Tradisi Menangkap Ikan Paus di Lamalera & Lamakera, NTT.

Status
Not open for further replies.

Dipi76

New member
Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini Pulau lembata sudah menjadi kabupaten sendiri yang sebelumnya gabung dengan Kabupaten Flores Timur. Di hadapannya terbentang laut sawu yang cukup ganas. Sudah sejak dulu masyarakat Lamalera terkenal sebagai masyarakat nelayan, dan penangkap ikan paus secara tradisional. Secara administratif desa Lamalera berada di wilayah Kecamatan Wulandoni, di perkampungan tersebut lamalera terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.000 jiwa.

Dulunya kampung Lamalera merupakan kampung terpencil, terisolasi dan jauh dari keramaian, saat ini sudah mulai ada pembangunan PLN dan pembuatan jalan aspal untuk memudahkan alat tranportasi. Kampung-kampung Lamalera pun dibangun di atas batu cadas dan karang tepat di kaki atau di lereng bukit atau gunung. Desa Lamalera dengan panorama alam pegunungan yang sedikit gersang serta deruhnya ombak pantai selatan, topografinnya yang bergunung-gunung dan bebatuan dan disertai dengan kemiringan yang cukup terjal yang menantang hidup dan kehidupan orang Lamalera.

Sepertinya sangat tidak wajar nelayan bila masyarakat desa Lamalera lebih memilih berburu ikan-ikan besar yang sebenarnya adalah termasuk ke dalam jenis-jenis 'Mamalia Laut' (Cetacean) yang besar dan sangat beresiko tinggi bila dibandingkan menangkap ikan lainnya, tapi itulah kenyataan yang terjadi dengan kondisi alam, topografi, serta bekal kemampuan yang digariskan secara turun menurun oleh nenek moyang mereka. Sehingga membuat mereka terbisa dan pasrah akan bahaya yang selalu dihadapi untuk menyambung hidup dengan berburu paus.

Sebelum musim berburu, desa Lamalera memiliki tradisi atau budaya penangkapan paus yang setiap tahunnya diadakan uipacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan bahari bergelut dengan sang paus. Upacara dan Misa atau biasa di sebut lefa dilaksanakan setiap tanggal 1 Mei.

Secara resminya penangkapan ikan paus terjadi pada bulan Mei-November, namun tak jarang juga bulan Desember-April nelayan lamalera tetap melakukan penangkapan paus ketika paus tersebut melewati perairan laut Sawu. Hal ini bukan bearti melanggar adat yang sudah di tetapkan, di mana pada bulan-bulan tersebut orang Lamalera menamakan bulan perburuan atau yang disebut dengan baleo.

Musim Lefa ini merupakan waktu khusus untuk melaut, serta berburu ikan paus dan ikan -ikan besar kainnya seperti lumba-lumba, hiu, pari. Di saat musim inilah masyarakat Lamalera beramai-ramai pergi melaut. Menurut mereka di musim-musim inilah ikan-ikan besar sering muncul dan bermain menampakan dirinya di permukaan Laut Sawu.

Masyarakat Lamalera pada prinsipnya untuk berburu menggunakan cara tradisional, untuk menangkap Paus atau biasa disebut Kotoklema (Sperm Whale/Physeter macrocephalus) menggualakan perahu layar yang menurut bahasa daerah Lamalera disebut peledang. Perahu layar tersebut dilengkapai dengan alat tikam/harpun tangan yang disebut tempuling, tali panjang (tali leo), yang ikatkan pada mata tombak (tempuling), dan ditambah bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam. Dalam satu peledang biasanya di muati oleh 7 Crew dan orang yang khusus memegang peranan dalam menikam paus adalah juru tikam yang disebut balafaing (lamafa).

Peledang didisain tanpa ada penutup agar para awak kapal dapat memantau ikan yang muncul kepermukaan. Setelah sudah terlihat maka peledadang akan mendekati ikan tersebut dan juru tikam angkat tempuling dan siap untuk menancapkan tempuling tersebut tepat kebagian jantung paus tersebut, biasanya tiakaman sampai 4 kali atau bahkan lebih. Ketika tikaman pertama ini merupakan saat–saat yang paling berbahaya bagi para awak peledang karena paus akan berontak dan mengamuk, tak jarang perahu peledang akan di bawa oleh paus ke dalam laut atau terbalik balik bahkan dihancurkan oleh oleh kepala atau ekor paus.

