Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Update: Mata Keranjang & Hidung Belang)

Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Nasionalisme Peci)

CIA vs Castro

CENTRAL Intelligence Agency (CIA) selalu punya rencana kreatif untuk menghabisi pemimpin negara lain yang kontra terhadap Amerika Serikat. Salah satunya ditujukan untuk menggulingkan pemimpin Kuba Fidel Castro. Untuk menyukseskan rencana itu, pada awal tahun 1960 CIA menjalankan misi rahasia bernama Operasi Musang. Operasi bertujuan membunuh Fidel Castro atau paling tidak mempermalukannya di hadapan pendukungnya. Bermacam alat pendukung pun diciptakan untuk melancarkan jalannya operasi tersebut.

Proyek pembuatan peralatan itu menggunakan nama sandi MKULTRA, program CIA di saat Perang Dingin. Proyek ini dibentuk pada Maret 1953 oleh Allen Dulles, Direktur Intelijen Pusat CIA. Pengerjaannya diserahkan kepada TSS (Technical Services Staff) dan seorang staf ahli kimianya, Dr Sidney Gottlieb, yang saat itu berusia tigapuluh empat tahun.

Dalam buku Penipuan dan Trik Kotor CIA yang diterjemahkan dari The Official CIA Manual of Trikery and Deception, H. Keith Melton, pakar spionase, dan Robert Wallace, mantan agen CIA menulis berbagai cara yang ditempuh oleh CIA untuk mempermalukan atau membunuh Castro.

Cara pertama diusulkan oleh seorang ahli kimia bioorganik yang tak diketahui namanya. Dia mengusulkan agar Castro disemprot cairan LSD (Lysergic Acid Diethylamide). Cairan itu ditemukan oleh ahli kimia asal Swiss Albert Hofmann pada 1938 saat bekerja di perusahaan farmasi Sandoz. Dia menemukan LSD saat meneliti jamur yang tumbuh di tanaman gandum. Hofmann bahkan sempat dibuat berhalusinasi gara-gara obat temuannya itu yang menetes dan merembes lewat jari tangannya saat melakukan percobaan. LSD, yang kemudian dilarang penggunaannya di akhir tahun 1960-an itu, pernah jadi obat favorit bagi para pecandu narkotika.

Diam-diam Operasi Musang menyiapkan aksi menyemprot studio penyiaran milik Castro di Havana agar dia terkena efek halusinasi dari obat itu. Bukan saja dengan semprotan, operasi juga diarahkan untuk memasukan cairan kimia khusus ke dalam cerutu Castro yang dikenal perokok berat itu. Cara itu diyakini bisa membuat Castro mengalami disorientasi dan meracau saat berpidato. Seperti diketahui, salah satu pesona Castro ialah saat ia menyampaikan pidatonya yang membakar semangat rakyatnya. Amerika tak menginginkan itu.

Dinas intelijen rahasia Amerika itu pun tak hanya bernafsu menghabisi nyawa Castro, tapi juga ingin memudarkan kharisma pemimpin revolusi itu. CIA pun berhasil menemukan di mana letak kharisma Castro, yakni pada jenggot lebatnya. Operasi Musang pun segera mengatur siasat, mencari cara merontokkan jenggot Castro.

Rencana disiapkan saat Castro sedang bepergian ke luar negeri. Pada saat kunjungan itu biasanya dia meninggalkan sepatunya di kamar hotel pada malam hari untuk disemir. “CIA berpikir untuk membersihkan bagian dalam sepatu bot itu dengan garam talium, obat penghilang rambut yang kuat, yang akan menyebabkan jenggotnya rontok. Bahan kimia tersebut berhasil diperoleh dan diujikan pada hewan. Tetapi, rencana tersebut dibatalkan karena Castro membatalkan jadwal perjalanannya yang sudah diincar itu,” tulis Melton dan Wallace.

Mirip dengan siasat sepatu bot beracun itu, LSD juga bisa dimasukkan ke dalam cerutu Castro. Racun LSD yang terhisap oleh Castro itu pun akan bereaksi merontokkan jenggotnya sekaligus memupus kesan macho pada wajah Castro. Sekotak cerutu khusus akan disediakan buat Castro dalam penampilannya pada acara talkshow televisi yang dipandu David Susskind. Susskind adalah host acara talkshow open end di stasiun televisi WNTA-TV di New York, Amerika Serikat.

Namun, lagi-lagi rencana itu buyar karena tidak ada kepastian apakah Castro sendirian yang mengisap cerutu itu atau malah Susskind juga akan ikut mengisapnya? Pertanyaan itu terlontar dari seorang perwira senior CIA. Karena ragu, akhirnya ide urung dilakukan.

Gagal dalam talkshow, rencana kembali disusun. Kali ini seorang agen ganda Kuba direkrut untuk menawarkan Castro cerutu mengandung botulin, racun yang mengakibatkan kematian dalam hitungan detik. Cerutu itu diberikan ke agen tersebut pada Februari 1961. Tapi dia gagal menjalankan tugasnya setelah rencana jahat itu terendus oleh agen rahasia Kuba. Menyadari kalau Castro berpotensi diracun lewat cerutu, pejabat kemanan Kuba kemudian menciptakan cerutu khusus bermerk Cohiba buat Castro.

Berkali-kali gagal membuat CIA semakin bernafsu menghabisi Castro. Rencana berikutnya lebih mengerikan: Sekotak cerutu berisi peledak disiapkan untuk meledakkan Castro dalam perjalanannya ke kantor PBB. Sama dengan rencana sebelumnya, aksi itu pun batal terlaksana.

Selang beberapa waktu dengan insiden pembunuhan Presiden Kennedy di Dallas, 22 November 1963, seorang perwira CIA diam-diam menemui Rolando Cubela, seorang agen Kuba di Paris. Perwira itu menawari Cubela sebuah pulpen beracun untuk membunuh Castro. Pulpen jenis Paper Mate itu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menyembunyikan jarum suntik kecil yang mengandung racun Blackleaf-40.

Tusukan paling ringan dari jarum suntik itu akan mengakibatkan kematian. Cubela punya sedikit saja waktu untuk melarikan diri sebelum efeknya terlihat. Namun, setelah mengambil pelajaran dari kematian Kennedy, Cubela membatalkan rencananya. Sebelum kembali ke Kuba, dia membuang pulpen beracun itu.

Castro pun panjang umur dan masih hidup sampai hari ini. Cerutu beracun tak mampu merontokkan jenggot machonya.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: CIA vs Castro)

Pekik Merdeka

Pasca Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, setiap kali orang bertemu pasti akan mengucapkan salam “Merdeka”. Bahkan, pekik perjuangan “Merdeka” ditetapkan Maklumat Pemerintahan tanggal 31 Agustus 1945 sebagai salam nasional, yang berlaku mulai 1 September 1945. Caranya ialah dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”.

Pekik “Merdeka” menggema dimana-mana kala itu. Semboyan seperti “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” atau “Merdeka atau Mati” juga kerapkan diucapkan para pemuda dan pejuang, yang menunjukkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan.

Adalah Soekarno yang membumikan pekik “Merdeka”. Ia menjadikannya senjata untuk menggembleng rakyat Indonesia agar semangat perjuangan terus menyala. Dalam banyak kesempatan bertemu rakyat, Bung Karno tak pernah lupa pekik “Merdeka”. Tapi Bung Karno sempat terpeleset gara-gara pekik itu.

Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer (2009) ini, pada 1955, Bung Karno berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Jika para jemaah haji Indonesia umumnya pergi ke Tanah Suci menggunakan moda transportasi laut, Bung Karno menggunakan pesawat terbang.

Pertama-tama, Bung Karno dan rombongannya singgah di Singapura. Dari Singapura, pesawat tidak langsung menuju Arab, melainkan singgah di Rangoon, New Delhi, Karachi, Baghdad, Mesir… barulah mendarat di Saudi Arabia.

“Ketika di Singapura, ribu rakyat Indonesia yang berada di sana antusias menyambut Bung Karno. Mereka meminta Bung Karno memberi wejangan. Bung Karno pun berpidato. Dalam pidatonya yang berapi-api, beberapa kali Bung Karno memekik kata Merdeka… Merdeka… Merdeka...,” kata Roso Daras.

Usai berpidato, Bung Karno melanjutkan perjalanannya. Belum lama pesawat take off dari bandara Singapura, para wartawan geger. Mereka menyoal pekik “Merdeka” yang berkali-kali Bung Karno teriakkan di hadapan rakyat Indonesia.

Keesokan harinya, pers Singapura menulis besar-besar: “Presiden Sukarno menjalankan ill-behaviour“. Bung Karno dituding tak tahu sopan-santun. Kata pers Singapura, Singapura bukan negeri merdeka (waktu itu). Bung Karno tahu itu. Tapi, mengapa ia memekikkan “Merdeka”?

Selama Bung Karno di Tanah Suci, pers Singapura terus saja geger menyoal Bung Karno yang dituding ngompori rakyat Singapura untuk merdeka. Mereka bersiap menunggu kepulangan Bung Karno, yang pasti transit di Singapura.

Setibanya di Singapura, wartawan langsung menodong Bung Karno dengan berbagai pertanyaan seputar “bom pekik merdeka”.

“Tahukah Paduka Yang Mulia Presiden, bahwa tatkala Paduka Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, Paduka dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill behaviour, oleh karena Paduka Presiden memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan ‘merdeka’! Apa jawab Paduka Presiden atas tuduhan itu?” tanya wartawan kepada Bung Karno.

Bung Karno tenang menjawab, “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan ‘merdeka’! Jangankan di surga, di dalam neraka pun.”


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Lastest: Pekik Merdeka)

Bedug


bedug_dunia.jpg


Abdul Azis alias Imam Samudra, pelaku Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang sudah dieksekusi mati, pernah merusak bedug masjid di desanya, Kampung Lopang Gede, Serang, Banten. Dia melakukannya karena menganggap bedug adalah peninggalan Hindu.

Imam Samudra tak terlalu salah karena tak menganggap bedug sebagai peninggalan Islam tapi dia kurang tepat menyebutkannya sebagai peninggalan Hindu. Menurut arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan.

Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.

Saat itu nama “bedug” belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah “teg-teg”, kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). “Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug,” tulis Dwi Cahyono dalam “Waditra Bedug dalam Tradisi Jawa (1),” yang dimuat Kompas, 24 September 2008.

Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam,” tulis Dwi.

Orang China juga punya andil. Seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke tentara yang mengiringinya. Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

Keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisanga sekitar abad ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melaksanakan salat lima waktu. Ini karena, seperti ditulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid”, dalam Peter J.M. Nas dan Martien de Vletter, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan dikumandangkan.

Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada juga yang diberi rumah kecil, terpisah dari masjid. Jika masjid memiliki gerbang besar, bedug sering diletakkan di atasnya. “Suara bedug, pada waktu belum ada pengeras suara, lebih nyaring daripada suara manusia, dan menjadi alat komunikasi yang penting untuk menandai dan merayakan momen-momen keagamaan,” tulis Dijk.

Masjid juga sering memiliki alat komunikasi lain sebagai teman bedug: kentongan, kohkol, kerentung, atau ketuk-ketuk, yakni semacam tetabuhan yang terbuat dari batang kayu. Alat ini, bersama bedug, digunakan untuk memperingatkan orang-orang sebelum azan berkumandang.

Memukul bedug, lanjut Dijk, sepertinya merupakan tradisi lama. Pada 1659, ketika Wouter Schouten, seorang dokter kapal Belanda mengunjungi Ternate, dia mencatat penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang datang ke masjid. Dua tahun kemudian, ketika berada di Banten, dia melihat sebuah bedug dengan tinggi dan lebar delapan kaki di samping menara masjid. Suaranya terdengar bermil-mil sampai ke pegunungan.

Selain untuk memberi tahu warga desa atau kampung bahwa waktu salat sudah tiba, “… pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa serta hari raya haji... kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2.

Belakangan, tak semua umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid-masjid. Ia akrab dengan warga Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi kelompok musim Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah yang menganggap bedug bid’ah. Penggunaan bedug tampaknya sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di masjid-masjid karena diperlukan untuk syiar Islam. Perdebatan itu, selain soal-soal lainnya, masih mengemuka pada 1950-an dan 1960-an.

Ada upaya untuk menjembatani perbedaan yang berkaitan dengan hal semacam itu tapi tidak sepenuhnya berhasil. Sampai-sampai cendekiawan Nurcholish Madjid, yang pada 1970-an melontarkan desakralisasi, akhirnya berkesimpulan bahwa umat Muslim bukan hanya menyucikan bedug tapi sudah sampai menyucikan organisasi atau partai; partai mereka yang paling benar, paling suci.

Mirisnya, pertentangan itu masih bertahan hingga bertahun-tahun kemudian. Gara-gara bedug, pada 1987, warga Kampung Gunung Kembang di Tasikmalaya bersitegang. Seperti ditulis Sofyan Samandawai dalam Mikung: Bertahan dalam Himpitan, warga Persis menyerang praktik penggunaan bedug di masjid-masjid NU. Sebaliknya warga NU menyerang ijtihad yang dilakukan Persis. Konflik itu berlanjut hingga 1988, yang kemudian diselesaikan dengan pembagian wilayah Kampung Gunung Kembang secara administratif.

Perdebatan mengenai bedug mulai mereda sekarang. Peran bedug sudah tergantikan dengan pengeras suara. Tapi ada sejumlah masjid yang tetap menabuhkan bedug dan kentongan sebagai pembuka azan. Ia juga dianggap sebagai praktik budaya dan seni, yang ditabuhkan untuk menyambut bulan Ramadan dan Idulfitri.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Bedug)

Menengok Lebaran Masa Lalu

Terlepas dari hiruk pikuk lebaran pada masa sekarang yang tak jauh dari melonjaknya harga-harga, suasana arus mudik dengan istilah H minus (H -) atau plus (H+), ada baiknya sejenak kita menengok ke suasana lebaran masa lalu dalam konteks politik dan ekonomi. Suasana yang tak jauh berbeda dengan situasi sekarang.

