Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Update: Mata Keranjang & Hidung Belang)

Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Langkah Stiletto)

ikutan berlangganan disini non -Dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Langkah Stiletto)

aku juga nemu sepatu

tapi aku lempar lagi karena sepatu nya butut
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Langkah Stiletto)

Sukarno Tanpa Ahmad

92lintasan_ahmadsukarno.jpg


"Ahmad selalu menyertai Sukarno, meski Sukarno sendiri tak suka."​

PADA 14 Mei 2003, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono mewakili Presiden Megawati Sukarnoputri meresmikan pemancangan patok pembangunan gedung pembelajaran unit 6 Al-Zaytun, Indramayu. Gedung yang belum selesai dibangun ini diberi nama “DR. Ir. Ahmad Soekarno.”

Ahmad (kadang-kadang dieja Achmad, Achmed, Ahmad, dan Ahmed) artinya terpuji. Sukarno tak suka tambahan nama itu. Tapi nama itu dikenal di Timur Tengah. Mesir mengabadikannya menjadi nama jalan, Ahmed Sokarno St., yang menuju pusat kota dan pusat kebudayaan di Tahrir Square. Maroko juga membuat nama jalan di ibukotanya, Rabat, dengan “sharia Al-Rais Ahmed Sukarno” yang diubah menjadi “Rue Soekarno”.

Bahkan, di Timur Tengah, Indonesia disebut “Negeri Ahmad Sukarno”. Ini pengalaman Azyumardi Azra, direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ketika berkunjung ke sana yang dia tuangkan dalam rubrik Resonansi di Republika, 29 Juli 2010. Ketika bertemu dengan Ustaz Abd al-Karim, pensiunan guru besar di sebuah universitas terkemuka di Mesir, pertanyaan yang muncul adalah apakah Azyumardi Azra berasal dari Negeri Ahmad Soekarno (min al-biladi Ahmad Sukarno).

Penambahan nama Ahmad menarik perhatian Steven Drakeley, dosen senior Asian and International Studies School of Humanities and Languages University of Western Sydney. Dia mempresentasikan papernya yang menarik, berjudul “In Search of Achmad Sukarno”, dalam Conference of the Asian Studies Association of Australia di Wollongong, 26-29 Juni 2006.

Menurut Steven, ada dua alasan penggunaan nama Ahmad. Pertama, seperti dijelaskan Willard A. Hanna, doktor lulusan Universitas Michigan dan ahli Asia Tenggara, dalam Eight Nation Makers, Ahmad ditambahkan oleh wartawan Barat karena budaya penamaan mereka yang membubuhkan “nama pertama” dan “nama keluarga”.

Di masa revolusi, suratkabar macam The Straits Time di Singapura sudah menyebut nama Ahmad Sukarno. Misalnya, berita soal peti jenazah dalam pesawat RI-002 –diterbangkan oleh Bob Freeberg, pilot Amerika Serikat yang bersimpati pada perjuangan Indonesia– yang mesti mendarat di Singapura untuk mengisi bahan bakar. Koran itu memuat berita, sebagaimana dikutip dari Irna H.N. Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: “… Achmad yang jenazahnya akan diterbangkan ke Sumatra itu adalah jenazah Achmad Sukarno, yang menamakan dirinya Presiden Republik Indonesia. Suaranya dalam pidato sudah lama tidak terdengar. Ia tewas sebagai korban asosiasi, dan mayatnya sekarang dilarikan….”

Dalam bukunya A Magic Gecko, Horst Henry Geerken juga menyebut kesalahan penulisan nama ini di media Barat. “Seperti banyak orang Jawa, dia hanya memiliki satu nama: Soekarno. Sebuah kantor berita Amerika, walaupun korespondennya di Jakarta, telah menjelaskan, mereka menciptakan begitu saja nama depan ini,” tulis Geerken, yang bekerja sebagai insinyur residen AEG-Telefunken di Indonesia selama 18 tahun dari 1963 hingga 1981. “Di Indonesia, nama Ahmed sama sekali tidak dikenal dalam kaitannya dengan Soekarno. Jadi saya hanya akan menggunakan nama tunggal yang benar tersebut.”

Kemungkinan kedua, nama Ahmad sengaja ditambahkan oleh nasionalis Indonesia selama revolusi dengan tujuan memfasilitasi dukungan dari negara-negara Islam di Timur Tengah. Klaim ini secara eksplisit dibuat oleh M. Zein Hassan, seorang mahasiswa Indonesia di Mesir, dalam memoarnya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri: Perpanjangan Pemuda/Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah. Zein mencatat bahwa usaha-usaha di mana dia terlibat mencari dukungan untuk Indonesia terbentur oleh kurangnya kesadaran bahwa Sukarno adalah seorang Muslim. Tapi kendala ini dengan mudah hilang hanya dengan menambahkan nama Ahmad pada Sukarno. Ini pernah dilakukannya ketika Zein menjadi ketua Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah (Central Committee of Defenders of Indonesian Independence in the Middle East) di Kairo, Mesir.

Dalam kasus lain, identitas agama menjadi kunci masuk diplomasi. Ketika Agus Salim, A.R. Baswedan, Nazir Pamoentjak, dan Rasjidi melakukan kunjungan ke Mesir pada 10 April 1947, petugas imigrasi meragukan paspor mereka yang hanya berupa secarik kertas dengan keterangan bahwa delegasi ini datang dari Republik Indonesia, sebuah negara baru di Asia. Baru setelah tahu kalau mereka Muslim, petugas mempersilakan, “Ahlan wa Sahlan!”

Jika klaim Zein benar, “sangat mungkin wartawan Barat menggunakan ‘Ahmad’ dengan merujuk pada sumber-sumber dari Timur Tengah pada akhir 1940-an,” tulis Steven.

Sejauh mana penggunaan Ahmad di Indonesia? Pada 1994, Steven menemukan sebuah buku di sebuah kios buku bekas di Yogyakarta berjudul Perdjalanan PJM Presiden Ir. Dr Hadji Achmad Sukarno ke Amerika dan Eropah (1956) yang disusun Winoto Danoeasmoro. Lalu pada 2001, di perpustakaan Muhammadiyah Yogyakarta, Steven juga menemukan sebuah buku kecil yang dibuat Muhammadiyah untuk memperingati pemberian penghargaan “Bintang Muhammadiyah” kepada Sukarno pada April 1965. Dalam buku itu, Sukarno disebut sebagai “Dr. Ir. H. Ahmad Soekarno”. Piagam penyerahan medali ditandatangani, atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, K.H.A. Badawi sebagai ketua dan M. Djindar Tamimy sebagai sekretaris. “Semua ini menunjukkan bahwa pimpinan Muhammadiyah percaya ‘Ahmad’ itu benar,” tulis Steven.

Bukti tambahan menunjuk ke arah ini adalah peristiwa 28 Oktober 1963 ketika Sukarno menyampaikan pidato memperingati Sumpah Pemuda di Stadion Senayan, Jakarta. Muljadi Djojomartono, tokoh Muhammadiyah terkemuka, memperkenalkan Sukarno kepada orang-banyak sebagai Haji Ahmad Soekarno.

Sukarno sendiri secara terbuka membantah bahwa namanya adalah Ahmad. Dia bersikeras namanya hanya Sukarno. Di awal pidatonya, Sukarno berkomentar sedikit kesal: “Lho, kapan saya ini dapat nama Ahmad? Menurut ingatan saya, bapak saya almarhum dan ibu saya hanya memberikan nama Sukarno... Tapi ya… Muljadi ingin memuji saya dengan memanggil saya Ahmad, karena nama Ahmad adalah nama yang benar-benar sangat terhormat. Tapi, sementara saya menyampaikan terima kasih dan merasa tergerak untuk memiliki dan menambahkan nama ini, saya ulangi bahwa nama saya hanya Sukarno.”

Dalam Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams, Sukarno juga dengan ketus mengatakan: “Sukarno adalah nama saya riil, dan hanya itu. Beberapa wartawan bodoh pernah menulis nama pertama saya Achmed. Konyol. Saya hanya Sukarno.” Anehnya, dalam edisi revisinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007), tak ditemukan lagi perkataan Sukarno itu.

Steven melihat kemungkinan Sukarno pernah menggunakan Ahmad selama hidupnya. “Nama Ahmad mungkin diperolehnya selama remaja di Surabaya. Dia terinspirasi Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kemungkinan lain, Sukarno mengambil nama Ahmad ketika dia berada di bawah pengaruh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam. Sukarno melakukan korespondensi dengan Hassan awal 1930-an. Sukarno tentu belajar dan berpikir secara mendalam tentang Islam pada periode ini. Dia menyatakan bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya; dia benar-benar memeluk Islam,” tulis Steven. “Atau mungkin Sukarno juga menambahkan Ahmad pada namanya selama pengasingannya di Bengkulu, di mana dia bergaul dalam lingkungan masyarakat Muhammadiyah.”

Namun sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Cold War Shadow: United States Policy Toward Indonesia, 1953-1963 meyakini sampai Sukarno meninggal, nama resminya hanya Sukarno. “Dia tak senang ketika tahu orang-orang di media Barat dan banyak literatur menyebutnya Achmed Sukarno, hanya karena di Barat tidak biasa seseorang memiliki satu nama”.

Apa lacur, nama Ahmad Sukarno sudah kadung kondang di Barat maupun di Timur Tengah.


Credit to Hendri F. Isnaeni (Majalah Historia)



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Soekarno Tanpa Achmad)

Bom di Tengah Konferensi Asia-Afrika


KASHMIR Princess, sebuah pesawat carteran milik Air India berjenis Lockheed L-7492A, lepas landas dari Bandara Kai Tak, Hong Kong, pada 11 April 1955. Sebelumnya, ia mengisi bahan bakar dan menjalani pemeriksaan rutin usai menempuh perjalanan dari Bombay, India. Pesawat membawa delegasi China, juga wartawan dari berbagai negara, yang akan menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Rencananya, pesawat itu pula yang akan mengangkut Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri China Zhou Enlai.

Sekira lima jam perjalanan, pada jam tujuh malam, kru mendengar ledakan. Api berhembus ke arah lubang tangki bahan bakar nomor tiga. Dengan cepat pilot mematikan mesin nomor tiga, menyisakan tiga mesin yang menggerakkan pesawat. Dalam waktu sepuluh menit, situasi memburuk. Penumpang ngeri melihat api mulai melahap sayap pesawat dan membayangkan kematian di depan mata. Asap juga memasuki kabin dan kokpit. Kru sempat mengirimkan sinyal bahaya; memberi tahu posisi mereka di atas Kepulauan Natuna, sebelum radio terputus.

Tak ada pilihan bagi pilot kecuali mencoba mendaratkan pesawat di laut. Para kru mengeluarkan jaket pelampung dan membuka pintu darurat. Pesawat menghujam ke laut. Sayap kanan menghantam air terlebih dahulu, merobek pesawat menjadi tiga bagian. Enambelas orang tewas. Tiga orang selamat: Anant Shridhar Karnik, teknisi perawatan pesawar Air India International Cooperation; kapten perwira pertama Dixit; dan navigator penerbangan J.C. Pathak.

“Kami jatuh ke dalam air. Ketika saya menyembul ke permukaan, ada api besar di laut. Mr Dixit mengalami patah tulang di bagian leher sementara tangan saya patah. Arus sangat kuat. Kami, entah bagaimana, berenang selama sembilan jam di perairan gelap hingga akhirnya mencapai pantai... Kami akhirnya diselamatkan penduduk setempat, memakai kapal ke Singapura, kemudian dibawa ke Mumbai oleh kapal Angkatan Laut Inggris atas perintah Pandit Nehru,” kenang Karnik seperti dimuat Asian Age, 9 April 2005. Karnik menerbitkan buku tentang insiden ini berjudul Kashmir Princess.