Setelah paus sudah mulai lemah dan tidak berdaya lagi untuk lebih mempercepat kematian maka ada bagian yang di robek oleh pisau tajam agar darah cepat keluar dan paus tersebut cepat mati. Setelah terlihat mati maka paus tersebut di tarik/ditonda oleh perahu - perahu tersebut sampai kepantai lamalera, dan siap untuk dipotong dan dibagi-bagi. Pembagian daging paus sudah ditentukan sejak jaman nenek moyang mereka.

Semua bagian paus adalah penting dan terpakai semua antara lain adalah daging, kulit, lemak, darah, dan tulang. Ketika ada satu ekor paus ditikam maka semua masyarakat Lamalera akan mendapatkan jatah semua, walaupun tidak ikut kelaut, karena bisa dibarter dengan ikan lain atau hasil bumi.


dipi-
 
Re: Budaya Menangkap Paus di Lamalera

Fakta Lain Yang Terjadi

Beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang mereka dalam memburu paus yang perlu diperhatikan adalah jumlah, ukuran jenis kelamin serta umur. Menuru nenek moyang mereka paus yang tidak boleh ditangkap adalah paus yang sedang kawin, anak, dan betina yang sedang hamil. Tapi nampaknya saat ini masyarakat sudah tidak menghirauakan aturan-aturan adat yang sudah di tetapkan oleh nenk moyang mereka, apalagi ditambah oleh kemajuan teknologi yaitu adanya peledang yang menggunakan mesin boat 15 PK, dan perahu/jonson (matros) yang mencari ikan – ikan besar dengan mesin boat 15 PK mereka juga memantau keberadaan paus di Laut Sawu, ketika mereka melihat maka jonson akan memberi tanda kepada jonson lain atau masyarakat didarat sebagai tanda “Baleo”.

Jenis paus yang ditikam oleh masyarakat Lamalera adalah paus sperma/sperm whale (Physeter macrocephalus) atau biasa disebut orang Lamalera adalah kotoklema. Mereka sangat pantang sekali untuk menikam paus-paus lain, seperti jenis “kelaru” (Minke whale/Balaenoptera acutorostrata) yang juga merupakan salah satu jenis paus yang biasa ditikam oleh masyarakat Lamakera di Pulau Solor, kerena munurut sejarahnya klaru pernah menolong nenek moyang mereka tapi apa yang terjadi ikan tersebut saat ini juga mereka tikam jika melewati laut sawu.

Memang unik dan sedikit aneh karena masyarakat Lamalera mempunyai kebiasaan menikam semua jenis ikan, dan sangat jarang sekali yang mencari ikan-ikan kecil, paling-paling ikan terbang. Salah satu orang yang berprofesi sebagai guru SLTP di desa Lamalera, beliau mencatat jenis dan jumlah ikan yang ditikam masyarakat Lamalara sejak tahun 1996 sampai sekarang.

Adapun jenis-jenis ikan yang biasa ditikam masyarakat Lamalera antara lain (1) Paus/Kotoklemah/Paus sperma/Sperm Whale/Physeter macrocephalus, (2), Temu Bela/Lumba-lumba besar / Pilot Whale / Globicephala melaena (3) Seguni / Ikan ganas / Killer Whale / Orcinus orca (4) Ikan Mera (5) Kelaru / Minke Whale / Blaenoptera acutorostrata (6) Iyu Bodo/Iyu Kiko / Whale Shark (7) Temu Blure / Lumba-lumba kecil / Dolphins (8) Moku / Pari kuning (9) Bou / Pari kecil (9) Blele / Pari besar (11) Kebeku / Ikan matahari / mola – mola (12) Ikan Raja / Tuna (13) Kea / Penyu

Dari catatan tersebut ternyata masyarkat Lamalera menikam 6 jenis paus yang melewati perairan laut sawu. Untuk panjang paus yang mereka tikam sekitar 6 – 13 meter. Bagian yang paling utama dimanfaatkan dari Paus adalah adalah :

Daging, warna daging paus adalah kemerahan, layaknya jenis mamalia lain. Biasanya daging – daging tersebut diawetkan dengan bantuan sinar matahari setelah dibubuhi garam, ketika daging paus benar – benar kering dapat disimpan sampai 1 tahun lebih.

