti en keju!”

Dalam turisme kolonial, berbagai toko yang khusus mengimpor makanan-makanan kaleng dari Belanda, menawarkan keju yang diimpor dari Belanda. Sebenarnya sasaran konsumennya adalah orang Belanda yang menetap di Hindia-Belanda. Namun, toko-toko tersebut juga menyasar para turis dari Eropa supaya mereka ketika mengunjungi Hindia merasa seperti di negerinya sendiri, baik suasana maupun makanannya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya iklan toko-toko tersebut dalam buku panduan turisme resmi pemerintah, Gids voor Indië terbitan tahun 1938. Misalnya iklan Toko Li Liong Hin di Pasar Senen, Batavia-Centrum.

Keju cukup lama menjadi makanan kaum elite dan lambang modernitas. Di samping harganya mahal, barangnya pun langka. Dalam salah satu catatannya, K.H Agus Salim menceritakan pengalamannya ketika masih bersekolah di Europeese Lagere School (ELS) di Riau sekitar tahun 1890-an. Seorang kepala sekolah Belanda melihat bakat pada Salim kecil. Orang Belanda itu berpendapat bahwa Agus kecil memiliki tanda-tanda menjadi orang pandai. Oleh karena itu harus diberi lingkungan serta makanan yang tepat. Maka dimintalah Agus untuk tinggal dengan keluarga Belanda tersebut. Ayah Agus Salim, Sutan Salim berkeberatan anaknya dididik sepenuhnya oleh Belanda. Namun, dia menghargai maksud baik kepala sekolah tersebut. Jalan tengah pun disepakati. Agus akan berada di rumah kepala sekolah di waktu makan pagi, siang dan malam lalu sejenak sesudahnya. Di rumah kepala sekolah Belanda itu beliau diminta makan makanan bergizi, bisa jadi termasuk roti dan keju yang banyak supaya lancar berbahasa Belanda.

Urusan keju tak berhenti pada masa kecil Agus Salim saja. Pada tahun 1930 Agus Salim pergi ke Jenewa, menghadiri konferensi Buruh Internasional sebagai penasihat buruh Belanda. Perserikatan Buruh Belanda itu berafiliasi dengan partai SDAP (Sociaal Demokratische Arbeiders Partij). Agus Salim singgah di Belanda dan pada suatu pertemuan dengan para pimpinan SDAP beliau diminta pandapatnya tentang SDAP. Spontan Agus Salim menjawab “Seperti Keju Edammer! (Keju dari Edam)”. Maksudnya.adalah merah di luar tapi isinya oranye.

Keju atau Kaas dalam bahasa Belanda juga dijadikan ‘ejekan’ bagi orang Belanda. Mereka kerap diolok-olok dengan panggilan “Kaaskop” (kepala keju). Entah, apa maksudnya. Mungkin karena di Belanda banyak dihasilkan keju.

Pun saya teringat dari pesan orang rumah ketika saya berkesempatan mengunjungi Belanda untuk urusan dinas: “Jangan lupa bawakan keju untuk oleh-oleh!” Pilihan saya jatuh pada keju Gouda dan Edam. Keduanya diberi nama sesuai nama tempat. Biasanya saya membeli keju tua (oude kaas) dan keju muda (jonge kaas) di pasar. Maka ketika pulang ke tanah air, di sela-sela tumpukan buku dalam koper terseliplah keju-keju bulat atau gepeng berlapis “kulit” warna merah atau kuning tersebut. Lucunya, sebelum berangkat ke Belanda salah seorang teman yang menikah dengan orang Belanda dan tinggal di sana cukup lama berpesan: “Bawakan saya opak, ya. Anak-anakku suka sekali!”

Saat ini keju dan singkong sepertinya sudah tak terpisahkan lagi. Singkong dan keju sudah tidak lagi jadi makanan bagi kelompok masyarakat tertentu. Coba lihat saja, di pelosok Jakarta, kita akan menemukan jenis makanan baru yang menarik: Singkong Keju! Perpaduan yang unik dan menarik dari dua jenis makanan yang dahulu memisahkan status sosial.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Singkong Dan Keju)

Sejarah Sabun


APA jadinya jika sabun tak pernah ditemukan? Tubuh kita mungkin akan bau, kotor, dan gampang kena sakit kulit.

Berdasarkan ukiran yang terdapat di bejana gerabah peninggalan Babilonia, bahan-bahan yang terkandung dalam sabun diduga telah dimanfaatkan sejak 2.800 SM. Dalam Papirus Eber, dokumen kesehatan Mesir Kuno tahun 1.500 SM, masyarakat Mesir Kuno menggunakan kombinasi minyak hewani atau nabati dengan garam alkali –dikenal dengan istilah saponifikasi– untuk menyembuhkan penyakit kulit dan membersihkan badan.

Istilah saponifikasi diambil dari bahasa latin “sapo” yang artinya soap atau sabun. Sapo merupakan nama sebuah gunung –ada juga yang menyebutnya bukit– dalam legenda Romawi Kuno, yang biasa menjadi tempat pemotongan hewan kurban dalam upacara. Ketika hujan, sisa-sisa lemak hewan itu tercampur abu kayu pembakaran dan mengalir ke Sungai Tiber di bawah gunung. Tak diduga, saat masyarakat sekitar sungai mencuci, mereka mendapati air mengeluarkan busa dan pakaian mereka menjadi lebih bersih.

Pada abad ke-1 masyarakat Romawi Kuno melakukan saponifikasi dengan cara mereaksikan ammonium karbonat yang terdapat dalam air seni (urine) dengan minyak tumbuhan dan lemak hewan. Ada pekerja khusus yang mengumpulkan air seni (fullones) untuk dijual ke para pembuat sabun. Tapi baru pada abad ke-2 dokter Galen (130-200 SM) menyebutkan penggunaan sabun untuk membersihkan tubuh.

Ahamad Y. al-Hassan dan Donald Hill dalam bukunya Islamic Technology: An Illustrated History, menyebut Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, kimiawan Persia, sebagai peracik pertama ramuan sabun modern. Orang Arab membuat sabun dari minyak nabati atau minyak atsiri, misalnya minyak thymus. Sentra industri sabun berada di Kufah, Basrah, dan Nablus di Palestina. Sabunnya sudah berbentuk padat dan cair.