Sehari setelah insiden itu, Kementerian Luar Negeri China mengeluarkan pernyataan yang menuding keterlibatan dinas rahasia Amerika Serikat (CIA) dan Ching Kai-shek. Mereka, sebagaimana dikutip dari Steve Tsang, The Cold War’s Odd Couple, “berencana menyabot pesawat carteran Air India, menjalankan rencana mereka untuk membunuh delegasi kami ke Konferensi Bandung yang dipimpin oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, dan untuk menggagalkan Konferensi Bandung.”

Chiang Kai-shek adalah pemimpin Koumintang –juga dikenal dengan nama KMT atau Partai Nasionalis China– yang berhadapan dengan kubu komunis pimpinan Mao Zedong dalam perang saudara. Mao memenangi perang dan memproklamasikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1949 sementara Chiang Kai-shek melarikan diri ke Pulau Formosa atau Taiwan.

Pemerintah Indonesia, juga peserta konferensi, terhenyak mendengar kabar kecelakaan itu. Mereka tak ingin konferensi terganggu karena sudah merancangnya jauh-jauh hari; dari usulan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada 1953, Konferensi Kolombo di Sri Lanka pada April 1954, hingga pematangannya dalam Konferensi Bogor pada Desember 1954. Mereka akhirnya bisa bernafas lega ketika tahu Zhou Enlai tak berada dalam pesawat naas itu.

Untuk menyelidiki penyebab kecelakaan, pemerintah Indonesia membentuk komisi penyelidikan. Komisi mewawancarai sejumlah saksi mata, mengunjungi lokasi kejadian, melakukan pencarian fakta di Singapura, Jakarta hingga Hong Kong, serta menelisik reruntuhan pesawat.

Pada 26 Mei, setelah menyelamatkan hampir 90% reruntuhan pesawat di perairan dangkal Pulau Natuna di Laut Cina Selatan, komisi mengatakan bahwa mereka menemukan “bukti positif adanya sebuah ledakan di roda depan bagian kanan pesawat yang disebabkan bom waktu,” tulis majalah Time, 6 Juni 1955. Kesimpulannya: sabotase.

Bom berjenis detonator MK-7 buatan Amerika dan besar kemungkinan dipasang ketika pesawat berada di Hong Kong. Bom itu hanya bisa dipasang oleh seseorang dengan akses ke pesawat ketika berada di Bandara Kai Tak, di mana pemerintah RRC telah meminta pemerintah Hong Kong untuk melindunginya. Artinya, ini bukan kecelakaan biasa melainkan upaya pembunuhan dengan target Zhou Enlai. Tak jelas siapa yang menempatkan bom itu.

Pengumuman itu mengejutkan pemerintah Hong Kong. Mereka menawarkan HK $ 100.000 (hadiah tertinggi yang pernah ditawarkan di Hong Kong) atas informasi pelaku dan menginterogasi 71 orang yang berhubungan dengan perawatan pesawat.

Menariknya, Zhou Enlai bukan tak tahu upaya pembunuhan atas dirinya. “Bukti sekarang menunjukkan bahwa Zhou mengetahui rencana itu sebelumnya dan diam-diam mengubah rencana perjalanan, kendati dia tak menghentikan sebuah delegasi kader yang lebih rendah untuk mengambil tempatnya,” tulis Steve Tsang dari Universitas Oxford dalam “Target Zhoe Enlai”, yang dimuat China Quarterly edisi September 1994.

Mulanya, untuk membawa delegasi ke Konferensi Asia-Afrika, Peking menyewa Kashmir Princess yang berkapasitas lebih dari 100 penumpang. Para agen Taiwan tampaknya menduga bahwa pesawat itu akan membawa Zhou dan membuat rencana untuk meletakkan bom pada pesawat itu di bandara Hong Kong.

Peking maupun Zhou Enlai memiliki semua detail rencana itu. Tapi mereka membiarkan operasi itu berlanjut tanpa memberi tahu Air India, utusan Inggris di Peking, pemerintah Hong Kong, dan para penumpang pesawat. Mao menyuruh Zhou mengubah rute dan tak naik pesawat itu. Rencana perjalanan Zhou disimpan rapat-rapat. Penjelasan resmi atas perubahan itu: Zhou terkena radang usus buntu dan perlu operasi.

“Kerahasiaan perjalanan Zhou menyelamatkan jiwanya dan malapetaka bagi Kashmir Princess. Pesawat Air India itu pula yang dijadwalkan terbang ke Rangoon menjemput Zhou untuk perjalanan ke Indonesia,” tulis www.chinadaily.com, 21 Juli 2004.

Pada 7 April, Zhou bersama delegasi meninggalkan Beijing dan tiba di Kunming. Dia bermaksud menghabiskan beberapa hari di sana untuk mempersiapkan diri dalam Konferensi Asia-Afrika dan memulihkan diri pascaoperasi. Empat hari kemudian mereka mendengar berita ledakan pesawat Kashmir Princess. Mereka berdukacita dan memberikan penghormatan bagi para korban.

“Kami merasa persoalan menjamin keamanan Perdana Menteri Zhou sangat serius,” tulis Huang Hu, diplomat China yang loyal pada Zhou Enlai, dalam memoirnya, seperti dimuat www.globaltimes.cn. “Wakil Perdana Menteri Chen Yi mengatakan kepada semua komrad untuk memperhatikan keamanan Perdana Menteri Zhou. Dia mengatakan kita semua adalah pengawalnya. Dalam suratnya kepada istrinya, Deng Yingchao, Perdana Menteri Zhou kemudian mengatakan bahwa bahaya tak dapat dihindari dalam pertempuran militer dan juga perempuran sipil.”

Pada 14 April, Zhou terbang ke Rangoon, ibukota Burma untuk bertemu dengan Perdana Menteri U Nu, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, serta perdana menteri dari Mesir, Pakistan, Ceylon, dan Vietnam sebelum melanjutkan ke Bandung.

Mengapa Zhou tak bertindak untuk mencegah kecelakaan? Tujuannya: mendesak otoritas Hong Kong untuk menindak jaringan rahasia agen-agen Koumintang di Hong Kong.

“Segera setelah kecelakaan itu, Zhou mengatakan kepada pemerintah Inggris bahwa mereka bisa mengandalkan dukungannya dalam penyelidikan, jika mereka bersedia bekerjasama dalam menghancurkan jaringan spionase. Secara politik, ini akan meningkatkan hubungan antara Inggris Raya dan China, membangun kemajuan yang dicapai dalam (Konferensi) Jenewa,” tulis Barbara Barnouin dan Yu Changgen dalam Zhoe Enlai: A Political Life.

Menurut Jung Chang dalam Mao: Kisah-kisah yang Tak Diketahui, Peking segera menyatakan bahwa agen-agen Taiwan memasang bom di pesawat itu. Zhou Enlai lalu memberi Inggris nama-nama yang menurut Peking harus diusir dari Hong Kong. Inggris menyetujui dan sepanjang tahun berikutnya mendeportasi lebih dari 40 agen Nasionalis penting yang tercantum dalam daftar Zhou, meski di pengadilan tak ada cukup bukti untuk menuntut mereka dengan tuduhan tindak kejahatan. Ini membuat sebagian besar jaringan Chiang Kai-sek di Hong Kong lumpuh.

Lantas, siapa pemasang bom itu? Menurut Steve Tsang, yang menelusuri arsip-arsip Inggris, Taiwan, Amerika, dan Hong Kong, agen-agen Kuomintang yang beroperasi di Hong Kong sebagai pelaku pemboman –dokumen China yang sudah dibuka untuk publik pada 2005 juga menunjukkan dinas rahasia Koumintang bertanggung jawab atas pengeboman. Pada Maret 1955, mereka merekrut Chow Tse-ming alias Chou Chu, yang menjadi tukang bersih Hong Kong Aircraft Engineering Co sejak 1950. Nasionalis menawarkan uang dalam jumlah fantastis untuk ukuran saat itu sebesar HK$ 600.000 (saat ini sekira Rp 700 juta) dan tempat perlindungan di Taiwan, jika perlu.

Sialnya, Chow bukanlah orang yang cerdik. Dia membual kepada temannya tentang apa yang dia lakukan. Dia juga menghabiskan uang dalam jumlah besar. Setelah empat bulan mencari jejak, polisi Hong Kong mengeluarkan surat perintah untuk menangkap Chow. Tapi ketika polisi hendak menangkapnya, Chow melarikan diri naik pesawat Civil Air Transport milik CIA dalam penerbangan ke Taiwan. Konsul Inggris di Taiwan menuntut Chow dikembalikan ke Hong Kong untuk diadili, tapi Nasionalis menolak.

Bagaimana dengan keterlibatan CIA? Seperti halnya Chiang Kai-shek, “Amerika takut konferensi akan sukses dan menjadi pemersatu dan oposisi bagi imperialisme and kolonialisme. Pemerintah Amerika meminta para kepala misi diplomatik di seberang lautan untuk merencanakan sebuah konspirasi, dan membuat sebuah rencana untuk menyabotase konferensi itu. Mereka berupaya agar konferensi hanya membicarakan masalah budaya dan ekonomi dengan mengesampingkan masalah politik dan pelucutan senjata, dan menjadikannya pembicaraan minum teh di sore hari. Mereka mengirim sekira 70 koresponden untuk menyebarkan rumor dan distorsi demi menyabotase konferensi,” tulis Huang Hua.

Menurut Steve Tsang, CIA tak terlibat, meski awalnya juga punya rencana untuk menghabisi Zhou Enlai. Ketika diangkat menjadi wakil direktur CIA pada 1954, Jenderal Lucian Truscott menemukan bahwa CIA berencana membunuh Zhou Enlai. Selama perjamuan akhir di Bandung, seorang agen CIA akan membubuhkan racun ke mangkuk nasi Zhou yang tak akan bereaksi selama 48 jam hingga Zhou kembali ke China. Truscott menghadap Direktur CIA Allen Dulles dan memaksanya menghentikan operasi itu.

Dalam Konferensi Asia-Afrika, Zhou Enlai menjadi bintang. Dengan tenang dia menangkis pidato delegasi negara lain yang menyerang China dan komunisme. Zhou juga menjadi pendamai ketika terjadi kebuntuan antara negara-negara yang berpihak dan negara-negara bebas-aktif. Zhou pula yang mengusulkan suatu Deklarasi Perdamaian. Konferensi Asia-Afrika yang berlangsung 18-24 April di Gedung Merdeka, Bandung, berjalan lancar dan menghasilkan dokumen penting yang disebut Dasasila Bandung.

Ledakan pesawat Kashmir Princess, yang merupakan upaya pembunuhan atas Zhou Enlai, menjadi warna pedih dalam upaya perdamaian dunia yang diusung Konferensi Asia-Afrika.


Credit to Budi Setiyono



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Bom di Tengah Konferensi )

Pesona Laba-Laba

44lintasan_laba-laba.jpg


PERUSAHAAN otomotif asal Jepang, Mazda, tak pernah mengira jika sistem ventilasi mobil menarik perhatian calon pembeli, juga sekawanan laba-laba yellow sac (Cheiracanthium inclusum). Pada awal Maret 2011, Mazda mengeluarkan pernyataan untuk menarik 65.000 unit Mazda6 dari pasar Amerika Utara dan Tengah dengan alasan keselamatan pengendara setelah 20 kasus sarang laba-laba yellow sac ditemukan dalam saluran ventilasinya.

Sarang laba-laba dikhawatirkan menghambat sirkulasi udara dan mendorong daya tekan tangki bahan bakar, yang berpotensi menyebabkan kebocoran dan kebakaran mobil. Tak ada yang tahu mengapa laba-laba yellow sac memilih Mazda6 untuk membangun sarang. “Mungkin mereka ingin pergi zoom-zoom,” kelakar juru bicara Mazda, Jeremy Barnes, menirukan slogan perusahaan tersebut.

