Sejarah Cina

Territories_of_Dynasties_in_China.gif


Sejarah Cina adalah salah satu sejarah kebudayaan tertua di dunia. Dari penemuan arkeologi dan antropologi, daerah Cina telah didiami oleh manusia purba sejak 1,7 juta tahun yang lalu. Peradaban Cina berawal dari berbagai negara kota di sepanjang lembah Sungai Kuning pada zaman Neolitikum. Sejarah tertulis Cina dimulai sejak Dinasti Shang (k. 1750 SM - 1045 SM). Cangkang kura-kura dengan tulisan Cina kuno yang berasal dari Dinasti Shang memiliki penanggalan radiokarbon hingga 1500 SM. Budaya, sastra, dan filsafat Cina berkembang pada zaman Dinasti Zhou (1045 SM hingga 256 SM) yang melanjutkan Dinasti Shang. Dinasti ini merupakan dinasti yang paling lama berkuasa dan pada zaman dinasti inilah tulisan Cina modern mulai berkembang.

Dinasti Zhou terpecah menjadi beberapa negara kota, yang menciptakan Periode Negara Perang. Pada tahun 221 SM, Qin Shi Huang menyatukan berbagai kerajaan ini dan mendirikan kekaisaran pertama Cina. Pergantian dinasti dalam sejarah Cina telah mengembangkan suatu sistem birokrasi yang memungkinkan Kaisar Cina memiliki kendali langsung terhadap wilayah yang luas.

Pandangan konvensional terhadap sejarah Cina adalah bahwa Cina merupakan suatu negara yang mengalami pergantian antara periode persatuan dan perpecahan politis yang kadang-kadang dikuasai oleh orang-orang asing, yang sebagian besar terasimiliasi ke dalam populasi Suku Han. Pengaruh budaya dan politik dari berbagai wilayah di Asia, yang dibawa oleh gelombang imigrasi, ekspansi, dan asimilasi yang bergantian, menyatu untuk membentuk budaya Cina modern.

Prasejarah

Paleolitik

Homo erectus telah mendiami daerah yang sekarang dikenal sebagai Cina sejak zaman Paleolitik, lebih dari satu juta tahun yang lalu. Kajian menunjukkan bahwa peralatan batu yang ditemukan di situs Xiaochangliang telah berumur 1,36 juta tahun. Situs arkeologi Xihoudu di provinsi Shanxi menunjukkan catatan paling awal penggunaan api oleh Homo erectus, yang berumur 1,27 juta tahun yang lalu. Ekskavasi di Yuanmou dan Lantian menunjukkan pemukiman yang lebih lampau. Spesimen Homo erectus paling terkenal yang ditemukan di Cina adalah Manusia Peking yang ditemukan pada tahun 1965.

Tiga pecahan tembikar yang berasal dari 16500 dan 19000 SM ditemukan di Gua Liyuzui di Liuzhou, provinsi Guangxi.

Neolitik

Zaman Neolitik di Cina dapat dilacak hingga 10.000 SM. Bukti-bukti awal pertanian milet memiliki penanggalan radiokarbon sekitar 7000 SM. Kebudayaan Peiligang di Xinzheng, Henan berhasil diekskavasi pada tahun 1977. Dengan berkembangnya pertanian, muncul peningkatan populasi, kemampuan menyimpan dan mendistribusikan hasil panen, serta pengerajin dan pengelola. Pada akhir Neolitikum, lembah Sungai Kuning mulai berkembang menjadi pusat kebudayaan dengan penemuan arkeologis signifikan ditemukan di Banpo, Xi'an. Sungai Kuning dinamakan demikian disebabkan terdapatnya debu sedimen (loess) yang bertumpuk di tepi sungai dan tanah sekitarnya, yang kemudian setelah terbenam di sungai menimbulkan warna yang kekuning-kuningan pada air sungai tersebut.

Sejarah awal Cina dibuat rumit oleh kurangnya tulisan pada periode ini dan dokumen-dokumen pada masa sesudahnya yang mencampurkan fakta dan fiksi pada zaman ini. Pada 7000 SM, penduduk Cina bercocok tanam milet, menumbuhkan kebudayaan Jiahu. Di Damaidi di Ningxia, ditemukan 3.172 lukisan gua berasal dari 6000-5000 SM yang mirip dengan karakter-karakter awal yang dikonfirmasi sebagai tulisan Cina. Kebudayaan Yangshao yang muncul belakangan dilanjutkan dengan kebudayaan Longshan pada sekitar 2500 SM.
Kebudayaan Peiligang adalah suatu nama yang diberikan para arkeolog untuk sekelompok masyarakat neolitik di Sungai Luo, Cina. Kebudayaan ini muncul pada 7000 SM hingga 5000 SM. Lebih dari 70 situs berhasil diidentifikasi termasuk kebudayaan Peiligang. Kebudayaan ini dinamai suatu situs yang ditemukan pada 197 di Peiligang, Xinzheng. Arkeolog berpendapat bahwa budaya Peiligang bersifat egaliter dengan sedikit pengaturan politik. Kebudayaan ini bercocok tanam milet serta beternak hewan babi. Kebudayaan ini juga merupakan kebudayaan tertua di Cina kuno yang membuat tembikar.
Kebudayaan Jiahu adalah situs suatu pemukiman neolitik di Sungai Kuning yang berpusat di dataran tengah Cina kuno, Provinsi Henan saat ini. Arkeolog menganggap situs ini merupakan salah satu contoh paling tua dari kebudayaan Peiligang. Didiami antara 7000 SM sampai 5800 SM, situs ini belakangan digenangi banjir dan ditinggalkan penduduknya. Pemukiman Jiahu dikelilingi suatu parit dan meliputi wilayah seluas 55.000 meter persegi. Ditemukan oleh Zhu Zhi pada 1962, ekskavasi besar-besaran situs ini tidak dilakukan hingga beberapa lama. Sebagian besar situs masih belum diekskavasi.
Kebudayaan Yangshao adalah suatu kebudayaan neolitik yang muncul di bagian tengah Sungai Kuning di Cina pada 5000 SM hingga 3000 SM. Kebudayaan ini dinamai dari nama Yangshao, desa ekskavasi pertama kebudayaan ini (1921), yang terletak di provinsi Henan. Kebudayaan ini berkembang terutama di provinsi Henan, Shaanxi dan Shanxi.
Kebudayaan Longshan adalah kebudayaan Neolitik akhir di Cina yang terpusat di bagian tengah dan hilir Sungai Kuning antara 3000 SM hingga 2000 SM. Kebudayaan ini dinamai menurut kota Longshan di bagian timur wilayah kota Jinan, Shandong, tempat penemuan arkeologis pertama (pada 1928) dan ekskavasi (pada 1930 dan 1931) dari kebudayaan ini dilakukan di Chengziya.


Bersambung


Source:
Wikipedia
http://www.badley.info/history/China.index.html


-dipi-
 
Zaman kuno

Dinasti Xia (2100 SM-1600 SM)

Dinasti Xià (Indonesia: Sia) merupakan dinasti pertama yang tercatat dalam buku sejarah Cina. Catatan sejarah paling awal ditemukan dalam buku sejarah Shàngshū yang mengatakan bahwa Dinasti Xià memiliki puluhan ribu negara upeti, sehingga secara umum menganggap Dinasti Xià adalah sebuah negara yang terbentuk dari gabungan berbagai suku bangsa, dan para sejarawan dari aliran ajaran Marxisme di Cina daratan menetapkan Dinasti Xià sebagai sebuah negara budak.

Menurut catatan buku sejarah, Dinasti Xià adalah negara yang didirikan oleh putra dari Yǔ yaitu Qǐ. Yǔ mewariskan singgasana kepada anaknya Qǐ, yang menganti cara terdahulu, Chánràngzhìdù (mewariskan singgasana kepada orang bijaksana atau yang berkemampuan - Bahasa Inggris en:Elective Law) menjadi Shìxízhì (mewariskan singgasana dari ayah kepada anak atau kepada orang yang mempunyai hubungan darah atau keluarga dekat. Dinasti Xià secara keseluruhan diwariskan sebanyak 13 generasi, 16 raja (atau 14 generasi, 17 raja, tergantung perbedaan pendapat tentang Yǔ dianggap sebagai raja Dinasti Xià atau pemimpin gabungan suku), sekitar 400 tahun, yang kemudian dimusnahkan oleh Dinasti Shang.

Xià dalam Literatur

Menurut cataran literatur kuno Cina, sebelum berdirinya Dinasti Xià, sering terjadi perang untuk memperebutkan kekuasaan sebagai pemimpin dari gabungan suku antara suku Xià dengan suku-suku di sekitarnya. Suku Xià mulai berkembang sekitar zaman Kaisar Zhuanxu pada zaman legenda Cina kuno. Banyak catatan literatur Cina kuno mencatat keberadaan suku Xià pada masa Kaisar Zhuānxù. Di antaranya Shiji, Xiàběnjì dan Dàdàilǐjì Dìxì mengatakan Yǔ adalah cucu dari Zhuānxù, tetapi ada catatan literatur lain yang mengatakan Yǔ adalah cucu generasi ke-5 dari Zhuānxù. Dari catatan-catatan literatur tersebut menunjukkan bahwa suku Xià kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Zhuānxù.

Gǔn

Dalam catatan literatur Cina kuno, Gǔn adalah salah satu tokoh suku Xià yang paling awal terdapat catatannya. Dalam Guóyǔ Zhōuyǔ diceritakan bahwa Gǔn sebagai pemimpin dari suku Xià dianugerahkan daerah Chóng, dan digelar sebagai Chóngbó Gǔn. Kemudian Yǔ mengantikan Gǔn sebagai Chóngbó Yǔ. Ini membuktikan bahwa suku Xià awalnya aktif di sekitar daerah Chóng.

Pada waktu itu Huánghé (Sungai Kuning) meluap. Untuk menghadapi banjir, banyak suku membentuk gabungan suku untuk menghadapi banjir, dan Gǔn dipilih oleh Sìyuè (Empat Prefektur) menjadi pemimpin dari pekerjaan mengendalikan banjir tersebut. Gǔn mengendalikan banjir selama 9 tahun tetapi akhirnya dinyatakan gagal. Penyebab dari kegagalan Gǔn kemungkinan besar karena dia kurang mampu mempersatukan orang dari berbagai suku. Menurut catatan Shàngshū Yáodiǎn, pada mulanya Yao oleh karena sifat Gǔn yang suka saling menyalahkan dan membeda-bedakan suku, tidak setuju mengangkat Gǔn sebagai pemimpin dari pekerjaan mengendalikan banjir. Diduga bahwa pada waktu Gǔn menjabat sebagai pemimpin dari pekerjaan pengendalian banjir, sudah banyak suku yang tidak puas dengannya.