Pada 1929, dunia dilanda krisis. Ditandai dengan jatuhnya harga saham di Wall Street, New York yang dikenal dengan nama Black Thursday (Kamis Hitam). Peristiwa itu diikuti dengan ditutupnya sejumlah pabrik, bangkrutnya bank-bank, merosotnya harga komoditi dunia. Di Hindia Belanda, masa krisis itu atau Malaise dikenal dengan sebutan “zaman meleset”.

Suasana politik di Hindia Belanda pun kacau. Dalam sebuah artikel di Daulat Ra’jat, Syahrir mengungkapkan perlunya keterpaduan Indonesia-Belanda untuk menghadapi bahaya fasisme (Jerman dan sekutunya) yang mulai merangsek. Konsep Indië Weerbar (pertahanan Hindia) yang populer dianggap tidak menguntungkan oleh Soekarno. Soekarno lebih condong untuk memanfaatkan situasi pecahnya perang di Pasifik. Hasrat “kemerdekaan” rakyat Hindia yang akan diberikan bila mendukung konsep Indië Weerbar ditanggapi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Limburg van Stirum dengan mengatakan: “Jika diperlukan, Hindia akan dijajah Belanda hingga seratus tahun lagi!”.

Berkaitan dengan hal tersebut, Idul Fitri tahun 1929 pun dijadikan momentum politis. Pada halaman muka Java Bode disebutkan umat Islam di Jakarta untuk pertama kali mengadakan sembahyang Idul Fitri di lapangan terbuka Koningsplein (Gambir). Entahlah apakah pemerintah Hindia Belanda mengetahui hal tersebut.

Sementara itu dalam sebuah foto hitam-putih dari tahun 1930-an digambarkan suasana Lebaran di sebuat sudut kota, yang tampaknya sebuah pasar. Orang-orang tampak bersuka cita. Banyak di antara mereka, baik tua maupun muda mengenakan pakaian berwarna terang dan bercelana pendek. Ada pula yang mengenakan sarung dan destar atau kopiah. Beberapa penjual makanan dan minuman tampak dipadati pembeli.

Dimanfaatkannya Koningsplein sebagai pusat shalat Id di Jakarta berlangsung hingga pendudukan Jepang. Ketika itu namanya berganti menjadi lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Belanda memang takluk tapi kini kekuasaan berada di tangan Jepang yang mengaku “saudara tua” yang akan membawa kejayaan bagi bangsa Asia. Polah pemerintah militer Jepang pun membuat geram. Harry J Benda dalam The Crescents and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation menulis kebijakan agama penguasa Jepang yang membuat sakit hati. Pada saat akan digelar shalat Id, Jepang mengimbau agar shalat Id diadakan di pagi buta persis selesai subuh. Alasannya, sebelum matahari terbit Jepang harus upacara sekerei (sembah matahari) di lapangan yang sama. Mungkin saja para tentara Jepang itu takut merasa tersaingi.

Tiga setengah tahun lewat, Jepang bertekuk lutut di kaki sekutu. Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 jatuh pada bulan Ramadhan. Panitia Proklamasi Kemerdekaan pun memiliki rencana untuk menggelar shalat Id di halaman gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur No 17, Jakarta. Shalat tetap bisa dilaksanakan tetapi di sekitar gedung dijaga ketat oleh tentara Dai Nippon.

Akhir tahun 1945 ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Belanda dengan membonceng pasukan sekutu masih ingin kembali berkuasa di Indonesia. Masa yang dalam historiografi Indonesia dikenal dengan masa revolusi membuat sejarah sendiri. Pertentangan antara tokoh-tokoh penting yang ingin berjuang dengan cara dan pendapatnya masing-masing merebak. Tokoh-tokoh nasionalis, agama dan komunis berargumen dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang belum genap berusia setahun.

Pada bulan Ramadhan 1946, beberapa tokoh melobi Bung Karno. Mereka meminta supaya Bung Karno pada hari raya Idulfitri yang bertepatan jatuh pada bulan Agustus bersedia merayakan lebaran dengan mengundang semua tokoh revolusi yang berbeda pendapat. Diharapkan pada suasana lebaran itu, semua pihak yang berbeda pendapat akan saling memaafkan dan menerima keragaman mereka untuk sama-sama berjuang melawan Belanda yang kembali ingin berkuasa. Bung Karno pun setuju. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, itulah saat lahirnya istilah halal bi halal. Istilah dari bahasa Arab yang dirancang oleh para pendiri RI sebagai ajang menghalalkan perbedaan, tetapi bersatu dalam kebersamaan. Ketika Lebaran tiba, di Istana Yogyakarta diselenggarakan halal bi halal.

Sementara itu suasana shalat Id tahun 1947 di Alun-alun Yogyakarta terekam dalam sebuah foto koleksi Antara/Ipphos. Dalam foto itu tampak Panglima Besar Jenderal Sudirman berpici, berjas putih dengan empat saku berdiri di sebelah Soekarno. Di sebelahnya lagi ada Sultan Hamengku Buwono IX, Moch Ichsan (walikota Semarang yang diusir Belanda dan menyusul pemerintahan sementara di Yogyakarta) serta Soepardjo Rustam yang ketika itu ajudan Sudirman. Tampak jas dan pakaian keempat tokoh tersebut kumal, lusuh dan tak disetrika, sama seperti semua rakyat yang berjemaah bersama mereka.

Tahun 1950-an, pada masa demokrasi liberal, shalat Id dipindahkan ke lapangan Banteng. Setelah di tengah lapangan berdiri monumen pembebasan Irian Barat, sejak itu shalat Id terpencar di lapangan dan mesjid yang ada di Jakarta.

Tahun 1961, Taman Wijayakusuma yang semula bernama Wilhemina Park dibongkar dan akan dibangun Masjid Istiqlal, mesjid yang ketika itu terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini pun menjadi salah satu pusat shalat Id di Jakarta.

Dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Rosihan Anwar menceritakan pengalaman pada hari Idulfitri 1961. Ketika pergi shalat Id di Kebayoran Baru, Rosihan melihat banyak becak yang dihiasi kulit ketupat. Awalnya ia menganggap upaya abang becak itu gerakan spontan menyambut lebaran. Namun, dari penuturan seorang sopir jip, kulit-kulit ketupat itu dibuang di pasar-pasar karena tak habis terjual. Mengapa dibuang? Sopir jip menjawab karena tidak ada isinya. Beras yang seharusnya menjadi isi ketupat ternyata tak mampu terbeli oleh rakyat karena harganya sudah sampai 14 rupiah per liter. Inflasi di waktu lebaran.

Pada tahun berikutnya, situasi tidak berubah. Menurut Rosihan, menjelang Lebaran 1962, harga-harga di Jakarta melonjak. Sayur mayur dan bahan-bahan bumbu melonjak 100 hingga 150 persen. Begitupula tepung terigu, minyak goreng, dan gula pasir ikut melonjak. Anehnya, barang-barang itu belum tentu tersedia. Pada masa itu di pinggiran Jakarta dikenal istilah “kambing barter”. Para penduduk pinggiran Jakarta dapat menukarkan seekor kambing dengan 20 liter beras dan 1 ayam ditukar dengan 3 sampai 4 liter beras.

Perbedaan pendapat mengenai jatuhnya Idulfitri pun terjadi pada 1962. Muhammadiyah memutuskan Lebaran jatuh pada 7 Maret sedangkan Nahdlatul Ulama merayakan Lebaran pada 8 Maret. Oleh karena NU ketika itu duduk di pemerintahan, maka melalui Menteri Agama, Lebaran didekritkan pada 8 Maret. Dalam kutbah Idulfitri yang dilaksanakan 7 Maret di mesjid Al Azhar, Kebayoran Buya Hamka mengatakan adanya dua Hari Raya Idulfitri hendaknya jangan diartikan sebagai perpecahan di kalangan umat Islam. Karena semuanya bernaung di bawah bendera merah putih.

Sementara itu dalam pidato Presiden Soekarno yang diucapkan pada pidato Hari Raya Idulfitri 8 Maret 1962, Soekarno menyinggung soal sengketa dengan Belanda mengenai Irian Barat. Ia menegaskan Trikora (Tri Komando Rakyat) tak dapat dihentikan. Salah satunya, merah putih harus dikibarkan di Irian Barat.

Pada Lebaran 1963, Soekarno tidak hadir dalam shalat Idulfitri di halaman istana. Alasannya adalah khawatir ratusan kartu undangan disalahgunakan sehingga akan banyak yang tak berhak ikut hadir. Demi keamanan dan keselamatan Presiden, Komandan Pasukan Pengawal Presiden, Resimen Cakrabirawa, Kolonel Sabur menyarankan supaya Presiden tidak menghadiri shalat tersebut. Akhirnya orang yang menghadiri shalat itu pun hanya sedikit.

Seusai shalat Idulfitri 1964 dalam pidato sambutannya di Masjid Baitul Rachim, Presiden Soekarno kembali menegaskan: “Malaysia memang buatan kolonialis Inggris!”. Ketika itu memang Indonesia sedang hangat-hangatnya berkonfrontasi dengan Malaysia. Kita tentu masih ingat slogan populer: “Ganjang Malaysia!”

Demikianlah suasana lebaran masa lalu yang penuh dinamika apalagi jika dikaitkan dengan hal-hal politis.


Source


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Menengok Lebaran Masa Lalu)

Setelah Obama Pulang


Direktur Jurnal Perempuan Mariana Amiruddin dalam status Facebooknya menulis, “Obama, please be my president.” Sementara itu ratusan bahkan mungkin ribuan pengguna jejaring sosial Facebook dan Twitter lainnya bercececowet dalam hal yang sama: kedatangan Obama dan kekaguman mereka pada sosok presiden Amerika Serikat ke-43 itu.

Perhatian masyarakat Indonesia pun seakan tersihir pada kharisma Obama: dengan gesture tubuhnya; gayanya membawakan pidato dan kemampuan membawakan kisah kehidupan pribadinya di Indonesia menjadi sebuah gambaran besar tentang Indonesia di masa lalu dan bagaimana pentingnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat di masa yang akan datang.

Pembawaan Obama pun tak luput dari pengamatan pengamat politik Eep Safulloh Fatah, yang membandingkannya dengan Presiden Yudhoyono. “Ketika SBY senyum dengan wajahnya, Obama tersenyum dengan seluruh tubuhnya,” kata dosen ilmu politik UI dalam sebuah wawancara dengan TV One, Kamis (11/11) pekan lalu. Sebuah perbandingan yang tak setara.

Dalam pidatonya di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok (10/11), Obama menyampaikan kisah tentang konflik politik di Indonesia pada tahun-tahun awal kedatangannya. Apa yang dimaksud dengan Obama tentu saja kisah mengenai pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI yang mencapai tiga juta jiwa. Obama menyebut kalau tragedi itu sebagai kisah kelam tersembunyi yang tak pernah diceritakan di keluarganya kendati ayah tirinya, Lolo Soetoro, bekerja untuk Angkatan Darat.

Mungkin Obama tahu dan tidak mengatakannya kalau Amerika Serikat punya peranan dalam menyumbangkan nama-nama anggota dan simpatisan PKI kepada pihak Angkatan Darat Indonesia. Atas dasar daftar itu pencarian dan penangkapan dilakukan. Mungkin Obama juga tahu dan tidak mengatakannya kalau proyek itu merupakan bagian dari sebuah pekerjaan besar dalam rangka perang dingin yang tengah berkecamuk.

Pada saat Obama kecil datang ke Indonesia, pemerintah Indonesia di bawah Soeharto baru saja meluncurkan sebuah regulasi yang akan membukakan keran keuntungan buat negerinya: Amerika. Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967 memberikan kesempatan pertama untuk Freeport beroperasi di Indonesia secara legal. Kontrak karya diberlakukan selama seperempat abad dan telah diperpanjang untuk seperempat abad ke depan.

Amerika Serikat punya kepentingan untuk meraih Indonesia. Bukan saja karena cadangan energi yang berlimpah serta kekayaan alam yang meruah, tapi juga geopolitik Indonesia yang dinilai sangat strategis untuk menjaga kestabilan di wilayah Asia Tenggara. Maka Presiden “Ike” Eisenhower, pendahulu Obama, dalam sebuah pidatonya menyatakan kekhawatirannya tentang kemungkinan kejatuhan negara-negara di Asia Tenggara ke tangan komunisme jika Indonesia jatuh terlebih dulu ke pangkuan komunisme yang diusung oleh Soviet. Gagasan itu kemudian dikenal sebagai Teori Domino Asia yang dijadikan pegangan politik luar negeri AS terhadap Indonesia kurun tahun 1960-an.

Hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia semakin memburuk ketika Presiden Sukarno secara lantang mengatakan “Go to hell with your aid”. Sebuah pernyataan politik yang menegaskan bahwa Indonesia tak bisa menerima bantuan dari sebuah negeri yang hipokrit. Sukarno bahkan menyelenggarakan Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) pada Oktober 1965 untuk menjawab aksi Amerika mendirikan pangkalan militernya di berbagai negara seperti Jepang dan Filipina. Sukarno mungkin salah karena menurut Sutan Sjahrir, sebagai negeri kaya tak tiada berpunya modal besar untuk menggarap kekayaannya, Indonesia sebaiknya tidak memusuhi negeri kapitalis macam Amerika Serikat.

Zaman Sukarno ekonomi tampak terpuruk. Inflasi tembus ke angka 600 persen. Uang tak berharga barang pun sulit didapat. Rakyat antre beras dan minyak. Bisa jadi Sukarno punya siasat: menanti para sarjana mahid (mahasiswa ikatan dinas) pulang dan memulai pembangunan dengan kaki-tangan-otak sendiri sebagaimana yang pernah dinyatakannya dalam sebuah pidato. Namun sejarah menujukkan siasat itu tak sempat dijalankan. Rezim berganti. Sukarno jatuh, Soeharto pun duduk di singgasana kekuasaan.