Laba-laba adalah hewan berkaki delapan dan pemangsa serangga yang tak bersayap. Tak semua laba-laba menghasilkan jaring. Namun semua laba-laba, yang tergolong dalam kelas arachnida, memiliki kesamaan dengan hewan dalam kelas insecta dan myriapoda, yaitu menghasilkan sutera.

Setiap laba-laba memiliki beberapa kelenjar penghasil sutera yang menghasilkan sutera dengan masing-masing fungsi. Ada sutera untuk menangkap atau melemahkan mangsa, sutera draglines—yang memusatkan laba-laba ke jaring dan menopangnya selama beraktivitas, sutera parasut yang terbang membawa bayi laba-laba ke lokasi baru, hingga sutera untuk sarang, kantung telur, dan berhubungan seksual.

Laba-laba telah hidup di bumi hampir tiga ratus juta tahun lalu. Legenda sejak lama menempatkannya sebagai sumber kebahagiaan sekaligus spiritual. Di China, laba-laba dianggap sebagai pembawa keberuntungan, siang maupun malam. Jepang memiliki pandangan serupa, tulis Merrily C. Baird dalam Symbols of Japan: Thematic, Motif and Design. “Keberadaan laba-laba, dalam banyak cerita rakyat di Jepang, menandakan kunjungan seorang sahabat,” tambah Baird.

Bagi para penganut Buddha di Jepang, laba-laba mengajarkan esensi kebaikan seperti tertuang dalam kisah Kumo no Ito (Untaian Benang Laba-Laba) yang ditulis Ryunosuke Akutagawa pada 1918. Alkisah, Sang Buddha, ketika berjalan di taman surga, memandang ke kolam yang memperlihatkan isi neraka. Dia memperhatikan seorang kriminal bernama Kandata, yang ketika hidup di bumi memutuskan untuk tak menginjak seekor laba-laba karena menghargai hidup binatang itu. Karena perbuatan ini, Sang Buddha mengulurkan seuntai benang laba-laba agar Kandata bisa meniti ke surga. Namun Kandata jadi egois. Dia melarang orang lain mengikutinya. Seketika itu pula benang laba-laba putus dan dia terlempar kembali ke neraka.

Laba-laba juga menjadi bagian dalam cerita perjalanan Nabi Muhammad menuju Madinah dari kejaran para prajurit penguasa Mekkah. Ketika Muhammad bersembunyi di sebuah goa, seekor laba-laba memintal jaring yang menutupi lubang masuk goa. Para prajurit yang mengejarnya yakin Muhammad tak berada di dalam goa karena jaring laba-laba terlihat utuh. Muhammad pun selamat. Diterangi sinar bulan dan bintang, dia menemukan jalan keluar dari gua tanpa merusak jaring laba-laba dan mencapai Madinah.

Selain nilai spiritual, ketertarikan akan nilai komersial sutera laba-laba juga telah lama dimulai. François Xavier Bon de Saint Hilaire, ketua Royal Society of Sciences di Montpellier, Prancis, bereksperimen dengan laba-laba untuk memproduksi sutera sebagai bahan pembuatan stoking dan sarung tangan pada 1710.

Hasil eksperimen Bon yang berjudul Examen de la soye des araignées mendapat kritik tajam dari seorang peneliti serangga Prancis, René Antoine Ferchault de Réaumur. Sebagaimana diterjemahkan dan dikutip-ulang Monthly Journal of Agriculture, Volume II, July 1846-June 1847, de Réaumur menyebut tiga kelemahan Bon memilih laba-laba:

“Sifat dasar laba-laba yang ganas menyulitkan pembiakkan dan penempatannya dalam kelompok.”

“Kualitas sutera laba-laba jauh lebih rendah dibandingkan ulat sutera, dari segi kehalusan maupun kekuatannya; kuantitas sutera yang dihasilkan laba-laba juga jauh di bawah jumlah standar untuk keperluan produksi.”

“Sifatnya yang tak dapat digulung seperti sutera ulat, dan harus dibersihkan sebelum dipintal.”

Walau memiliki kelemahan, penelitian Bon diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul A Discourse upon the Usefulness of the Silk of Spiders, yang dimuat dalam publikasi Royal Society of London - Philosophical Transaction (1683-1775).

Penelitian Bon juga diyakini mendorong minat beberapa orang untuk mempraktikkannya. Seorang pastur Prancis bernama Jacob Paul Camboué, misalnya, membawa percobaan ini ke Madagaskar sepanjang 1880-1890. Camboué, bersama mitranya, M. Nogue, membuat sebuah mesin pintal yang digerakkan tangan dengan boks-boks kecil tempat laba-laba memproduksi sutera. Mesin buatan mereka dapat menampung hingga 24 laba-laba betina (golden orb-weavers) untuk satu kali pemintalan tanpa membahayakan nyawa binatang tersebut. Camboué dan Nogue memamerkan mesin pintal dan satu set perlengkapan ranjang berbahan sutera laba-laba dalam pameran internasional Exposition Universelle di Paris, 1889.

“Anak-anak perempuan Madagaskar datang ke taman dekat sekolah mereka setiap hari untuk mengumpulkan tiga hingga 400 laba-laba, yang mereka taruh dalam keranjang anyaman batang pohon willow dengan penutupnya, untuk menghasilkan sutera… Biasanya, setelah mendapat giliran di mesin pintal, laba-laba dikembalikan ke taman untuk beberapa minggu… Benang sutera yang dihasilkan dalam pilinan pertama berwarna emas indah, yang tidak butuh dibersihkan atau persiapan lainnya sebelum menjalani pemintalan. Apakah ini kelak rupa sutera di masa mendatang?” demikian ulasan majalah Literary Digest terhadap karya Camboué dan Nogue.

Sayang, hasil karya ini kini musnah tanpa bekas. Pada September 2009, sejarawan seni Simon Peers dan desainer Nicholas Godley memamerkan hasil tenun sejuta laba-laba betina (golden orb-weavers) Madagaskar di American Museum of Natural History. Peers dan Godley mereplikasi metode dan mesin pintal Camboué dan Nogue. Mereka membutuhkan waktu empat tahun dan biaya mencapai setengah juta dolar untuk menyelesaikan hasil karya sutera laba-laba ini.

Dunia penelitian juga tertarik mempelajari sutera laba-laba dengan fokus yang lebih spesifik yaitu struktur molekuler protein sutera. Di antara beberapa jenis sutera laba-laba, sutera draglines menarik banyak minat penelitian karena karakternya yang ringan, kuat, dan elastis. Beberapa riset membuktikan kekuatannya melebihi besi baja. Selain itu sutera draglines juga lebih ramah lingkungan dan cepat terurai alami dibandingkan serat buatan manusia.

Jika penelitian-penelitian ini berhasil, maka serat sutera draglines dapat dibuat secara artifisial dan ekonomis. Di masa mendatang, sutera draglines sintetik diharapkan akan menjadi bahan dasar berbagai produk yang bermanfaat bagi manusia seperti benang jahit operasi, tali, tambang, parasut, layar perahu, perlengkapan atletik, dan lainnya.

Pesona laba-laba masih belum sepenuhnya terungkap. Beberapa jenis laba-laba pemintal jaring bundar (orb-web) memiliki kekhususan karena menghasilkan stabilimenta atau dekorasi jaring. Stabilimenta, yang bercahaya ketika tertimpa sinar, membuat banyak ilmuwan mempertanyakan fungsinya. Apakah ia merupakan bagian dari strategi penarik mangsa atau pertahanan terhadap predator? Atau sebaliknya, menjadikan laba-laba mudah dimangsa?

Penelitan Catherine L.Craig dalam Limits to learning: effects of predator pattern and colour on perception and avoidance-learning by prey (1994) menyimpulkan laba-laba jenis Argiope argentata mengubah pola dekorasi jaring setiap pagi agar lebih mudah menangkap calon mangsa seperti lebah. Dengan mengubah pola dekorasinya jaringnya tiap hari, lebah menjadi kesulitan menghindari jaring dan mengingat lokasi laba-laba.

Laba-laba hingga kini adalah salah satu predator terbesar di darat, yang berkontribusi menjaga keseimbangan ekosistem agrikultur dari serangan serangga hama tanaman. Namun demikian, beberapa riset menyimpulkan laba-laba rentan terhadap sejumlah pestisida. Penurunan jumlah laba-laba akan berdampak terhadap peningkatan populasi serangga pengganggu tanaman.

Strategi laba-laba mempertahankan hidup, walau masih terus menjadi topik penelitian, membantunya melewati berbagai perubahan. Paling tidak, sampai hari ini.


Credit to Maria Renata (Majalah Historia)




-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Pesona Laba-Laba )

Menghapus Rabies

61lintasan_rabies.jpg


KETIKA tigabelas penduduk desa mereka digigit anjing dalam jangka waktu sepuluh hari di awal Agustus 2009, penduduk dan pemuka adat Ngis di Tabanan, Bali, segera berembug mengatasi kemungkinan terburuk: wabah rabies memasuki desa mereka. Masyarakat desa Ngis sepakat menandatangani enam butir perarem (aturan atau kesepakatan adat) terkait perawatan, kewajiban vaksinasi anjing, serta tidak membawa anjing peliharaan keluar dari desa, seperti diberitakan The Jakarta Post 2 Oktober 2009.

Bali sebelumnya merupakan daerah bebas rabies. Pada November 2008, peningkatan kasus rabies pada manusia melanda Bali. Hingga awal Maret 2011, tercatat sekitar 124 korban manusia meninggal akibat gigitan anjing rabies.

Rabies adalah penyakit zoonotic –virus ditularkan dari hewan kepada manusia– melalui saliva, cakaran, dan gigitan. Di Hindia Belanda, tulis Budi Tri Akoso dalam Pencegahan dan Pengendalian Rabies, keberadaan rabies awalnya ditemukan pada binatang: kuda (dilaporkan oleh Schrool) dan kerbau (oleh JW Esser) pada 1884, serta anjing oleh Penning tahun 1889.

Rabies pada manusia, seorang anak kecil, tercatat kali pertama di Hindia Belanda pada 1894 di desa Palimanan, Cirebon, oleh dokter Eilerts de Haan. Dua tahun kemudian, de Haan mendirikan lembaga penelitian Pasteur yang khusus menangani rabies. Pendirian ini, seperti dikutip dari D. Schoute dalam Occidental Therapeutics in the Netherland East Indies during Three Centuries of Netherland Settlement, 1600-1900, terdorong oleh pengalaman de Haan yang harus mendapatkan pengobatan di Paris, Prancis, setelah digigit seorang pasien rabies.

Keberadaan anjing rabies telah tercatat dalam komunitas Sumeria dan Akkadia pada abad 24-22 SM di Mesopotamia Selatan: ur-idim dalam bahasa Sumeria atau kalbu segum dalam bahasa Akkadia. Dokumen mantra keduanya mencatat gigitan anjing rabies setara dengan sengatan kalajengking dan patukan ular berbisa, yang mengancam nyawa manusia.

Rabies pada anjing juga terdokumentasi pada masa Yunani-Romawi kuno. Filsuf Aristoteles dalam Natural History of Animals pada 350 SM menulis, “…anjing-anjing itu menderita kegilaan. Mereka menjadi sangat gelisah dan semua binatang yang mereka gigit menjadi sakit.” Kata rabies sendiri berasal dari bahasa Latin rabere, “penuh amuk, kegilaan”.