Masyarakat di Eropa Utara, pada abad pertengahan, baru mengenal sabun cair tapi baunya kurang enak. Pada abad ke-13 jenis sabun keras mulai diekspor ke Eropa. Teknologi pembuatan sabun juga ditransfer ke Italia dan Prancis selatan selama Renaissance. Di Inggris, seperti ditulis John A. Hunt dalam “A Short History Soap”, dimuat di Pharmaceutical Journal, 1999, catatan Bristol Company of Soapmakers untuk tahun 1562-1642 menunjukkan lebih dari 180 orang terlibat dalam bisnis sabun. Bisnis sabun mendapat tempat yang istimewa di Inggris. Pada 1622 Raja James memberikan hak monopoli kepada seorang pembuat sabun dengan membayar imbalan $100.000 setahun.

Sekalipun sabun mulai dikenal, ia masih menjadi barang asing bagi sebagian masyarakat di Eropa Tengah. Menurut Alicia Alvrez dalam bukunya The Ladies' Room Reader: The Ultimate Women's Trivia Book, Di Jerman, Duchess of Juelich merasakan sensasi luar biasa ketika mendapat hadiah sekotak sabun dari sahabatnya pada 1549. Pada 1672, seorang Jerman bernama A. Leo harus menuliskan keterangan rinci cara penggunaannya ketika mengirimkan bingkisan hadiah berisi sabun kepada seorang puteri Prusia, Lady von Schleinitz.

Berbeda dengan Inggris, penguasa Perancis Raja Louis XIV justru bersikap keras kepada pembuat sabun. Sang raja pernah menghukum mati dengan pisau guillotin terhadap tiga orang pembuat sabun karena membuat kulit sang raja iritasi. Takut ditimpa hukuman yang sama, beberapa pembuat sabun berusaha lebih serius untuk menciptakan sabun berkualitas baik.

Revolusi industri yang berkembang di negeri-negeri Eropa pada abad ke-19 memperpesat industri sabun. Namun di beberapa negara, sabun masih dikenai pajak tinggi karena tergolong barang mewah. “Kombinasi monopoli dan pajak khusus telah menghalangi pembangungan industri sabun” tulis Patricia E. Malcolmson dalam English Laundresses: a Social History, 1850-1930. Pada 1852 Inggris dan Prancis menghilangkan pajak sabun untuk meningkatkan standar hidup bersih dan sehat masyarakat. Sabun pun menjadi komoditas sehari-hari yang bisa digunakan masyarakat biasa.

Sebelum mengenal sabun, masyarakat di Nusantara biasanya mandi dengan menggosokan lempeng-lempeng batu halus untuk menyingkirkan kotoran di tubuh. Agar kulit harum dan halus, mereka menaburkan kuntum mawar, melati, kenanga, sirih, dan minyak zaitun dalam wadah penampungan air. Kebiasaan ini masih berlangsung hingga 1980-an, terutama di desa-desa. Bahkan saat ini, sekalipun menggunakan sabun, ada yang merasa belum bersih tanpa menggosokkan batu ketika mandi.

Salah satu perusahaan yang memperkenalkan sabun produksi industri adalah Unilever, merger antara perusahaan asal Inggris, Lever Brothers, dan perusahaan asal Belanda, Margarine Urine. Produk sabun Unilever adalah Lifebuoy, Lux, Sweetmay, dan Capitol. Unilever membuka anak perusahaan di Jakarta pada 1931. Pesaingnya, P&G, produksi perusahaan Jerman, Dralle –yang pada 1940-an berubah nama menjadi Colibri dan diambil-alih Unilever.

Saat Perang Pasifik, Unilever diambil-alih militer Jepang untuk kepentingan perang. Ini membuat sabun jadi barang langka. Kalau pun ada, harganya melonjak. Untuk mengatasinya, pada 1943 otoritas Jepang mengeluarkan izin operasi kepada 94 perusahaan sabun: 11 untuk orang Indonesia, dan selebihnya Tionghoa. Tak satu pun izin untuk orang Eropa. Selain itu, militer Jepang memberikan latihan cara membuat sabun agar rakyat bisa hidup mandiri. Latihan itu diadakan di gudang Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di Jalan Sunda 28 Jakarta. Selain untuk keperluan sehari-hari, rakyat yang telah mahir membuat sabun biasanya menjual sabun hasil buatan mereka.

“Sabun yang bahan dasarnya terbuat dari minyak kelapa, abu, kapur, dan garam itu memiliki kualitas yang baik dan membuka lapangan usaha baru bagi rakyat,” tulis harian Borneo Shimboen, 22 Oktober 1943.

Setelah perang berakhir, Unilever mencoba bangkit. Tapi Unilever kembali berada dalam posisi sulit ketika terjadi gejolak politik pada 1950-an menyangkut Papua Barat. Semua perusahaan Belanda dinasionalisasi. Staf Unilever diusir dan diganti oleh tenaga-tenaga Inggris dan Jerman. Operasinya di bawah pengawasan pemerintah tahun 1964. Produksi Unilever merosot.

Sejarawan Alwi Shahab dalam blog pribadinya http://alwishahab.wordpress.com menulis, saat Bung Karno melancarkan politik berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), umumnya masyarakat mandi dengan memakai sabun batangan yang disebut sabun cuci. “Maklum, sabun Lux, Camay, Lifebuoy masih ngumpet di Singapura,” tulis Alwi Shahab.

Pada 1967 kendali Unilever dikembalikan. Sejak itu produk-produk Unilever kembali merajai pasar penjualan sabun di Indonesia. Pesaing bermunculan.

Kini, sabun sudah menjadi barang kebutuhan sehari-hari. Mandi takkan terpisahkan dari sabun. Tinggal bagaimana membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun. Indonesia, berdasarkan survey Departemen Kesehatan tahun lalu, termasuk negara yang malas cuci tangan pakai sabun. Padahal, sejak 2008, Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menetapkan 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Sejarah Sabun)

Ronda & Siskamling

Menilik asal katanya, kata “ronda” berasal dari bahasa Portugis, yang menunjukkan betapa tua aktivitas ini. Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, menduga ronda merupakan institusi prakolonial. Ini bisa dilihat dari perangkat utamanya, kentongan –yang selama berabad-abad dipakai untuk memanggil penduduk dan membuat orang waspada terhadap bahaya tertentu. Ronda juga bukan khas Indonesia. Di Peru, misalnya, ronda campesinos pada 1980-an memainkan peranan penting dalam membendung upaya kelompok gerilyawan Sendero Luminoso dan militer Peru untuk memaksa warga sipil terlibat dalam perang.