Suharto menegasi langkah Sukarno terhadap Amerika Serikat. Negeri Pam Sam yang sempat dimusuhi oleh Sukarno kemudian menjadi kawan seiring. Modal besar pun datang dari negeri sahabat yang berada di Barat. Pembangunan digenjot siasat Trickle down effect diharapkan bisa meneteskan kemakmuran yang berlimpah di atas kepada mereka yang hidup di akar rumput. Semua aset yang semula dinasionalisasi dikembalikan kepada pemiliknya semasa sebelum perang dunia kedua terjadi, mulai dari perkebunan sampai dengan pertambangan.

Walhasil setelah Soeharto mundur dari jabatannya meninggalkan utang 1200 Triliyun. Aset-aset penting yang menjadi hajat hidup orang banyak sebagian dikuasai oleh segelintir elite dan perusahaan asing. Angka-angka pertumbuhan yang selalu menjadi tolok ukur tak bisa mewakili dari keadan yang sesungguhnya di negeri ini. Esensi dari pembangunan, sebagaimana yang pernah didedahkan oleh ekonom Joseph E Stiglitz, “A Transformation From Traditional Way to Modern” hanya berlaku bagi sebagian masyarakat perkotaan saja, sementara di pedesaan cara hidup tradisional masih terus berjalan beriringan dengan ketimpangan sosial yang terjadi di seluruh penjuru negeri.

Lantas apa yang diharapkan dari seorang Obama, presiden dari sebuah negeri yang telah menoreh luka pada sejarah Indonesia? Dia, seperti halnya presiden Amerika Serikat lainnya yang pernah berkunjung ke negeri ini, mewakili kepentingannya negerinya sendiri. Sebelum kunjungan Obama kali ini, empat presiden Amerika Serikat berkunjung ke Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Mulai dari Richard Nixon yang berkunjung pada 27–28 Juli 1969; Gerald Ford, 4–5 Desember 1975; Ronald Reagen, 29 April–2 Mei 1986; Bill Clinton, 13–16 November 1994. Sementara itu George Bush Jr. berkunjung semasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (22 Oktober 2003) dan kemudian semasa pemerintahan Presiden SBY (20 November 2006).

Kedatangan Nixon untuk menegaskan posisi Amerika Serikat terhadap Indonesia dalam kaitan krisis di Vietnam dan perang dingin. Ford datang ke Indonesia untuk menyatakan dukungannya (secara diam-diam) invasi Indonesia atas Timor Leste. Reagen datang dalam rangka menghadiri KTT Asean sekaligus meneguhkan komitmen Amerika di kawasan regional Asia Tenggara. Bill Clinton datang dalam rangka menghadiri KTT APEC di Istana Bogor. Sementara itu George Bush Jr. dalam dua kali kunjungannya ke Indonesia membicarakan perang Amerika terhadap terorisme.

Obama kemudian datang meneguhkan sikap Amerika yang katanya tak sedang berperang dengan dunia Islam dan ingin mempererat persahabatan dengan bangsa Indonesia. Namun apa yang dia lupakan adalah sejarah kelam masa lalu Amerika yang masih membekas di negeri ini. Keterlibatan Amerika dalam beberapa politik subversif sebagaimana yang pernah ditulis oleh Indonesianis terkemuka dari Amerika George McTurnan Kahin dan Audrey Kahin dalam buku Subversi Sebagai Politik Luar Negeri yang memperlihatkan peran Amerika di dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Orang boleh bilang kalau sejarah adalah sejarah, yang penting adalah masa depan. Namun perusahaan-perusahaan milik Amerika, seperti Freeport, bercokol di sini sejak masa yang sudah lalu sampai dengan hari ini. Dan untuk Indonesia, cukup satu persen saja dari berjibun keutungan yang diraup Amerika Serikat. Lantas ada apa dengan diri kita yang begitu terpana pada sosok Obama? Jangan-jangan kita tidak membutuhkan Amerika tapi lebih membutuhkan seseorang seperti Obama untuk memimpin negeri ini.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Ketika Obama Pulang)

Taman Impian Jaya Ancol


86lintasan_ancol.jpg

Sebuah foto copyright Bettmann Archive/Corbis tanggal 4 Juni 1956 memperlihatkan Sukarno dan Guntur Sukarnoputra, yang saat itu berusia 12 tahun, mengendarai Dumbo, salah satu wahana paling menarik di Disneyland, Amerika Serikat. Selama kunjungan itu, hampir setahun setelah taman hiburan itu mulai dibuka, Sukarno menikmati dan menunjukkan antusiasme yang sama seperti putranya.

Sukarno mengunjungi Disneyland, Hollywood, dan tempat hiburan lainnya dalam lawatan selama kurang lebih tiga pekan di Amerika Serikat. Dari sinilah Sukarno ingin Indonesia memiliki taman hiburan serupa. Ketika ada usulan untuk menjadikan kawasan Ancol yang berawa-rawa dan bersemakbelukar sebagai kawasan industri, Sukarno menolaknya. Dia ingin mewujudkan mimpinya, membangun kawasan itu sebagai objek wisata.

Menurut Sugianto Sastrosoemarto dan Budiono dalam Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol, sejak abad ke-17 Ancol sudah menjadi daerah wisata. Saat itu Ancol merupakan kawasan pantai yang indah dan bersih. Di sana berdiri banyak rumah peristirahatan kaum elite Belanda. Bahkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-25 Adrian Valckenier (1737-1741) memiliki rumah peristirahatan yang besar dengan taman luas.

Situasinya berubah ketika malaria melanda Batavia pada awal abad ke-19. Ancol tak luput dari serangan malaria. Orang-orang Belanda pun tak berani berkunjung, apalagi tinggal, di sana.

Ahli sejarah Jakarta, Alwi Shahab, menulis, Ancol yang ditinggalkan menjadi hutan belukar dan sarang monyet. Di malam hari, kawasan itu menjadi tempat indehoy lelaki hidung belang dan pekerja seks komersial. Playboy kaya raya Oey Tambahsia dan sejumlah warga tajir lainnya sering bersenang-senang di sana. Mereka memiliki soehian atau rumah pelesiran bernama Bintang Mas. Di salah satu vilanya, konon, Oey membunuh seorang gadis. “Gadis itu diidentikkan sebagai Ariah yang hilang sekitar tahun 1870/1871. Dia meninggal dan jasadnya hilang, setelah menolak diperkosa. Dia kemudian dikenal sebagai ‘Si Manis Jembatan Ancol’…,” tulis Alwi dalam “Rekreasi di Sarang Monyet,” yang dimuat Republika, 30 Oktober 2005.

Selama pendudukan Jepang, Ancol digunakan sebagai tempat eksekusi dan kuburan massal bagi mereka yang menentang tentara Jepang. Pada 14 September 1946, para korban dimakamkan-ulang secara layak di Pemakaman Ancol. Pemakaman itu berisi lebih dari 2.000 korban, banyak dari mereka tak diketahui namanya.

Setelah Indonesia merdeka, Jakarta mulai berbenah. Ancol, yang tadinya sering disebut tempat “jin buang anak”, disulap menjadi kawasan wisata lewat Keputusan Presiden mengenai Panitia Pembangunan Proyek Ancol dan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1960. Sukarno menunjuk Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sosroatmodjo sebagai pelaksana pembangunan Proyek Ancol.

“Marno, sebagai pemimpin, kamu harus mampu berpikir tentang apa yang bisa kamu perbuat untuk rakyatmu lima puluh tahun yang akan datang. Kamu harus mampu membayangkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatmu, rakyat Jakarta. Bukan untuk satu atau dua tahun ke depan, tapi lima puluh, atau seratus tahun ke depan. Bagaimana kamu bisa memberikan tempat yang bisa membahagiakan rakyat Jakarta agar penduduknya menikmati hawa segar laut, bisa melihat cerianya anak-anak bermain di pantai, ditingkahi debur ombak, dan tiupan angin yang semilir.” Begitulah pesan Sukarno kepada Soemarno yang terekam dalam ingatan Soekardjo.

Soekardjo Hardjosoewirjo merupakan orang yang berperan penting pada tahap awal realisasi Proyek Ancol. Dia membuat konsep surat-surat presiden terkait kepanitiaan pembangunan Proyek Ancol; mengurus kelengkapan surat-surat berkaitan dengan hukum, anggaran biaya, serta mempelajari dan melengkapi berkas keorganisasian pelaksanaan Proyek Ancol. Setelah sebulan bekerja di belakang meja di kantor Pemda DKI Jakarta, dia kemudian ditugasi sebagai pelaksana lapangan untuk mempersiapkan pembangunan Proyek Ancol.

Meski diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta, tapi proyek itu menjadi program nasional karena merupakan bagian dari modernisasi Jakarta sebagai ibukota negara. Tapi Proyek Ancol merupakan proyek mandataris, yang pendanaannya tak membebani anggaran negara atau daerah. Ia adalah self propelling project atau dalam istilah orang Jawa disebut “proyek opor bebek”. Untuk memenuhi kebutuhan dana, proyek itu bersandar pada pinjaman dana dari swasta. Karena kontraktor dalam negeri tak memenuhi kriteria dari segi teknis apalagi pembiayaan, pengerjaan Proyek Ancol ditawarkan kepada kontraktor asing. Proposal ditawarkan ke Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis. Pilihan akhirnya jatuh pada kontraktor dari Prancis, Compagnic Industriale de Travaux (Citra).

Citra hanya mengerjakan pembangunan tahap pertama: penimbunan rawa-rawa, empang, dan hutan belukar dengan sekira 12,5 juta meter kubik material, serta pembebasan tanah seluas 552 hektar. Pembangunan tahap pertama ini selesai pada Februari 1966.

“Sangat beruntung saat tragedi G30S (Gerakan 30 Sepetember 1965) meletus, tahap pertama kegiatan penimbunan hampir selesai. Seandainya saat G30S meletus tahap pertama proyek ini belum selesai, tentu sulit dibayangkan apa yang akan terjadi,” tulis Sugianto dan Budiono.

Ketika situasi politik dan ekonomi berangsur membaik, Proyek Ancol dilanjutkan di bawah pimpinan Gubernur DKI Ali Sadikin, pengganti Soemarno. Pembangunan Ancol dilaksanakan oleh PD Pembangunan Jaya. Ciputra sebagai CEO PT Pembangunan Jaya mengajukan konsep pembangunan dan pengembangan kawasan Ancol kepada Ali Sadikin.

“Jadikan Ancol setaraf dengan Disneyland-nya Amerika,” kata Ali Sadikin kepada Ciputra dalam Ciputra Quantum Leap.

Menurut Hermawan Kertajaya, Disneyland pernah didekati agar mau membangun salah satu theme park-nya di Jakarta. Tapi usaha itu tak berhasil. “Bahkan namanya juga tak boleh digunakan, sekalipun misalnya mereka tidak keluar uang sama sekali atas theme park yang dibangun di Jakarta,” tulis Hermawan dalam 100 Corporate Marketing Cases.

Meski menolak, Disneyland membuka diri bagi Indonesia untuk belajar. Ketika akan membangun Dunia Fantasi (Dufan), seluruh tim arsitek dan teknisi Ancol dikirim ke Amerika untuk melihat dan mempelajari seluk-beluk Disneyland. “Hanya saja, Ancol tak meniru Disneyland, tapi mengembangkan fantasi dan kreasinya sendiri ala Indonesia,” kata Soekardjo seperti dikutip Sugianto dan Budiono.

Ancol tetap mengembangkan berbagai wahana rekreasi bercitarasa Indonesia. Inilah yang menarik dan membedakan Ancol dengan arus utama wisata dunia yang cenderung beraroma Barat. Meski demikian, Ancol tak kalah dari taman hiburan serupa di dunia. “Saat ini Ancol menjadi kawasan wisata yang masuk dalam lima besar kawasan wisata hiburan terbesar di dunia… Ancol hanya kalah oleh Disneyland dan Disney World,” kata Ciputra dalam Ciputra Quantum Leap.

Keinginan Sukarno akan objek wisata yang menjadi kebanggaan bangsa terwujud.


Sumber:
Majalah Historia.



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Taman Impian Jaya Ancol)

Cabai & Sambal


36cabai.JPG

Dalam Kesaksian tentang Bung Karno, Mangil Martowidjojo, salah seorang mantan ajudan Bung Karno, membeberkan kebiasaan makan sehari-hari presiden pertama RI itu. Bung Karno menyukai hidangan sederhana: semangkuk kecil nasi dengan sayur asem atau sayur lodeh plus telur mata sapi atau ikan asin. Satu lagi yang tak boleh dilupakan: sambal. Cara penyajian yang disukai Bung Karno, langsung dihidangkan di atas cobeknya.

Sambal dan cabai yang jadi bahan bakunya tak bisa dilepaskan dari keseharian orang Indonesia. Nyaris setiap daerah memiliki versi sambal masing-masing, juga beragam hidangan yang diolah dengan bumbu cabai.

Dalam peradaban manusia, cabai sudah ada setidaknya sejak 6.000 tahun silam. Ini terungkap dalam sebuah laporan berjudul Starch Fossil and the Domestication and Dispersal of Chili Peppers (Capsicum spp.L.) in the Americas, hasil penelitian sekelompok ilmuwan yang dikepalai Linda Perry dari Smithsonian Institution.

Kesimpulan itu didasarkan atas temuan mikrofosil bubuk cabai dalam hidangan suku Indian Zapotec yang ditemukan di tujuh lokasi berbeda di Kepulauan Bahama hingga bagian selatan Peru. Orang-orang di masa itu biasa menyimpan cabai dalam keadaan segar atau mengeringkannya terlebih dahulu untuk kemudian menggunakannya untuk bumbu beragam masakan.

Sementara sambal ditemukan dalam hidangan Indian Maya, salah satu suku di Amerika Latin. Mereka diperkirakan mulai menciptakan salah satu versi sambal pertama di dunia sekira 1.500-1.000 SM. Bubuk cabai dicampur dengan air dan bahan-bahan lain agar citarasanya lebih nikmat. Versi sambal sederhana itu kemudian menjadi pelengkap makan Tortilla, sejenis roti pipih yang terbuat dari jagung giling atau gandum.

Di kalangan suku-suku purba di Amerika Latin, cabai memiliki posisi penting. Dalam America’s First Cuisines, ahli sejarah makanan Sophie Dobhanzsky Coe menulis bahwa cabai ada nyaris di setiap tempat di Amerika Latin. Suku-suku asli nyaris tak pernah lupa membubuhkan cabai ke dalam makanan mereka.