Hydrophobia atau takut air, sebagai salah satu gejala klinis rabies pada manusia, tak luput dari pengamatan peradaban ini. “Menyadari kegagalan tanaman rempah dan obat-obatan tradisional, para tabib beralih membaca mantra dan memberikan air suci untuk diminum penderita rabies,” tulis Wu Yuhong dalam esai “Rabies and Rabid Dogs in Sumerian And Akkadian Literature”, Journal of the American Oriental Society (2001). Sementara Hippocrates, seorang ahli medis Yunani (460-377 SM), mendeskripsikan gejala takut air pada manusia sebagai “… seseorang diliputi amarah yang sedikit minum, resah dan ketakutan, gemetar hanya akibat sedikit kebisingan, dan terperangkap dalam kejangan otot,” seperti dikutip dari George M.Baer, The Natural History of Rabies.

Rabies, dalam sejarah gereja, pernah dipandang sebagai “ulah iblis”. Dalam esai “A Cure for Rabies or a Remedy for Concupiscence?: A Baptism of the Elchasaites”, Journal of Early Christian Studies (2008), Andrea Nicolotti menegaskan konteks kepercayaan Elchasaite (Kristen-Judaisme) yang mengaitkan penyakit, termasuk gejala hydrophobia pada penderita rabies, sebagai tanda-tanda kerasukan setan. Kepercayaan Elchasaite, yang muncul di Roma sekitar tahun 220 M lewat Alcibiades, menjadikan baptisan air sebagai jalan penyembuhan pasien rabies.

Upaya “pengusiran setan” juga tergambar dalam novel Gabriel García Márquez, Del amor Y otros demonios (Of Love and Other Demons). Novel ini, berlatarbelakang sebuah kota di Kolombia pada abad ke-18, melukiskan upaya pengusiran setan oleh gereja Katolik untuk menyelamatkan putri bangsawan Sierva María de Todos Los Angeles dari cengkeraman setan yang menyebabkan rabies. “Seorang dokter dapat mengklaim apa saja; rabies pada manusia adalah salah satu jebakan Sang Musuh,” ujar pastur Don Toribio de Cáceres y Virtudes kepada Don Ygnacio, ayah Sierva Maria.

Dalam kata pengantar novelnya, Márquez menulis bahwa dia terinspirasi kisah sang nenek di masa kecilnya mengenai “…legenda seorang putri bangsawan berusia 12 tahun, dengan rambut terurai seperti ekor gaun pengantin, yang meninggal karena gigitan anjing rabies.”

Wilayah Spanyol, Jerman, Belgia Austria, dan Prancis di Eropa mengalami peningkatan penyebaran rabies sejak abad ke-11. Puncak penyebaran terjadi pada abad ke-18, meliputi wilayah Inggris, Eropa Timur, Eropa Tengah, dan Amerika Utara. Selain anjing, serigala, rubah, dan kelelawar saat itu telah diketahui sebagai pembawa virus rabies.

Virus rabies (Lyssavirus) menginfeksi manusia melalui gigitan, cakaran, atau liur binatang pembawa rabies pada kulit terbuka/luka. Seorang ahli medis Roma bernama Aulus Cornelius Celsus pada abad ke-1 Masehi memperkenalkan teknik pembakaran luka dengan alat panas atau cairan kimia sebagai usaha mematikan virus rabies.

Cara kerja virus rabies secara klinis berhasil diidentifikasi oleh guru besar sains dari Prancis, Louis Pasteur, dan asistennya Emile Roux pada 1885. Penelitian Pasteur dan Roux menunjukan bahwa virus rabies menyebar dari lokasi gigitan melalui saraf tulang belakang ke jaringan saraf otak. Berdasarkan kesimpulan ini, mereka mengujicoba vaksin yang diambil dari sampel sel saraf tulang belakang kelinci yang terkena rabies. Sampel virus dilemahkan dalam beberapa alternatif jumlah hari dengan cara dikeringkan oleh aliran udara dalam botol.

Ujicoba klinis vaksin Pasteur awalnya disuntikan beberapa kali kepada sejumlah anjing dan terbukti meningkatkan resistensi terhadap virus rabies. Vaksin Pasteur menjadi pemberitaan luas setelah berhasil menyembuhkan Joseph Meister, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang luka berat akibat gigitan anjing rabies dua hari sebelumnya.

Berita keberhasilan vaksin Pasteur mendorong ratusan orang berbondong-bondong mendatangi kliniknya untuk mendapatkan vaksinasi. Di antaranya seorang anak perempuan berusia 10 tahun, Louis Pelletier, yang datang dengan kondisi memburuk akibat jangka waktu gigitan di bagian kepalanya sudah sebulan lebih. Ketika Pelletier meninggal, Pasteur menghampiri kedua orangtua Pelletier dengan mata berkaca-kaca dan berkata, “Saya sungguh berharap dapat menyelamatkan putri kecil kalian,” seperti tertulis dalam biografi singkatnya di http://www.biographyonline.net.

Sekalipun relatif berhasil, penggunaan vaksin “hidup” seperti yang dilakukan Pasteur menimbulkan perdebatan di kalangan ilmuwan. Sebagian menganggap vaksin “hidup” berisiko mempercepat serangan virus, atau bahkan berpotensi menyebabkan rabies pada manusia terutama ketika tingkat imunitasnya lemah.

Perdebatan berlanjut dengan kemunculan inovasi baru pembuatan vaksin. Di India, ilmuwan David Semple pada 1911 mengembangkan vaksin dari sel saraf otak domba rabies yang diproses menjadi tak aktif dengan larutan phenol. Penelitian Semple membuktikan bahwa vaksin “mati” efektif merangsang sistem imunitas tubuh manusia dengan risiko infeksi yang lebih kecil dibanding vaksin “hidup”. Di Hindia Belanda, Maria Van Stockum, seorang peneliti di Bio Farma di Bandung –kelanjutan dari lembaga penelitian Pasteur yang didirikan Eilerts de Haan–, membuat vaksin rabies dari sel saraf otak monyet yang diproses menjadi tak aktif dengan formalin pada 1930.

Perkembangan sains pada abad ke-20 membuktikan bahwa pemakaian vaksin-vaksin rabies dari jaringan sel saraf binatang –walaupun telah diproses menjadi tidak aktif– tetap berisiko. Sejak 2006, kebanyakan negara beralih memakai vaksin-vaksin rabies dari kultur sel rekayasa (genetik atau seluler) laboratorium. Kini, pemakaian vaksin kultur sel sebagai pencegahan pascapemaparan telah menjadi bagian dari tindakan pengobatan emergensi rabies.

Ancaman rabies masih terus berlanjut hingga kini. Data Badan Kesehatan Dunia menunjukan keberadaan rabies di hampir di seluruh negara di dunia, dan 95% kasus kematian manusia terjadi di benua Asia dan Afrika. Kemajuan teknologi sains memproduksi vaksin pun tidak serta-merta menghapus rabies. Komitmen bersama untuk memastikan ketersediaan dan akses vaksin, plus kegiatan pencegahan melalui surveilans dan vaksinasi hewan pembawa virus rabies, berperan dalam penanggulangan rabies.


Credit to Maria Renata



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Last update: Menghapus Rabies)

Menjelajahi Batas Dukacita


DUKACITA adalah sebuah rangkaian gelombang emosi dan mental, yang membawa setiap individu menuju kerapuhan diri dalam menjalani rutinitas. Untuk penyair Emily Dickinson (1830-1886), kerapuhan universal ini menyeruak sejak awal masa berkabung. Seperti tergambar dalam kalimat pertama sekaligus judul puisinya After great pain, a formal feeling comes; ketika duka mendalam berlalu, sebentuk perasaan formal muncul.

Momen-momen kesedihan akibat kematian orang yang dikasihi, dalam interpretasi Dickinson, kerap disusul dengan perasaan datar, membuat individu yang berduka terlihat “normal” menjalani perkabungan. Namun yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya.

Dalam kalimat berikutnya, Dickinson menyamakan kekakuan syaraf dalam diri seorang yang berduka serupa upacara serta makam. The nerves sit ceremonious, like tombs. Keduanya merefleksikan kondisi matirasa dalam diri.

Berbeda dengan perkabungan atau pemakaman, di mana kesedihan, hingga level tertentu, menjadi aktivitas publik sesuai aturan budaya, ritual, dan kepercayaan masing-masing, dukacita menyeret setiap orang untuk menjalaninya dalam kesunyian dan kesendirian. Namun perubahan dalam diri seseorang yang berduka akan menggerogoti dirinya dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.

Selang seminggu setelah putri kesayangannya, Anne Elizabeth atau Annie, meninggal dunia akibat sakit pada 24 April 1851, Charles Darwin menumpahkan rasa sedihnya dalam sebuah memoar.

“Kami kehilangan sukacita dalam rumah tangga dan penghiburan masa tua kami –ia tahu betapa kami sangat mencintainya. Oh betapa ia mampu merasakan kedalaman dan kepenuhan rasa cinta kasih kami hingga kini dan selamanya untuknya, si wajah pembawa kebahagiaan,” tulisnya seperti dikutip dari The Life and Letters of Charles Darwin (1887).

Dukacita Darwin berlangsung lama. Ia menjadi tertutup, termasuk kepada istri dan anak-anaknya yang lain. Dalam autobiografinya, ia mengatakan, “Aku tak henti menitikkan airmata setiap terkenang tingkah laku Annie yang manis.”

Banyak orang menyimpulkan kematian Annie pada usia 10 tahun menjadi faktor yang semakin menjauhkan Darwin dari kepercayaan ortodoks terhadap Tuhan dan penciptaan. Kesimpulan ini dibantah keras oleh para pendukung Darwin. Teori seleksi alam dan evolusi Darwin, On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favored Races in the Struggle for Life adalah hasil kerja keras Darwin selama hampir 20 tahun. Karya besar Darwin terbit kali pertama pada 1859 –delapan tahun setelah kematian Annie.

Dukacita adalah sebuah kondisi kompleks. Sejak lama, berbagai teori dan analisis psikis mencoba memahami apa yang terjadi dalam diri mereka yang berdukacita akibat kematian orang yang mereka kasihi.

Sigmund Freud dalam esai klasik Mourning and Melancholia (1917) menekankan berkabung dan berduka memiliki gejolak yang sama, seperti perasaan ditinggalkan dan kehilangan semangat. Namun berbeda dengan berkabung, yang cenderung mampu mengenali apa yang menyebabkan rasa kehilangan, melancholia atau depresi akibat berduka terbawa ke dalam alam bawah sadar. Dalam kondisi depresi, seseorang sulit mengidentifikasi bentuk kehilangan yang ia rasakan dan menimbulkan perasaan tak berdaya.

Freud juga menilai bahwa waktu untuk mengatasi keterikatan dengan mereka yang telah pergi merupakan kunci menghadapi dukacita. Dalam The Letters of Sigmund Freud, terbit pada 1960, terdapat sebuah surat Freud untuk kawannya, Ludwig Binswanger, yang berduka akibat kematian anak laki-lakinya.

“Walaupun kita tahu dengan berakhirnya kehilangan ini, penderitaan masa berkabung pun mereda; kita menyadari bahwa kita tidak akan pernah merasa terhibur dan mendapatkan penggantinya. Apapun yang akan mengisi celah ini, walau terisi penuh, ia akan selamanya menjadi sesuatu yang lain. Dan sebetulnya, inilah yang seharusnya terjadi. Ini adalah satu-satunya cara agar kita dapat meneruskan cinta yang tak pernah ingin kita hentikan.”

Waktu adalah salah satu faktor penentu yang “menyembuhkan” dukacita. Seorang psikiatri Amerika bernama George L. Engel menyamakan emosi dukacita serupa penyakit dalam esai berjudul Is Grief a Disease? pada 1961. Serupa dengan masa penyembuhan penderita suatu penyakit, rasa kehilangan mendalam, menurut Engel, membutuhkan waktu untuk kembali ke titik ekuilibrium psikologis. Engel juga mempertimbangkan kemungkinan terjadinya gangguan dalam proses penyembuhan sehingga kondisi mereka yang berduka tak akan pernah mencapai fungsi awal yang diharapkan, seperti dikutip oleh James William Worden dalam Grief Counseling and Grief Therapy.