Dalam pranata tradisional, desa tak punya hak memungut pajak, tapi berhak menuntut penduduk desa agar ikut dalam kerja-kerja desa, dari pembuatan jalan hingga ronda. Di Mangkunegaran, wilayah yang relatif menjaga pranata tradisional semacam itu, sistem keamanan di wilayah pedesaan berada di tangan kepala distrik (wedana gunung), dibantu oleh polisi dan gunung. Karena jumlah polisi terbatas, sistem keamanan masyarakat pun diterapkan. Warga wajib menanam bambu ori di wilayah sekitar desa. Jalan-jalan desa dipagari dengan tanaman hidup.

“Pada pintu depan dari jalan masuk desa dibangun gardu penjagaan. Gardu itu wajib dijaga oleh penduduk desa dengan ketentuan setiap gardu dijaga oleh tiga orang. Penjagaan dilakukan sejak pukul 18.00 hingga pukul 06.00,” tulis Wasino dalam Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. “…setiap jam para peronda mengelilingi desa dengan membunyikan tong-tong untuk membangunkan orang tidur.”

Tapi, ronda juga menjadi aktivitas komunitas masyarakat ketika ada ancaman terhadap perkampungan atau permukiman mereka. Pada masa VOC, misalnya, sekalipun ada penjaga malam yang bertugas ronda dan wijkmeester (lurah) untuk mengatur pelaksanaan ronda, komunitas Tionghoa harus mengandalkan kemampuan mereka sendiri untuk mengamankan lingkungan mereka. Sejak pembantaian massal pada 1740, kelompok Tionghoa membangun betengan (barikade) dari kayu dan papan di depan kampung mereka. Mereka juga membangun gardu-gardu selama Perang Jawa, ketika ada isu kawanan berandal akan menyerbu kampung Tionghoa. Hal yang sama mereka lakukan ketika muncul konflik dengan Sarekat Islam. Gardu dan ronda menjadi sarana komunitas Tionghoa untuk mempertahankan diri dan menjaga keselamatan mereka.

Pada masa kolonial, pelibatan warga sipil dalam sistem keamanan lingkungan mulai dilakukan karena tingginya tingkat kriminalitas. Pada 1920-an, peraturan mengenai tugas kepolisian (Het Herzine Indonesisch Reglement) antara lain menyebutkan, jika dirasa perlu menurut pertimbangan bupati dan disetujui oleh residen, kepala desa wajib mengadakan jaga malam dan meminta semua penduduk desa menjalankannya secara bergiliran. Dan kepala desa tak boleh memberi kelonggaran tanpa alasan yang jelas.

Di Solo, daerah perkebunan tebu sering jadi sasaran kecu, Mangkunegara VI (1896-1916) mengkritik kerja polisi dan meminta mereka melakukan penjagaan ketat dengan mengintensifkan sistem keamanan yang ada. Antara lain mengawasi secara ketat gardu ronda desa (patrolan dusun), jangan sampai ada desa yang tak melakukan tugas ronda. Di setiap tempat yang dipandang berbahaya didirikan gardu ronda dan diatur perondanya.

Wajib ronda seringkali memberatkan warga, yang sudah dibebani dengan pajak dan kerja rodi. Menurut Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak, di desa Nglunge, Klaten, pada awal 1919, penduduk butuh tani harus melakukan ronda malam di jalan negara sekali setiap 35 hari. Jika mengabaikan, penduduk bisa dikenai hukuman. Pemogokan petani pun pecah, yang digerakkan oleh Sarekat Islam. Mereka antara lain menuntut penghapusan kewajiban ronda malam. Tapi pemerintah kolonial juga tak tinggal diam. Di Jepara –sebagaimana ditulis dalam biografi tokoh pergerakan politik Raden Mas Adipati Ario Koesoemo Oetoyo, Perjalanan Panjang Anak Bumi–, Residen Semarang J. van Gigh melaporkan, 63 penduduk desa yang tak mau ronda dan jaga malam dihukum denda sebesar f 2,50 atau tiga hari penjara.

Pada masa pemerintahan Jepang, ronda menjadi salah satu tugas pokok anggota keibodan, organisasi semimiliter yang bertugas membantu polisi –seperti hansip. Selain menjamin keamanan, mereka harus menjaga dan mencari penyamun, pencuri, penjahat, serta melakukan jaga malam dan ronda kampung. Di daerah tertentu, ronda melibatkan masyarakat sipil. Harian Asia Raya, 17 April 1943, memuat peraturan meronda bagi seluruh penduduk Tegal tanpa terkecuali, mulai jam 10 malam sampai jam 8 pagi. Setiap 30 rumah penduduk akan dijaga satu regu terdiri dari tiga orang. Hasilnya? “Sejak diadakan peraturan ini keadaan di sekitar Tegal jadi semakin aman,” tulis Asia Raya.

Sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang kita kenal sekarang muncul pada 1981. Didahului berbagai persoalan dalam negeri, dari gejolak politik hingga kriminalitas, Kepala Polisi Awaloedin Djamil menggagas bentuk pengamanan swakarsa, dari ronda kampung atau siskamling di sektor tradisional hingga industrial security seperti satpam. Siskamling menempatkan warga sipil sebagai pelaksana. Penangungjawab atau pelaksana harian siskamling di lapangan biasanya dilakukan oleh seorang hansip. Sejak itu, dibentuklah pos keamanan lingkungan (poskamling) di kota-kota sampai pelosok desa.

“…siskamling menjadi perpanjangan tangan pengawasan polisi ke dalam lingkup lokal,” tulis antropolog Joshua Barker dalam “State of Fear: Controlling The Criminal Contagion In Suharto’s New Order”, yang dimuat dalam jurnal Indonesia No 66, Oktober 1998.