Bagi orang-orang Aztec, cabai adalah salah satu bentuk kenikmatan hidup. Catatan yang dibuat pendeta Fransiscan, Bernardino de Sahagun, pada 1529 menunjukkan, ketika para pendeta Aztec berpuasa untuk memuja para dewa, ada dua hal yang wajib dihindari: seks dan cabai.

Karena cabai tak mengandung banyak kalori, para ilmuwan masa itu yang meneliti tentang bahan makanan tak memperhitungkan jenis tanaman ini. Padahal cabai kaya akan vitamin A dan C, juga zat unik yang disebut capsaicin. Zat inilah yang membuat rasa pedas dan menyengat pada cabai. Dalam jumlah kecil cabai dapat memperlancar pencernaan.

Cabai juga pernah dijadikan senjata dalam perang. Sophie Dobhanzsky Coe mengisahkan bagaimana orang-orang Indian menyerang benteng yang dibangun Christopher Colombus di Pulau Santo Domingo dengan melontarkan buah-buah labu yang diisi campuran abu kayu dan cabai yang ditumbuk. Orang-orang Indian Aztec menggunakan asap cabai sebagai semacam senjata kimia. Asap cabai yang dibakar juga dipakai sebagai disinfektan sekaligus obat antiserangga yang konon amat mujarab.

Penyebaran cabai ke seluruh dunia dipelopori Christopher Colombus. Ketika bertolak pulang ke Spanyol dari Amerika Latin, Colombus membawa biji-biji cabai untuk dipersembahkan kepada Ratu Isabella dari Spanyol. Sebetulnya Colombus salah kira bahwa yang dia bawa adalah lada hitam, yang saat itu merupakan komoditas sangat mahal. Bagi Colombus rasa keduanya tak jauh berbeda. Dari Spanyol biji cabai mulai merambah Eropa lalu dunia.

Manguelonne Toussain-Samat dalam A History of Food menulis, untuk perut orang Eropa yang sensitif rasa cabai agak terlalu panas. Cabai tak digunakan dalam makanan. Orang Jerman dan Prancis bagian utara menggunakan sejumlah kecil cabai untuk menambah rasa ke dalam bir sekaligus mengawetkannya. Orang Inggris menggunakannya untuk membuat acar. Tapi di Afrika, Arab, dan Asia, cabai menjadi komoditas yang sangat populer. Cabai meresap dan melengkapi berbagai hidangan dan makanan.

Menurut Wendy Hutton dalam Tropical Herbs and Spices of Indonesia, orang-orang Portugis-lah yang membawa dan memperkenalkan biji-biji cabai ke Indonesia pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Namun ada beberapa indikasi bahwa cabai sudah dikenal di Indonesia jauh sebelumnya. Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII-XIV mengungkapkan, teks Ramayana abad ke-10 telah menyebut cabai sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan. Di masa Jawa Kuno, cabai juga menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual.

Di masa VOC, sambal juga cukup populer di kalangan orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia. Ragam sambal menjadi bagian dari risjttafel –set hidangan komplet berisi nasi, lauk-pauk, dan sayuran khas Indonesia. Risjttafel tergolong makanan mewah saat itu. Selain itu ada juga orang-orang Indo yang alih-alih mengoleskan selai lebih suka mengoleskan sambal di atas roti mereka.

Selain lezat dihidangkan, cabai juga pernah dijadikan bentuk hukuman yang menyakitkan. Jan Breman dalam Taming the Coolie Beast: Plantation Society and the Colonial Order in Southeast Asia mengisahkan deraan yang diberikan kepada para kuli perkebunan, terutama perempuan, di Tanah Deli yang melakukan kesalahan. Karena menolak cinta salah seorang mandor perkebunan dan lebih memilih kekasihnya–yang juga kuli, seorang kuli perempuan berusia 15 tahun diikat telanjang di sebilah tonggak selama berjam-jam. Agar dia tak pingsan, alat kelaminnya dibaluri cabai.

Hingga saat ini cabai dan sambal tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kebiasaan makan orang Indonesia. Begitu pentingnya sampai-sampai ketika panen cabai gagal di pertengahan 2010, harga cabai pun melonjak hingga Rp 60.000 per kilogram. Kontan saja ibu-ibu menjerit –bukan karena kepedasan tapi karena tak bisa menghidangkan sambal di ruang-ruang makan keluarga.


Sumber:
Majalah Historia


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Taman Impian Jaya Ancol)

Dari BBS hingga Facebook

Jika saja salah satu badai salju terbesar tak terjadi di Chicago pada Januari 1978, mungkin saat ini kita belum bisa berasyik-asyik mengomentari status terbaru dari teman di salah satu situs jejaring sosial.

Badai itu membuat banyak orang tak bisa meninggalkan rumah selama berhari-hari. Termasuk Ward Christenssen dan Randy Suess, keduanya anggota Chicago Area Computer Hobbyist Exchange. Sementara terkurung keduanya mengolah sebuah ide sederhana yang dicetuskan Christenssen, mantan karyawan perusahaan komputer besar IBM.

“Dalam pertemuan-pertemuan kami, biasanya ada sebuah papan gabus dan sebuah papan bulletin dengan paku payung dan kartu-kartu berukuran 3x5 yang ditempelkan di atasnya. Kami menuliskan pesan-pesan pada kartu-kartu itu. Misalnya saja: mari bertemu untuk membahas soal memory chip, atau ada yang bisa memberi tumpangan untuk pertemuan kita berikutnya?“

Dua minggu setelah terjebak salju, duo Christenssen dan Suess merealisasikan konsep sederhana itu. Mereka masih memendamnya selama dua minggu karena takut orang tak percaya bahwa ide revolusioner itu bisa diolah dalam dua minggu saja. Pada 16 Februari 1978 lahirlah situs jejaring sosial yang pertama: CBBS (Computerized Bulletin Board System) atau biasa disebut BBS saja.

Serupa dengan papan gabus yang terdapat di kantor-kantor, para anggota BBS dapat mengunggah pesan-pesan mereka. Pesan itu akan terbaca oleh siapapun yang menjadi anggota BBS. Ternyata banyak orang bergabung dengan BBS. Cikal-bakal sebuah komunitas virtual pun mulai terbentuk.

Saat itu internet belum berkembang seperti sekarang. Untuk mengakses internet diperlukan modem dan saluran telepon. Akses dari luar kota dikenakan tarif telepon luar kota juga. Karenanya BBS hanya berkembang secara lokal. Meski kemampuannya terbatas, popularitas BBS meningkat hingga 1990-an, terutama di kalangan para penggiat teknologi. Bentuk sederhana interaksi virtual sejenis BBS lalu dikembangkan oleh CompuServe dan AOL (American Online).

Menurut Danah M. Boyd dari School of Information University of California Berkeley, dalam “Social Network Sites: Definition, History and Scholarship”, bentuk situs jejaring sosial seperti yang kita kenal sekarang baru dimulai pada 1997. Boyd mengategorikan situs jejaring sosial sebagai sebuah situs yang memungkinkan penggunanya membuat sebuah profil yang bersifat publik, memuat daftar teman, dan melihat profil anggota lain.

Situs pertama yang memuat semua katagori itu adalah SixDegrees.com. Ia didasarkan pada teori Six Degrees of Separation bahwa siapapun di bumi terhubung satu sama lain dalam sebuah rantai “teman dari teman” sebanyak enam tingkat atau kurang.

Situs ini mengizinkan penggunanya mengirim pesan dan mengunggah pesan di bulletin board kepada orang-orang di tingkat pertama, kedua, dan ketiga rantai pertemanan mereka. Di puncak kepopulerannya situs itu memiliki satu juta anggota.

Meski populer, situs yang dibuat oleh perusahaan komputer MacroView itu tak membawa keuntungan sebesar yang diharapkan. Banyak pengguna mengeluh karena tak banyak kegiatan yang bisa mereka lakukan. SixDegrees.com kemudian diambil-alih oleh YouthStream Media Networks pada 2000. Situs ini masih ada hingga kini, tapi orang hanya bisa menjadi anggota jika diundang oleh anggota lainnya.

Setelah SixDegrees, bermunculan situs-situs jejaring sosial lain dengan berbagai variasi seperti LiveJournal, BlackPlanet, MiGente, Cyworld, dan Ryze. Ryze, misalnya, dibuat untuk memperluas jejaring bisnis dan profesional.

Tapi tak ada yang bisa menandingi Friendster yang diluncurkan secara resmi pada 2002. Menggunakan konsep yang sama dengan SixDegrees.com, Friendster menambahkan fitur yang kemudian disebut sebagai circle of friends. Ide dasarnya, komunitas virtual yang solid akan terbentuk di kalangan orang-orang yang memiliki latar belakang sama juga teman-teman yang sama.

Friendster berkembang pesat. Setahun setelah peluncurannya, CEO Friendster Jonathan Abrams mengklaim Friendster memiliki 3 juta anggota. Tapi Friendster tak memiliki sumber daya memadai untuk mengimbangi perkembangan mereka. Server dan database yang tak cukup canggih kerap membuat pengguna kecewa.

Ditambah lagi kemunculan MySpace pada 2003. Situs jejaring sosial ini menawarkan fitur-fitur yang jauh lebih canggih. Anggotanya dapat berbagi konten seperti musik dan video. MySpace juga mengizinkan penggunanya, termasuk remaja, memodifikasi tampilan halaman profil. Kepopuleran Friendster di Amerika tergantikan oleh MySpace. Situs itu malah lebih mendapat tempat di negara-negara Asia. Lalu muncul pula situs-situs jejaring sosial lain seperti Linkedln, Flickr, Multiply, YouTube, Xanga…

Tapi tak ada yang bisa mengalahkan popularitas Facebook yang dirancang Mark Zuckerberg pada Januari 2004. Saat itu dia masih berstatus mahasiswa jurusan Psikologi Universitas Harvard.

Thefacebook –demikian namanya saat itu– diluncurkan pada 4 Februari 2004 di kamar Zuckerberg di salah satu asrama Harvard. Awalnya situs itu dimaksudkan sebagai sebuah media jejaring sosial antarmahasiswa Harvard. Zuckerberg dan kawan-kawannya menyebarluaskan situs itu melalui mailing-list asrama yang memiliki anggota sekitar 300 orang. Dalam waktu 24 jam, 1.200-1.500 mahasiswa mendaftar jadi anggota situs itu. Dalam waktu singkat situs itu menyebar ke kalangan mahasiswa di universitas lain semisal Stanford, Boston, dan universitas Ivy League lainnya. Hingga 2006 penggunaan Facebook masih terbatas di kampus-kampus.

Barulah pada September 2006 Facebook terbuka untuk masyarakat luas di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun saja Facebook mengukuhkan diri sebagai situs jejaring sosial terdepan. Alasan popularitasnya adalah ketersediaan begitu banyak opsi untuk penggunanya, mulai dari memperbarui status, ruang tak terbatas untuk mengunggah foto, menulis blog, hingga bermain game online. Hingga April 2009, tercatat 200 juta orang di seluruh dunia menggunakan Facebook.

Facebook terbukti menjadi media efektif untuk menghimpun dukungan. Dalam kampanyenya, Barack Obama berhasil mengumpulkan satu juta anggota untuk mendukung pencalonannya sebagai presiden Amerika Serikat. Di Indonesia, Facebook efektif untuk menggalang simpati publik dalam kasus Prita Mulyasari dan rumah sakit Omni International.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Dari BBS hingga Facebook)

Dari Batu sampai Ponsel


SEPANJANG sejarah, ada bermacam media untuk menulis. Media tertua untuk menulis (komunikasi) adalah batu. Teks-teks cuneiform dari Mesopotamia kuno (kini Irak), yang oleh banyak sejarawan dan arkeolog diyakini sebagai tulisan tertua, menggunakan batu sebagai medianya. Pun hieroglif di Mesir. Orang-orang Mesir kuno memahat tulisan-tulisannya di dinding makam raja atau peti matinya yang terbuat dari batu.

Penggunaan batu untuk media tulis sangat luas dilakukan. Itu dibuktikan dengan temuan inskripsi kuno di sejumlah tempat: inskripsi-inskripsi India awal, maklumat-maklumat Raja Asoka, hingga tulisan-tulisan bangsa Inca, Maya, dan Aztec.

Masa penggunaan batu terus berlanjut, beriringan dengan penggunaan lembaran-lembaran lempung (clay) yang dibakar. Tak jelas mana di antara keduanya yang lebih dulu digunakan. Penggunaan lempung untuk media komunikasi simbolik sudah ada sejak lama. Menurut Steven Roger Fischer dalam A History of Writing, pahatan paling tua mulai dikenal sejak kira-kira 100 ribu tahun silam. Namun pahatan itu hanyalah berupa ekspresi grafis, belum tulisan. Cuneiform sendiri lebih banyak dituliskan pada lempung.

“Teks-teks cuneiform dituliskan di lembaran-lembaran yang terbuat dari lempung dan dituliskan dengan menggunakan pena ilalang,” tulis Marc Van de Mieroop dalam Cuneiform Texts and the Writing of History.

Penggunaan batu terhenti seiring penemuan papirus oleh orang-orang Mesir sekitar tahun 3000 SM. Orang-orang Mesir membuatnya dari tanaman papirus, sejenis ilalang yang tumbuh di sepanjang lembah Sungai Nil. Papirus berbentuk seperti lembaran-lembaran kertas saat ini. Ia memiliki kelebihan dibandingkan batu atau lempung, yakni lebih ringan dan tak mudah patah. Selain itu, daya serap tintanya lebih kuat, sehingga tulisan di atas papirus jauh lebih awet. Tak heran jika penggunaan papirus meningkat dan meluas. Tapi Mesir memonopoli penjualan papirus karena tanaman papirus hanya tumbuh di sekitar lembah Sungai Nil. Harga papirus pun jadi mahal.

