Ilmu Arkeologi

agen_pale

New member
SEJARAH ILMU ARKEOLOGI


Arkeologi lahir dan berkembang di Barat. Kata arkeologi berasal dari bahasa Yunani archaeos = purbakala dan logos = ilmu. Arkeologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia masa lampau melalui peninggalan-peninggalan budaya yang tersisa sampai kini.

Arkeologi bermula dari suatu kegemaran atau hobi untuk memuaskan perasaan di hati seseorang. Lama-kelamaan minat tadi berubah, menjadi tantangan akan kemampuan berpikir.

Benda-benda kuno pada mulanya diminati oleh orang-orang tertentu di Eropa. Apalagi jika benda-benda itu dianggap menarik karena indah, aneh, atau langka. Terlebih yang berasal dari suatu zaman yang disebut-sebut kitab sejarah, legenda, atau dongeng. Ketika itu benda-benda dari zaman Yunani kuno, Romawi kuno, atau awal dari perkembangan suku bangsa Eropa menjadi barang buruan mereka.


Kegemaran

Pada abad ke-15 kemakmuran di Eropa sudah tinggi, meskipun tidak merata. Kemakmuran inilah yang memungkinkan kalangan tertentu mengembangkan kegemaran mengumpulkan benda-benda kuno. Karena ada barang kuno, maka perdagangan benda antik sangat menguntungkan.

Di kalangan tertentu, memiliki barang antik rupanya dianggap gengsi. Maka banyak rumah dibangun dengan arsitektur Yunani atau Romawi. Ada juga kalangan intelek yang selalu berdiskusi mengenai benda-benda yang dianggap berbobot. Ketika itu zaman klasik sangat diagung-agungkan oleh kaum intelektual Eropa.

Kesusastraan Yunani juga banyak diminati. Apalagi kesusastraan Yunani ini banyak terselamatkan dalam bentuk terjemahan bahasa Latin. Dengan demikian alam pikiran Yunani cukup dikenal oleh cendekiawan Eropa pada masa itu. Demikian pula dengan sejarah Yunani.

Minat dan kecenderungan orang akan hal ini menciptakan iklim yang subur untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Italia, khususnya di pusat perdagangan Venesia dan Genoa. Lingkungan seperti ini kemudian mendorong alam pikiran bangsa Eropa untuk bergerak maju lagi. Maka kemudian timbul Renaissans. Filsafat dan matematika memberi kerangka berpikir untuk lebih mengenal dan mengerti alam lingkungan manusia.

Sifat kritis dan selalu ingin tahu menjadi ciri pikiran orang Barat. Berbagai ilmu kemudian berkembang dengan pesat. Di lain pihak, para pedagang Venesia dan Genoa mempunyai naluri bisnis. Mereka pergi ke berbagai tempat, termasuk ke negara-negara non Eropa. Dari sana mereka membawa berbagai kisah dan benda dari negara-negara yang mereka kunjungi. Hal ini membawa kesadaran pada orang-orang Eropa bahwa di luar lingkungannya masih banyak terdapat kebudayaan lain.
Perkembangan hingga abad ke-17 memperlihatkan kalangan tertentu masih mengagungkan kesusastraan Yunani. Selanjutnya minat yang mula-mula terpusat pada sejarah bangsa Eropa, berkembang lebih luas. Akibat kegiatan orang-orang berada dan terpelajar, terkumpullah benda-benda kuno dalam jumlah besar. Benda-benda tersebut kemudian disimpan dalam suatu tempat, semacam museum sekarang.

Museum sederhana ini didukung dan dikelola oleh perkumpulan orang terpelajar. Secara berkala mereka bertemu untuk mendiskusikan benda-benda tersebut. Mereka selalu menghubungkannya dengan kisah-kisah dari kesusastraan Yunani dan Romawi.


Injil

Beberapa cendekiawan berusaha menyusun kisah-kisah tentang masa lampau itu, meskipun uraiannya masih terbatas. Keadaan yang tidak disebut dalam kesustraan Yunani dan Romawi, tidak digarap. Baru kemudian mereka menggunakan sumber lain, kitab Injil.

Pada zaman ini pengumpul barang kuno yang melayani kebutuhan para kolektor memang amat berperan. Ini karena mereka sering bepergian ke luar negeri untuk mencari barang-barang yang menarik. Namun di luar itu, sekelompok cendekiawan di masing-masing negara, berupaya memperluas pengetahuan mengenai bangsanya sendiri.

Namun karena sumber pengetahuan mereka masih terbatas, kesimpulannya masih sangat samar-samar dan mirip dongeng. Bahkan mereka melakukan ekskavasi, bukan dengan tujuan dalam arti ilmiah, melainkan sekadar memperoleh benda-benda untuk koleksi.