Kulit, paus mempunyai ketebalan berkisar 10 – 20 Cm juga diawetkan dengan dijemur di bawah panasnya matahari

Minyak, diperoleh dari bagian kulit dan lemak otak biasanya ketika kulit di jemur maka minyak akan menetes sedikit demi sedikit, kemudian ditampung. Biasanya minyak yang diperoleh dari proses penjemuran kulit berwarna hitam dan bau tidak sedap, tapi jika minyak diperoleh dari hasil memanaskan dengan api diletakkan diatas kuali dan ditambah sedikit rempah – rempah akan terlihat kuning jernih seperti minyak kelapa dan bau harum. Minyak paus dimanfaatkan sebagai bahan bakar lampu pelita yang tidak menimbulkan efek polusi seperti lampu lentera bahan bakar minyak tanah, bisa juga dimanfaatka sebagai minyak goreng bahkan sebagai obat.

Tulang paus dulu dimanfaatkan sebagai tempat untuk menumbuk jagung, tapi saat ini banyak yang memanfaatkan sebagai suvenir seperti dibuat asbak dan miniatur kotoklemah dan di jual kewisatawan yang berkunjung ke Lamalera.

Gigi, biasa dimanfaatkan sebagai cincin atau bandl kalung karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Lamalera gigi seguni / killer whale bisa di gunakan sebagai penangkal ilmu hitam / black magic.

Darah paus juga dimanfaatkan masyarakat lamalera sebagai bahan campuran untuk mengolah masakan daging paus.

Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 tercatat sekitar 1084 ekor cetacean yang di tikam oleh masyarakat Lamalera, dengan perbandingan paus sekitar 489 ekor dan lumba – lumba sekitar 595 ekor.

Mengintip Sisi Perdagangan Bagaian-bagian Paus

Penangkapan paus secara tradisional di Lamalera pertama kali dicatat pada abat ke-7. Kapal penangkap paus dari Amerika dan Eropa datang ke kawasan ini pada abad ke-18 (Barnes 1980). Sampai saat ini penangkapan paus secara tradisional masih berlangsung.

Data yang tersedia menunjukkan bahwa terjadi suatu penurunan hasil tangkap paus dari tahun ke tahun. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui sebabnya secara jelas, yang pasti hal ini dapat di sebabkan adanya penurunan populasi paus dikawasan ini atau karena jumlah peledang sudah menurun atau kelompok paus bermigrasi dengan jalur lain? Hasil tangkapan terbesar terjadi pada tahun 1969, ketika itu tertangkap sekitar 59 ekor paus sperma/kotoklemah.

Lamalera merupakan salah satu desa terpencil yang sudah banyak dikenal dan diekspos oleh dunia luar tentang perburuan paus. Awal tahun 1980 suatu project yang di biayai oleh FAO mencoba untuk mengenalkan perburuan paus secara modern dengan menggunakan kapal yang lebih tinggi kecepatanya serta senjata untuk membunuh paus.

Proyek ini dilakuakn karena berbagai halangan dan masalah yang tidak dapat diatasi dengan hanya menyediakan teknik modern bagi penduduk desa, tetapi juga karena pandangan dan pendapat penduduk lokal, misalnya memasarkan daging paus adalah tidak mudah karena penduduk adalah nelayan subsisten, serta ekonomi pasar belum masuk kedalam cara berpikir mereka (Barnes: 1984).

Sekilas Tentang Desa Lamakera

Desa Lamakera terletak di Pulau Solor, yang masih masuk kedalam Kabupaten Flores Timur, sebagian besar warga Lamakera beragama muslim. Menurut sejarah nya memang ada keterkaitan antara desa Lamalera dengan desa Lamakera, yaitu ada bebrapa suku di Lamalera yang pindah ke Lamakera dan menetap disini.

Memang desa Lamakera tidak setenar dengan desa Lamalera, tapi sudah ada catatat bahwa desa ini pun juga mempunyai tradisi berburu paus jenis “Kelaru”, tetapi desa tersebut tidak ada keharusan untuk berburu paus.