Papirus bahkan dipakai sebagai senjata politik ketika pada tahun 150 SM terjadi perseteruan antara Ptolemy V dari Mesir dan Raja Eumenes dari Pergamon (Asia Barat). Gara-garanya sepele: Ptolemy risau ketika tahu Eumenes terus menambah koleksi buku di perpustakaannya. Dia tak mau perpustakaan Eumenes akan sebaik perpustakaan miliknya. Ptolemy lalu menghentikan penjualan papirus ke Eumenes.

Ketika Romawi Barat runtuh pada abad kelima, tak ada lagi perdagangan “resmi” dengan Mesir. Papirus jadi sulit didapatkan. Banyak orang terpaksa menggunakan kertas kulit (parchment). Raja Eumenes pun membuat buku-bukunya dari parchment –kata “parchment” sendiri berasal darinya.

Di Asia Barat dan Eropa, kertas kulit terbuat dari kulit biri-biri, domba, atau sapi. Tapi di China, ia juga dibuat dari kulit tumbuhan. Tak heran bila di Eropa penggunaannya terbatas pada orang-orang kaya.

Pada tahun 105 SM, Tsai Lun di China berhasil membuat kertas “modern”, terbuat dari bambu yang mudah didapat di seantero China. Meski awalnya pembuatan kertas itu dirahasiakan, penemuan itu akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring penyebaran bangsa-bangsa China. Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah, terutama setelah kekalahan Dinasti Tang dalam Perang Arab-China (tahun 751) di Samarkand, yang memperebutkan kendali atas wilayah itu,.

Arab berhasil menawan beberapa pasukan China, beberapa di antaranya tahu cara pembuatan kertas. Sebagai konsesi atas keselamatan jiwanya, mereka membocorkan teknik pembuatan kertas. Tak lama kemudian, dunia Islam pun akrab dengan kertas. Mesir, yang semula masih menggunakan papirus, beralih ke kertas sekitar tahun 800.

Pada masa itu, akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan begitu tinggi. Buku-buku terus diproduksi. Penyebarannya pun meluas, dari Eropa Barat dan Maroko di barat hingga India di timur. Tapi orang-orang Eropa masih menggunakan kertas kulit. Mereka baru menggunakan kertas setelah pada 1200-an menaklukkan beberapa wilayah Islam di Spanyol dan merebut pabrik kertas.

Teknik pembuatan kertas makin mudah setelah pada 1799, seorang Prancis bernama Nichilas Louis Robert menemukan proses untuk membuat lembaran-lembaran kertas, yang melalui perkembangan alat ini sekarang dikenal sebagai mesin Fourdrinier. Kertas menjadi lebih murah, dan dengan cepat menyebar penggunaannya.

Di Indonesia, belum jelas media apa yang paling awal digunakan. Bila mengacu tulisan tertua yang ditemukan, batu menjadi media tertua. Yupa-yupa Raja Mulawarman dari Kutai dan prasasti-prasasti Raja Purnawarman dari Tarumanegara yang berasal dari abad kelima menjadi bukti. Sementara naskah tertua dari daun lontar adalah Arjunawiwaha, yang ditemukan di Jawa Barat, dengan angka tahun 1334/5 Masehi. Kemudian dikenal pula penggunaan kertas daluwang atau dluwang, terbuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar, terutama di Jawa pada masa Islam.

Penggunaan kertas yang kita kenal sekarang, melalui perantara para pedagang Belanda, Eropa, Arab, dan China yang mengunjungi Nusantara, tak membuat kertas lontar dan dluwang punah. Hingga abad ke-20, di Jawa, Madura, dan Bali ditemukan naskah-naskah kuno yang menggunakan daun lontar sebagai media tulis.

Kertas kini belum tergantikan, meski penggunaannya perlahan berkurang sejak kemunculan komputer.

Komputer mulai digunakan untuk beragam aktivitas, termasuk menulis dan mencetak dokumen. Lalu muncul dan berkembang produk-produk perangkat keras lainnya: ponsel, PDA, telepon pintar. Keberadaan mereka didukung oleh internet, yang bukan saja memudahkan orang berkomunikasi tapi juga menuliskan gagasan atau perasaannya dalam waktu singkat –atau sebaliknya, memperoleh informasi. Dalam istilah Bill Gates dalam wawancara dengan majalah Playboy, “Informasi berada di ujung jari Anda.”

Perangkat keras itu menjadi media tulis yang praktis. Makin jarang orang menggunakan kertas surat karena ada layanan pesan singkat (SMS), email, atau jejaring sosial macam Facebook dan Twitter. Kartu ucapan selamat tal lagi populer karena ada e-card, juga layanan SMS. Orang juga nantinya tak perlu lagi membaca buku dan koran yang tebal dan merepotkan karena ada e-book dan e-paper. Toh kertas diakui memiliki dampak buruk bagi perubahan iklim: berapa banyak pohon ditebang?

Sampai kapan kertas bertahan? Akankah penggunaannya bernasib sama seperti halnya batu, lempung, papirus atau lontar? Duapuluh tahun dari sekarang, kertas akan menjadi sejarah, ujar seorang eksekutif Microsoft dalam sebuah konferensi di San Francisco tahun 2009.

Tapi banyak orang menganggap kertas takkan punah. “Teknologi digital membuat dampak besar pada cara kita menerima informasi, membaca, dan berkomunikasi dengan orang lain,” tulis Irene Piechota dalam “Means of Human Communication Though Time” pada 2002. “Saya percaya bahwa materi cetak tradisional tak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan, tapi mereka mungkin kian terbatas oleh kemajuan teknologi.”


Credit to: MF MUKTHI


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Dari Batu Sampai Ponsel)

Kepala Henry IV


Setelah sembilan bulan melakukan serangkaian tes, sekelompok ilmuwan di Prancis akhirnya berhasil mengidentifikasikan kepala mendiang Raja Prancis, Henry IV. Hasil riset itu dipublikasikan online dalam jurnal medis British Medical Journal, 15 Desember lalu. Selama ini kepala yang dilansir sebagai kepala Henry IV itu berpindah tangan dari satu kolektor ke kolektor lain, setelah menghilang pada 1793.

Henry IV dikuburkan di Basilica St. Denis dekat Paris. Ketika revolusi Prancis mencapai puncaknya, pemakaman kerajaan itu digali dan kelompok revolusioner memotong kepala Henry dan kemudian mencurinya.

“Kasus ini diperlakukan dengan cara sama seperti kasus-kasus forensik terbaru,” ujar Phillipe Charlier, peniliti forensik di University Hospital R Poincare di Garches, Prancis, yang memimpin penyelidikan itu.

Charlier dan 19 anggota timnya menjalankan serangkaian tes forensik pada kepala Henry IV.

Henry IV adalah Raja Prancis pertama dari dinasti Bourbon dan kakek dari Raja Louis XIV. Dia juga salah satu raja yang paling dicintai rakyat, dan mendapat julukan “Henry yang Baik”.

Pada 1598, sembilan tahun setelah bertahta, Henry IV memberlakukan Maklumat Nantes yang memungkinkan kebebasan beragama bagi orang Protestan dan mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung selama 30 tahun antara masyarakat Protestan dan Katolik di Prancis.

Henry IV juga menjadi pionir pembangunan ekonomi Prancis sekaligus mendirikan banyak bangunan bersejarah di Paris, termasuk Jembatan Pont Neuf dan Taman Place des Vosges. Henry IV dibunuh di Paris pada 1610 di usia 57 tahun oleh seorang pemeluk Katolik fanatik, Francois Ravaillac.

Dalam pemeriksaan, para ilmuwan menemukan banyak ciri khusus yang kerap ditemukan dalam potret sang raja, termasuk luka berwarna gelap di atas lubang hidung sebelah kanan dan telinga kiri yang ditindik. Mereka juga menemukan bekas patahan tulang yang telah sembuh di bagian rahang sebelah kiri atas. Ini cocok dengan bekas luka tusuk yang didapat sang raja saat percobaan pembunuhannya pada 1594.

Tes radio karbon memastikan bahwa kepala itu berasal dari abad ke-17. Charlier dan anggota timnya juga membandingkan kepala yang telah dibalsem itu dengan sebuah laporan otopsi yang menjabarkan proses pembalseman jasad para raja Prancis yang ditulis oleh dokter kerajaan. Para ahli parfum dilibatkan dalam tim. Dengan penciuman mereka yang terlatih, mereka mengenali zat-zat pembalseman khusus yang dimasukkan di bagian mulut untuk menyamarkan bau tak sedap dari jenazah.

Para peneliti Prancis juga melakukan rekonstruksi wajah secara digital dan pemindaian tomografi dengan menggunakan komputer yang menunjukkan hasil konsisten dengan semua gambar Henry IV dan cetakan wajah yang dibuat tak lama setelah kematiannya.

Frank Ruehli, dari University of Zurich dan Swiss Mummy Project mengatakan bahwa hasil riset itu cukup bisa dipercaya tapi akan makin memenuhi syarat jika para ilmuwan Prancis berhasil menemukan DNA-nya.

“Mereka sudah memenuhi beberapa langkah yang diperlukan (untuk pembuktian) dan kemungkinan besar kepala itu memang kepala Henry IV,” ujarnya. “Tapi tanpa bukti DNA, agak sulit memastikan identitas kepala itu,” ujar Ruehli dalam sebuah wawancara dengan Associated Press. Ruehli tak termasuk dalam tim riset.

Namun Ruehli megatakan, para ilmuwan Prancis telah melakukan langkah lain yang juga sama baiknya, yaitu mencocokkan bukti berupa luka di wajah Henry IV dengan catatan sejarah tentang ciri-ciri wajah sang raja.

Tahun ini, tepat 400 tahun setelah sang raja terbunuh, pemerintah Prancis menetapkan sebagai Tahun Raja Henry IV.

Tahun depan, Prancis akan mengadakan misa massal dan pemakaman kembali kepala Henry IV, yang akan dikuburkan bersama-sama dengan jasad para raja dan ratu Prancis lainnya, di Basilica Saint Denis.


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Kepala Henry IV)

Dari SBY Sampai SDSB


RIBUAN masyarakat Yogyakarta turun ke jalan menyaksikan sidang paripurna DPRD Yogyakarta yang membahas RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Senin, 13 Desember 2010. Lazimnya demonstrasi, selain diisi oleh orasi, juga disemarakkan oleh kalimat bernada protes politik pada spanduk.

Di antara kerumunan massa, beberapa orang mengenakan surjan dan blangkon tampak membentangkan spanduk sepanjang lima meter. Pada spanduk yang dibuat oleh Gerakan Rakyat Mataram (Geram) tertulis, “SBY: Sumber Bencana Yogya.” Akronim bernada isinuatif itu bukan yang pertama. Sebelumnya, dalam acara peringatan Sumpah Pemuda ke-77, 28 Oktober 2005, sekira 300-an massa yang tergabung dalam Komite Bersama Rakyat Jogja Menolak Lenga (minyak) Larang (mahal) (Koramell) menggelar aksi demo menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam aksi tersebut mereka memelesetkan SBY jadi “Sengsara Banget Yo dan Soyo Bubrah Yo (semakin berantakan ya),” tulis Detiknews.com, 28 Oktober 2005.

Menurut Profesor Studi Pembangunan dan Politik Asia di Graduate Institute of Development Studies (IUED) Jenewa, Swiss, Jean-Luc Maurer masyarakat Indonesia berbakat dalam membuat akronim. Caranya dengan menempatkan beberapa suku kata yang diambil dari kata-kata yang telah dipisah-pisahkan ke dalam bagian-bagian yang diurutkan secara berdampingan.

“Dari sisi ilmu bahasa, unsur utama penjelasan berasal dari kenyataan bahwa karena struktur dan kosakata bahasa Indonesia masih sedang dibentuk, maka bahasa ini sangat luwes dan khususnya cocok bagi inovasi dan kreativitas,” tulis Maurer, “Bermain dengan Kata-kata? Lelucon dan Permainan Kata-kata sebagai Protes Politik di Indonesia,” termuat dalam Orde Zonder Order.

Kebiasaan ini, lanjut Maurer, telah tersebar luas pada masa Sukarno, yang menghujani pidato-pidatonya dengan akronim. Misalnya akronim Orde Lama yang paling terkenal: Nasakom (NASionalis Agama KOMunis), aliansi di masa Demokrasi Terpimpin pada akhir tahun 1950-an antara kekuatan-kekuatan nasionalis, keagamaan, dan komunis; RESOPIM (REvolusi SOsialisme Indonesia PIMpinan nasional), pidato presiden pada Hari Kemerdekaan tahun 1961; NEFOS (New Emerging FOrceS) untuk OLDEFOS (OLd DEclining FOrceS), perjuangan anti-imperialisme tahun 1960-an; TAVIP (TAhun Vivere Pericoloso atau Tahun untuk Hidup Penuh Tantangan), pidato presiden pada Hari Kemerdekaan tahun 1964; dan BERDIKARI (BERdiri DI atas Kaki sendiRI), slogan ekonomi tahun 1965.

“Orde Baru meneruskan penggunakan muslihat kultural ini untuk menjelaskan sejelas-jelasnya prioritas-prioritasnya, untuk membuat rakyat terkesan, dan memenuhi maksud-maksud politik serta ekonominya sendiri,” tulis Maurer.

Dengan keamanan politik dan pembangunan ekonomi sebagai pilar ideologi Orde Baru, tidaklah mengherankan jika sebagian besar akronim yang digunakan secara luas antara tahun 1965 sampai 1998 berkaitan dengan kedua hal ini. Akronim Orde Baru yang secara politis paling penting antara lain: GESTAPU (GErakan September Tiga PUluh), peristiwa berdarah 30 September 1965 yang sengaja dimiripkan dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi yang terkenal kejam; KOPKAMTIB (KOmando Pemulihan KeAManan dan KeterTIBan), badan menakutkan yang dibentuk Maret 1966 untuk menumpas segala bentuk ancaman bagi kekuasaan Orde Baru; GOLKAR (GOlongan KARya), partai politik pemerintah yang dibentuk pada 20 Oktober 1964; dan REPELITA (REncana PEmbangunan LIma TAhun), program pembangunan pemerintah yang dimulai tahun 1969. Yang paling pedas tentu saja UUD (Ujung-Ujungnya Duit).