Di dalam kesusastraan Yunani sesungguhnya ada petunjuk dan catatan yang dapat menjadi dasar yang luas akan masa lampau. Namun catatan-catatan itu sangat singkat, tidak tampak penting, dan tersebar pada berbagai sumber. Karena itu sumber-sumber tersebut banyak diabaikan.

Dalam catatan sejarah orang Athena abad ke-5 disinggung adanya bangsa dan kebudayaan di tempat tersebut sebelum zaman mereka. Ada juga catatan perjalanan orang Yunani yang mengisahkan tentang bangsa lain yang tingkat peradabannya dianggap lebih rendah. Orang Yunani sendiri rupa-rupanya juga tidak melihat dari perjalanan mereka adanya kenyataan bahwa kebudayaan itu tumbuh dari sederhana menjadi lebih maju.


Eropa

Kesadaran bahwa kebudayaan tumbuh melalui berbagai tahap baru ada di Eropa pada abad ke-18. Saat itu muncul pula ilmu-ilmu lain untuk membantu pengertian akan masa lampau.

Arkeologi lahir bersamaan di beberapa negara Eropa. Pada mulanya masing-masing ilmu arkeologi tidak saling berhubungan. Beberapa peristiwa besar tercatat di Eropa sejak berkembangnya ilmu arkeologi. Di Prancis, misalnya, sejak lama ditemukan kepingan-kepingan batu dengan bentuk khusus di dalam tanah dan permukaan tanah. Orang awam menyebutnya ’gigi halilintar’. Mereka menghubungkannya dengan makhluk halus.

Pada lapisan yang sama ditemukan pula tulang-tulang yang telah membatu (fosil). Karena belum diketahui metode untuk menghitung umur lapisan tanah, maka umur temuan itu tidak dapat diduga. Umur lapisan tanah baru diketahui setelah muncul ilmu geologi modern.

Pada pertengahan abad ke-19 muncul seorang ahli geologi Inggris Sir Charles Lyell yang mengajukan pendapat tentang temuan itu secara ilmiah. Dia membantah paham yang mengatakan bahwa kulit bumi terbentuk karena air bah sebagaimana kitab Injil. Sebaliknya dia mengajukan paham bahwa pembentukan kulit bumi terjadi karena pelapukan. Terjadinya lapisan-lapisan itu disebabkan perubahan daratan, lautan, dan aliran sungai.

Pada mulanya ilmu arkeologi belum dapat memanfaatkan sumbangan ilmu geologi. Di pihak lain temuan-temuan batu dengan bentuk khusus mulai menarik perhatian. Orang mulai yakin bahwa batu itu adalah alat yang dibuat oleh manusia.


Sistem Tiga Zaman

Setelah menerima teori Lyell, maka orang memberanikan diri untuk menyimpulkan bahwa manusia sudah ada di zaman yang jauh di masa lampau. Zaman itu telah tertimbun di dalam tanah dan membentuk lapisan tanah tertentu di lapisan bumi. Jika umur lapisan itu dapat dihitung, maka zaman ketika manusia purbakala itu hidup dapat diketahui.

Konsepsi-konsepsi yang timbul di Eropa itu mula-mula mengambil dasar yang sederhana. Tujuan utamanya memberikan arti yang kultur-historis kepada benda-benda arkeologi. Data arkeologis yang terjangkau, kemudian dipelajari dan diolah sedemikian rupa sehingga memperoleh model yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sejak itu banyak pakar berusaha menciptakan teori-teori arkeologi. Salah satu teori yang dikenal luas hingga kini adalah teori ”Sistem Tiga Zaman’ yang diajukan Christian Jurgensen Thomsen dari Denmark.

Teori ini berprinsip di masa lampau telah ada perkembangan waktu berdasarkan urutan waktu tertentu. Uraian ini dilihat dari bahan-bahan utama yang digunakan untuk membuat alat-alat yang dipakai manusia masa lampau demi melangsungkan hidupnya. Maka lahirlah istilah zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi. Zaman batu adalah zaman yang tertua.

Sistem yang digunakan Thomsen merupakan sumbangan yang utama bagi ilmu arkeologi. Sistem ini menjadi alat untuk mengklasifikasikan benda-benda arkeologi. Sistem tiga zaman juga dianggap sebuah model teknologi karena memperhatikan perkembangan teknik pembuatan alat-alat kerja manusia.
 