Dalam Shàngshū Hóngfàn dan Guóyǔ Lǔyǔ terdapat catatan tentang Gǔnzhànghóngshuǐ, yang menceritakan bahwa cara Gǔn mengendalikan banjir adalah dengan menggunakan tanah dan kayu untuk membendung air, yang akhirnya gagal, dan ini juga mungkin merupakan salah satu dari kegagalan Gǔn dalam mengendalikan banjir selama 9 tahun. Pada akhirnya, setelah Gǔn gagal dalam mengendalikan banjir, dia dihukum mati di Yǔshān (Gunung Yu).

Yu

Yǔ adalah putra dari Gǔn. Yǔ bukan hanya tidak menunjukkan rasa dendam, malahan tetap menghormati Shun, dan mendapatkan kepercayaan dari Shùn. Shùn menyerahkan tugas mengendalikan banjir kepada Yǔ. Yǔ memperbaiki cara ayahnya mengendalikan banjir, secara besar mempersatukan orang dari berbagai suku, sehingga akhirnya berhasil mengendalikan banjir. Dalam catatan Shǐjì Xiàběnjì tercatat waktu Yǔ mengendalikan banjir, bekerja keras, tiga kali melewati pintu rumahnya tetapi tidak pernah masuk – dengan alasan reuni dengan keluarga akan menghabiskan banyak waktu dan pikiran dari tugasnya mengendalikan banjir. Kegigihan dan ketekunannya dalam melaksanakan tugas mendapat penghargaan dari banyak kalangan, dan ini mungkin juga merupakan salah satu faktor dari bersatu berbagai suku.

Oleh karena Yǔ berhasil mengendalikan banjir dan mengembangkan pertanian, sehingga kekuatan suku Xià menjadi kuat, menjadi pemimpin dari gabungan berbagai suku. Kemudian Shùn mengutus Yǔ untuk menyerang suku Sānmiáo. Yǔ mengusir suku Sānmiáo kedaerah perairan Dānjiāng dan Hànshuǐ, berhasil mengkokohkan kekuatan kerajaan. Dalam Mòzǐ Fēigōng diceritakan bahwa setelah Yǔ berhasil menaklukkan suku Sānmiáo, suku Xià sudah menjadi suku yang sangat penting diperairan Huánghé pada waktu itu. Shùn mewariskan singgasana kepada Yǔ, Yǔ pernah mengadakan pertemuan persekutuan antar suku di Túshān (Gunung Du), dan sekali lagi menyerang suku Sānmiáo (pada waktu itu suku di Zhōngyuán (pusat daratan Cina) sering berperang dengan suku Sānmiáo).

Dalam Zuǒzhuàn (walau mungkin terlalu dibesar-besarkan) dikatakan terdapat puluhan ribu negara upeti menghadiri pertemuan persekutuan di Túshān, dengan demikian boleh diperkirakan betapa besarnya pengaruh suku Xià pada waktu itu. Pada suatu pertemuan antar suku di Huìjī, pemimpin suku Fángfēngshì, waktu pertemuan datang terlambat dan dihukum mati oleh Yǔ. Ini membuktikan bahwa suku Xià pada awal pengukuhan kekuasaannya telah muncul sifat monarki atas kekuasaan. Menyusul dengan semakin kuatnya kekuasaan gabungan suku bangsa dengan suku Xià yang merupakan keturunan dari suku Húangdì sebagai inti kekuatan, hubungan ekonomi berbagai daerah juga semakin kuat. Dalam catatan sejarah kuno sering terdapat catatan tentang Yǔ menentukan pembayaran upeti sesuai dengan jarak negara-negara upetinya, ini juga membuktikan pengendalian ekonomi suku Xià terhadap suku-suku lain disekitarnya.

Dalam catatan literatur kuno juga sering diceritakan nafsu Yǔ atas kekuasaan pada usia tuanya. Walaupun Yǔ ingin mempertahankan kekuasaan pemerintahan dalam suku Xià sendiri, tetapi tetap harus mempertimbangkan tradisi Chánràng, sehingga ia menerapkan suatu siasat yang efektif. Yǔ pada mulanya mengangkat Gāotáo dari suku Yǒuyǎnshì yang memiliki reputasi tinggi sebagai ahli warisnya, guna menunjukkan penghargaan Yǔ terhadap tradisi Chánràng. Tetapi Gāotáo lebih tua dari Yǔ, sehingga belum sempat mewarisi singgasana sudah meninggal. Kemudian Yǔ memilih Yì dari suku Dōngyí yang tidak begitu berpengaruh menjadi ahli waris. Pada waktu itu banyak suku yang tidak mendukung Yì, dan malahan mendukung putra dari Yǔ, Qǐ. Yǔ berharap jika kelak Yì tidak mendapat dukungan dari masyarakat, maka akan mewariskan singgasana kepada putranya Qǐ.

Qi

Setelah Yǔ meninggal, Yì sama sekali tidak mendapatkan kedudukannya, malahan dengan dukungan masyarakat, Qǐ mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin (tetapi menurut Zhúshūjìnián, Yì sebenarnya sempat naik takhta, namun kemudian Qǐ membunuh Yì dan merebut kekuasaan). Sehingga Yì memimpin pasukan gabungan dengan suku Dōngyí menyerang Qǐ. Setelah melalui perang selama beberapa tahun, akhirnya Yì dibunuh oleh Qǐ, sehingga Qǐ berhasil naik takhta sebagai raja. Dan ini oleh kebanyakkan sejarawan dianggap sebagai awal dari dinasti pertama di Cina yang menerapkan cara Shìxízhì (Putra tertua merupakan ahli waris Kekan) - Dinasti Xià. Kemudian juga terdapat banyak suku yang masih menganut cara Chánràng (bawahan terkuat menjadi penerus kekuasaan) tidak puas dengan kekuasaan Qǐ. Pemimpin dari suku Yǒuhùshì yang tinggal disekitar daerah sekarang Guānzhōng provinsi Shǎnxī, memimpin pasukan gabungannya menyerang Qǐ, dan di daerah Gān (sekarang selatan dari Hùxiàn provinsi Shaanxi) melakukan pertempuran sengit. Sebelum perang, Qǐ menyebut kedudukan kekuasaannya sebagai Gōngxíngtiān (melaksanakan mandat langit), yang juga merupakan dasar dari terbentuknnya Tiānzǐlùn (teori putra langit). Qǐ memiliki dukungan dari masyarakat di Zhōngyuán, dalam hal jumlah pasukan jauh lebih unggul, sehingga akhirnya berhasil mengalahkan Yǒuhùshì. Kemenangan kedua dari Qǐ membuktikan bahwa prinsip dalam masyarakat di Zhōngyuán telah berubah dari tradisi Chánràngzhì menjadi Shìxízhì.

Suku Xià pada mulanya bermarga Sì, tetapi mulai dari Qǐ dirubah menjadi Xià sesuai dengan nama kerajaannya. Dan pada waktu yang bersamaan, Qǐ tidak lagi menggunakan Bó sebagai gelar kebesaran dan diganti menjadi Hòu, dengan gelar Xiàhòu Qǐ.

Selama masa pemerintahan Qǐ, putranya Wǔguān sering melakukan pemberontakan. Hánfēizǐ Shuōyí mengatakan Wǔguān adalah seorang yang Hàiguóshāngmínbàifǎ (merugikan negara, menyakiti rakyat, merusak hukum), sehingga akhirnya dibunuh. Selain kekacauan dalam suku Xià sendiri, guna untuk memperkuat kekuasaan gabungan antar suku bangsa disekitarnya, suku Xià juga sering melakukan peperangan dengan suku Dōngyí.

Tàikāng Kehilangan Kerajaan

Setelah Qǐ meninggal, putranya Tàikāng meneruskan singgasana. Tàikāng hanya tahu hidup foya-foya, tidak mengurusi pemerintahan, selama masa pemerintahannya, kekuatan suku Xià menjadi lemah, sehingga suku Tàihào dan Shǎohào dari Dōngyí mengambil kesempatan menyerang ke barat. Pemimpin suku Dōngyí merupakan seorang jagoan memanah yang bernama Yì. Dalam catatan Lǚshìchūnqiū Wùgōng menganggap bahwa busur panah adalah diciptakan oleh Yì. Yì memimpin pasukan Dōngyí pindah kedaerah milik Yǒuxiàshì, Qióngshí (sekarang selatan Luoyang, provinsi Hénán), dan melakukan perkawinan dengan orang setempat, menjalin hubungan yang baik, dan membentuk suku Yǒuqióngshì. Yì dengan dukungan dari rakyat Xià berhasil mendapatkan kekuasaan atas pemerintahan Dinasti Xià. Sedangkan Tàikāng melarikan diri kebawah naungan Zhēnxúnshì.

Yì setelah mendapat kekuasaan tidak mengangkat diri sendiri sebagai raja, tetapi mengangkat adik dari Tàikāng, Zhòngkāng sebagai raja. Tetapi sebenarnya seluruh kekuasaan dan keputusan berada ditangan Yì. Hal ini menimbulkan rasa tidak puas dari banyak suku lainnya. Diantaranya Yǒuhéshì dan Yǒuxīshì yang bertanggung jawab atas astronomi secara terang-terangan menentang. Yì dengan alasan merusak tata astronomi dan sia-sia pada jabatannya, mengerahkan pasukan menyerang mereka dan mendapatkan kemenangan.

Setelah Zhòngkāng meninggal, anaknya Xiàng mengantikannya. Tidak lama kemudian Xiàng lari kebawah naungan Zhēnxúnshì dan Zhēnguànshì yang mendukung Dinasti Xià. Akhirnya Yì menjadi penguasa tunggal Dinasti Xià. Tetapi setelah mendapat kekuasaan, Yì sama seperti dengan Tàikāng, tidak lagi mengurusi urusan negara, setiap hari pergi berburu. Ia memecat menteri-menteri setia seperti Wǔluó , Bókùn, Lóngyǔ, dan malahan memakai Hánzhuó yang diusir dari suku Bómíngshì. Hánzhuó mengumpulkan komplotannya, sehingga kekuasaannya semakin besar. Sampai suatu hari, ia mengambil kesempatan waktu Yì pergi berburu, membunuh Yì dan seluruh keluarganya. Setelah merampas kekuasaan dari Yì.