Pembuatan akronim meluas di masyarakat. Banyak di antara akronim tidak memiliki makna politis dan hanya berkaitan dengan keadaan kehidupan sehari-hari atau mengandung konotasi seksual dan lelucon lain, seperti merek rokok ARDATH dipanjangkan Aku Rela Ditiduri Asal Tidak Hamil; DJARUM, Demi Jenderal Aku Rela Mati; Lavender merk sebuah minyak rambut pun jadi Laki-laki V(P)enuh Derita

Sementara akronim paling cerdas dan tertua yang dibuat rezim Orde Baru adalah SUPERSEMAR yaitu SUrat PERintah SEbelas MARet. Para mahasiswa kritis yang muak dengan rezim Orde Baru memelesetkan SUPERSEMAR jadi SUdah PERsis SEperti MARcos. “Versi lain yang lebih sederhana dari akronim itu adalah SUharto PERsis SEperti MARcos,” kata Adam Schwartz seperti dikutip Maurer.

Berbagai macam akronim dan nama tokoh menjadi ajang pisau bedah humor. Soeharto sendiri tak lepas dari akronim. Dia diartikan SUdah HARus TObat. Slogan politik sehubungan dengan Soeharto yang paling populer selama tahun-tahun terakhir rezimnya berkaitan dengan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), sejenis lotere yang disponsori pemerintah yang diadakan tahun 1993. Pada suatu demonstrasi di depan gedung DPR/MPR untuk memprotes lotere ini, aktivis Nuku Sulaiman membagi-bagikan stiker bertuliskan Soeharto Dalang Segala Bencana. SDSB yang juga ditujukan kepada Sudomo, mantan Kepala Keamanan dan Menteri Tenaga Kerja, diartikan Soeharto Datang Sudomo Beres atau Sudomo Datang Segala Beres. Walhasil Nuku pun diseret ke pengadilan dan sempat mendekam di Penjara Cipinang sampai Soeharto mundur.

Kebiasaan menyingkat kalimat pun ada pada tentara. Sejumlah kata pun disingkat seenaknya, semisal AMD, ABRI Masuk Desa. Sebuah akronim dalam akronim yang tak sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, berlawanan dengan anjuran penguasa saat itu. KOPASSUS pun tak luput dari kotak-katik kata sindiran dengan menyulapnya jadi Kopi Pake Susu.

Akronim-akronim tersebut tumbuh subur di masa Orde Baru karena rezim represif ini membatasi hak untuk memiliki pandangan berbeda atau kebebasan berekspresi. Maurer menyebutnya “ejekan bawah tanah”. Cara ini terbilang kreatif untuk mengungkapkan ketidakpuasan sosial dan protes politik.

Menurut Harsutejo, penulis buku Kamus Kejahatan Orba, ramainya humor bawah tanah merupakan bentuk perlawanan yang tak bisa dibendung dan merambah ke seluruh lapisan masyarakat. Tiap orang bisa menjadi penggagas dan penyebar humor. “Tentu saja Soeharto tak dapat dipaksa turun hanya dengan humor.”



Credit to : HENDRI F. ISNAENI
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Dari SBY Sampai SDSB)

Madu Berapa?

HARI itu, 7 Juli 1954, bertempat di Istana Cipanas yang sejuk, sebuah pesta perkawinan sederhana dilangsungkan. Meski sederhana dan tertutup, tapi buntut dari acara itu tidaklah sederhana. Pasalnya pengantin laki-laki yang menikah itu masih berstatus sebagai suami orang. Lebih pelik karena banyak orang menaruh harap padanya untuk menentang poligami.

Ya, kala itu Presiden Sukarno mempersunting Hartini, perempuan asal Ponorogo, yang usianya terpaut 23 tahun lebih muda darinya. Sebelumnya, Sukarno meminta izin pada Fatmawati, yang baru melahirkan. Tapi Fatmawati tak ingin dimadu.

“Tapi aku cinta padamu dan juga cinta pada Hartini,” kata Sukarno.

“Oo, tak bisa begitu.” Tolak Fatmawati seperti dia tulis dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno.

Pernikahan Sukarno menimbulkan kecaman, terutama dari kelompok aktivis gerakan perempuan. Organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit) dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), misalnya, berujuk rasa menolak poligami Sukarno karena menganggap perbuatan itu merendahkan martabat perempuan. Puncaknya, Fatmawati keluar dari Istana Negara, dengan dukungan penuh Perwari.

Sejak abad ke-19, poligami sudah menjadi wacana di Indonesia. Kartini, yang pernah mengalaminya, menyebut poligami sebagai kejahatan luar biasa. Dalam surat tanggal 23 Agustus 1900 untuk sahabatnya, Stella Zeehandelaar, dia menulis: “Tidak wajarkah jika aku sendiri membenci, memandang rendah perkawinan, jika hasilnya merendahkan martabat perempuan dan menganiaya perempuan sedemikian rupa?”

Pemerintah Belanda bukannya tak peduli. Menurut sejarawan Onghokham, pemerintah Belanda mulai lebih ketat mengawasi kehidupan seksual dan perkawinan para bupati atau pejabat pemerintah sejak Gubernur Jenderal Daendels menyatakan mereka sebagai pegawai Hindia Belanda. Terlebih, sejak 1870 dan menjelang abad ke-20, Belanda makin prihatin terhadap kehidupan seksual dan keluarga pangreh praja. “Wilhelmina mulai menuntut pengendalian moral terhadap seksualitas dan korupsi yang sering bersumber dari kegiatan seksual,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas” yang dimuat di Prisma, Juli 1991.

“Akhirnya, kalau pemerintah kolonial mencoba menertibkan lembaga perkawinan keluarga pangreh praja, misalnya mengenai poligini atau perseliran, pengaturannya kemudian bukan sekadar berdasarkan moralitas religius melainkan kepentingan salary man,” tulis Onghokham.

Pada awal abad ke-20, Belanda membentuk sebuah tim untuk mewawancarai sembilan perempuan Indonesia, semuanya dari kalangan atas, untuk mencari tahu penyebab turunnya kesejahteraan penduduk Jawa dan Madura. Hasilnya, poligami menjadi salah satu titik tekan. Dewi Sartika menyebut poligami sebagai “penyakit gangren” dan Siti Soendari mengatakan “cinta tak dapat dibagi sama”.

Seiring kesadaran nasionalisme, isu poligami memasuki ranah politik. Pada 1928, dalam kongres perempuan pertama, poligami menjadi salah satu topik kontroversial. Saat itu Sitti Moendjijah, perwakilan dari organisasi Aisijjah, membacakan pidato yang mendukung poligami. Seketika seisi kongres resah. Terjadi perdebatan hebat. “Kendati percekcokan di antara mereka berlangsung sengit namun tak terjadi keretakan dalam gerakan,” tulis Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama.

Memasuki 1930-an, wacana poligami sempat terpinggirkan. Gerakan perempuan lebih memfokuskan perjuangan pada isu nasionalisme, kemerdekaan, dan revolusi nasional. Poligami kembali menjadi tuntutan utama gerakan perempuan pada 1950-an. Dalihnya, kenyataan bahwa setelah kemerdekaan angka perceraian akibat poligami merupakan yang terbesar, terutama di Jawa dan Madura.

Pemerintah merespon tuntutan itu dengan membentuk Komisi Perkawinan melalui Kementerian Agama pada 1950. Komisi ini menyusun rancangan Undang-Undang (UU) Perkawinan yang antara lain menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas dasar suka sama suka atau tak ada paksaan, dan poligami diizinkan dengan persyaratan ketat. Saat diserahkan ke parlemen, terjadi perdebatan. Di tengah kebuntuan, pemerintah secara mengejutkan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 19 tahun 1952, yang salah satu isinya memberi tunjangan dua kali lipat bagi para pensiunan yang punya dua istri.

“Keputusan pemerintah menjadi semacam pukulan telak bagi aktivis perempuan yang saat itu tengah berjuang menentang poligami,” tulis Amelia Fauzia dan Oman Fatturahman dalam Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan Karya.

Masyumi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Muslimat NU mendukung Keppres. Perwari menolaknya karena menganggap keputusan itu berdampak pada maraknya poligami dan memboroskan uang negara. Pada 17 Desember 1953, bertepatan dengan HUT Perwari, sejumlah organisasi melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut pencabutan Keppres dan pengesahan UU Perkawinan secepatnya.

Dalam situasi ini, pernikahan Sukarno dengan Hartini menjadi pukulan yang jauh lebih menohok bagi organisasi perempuan. Perwari mengkritik keras perbuatan Sukarno ini sebagai contoh buruk yang menggoyahkan sendi pendidikan dalam keluarga. Menariknya, Gerwani sebagai organisasi gerakan perempuan tebesar di Indonesia, yang sejak era pergerakan nasional menyuarakan emansipasi dan menolak poligami, bergeming saja. Secara politik, sebagaimana dikutip dari buku Saskia E. Wieringa Penghancuran Gerakan Perempuan, Gerwani berusaha menjaga hubungan harmonis antara Sukarno dan Partai Komunis Indonesia.

Buntut dari kecaman organisasi perempuan terhadap poligami Sukarno, membuat UU Pekawinan berjalan lambat. Gadis Arivia dalam bukunya Feminisme Sebuah Kata Hati menulis: “Perempuan Indonesia harus menunggu sampai tahun 1973 untuk mendapatkan UU Perkawinan baru yang melarang poligami.” Tapi sayangnya UU ini pun masih memuat klausul yang memungkinkan terjadinya poligami.

Pada masa Orde Baru pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur ketentuan asas monogami melalui UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Tapi, sekali lagi, UU ini memberi celah bagi seorang suami beristri lebih dari seorang “apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. UU juga mendefinisikan suami sebagai kepala rumah tangga, sementara istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Dharma Wanita, satu-satunya organisasi resmi bentukan pemerintah, mendesak adanya peraturan untuk melindungi mereka, istri-istri pegawai negeri, terutama dalam kasus poligami dan perceraian. Muncullah Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1983. Isinya antara lain mewajibkan pegawai negeri pria meminta izin atasan sebelum bercerai atau mengambil istri kedua. Anggota Dharma Wanita, yang merasa haknya dilanggar, dapat melapor kepada kepala Dharma Wanita di kantor suaminya agar hak-haknya dapat dibela. Pegawai negeri juga dilarang hidup bersama di luar perkawinan, dengan sanksi terberat: dipecat dengan tidak hormat.

“Di samping merupakan indikator ‘integritas’, perilaku seksual seperti poligami dan memiliki perempuan simpanan, mempunyai implikasi ekonomi yang dapat menjurus pada korupsi, yang sudah banyak terdapat dalam pemerintah. Ini lagi-lagi suatu alasan untuk mempertahankan citra yang ‘bersih’,” tulis Julia I. Suryakusuma, “Seksualitas dalam Pengaturan Negara”, yang dimuat Prisma, Juli 1991.

“Eksistensi PP 10, apapun bentuknya, memberikan hak kepada negara untuk mengatur kehidupan perkawinan dan seksual pegawai negerinya.”

PP 10 kemudian mengalami perubahan menjadi PP No 45 tahun 1990. Keberadaannya menjadi perdebatan publik ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berharap PP 45 diperluas tak hanya berlaku bagi pegawai negeri tapi juga pejabat negara dan pemerintahan, bahkan seluruh masyarakat. Kelompok perempuan menentang, termasuk meminta revisi UU Perkawinan. Kelompok Islam menutup pintu terhadap revisi apapun, memandang poligami sebagai wilayah syariat Islam yang tak bisa diutak-atik.

Poligami masih akan menjadi perdebatan.

credit to Jay Akbar


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Madu Berapa?)

Cerita di Balik Bakso

Gung Wan, sejenis bakso ala China terbuat dari daging babi. Sebuah pemukul kayu digunakan untuk melunakkan daging babi hingga lumat, kemudian dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil. Setelah direbus, adonan itu menjadi empuk tapi tidak lembek saat digigit dan berasa lezat. Gung Wan cocok dikonsumsi orang tua dan anak-anak.

Sebenarnya Gung Wan berasal dari Fuzhou, sebuah kota di Provinsi Fujian, China selatan, tetapi kemudian menyebar ke Taiwan dan berakar di Hsinchu, sebuah wilayah barat laut Taiwan, dan Gung Wan berkembang menjadi makanan khas daerah tersebut. Berbicara asal usul, Gung Wan atau bakso China ini tercipta dari rasa bakti seorang anak kepada ibunya. Mari kita simak kisahnya.

Pada akhir Dinasti Ming (sekitar awal abad ke-17) di Fuzhou, ada seorang pria bernama Meng Bo yang tinggal di sebuah desa kecil di dekat laut. Dia berakhlak baik, cerdas, dan berbakti kepada orang tua sejak kecil. Rasa bakti Meng Bo terhadap ibunya, sangat dihargai oleh tetangganya. Suatu hari, ibunya yang mulai uzur mendapati dirinya sudah tidak dapat makan daging lagi, karena giginya telah melemah. Ini memang agak mengecewakannya, karena dia suka mengonsumsi daging.

Meng Bo ingin membantu ibunya agar bisa mengonsumsi daging lezat lagi. Dia duduk sepanjang malam tanpa tidur memikirkan berbagai cara mengolah daging yang dapat dikonsumsi ibunya. Hingga suatu hari, ia melihat tetangganya menumbuk beras ketan untuk dijadikan kue mochi. Melihat itu, timbul inspirasinya. Kemudian dia bergegas ke dapur dan mengolah sekerat daging babi dengan cara yang digunakan tetangganya dalam membuat kue mochi. Setelah daging tersebut empuk, Meng Bo membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil sehingga ibunya dapat memakannya dengan mudah.

Setelah merebus adonan itu, tercium aroma daging yang lezat. Meng Bo menyajikan bakso itu kepada ibunya. Sang ibu merasa gembira karena tidak hanya baksonya lezat, tapi juga mudah untuk dikonsumsi. Meng Bo sangat senang melihat ibunya dapat makan daging lagi. Kisah rasa berbakti Meng Bo beserta resep baksonya cepat menyebar ke seluruh kota Fuzhou. Penduduk berdatangan untuk belajar membuat bakso lezat pada Meng Bo.