Keterikatan antara dua individu juga menjadi fokus penelitian dukacita psikoanalis John Bowlby dalam bukunya Loss: Sadness and Depression (1980). Bowlby menggambarkan dukacita sebagai respon individu terhadap perpisahan akibat kematian secara bertahap. Awalnya ia akan mengalami shock dan matirasa, yang menyangkal kematian orang yang ia kasihi. Disusul dengan kemarahan dan kerinduan yang besar, berupaya menemukan kembali figur yang hilang. Ketika semua usahanya sia-sia, ia akan mengalami dukacita mendalam dan belajar menerima kenyataan. Periode ini, menurut Bowlby, menjadi penting karena akan menentukan langkah individu tersebut menata kembali rutinitas hidupnya tanpa kehadiran orang yang ia kasihi.

Ketika suami yang telah mendampinginya selama 40 tahun, John Dunne, meninggal dunia pada 30 Desember 2003, penulis Joan Didion mendeskripsikan perjalanan dukacita dan kenangan yang ia alami dalam memoar The Year of Magical Thinking. “Pernikahan bukan sekadar waktu; secara paradoks, pernikahan adalah penyangkalan waktu. Selama empat puluh tahun aku memandang diri sendiri lewat mata John. Aku tidak bertambah tua. Sejak berusia dua puluh sembilan, tahun ini adalah kali pertama aku melihat diriku melalui mata yang berbeda,” tulisnya dalam memoar yang terbit 2005.

Ketika jurnalis Gibson Fay-Leblanc mewawancarai Didion untuk majalah Guernica, April 2006, ia bertanya apakah menulis narasi sentimental dalam memoar merupakan mekanisme Didion melindungi diri untuk tidak menghadapi kematian suaminya secara langsung. Didion menjawab, “Aku memiliki pemahaman yang berseberangan tentang hal ini. Di satu pihak, aku rasa (menulis memoar) berguna, ia berperan menjagaku tetap ‘utuh’. Namun pada saat yang sama, aku juga berusaha keras untuk tidak menjadi gila, untuk mencoba memandang sekeliling dengan jelas. Keduanya bertolak-belakang hingga akhirnya aku melepaskan konsep tentang diri sendiri, bahwa aku memiliki kuasa untuk mengkontrol segalanya.”

Dalam perkembangannya, teori mengenai dukacita mengenal lima tahapan yang akan dilalui oleh setiap individu: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan, yang diperkenalkan oleh Elizabeth Kübler-Ross sejak 1969. Namun lima tahapan ini tidak menuju kepada sebuah resolusi permanen.

“Walaupun Anda menjalankan berbagai upaya untuk merasakan apa yang dirimu rasakan, Anda tidak akan pernah sepenuhnya mendapatkan sebuah penutupan, seperti yang biasa Anda saksikan di film. Tapi Anda akan menemukan sebuah tempat untuk rasa kehilangan, sebuah cara untuk menggenggam rasa itu dan hidup bersamanya,” tulis Kübler-Ross dalam bukunya On Grief and Grieving–Finding the Meaning of Grief Through the Five Stages of Loss (2005).

Pada akhirnya, kesadaran itu pula yang membawa Didion kepada akhir perjalanan dukacitanya. “Aku tahu mengapa kita mencoba menjaga agar yang mati tetap hidup: kita mencoba menjaga mereka tetap hidup agar dapat selalu membawanya bersama kita. Aku juga tahu jika kita akan menjalani hidup, akan tiba waktunya kita harus meninggalkan yang mati, merelakan mereka, membiarkan mereka tetap mati. Membiarkan mereka sebagai foto-foto di atas meja…”




-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Update: Menjelajahi Batas Duka Cita)

Cincang Masa Perang


PERANG selalu menista kemanusiaan. Atas nama dendam, kemenangan, dan bertahan hidup; orang yang terlibat dalam perang melakukan pembunuhan, pembantaian, bahkan pencincangan –untuk menyebut kanibalisme. Cerita ini selalu ada dalam setiap perang, di mana pun.


Selama revolusi, badan-badan perjuangan di Jakarta bukan hanya menentang pendudukan Sekutu (Inggris dan Belanda), tapi juga mencegah pulihnya kehidupan sipil Belanda. Caranya dengan melakukan serangkaian teror. Segala cara ditempuh untuk menakut-nakuti orang Belanda. Ada yang membuat coretan-coretan di dinding dengan nada mengancam. Ada juga yang sengaja berperilaku aneh di dekat tempat orang-orang Belanda untuk memberi kesan mereka sudah “ditandai” atau berarti ajal mereka sudah dekat.


Menurut sejarawan School of Oriental and African Studes, Univesity of London, Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, orang Belanda yang sedang berjalan-jalan disergap, dicekik, dipotong-potong mayatnya, lalu dibuang ke kanal-kanal. Molenvliet, kanal panjang –di antara Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada– yang mengalir ke selatan dari kota tua, adalah tempat favorit untuk melakukan penyergapan semacam ini. Demikian juga jalan utama dari Senen ke Jatinegara. Rumah-rumah keluarga Belanda dikepung pada malam hari dan penghuni di dalamnya dibunuh.


“Kosakata Hindia Belanda yang sudah berwarna-warni bertambah lagi dengan kata getjintjangd (in stukjes gehakt atau dicincang-Red), yang artinya dicincang menjadi serpihan-serpihan kecil,” tulis Cribb.


Peperangan jenis ini cocok untuk Jakarta. Kecuali wilayah Menteng, sebuah daerah yang relatif baru dan makmur di selatan Koningsplein (sekarang kawasan Lapangan Monas atau Medan Merdeka), tak ada wilayah permukiman yang aman bagi orang-orang Belanda sekalipun dikelilingi penjaga dan kawat berduri. Kampung-kampung yang terletak persis di belakang rumah-rumah orang Belanda dan pintu belakang kantor-kantor yang dulu menyediakan buruh untuk menjamin aktivitas di Batavia berjalan, justru menyediakan pembunuh. Para penyerang melakukan perang gerilya kota dan dengan cepat menghilang sebelum bantuan datang. Aksi ini tidak terlalu bernilai strategis namun dampak psikologisnya cukup besar.


Keadaan serupa terjadi di Bandung. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!, “rumah-rumah keluarga Belanda dikepung di waktu malam, dan para penghuninya dibantai dan tubuhnya dilempar di kali. Dalam kamus orang-orang Belanda dengan cepat terdapat kata getjintjangd, yang artinya dicincang.”


Orang Belanda yang berani masuk kampung harus berhadapan dengan kemarahan dan kebencian penduduk. Penduduk akan berteriak: “Siaaap!” dan kemudian diteruskan dengan teriakan-teriakan yang sama oleh penduduk lain. Mendengar teriakan itu, seluruh penduduk kampung secara serentak berlari ke luar rumah. “Jika orang itu berhasil ditangkap, kadang-kadang secara beramai-ramai diarak keliling kampung untuk kemudian ‘diselesaikan’ (maksudnya, dibunuh). Tidak peduli laki-laki atau perempuan, dewasa atau kanak-kanak, di mana saja ditemukan, mereka menjadi sasaran buruan para pemuda yang beringasan,” tulis Saleh, peserta Akademi Militer di Tangerang pada 18 November 1945.


Di Slawi, selatan Tegal, seperti dilaporkan Soeloeh Rakyat tanggal 5 September 1947, mengutip kantor berita Aneta, polisi-sipil memberitahukan ada 17 orang Belanda dewasa dan lima anak-anak menjadi “korban zaman bersiap” pada 11 Oktober lalu. “Mereka dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diperintah membungkukkan diri di depan bendera merah-putih serta berpekik ‘merdeka’, dan setelah selesai ‘upacara’ itu, mereka dibunuh dengan martil dan bambu runcing. Kanak-kanak dilempar tinggi dan kemudian ditangkap dengan bambu runcing. Korban-korban itu belum semuanya mati, akan tetapi dilemparkan saja ke lobang kuburan yang sudah disediakan.”


“Tidak hanya orang Belanda, orang Indonesia yang dicurigai atau dituduh mempunyai hubungan dengan Belanda, juga tidak akan diberi ampun dan dihabisi juga,” tulis Saleh, dengan pangkat Letnan Dua dan jabatan Komandan Peleton Divisi Siliwangi, dia ikut dalam Perang Kemerdekaan 1946-1949.


“Demikianlah suasana revolusi waktu itu. Arus balik terjadi. Penduduk meluapkan kebenciannya kepada setiap hal yang berbau Belanda. Banyak di antara mantan tawanan dan interniran ini shock dengan apa yang terjadi di luar kamp, dan kemudian balik lagi ke kamp, mencari selamat dan perlindungan tentara Jepang. Sementara tentara Jepang juga tidak dapat berbuat banyak.”


Dalam situasi chaos semacam itu, sebagian orang Jepang ikut ambil bagian dalam aksi itu. Pramoedya Ananta Toer dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1946), menulis bahwa Dinas Penerangan Tentara Belanda mengeluarkan komunike yang berisi uraian tentang orang-orang Jepang di Jawa. Dari 8 April sampai 12 Agustus 1946 telah dibinasakan, dilukakan, atau ditawan 61 perwira dan serdadu Jepang selagi mereka turut ambil bagian dalam aksi-aksi orang-orang Indonesia. Karena itu, tentara Jepang juga memendam dendam pada Belanda, seperti diketahui pada mayat perwira Jepang Tsumura kedapatan sebuah buku catatan. Sebelum ditembak mati, dia membuat catatan: “Besok sejumlah tentara Inggris akan bergerak di bilangan Bandung Utara, akan tetapi kita akan bikin corned beef (daging cincang) dari mereka,” tulis Pram.


Getjintjangd juga terkait dengan tradisi jimat. Kepercayaan terhadap hal-hal supranatural, demi menyerap kekuatan musuh, melekat di setiap lapisan anggota badan perjuangan Republik. “Ada rumor mengenai perdagangan organ tubuh. Berdasarkan laporan Belanda, pemuda-pemudi Cina banyak diculik di Jakarta, dengan cara dibius menggunakan kloroform ketika mereka sedang naik becak. Para korban ini dijual dengan harga antara 500 sampai 1.000 gulden kepada para haji. Kemudian jantung mereka dibagikan kepada para lasykar muda pengikut haji-haji tersebut untuk dimakan demi menambah kekuatan. Sisa dagingnya kemudian dijual di pasar Atom di Harmoni, pusat perdagangan barang-barang gelap di Jakarta,” tulis Cribb.


Akibat aksi getjintjangd, rakyat Indonesia menjadi sasaran balasan pasukan Sekutu. Batalyon X, yang kemudian dilebur ke dalam Depot Speciale Troepen (Depot Prajurit Khusus) pimpinan Raymond “Turk” Westerling, membantai sekitar 40 ribu rakyat Sulawesi Selatan. Aktivitas Batalyon X seringkali terkesan main-main tapi brutal. Anggota batalyon mengendarai truk berkeliling kota seraya menyanyikan lagu-lagu Belanda dan melepaskan tembakan liar. Mereka dengan sukaria memukuli atau membunuh setiap rakyat Indonesia yang menunjukkan atribut Republik Indonesia di tempat-tempat umum.


“Banyak cerita orang Indonesia yang dipaksa menelan lencana bendera Republik yang mereka sematkan di dada. Kalau lencana itu dari kain, mereka hanya sedikit menderita dan sekadar dipermalukan. Namun, jika lencana bendera kecil itu terbuat dari kaleng, maka akan menyebabkan kerusakan saluaran pencernaan,” tulis Cribb.


Korban-korban lain dibawa untuk diinterogasi dan tak pernah kelihatan lagi. Tentara Belanda-Inggris membuat suasana kian mencekam dengan berbagai kasus perampokan dan pembakaran. Tujuannya: menentang kebebasan kaum nasionalis di jalanan dengan melakukan teror. Teror dibalas teror.