Hánzhuó menganugerahkan daerah Gē kepada putranya Yì, dan menganugerahkan daerah Liáo kepada putranya yang lain, Jiāo. Jiāo memimpin pasukannya memusnahkan Zhēnxúnshì dan Zhēnguànshì yang mendukung Dinasti Xià, membunuh Xiàng yang bersembunyi di Zhēnxún. Istri Xiang, Mín pada waktu itu telah hamil, dari lubang tembok, ia berhasil melarikan diri dari serangan Jiāo, dan bersembunyi di rumah ibunya di suku Yǒuréngshì, dan tidak lama kemudian melahirkan Shǎokāng (Tàikāng, Zhòngkāng, dan Shǎokāng sama bernama Kāng, agar tidak membingungkan, mulai ditambahkan tanda generasi - yaitu nama tengah - di depan namanya).

Masa kejayaan Shǎokāng

Shǎokāng setelah dewasa, bekerja sebagai pengurus peternakan suku Yǒuréngshì, akibatnya ketahuan oleh Jiāo tempat keberadaannya. Jiāo mengutus orang ke suku Yǒuréngshì untuk membunuhnya, Shǎokāng terpaksa lari dan bersembunyi di suku Yǒuyúshì (keturunan dari Shùn). Pemimpin dari Yǒuyúshì pada waktu itu tidak ada anak laki-laki, hanya ada dua anak perempuan, sehingga sangat sayang kepada Shǎokāng. Ia menghadiahkan daerah Lúnyì kepada Shǎokāng, sehingga Shǎokāng dapat memakai Lúnyì sebagai markasnya, membentuk pasukannya sendiri. Ia mulai mengumpulkan sisa-sisa pasukan Dinasti Xià, dan membagikan tugas masing-masing.

Ia menempatkan mata-mata di pasukan Jiāo, untuk persiapan merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià. Pada saat itu, bekas menteri Dinasti Xià, Mǐ yang bersembunyi di suku Yǒugéshì - setelah mendengar kabar bahwa Shǎokāng ingin merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià - memimpin sisa pasukan suku Zhēnguànshì dan Zhēnxúnshì bergabung dengan Shǎokāng dan mengalahkan pengkhianat Hánzhuó lalu mengangkat Shǎokāng sebagai raja Dinasti Xià. Shǎokāng juga berhasil memusnahkan Jiāo (putra Hánzhuó) di daerah Guò, dan mengutus putranya Zhù memusnahkan Yì (kakak Jiāo) di daerah Gē, sehingga suku Yǒuqióngshì dari kaum Dōngyí yang menguasai Zhōngyuán sebanyak 3 generasi dan ratusan tahun akhirnya musnah.

Shǎokāng berhasil merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià, yang dalam sejarah disebut sebagai Shǎokāngzhōngxìng (masa kejayaan Shǎokāng). Dari Tàikāng kehilangan kekuasaan sampai Shǎokāngzhōngxìng menunjukkan keberhasilan suku Huáxià menaklukkan suku-suku disekitar Zhōngyuán (terutama suku Dōngyí).

Pertengahan Periode

Putra Shǎokāng, Zhù mengantikan kedudukan raja. Ia mengerti ketidak puasan suku Yí di timur terhadap Dinasti Xià, untuk memperkokoh kekuasaan di timur, ia memindahkan ibukota dari Yuán (sekarang Jǐyuán, provinsi Hénán) ke Lǎoqiū (sekarang utara dari Kāifēngxiàn, provinsi Hénán). Ia berkonsentrasi mengembangkan peralatan perang dan perlengkapan prajurit. Ia juga mengutus orang untuk menyerang suku Yí di daerah pesisir pantai timur (sekarang bagian barat provinsi Shāndōng, bagian timur provinsi Ānhuī dan sekitar provinsi Jiāngsū).

Pada waktu itu, ia juga mendapatkan barang keramat, Jiǔwěihú (serigala sembilan ekor - Jepang: Bijuu). Wilayah Dinasti Xià juga pada masa pemerintahan Zhù meluas sampai kedaerah pesisir Dōnghǎi (sekarang Huánghǎi). Selama masa pemerintahan Zhù, boleh dikatakan merupakan masa paling makmur dan maju dari Dinasti Xià. Orang Xià juga sangat menghargai dan menghormati Zhù. Menurut catatan Guóyǔ Lǔyǔ menganggap Zhù secara keseluruhan mewarisi karier dari Yǔ.

Pada masa pemerintahan putra dari Zhù, Huái, suku Dōngyí dan suku Huáxià hidup dalam damai. Sembilan suku Yí (Jiǔyí): Quǎnyí, Yúyí, Fāngyí, Huángyí, Báiyí, Chìyí, Xuányí, Fēngyí, dan Yángyí yang tinggal di daerah perairan Huáihé (Sungai Huai) dan Sìshuǐ sering datang menyembah dan menyerahkan upeti. Setelah Huái meninggal, digantikan oleh putranya Máng. Setelah Máng meninggal, digantikan oleh putranya Xiè. Selama periode ini, hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià terus berkembang.

Pada masa pemerintahan Xiè, suku Dōngyí pada umumnya sudah membaur dengan suku Huáxià, maka ia mengalihkan perhatiannya ke barat. Dan pada waktu itu, ia mulai melakukan anugerah tempat dan gelar kepada negara-negara upeti. Dan ini merupakan permulaan dari Zhūhóuzhì (sistem feodal) Cina beberapa abad kemudian. Setelah Xiè meninggal, putranya Bùjiàng mengantikan. Bùjiàng sempat beberapa kali memimpin pasukannya menyerang Jiǔyuàn di barat.

Akhir Periode

Setelah Bùjiàng meninggal, adiknya Jiōng mengantikannya. Setelah Jiōng meninggal, putranya Jìn mengantikannya. Jìn naik takhta tidak lama, meninggal karena sakit, kemenakannya, putra dari Bùjiàng, Kǒngjiǎ yang naik takhta. Ia merubah tradisi Dinasti Xià yang sembahyang terhadap leluhur, mulai menitik-beratkan sembahyang kepada langit. Dalam Shǐjì Xiàběnjì dikatakan Kǒngjiǎ adalah seorang yang Hàofāngguǐshén (suka meniru dewa dan hantu), Shìyínluàn (urusan negara menjadi kacau). Banyak suku dan negara upeti mulai tidak puas dengan pemerintahan Dinasti Xià, tetapi hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià masih baik. Ini mungkin karena pembauran antara suku Dōngyí dan suku Huáxià udah sangat tinggi.

Setelah Kǒngjiǎ meninggal, digantikan oleh putranya Gāo. Setelah Gāo meninggal, digantikan oleh putranya Fā. Pada periode ini, hubungan antara Dinasti Xià dengan suku dan negara upetinya memburuk, keributan dalam istana kerajaan juga semakin parah. Mulai dari masa pemerintahan Kǒngjiǎ sampai Lǚgǔi (Xià Jié), gejolak dalam kerajaan sendiri tidak pernah berhenti.

Jie

Setelah Fā meninggal, putranya Jié mengantikannya. Selama masa pemerintahan Jié, hubungan antara suku dan negara upeti dengan Dinasti Xià sudah retak. Suku dan negara yang membayar upeti kepada Dinasti Xià semakin berkurang sehingga Jié sering menyerang suku dan negara upeti yang tidak taat kepada Dinasti Xià. Dalam catatan literatur kuno dikatakan bahwa Jié sangat hidung belang, setiap kali setelah mengalahkan suatu suku, pasti memilih perempuan dari suku tersebut yang ia sukai, kemudian dibawa pulang ke istana untuk dijadikan selir. Guóyǔ Jínyǔ mencatatkan suku Yǒushīshì, Zhúshūjìnián mencatatkan suku Mínshānshì dan Mòxǐshì, semua pernah mengalami nasib yang sama. Di antaranya selir dari Mòxǐshì terlebih dahulu sudah terikat perkawinan dengan Yīyǐn, tetapi dirampas oleh Jié di Luó, sehingga Yīyǐn dalam amarahnya pergi bergabung dengan Shāng Tāng.

Serangan-serangan yang dilakukan oleh Jié juga membuat marah beberapa suku yang cukup kuat dan berpengaruh. Suku Yǒumínshì (keturunan Shùn) oleh karena tidak menuruti kemauan Jié sehingga dimusnahkan. Suku Shāng bermarga Zǐ yang aktif di daerah barat daya provinsi Shāndōng, pada waktu Dinasti Xià yang sedang mengalami kekacauan mulai berkembang dan maju. Jié juga dengan alasan suku Shāng tidak patuh, menyerang dan mengalahkan pemimpin suku Shāng yang bernama Tāng. Tāng dipenjarakan di Xiàtái (ada yang mengatakan Diàotái), kemudian dilepas. Selain hubungan luar Dinasti Xià yang semakin memburuk, dalam catatan literatur juga diceritakan Jié salah memakai orang dalam pemerintahannya.

Jié hanya tahu berfoya-foya untuk diri sendiri, tidak mempedulikan penderitaan rakyat. Sekitar akhir abad ke 17 SM, pemimpin dari suku Shāng, Tāng memimpin pasukan gabungan dari berbagai suku dan negara upeti menyerang Jié dan memusnahkan suku-suku yang membela Dinasti Xià: Wéi, Gù, Kūn, Wú, dan terakhir di Cānghuáng berperang dengan Jié. Kekuatan Tāng sangat besar, Jié tidak sanggup bertahan sambil melarikan diri dan berperang.

Akhirnya ia akalah di daerah suku Yǒusōngshì. Jié lari ke Míngtiáo (sekarang pertengahan provinsi Hénán - versi lain mengatakan sekarang merupakan Ānyi, provinsi Shanxi) dan dikejar oleh Tāng. Perang besar-besaran terjadi di Míngtiáo. Sekali lagi Jié mengalami kekalahan, dan diasingkan oleh Tāng ke Lìshān - Gunung Li (ada yang mengatakan Géshān - Gunung Ke), tinggal bersama Mòxǐshì. Akhirnya Jié melarikan diri ke Náncháo(sekarang Cháoxiàn, provinsi Anhui) dan meninggal di sana.

