Sejarah Bahasa Indonesia

Dipi76

New member
blog_bahasa_indonesia.jpg


Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.

Sejarah

Masa lalu sebagai bahasa Melayu

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Rumpun bahasa Austronesia adalah sebuah rumpun bahasa yang sangat luas penyebarannya di dunia. Dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur.

Austronesia mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin australis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nesos (jamak: nesia) yang berarti "pulau".

Jika bahasa Jawa di Suriname dimasukkan, maka cakupan geografi juga mencakup daerah tersebut. Studi juga menunjukkan adanya masyarakat penutur bahasa Melayu di pesisir Sri Langka.
Rumpun bahasa Sunda-Sulawesi (atau Hesperonia Dalam atau Malayo-Polinesia Barat Dalam) adalah cabang dari rumpun bahasa Austronesia yang di dalamnya termasuk bahasa-bahasa yang dituturkan di Sulawesi, Kepulauan Sunda Besar, dan beberapa bahasa daerah terluarnya seperti bahasa Chamoru dan bahasa Palau, seperti dikemukakan oleh Wouk dan Ross (2002).

Dalam penggolongan ini, kelompok lama Malayo-Polinesia Barat (MPB), atau Hesperonia, telah dibagi menjadi kelompok "dalam" (Sunda-Sulawesi) dan "luar" (Kalimantan-Filipina), dan Malayo-Polinesia Barat hanya dianggap sebagai istilah geografis
Lingua franca dari bahasa Latin yang artinya adalah "bahasa bangsa Frank" adalah sebuah istilah linguistik yang artinya adalah "bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda. Ayatrohaedi menerjemahkan istilah ini dengan istilah basantara, dari kata "basa" atau "bahasa" dan "antara".

Sebagai contoh adalah bahasa Melayu atau bahasa Indonesia di Asia Tenggara. Di kawasan ini bahasa ini dipergunakan tidak hanya oleh para penutur ibunya, namun oleh banyak penutur kedua sebagai bahasa pengantar.
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Jan Huyghen (atau Huijgen) van Linschoten (lahir di Haarlem, Belanda, 1563 - meninggal di Enkhuizen, 8 Februari 1611) adalah penjelajah, pedagang, penulis, dan sejarawan Belanda beragama Kristen Protestan.

Nama van Linschoten dikenal terutama dari dua tulisan perjalanannya yang dianggap sebagai kunci bagi ekspedisi Cornelis de Houtman ke Nusantara. Van Linschoten menyalin peta pelayaran milik Portugis yang sangat dirahasiakan, sehingga membuka jalan bagi penjelajah Inggris dan Belanda ke Kepulauan Rempah-rempah (Maluku/Nusantara). Akibatnya, pada abad ke-17 dominasi Portugis (berpangkalan di Malaka dan menguasai perdagangan di Maluku) di Nusantara melemah dan berdirilah kongsi dagang VOC (milik Belanda) di Batavia dan EIC (milik Inggris) di Bombay, India.
Alfred Russel Wallace O.M., F.R.S. (lahir 8 Januari 1823 – meninggal 7 November 1913 pada umur 90 tahun) dikenal sebagai seorang naturalis, penjelajah, pengembara, ahli antropologi dan ahli biologi dari Britania Raya. Ia terkenal sebagai orang yang mengusulkan sebuah teori tentang seleksi alam, dimana kemudian hari malah membuat Charles Darwin lebih terkenal dari dia dengan teorinya sendiri.

Ia banyak melakukan penelitian lapangan, dimana untuk pertama kalinya dilakukan di sungai Amazon di tahun 1846 saat ia masih berusia 23 tahun dan kemudian di Kepulauan Nusantara. Dia ketika itu mengoleksi aneka serangga dari ekspedisi Amazon. Kemudian koleksinya dia bawa pulang ke Eropa yang gandrung terhadap temuan baru dari belahan dunia lain. Koleksi serangga itu laku dijual dan modal itu menjadi titik awal penjelajahan Wallace di Nusantara. Pada perjalanan antara tahun 1848 hingga tahun 1854, Ia tiba di Singapura. Selama delapan tahun kemudian (1854 - 1862)ia menjelajah berbagai wilayah di Nusantara. Dari penjelajahan itu, ia membukukannya ke dalam sebuah catatan yang berjudul The Malay Archipelago. Selama ekspedisinya di Nusantara, diperkirakan dia telah menempuh jarak tidak kurang dari 22.500 kilometer, melakukan 60 atau 70 kali perjalanan terpisah, dan mengumpulkan 125.660 spesimen fauna meliputi 8.050 spesimen burung, 7.500 spesimen kerangka dan tulang aneka satwa, 310 spesimen mamalia, serta 100 spesimen reptil. Selebihnya, mencapai 109.700 spesimen serangga, termasuk kupu-kupu yang paling disukainya.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad adalah ulama, sejarawan, pujangga, dan terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.