Bakso tradisional Gung Wan, menggunakan tongkat kayu untuk melumatkan daging dan kemudian membentuknya dalam bulatan kecil. Gerakan memukul disebut “gung,” dan “wan” adalah kata untuk bola kecil dalam dialek Minnan (dialek yang dituturkan di wilayah selatan Provinsi Fujian).

Sumber: Epoch time


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update:Kisah di Balik Bakso)

Di Balik Pembalut

28retro_pembalut.jpg

Evolusi pembalut terus mengiringi perjalanan sejarah perempuan​
.

SRI sudah mengenal pembalut modern ketika sekolah menengah pertama. Tapi meski haid datang, dia lebih memilih pembalut bikinan sendiri dari bahan kain “karena orangtua mengajarkannya seperti itu.”

Meski tak ada kriteria khusus, biasanya kain yang dipakai adalah handuk atau kain bekas yang berdaya serap tinggi. Tinggal melipat-lipat lalu menaruhnya pada celana dalam. “Layaknya pembalut zaman sekarang aja. Cuma kalo sekarang kan pake perekat, kalo dulu pake peniti,” ujar Sri Wiediati, ibu rumahtangga asal Tangerang berusia 40 tahun.

Haid merupakan rutinitas biologis tiap perempuan. Datangnya tiap bulan. Merepotkan? Jelas. Aktivitas jadi terganggu. Belum lagi rasa sakit atau malu yang timbul. “Isolasi perempuan menstruasi, yang dianggap sebagai ‘najis’, dipraktikkan di banyak budaya baik di masa lalu maupun sekarang,” tulis David John Cole, Eve Browning, dan Fred EH. Schroeder dalam Encyclopedia of Modern Everyday Inventions.

Awalnya perempuan belum menggunakan alat bantu apapun ketika haid. Perempuan di masa-masa awal Masehi menghabiskan waktu dengan duduk di sebuah tempat dengan alas yang mampu menyerap darah kotornya. Kitab Kejadian 31:35 mengisahkan Rachel berkata pada ayahnya bahwa dia tak bisa berdiri karena waktunya datang bulan.

Kemudian, perempuan mulai menggunakan bahan untuk menyerap darah kotor itu. Ada yang menggunakan papirus (perempuan Mesir kuno), daun pakis (Hawaii), lumut rumput, atau tanaman lain (Afrika), tampon kertas (Jepang), potongan pakaian atau lap (China), wol (Roma), kapas dan spons (Eropa), atau serat sayuran (Indonesia).

Bagaimana perempuan di masa lalu menggunakan pambalut terekam dalam sejumlah kisah. Di India, dalam mitos dewa Indra, seperti ditulis Wendy Doniger dalam Splitting the Difference, dikisahkan bagaimana Indra mendapatkan vagina yang sedang haid, berbau tak sedap, dan dibalut dengan kain.

Dalam beberapa tulisannya, Hippokrates, fisikawan sekaligus ahli medis Yunani kuno, menceritakan tentang perempuan-perempuan yang membuat tampon sendiri. Mereka membungkus potongan-potongan kain tiras lalu diletakkan pada bantalan dari kayu. Cendikiawati Yunani Hypatia juga menggunakan kain ketika sedang menstruasi. Kisah terkenal darinya –jika bukan yang paling menarik–, tulis Alan Cameron, Jacqueline Long, dan Lee Sherry dalam Barbarians and Politics at the Court of Arcadius, adalah ketika dia dilempari pembalut bekas oleh seorang muridnya.

Dalam perkembangannya, pembalut mulai diperdagangkan. Berdasarkan sebuah dokumen kuno di kota kecil di Tunisia, ditulis di atas kertas kulit, sebagaimana ditulis S.D. Goitein dalam A Mediterranean Society, pada dekade kedua abad ke-11 pembalut menjadi komoditas perdagangan di Laut Tengah. Hal itu diketahui dari tagihan pengiriman/pemesanan barang.

Pembalut perempuan terus berevolusi. Sempat muncul model pembalut yang penggunaannya dimasukkan ke dalam kantong dan diselipkan di antara kedua kaki. Ada pula era menstrual cup (1867), di mana mangkuk penyerap cairan dimasukkan ke dalam kain yang dikaitkan pada ikat pinggang –waktu itu perempuan belum menggunakan celana dalam. Sembilan tahun kemudian menstrual cup yang lebih baik ditemukan, dengan bahan terbuat dari karet. Selain dapat menampung darah kotor, model baru itu juga dilengkapi selang untuk mengalirkan darah ke penampungan yang dikenakan di luar, biasanya diikatkan di pinggang.

Pada abad ke-19, perawat-perawat di rumahsakit Eropa menemukan ide untuk membuat pembalut sekali pakai. Mereka membuatnya dengan bahan yang tersedia di rumahsakit: perban dari pulp kayu, yang biasa digunakan untuk merawat luka tentara, dengan bantalan penyerap terbuat dari buntalan kain.

Ide mereka lalu diadopsi sejumlah perusahaan. Berbentuk persegi empat dengan bahan kebanyakan katun, penggunaan bantalan kain itu diikatkan ke ikat pinggang atau korset si pemakai. Pembalut sekali pakai diproduksi massal pada 1900-an. Namun harganya mahal. Cuma perempuan kaya yang mampu membelinya. Ia menjadi bagian gaya hidup ekslusif perempuan kelas atas.

Sebenarnya, pada 1896, Johnson & Johnson sudah memproduksi pembalut sekali pakai dengan harga terjangkau melalui Lister’s Towels. Sayangnya, Lister’s Towel tak sukses di pasaran karena minim promosi. Kala itu mengiklankan produk yang terkait “dalaman” perempuan masih tabu. “Kebanyakan perempuan bahkan tak tahu kalau produk itu telah tersedia,” tulis Lisa Binion dalam “The History of Tampons and Sanitary Napkins”, dimuat www.bellaonline.com. Hingga beberapa dekade ke depan, tabu itu masih bertahan.

Ketika Perang Dunia I pecah, perban kapas untuk pembalut sulit diperoleh. Orang lalu menggantikannya dengan kapas selulosa. Perusahaan Kimberly-Clark memanfaatkan peluang ini. Pada 1920, produk Kotex-nya dipasarkan. Modelnya masih menggunakan sabuk elastis. Namun, Kotex baru diterima pasar pada 1926, ketika Montgomery Ward, perusahaan mail-order, mengiklankan dalam katalognya. Setelah itu, “penjualan Kotex meningkat lebih dari 8 persen tiap tahun pada awal 1930-an, menciptakan satu pasar yang sepertinya menjadi bukti [penentang, pen.] Depresi,” tulis Thomas Heinrich dan Bob Batchelor dalam Kotex, Kleenex, Huggies: Kimberly-Clark and the Consumer Revolution in American Business.

Pembalut berbantalan eksternal tebal masih kurang nyaman. Melihat ketidaknyamanan istri dan pasien-pasien perempuannya, Dr Earle Haas lalu berusaha menciptakan sebuah tampon yang dapat dipakai untuk semua perempuan pada 1929. Tampon modern pertama dengan aplikator akhirnya dia ciptakan dan dipatenkan dengan merek Tampax, dengan nama perusahaan yang sama –meski kemudian gonta-ganti pemilik. Tampax harus berjuang lama untuk bisa diterima pasar. Orang takut dampaknya: terhalangnya aliran darah yang keluar, kehilangan keperawanan, atau merangsang hasrat seksual. Baru pada 1945, ketika American Medical Association menyetujuinya, Tampax bisa leluasa menembus pasar.

“Sampai 1970, ketika Stayfree dan New Freedom dipasarkan, semua pembalut menggunakan sabuk untuk pengikat,” tulis Binion.

Stayfree dan New Freedom adalah merek pembalut; masing-masing produk Personal Products Company dan Kimberly-Clark. Di Indonesia, masa kolonial, ditunjukkan oleh iklan “Dames Gordel (Band dateng kotor)”, yang terbuat dari kain karet dengan tatakan (dinamakan “Kussen”) dari bahan kapas untuk menyerap darah kotor.

Pembalut dengan perekat mulai mengambil-alih. Bahan pembuat pembalut pun berubah setelah ditemukannya serat sintetis. Bahan, bentuk, dan fungsi pembalut juga lebih baik. Katun, rayon, atau campuran keduanya merupakan bahan yang umum digunakan sekarang. Penggunaan jeli untuk meningkatkan kemampuan penyerapan cairan atau sayap yang ditambahkan untuk memperluas bidang penampungan merupakan bagian dari evolusi pembalut.

Di Indonesia, Softex menjadi pioner pemakaian pembalut sekali pakai, sehingga orang kerap menyebut pembalut dengan namanya. Softex meluncur ke pasaran pada 1974, ketika pembalut umumnya produk luar dan mahal. Berawal dari perusahaan garmen kemudian menjadi perusahaan pembalut karena karyawan perempuannya sering mengambil sisa-sisa kain untuk digunakan sebagai pembalut. Pada 1980-an, Softex merajai pasar pembalut di Indonesia.

Beragam merek kini membanjiri pasar pembalut di Indonesia. Mereka datang dengan beragam varian, harga, teknologi, dan sebagainya. “Praktis, tinggal buang. Kalau yang dulu, dicuci, dijemur dan pake lagi. Repot, harus direndam dulu. Harus punya banyak stok kain. Nyucinya juga susah, nggak bisa bersih sekali. Noda darah kan susah,” ujar Sri.

Tapi ada tantangan yang menghadang, terkait masalah higienis dan lingkungan. Oleh banyak kalangan, penggunaan dioksin bisa memicu kanker serviks, selain pencemar lingkungan yang sangat beracun. Dioksin adalah senyawa sampingan yang timbul dari hasil proses alam seperti letusan gunung atau kebakaran hutan, atau dari proses manufaktur semisal peleburan atau pemutihan.

Produsen pun terpicu memperbaiki: membuat pembalut yang lebih alami dan higienis. Yang paling umum adalah menstrual pad, pembalut dari kain tanpa bahan kimia dan bisa dipakai ulang. Mirip pembalut zaman dulu. Tidak praktis, memang, tapi aman dari sisi kesehatan. [MF MUKTHI]


Majalah Historia



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Dibalik Pembalut)

kaka Dipi, megha mau lihat dong evolusi pembalut dari masa ke masa ;) pengen tau deh aku
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Dibalik Pembalut)

Gambarnya maksudnya?
Wah belum ada. Tapi di artikel itu kan udah ada penjelasannya seperti apa aja perkembangannya.....:)(


-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Dibalik Pembalut)

Hitam Tak Hanya Duka

HITAM dan dukacita sejak lampau tak terpisahkan. Kebiasaan berbusana hitam dalam perkabungan, menurut Françoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages, berawal dari Spanyol pada abad pertengahan yang kemudian ditiru oleh para bangsawan Prancis dan Inggris. Salah seorang di antaranya Phillip the Good (Duke of Burgundy) yang bersikeras mengenakan hitam sejak terbunuhnya sang ayah, John the Fearless, pada 1419 hingga akhir masa pemerintahannya pada 1467. Tak hanya itu, kereta kuda, rombongan pengawal, dan kediamannya juga berornamen hitam.

Eropa pada abad pertengahan memiliki peraturan tata-cara anggota masyarakat bertingkahlaku sesuai hierarki (dikenal sebagai sumptuary laws). Menurut peraturan, pemakaian busana berkabung hitam terbatas hanya untuk kaum ningrat. Para janda bangsawan wajib mengenakan gaun, penutup kepala, dan kerudung hitam ketika muncul di tempat-tempat umum. Ratu Prancis Catherine de Medici, dalam salah satu lukisan potret setelah suaminya, Raja Henry II, meninggal pada 1559, dilukis dalam gaun berkabung hitam dengan bordir bulu putih di lengan, lengkap dengan perhiasan dan tudung kepala hitam bermahkota. Kebiasaan mengenakan busana serupa konon berlangsung hingga ketiga putranya melanjutkan tahta kerajaan.

Eksklusivitas busana berkabung hitam oleh kelas ningrat mencair seiring kemunculan kelompok pedagang kaya Eropa akibat perkembangan industri dan perdagangan pada abad ke-17 dan 18. Sebagai sebuah kelas baru yang berpengaruh, para pedagang dan keluarga berupaya keras mengukuhkan identitas mereka. Gaya berbusana meniru para bangsawan, termasuk dalam perkabungan, menjadi salah satu tolok ukur mereka.

Hitam tak selalu terkait kematian. Berbagai tradisi budaya mengartikan hitam secara berbeda. Michel Pastoureau dalam Black: the History of a Color menulis bahwa bangsa Mesir kuno memandang hitam sebagai warna kesuburan, serupa lumpur Sungai Nil.

Hitam juga memiliki konotasi kesucian spiritual. Dalam Seeing through Clothes, Anne Holander menyebutkan tiga ordo Katolik yang mengenakan hitam: baik hitam keseluruhan seperti Ordo Benedictines (abad ke-1) maupun kombinasi hitam-putih Ordo Augustinian (abad ke-13) dan Dominican (abad ke-15). Ketika Oliver Cromwell, seorang Kristen puritan, memerintah Inggris pada 1653-1658, dia melarang warganya hidup bersenang-senang, termasuk berpakaian warna-warni. Warga perempuan diharuskan memakai gaun hitam panjang yang menutup leher hingga mata kaki, dengan celemek putih dan penutup kepala putih.

Interpretasi hitam sebagai mode busana dimulai sejak abad pertengahan. “Citarasa Spanyol, dengan akar gaya Burgundi, menyebarkan pengaruhnya ke Eropa, serta diikuti oleh Belanda yang mengadaptasi Spanyol; keduanya sangat terbuka akan keindahan suram warna hitam; walau mereka masih terpaku dengan hitam diselingi sedikit putih di bagian leher,” tulis Holander.