Setelah Pertempuran Míngtiáo, Dinasti Xià digulingkan, dan atas dukungan dari suku-suku dan negara upeti, di Háo mengelar diri sebagai Wáng (raja). Dinasti pertama dalam sejarah Cina dengan kekuasaan Shìxízhì, Dinasti Xià, yang diwariskan sebanyak 13 generasi (buku sejarah Shìběn mencatat 12 generasi), 16 raja, selama 471 tahun (menurut Zhúshūjìnián), pada akhir abad ke-17 SM, awal abad ke-16 SM musnah.

Keturunan

Setelah Dinasti Xià musnah, sisa keturunannya masih bermukim di Zhōngyuán. Ada dua kelompok masing-masing pindah ke selatan dan utara. Jié membawa banyak keturunan Dinasti Xià dari Lìshān pindah ke Náncháo di selatan, ini adalah kelompok selatan. Kelompok utara masuk ke dataran Mongol, dan berbaur dengan masyarakat setempat, dan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan suku Xiōngnú.

Dalam Shǐjì Xiōngnúlièzhuàn tercatat "Xiōngnú, leluhurnya adalah keturunan dari raja Xià (yaitu Yǒuxiàshì)". Kuòdìpǔ secara lebih jelas menyatakan "Putranya (yang dimaksud putra dari Jié), Xūnzhōu (atau Xūnyù) mengawini selir dari Jié, pindah ke padang luar di utara, hidup beternak dan berpindah-pindah (yang dimaksud adalah kaum suku pengembala di padang rumput utara) yang oleh orang Cina disebut sebagai Xiōngnú".

Wilayah kekuasaan

Wilayah kekuasaan Dinasti Xià dari barat mulai dari barat provinsi Hénán dan selatan provinsi Shānxī; timur sampai perbatasan tiga provinsi Hénán, Shandong dan Héběi; selatan mulai dari provinsi Húběi, utara sampai provinsi Héběi. Pada waktu itu kekuasaan Dinasti Xià merambah sampai bagian selatan dan utara Huánghé (Sungai Huang), sampai perairan Chángjiāng (Sungai Jang). Ibukota Dinasti Xià antara lain: Yángchéng (sekarang timur dari Dēngfēng, provinsi Henan), Zhuóxín (sekarang barat laut Dēngfēng, provinsi Hénán), Ānyi (sekarang barat laut Xiàxiàn, provinsi Shānxī).

Struktur negara Dinasti Xià adalah berasal dari gabungan suku, dengan ciri-ciri seperti:
  1. Wilayah yang diperintah langsung oleh negara adalah wilayah dalam suku sendiri. Di luar wilayah suku Xià sendiri, pemimpin dari suku lain diatas wilayah sendiri, memiliki kekuasaan pemerintahan yang mandiri; terhadap raja Dinasti Xià, mereka hanya bernaung di bawah kerajaan dan membayar upeti, sebagai tanda saling menghormati.
  2. Dalam struktur kekuasaan dan pemerintahan, ada dua cara, yaitu monarki dan demokrasi, dimana struktur pemerintahan negara mengutamakan demokrasi suku dari pada monarki raja.


Bersambung


-dipi-
 
Dinasti Shang (1600 SM-1046 SM)


Dinasti Shang menurut sumber tradisional adalah dinasti pertama Cina. Menurut kronologi berdasarkan perhitungan Liu Xin, dinasti ini berkuasa antara 1766 SM dan 1122 SM, sedangkan menurut Sejarah Bambu adalah antara 1556 SM dan 1046 SM. Hasil dari Proyek Kronologi Xia Shang Zhou pemerintah Republik Rakyat Cina pada tahun 1996 menyimpulkan bahwa dinasti ini memerintah antara 1600 SM sampai 1046 SM. Informasi langsung tentang dinasti ini berasal dari inskripsi pada artefak perunggu dan tulang orakel, serta dari Catatan Sejarah Agung (Shiji) karya Sima Qian.

Temuan arkeologi memberikan bukti keberadaan Dinasti Shang sekitar 1600-1046 SM, yang terbagi menjadi dua periode. Bukti keberadaan Dinasti Shang periode awal (1600-1300 SM) berasal dari penemuan-penemuan di Erlitou, Zhengzhou dan Shangcheng. Sedangkan bukti keberadaan Dinasti Shang periode kedua (1300–1046 SM) atau periode Yin, berasal dari kumpulan besar tulisan pada tulang orakel. Para arkeolog mengkonfirmasikan bahwa kota Anyang di provinsi Henan adalah ibukota terakhir Dinasti Shang, dari sembilan ibukota lainnya. Dinasti Shang diperintah 31 orang raja, sejak Raja Tang sampai dengan Raja Zhou sebagai raja terakhir. Masyarakat Cina masa ini mempercayai banyak dewa, antara lain dewa-dewa cuaca dan langit, serta dewa tertinggi yang dinamakan Shang-Ti. Mereka juga percaya bahwa nenek moyang mereka, termasuk orang tua dan kakek-nenek mereka, setelah meninggal akan menjadi seperti dewa pula dan layak disembah. Sekitar tahun 1500 SM, orang Cina mulai menggunakan tulang orakel untuk memprediksi masa depan.

Para ilmuwan Barat cenderung ragu-ragu untuk menghubungkan berbagai permukiman yang sezaman dengan pemukiman Anyang sebagai bagian dari dinasti Shang. Hipotesa terkuat ialah telah terjadinya ko-eksistensi antara Anyang yang diperintah oleh Dinasti Shang, dengan pemukiman-pemukiman berbudaya lain di wilayah yang sekarang dikenal sebagai "Cina sebenarnya" (China proper).
Sejarah Bambu adalah suatu kronik tentang Cina kuno yang terdiri dari 13 bagian. Riwayatnya dimulai pada waktu legenda tertua (Huangdi, 2497 SM-2398 SM) hingga Periode Negara Perang (abad ke-5 SM sampai 221 SM), terutama sejarah negara Wei. Teks aslinya dikubur bersama raja Wei (meninggal 296 SM) dan ditemukan kembali pada tahun 281. Karenanya, kronik ini berhasil selamat dari pembakaran buku besar-besaran oleh Kaisar Qin Shi Huang.

Sejarah Bambu adalah salah satu dari tiga naskah kuno paling penting mengenai Cina awal, selain Zou Zhuan dan Shiji. Namun, keaslian versi yang ada saat ini telah dipertanyakan sehingga beberapa sejarawan tidak mau menerjemahkannya.
Catatan Sejarah Agung adalah buku sejarah terlengkap pertama tentang peradaban Tiongkok selama 3000 tahun mulai dari zaman Kaisar Kuning sampai dengan masa Dinasti Han Barat. Buku sejarah ini ditulis oleh Sima Qian yang dianggap sebagai sejarahwan termasyhur di dalam sejarah Tiongkok. Ia menghabiskan waktu 18 tahun untuk menyelesaikan karyanya ini mulai dari tahun 109 SM sampai 91 SM.


Bersambung



-dipi-
 
Dinasti Zhou (1046 SM–256 SM)


Dinasti Zhou (1066 SM - 221 SM) adalah dinasti terakhir sebelum Cina resmi disatukan di bawah Dinasti Qin. Dinasti Zhou adalah dinasti yang bertahan paling lama dibandingkan dengan dinasti lainnya dalam sejarah Cina, dan penggunaan besi mulai diperkenalkan di Cina mulai zaman ini.

Sejarah

Mandat langit

Sesuai tradisi feodal Cina, para penguasa Zhou mengantikan Dinasti Shang (Yin) dan mengesahkan aturan yang menetapkan mereka sebagai mandat langit, dimana para penguasa memerintah atas mandat dari langit. Bila mandat dari langit dicabut, rakyat berhak menggulingkan penguasa tadi. Perintah langit ditetapkan oleh asumsi nenek moyang Zhou, Tian-Huang-Shangdi, berada di atas nenek moyang Shang, Shangdi. Doktrin ini menjelaskan dan membenarkan kekalahan Dinasti Xia dan Shang, dan pada waktu yang sama mendukung hak kekuasaan para penguasa sekarang dan masa depan.

Bangsawan keluarga Ji

Dinasti Zhou didirikan oleh keluarga Ji beribukota di Hao (sekarang di sekitar Xi'an), meneruskan corak budaya dan bahasa dari dinasti sebelumnya, ekspansi Zhou pada awalnya adalah melalui penaklukan. Secara berangsur-angsur Zhou memperluas budaya Shang sampai ke wilayah utara Sungai Panjang.

Pada awalnya keluarga Ji mengendalikan negara Zhou secara terpusat. Di tahun 771 SM, setelah Raja You menggantikan ratunya dengan Selir Baosi, ibukota diserang oleh kekuatan gabungan dari ayah ratu, pangeran Shen yang bersekutu dengan suku-suku asing. Kemudian, putra sang ratu, Ji Yijiu dinaikkan menduduki tahta sebagai raja baru oleh para bangsawan dari negara Zheng, Lü, Qin dan pangeran Shen. Ibukota negara kemudian terpaksa dipindahkan ke sebelah timur di tahun 722 SM, tepatnya ke Luoyang di propinsi Henan sekarang.

Pembagian Dinasti Zhou Barat dan Zhou Timur

Oleh karena pemindahan ibukota ini, para sejarahwan kemudian membagi Dinasti Zhou menjadi Dinasti Zhou Barat dari akhir abad ke-10 SM sampai dengan tahun 771 SM, serta Dinasti Zhou Timur dari tahun 770 SM sampai dengan tahun 221 SM. Tahun permulaan Zhou Barat tetap masih dalam perdebatan, antara – tahun 1122 SM, tahun 1027 SM atau tahun lain dalam ratusan tahun dari akhir abad ke-12 SM. Pada umumnya, sejarawan Cina menetapkan tahun 841 SM sebagai tahun awal mula dari tahun pemerintahan Dinasti Zhou dalam sejarah Cina.

Dan berdasarkan sejarahwan Cina terkenal, Sima Qian di dalam karya tulisnya Catatan Sejarah Agung, Zhou Timur dibagi lagi dalam dua zaman yaitu Zaman Musim Semi dan Gugur dan Zaman Negara-negara Berperang.

Kemunduran

Setelah perpecahan di pusat kekuasaan, pemerintah Zhou makin lemah dalam menjalankan pemerintahan. Setelah Raja Ping, raja-raja Zhou yang kemudian berkuasa tidak memiliki kekuasaan yang nyata karena kekuasaan sebenarnya ada di tangan para bangsawan yang kuat. Mendekati penghujung Dinasti Zhou, para bangsawan tidak meletakkan lagi eksistensi keluarga Ji sebagai simbol pemersatu kerajaan dan masing-masing mengangkat diri mereka sendiri sebagai raja. Dinasti Zhou pecah menjadi beberapa negara kecil-kecil yang bertempur satu sama lainnya. Zaman ini kemudian terkenal sebagai Zaman Negara-negara Berperang, di mana kemudian diakhiri dengan penyatuan Cina di bawah Dinasti Qin.