[lang=en]Archaeology is a subject of study in a subject as well, so this is already a branch of science that can be used as goals in the ideals of the children, but that should take priority is how people can learn archaeological objects as a comparison and find solutions in the current issue occur in the present.[/lang]
 
Aku tambahin artikel ya...:)

Perkembangan Arkeologi di Indonesia


Di Indonesia, perkembangan arkeologi dimulai dari lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan, seperti Bataviaashe Genootshcap van Kunsten en Wettenschappen yang kemudian di Jakarta mendirikan museum tertua, sekarang menjadi Museum Nasional. Lembaga pemerintah pada masa kolonial yang bergerak di bidang arkeologi adalah Oudheidkundige Dienst yang banyak membuat survei dan pemugaran atas bangunan-bangunan purbakala terutama candi. Pada masa kemerdekaan, lembaga tersebut menjadi Dinas Purbakala hingga berkembang sekarang menjadi berbagai lembaga seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Balai Arkeologi yang tersebar di daerah-daerah dan Direktorat Purbakala serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional di Jakarta. Di samping itu, terdapat beberapa perguruan tinggi yang membuka jurusan arkeologi untuk mendidik tenaga sarjana di bidang arkeologi. Perguruan-perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia (Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Gadjah Mada (Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Hasanuddin (Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra), dan Universitas Udayana (Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra).
Oudheidkundige Dienst atau Jawatan Purbakala adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengelola bidang kepurbakalaan. Tugas dari lembaga tersebut antara lain adalah menyusun, membuat daftar, serta mengawasi peninggalan purbakala di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga ini juga bertugas merencanakan dan melakukan pemugaran, melakukan pengukuran dan penggambaran, serta melakukan penelitian. Oudheidkundige Dienst dibentuk pada tanggal 14 Juni 1913.

Setelah Indonesia merdeka, lembaga ini berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) adalah unit pelaksana teknis (UPT) dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang berada di daerah. Balai ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Sebelumnya, lembaga ini bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP).

Sesuai dengan keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM. 51/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 tentang Organisasi dan Tatakerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, fungsi dari lembaga ini adalah sebagai berikut.

  1. Melaksanakan pemeliharaan, pengelolaan, dan pemanfaatan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs peninggalan arkeologi bawah air.
  2. Melaksanakan perlindungan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  3. Melaksanakan pemugaran peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  4. Melaksanakan dokumentasi peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  5. Melaksanakan penyidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun di ruangan.
  6. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang peninggalan sejarah dan purbakala.
  7. melaksanakan penetapan benda cagar budaya (BCB) bergerak di wilayah kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
  8. Melaksanakan usuran tata usaha dan rumah tangga Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.


    Sumber: http://www.budpar.go.id/
Ahli arkeologi Indonesia, yang umumnya merupakan lulusan dari keempat perguruan tinggi tersebut, berhimpun dalam Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Tokoh-tokoh arkeologi Indonesia yang terkenal antara lain adalah R. Soekmono yang mengepalai pemugaran Candi Borobudur, dan R.P. Soejono, yang merupakan pendiri dan ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pertama dan mantan kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Disiplin Arkeologi Indonesia masih secara kuat diwarnai dengan pembagian kronologis, yaitu periode Prasejarah, periode Klasik (zaman Hindu-Buddha), periode Islam, serta periode Kolonial. Oleh karena itu, dalam arkeologi Indonesia dikenal spesialisasi menurut periode, yaitu Arkeologi Prasejarah, Arkeologi Klasik, Arkeologi Islam, serta Arkeologi Kolonial. Satu keistimewaan dari arkeologi Indonesia adalah masuknya disiplin Epigrafi, yang menekuni pembacaan prasasti kuna. Pada perkembangan sekarang telah berkembang minat-minat khusus seperti etnoarkeologi, arkeologi bawah air, dan arkeometri. Terdapat pula sub-disiplin yang berkembang karena persinggungan dengan ilmu lain, seperti Arkeologi Lingkungan atau Arkeologi Ekologi, Arkeologi Ekonomi, Arkeologi Seni, Arkeologi Demografi, dan Arkeologi Arsitektur.
Arkeologi Prasejarah adalah sub-bidang arkeologi yang mempelajari kebudayaan manusia pada zaman prasejarah. Zaman prasejarah sendiri bermula sejak keberadaan manusia di muka bumi dan berakhir ketika dikenal adanya tulisan. Masa berakhirnya masa prasejarah berbeda-beda bagi setiap suku bangsa karena perbedaan waktu dalam mengenal tulisan.

Peninggalan arkeologi prasejarah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu peninggalan bergerak dan peninggalan tidak-bergerak. Peninggalan bergerak antara lain adalah alat-alat batu, perhiasan batu, peralatan dan perhiasan dari tulang dan kulit kerang, serta gerabah. Sementara itu, peninggalan tak-bergerak antara lain adalah bangunan megalitik dan gua hunian. Tidak banyak peninggalan yang terbuat dari bahan organik karena besar kemungkinan telah musnah seiring dengan perjalanan waktu.