Terlepas dari muatan politisnya, ada banyak sisi positif dari aktivitas ronda. Ronda malam menjadi sarana untuk menjaga hubungan antarwarga, meningkatkan solidaritas, dan tentu saja menjaga keamanan lingkungan. Tapi, ronda sebagai garda terdepan pengamanan lingkungan mulai ditinggalkan warga. Padahal kejahatan tak pernah mereda. Juga terorisme. Kini warga lebih memilih membangun portal ketimbang gardu dan mengeluarkan kocek untuk membayar hansip ketimbang bergantian ronda.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Ronda & Siskamling)

Kartu Ucapan


KARTU ucapan di hari Lebaran tampaknya tinggal sejarah. Kartu elektronik via internet dan pesan singkat sudah menggantikannya dengan cara yang lebih cepat dan murah. Berkirim kartu lebaran kini menjadi kebiasaan yang dilakukan segelintir orang.

Kebiasaan mengirim kartu ucapan sudah dikenal sekira 4.000 tahun lalu. Bangsa Mesir mengenal “scarabs”, batu-batuan berharga berbentuk kumbang. Bangsa Romawi saling bertukar simbol “kesehatan” maupun “kemauan baik”, dalam bentuk buah-buahan kering dan madu, maupun lempung bakar.

Kartu ucapan dipelopori oleh John Calcott Horsley, seniman London, yang pada 1843 membuat kartu Natal pertama. Di dalam kartunya tertulis ucapan yang terkenal hingga kini: “A Merry Christmas and A Happy New Year to You”. Tapi, baru sejak 1880, kartu Natal menjadi bisnis besar, yang memberi peluang bagi seniman, penulis, pelukis, dan pemotret. Berkirim kartu ucapan kemudian menjadi kebiasaan yang menyebar ke seluruh dunia. Kebiasaan ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan kartu pos, yang merupakan ide Dr Heinrich von Stephan di Jerman pada 1865 –meski akhirnya Dr Emmanuel Hermann dari Akademi Militer Wiener-Neustadt yang diakui sebagai pencetusnya.

Belanda mulai mengadopsi briefkaart (kartu pos) tanpa gambar pada 1871 yang segera disusul negeri jajahannya, Hindia Belanda. Pada 1893 muncul kartu pos bergambar pertama di Batavia. Pemerintah tak mengizinkan swasta mencetak kartu pos bergambar, namun akhirnya larangan itu dicabut. Beberapa percetakan besar dan pengusaha di beberapa kota pun kemudian memproduksi kartu pos; umumnya bergambar keeksotisan alam Hindia Belanda. Kartu-kartu pos ini biasanya dipakai untuk menyampaikan pesan singkat, juga ucapan selamat.

Pada 1898, misalnya, firma H. Bunning mengeluarkan seri kartu pos Yogyakarta, Prambanan dan Borobudur. Salah satu kartu pos bergambar patung Buddha di Borobudur. Leo Haks dan Steven Wachlin dalam Indonesia: 500 Early Postcards mengisahkan, ada yang mengirim kartu itu ke Belanda sebagai kartu ucapan tahun baru. Ketika tiba di sana, petugas pos Rotterdam menganggap gambar Buddha yang telanjang “kurang sopan” untuk disampaikan kepada si penerima. Maka sang Buddha diberikan “pakaian” dahulu, kartu pos itu lalu dimasukkan dalam amplop. Si penerima terpaksa harus membayar biaya ekstra 7,5 sen.

Bagaimana dengan kartu Lebaran? Sulit menentukan kapan umat Islam mulai menggunakan kartu Lebaran. Sebagian umat Islam menganggap kartu Lebaran bukan tradisi Islam, apalagi jika kartu itu dikirim oleh non-Muslim, sehingga dilarang. Yang membolehkan menganggap bahwa tujuan kartu lebaran adalah untuk silaturahmi dengan sesama Muslim yang tak bisa dikunjungi. Di sisi lain, tradisi di sejumlah daerah di Indonesia tak mendukung popularitas kartu Lebaran. Lebaran adalah saat yang lebih mudah mengunjungi dan meminta maaf kepada yang lebih tua; yang lebih rendah pangkatnya mengunjungi yang lebih tinggi.

Meski hanya populer di kalangan terbatas, penggunaan kartu Lebaran juga dikenal di Hindia Belanda. Pada 1918, sebuah kartu Lebaran dibuat oleh Singer Sewing Machine Co. Isinya, selain ucapan selamat Lebaran, juga peringatan kepada para peminjam mesin jahit agar menyimpan uang untuk membayar sewa mesin jahit bulan Juli dan Agustus 1918.

Sementara itu, menurut sejarawan JJ Rizal dalam “Menemukan Makna Tradisi Lebaran”, Tempo, 5 November 2006, kartu Lebaran kali pertama beredar pada 1927. Dua tahun kemudian, ketika krisis melanda dunia, Idul Fitri dijadikan momentum politis. “Sebagai simbolisasi harapan-harapan itu, rakyat mengganti kartu Lebaran yang beredar pertama kali tahun 1927 dengan gambar orang berperahu sambil mengibarkan bendera Belanda dengan desain baru yang lebih sesuai dengan semangat zaman,” tulis pengelola Penerbit Komunitas Bambu itu.

Di masa pendudukan Jepang, kartu Lebaran juga dipakai penguasa militer untuk kepentingan politis, yakni merangkul umat Islam demi tujuan perangnya. Tak heran jika penguasa –meski awalnya melakukan pembatasan karena adanya pembenahan administrasi di masa transisi– memberikan kebebasan kepada mayarakat untuk saling mengirim karcis –sebutan untuk kartu saat itu– Lebaran.

“Mulai sekarang telah diperkenankan oleh Djawatan Pos untuk mengirimkan kartu Lebaran dengan tak memakan batas. Pengiriman dengan menerangkan alamat yang lengkap di dalam amplop. Adapun ongkos pengiriman seperti biasa, dua sen,” tulis Tjahaja, 18 September 1943.