Pertanian

Pertanian di Dinasti Zhou sangat intensif dan dalam banyak kesempatan diarahkan langsung oleh pemerintah. Semua tanah pertanian dimiliki oleh para bangsawan, yang kemudian memberikan tanah mereka kepada budak mereka. Sebagai contoh, suatu lahan dibagi menjadi sembilan bujur sangkar dalam ukuran jing, dengan hasil gandum dari pertengahan bujur sangkar diambil oleh pemerintah dan sisanya disimpan oleh petani. Dengan cara ini, pemerintah bisa menyimpan surplus makanan dan mendistribusikan kembali pada waktu kelaparan atau panen tidak baik. Beberapa sektor manufactur penting selama periode ini termasuk kerajinan perunggu, yang di integralkan dalam pembuatan senjata dan perkakas pertanian. Sekali lagi, industri ini dikuasai oleh bangsawan yang mengarahkan material produksi.


Bersambung


-dipi-
 
Zaman Musim Semi dan Gugur


Zaman Musim Semi dan Gugur (770 SM - 476 SM) adalah sebuah zaman dalam penghujung Dinasti Zhou di Cina. Zaman Musim Semi dan Gugur mendapat namanya karena nama sebuah buku terkenal dari zaman itu Chun Qiu yang artinya "Musim Semi dan Gugur".

Permulaan

Zaman Musim Semi dan Musim Gugur adalah sebuah roman klasik Cina yang dinovelkan oleh Konfusius (Kong Hu Cu), dan terjadi pada masa Dinasti Zhou pada tahun 722 SM - 481 SM. Roman klasik ini juga biasa disebut Zaman Lima Raja Besar Chun Qiu, karena pada masa itu terdapat 5 raja besar yang saling mencari pengaruh dan kekuatan, walaupun masih terdapat banyak negeri-negeri dan bangsa-bangsa kecil (sekitar 40-an) yang pada akhirnya satu persatu ditaklukkan atau ditarik kesalah satu pihak yang kuat, kelima raja negeri besar itu adalah Adipati Huan dari Qi, Adipati Wen dari Jin, Raja Zhuang dari Chu, Adipati Mu dari Qin, dan Adipati Xiang dari Song. Pada umumnya mereka masih mengakui kerajaan Zhou, tetapi beberapa ada yang sudah tidak mengirimkan upeti.

Perseteruan Qi dan Chu

Dari lima negeri tersebut, negeri Qi dan negeri Chu adalah yang terkuat dan ditakuti. Negeri Qi menguasai negeri-negeri kecil dibagian utara dan negeri Chu menguasai negeri-negeri dibagian selatan. Cara penguasaan negeri Qi dan Chu berbeda, negeri Qi menggunakan cara memberikan bantuan kepada negeri-negeri kecil lain seperti menyelesaikan politik dalam negeri orang lain ataupun mencegah negeri lain dari serangan musuh negeri itu dan kemudian membuat perserikatan dengan menggunakan sistem "menjunjung Dewan Kerajaan Zhou" (pada puncaknya, perserikatan ini terdiri dari gabungan lebih dari 10 negeri) ,sedangkan negeri Chu menggunakan cara memberi terror dan ketakutan melalui kekuatan pasukannya yang membuat negeri-negeri kecil gentar, ngeri dan akhirnya takluk.

Persaingan Qi - Chu semakin memuncak ketika kerjaan Zhou yang sebelumnya memihak negeri Qi kemudian berpindah pihak ke negeri Chu karena hasutan permaisuri kerajaan Zhou. Kerajaan Zhou juga mengajak beberapa negeri yang sebelumnya memihak negeri Qi untuk bergabung dengan negeri Chu, seperti negara The yang mempunyai letak wilayah diantara negeri Qi dan Chu.

Kematian Adipati Huan membuat negeri Qi menjadi lemah

Ketika kematian Adipati Huan dari Qi, kemudian negeri Qi menjadi lemah, juga terjadi perebuatan kekuasaan dan negeri Song ingin merebut menjadi ketua raja-raja muda menggantikan negeri Qi, tapi gagal karena negeri-negeri kecil masih mendukung negeri Chu. Pada akhirnya, negeri Chu karena sogokan negeri Zheng kemudian menyerang negeri Song, kemudian negeri Song meminta bantuan kepada negeri Qin yang saat itu menjadi negeri yang sangat kuat setelah terjadi pergantian Kaisar. Negeri Qin bergabung dengan ketiga negari besar lainnya (Qi, Jin, Song) dan mengalahkan Chu.

Negeri Qin mengangkat diri menjadi Ketua perserikatan

Setelah memukul mundur negeri Chu. Raja dari negeri Qin mengumpulkan negeri Qi,Jin,Song dan 7 negeri-negeri kecil berkumpul di Kerajaan Zhou dengan maksud mengangkat dirinya menjadi pengganti raja Huan sebagai Ketua dari perserikatan raja-raja. Saat itu negeri Zheng tidak hadir dalam pertemuan di kerajaan Zhou, sehingga raja Qin marah dan bersama-sama negeri Jin menyerang negeri Zheng. Zheng meminta bantuan kepada negeri Chu tetapi karena baru kalah perang, negeri Chu tidak mengirim pasukan bantuan.

Akhirnya negeri Zheng menggunakan taktik adu domba dengan mengirimkan surat kepada negeri Jin bahwa negeri Jin dan negeri Qin sekarang ini sama kuatnya, karena negeri Zheng dekat dengan negeri Qin, maka Zheng akan menjadi milik Qi dan negeri Qi akan menjadi lebih besar dan kuat, yang kemudian suatu waktu akan menyerang negeri Jin. Raja negeri Jin yang berhasil dihasut kemudian menarik pasukan kembali ke negerinya. Pada saat itu, negeri Chu mengirimkan surat perdamaian dengan negeri Qin. Setelah perdamaian antara 2 negeri paling besar pada saat itu yaitu Chu dan Qin, perang-perang berikutnya tidak lagi dianggap dalam skala besar. Peperangan berlanjut sampai kepada masa "Zaman Negara-Negara Berperang".


Bersambung


-dipi-
 
Periode Negara Perang (476 SM-221 SM)


Setelah berbagai konsolidasi politik, tujuh negara terkemuka bertahan pada akhir abad ke-5 SM. Meskipun saat itu masih terdapat raja dari Dinasti Zhou sampai 256 SM, namun ia hanya seorang pemimpin nominal yang tidak memiliki kekuasaan yang nyata. Pada masa itu, daerah tetangga dari negara-negara yang berperang juga ditaklukkan dan menjadi wilayah baru, antara lain Sichuan dan Liaoning; yang kemudian diatur di bawah sistem administrasi lokal baru berupa commandery dan prefektur. Negara Qin berhasil menyatukan ketujuh negara yang ada, serta melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah Zhejiang, Fujian, Guangdong, dan Guangxi pada 214 SM. Periode saat negara-negara saling berperang hingga penyatuan seluruh Cina oleh Dinasti Qin pada tahun 221 SM, dikenal dengan nama "Periode Negara Perang", yaitu penamaan yang diambil dari nama karya sejarah Zhan Guo Ce (Strategi Negara Berperang).


-dipi-
 
Zaman kekaisaran


Dinasti Qin (221 SM–206 SM)

Dinasti Qin (221 SM - 206 SM) adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Cina sepanjang sejarahnya. Dinasti Qin terkenal sebagai dinasti yang pendek umurnya, namun meletakkan dasar-dasar kekaisaran yang kemudian akan diteruskan selama 2000 tahun oleh dinasti-dinasti setelahnya. Dinasti ini juga adalah dinasti pertama yang mempersatukan suku bangsa beragam di Cina ke dalam entitas tunggal nasional Cina.

Penghujung Dinasti Zhou

Dinasti Qin berawal dari kerajaan Qin yang dikuasai bangsawan bermarga Ying di masa Dinasti Zhou. Leluhur marga Ying, Bo Yi diceritakan pernah berjasa membantu Yu untuk meredakan banjir. Untuk itu, Kaisar Shun kemudian menganugrahkan marga Ying kepada Bo Yi.

Salah satu keturunan Bo Yi kemudian mengabdi kepada Raja Xiao dari Dinasti Zhou. Berjasa untuk memelihara kuda kerajaan, Raja Xiao lalu memberikan wilayah di Lembah Qin (sekarang di sekitar Tianshui, Gansu) untuk keturunan Bo Yi tadi. Dari sinilah kerajaan Qin bermula.

Tahun 770 SM, Xiang dari Qin berjasa di dalam mengawal Raja Ping dari Dinasti Zhou dan mendapat gelar bangsawan. Kerajaan Qin terbentuk dan kemudian menguasai wilayah Dinasti Zhou di sekitar Shaanxi. Masa ini disebut sebagai Zaman Negara-negara Berperang karena puluhan negara besar-kecil saling bermusuhan dan kerap berperang untuk merebut wilayah dan pengaruh kekuasaan. Tahun 221 SM, Raja Yingzheng (yang kemudian dikenal sebagai Qín Shǐ Huáng atau Qin Shihuang) dari Qin melakukan agresi militer terhadap kerajaan lainnya di Dinasti Zhou dan mempersatukan Cina di bawah satu pemerintahan terpusat.

Penyatuan daratan Cina

* 230 SM: Penaklukan kerajaan Han
* 228 SM: Menyerang kerajaan Zhao
* 227 SM: Menyerang kerajaan Yan
* 225 SM: Penaklukan kerajaan Wei
* 224 SM: Penaklukan kerajaan Chu
* 222 SM: Penaklukan kerajaan Zhao dan Yan
* 221 SM: Penaklukan kerajaan Qi, mempersatukan Cina

Memusatkan kekuasaan

Ying Zheng setelah mempersatukan Cina kemudian menciptakan gelar Huangdi yang merupakan gabungan dari Huang dan Di. Ia merasa ia lebih berjasa daripada Tiga Penguasa dan Lima Kaisar dari Cina kuno. Huangdi sendiri secara harfiah berarti penguasa dan kaisar tak tertandingi. Ia kemudian digelari sebagai Shi Huangdi, yang bermakna Kaisar Pertama.