Credit to Hendri F. Isnaeni





-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Update: Cincang Masa Perang)

Menjaja Bendera


AGUSTUS adalah bulan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus, pedagang musiman mulai menjajakan bendera merah-putih di pinggiran jalan. Tak sedikit yang mau membeli. Sebab, sesuai UU No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, setiap warga negara wajib mengibarkan bendera setiap peringatan Hari Kemerdekaan.

Di awal kemerdekaan, mendapatkan bendera merah-putih bukanlah hal mudah. Kain adalah barang langka. Krisis tekstil ini sudah dimulai pada 1930-an, ketika Belanda membatasi impor serat-serat dan tekstil dari Jepang yang murah, terutama sarung dan rayon, untuk melindungi pabrik-pabrik Belanda, menaikkan harga, dan mengurangi pasokan.

Tak dapat dibayangkan, saat kain menjadi barang mewah, Fatmawati memerlukan kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Untuk itulah, Fatmawati kemudian meminta seorang pemuda bernama Chairul Basri untuk menemui pembesar Jepang yang dekat dengan kalangan pemuda maupun tokoh nasional, Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih. Shimizu meminta pada Chairul agar kain merah-putih diberikan kepada Fatmawati.

“Bentuk dan ukuran bendera merah-putih yang dijahit Fatmawati tidak standar karena kainnya berukuran tidak sempurna. Kain bendera itu, atas permintaan Fatmawati, disumbangkan oleh Shimizu dan diserahkan kepada Fatmawati oleh Chairul Basri,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah nasional Indonesia Jilid VI. Bendera merah-putih inilah yang dikibarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945.

Segera setelah itu, para pemuda berupaya menyebarkan berita proklamasi melalui pers, surat selebaran, poster, hingga coretan di tembok-tembok dan gerbong kereta api. Mereka juga berupaya agar bendera merah-putih berkibar di rumah-rumah atau di sudut-sudut kota. Apalagi setelah muncul Maklumat Pemerintah 31 Agustus 1945, yang menetapkan mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih terus dikibarkan di seluruh Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga mengambil inisiatif untuk menyediakan dan membagi-bagikan bendera. Seperti dilakukan Jawatan Perekonomian Semarang yang menyediakan bahan-bahan untuk membuat bendera merah-putih ukuran besar. Pengerjaannya dilakukan oleh para perempuan. “Kini telah siap kurang lebih 300 helai bendera, yang segera nanti untuk permulaan akan dibagi-bagikan kepada kantor-kantor atau lembaga-lembaga negara yang hingga sekarang belum mempunyai lambang negara tersebut,” tulis Asia Raya, 24 Agustus 1945.

Begitu pula kantor Jakarta Syuutyoo (Karesidenan Jakarta). Untuk menyambut proklamasi dan agar para pegawai kantor Syuutyoo dapat merayakan hari bersejarah itu, kantor tersebut membagikan beratus-ratus bendera merah-putih kepada pegawainya. “Dengan jalan demikian suasana merdeka yang diliputi perdamaian itu dapat disambut oleh mereka yang merupakan sebagian besar dari penduduk kota ini,” tulis Tjahaja, 28 Agustus 1945.

Semarang Syuutyoo juga melakukan hal yang sama. “Telah disiapkan pembikinan 400 helai bendera merah-putih yang nanti akan diserahkan kepada semua Gun (kawedanan) dan Son (kecamatan) seluruh Semarang Syuu,” tulis Sinar Baroe, 26 Juni 1945, “supaya pada hari raya dapat dikibarkan bersamaan dengan Hinomaru... penyerahan tersebut akan dilakukan besok tanggal 29 Juni di kantor Syuutyoo bertepatan dengan akan diadakannya pertemuan segenap Kentyoo (bupati) dan Sityoo (walikota) seluruh Semarang.”

Bahkan di Bandung, bagi-bagi bendera merah-putih dilakukan oleh Perserikatan Penduduk Bangsa Nippon. “Pada tanggal 26 Juni 1945 dengan resmi menghadiahkan 1.112 buah bendera Kebangsaan Indonesia (Sang Merah Putih) untuk dipasang di gendung-gedung Hookookai, sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah yang dibolehkan mengibarkannya,” tulis Sinar Baroe, 27 Juni 1945.

Karena kelangkaan kain, Sukarno menginstruksikan pembuatan bendera dari kertas. “Rakyat kami senang sekali dengan lambang-lambang. Jadi kuperintahkan membuat 10 juta bendera merah-putih kecil dari kertas untuk dibagi-bagikan oleh kurir ke pelosok-pelosok terpencil di tanah air. Ini membuat rakyat di pulau-pulau yang jauh dari Jakarta merasakan bahwa mereka bagian dari perjuangan bangsanya,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Karena kebutuhan pengadaan bendera meningkat, tak heran jika ada yang menjadikannya sebagai barang dagangan. Penjualan bendera merah-putih mulai marak sejak masa revolusi. Terlebih, menurut William H. Frederick, associate professor bidang sejarah di Ohio University, selama bulan-bulan revolusi, identitas kebangsaan ditunjukkan dengan warna merah-putih sebagai simbol Republik, dan merah-putih-biru sebagai simbol Belanda. Fenomena ini sendiri bukanlah hal yang baru. Pada masa sebelum perang pemakaian lencana merah-putih, misalnya, cukup umum di antara orang-orang Indonesia urban muda, bahkan dalam lingkaran-lingkaran atau kesempatan-kesempatan yang belum tentu bersifat politik, seperti pesta dansa.

Baik kelompok maupun individu menunjukkan kepekaan yang luar biasa terhadap simbolisme dalam penampilan pribadi. Mereka menggunakannya untuk mengedepankan nilai-nilai politik dan ekonomi. “Menjual bendera atau pita merah-putih, misalnya, merupakan cara yang efektif untuk mempromosikan maksud nasionalis dan menggalang dana,” tulis Frederick, “Penampilan Revolusi: Pakaian, Seragam, dan Gaya Pemuda di Jawa Timur Tahun 1945-1949”, yang dimuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan karya Henk Schulte Nordholt.

“Pada September 1945, anggota aktif Pemuda Republik Indonesia/Pemuda Sosialis Indonesia (PRI/Pesindo) di Surabaya menjajakan bendera-bendera kecil kepada umum untuk mendanai aktivitas-aktivitas mereka.”

Setahun kemudian di pedesaan luar kota Surabaya anggota-anggota PRI/Pesindo konon memaksa penduduk untuk membeli lencana merah-putih seharga 15 gulden (dalam mata uang Jepang) untuk mendukung organisasi mereka. Di kampung-kampung Surabaya –mungkin meniru praktik-praktik sinoman pada masa sebelum perang– menjual lencana kecil berwarna merah-putih atau pita-pita sebagai “tiket” pertunjukkan atau semacamnya merupakan taktik umum. Sinoman bagi masyarakat Jawa adalah aktivitas memberikan sumbangan atau titip barang dan menagihnya kembali ketika sedang membutuhkan.

“Sejumlah besar uang (1000 gulden bukanlah hal aneh) bisa didapatkan dengan cara ini. Meskipun sering digunakan untuk keperluan-keperluan seperti membiayai pernikahan dan semacamnya, dana ini juga dikabarkan dialihkan untuk mendukung kelompok-kelompok bawah tanah dan organisasi-organisasi gerilya. Hasil penjualan tersebut juga digunakan untuk memproduksi bendera-bendera merah-putih raksasa untuk pertemuan nasionalis,” tulis Frederick.

Karenanya militer Belanda di Surabaya menganggap sistem cockade (suatu hiasan atau materi yang dipasangkan di topi sebagai simbol pangkat, tingkatan, dan sebagainya) dan menjual bendera, apalagi mengibarkannya, sebagai ancaman serius. Mereka mengambil tindakan keras. Tapi para pejuang tak gentar. Mereka terus menjual dan mengibarkan bendera merah-putih, karena Indonesia telah merdeka.


Credit to Hendri F. Isnaeni



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Update: Menjaja Bendera)

Perang Londo Ireng

Kira-kira tahun 1910, Oerip Soemohardjo, kelak menjadi kepala staf pertama Tentara Keamanan Rakyat pada 1945 –menjadi Tentara Nasional Indonesia pada 1947 – mendapat cemoohan dari para pemuda Afrika yang tinggal di Purworejo, kalau bahasa Belanda Oerip jelek. Sementara para pemuda Afrika hampir semuanya bicara bahasa Belanda dengan benar dan tanpa aksen.

Tak terima, Oerip yang berusia 17 tahun memanggil pasukan ciliknya dari Sindurejan (permukiman pribumi di Purworejo) untuk menyerang para pemuda Afrika saat senja sembari berteriak: “Londo ireng toenteng, iroenge mentol, soearane bindeng!” (Belanda hitam keling, hidungnya besar, suaranya bindeng). Beberapa kali ayah Oerip dipanggil kepala desa. Dia berjanji akan memarahi anaknya dengan syarat para pemuda Afrika tak lagi mengejek cara bicara anaknya.

Para veteran Afrika yang selesai bertugas, awalnya tinggal di sejumlah kampung bersama orang-orang Jawa. Ketika jumlahnya bertambah, residen daerah memutuskan membentuk kawasan tersendiri bagi mereka, demi menghindari “perselisihan dengan penduduk pribumi”. Selain itu, Belanda akan mudah mengawasi dan memanggil mereka ketika keadaan tidak tenang. Untuk membangun kampung Afrika, sesuai Keputusan Gubernemen tanggal 30 Agustus 1859 No. 25, Gubernemen Belanda membeli sebidang tanah di Desa Pangenjurutengah. Setiap penghuni memperoleh sebidang tanah sekitar 1.150 m2 untuk rumah atau lahan garapan.

Pada 20 Juni 1939, Letnan Doris Land, seorang pensiunan Afrika, menorehkan tandatangannya di bawah baris terakhir naskah berjudul Het ontstaan van de Afrikaansch kampong te Poerworedjo (Munculnya Kampung Afrika di Purworejo). Kelak, dia mencoret beberapa huruf di akhir kata “kampung” sehingga membentuk kata “kamp”, karena “kampung” mungkin dianggapnya “kampungan”.

Dokumen empat halaman itu merupakan satu-satunya peninggalan seorang Indo-Afrika. Isinya memuat sejarah serdadu Afrika dan keturunannya. Menariknya, semasa hidupnya Doris tak membagikan sejarah dengan siapa pun, termasuk kepada tujuh anaknya. Baru setelah dia meninggal dunia pada 1986, dokumen itu ditemukan dalam koper tua yang hampir dibuang ke tempat sampah. Terkuaklah petualangan serdadu Afrika di Hindia Belanda.

Selain dokumen tersebut, sejarawan, wartawan, dan peneliti senior di Africa Studies Centre Leiden Belanda, Ineke van Kessel, mendapat limpahan setumpuk berkas penelitian tentang serdadu Afrika di Jawa dari sejarawan Universitas Amsterdam Dr Silvia de Groot. Van Kessel juga melakukan wawancara dengan keturunan-keturunan serdadu Afrika di Jawa yang biasa reunian setiap dua tahun sekali di Belanda. Pada 2005, van Kessel menerbitkan bukunya: Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië (Belanda Hitam: Serdadu Afrika di Hindia Belanda).

Penggunaan serdadu Afrika sudah dilakukan dalam rentang waktu lama, dan bukan hanya di Hindia Belanda. Seperti disebutkan Van Kessel, di Kerajaan Romawi terdapat seorang serdadu yang dijuluki St. Mauricius, pemimpin legiun Theban. Sejak abad ke-9, dinasti-dinasti Islam di Afrika Utara dan Spanyol menggunakan serdadu Afrika, seperti Dinasti Alawi di Maroko –bahkan Sultan Alawai kedua Mulay Ismail adalah putra dari seorang gundik berkulit hitam.