Bahkan, melalui media, penguasa militer mengumumkan tatacara pengiriman kartu lebaran. Disebutkan: agar mudah dikenal, pada sampul karcis harus diberi tanda dua garis yang merupakan palangan, ditarik dari tiap sudut sampulnya dengan tinta atau potlot; Djawatan Pos akan berusaha sedapat mungkin menyerahkan karcis-karcis tersebut ke alamat yang dituju pada malam atau hari Lebaran; Untuk karcis-karcis yang dikirim menjelang Ramadan berakhir, kantor pos tak menanggung penyerahan karcis-karcis itu tepat waktu.

“Akhirnya diperingatkan kepada umum bahwa pada sampul-sampul karcis-karcis Lebaran pun harus ditulis juga nama dan alamat si pengirim dengan lengkap dan terang,” tulis Soeara Asia, 23 September 1943.

Setahun kemudian, kembali penguasa militer memanfaatkan momen Idul Fitri untuk mendapat dukungan dari umat Islam di tanah air. Pada 7 September 1944, dalam Sidang Istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang), Perdana Menteri Koiso mengumumkan bahwa Hindia Timur (Indonesia) akan merdeka di kemudian hari. Janji itu juga tercermin dalam kartu Lebaran. Selain berisi ucapan “Selamat Idul Fitri”, karcis lebaran rata-rata disertai salam “Indonesia Merdeka”.

“Slogan ‘Indonesia Merdeka’ itu ibarat obat mujarab bagi bangsa Indonesia yang menderita selama dijajah Belanda. Kita harus memakainya dengan baik-baik sesuai dengan petunjuk dan resep dokternya, yaitu Dai Nippon. Yang tidak dapat ditawar lagi ialah kita harus berani dan ikhlas berkorban untuk mencapai Indonesia merdeka itu dengan berjuang mati-matian bersama Dai Nippon dalam perang Asia Timur Raya ini. Dai Nippon menang, Indonesia pasti merdeka!” tulis Tjahaja, 22 September 1944.

Politisasi kartu Lebaran juga terjadi pada masa Orde Baru. Pada 1997, Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) Sri-Bintang Pamungkas membuat kartu Lebaran berisi agenda politik PUDI yang menentang rezim Soeharto. Penguasa menganggap Bintang melakukan makar. Bintang pun menghuni LP Cipinang.

Hingga pengujung 1990-an, kartu Lebaran masih diminati hingga posisinya mulai tergantikan oleh internet dan ponsel. Kantor Pos pun mesti tertatih-tatih mempertahankan keberadaan kartu Lebaran, termasuk dengan membagikannya secara gratis.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Kartu Ucapan)

Rambut Gimbal


47gimbal.jpg


SELAIN musik, apa yang paling melekat dari sosok Bob Marley dan Mbah Surip? Rambut gimbal. Ya, rambut gimbal identik dengan kedua musisi reggae itu. Padahal lilitan rambut gimbal merentang jauh ke belakang.

Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan hingga saling membelit dan membentuk gimbal merupakan praktik spiritual sejak ribuan abad lalu. Ia juga dihubungkan dengan semua agama besar dan agama lokal di dunia. Konon, sosok Tuntankhamen, Firaun dari Mesir Kuno, memelihara rambut gimbal. Dewa Shiwa dalam agama Hindu juga berambut gimbal. Sikh, Yahudi ortodoks, biarawan Buddha, darwis atau sufi dalam Islam diidentifikasi dengan rambut gimbal. Kaum Nazaret di Barat serta para penganut Yogi, Gyani, dan Tapsvi di India bahkan menjadikannya sebagai salah satu dari jalan spiritual untuk membebaskan diri dari alam duniawi yang fana.

Rambut yang melilit dan mengunci dipercaya dapat menahan energi tubuh yang keluar melalui ubun-ubun kepala dan rambut. Ingat kisah Samson si perkasa? Kekuatannya seketika menghilang ketika Delillah memotong tujuh helai rambutnya –jangan bandingkan dengan Samson ala Benyamin Sueb. Di Indonesia, di kawasan dataran tinggi Dieng, anak-anak yang terlahir dengan rambut gimbal dipercaya sebagai karunia atau anugerah dari para dewa. Ketika beranjak remaja, rambut gimbal mereka dipotong lewat upacara adat. Rambut mereka selanjutnya disucikan dengan air dari sumur Maerokoco di kompleks Candi Dieng, yang dipercaya akan mengembalikan rambut gimbal kepada pemiliknya, Nyai Ratu Kidul (penguasa Laut Selatan).

Rambut gimbal menjadi simbol politis ketika pada 1914 Marcus Garvey, yang kelak jadi pahlawan nasional pertama Jamaika, mendirikan The Universal Negro Improvement Association (UNIA). Dia mempelopori gagasan kebanggaan kulit hitam dan memperjuangkan gerakan “Back-to-Africa”. Dia juga memperkenalkan gerakan religius dan penyadaran identitas kulit hitam yang mengadopsi aspek spritualitas dalam Alkitab tapi menganggap Ras Tafari Makonnen –Kaisar Haile Selassie, raja dari Ethiopia pada 1930– sebagai mesiah. Dari sinilah kelak gerakan ini lebih dikenal dengan Rastafaria. Mereka menyebut diri sebagai kaum “dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Gerakan inilah yang mempopulerkan istilah dreadlocks untuk tatanan rambut gimbal.

Pola hidup vegetarian dan membiarkan rambut tumbuh secara alami, tanpa dipotong, disisir atau ditata merupakan manifestasi dari keyakinan dalam menjalani kehidupan sealami mungkin. Gagasan alami itu juga terkait dengan penolakan terhadap definisi keindahan ala masyarakat kulit putih bahwa rambut gimbal kotor, berantakan, najis. Rambut gimbal pun tak hanya cara melihat keindahan melalui mata kulit hitam, tapi tentang menjadi lelaki atau perempuan Afrika yang penuh kebanggaan.

Rambut gimbal menjadi ekspresi pemberontakan atau reaksi terhadap masyarakat kolonial di Jamaika ketika pada 1930-an Jamaika dilanda gejolak sosial dan politik. Pengikut Rastafaria yang tak puas dengan pemerintah melakukan perlawanan simbolik dengan tinggal di dalam tenda-tenda dan memelihara rambut gimbal.