Ia kemudian menetapkan beberapa kebijakan pemerintahan yang memusatkan kekuasaan lebih lanjut di tangan kaisar. Kaisar mempunyai kekuasaan absolut, para menteri mempunyai hak untuk memberikan pandangan dan nasehat dalam penetapan kebijakan pemerintahan namun tidak punya hak untuk memutuskan kebijakan. Pemerintahan pusat dijalankan oleh 3 menteri utama dan 9 menteri biasa. Menteri utama terdiri dari perdana menteri dan 2 wakil perdana menteri. Perdana menteri menjalankan pemerintahan, sedangkan 2 wakil perdana menteri masing-masing bertugas sebagai pelaksana militer dan pemeriksa (kontrol pemerintahan).

Menyatukan unit satuan

Di masa ini juga, berbagai aspek kehidupan seperti satuan berat, panjang, unit mata uang, aksara diseragamkan. Bahkan jarak antara sumbu roda kereta kuda disamakan untuk memudahkan pembangunan jalan antar prefektur. Qin Shihuang juga memerintahkan perbaikan dan pembangunan tembok besar yang sebelumnya telah dibangun di masa Dinasti Zhou untuk menahan serangan dari bangsa Xiongnu di utara.

Membangun Istana E Fang

Setelah mempersatukan Cina, demi menonjolkan wibawa dan kekuasaannya, Qin Shihuang membangun Istana E Fang di Gunung Li yang pada saat merupakan istana terbesar dan termegah dalam sejarah Cina.

Du Mu dari Dinasti Tang mengisahkan bahwa istana ini kemudian dibumi-hanguskan oleh Xiang Yu setelah berhasil menggulingkan Dinasti Qin. Namun sebenarnya dalam sejarah resmi, tidak ada catatan mengenai terbakarnya istana ini.

Runtuhnya Dinasti Qin

Sepeninggal Qin Shihuang, Zhao Gao berkomplot bersama Hu Hai dan Li Si memalsukan surat wasiat Qin Shihuang untuk mewariskan tahta kepada Hu Hai serta memerintahkan eksekusi mati atas anak sulungnya, Fu Su. Hu Hai lalu naik tahta dengan gelar Kaisar Qin Kedua.

Hu Hai sendiri adalah seorang kaisar yang lalim dan tidak cakap. Ini menyebabkan ia tak dapat menahan pemberontakan di daerah-daerah. Bulan Juli 209 SM, 2 pejabat kekaisaran, Chen Sheng dan Wu Guang memberontak. Pemberontakan besar-besaran kemudian dipimpin oleh Xiang Yu dan Liu Bang. Setelah Dinasti Qin runtuh, peperangan pecah antara Liu Bang dan Xiang Yu yang kemudian dimenangkan oleh Liu Bang dan mendirikan Dinasti Han yang akan berkuasa selama 400 tahun.

Wilayah

Dinasti Qin mewarisi wilayah Dinasti Zhou sebelumnya ditambah dengan ekspansi wilayah ke wilayah selatan sampai ke tepi Laut Cina Selatan. Di zaman ini, wilayah selatan Cina untuk pertama kalinya dimasukkan sebagai wilayah Cina.

Qin_empire_210_BCE.jpg


Dinasti Qin menerapkan pembagian wilayah daerah terpusat, yang berbeda dari Dinasti Zhou yang menerapkan sistem feodalisme. Dinasti Qin membagi wilayahnya ke dalam 36 daerah administrasi (prefektur) yang kemudian dibagi-bagi lagi menjadi daerah yang lebih kecil. Di penghujung Dinasti Qin, pemerintah daerah bertambah sampai 46 prefektur.

Sosial Budaya

Dinasti Qin menciptakan kebijakan pencatatan rumah tangga untuk pertama kalinya di Cina. Dalam satu rumah tangga tidak diperbolehkan adanya 2 pria yang mempunyai kemampuan bekerja. Anak yang telah dewasa diharuskan membentuk rumah tangga baru yang terpisah.

Di masa ini pula, pemerintah Qin melakukan transmigrasi besar-besaran dari daerah padat ke daerah-daerah tidak berpenghuni yang baru ditaklukkan. Ini dilakukan untuk mendukung pembangunan di wilayah-wilayah yang masih belum tersentuh oleh pembangunan. Selain transmigrasi oleh negara, seseorang tidak diperbolehkan berpindah-pindah sesuka hati mereka tanpa izin pemerintah.

Di akhir Zaman Negara-negara Berperang, sejarahwan umumnya beranggapan bahwa kebudayaan negara Qin masih terbelakang dibandingkan dengan negara-negara lainnya di pesisir. Setelah mempersatukan Cina, Qin Shihuang lalu melakukan beberapa reformasi seperti penyatuan aksara menggunakan karakter Xiaozhuan yang dikisahkan diciptakan oleh Li Si.

Tokoh-tokoh terkenal

  • Lu Buwei, perdana menteri Qin dan wali Qin Shihuang ketika ia naik tahta dalam usia muda. Orang yang berjasa dalam mendidik Qin Shihuang menjadi seorang kaisar yang bertangan besi. Ada kontroversi mengenai garis keturunan dari Kaisar Qin, bahwa Kaisar Qin adalah anak dari Lu Buwei, dimana Lu Buwei menyerahkan istrinya, Zhao Ji, pemain opera di kota Handan (wilayah kerajaan Zhao) yang sudah hamil, kepada Raja Qin (Ying Yiren/raja sebelum Qin Shi Huang).Pada akhirnya, dia dibunuh secara tidak langsung oleh Qin Shi Huang dengan dipaksa minum anggur beracun.(Kaisar Qin takut Lu Bu Wei direkrut oleh 6 negara lainnya, padahal Bu Wei sendiri sudah memutuskan pensiun.

  • Li Si, murid dari Xun Zi, direkrut oleh Lu Buwei sebagai guru untuk Kaisar Qin/Ying Zheng. Orangnya cerdas,namun agak pengecut. Ada suatu peristiwa dimana dia bekerja sama dengan pejabat tertentu untuk membuat surat permohonan pembagian kekuasaan kepada kaisar Qin, namun karena takut dia membuat satu surat lagi yang isinya bertentangan dengan surat pertama, lebih mendukung kaisar Qin, itulah alasan mengapa Fu Su, sang putra mahkota membencinya. Setelah Lu Buwei tiada, dia ditunjuk sebagai perdana menteri.

  • Zhao Gao, kasim dari Kaisar Qin. Orangnya lumayan cerdas, tapi "penjilat". Dia dan Li Si melakukan suatu konspirasi besar mengenai penerus kaisar Qin, mereka mengatur sedemikian rupa sehingga Huhai, putra ke-26 Qin Shihuang, yang masih muda dan intelektualnya lebih rendah dari putra mahkota Fu Su, menjadi kaisar berikutnya, padahal mandat kaisar Qin sebelum mangkat bahwa Fu Su seharusnya menjadi penerus kekaisaran Qin. Li Si takut dipenggal karena Fu Su tidak menyukai Li Si, sementara Zhao Gao takut ingin Huhai naik tahta sehingga dengan demikian statusnya ikut terangkat.

  • Fu Su, putra mahkota kekaisaran Qin, yang seharusnya menjadi penerus Qin Shi Huang. Qin Shi Huang sendiri menganggap Fu Su hatinya terlalu lunak dan lemah. Sebenarnya dia bisa melakukan kudeta kekuasaan, tapi ada suatu peristiwa dimana dia dan Li Si saling berbicara setelah menerima mandat palsu (Isinya Pangeran Kedua yang menjadi penerus tahta, sementara Fu Su dihukum mati).Dia bertanya, bagaimana masa depan kekaisaran Qin ke depannya, dan Li si menjawab, "tidak akan ada lagi Dinasti Qin", akhirnya dia mati bunuh diri.

  • Lao Ai, pemain opera di Handan yang dekat dengan ibu suri Zhao (ibu Ying Zheng), yang kemudian dipromosikan oleh Lu Buwei menjadi menteri, dengan alasan diperbantukan ke ibu suri. Sayangnya, Lao Ai punya niat tersembunyi, termasuk perselingkuhannya dengan ibu suri. Dia melakukan pemberontakan pada saat Ying Zheng mengetahui skandal perselingkuhannya dengan ibusuri Zhao. Pemberontakannya gagal dan ia tertangkap, lalu ia mengakui pada Ying Zheng mengenai segalanya tentang perselingkuhan dengan ibusuri dan rahasia mengenai Lu Buwei adalah ayah biologis Ying Zheng.

  • Meng Tian, jenderal kesayangan Qin Shi Huang, berjasa besar dalam penaklukan 6 kerajaan, termasuk peperangan di utara melawan Mongolia. Sebenarnya, Fu Su bermaksud menjadikannya perdana menteri jika naik takhta. Ia turut dipaksa bunuh diri bersama Fu Su.

  • Li Mu, jenderal besar dari negeri Zhao, berhasil menggagalkan penyerangan negeri Qin, Qin Shi Huang sendiri sangat terkesan dengan kegagahan Li Mu. Negara Qin mengirim mata-matanya ke Zhao untuk menghasut Raja Zhao sehingga menyingkirkan Li dari jabatan komandan tertinggi. Li dibunuh tidak lama setelah dicabut dari jabatannya oleh orang-orang suruhan Raja Zhao. Setelah negeri Zhao kalah, namanya diabadikan menjadi nama suatu tempat.



-dipi-
 
Masih menunggu kejutan dari kak dipi

"kapan etnis cina pertama kali masuk ke indonesia dan bagaimana penyebaran mereka di indonesia"
 
non dipi.... aku dah pernah bikin thread kek gini.... :)

cek it plis

https://indonesiaindonesia.com/f/78392-sejarah-sejarah-china-zaman-tiga-kerajaan/
Yap...aku sebelumnya udah baca tulisannya non Kalin sebelum buat thread yang ini. :D
Bedanya dengan thread yang ini adalah aku urutkan dari pembagian sejarah Cina yang dimulai dari jaman Pra sejarah, Cina Kuno, Jaman kekaisaran sampai ke jaman sejarah cina modern. Kalau yang ditulis non Kalin soal jaman tiga kerajaan itu masuk ke jaman sejarah kekaisaran di mana di situ ada juga jaman 10 negara, jaman 16 negara dan banyak dinasti lain. :)(

Makanya threadnya aku bedain, karena jaman tiga kerajaan hanya sebagian kecil dari sejarah Cina secara keseluruhan. :)


-dipi-
 
Dinasti Han


Han_map.jpg


Dinasti Han (206 SM - 220) adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Cina sepanjang sejarahnya. Dinasti ini adalah yang meletakkan dasar-dasar nasionalitas Cina mewarisi penyatuan Cina dari dinasti sebelumnya, Dinasti Qin. Dinasti Han sendiri didirikan oleh Liu Bang, seorang petani yang memenangkan perang saudara dengan saingannya, Xiang Yu. Dinasti Han merupakan salah satu dinasti terkuat di Cina, dan karena pengaruhnya yang besar, etnis-etnis mayoritas di Cina sekarang ini menyebut mereka orang Han (biarpun mungkin nenek moyang mereka bukan dari etnis Han).