Portugis menempatkan serdadu Afrika dari Mozambik dan Ethiopia di Timor Timur dan Sri Lanka. Pada 1640, sekitar seratus pemanah berkulit hitam bertempur bersama Portugis melawan Belanda. Pada tahun yang sama Gubernur Belanda di Sri Lanka Rijkloff van Goens membutuhkan 4.000 orang kulit hitam untuk bekerja kepada VOC, bahkan VOC mendatangkan para budak hitam baru dari Madagaskar dan bagian selatan Afrika.

Pada 1875, Prancis membentuk Serdadu Senegal Bersenjata (De Tiraileurs Sénégalais), dan Inggris membetuk Gold Coast Corps pada 1851 dan West India Regiments, yang ditempatkan di Hindia Barat dan Afrika Barat. Pada dua Perang Dunia, ratusan ribu serdadu Afrika bertempur dengan tentara Prancis dan Inggris. Prancis juga mengerahkan pasukan Afrika di Indocina dan dalam perang kemerdekaan Aljazair.

“Perang Jawa menuntut dilakukannya perekrutan intensif,” tulis Van Kessel.

Semula, konsul-konsul Belanda di Hamburg, Bremen, dan Frankfurt mengumpulkan ribuan relawan Jerman. Pada 1827, korps elite berkekuatan 3.000 orang berangkat dari Belanda ke Jawa. Mereka harus menyelesaikan perang yang berlarut-larut. Setelah dua tahun berperang, yang tersisa kurang dari 1.000 orang. Tak mengherankan jika saran menggunakan orang Afrika mendapat tanggapan simpatik di Den Haag. Serdadu Afrika dianggap tahan banting dan tahan penyakit di iklim tropis, juga cenderung lambat berbaur dengan penduduk sehingga menjadikan kesatuan tentara sebagai pengganti keluarga.

Usulan datang dari kalangan swasta: seorang mayor Inggris, seorang bangsawan Jerman, dan ketua Nederlansche Handelmaatschappij. Usul tersebut diterima Kementerian Urusan Perang dan Kementerian Daerah Jajahan. Pada 1831-1872, Belanda merekrut sekitar 3.085 laki-laki di Afrika Barat, sebagian besar berasal dari Elmina (sekarang Ghana) dan Burkina Faso.

Tapi para serdadu Afrika tak ikut dalam Perang Jawa. Mereka tiba di Jawa sekitar tahun 1831, setelah Perang Jawa usai. Pengalaman perang pertama diperoleh 44 serdadu Afrika untuk memadamkan pemberontakan di Distrik Lampung yang dipimpin oleh Raja Gepe. Di Padang, serdadu Afrika yang membentuk kompi ke-6 Batalyon Infanteri 1 menduduki Bonjol setelah perang selama lima tahun. Serdadu Afrika juga ikut dalam ekspedisi di Bali untuk menundukkan raja-raja Bali, berjaga di garis belakang dan dari serangan dengan senjata bayonet di Timor, serta ekspedisi ke Banjarmasin, sebelah tenggara Borneo (Kalimantan).

Pada 1859, kompi Afrika Batalyon Infanteri 2 ikut dalam ekspedisi ke Bone, Celebes (Sulawesi), menggantikan serdadu-serdadu Eropa yang dievakuasi karena kerap jatuh sakit. Hingga Juni 1859, meski diserang penyakit disentri, kolera, tifus, dan malaria, kompi Afrika hanya kehilangan empat orang. Di Aceh sebaliknya. Dua kompi serdadu Afrika yang dilibatkan dalam ekspedisi besar-besaran kedua ikut berkontribusi atas keberhasilan menundukkan Sultan Aceh tanpa perlawanan. Bahkan tak seorang pun serdadu Afrika mati di medan perang –hanya satu yang mati karena terluka saat diungsikan. Tapi, 78 serdadu atau sepertiga dari seluruh serdadu Afrika tewas karena kolera.

Pemilihan Purworejo (disebut Kedong Kebo) sebagai tempat menampung para veteran Afrika bukanlah kebetulan. Bagelan pernah menjadi pusat perlawanan Perang Jawa. Mendirikan sebuah koloni para veteran Afrika merupakan strategi Belanda untuk menjinakkan pemberontakan yang dikhawatirkan terjadi lagi.

Usai Perang Jawa pada 1830 pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah tangsi besar di Purworejo. Di sana ditempatkan tiga kompi pasukan Afrika, yang ironisnya pada 1840 membuat panik pemerintah lantaran melakukan pemberontakan bersenjata. Beberapa kali serdadu Afrika melakukan pemberontakan karena masalah adaptasi, kesetaraan dengan serdadu Eropa, dan komunikasi di kalangan prajurit Afrika sendiri, yang terdiri dari berbagai suku dengan bahasa berbeda. Selain itu, para serdadu Afrika suka bersikap negatif: jorok, lamban dalam mempelajari senjata, malas, brutal, cepat naik darah, sulit diperintah, cenderung memberontak, padahal mereka prajurit yang tak kenal lelah dan berani.

Banyak keturunan para serdadu Afrika mengikuti jejak ayahnya. Generasi kedua dan ketiga Indo-Afrika terlibat dalam perang melawan Jepang. Mereka merasakan nasib buruk di dalam kamp tawanan dan proyek-proyek Jepang. Setelah Indonesia merdeka, beberapa serdadu Afrika menetap di Indonesia.

Tak mudah bagi mereka menjalin hubungan dengan penduduk pribumi. Mereka kerap merasa lebih tinggi statusnya ketimbang warga pribumi. Pintu gerbang kamp Afrika di Purworejo ditutup pukul 06.00 pagi hingga 06.00 sore. Orang Afrika hidup terasing dan hanya berkomunikasi dengan orang Indonesia saat merasa butuh. Keturunan-keturunan Afrika di Belanda membantah bahwa tak ada pagar dan gapura dalam kamp Afrika. Cerita mengenai pagar barangkali menjadi ungkapan simbolis jarak sosial dengan orang Indonesia saat berkomunikasi dengan orang Afrika.

Orang Indonesia memiliki rasa segan terhadap “Belanda Hitam”. Di sisi lain, mereka juga merendahkan. Rambut orang Afrika yang kriwil diejek “rambut setan”. Karena penghuninya berkulit hitam, kamp Afrika kerap disebut “gudang arang.”

Karena inilah mungkin sebagian besar serdadu Afrika memilih kembali ke Belanda. “Saya orang Belanda, saya tak mau menjadi orang Indonesia,” kata mereka. Sayangnya, orang Belanda –juga orang Indonesia– tak mau mengakuinya. Mereka pun harus puas dengan sebutan Belanda Hitam.


Credit to Hendri F Isnaeni



-dipi-
 
Re: Kumpulan Cerita Sejarah yang Ringan dan Unik (Update: Perang Londo Ireng)

Sejarah Mata Keranjang & Hidung Belang

Mata Keranjang

Isitilah 'mata keranjang' berasal dari bahasa Arab yang disalah pahami. Awalnya, 'mata keranjang' ditulis dalam tulisan Arab gundul, yang terdiri dari huruf mim digandeng dengan alif, dan ta (dibaca: mata). Selanjutnya, kaf digandeng dengan ra, kemudian menyusul jim dan ngain yang saling berangkai. Karena huruf kaf disatukan dengan ra, maka orang Indonesia pun membacanya "keranjang". Pada masa itu, kata depan "ke" sering digabung penulisannya dengan kata yang mengikutinya, yaitu "ranjang". Hasilnya, jadilah istilah berbahasa Arab ini dibaca "Mata Keranjang". Padahal kalau diterjemahkan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), seharusnya dibaca "Mata ke Ranjang". Selain itu, makna sebenarnya dari istilah ini adalah seorang laki-laki atau perempuan yang saking terpesonanya melihat lawan jenisnya, maka pikirannya selalu mengarah "ke ranjang"

Hidung Belang

Istilah ini muncul pertama kali di Jakarta (Batavia) pada awal zaman penjajahan Belanda, tepatnya sekitar abad ke-17. Pada saat itu, orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia hanya para laki-lakinya. Mereka belum membawa istri dan keluarga karena Indonesia adalah tanah jajahan yang baru bagi mereka. Tak heran, mereka sering dilanda rindu pada istri. Hal ini mendorong mereka mengambil perempuan pribumi untuk dijadikan istri simpanan sementara. Salah satu perempuan Indonesia yang terlibat skandal dengan laki-laki Belanda, bernama Saartje Specx. Saartje adalah anak angkat seorang pejabat Belanda, Jan Pieterzoon Coen. Adapun kekasih gelapnya adalah seorang perwira gubernur jendral Belanda yang bernama Pieter Cortenhoeff.

Pada suatu ketika, mereka berdua tertangkap basah sedang bercumbu dikamar bapak angkat Saartje, Coen. Tentu saja Coen sangat marah. Ia menuduh si pemuda melakukan zina, dan melaporkan perbuatannya kepada pihak berwajib. Keduanyapun ditahan. Pada akhirnya, Pieter Cortenhoeff dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukumuan gantung di tengah kota. Namun sebelum menjalani hukuman, hidung pemuda Belanda itu dicorengi arang hingga tampak belang. Sejak itu, semua orang yang tertangkap basah sedang berzina, ditangkap dan dicorengkan arang pada hidung/wajahnya.



-dipi-
 
Iya, den Lolo...
Kalo den Lolo termasuk mata keranjang atau pria hidung belang, nih..? :))

Bercanda....



-dipi-
 
kayak nya mata keranjang mbak dipi

kalau ada wanita cantik mata gue langsung tertuju ke dia

tapi setelah melihat wanita wanita cantik

cuma non depe yang cantik mbak

non depe itu punya aura atau kharisma tersendiri yang tak di miliki wanita wanita cantik di seluruh dunia terutama di kota ku prabumulih
 
20 Kisah Kebetulan yang Unik di Zaman Dulu


Kisah-kisah kebetulan yang aneh dan unik yang terkenal ini bukan fiksi. Ini sungguhan. Terserah, Ada maknai apa semua ini. Inilah 20 kisah itu:

  1. Pada tahun 1979, majalah German - Das Besteran – mengadakan lomba mengarang.
    Para penulis harus mengirimkan cerita yang tidak biasa, tapi harus berdasarkan kisah nyata. Pemenangnya, Walter Kellner dari Munich, akhirnya memenangkan lomba itu dan ceritanya dimuat. Ia menulis tentang saat ia menerbangkan pesawat Cessna 421 antara Sardinia dan Sicily. Pesawatnya mengalami masalah di laut, mendarat di atas air, akhirnya ia terapung-apung dgn pelampung darurat cukup lama sebelum akhirnya diselamatkan. Cerita ini tak sengaja dibaca oleh seorang warga Austria, yang namanya juga Walter Kellner, yang menuduh si Kellner dari Jerman telah menjiplak ceritanya. Kellner dari Austria mengatakan bahwa ia menerbangkan pesawat Cessna 421 melewati laut yang sama, mengalami masalah mesin, dan akhirnya harus mendarat di Sardinia. Jadi intinya, itu cerita yang sama, tapi dengan akhir yang berbeda. Majalah tersebut mengecek kebenaran cerita mereka berdua, dan dua2nya ternyata benar, bahkan nyaris sama persis.
  2. Pada 28 Juli 1900, Raja Italia Umberto I makan malam di sebuah restoran di kota Monza. Ternyata si pemilik restoran wajahnya sama persis dengan raja. Nama pemilik restoran itu juga Umberto, dan nama istrinya juga sama dengan nama ratu, bahkan restoran itu dibuka pada tanggal yang sama dengan pelantikan raja. Si pemilik restoran Umberto mati tertembak keesokan harinya. Begitu pula Raja Umberto.
  3. Claude Volbonne membunuh Baron Rodemire de Tarazone dari Perancis pada tahun 1872. 21 tahun sebelumnya, ayah Baron telah dibunuh juga oleh seseorang yang lain yg juga bernama Claude Volbonne
  4. Pada 13 February 1746, seorang Perancis, Jean Marie Dubarry, dieksekusi karena telah membunuh ayahnya.
    Tepat 100 tahun kemudian, tanggal 13 February 13, seorang Perancis juga, yang juga bernama Jean Marie Dubarry, dieksekusi – juga karena membunuh ayahnya.
  5. Pada tanggal 26 November 1911, tiga orang pria dihukum gantung di Greenberry Hill di London setelah terbukti bersalah atas pembunuhan Sir Edmund Berry. Nama mereka bertiga antara lain Green, Berry dan Hill.
  6. Aktor asal British Anthony Hopkins senang sekali saat ia mendapatkan peran utama dalam film yang berdasarkan sebuah buku berjudul The Girl From Petrovka yang ditulis George Feifer. Beberapa hari setelah menandatangani kontrak, Hopkins pergi ke London untuk membeli buku tersebut. Ia mencoba beberapa toko buku tetapi tidak ada yang menjualnya. Saat menunggu kereta pulang di Leicester Square, ia melihat ada sebuah buku yang tergeletak begitu saja di kursi tunggu. Ajaibnya, ternyata itu buku The Girl From Petrovka. Ternyata kebetulan itu tidak sampai di situ saja.