"Rambut gimbal Rasta berevolusi selama 20 tahun sebagai gerakan Rastafaria," kata Profesor Horace Campbell dari Syracuse University dan penulis Rasta And Resistance, sebagaimana dikutip The Guardian, 23 Agustus 2003. "Rastafaria hidup dalam konteks kolonial [di Jamaika] yang ingin menggambarkan diri mereka berbeda dari orang-orang Eropa. Jadi mereka mengambil bentuk fisik yang mewakili identitas mereka dengan Afrika."

Popularitas rambut gimbal mencuat pada 1970-an ketika Robert Nesta Marley, atau lebih dikenal dengan Bob Marley, meluncurkan album Catch A Fire. Rastafaria menjadi gerakan dunia. Rambut gimbal juga menjadi tren dan ikon musik reggae. "Bob Marley ditransendensikan sebagai karakteristik radikal dari Rastafaria dan merangkul semua kebudayaan dan menjadi juru bicara gerakan itu," ujar Campbell.

Tapi rambut gimbal menghadapi tantangan. Menurut The Guardian, sejumlah sekolah menolak untuk mengajar anak-anak berambut gimbal. Para Rasta di penjara harus mencukur rambut. Mereka juga sulit mendapat pekerjaan. "Saya ingat saat berada di pusat lowongan kerja dan mereka menawarkan untuk memberi saya uang saku untuk potong rambut," kata penyair kenamaan Inggris yang juga seorang Rasta, Benjamin Zephaniah.

Ketika penata rambut Inggris Simon Forbes menangkap tren rambut gimbal dengan membuka sebuah salon bernama Antenna di Kensington, London, resistensi masih terjadi, terutama rambut gimbal putih. "Saya ingat Pete Burns dan kelompok musik Dead or Alive dipukuli oleh sekelompok anak-anak hitam di Liverpool dan merengut rambut gimbal mereka," katanya. Dia juga masih dituduh rekan-rekannya, kulit hitam maupun putih, merusak budaya kulit hitam.

Titik balik Rasta muncul bersamaan dengan sound system yang disebut Soul II Soul yang kerap dimainkan di acara pesta dan klub remaja di London. Mereka menjadi dikenal sebagai “Funki Dred”, merujuk rambut gimbal mereka yang rapi. Sejumlah artis, musisi rock, dan selebritas kemudian mulai bergaya ala Bob Marley seperti grup musik KoRn, Mike Bordi (drummer Faith No More), atau Jennifer Anniston dan Christina Aguilera. Di Indonesia juga banyak artis berambut gimbal seperti Mbah Surip, Tony Q, dan Steven and The Coconut Treaz.

Rambut gimbal sudah menjadi bagian dari fashion, yang menanggalkan simbol-simbol spiritualitas dan antikemapanan. Desainer kenamaan John Galliano dari Christian Dior mengadopsinya dalam gaya rambut dan koleksi pakaian, sepatu, dan aksesoris dengan nama Rasta. Salon-salon untuk rambut gimbal mulai tersedia.

Rambut gimbal kini bisa dimiliki setiap orang. Pemiliknya bukan lagi pemrotes tapi juga profesional. Ia tak lagi menjadi sebuah sikap, mentalitas, dan cara hidup.



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Rambut Gimbal)

Ketupat


ketupat.jpg


Lebaran belum lengkap tanpa makan ketupat. Saat lebaran tiba, ketupat seolah menjadi menu wajib yang mesti tersedia di meja makan. Namun bagaimana asal-asul sejarah ketupat? Mengulas sejarah ketupat tidaklah semudah mengunyah ketupat itu sendiri.

Ketupat sudah lama dikenal di sejumlah daerah di Indonesia. Ini terlihat dari sejumlah makanan khas yang menggunakan ketupat sebagai pelengkap hidangan. Ada kupat tahu (Sunda), kupat glabet (kota Tegal), coto Makassar, ketupat sayur (Padang), laksa (kota Cibinong), doclang (kota Cirebon), juga gado-gado dan sate ayam. Tapi tetap saja, tanpa ketupat di hari lebaran, terasa kurang afdol.

Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, yang membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan dukungan Walisongo (sembilan wali). Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, tempat unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Di sinilah pentingnya akulturasi. Raden Mas Sahid, anggota Walisongo yang sohor dengan panggilan Sunan Kalijaga, lalu memperkenalkan dan memasukkan ketupat, simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat, dalam perayaan lebaran ketupat, perayaan yang dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri dan enam hari berpuasa Syawal.

Lebaran ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Ia dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Dalam pengubahsuaian itu terjadi desakralisasi dan demitologisasi. Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.

Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Beberapa keraton di Indonesia, seperti Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap melestarikan tradisi ini. Sebagai contoh upacara slametan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad. Dalam upacara ritual semacam itu, ketupat menjadi bagian dari sesaji –hal sama juga terjadi dalam upacara adat di Bali. Di masyarakat Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat atau penolak bala.

Tak heran jika kita melihat sejumlah tradisi di sejumlah daerah, yang berkaitan dengan agama Islam, Hindu, maupun kepercayaan lokal. Di sejumlah daerah ada tradisi unik yang dinamakan perang ketupat. Di Pulau Bangka perang ketupat dilakukan setiap memasuki Tahun Baru Islam (1 Muharam). Di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Di Lombok, perang ketupat dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen dan menandai saat mulai menggarap sawah. Tradisi itu masih bertahan hingga kini.

Tradisi lebaran ketupat, yang notabene berasal dari wilayah pesisir utara Jawa, tempat awal penyebaran Islam, tak kuat pengaruhnya di pedalaman. Hanya sejumlah wilayah pesisir utara yang hingga kini menganggap lebaran ketupat, biasa disebut “hari raya kecil”, sebagai lebaran sebenarnya seperti Kudus, Pati, dan Rembang. Secara esensial, tak ada yang membedakan antara lebaran ketupat dengan lebaran pada hari raya Idul Fitri. Keduanya punya makna yang sama.

Menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata “jatining nur” yang bisa diartikan hati nurani. Secara filosofis beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Dengan demikian bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama: timur, barat, selatan, dan utara. Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat (salat).

Rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat merupakan simbol dari kompleksitas masyarakat Jawa saat itu. Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial. Tapi ceritanya jadi lain ketika terjadi krisis di saat lebaran; jurang sosial pun jadi jelas. Misalnya seperti dikisahkan Rosihan Anwar.