Dinasti Han didirikan oleh Liu Bang, seorang petani yang memimpin pemberontakan rakyat dan meruntuhkan dinasti sebelumnya, Dinasti Qin, pada tahun 206 SM. Zaman kekuasaan Dinasti Han terbagi menjadi dua periode yaitu Dinasti Han Barat (206 SM - 9) dan Dinasti Han Timur (23 - 220) yang dipisahkan oleh periode pendek Dinasti Xin (9 - 23).

Kaisar Wu berhasil mengeratkan persatuan dan memperluas kekaisaran Cina dengan mendesak bangsa Xiongnu (sering disamakan dengan bangsa Hun) ke arah stepa-stepa Mongolia Dalam, dengan demikian merebut wilayah-wilayah Gansu, Ningxia, dan Qinghai. Hal tersebut menyebabkan terbukanya untuk pertama kali perdagangan antara Cina dan Eropa, melalui Jalur Sutra. Jenderal Ban Chao dari Dinasti Han bahkan memperluas penaklukannya melintasi pegunungan Pamir sampi ke Laut Kaspia. Kedutaan pertama dari Kekaisaran Romawi tercatat pada sumber-sumber Cina pertama kali dibuka (melalui jalur laut) pada tahun 166, dan yang kedua pada tahun 284.

Liu Bang

Liu Bang (247 SM-1 Juni 195 SM) adalah pendiri dan kaisar pertama Dinasti Han, memerintah cina dari 202 SM hingga 195 SM. Ia adalah salah satu dari beberapa pendiri dinasti yang muncul dari kelas petani selain Zhu Yuanzhang pendiri Dinasti Ming. Sebelum menjadi kaisar, ia juga dikenal dengan gelar Adipati Pei, dan setelah Dinasti Qin runtuh dan Xiang Yu berkuasa, ia diberi gelar Raja Han.

Liu Bang dilahirkan dengan nama Liu Ji di sebuah keluarga petani miskin di wilayah Pei (sekarang Kabupaten Feng, Jiangsu). Pada waktu itu, Pei adalah bagian dari Negara Chu.

Sewaktu kecil, Liu Bang tidak giat bertani seperti kakaknya. Ia juga seorang anak yang tidak suka belajar. Ia dimarahi ayahnya sebagai orang tak berguna, namun ini tidak mengubah tingkah laku Liu Bang.

Setelah ia tumbuh dewasa, Liu Bang menjabat sebagai petugas patroli di daerah. Setelah dia bertanggung jawab untuk mengangkut sekelompok tahanan ke Gunung Li di Shaanxi sekarang. Dalam perjalanan itu, banyak tahanan melarikan diri. Takut akan dijatuhi hukuman karena pelarian tahanan, Liu Bang akhirnya melepaskan seluruh tahanan yang tersisa. Tahanan ini di masa depan menjadi modal Liu Bang untuk bangkit mengobarkan revolusi perlawanan terhadap Dinasti Qin.

Setelah seluruh daerah mantan kerajaan Qin didominasi oleh Xiang Yu, yang lainnya sebagian wilayah sisa-sisa negara Qin yang dikuasai pemberontak, membagi wilayah menjadi 19 kerajaan. Xiang Yu tidak menghormati perjanjian yang dibuat di Xin, Pangeran Huai dari Chu, dibunuh atas perintah Xiang. Sebaliknya, ia memberikan Guanzhong ke tiga pangeran Qins. Liu Bang hanya diberikan Kerajaan Han (sekarang Sichuan, Chongqing, dan selatan Shaanxi).

Di Hanzhong, Liu Bang memusatkan upaya pada pengembangan metode pertanian dan pelatihan militer, ia diperkuat dengan akumulasi sumber daya dan kekuatan militer. Tak lama kemudian, Liu mengundurkan diri keluar dari kerajaan, raja-raja digulingkan tiga pangeran Qins dan menduduki Guanzhong, di mana ia melancarkan perang yang kini dikenal sebagai Perang Chu-Han, melawan Xiang Yu. Dikutip dalam biografinya, ada pesan, bahwa "Mereka yang memperoleh status mereka dalam perang maka mereka yang paling mulia dari semua."

Meskipun Xiang Yu memenangkan sebagian besar pertempuran melawan Liu Bang, dengan kekejaman, semakin menempatkan Xiang Yu dalam kerugian politik dan kepercayaan rakyat. Xiang Yu terus mengalahkan Liu di medan perang, tetapi orang-orang yang mendukung kemenangan mereka lebih banyak orang untuk mendukung Liu. Ketika Xiang Yu akhirnya dikalahkan dalam Pertempuran Gaixia, ia merasa tidak mampu untuk bangkit kembali dan bunuh diri.

Perang berlangsung selama lima tahun (206-202 SM) dan berakhir dengan kemenangan Liu Bang. Setelah mengalahkan Xiang Yu, Liu Bang menyatakan dirinya kaisar dan mendirikan Dinasti Han pada 202 SM, membuat Chang'an (sekarang kota Xi'an) sebagai ibukotanya. Liu kemudian dikenal sejarah sebagai Kaisar Han Gao.

Perang Chu-Han

Perang Chu-Han (Chu Han Xiang Zheng) adalah sebuah zaman di Cina dimana pada saat itu terjadi perseteruan antara 2 negara besar yaitu Han dengan pemimpinnya Liu Bang dan Chu dengan pemimpinnya Xiang Yu yang dibesarkan oleh pamannya Xiang Liang yang merupakan keturunan Jendral Chu, Xiang Yan. Sejarah ini terjadi pada tahun 206 SM hingga tahun 201 SM. Sejarah ini juga dikenal sebagai awal berdirinya Dinasti Han.

Kisah ini dimulai dari kematian Kaisar Qin ,Qin Shi Huang (pendiri Tembok Raksasa),sehingga pemerintahan Qin menjadi lemah dan rakyat yang membenci kaisar Qin Shi Huang yang kejam banyak memberontak , perpecahan Cina menjadi beberapa bagian tetapi diantaranya ada 7 kekuatan besar , yaitu Negara Qi, Chu, Yan, Han, Zhao, Wei dan Qin.

Diantara keenam Negara yang memberontak terhadap negara Qin, yang paling kuat adalah negara Chu, dan Chu jugalah melalui Xiang Liang yang pertama kali memberontak kepada Pemerintahan Qin. Kemudian negara kuat berikutnya adalah negara Han, saat terjadi penyerangan ke Ibukota Qin, Xianyang,Kaisar Chu menyerukan siapapun yang berhasil menguasai Xiangyang paling awal berhak menjadi kaisar, sehingga diadakan perlombaan penyerangan dari 2 arah antara Liu Bang dan Xiang Yu. Liu Bang yang berada di pihak yang lebih lemah tanpa terduga berhasil menduduki ibukota Xianyang terlebih dahulu dengan taktik perdamaian dan saran melalui tulisan dikertas oleh Xiao He, tetapi akhirnya menyerahkan tahta kekaisaran kepada Xiang Yu dikarenakan Liu Bang takut akan kekuatan pasukan Xiang Yu yang jauh lebih kuat. Kemudian setelah merekrut Zhang Liang dan Han Xin, Liu Bang mengumpulkan kekuatan dan pada akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Chu, kemudian menjadi kaisar dan pendiri Dinasti Han.

Tokoh Utama

  • Liu Bang - pemimpin Negara Han , dan juga nantinya menjadi kaisar pendiri dinasti Han. Pada awalnya dia adalah seorang rakyat jelata, yang kerjanya sebagai preman pasar, pemabuk, suka wanita dan uang. Kemudian, mengangkat saudara dengan Xiang Yu. Sebenarnya, dia tidak tega untuk membunuh Xiang Yu, tapi karena dia ditekan oleh istri dan jenderal-jenderalnya sehingga dia memutuskan untuk menghancurkan Xiang Yu dalam Pertempuran Gaixia. Liu Bei (kaisar pertama negeri Shu) masih keturunannya.

  • Xiang Yu - panglima perang negara Chu , keponakan dari Xiang Yan. Tidak pernah kalah dalam satu kalipun pertempuran sebelum kalah melawan Liu Bang. Orangnya kuat, gagah, namun sadis sebagaimana dia menggoreng anak buah kaisar qin dalam minyak mendidih hidup-hidup, pada pertempuran terakhirnya, dia kehilangan hampir seluruh pasukannya termasuk selir yang paling dicintainya, Yu Ji. Setelah terkepung oleh pasukan Han, dia memutuskan bunuh diri.

  • Zhang Liang - penasihat dan ahli strategi negara Han yang sangat berhati-hati dalam bertindak ,mirip Zhuge liang, ahli strategi legendaris Zaman Tiga Negara.

  • Han Xin - jenderal Han yang dikenal sangat buruk rupa dan mempunyai sifat aneh, tetapi sangat ahli dalam strategi ,disiplin dan militer. Alasannya membela Liu Bang dikarenakan ketika mengabdi pada Xiang Yu selalu diremehkan dan tidak pernah didengar. Semasa mudanya ia adalah pengangguran, pernah dipaksa oleh seorang preman untuk merangkak di bawah kakinya, sambil berkata, "Han Xin kamu adalah anjing". Setelah insiden ini ia sadar dan belajar dengan giat hingga akhirnya mencapai puncak karirnya. Ia berjasa dengan menerapkan taktik "membuat jalan memutar", kemudian mengurung Xiang Yu dalam sebuah perangkap yang menghancurkan Xiang Yu dan pasukannya.

  • Fan Zeng - ahli strategi negara Chu dan penasihat Xiang Yu, dianggap sebagai ayah angkat oleh Xiang Yu.

  • Xiao He - seorang yang pintar dan yang merekomendasikan Han Xin kepada Liu Bang, dia juga adalah kunci kebangkitan awal kekuatan Liu Bang.