Hitam sebagai mode busana, khususnya perempuan, kian berkembang pada abad ke-19. Beberapa edisi La Belle Assemble, sebuah majalah perempuan terbitan Inggris dengan sirkulasi ke wilayah Eropa dan Amerika, memuat popularitas hitam dalam gaun, ikat pinggang, dan topi perempuan. “Gaun-gaun yang digemari terbuat dari beludru hitam yang dipotong pendek, mengembang dengan lipitan brokat hitam. Lipitan brokat ini juga dijahit di ujung hem…, dipadukan dengan lapisan gaun satin putih dikenakan di bawah bahan beludru…” demikian sepenggal deskripsi artikel berjudul “Costume of Paris” dalam majalah tersebut edisi Februari 1823.

Namun gaun malam hitam cukup berisiko, terutama di mata sekelompok masyarakat Barat abad ke-19 yang konservatif. Karena dianggap kurang sopan, perempuan bergaun malam hitam mendapat “sanksi” dari lingkaran sosialnya. “Kasihan Ellen,” ujar Nyonya Archer singkat; kemudian dengan penuh simpatik menambahkan: “Kita harus selalu mengingat lingkungan eksentrik Medora Manson yang membesarkannya. Apa yang dapat kita harapkan dari seorang perempuan yang diizinkan mengenakan gaun satin hitam dalam perayaan menyambut masa dewasanya?” Itulah sekilas sindiran halus mengenai gaun hitam dan kepantasan sikap seorang perempuan oleh kelas atas New York pada akhir abad ke-19 dalam novel Edith Wharton, The Age of Innocence.

“Skandal” gaun malam hitam bagi perempuan juga terjadi pada 1884 lewat lukisan Portrait of Madame X oleh pelukis John Singer Sargent. Subjek lukisan adalah Madame Pierre Gautreau. Terpukau oleh kecantikannya, Sargent membujuk lewat berbagai cara agar sang bangsawan bersedia dilukis. Di versi awal lukisan, Madame Gautreau mengenakan gaun malam hitam berpotongan leher bentuk hati, dengan salah satu tali gaun terjatuh di pundaknya.

Ketika lukisan tersebut dipamerkan di Salon, Paris, masyarakat luas termasuk sanak-keluarga Gautreau bereaksi keras terhadap pose dan gaun Madame Gautreau yang dianggap sugestif. Untuk mengurangi efek kemarahan publik, Sargent memperbaiki lukisan tali gaun menjadi pas di pundak.

Gaun hitam mengalami redefinisi pada awal abad ke-20 seiring perubahan peran sosial perempuan di Barat. Tahun 1920 khususnya menjadi tonggak pergerakan kaum perempuan di Amerika dengan pengakuan hak istri sebagai pemilik properti serta hak perempuan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Era baru ini diiringi peningkatan daya beli dan konsumerisme massa, yang mendorong industri busana siap pakai.

Ketika perancang Coco Chanel mendesain gaun hitam, dia menerjemahkan semangat era tersebut. Di tangannya, gaun hitam menjadi busana siang dan malam yang memudahkan perempuan beraktivitas. Ilustrasi gaun hitam selutut berlengan panjang Chanel terbit di majalah Vogue Amerika edisi 1 Oktober 1926. Vogue memuji kesederhanaan sekaligus potensi pasar rancangan Chanel, yang disejajarkan dengan mobil Ford. “Busana ‘Ford’ Chanel, seluruh dunia akan memakainya, adalah model 817 dari bahan crepe de chine hitam…”

Pamor gaun hitam Chanel yang kemudian dikenal luas sebagai “little black dress” memuncak pada 1961. Artis Audrey Hepburn mengenakan gaun hitam rancangan Hubert de Givenchy dalam film Breakfast at Tiffany’s. Keanggunan Hepburn dalam balutan little black dress seketika menjadi panutan mode busana dan terus berdampak hingga kini. Gaun hitam, dalam berbagai model dan bahan, kini menjadi pilihan banyak perempuan dalam menghadiri acara formal maupun sosial. Saking populer, Oxford Dictionary of English memasukkan little black dress sebagai kata baru dalam edisi ketiga pada Agustus 2010.

Gaun hitam hingga little black dress yang massal telah mendobrak dominasi mode berbusana. Georg Simmel, sosiolog dan filsuf Jerman, dalam esai‘The Philosophy of Fashion’ mengatakan, “mode selalu berdasarkan kelas… kelas atas membedakan mode mereka dengan kelas lebih rendah, dan mereka akan segera meninggalkannya sesaat setelah kelas di bawahnya mencoba mengikuti.” Namun Simmel juga meyakini keberadaan sebuah keindahan yang klasik, yang menurutnya “bersifat kolektif dan tidak menimbulkan banyak perubahan.”

Little black dress adalah salah satu bukti keindahan klasik sepotong gaun melintasi batas kelas dan waktu.

Dikutip dari tulisan Mira Renata, Majalah Historia




-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Hitam Tak Hanya Duka)

mantap thread nya mbak dipi
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Hitam Tak Hanya Duka)

Langkah Stiletto

JAUH sebelum Cinderella berlari meninggalkan sebelah sepatu kacanya di tangga istana untuk menghindari dentang jam 12 kali, seorang budak dan penari cilik Mesir bernama Rhodopis terlebih dahulu kehilangan salah satu sandal emasnya. Seekor burung jelmaan dewa Horus mencuri dan menjatuhkan sandal emas itu di depan Firaun. Terpesona membayangkan keindahan kaki sang pemilik sandal, Firaun bersumpah mencari dan menikahi perempuan pemilik sandal.

Romantisme kaki dan sepatu dan perempuan bukan sekadar dongeng, modern atau kuno.

Mode sepatu perempuan berhak tinggi bermula pada masa Renaissance di abad ke-16 dengan chopines –sepatu dengan hak platform tebal yang tingginya mencapai 12 hingga 50 sentimeter. Kegilaan terhadap chopines dimulai di Italia, yang terbawa melalui interaksi dagang dengan Asia, terutama Turki.

“Mereka menjadi setengah daging dan setengah batang kayu,” tulis petualang John Evelyn dalam buku hariannya pada 1666, seperti dikutip dalam The Book of Costume: or, Annals of Fashion by A Lady of Rank. Evelyn melihat perempuan-perempuan kelas atas Venesia berjalan kikuk mengenakan chopines sambil dituntun para suami atau pelayannya.

Chopines adalah sebuah permulaan. Hak tinggi pada sepatu berubah ramping dan lebih tinggi ketika bangsawan Catherine de Medici menikah dengan Duc d’Orleans Henry pada 1533 –kelak menjadi Raja Henry II. Saat itu de Medici berusia 14 tahun dengan tinggi badan kurang lebih 150 sentimeter. Sejak itu mode sepatu tinggi menyebar luas di kalangan bangsawan Prancis.

Hak tinggi tak melulu milik eksklusif perempuan. Sejarawan Joan deJean menulis bahwa Raja Louis XIV mengagumi berbagai bentuk keindahan, termasuk penampilan fisik. “Dia memakai berbagai atribut mode untuk memperlihatkan keindahan bentuk kakinya,” tulis deJean dalam The Essence of Style: How the French Invented High Fashion, Fine Food, Chic Cafes, Style, Sophistication, and Glamour. Dia kerap memakai sepatu berhak tinggi dengan tambahan ornamen, termasuk cat merah darah pada haknya. “Merah adalah warna yang diasosiasikan dengan istana Versailles, kebangsawanan,” tambah deJean.

Louis XIV melarang pemakaian hak sepatu yang lebih tinggi dari dirinya. Peraturan lain, yang diterapkan pada 1673, membatasi penggunaan warna merah pada hak sepatu hanya untuk kalangan bangsawan.

Revolusi Prancis menamatkan citarasa mewah sepatu hak tinggi di Prancis. Marie Antoinette, permaisuri Louis XVI, disebut mengenakan sepatu lusuh merah keunguan ketika berjalan menuju papan guillotine untuk menjalani eksekusinya.

Status eksklusif sepatu hak tinggi berangsur mengalami transformasi. Sepanjang periode La Belle Époque (1890-1914) di belahan Eropa, yang memuja kemewahan gaya hidup dan mode, sepatu berhak tinggi diasosiasikan dengan perempuan pekerja seks. “Sepatu boot berhak tinggi pada masa itu sinonim dengan pelacur Prancis… hingga saat ini, sepatu mungkin satu-satunya pengeluaran finansial termahal untuk profesi ini,” tulis peneliti Melissa Hope Ditmore dalam Encyclopedia of Prostitution and Sex Work, Volume 2.

Seksualitas kaki dan sepatu terkait erat. Sigmund Freud dalam Five Lectures on Psycho-Analysis menyimpulkan bahwa bagi orang-orang yang terikat secara seksual dengan simbolisme (fetish), sepatu melambangkan organ genitalia perempuan. Namun, penekanan seksualitas sepatu memiliki perbedaan antara di Barat dan Timur. Sejarawan Mary Trasko mendeskripsikan fetish sepatu di Barat cenderung agresif, “mengkilap, bersudut tajam, dan seperti-senjata”; berbeda dengan Timur yang pasif “menyerupai gaun tidur dengan lapisan atas satin dan sentuhan bordiran halus pada alas.”

Perbandingan ini dapat dilihat dari kegilaan akan erotisme telapak kaki mungil perempuan yang menyerupai lotus di China. Mengenakan sepatu lotus kecil serta langkah menjinjit perlahan menjadi simbol keanggunan dan kesempurnaan seorang perempuan. Untuk mendapatkan bentuk ideal ini, anak perempuan pada usia tiga hingga delapan tahun menjalani pembengkokan jari kaki; empat jari kaki ke arah telapak bawah, sementara jempol kaki bebas. Bentuk telapak kaki pun berubah melengkung dengan jempol kaki sebagi tumpuan. Proses pembengkokan butuh waktu tahunan dan kerap mematahkan tulang jari kaki dan tulang telapak kaki bagian tengah-atas; membuat perempuan sulit beraktivitas hingga cacat permanen. Praktik pembengkokan kaki perempuan, yang diperkirakan berawal pada masa Dinasti Tang (937M), berkurang ketika China menjadi Republik pada 1912 dan resmi dilarang oleh pemerintahan Mao pada 1949.

Kaki juga bertanggungjawab atas terbentuknya imajinasi erotis terhadap seluruh tubuh, tulis William Rossi dalam The Sex Life of Foot and Shoe. Sepatu berhak tinggi membuat postur tubuh dan langkah tegak, menonjokan dada, abdomen, dan paha, serta menciptakan daya tarik seks secara visual.

“Sebelum memandang wajah mereka, saya terlebih dulu ingin melihat bagaimana mereka berjalan. Sebuah langkah mengandung lebih banyak seks dibandingkan seraut wajah atau sesosok tubuh,” ucap Florenz Ziegfield, seorang promotor teater dan acara hiburan di Amerika awal 1920-an. Ziegfield menerapkannya dalam proses perekrutan. Dia meminta para pelamar perempuan berjalan dengan sepatu berhak tinggi di balik layar putih. Siluet langkah mereka menjadi dasar penilaiannya.

Dunia hiburan dan media Barat berperan dalam menyebarluaskan mode sepatu hak tinggi. Usai Perang Dunia I, sepatu hak tinggi mulai dikenakan oleh perempuan dari berbagai kalangan. Mode ini pun terbawa hingga ke daerah koloni.

Di Hindia Belanda misalnya, majalah Isteri edisi September 1931 menyorot tajam mode sepatu berhak tinggi –saat itu disebut slof (selop). Penulis artikel menyesali dan mencela (mode) selop yang berhidung runcing dan haknya terlalu tinggi. “Keruncingan mendatangkan kejelekan dan kesakitan: jari-jari kaki berkumpul jadi satu; tumbuh tulang-tulang kaki, terutama tulang jari dan delamakan [telapak kaki], terganggu; … ujung kaki terjepit dan ini menyebabkan kulit ayam menjadi rusak, mata kapalan atau ekstrogen yang tidak sedikit mendatangkan kesakitan. Itulah hasilnya… Mode yang membawa kejelekan,” kritiknya.

Meski dianggap berbahaya bagi kesehatan, sepatu hak tinggi tak pernah punah. Pada 1953, harian Daily Telegram di London memuat desain perancang sepatu Roger Vivier untuk rumah mode Christian Dior, dengan hak kurus dan super tinggi dengan nama stiletto. Diambil dari nama pisau panjang-tipis di Italia, kenyamanan memang bukan daya tarik stiletto. Bagi kebanyakan perempuan, stilleto menambah feminitas, seksualitas, dan keindahan. Mode pun mengubah permintaan pasar, dari fungsionalisme alas kaki menjadi fetishism sepatu.

“Setiap perempuan tak hanya sadar akan kakinya, mereka juga menyadarinya secara seksual,” ujar Andre Perugia, salah seorang perancang sepatu perempuan ternama 1920-1960.

Tak semua perempuan setuju pendapat ini. Gerakan feminis pada 1960-an mengkritik sepatu perempuan berhak tinggi sebagai ciptaan kaum laki-laki untuk memuaskan fantasi dan stereotip seks terhadap perempuan. Lee Wright dalam “Objectifying Gender: The Stiletto Heel” menulis bahwa “stiletto secara luas diterima sebagai lambang subordinasi perempuan –setara dengan pembengkokan jari kaki atau korset ketat.”

Gerakan awal feminis pun menyerukan untuk menukar stiletto dengan sepatu tanpa hak plus sol yang tebal.

Pandangan ini berubah seiring kemunculan kelompok feminis liberal yang memandang mode, termasuk sepatu berhak tinggi, bukan lagi sebagai objek pemaksaan melainkan refleksi kekuatan perempuan untuk memilih apa yang membuatnya bahagia dan menambah rasa percaya diri, tulis Larraine Gamman dalam Self-Fashioning, Gender Display and Sexy Girl Shoes. “Ketertarikan perempuan terhadap sepatu tak bisa lagi dipandang hanya melalui sudut relasi dengan laki-laki. Ia perlu dipahami dalam dimensi pencarian identitas, termasuk narsisisme dan konsumerisme,” Gamman menyimpulkan.



Credit to Mira Renata



-dipi-
 
Back
Top