Bersambung


Sumber:
www.Ohio.edu



-dipi-
 
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Ejaan Van Ophuijsen adalah jenis ejaan yang pernah digunakan untuk bahasa Indonesia. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda, antara lain:
  • huruf 'j' untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
  • huruf 'oe' untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
  • tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamaï.
Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa itu menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai tulisan Jawi.

Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, van Ophuijsen kemudian menerbitkan Maleische Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.


-dipi-
 
Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia


  • Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

  • Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
    Volksraad yang diambil dari bahasa Belanda dan secara harafiah berarti "Dewan Rakyat", adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia-Belanda. Dewan ini dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang diprakarsai oleh Gubernur-Jendral J.P. van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda; Thomas Bastiaan Pleyte.

    Pada awal berdirinya, Dewan ini memiliki 38 anggota, 15 di antaranya adalah orang pribumi. Anggota lainnya adalah orang Belanda (Eropa) dan orang timur asing: Tionghoa, Arab dan India. Pada akhir tahun 1920-an mayoritas anggotanya adalah kaum pribumi.
    Jahja Datoek Kajo (lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, 1 Agustus 1874 – meninggal 9 November 1942 pada umur 68 tahun) adalah seorang anggota Volksraad yang terkemuka. Jahja terpilih menjadi anggota Volksraad menggantikan Loetan Datoek Rangkajo Maharadjo pada tanggal 16 Mei 1927. Dia merupakan salah satu dari 25 orang anggota golongan bumiputera. Jahja mewakili Minangkabau untuk periode 1927-1931. Setelah pensiun tahun 1931, tahun 1935 dia terpilih kembali sebagai anggota Volksraad.

    Volksraad yang dibentuk pada akhir tahun 1917, sangatlah diskriminatif kepada anggota bumiputera. Diantaranya ialah pelarangan digunakannya Bahasa Melayu (setelah Sumpah Pemuda, dikenal sebagai Bahasa Indonesia) dalam sidang-sidang lembaga tersebut. Namun perkecualian tersebut diperoleh Jahja Datoek Kajo. Sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad, Jahja selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia. Dia berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Atas keberaniannya itu, koran-koran pribumi memberinya gelar "Jago Bahasa Indonesia di Volksraad".

  • Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.

  • Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.

  • Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.

  • Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.

  • Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

  • Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
    Ejaan Republik (edjaan repoeblik) adalah ketentuan ejaan dalam Bahasa Indonesia yang berlaku sejak 17 Maret 1947. Ejaan ini kemudian juga disebut dengan nama edjaan Soewandi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu. Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901.

    Perbedaan-perbedaan antara ejaan ini dengan ejaan Van Ophuijsen ialah:
    • huruf 'oe' menjadi 'u', seperti pada goeroe → guru.
    • bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan dengan (') ditulis dengan 'k', seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
    • kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an.
    • awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Kata depan 'di' pada contoh dirumah, disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan 'di-' pada dibeli, dimakan.

    Ejaan Soewandi ini berlaku sampai tahun 1972 lalu digantikan oleh Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pada masa menteri Mashuri Saleh. Pada masa jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada 23 Mei 1972 Mashuri mengesahkan penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan dalam bahasa Indonesia yang menggantikan Ejaan Soewandi. Sebagai menteri, Mashuri menandai pergantian ejaan itu dengan mencopot nama jalan yang melintas di depan kantor departemennya saat itu, dari Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.

  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.

  • Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

  • Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).

  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

  • Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.

  • Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.

  • Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.


Sumber:
Wikipedia



-dipi-
 
Back
Top