Tidak seperti di Lamalera yang hidupnya sangat bergantung sekali dengan kehadiran kotoklemah sebagai sumber makan utama. Masyakat Lamakera dari dulu sudah terkenal sebagai masyarakat pedagang, seperti berdagang ikan, garam dan parang karena di sana terdapat banyak pandai besi.

Tangakap utama masyarakat Lamakera ada jenis-jenis ikan pari, tuna, tongkol, cakalang dll, tapi tatkala para nelayan sedang mencari ikan melihat kelaru maka akan mereka tombak juga dengan alat sama seperti tempuling.

Ketika ada nelayan yang menombak paus kelaru biasanya sebagian dagingnya dijual di Pasar Weiwerang Pulau Adonara dengan harga Rp. 100.000,- per 1 m3 . Letak desa Lamakera memang sedikit strategis yaitu daerah pertemuan arus, dan umtuk menuju laut Sawu tidak begitu jauh. Dalam satu tahun tangkapan paus kelaru sekitar 4 – 10 ekor.

Saat ini jumlah pemburu paus menurun, salah satu alasanya adalah ketersediaan kesempatan kerja selain berburu paus, anak-anak muda pun sudah mulai enggan belajar menikam ikan. Ini juga merupakan peluang yang baik bagi para paus untuk meneruskan kelangsungan hidupnya.


Source

Note:
Karena beberapa sebab, foto2 pendukung sengaja tidak ditampilkan.

-dipi-
 
Re: Budaya Menangkap Ikan Paus di Lamalera & Lamakera, NTT.

Lamalera Diberi Zona Khusus Berburu Paus

KUPANG, KOMPAS.com — Masyarakat Lamalera di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, diberi zona perairan khusus untuk melaut dan menangkap paus di perairan Laut Sawu. Secara perlahan mereka akan diberdayakan sehingga tidak selamanya menggantungkan hidup dengan menangkap paus.

Kemampuan memburu dan menangkap paus merupakan bagian dari budaya lokal berusia ratusan tahun sehingga tidak bisa dihapus total. Namun, kegiatan tersebut harus dibatasi agar tidak merugikan populasi paus biru yang mencari makan di perairan itu.

Direktur Konservasi serta Taman Nasional Laut Departemen Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan pada seminar rencana strategis pengelolaan Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Kupang, Senin (29/6), mengatakan, pengelolaan dan konservasi Laut Sawu butuh sumber daya manusia yang kuat.

Laut Sawu merupakan salah satu kawasan rute migrasi paus yang harus diamankan. Selain itu, di kawasan itu juga terdapat sejumlah biota laut yang perlu dilindungi. ”Kegiatan penangkapan paus oleh masyarakat Lamalera tak boleh dihilangkan begitu saja. Mereka harus diberi ruang khusus agar bisa melanjutkan praktik budaya itu,” kata Agus.

Penangkapan paus oleh warga Lamalera merupakan bagian dari budaya berusia ratusan tahun. Mereka tidak menangkap dalam jumlah besar dan mereka bisa membedakan paus masih kecil dan paus yang layak ditangkap.

Di sisi lain, mereka harus diberdayakan sehingga ke depan mereka tidak semata-mata bergantung pada zona khusus di perairan itu. Ruang gerak mereka di perairan sudah dibatasi, sementara jumlah penduduk terus bertambah dan kebutuhan ekonomi meningkat.

Harus ada alternatif untuk memberdayakan masyarakat, mengalihkan ketergantungannya dari perairan Laut Sawu ke daratan. Sejumlah sumber daya alam di daratan atau pesisir pantai dapat dikembangkan sebagai lahan hidup warga, tetapi butuh studi dan penyelidikan, selain kerja sama dengan penduduk lokal secara berkesinambungan.

Pemerintah mengirim 50 tenaga dari sejumlah provinsi guna studi di Australia dan China soal pengelolaan kelautan. Dari NTT ada tiga orang. Direktur Apex Internasional Benjamin Kahn mengatakan, ada 7-11 jenis paus yang melintasi rute migrasi di Laut Sawu, Banda, Ambon, dan Laut Pasifik. Jadi, tak benar bahwa paus biru di Laut Sawu punah karena penangkapan tradisional.

Sumber : KOMPAS.com


-dipi-
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top