Tokoh arkeologi prasejarah di Indonesia antara lain adalah Prof. Dr. R.P. Soejono, Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, Dr. Daud Aris Tanudirjo, Dr. Harry Widianto, dan Dr. Mahirta. Sementara itu, kajian prasejarah di Indonesia dirintis oleh para ahli dari Belanda, seperti Dr. P.V. van Stein Callenfels yang dianggap sebagai Bapak Prasejarah Indonesia.
Arkeologi Klasik merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu arkeologi di Indonesia yang dimulai sejak dikenalnya tulisan sampai masuknya pengaruh kebudayaan Barat di Indonesia. Bidang kajian ini dimulai sejak abad 4 Masehi dengan mengacu pada prasasti Yupa yang ditemuka di Kalimantan Timur sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-16. Pada rentang waktu itu di nusantara sedang berkembang kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan India yang bernafaskan agama Hindu dan Buddha. Pada masa ini selain kedua agama tersebut juga ditemukan agama "baru" yang merupakan sinkretisme Hindu dan Buddha. Bukti adanya sinkretisme agama pada masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ini ditandai dengan ditemukannya bangunan candi dan arca-arca yang mencerminkan perpaduan antara kedua agama, misalnya candi Jago dan candi Jawi di Malang, Jawa Timur. Adapun yang dikaji dalam arkeologi klasik antara lain candi, bekas-bekas kraton, petirtaan, arca, prasasti, keramik, mata uang, dan artefak-artefak lainnya yang berasal dari kurun waktu antara abad ke-4-15 Masehi.
Epigrafiadalah suatu cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-benda bertulis yang berasal dari masa lampau. Salah satu contohnya adalah prasasti. Prasasti merupakan sumber bukti tertulis (berupa tulisan ataupun gambar) pada masa lampau yang dapat memberikan informasi mengenai peristiwa dimasa lampau, asal-usul seorang raja atau tokoh atau genealogi maupun penanggalan.

Tujuan arkeologi adalah merekonstruksi sejarah masa lampau berdasarkan apa yang dapat ditemukan kembali dengan ketrampilan dan penguasaan metode ekskavasi pada benda-benda masa lampau. Jika benda tinggalan tersebut berupa prasasti maka ahli epigrafi akan mengelolanya agar dapat diketahui kapan terjadinya, siapa tokoh pemerintahannya serta apa isi yang terkandung pada prasasti tersebut.Ahli epigrafi mempunyai kemampuan menganalisis prasasti dengan kemampuannya untuk membaca tulisan kuno, baik berupa huruf kuno maupun bahasa kuno.

Tugas seorang ahli epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum di publikasikan melainkan juga meneliti kembali prasasti yang baru terbit dalam transkripsi sementara. Kemudian ahli epigrafi tersebut harus menterjemahkan prasasti itu ke dalam bahasa yang digunakan saat ini sehingga para peneliti lain, khususnya ahli-ahli sejarah dapat menggunakan berbagai macam keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, ahli epigrafi banyak menjumpai berbagai macam hambatan. Menurut arkeolog Indonesia yang menekuni bidang epigrafi yaitu Drs.Hasan Djafar, masalah yang pertama adalah karena banyak prasasti terutama prasasti batu, yang sudah demikian usang sehingga sulit untuk membacanya. Ia harus membaca bagian-bagian yang usang tersebut berkali-kali sampai mendapatkan pembacaan yang memuaskan. Dengan menguasai bentuk huruf kuno dengan segala lekuk likunya, dan dengan senantiasa membanding-bandingkan huruf-hurufnya yang usang itu dengan huruf-huruf yang masih jelas, seorang ahli epigrafi berusaha untuk memperoleh pembacaan yang selengkap-lengkapnya. Kedua, dihadapkan pada waktu menterjemahkan prasasti-prasasti itu. Pengetahuan mengenai bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam prasasti masih belum cukup untuk memahami sepenuhnya makna yang terkandung di dalam naskah-naskah itu.

Ahli epigrafi bak detektif yang mencari tahu mengenai kehidupan maupun peristiwa masa lampau melalui kode-kode rahasia berupa huruf maupun gambar melalui kemampuannya dalam menganalisis. Sehingga masyarakat, khususnya ahli sejarah dan arkeologi, mendapatkan informasi sejarah yang jelas dan valid. Seorang ahli epigrafi dibutuhkan dalam memecahkan sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh masyarakat masa lampau agar dapat dimengerti oleh masyarakat saat ini.


-dipi-
 
Back
Top