Dalam Sukarno, Tentara, PKI, Rosihan menulis catatan harian bagaimana lebaran pada 1961. Ketika berangkat salat di Kebayoran Baru, di jalan dia melihat banyak becak yang didandani dengan selongsong ketupat. Roshan berpikir para abang becak sedang merayakan lebaran. Tapi seorang sopir jip bercerita bahwa para abang becak mendapatkan selongsong itu dari pasar-pasar yang membuangnya karena tak laku. Beras, yang menjadi isi ketupat, tak terbeli oleh rakyat karena harganya melambung.

Beruntunglah Anda kalau bisa menikmati lezatnya ketupat. Kini, ketupat juga tak harus membuatnya dari janur. Anda bisa makan ketupat tanpa repot-repot menganyam daun janur. Selongsong ketupat bisa diganti dengan bungkus plastik atau tabung kaleng khusus siap beli. Selain harganya lebih murah, plastik lebih mudah didapatkan dan praktis. Tapi sebagian orang tetap menggunakan janur karena citarasanya yang khas dan lebih alami.



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Ketupat)

Petasan

LEBARAN mungkin takkan lengkap tanpa petasan. Begitu pula yang dirasakan bocah kecil Kusno di Mojokerto. Saat itu, menjelang lebaran, dia hanya bisa mengintip, dari lubang udara kecil pada dinding bambu kamarnya, teman-temannya bermain petasan. Hatinya pilu.

“Dari tahun ke tahun aku selalu berharap-harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon,” keluhnya.

Betapa girang hatinya ketika seorang kenalan ayahnya memberi hadiah berupa petasan. Itulah hadiah terindah yang pernah diterimanya, dan takkan dilupakan Kusno kecil selamanya. Kusno, bocah kecil itu, adalah Sukarno, proklamator dan presiden pertama Indonesia.

Pengalaman masa kecil Sukarno, seperti dikisahkan S. Kusbiono dalam Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik Indonesia, menunjukkan betapa petasan sudah menjadi permainan anak-anak selama Ramadan dan Lebaran. Hingga kini, membakar petasan seolah sudah menjadi tradisi. Bunyinya yang memekakkan telinga justru menjadi daya tarik.

Tradisi membakar petasan, menurut legenda yang tersebar di Cina, sudah dimulai sejak pemerintahan Dinasti Han pada 200 SM, jauh sebelum penemuan bubuk mesiu. Ini berhubungan dengan sosok makluk gunung bernama Nian. Setiap tahun baru Cina, Nian keluar gunung, mengganggu perayaan tahun baru. Nian hendak memakan mereka! Untuk mengusir Nian, penduduk kemudian membuat suara ledakan dari bambu, yang mereka sebut baouzhu. Sejak itu petasan dipakai dalam setiap perayaan maupun festival di Cina, termasuk Imlek atau tahun baru Cina.

Petasan kemudian berkembang dengan penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh seorang pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi Hunan. Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai produsen petasan dunia.

Petasan lalu mengalami perkembangan. Tak lagi menggunakan bambu tapi gulungan kertas. Ia juga merambah Eropa melalui Marcopolo yang membawa beberapa petasan Cina ke Italia pada 1292. Pada masa Renaissance, bangsa Italia mengembangkan kembang api dengan warna-warni yang lebih memikat sebagai bagian dari perayaan seni dan tradisi masyarakat Eropa. Italia dianggap sebagai negara Eropa pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.

“Italia memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan petasan modern di dunia,” tulis John Roach dalam National Geographic News, 4 Juli 2003.

Di Indonesia, kuat dugaan petasan dibawa para pedagang Cina di Nusantara. Bahaya petasan membuat penguasa VOC pada 1650 mengeluarkan larangan membakar petasan terutama di bulan-bulan kemarau seperti Desember, Januari, dan Februari. Petasan dianggap memicu kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, serta rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu dan atap rumbia. Alasan lain yaitu faktor keamanan, penguasa VOC sulit membedakan bunyi ledakan petasan dengan letusan senjata api.

Ketakutan VOC bisa dipahami karena orang-orang Cina, sebagaimana ditulis Bakdi Soemanto dalam buku Cerita Rakyat dari Surakarta, pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan. Ceritanya, pada 30 Juni 1742, orang-orang Cina di Surakarta merasa tak puas dengan perlakuan sewenang-wenang pengausa terhadap orang-orang Cina di Batavia. Mereka melawan. Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang saat itu memihak Belanda, mengirimkan pasukan keraton untuk meredam perlawanan itu tapi tak berhasil. Pasalnya, orang-orang Cina menggunakan petasan! Banyak anggota pasukan keraton lari terbirit-birit; mengira bunyi senapan. Kebingungan juga melanda pasukan kompeni.

Larangan serupa juga diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung, terlebih saat perayaan Tahun Baru, Imlek, dan Lebaran, juga dalam tradisi masyarakat. Dalam pesta-pesta hajat seperti khitanan, perkawinan, dan maulidan orang Betawi, misalnya, petasan meramaikan suasana. Sejarawan Alwi Shahab menduga tradisi membakar petasan itu berasal dari tradisi orang-orang Cina yang bermukim di Jakarta. Orang-orang Cina tempo dulu biasa menggunakan petasan sebagai alat komunikasi untuk mengabarkan adanya pesta atau suatu acara besar. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah pesta hajat dapat dijadikan sebagai simbol status sosial seseorang di masyarakat. Ia juga menjadi penanda rasa syukur.

Tapi petasan pernah menjadi persoalan politik yang pelik. Ceritanya, pemerintah Jakarta membikin “pesta petasan” di Jalan Thamrin pada malam Tahun Baru tahun 1971. Gubernur Jakarta Ali Sadikin menyulut petasan sebagai tanda dimulainya “pesta petasan”. Berton-ton mercon dibakar malam itu. Sialnya, korban berjatuhan. Seperti ditulis Tempo, 13 November 1971, 50-60 orang diangkut ke kamar mayat, bangsal-bangsal bedah, dan poliklinik. Seorang warga Amerika juga menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit.