    Dua tahun kemudian, saat sedang syuting film di Vienna, Hopkins dikunjungi oleh George Feifer, pengarang buku tersebut. Feifer menyebutkan bahwa ia kehilangan buku miliknya sendiri. Ia meminjamkan buku miliknya – dengan beberapa catatan tulisan tangannya sendiri – kepada temannya, yang kemudian kehilangan buku itu di suatu tempat di London. Dengan terheran-heran, Hopkins memberikan Feifer buku yang ia temukan. 'Ini bukunya?' tanyanya, 'dengan catatan di pinggiran halamannya?' Itu buku yang sama.
  7. Seorang petugas Inggris, Major Summerford, ketika sedang bertempur di daerah Flanders pada February 1918 terjatuh dari kudanya karena tersambar petir dan ia menjadi lumpuh dari pinggang ke bawah. Summerford pensiun dan pindah ke Vancouver.

    Satu hari pada tahun 1924, saat ia memancing di pinggir sungai, sebuah petir menyambar pohon di mana ia sedang duduk dan melumpuhkan tubuh bagian kanannya. Dua tahun kemudian Summerford sudah cukup pulih dan sudah bisa berjalan-jalan di taman. Dan ia sedang berjalan2 di taman itu di musim panas pada tahun 1930 saat sebuah petir kembali menyambarnya, dan akhirnya melumpuhkannya secara permanen. Ia meninggal dua tahun kemudian. Tetapi petir nampaknya belum puas dan masih mengejarnya. Empat tahun kemudian, saat badai, petir menyambar kuburan dan menghancurkan sebuah batu nisan. Siapa yang terkubur di bawah nisan itu? Major Summerford
  8. Pada tahun 1899 sebuah petir membunuh seorang pria saat ia berdiri di halaman belakangnya di Taranto, Italy. 30 tahun kemudian, anaknya mati dengan cara yang sama di tempat yang sama. Pada 8 October 1949, Rolla Primarda, cucu dari korban pertama dan anak dari korban kedua, menjadi korban yang ketiga.
  9. Henry Ziegland mengira ia sudah berhasil menghindar dari takdirnya. Pada tahun 1883, ia memutuskan hubungan dengan pacarnya. Karena stress gadis itu kemudian bunuh diri. Kakak laki2 gadis itu sangat marah sehingga ia mengejar Ziegland dan menembaknya. Pria itu setelah mengira ia telah membunuh Ziegland, menggunakan pistolnya untuk membunuh dirinya sendiri. Tetapi Ziegland belum mati. Peluru tersebut, ternyata hanya menggores wajahnya dan bersarang di sebuah pohon. Ziegland jadi yakin bahwa ia pria yang beruntung. Tapi beberapa tahun kemudian, Ziegland memutuskan untuk menebang pohon itu, yang masih ada peluru di dalamnya. Tugas itu nampaknya sulit sehingga ia memutuskan untuk meledakkannya dengan beberapa dinamit. Ledakan itu melontarkan peluru tersebut ke kepala Ziegland dan membunuhnya
  10. Cerita tentang kembar identik yang nyaris sama hidup bersama biasanya menakjubkan, tapi mungkin tidak ada yang bisa menyamai cerita dua kembar identik yang lahir di Ohio. Kakak adik kembar itu terpisah saat lahir, diadopsi oleh keluarga yang berbeda. Meski tak saling mengenal, kedua keluarga yg berbeda sama-sama menamai mereka James. Dan kebetulannya belum berhenti sampai di situ saja. Kedua James tumbuh besar tak saling mengenal, tetapi keduanya mencari pelatihan law-enforcement training, keduanya sama-sama memiliki kemampuan dalam menggambar mekanik dan pertukangan, dan mereka sama-sama menikahi wanita yang bernama Linda.

    Mereka berdua punya putra, yang satu dinamai James Alan dan yang satu lagi menamai anaknya James Allan. Kedua kembar itu juga menceraikan istri mereka, dan menikahi wanita lain – yang sama-sama bernama Betty. Dan mereka sama-sama punya anjing yang diberi nama Toy. Empat puluh tahun setelah mereka terpisah, kedua kembar itu berkumpul kembali, dan kemudian berbagi cerita kehidupan mereka yang ternyata mirip satu sama lain (Source: Reader’s Digest, January 1980)
  11. Pada abad 19, penulis horror terkenal, Egdar Allan Poe, menulis sebuah buku berjudul ‘The narrative of Arthur Gordon Pym’.

    Buku itu mengisahkan empat orang yang berhasil selamat dari kecelakaan di laut, mereka berada di kapal di laut terbuka berhari-hari sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk membunuh dan memakan petugas kabin yang bernama Richard Parker.

    Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1884, sebuah kapal, Mignonette, tenggelam. Yang selamat hanya 4 orang, yang berada di kapal kecil berhari-hari. Kemudian diketahui, anggota kru yang lebih senior, membunuh dan memakan petugas kabin. Nama petugas kabin itu Richard Parker
  12. Pada tahun 2002, dua pria bersaudara kembar berumur 70 tahun mati dalam jam yang sama di jalan yang sama tapi kecelakaan yang berbeda di Finlandia.

    Kakak kembarnya mati saat ia tertabrak kereta lori saat ia mengendarai sepedanya di Raahe, 600 kilometer dari Helsinki. Ia mati hanya 1.5 km dari tempat di mana saudaranya dibunuh. “Ini benar-benar kebetulan yang pantas diingat. Meskipun jalannya cukup padat, tapi kecelakaan tidak terjadi setiap hari,” Petugas polisi Marja-Leena Huhtala saat diwawancara Reuters mengatakan “Aku jadi merinding saat aku tahu mereka ternyata bersaudara dan kembar identik. Aku jadi berpikir mungkin yang di atas sana punya rencana untuk hal ini.” (Source: BBC News)
  13. Joseph Aigner adalah seorang pelukis potret pada abad 19 di Austria yang nampaknya seorang pria yang tidak bahagia. Ia beberapa kali mencoba bunuh diri. Pertama kalinya, saat berusia 18 tahun ia mencoba gantung diri, tetapi dicegah oleh kehadiran seorang biksu Capuchin yang misterius. Waktu berusia 22 tahun ia mencoba gantung diri lagi, tetapi ia lagi2 diselamatkan oleh biksu yang sama. Delapan tahun kemudian, ia diajukan ke tiang gantungan karena kegiatan politiknya. Sekali lagi, hidupnya diselamatkan oleh campur tangan biksu yang sama. Pada usia 68, Aiger akhirnya berhasil bunuh diri, kali ini menggunakan pistol. Upacara pemakamannya dipimpin oleh biksu Capuchin yang sama – seorang pria yang bahkan Aiger saja tak pernah tahu namanya. (Source: Ripley’s Giant Book of Believe It or Not!)
  14. Pada tahun 1858, Robert Fallon ditembak mati oleh teman-teman main pokernya. Fallon, menurut mereka, telah memenangkan $600 dengan cara curang. Setelah posisi Fallon kosong dan tak ada satu pemain pun yang bersedia mengambil uang $600 yang penuh kesialan itu, mereka kemudian menemukan pemain baru untuk menggantikan posisi Fallon dan memberikannya uang orang mati $600 tersebut untuk dipertaruhkan. Saat polisi tiba untuk menyelidiki pembunuhan, pemain baru itu telah melipatgandakan uang $600 jadi $2,200. Polisi meminta agar $600 yang asli diberikan kepada keturunan Fallon – dan ternyata pemain baru tersebut adalah anak Fallon, yang sudah tak pernah bertemu dengan ayahnya selama 7 tahun! (Source: Ripley’s Giant Book of Believe It or Not)
  15. Ketika Norman Mailer memulai novelnya Barbary Shore, ia tak berencana menggunakan mata-mata Rusia sebagai karakter dalam novelnya. Namun sembari ia menulis, ia mulai memperkenalkan mata-mata Rusia sebagai karakter kecil. Semakin ia menulis, mata-mata tersebut menjadi karakter yang dominan. Setelah novelnya selesai, U.S. Immigration Service menahan seorang pria yang tinggal satu lantai di atas Mailer di apartemen yang sama.
    Ia adalah Colonel Rudolf Abel, yang dicurigai sebagai mata-mata Russian kelas atas yang bekerja di U.S. saat itu. (Source: Science Digest)
  16. Pada tahun 1920, tiga orang pria Inggris bepergian menggunakan kereta melalui Peru. Pada saat mereka berkenalan, hanya ada mereka di ruangan tersebut. Perkenalan mereka tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Pria pertama nama akhirnya Bingham, dan pria kedua nama akhirnya Powell. Pria yang ketiga ternyata bernama Bingham Powell. Mereka bertiga tidak berhubungan sama sekali.
  17. Pada tahun 1975, saat sedang mengendarai motor di Bermuda, seorang pria tak sengaja tertabrak mati sebuah taxi. Satu tahun kemudian, kakak laki2 dari pria ini mati dengan cara yang sama. Bahkan, ia mengendarai motor yang sama. Tak hanya itu, ia juga ditabrak oleh pengendara taxi yang sama, bahkan taxi itu sedang membawa penumpang yang sama!
  18. Tahun 1950 di kota Nebraska 15 orang anggota paduan suara seharusnya berkumpul di gereja pada jam 7.20, dalam hidupnya mereka jarang sekalit terlambat, bahkan hampir tidak pernah, tp mereka semua datang terlambat pada hari itu karena berbagai alasan, tiba2 saja pada jam 7.25, gereja itu hancur ditabrak pesawat. 15 orang itu selamat secara kebetulan
  19. Tahun 1976 seorang bayi jatuh dari lantai 14 dan mendarat tepat dalam pelukan seorang pria inggris yang bernama Joseph Figlock, setahun kemudian seorang bayi kembali jatuh dari lantai yang sama, dan kembali diselamatkan oleh Joseph Figlock
  20. Seorang wanita belanda menemukan cincinnya sendiri yang telah lama hilang, dalam kentang yg hendak ia makan, kemungkinan cincin tersebut jatuh ke ladang kentang dan akhirnya berada dalam kentang

Source


-dipi-
waaa ini kebetulan yang luar biasa, gile bener :))
dan yang awal-awal itu benar-benar sukar dipercaya juga hebat hebat *clap clap clap*
 
Back
Top