Presiden Soeharto kemudian turun tangan, apalagi Idul Fitri akan segera tiba. Dalam Sidang Kabinet Paripurna 12 Oktober 1971, presiden mengeluarkan serangkaian larangan dan instruksi khusus soal petasan. Hanya petasan jenis "cabe rawit" dan "lombok merah" yang diperbolehkan; itu pun harus bikinan dalam negeri –dengan alasan menghemat devisa negara. Menteri Dalam Negeri Amir Machmud lalu mengirimkan kawat kepada gubernur seluruh Indonesia, antara lain tentang ukuran mercon yang diizinkan: “Tidak boleh lebih panjang dari 8 cm, tidak boleh lebih lebar dari garis tengah 1 cm, dan isinya tidak boleh berat dari 10 gram.” Amir Machmud juga tak lagi mengeluarkan izin impor mercon. Kepala Polisi RI Komjen Polisi Drs Moh. Hasan menginstruksikan semua pejabat polisi tertinggi di setiap propinsi untuk menertibkan pemasangan dan pembuatan mercon.

Tempo juga melaporkan bagaimana para pemimpin agama sudah kewalahan melarang petasan. Bahkan Hamka hingga menteri agama pernah mencarikan ayat maupun hadist yang mencegah orang membakar mercon. Imron Rosjadi SH, ketua IV NU, pernah pula melarang orang Islam menyulut mercon dalam sebuah khotbah dua tahun sebelumnya di Masjid Istiqlal, “tapi orang-orang melototkan matanya pada saya.” Karena itulah, pada 22 Oktober 1971, bersama Jenderal Maraden Panggabean selaku Panglima ABRI, Machmud berseru: "Pemasangan petasan bukanlah suatu keharusan agama, pemasangan petasan hanyalah suatu penghamburan uang yang tak berguna," tanpa mengutip ayat Alquran atau kitab suci lainnya. Seruan itu disiarkan oleh RRI dan pers ibukota.

Polisi merazia penjual dan pemilik petasan, memusnahkan banyak petasan, tapi petasan impor tetap saja masuk lewat pelabuhan. Produsen dan penjual petasan juga diam-diam menjualnya. Setiap tahun, sekalipun ada larangan, razia, korban juga selalu berjatuhan, petasan masih mewarnai suasana perayaan di Indonesia, hingga kini.

Zaman sekarang tidaklah sama seperti Sukarno kecil yang kekurangan permainan. Ada banyak cara untuk menunjukkan status atau rasa syukur. Lalu, masihkah pendar dan suara petasan dibutuhkan?



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: PETASAN)

Nasionalisme Peci


80Peci.jpg


PEMUDA itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat. Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri.

“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”

“Aku seorang pemimpin.”

“Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat... Sekarang!”

Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah. Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: ”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti dituturkannya dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya... simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan jasa dan dasi. Ini, menurut Sukarno, untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah).

Sejak itu, Sukarno hampir selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Seperti yang dia lakukan saat membacakan peldoinya “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Dan peci kemudian menjadi simbol nasionalisme, yang mempengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual, termasuk pemuda Kristen.

Karena itulah, George Quinn dalam The Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia, mendefinisikan cap (peci) dengan mengambil contoh Sukarno: Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Sukarno duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam).

Sebenarnya Sukarno bukanlah intelektual yang kali pertama menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politisi, yang kebetulan lagi menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam. Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala. Tampaknya Sukarno mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.

Pengaruh Sukarno begitu luas. Pada pertengahan 1932, Partindo melancarkan kampanye yang diilhami gerakan swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat hanya memakai barang-barang bikinan Indonesia. Orang-orang mengenakan pakaian dari bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk peci –sebagai pengganti fez– yang dikenakan umat Muslim di Indonesia. Peci lurik ini mulai terlihat dipakai terutama dalam rapat-rapat Partindo. “Tapi Bung Karno tak pernah memakainya. Dia tetap memakai peci beludru hitam, yang bahannya berasal dari pabrik di Italia,” tulis Molly Bondan dalam Spanning A Revolution.

Sebenarnya, dari mana asal peci? Sukarno menyebut peci asli milik rakyat kita mirip dengan yang dipakai para buruh bangsa Melayu. Belum ada data penggunaan peci di kalangan buruh. Di Indonesia orang menyebutnya peci. Orang Melayu di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan selatan Thailand, dan sebagian Indonesia menyebutnya songkok.

Menurut Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa. “Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,” tulis Rozan.

Asal songkok menimbulkan spekulasi karena tak lagi terlihat di antara orang-orang Arab. Di beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman.

“Menurut beberapa ahli, ini adalah tutup kepala yang merupakan pendahulu songkok di Asia Tenggara,” tulis Rozan.

Peci tampaknya sudah dikenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan. “Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III.

Peci kemudian menjadi penanda sosial seperti penutup kepala lainnya yang saat itu sudah dikenal seperti kain, turban, topi-topi Barat biasa, dan topi-topi resmi dengan bentuk khusus. Pemerintah kolonial kemudian berusaha mempengaruhi kostum lelaki di Jawa. Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.

“Kostum tersebut berupa setelan ditambah dengan penutup kepala batik atau peci saat wisuda dari sekolah-sekolah Belanda...,” tulis Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940” yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.

Menurut Denys Lombard, Barat sangat sedikit mempengaruhi tutup kepala orang Jawa. Topi Eropa sama sekali tak populer. Demikian pula topi gaya kolonial (yang populer di Vietnam). Kuluk atau tutup kepala berbentuk kerucut terpotong tanpa pinggiran, yang dikenakan para priayi, dapat dikatakan hilang dari kebiasaan, dan kain tutup kepala yang dililitkan dengan berbagai cara (ikat kepala, blangkon, destar, serban) makin lama main jarang.

“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Kini, peci dipakai dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun keseharian umat Muslim di Indonesia seperti upacara perkawinan, lebaran, atau ibadah salat. Di Malaysia dan Brunei, songkok dipakai tentara dan polisi pada upacara-upacara tertentu. Pada 19 Juni 2008, anggota dewan DAP Gwee Tong Hiang disingkirkan dari Dewan Majlis Johor karena tak mematuhi aturan pakaian resmi dan songkok.

Peci tak lagi menjadi tanda kemusliman dan kesalehan seseorang. Kini, ia menjadi busana formal.



sumber:
Majalah Historia


-dipi-
 
Back
Top