-dipi-
 
Zaman Tiga Negara (220–280)


Zaman Tiga Negara (Wei, Wu, dan Shu) adalah suatu periode perpecahan Cina yang berlangsung setelah hilangnya kekuasaan de facto Dinasti Han. Secara umum periode ini dianggap berlangsung sejak pendirian Wei (220) hingga penaklukan Wu oleh Dinasti Jin (280), walau banyak sejarawan Cina yang menganggap bahwa periode ini berlangsung sejak Pemberontakan Serban Kuning (184).


Untuk lebih lengkapnya, silahkan buka Thread ini



-dipi-
 
Dinasti Jin dan Enam Belas Negara (280-420)


Cina berhasil dipersatukan sementara pada tahun 280 oleh Dinasti Jin. Meskipun demikian, kelompok etnis di luar suku Han (Wu Hu) masih menguasai sebagian besar wilayah pada awal abad ke-4 dan menyebabkan migrasi besar-besaran suku Han ke selatan Sungai Yangtze. Bagian utara Cina terpecah menjadi negara-negara kecil yang membentuk suatu era turbulen yang dikenal dengan Zaman Enam Belas Negara (304 - 469).


Dinasti Utara dan Selatan (420–589)

Menyusul keruntuhan Dinasti Jin Timur pada tahun 420, Cina memasuki era Dinasti Utara dan Selatan. Zaman ini merupakan masa perang saudara dan perpecahan politik, walaupun juga merupakan masa berkembangnya seni dan budaya, kemajuan teknologi, serta penyebaran Agama Buddha dan Taoisme.


Dinasti Sui (589–618)

Setelah hampir empat abad perpecahan, Dinasti Sui berhasil mempersatukan kembali Cina pada tahun 589 dengan penaklukan Yang Jian, pendiri Dinasti Sui, terhadap Dinasti Chen di selatan. Periode kekuasaan dinasti ini antara lain ditandai dengan pembangunan Terusan Besar Cina dan pembentukan banyak lembaga pemerintahan yang nantinya akan diadopsi oleh Dinasti Tang.


Dinasti Tang (618–907)

Dinasti Tang (618 - 907) adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Cina sepanjang sejarahnya.

Dinasti Tang menggantikan Dinasti Sui yang berumur pendek, didirikan oleh keluarga Li. Li Yuan mendirikan dinasti ini pada tahun 618 dan menetapkan Chang'an sebagai ibukota dinasti ini. Di tengah masa kejayaan dinasti ini, ada masa 15 tahun di mana Kaisar Wu Zetian memaklumatkan Dinasti Zhou kedua. Kaisar Wu Zetian merupakan kaisar wanita satu-satunya di dalam sejarah kekaisaran Cina.

Nama Tang sendiri berasal dari nama kuno daerah Jin yang sekarang menunjuk kepada provinsi Shanxi.

Berdirinya Dinasti Tang

Penghujung Dinasti Sui, Kaisar Yang yang lalim dan usaha agresi ke Koguryo gagal untuk ketiga kalinya menyebabkan pemberontakan berkobar di seluruh negeri.

Tahun 617, penguasa Taiyuan (sekarang Taiyuan, Shanxi), Li Yuan melancarkan pemberontakan dan pada bulan November tahun itu pula, Li Yuan berhasil merebut ibukota Sui, Daxing. Ia kemudian mengangkat Yang You sebagai kaisar dengan gelar Kaisar Gong dari Sui dan mengangkat diri sebagai perdana menteri. Sesaat kemudian ia memaklumkan dirinya sebagai Pangeran Tang.

Kaisar Yang terbunuh di Jiangdu pada bulan Maret 618. 2 bulan kemudian, Li Yuan memaksa Kaisar Gong turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepadanya. Li Yuan kemudian mendirikan Dinasti Tang dan mengangkat diri sebagai kaisar dengan gelar Kaisar Tang Gaozu. Ibukota Tang ditetapkan di Daxing, yang kemudian diganti namanya menjadi Chang'an.

Saat iu, Kaisar Gaozu memiliki 4 putra dewasa, Li Jiancheng, Li Shimin, Li Xuanba dan Li Yuanji. Li Jiancheng sebagai anak sulung ditunjuk sebagai putra mahkota, Li Shimin diangkat sebagai Pangeran Qin, Li Xuanba mati muda sedangkan Li Yuanji digelari sebagai Pangeran Qi.

Setelah berdirinya Dinasti Tang, Kaisar Gaozu memerintahkan putranya Li Jiancheng, Li Shimin dan putrinya, Putri Pingyang untuk menaklukkan Cina utara yang waktu itu masih dikuasai oleh para pemimpin pemberontak dan suku-suku barbar.

Pemerintahan Zhenguan

Setelah Dinasti Tang berhasil menaklukkan para pemimpin pemberontak pasca runtuhnya Sui dan suku-suku barbar di utara Cina, persaingan dan perseteruan antara Li Jiancheng dan Li Shimin mencuat ke permukaan. Pada tahun 626, pecah insiden Gerbang Xuanwu yang dimana Li Jiancheng dan Li Yuanji dibunuh oleh Li Shimin. Li Yuan kemudian turun tahta dan bertindak sebagai Taishang Huang (mantan kaisar).



-dipi-
 
Insiden Gerbang Xuanwu


Xuanwumen.jpg


Kudeta di Gerbang Xuanwu (2 Juli 626) adalah sebuah insiden yang merupakan puncak dari intrik keluarga Dinasti Tang antara putra-putra Kaisar Tang Gaozu (Li Yuan) yaitu putra mahkota, Li Jiancheng dan Li Shimin. Li Jiancheng yang iri pada Li Shimin bermaksud membunuhnya, namun Li Shimin yang telah mencium rencana ini mengambil tindakan pendahuluan dengan menyergap Li Jiancheng di gerbang Xuanwu, gerbang yang menuju ke istana Kaisar Gaozu. Disana Li Shimin membunuh kakaknya dan juga adiknya, Li Yuanji, yang mendukung Li Jiancheng. Setelah itu ia mengirim pasukan ke istana untuk menghadap ayahnya. Di bawah intimidasi, Kaisar Gaozu menyerahkan status putra mahkota pada Li Shimin dan turun tahta dua bulan kemudian serta menyerahkan tahtanya pada putra keduanya itu. Peristiwa berdarah ini terjadi di Chang'an (sekarang Xi'an, Provinsi Shaanxi)

Latar belakang

Kaisar Gaozu memiliki empat putra dari pernikahannya dengan Putri Dou (meninggal sebelum Dinasti Tang berdiri, secara anumerta dijadikan permaisuri) yaitu Li Jiancheng, Li Shimin, Li Xuanba (mati muda tahun 614), dan Li Yuanji. Setelah Dinasti Tang berdiri, Li Jiancheng menjadi putra mahkota. Walaupun seorang jenderal tangguh yang telah memenangkan banyak pertempuran, namun ia kalah pamor dari adiknya, Li Shimin, yang membujuk ayahnya untuk mengambil inisiatif memberontak terhadap Kaisar Yang dari Sui dan berhasil mengalahkan para pemberontak seperti Kaisar Qin, Xue Rengao; Khan Dingyang, Liu Wuzhou; Pangeran Xia, Dou Jiande; dan Kaisar Zheng, Wang Shichong. Gaozu memberikan kuasa penuh pada ketiga pangeran itu, perintah mereka sama derajatnya dengan titah kaisar. Sejarah tradisional mencatat bahwa Kaisar Gaozu pernah mempertimbangkan untuk mengalihkan status putra mahkota pada Li Shimin yang lebih berprestasi, namun niat ini tidak terwujud karena Li Jiancheng didukung oleh Li Yuanji dan selir-selir kesayangannya. Hal ini lah yang membuat Jiancheng mulai merasa tidak nyaman dan dibayang-bayangi oleh adiknya itu.

Seiring berjalannya waktu, permusuhan antara keduanya makin meruncing, bawahan masing-masing saling mendesak junjungan mereka untuk bertindak terlebih dahulu. Suatu ketika Li Shimin sedang mengunjungi kediaman Li Jiancheng, dalam kesempatan itu Li Yuanji hendak membunuhnya, namun dicegah oleh kakaknya yang masih ragu melakukan hal itu. Bagaimanapun, Li Shimin masih menjadi momok bagi Li Jiancheng. Pada tahun 624, Li Jiancheng berencana untuk menambah pengawalnya dengan pasukan di bawah komando Li Yi (Luo Yi), pangeran Yan, suatu hal yang bertentangan dengan aturan kaisar. Kepala pengawal Li, Yang Wen’gan, takut dihukum dan kehilangan jabatannya sehingga memberontak. Untuk menumpas pemberontakan Yang, Kaisar Gaozu menugaskan Li Shimin dan menjanjikannya status putra mahkota bila berhasil menumpas pemberontakan itu. Namun ketika Li Shimin sibuk bertempur dengan pemberontak, Li Yuanji, Feng Deyi, dan selir-selir Gaozu melakukan intervensi dengan mendukung Li Jiancheng tetap sebagai putra mahkota. Kaisar Gaozu pun menetapkan putra sulungnya itu sebagai penerusnya, serta mengasingkan bawahannya Wang Gui, Wei Ting, dan seorang bawahan Li Shimin, Du Yan. Yang Wen’gan sendiri pada akhirnya berhasil dikalahkan dan dibunuh oleh bawahannya sendiri.

Setelah itu, Li Shimin meminta ijin ayahnya untuk meninggalkan Chang’an (ibukota Tang) untuk mengurus Luoyang (ibukota lama, bekas ibukota Dinasti Sui). Kaisar Gaozu menyetujuinya, namun Li Jiancheng dan Li Yuanji khawatir saudaranya itu akan menggunakan Luoyang sebagai basis untuk membangun kekuatan melawan mereka. Mereka pun memprotes rencana itu pada ayah mereka sehingga rencana ini dibatalkan. Mereka juga membuat tuduhan palsu bahwa Li Shimin melakukan tindakan kriminal. Berkat pembelaan Chen Shuda (adik mantan kaisar Chen terakhir, Chen Shubao), Li Shimin luput dari hukuman. Kedua pangeran itu tetap berusaha memojokkan Li Shimin, siasat mereka kali ini adalah mempreteli kekuatan Li Shimin satu-persatu. Para perwira dan ahli strategi yang pro Li Shimin seperti Yuchi Jingde (Yuchi Gong), Cheng Zhijie, Fang Xuanling dan Du Ruhui dicabut dari jajaran staff Li Shimin. Dalam kesempatan lain mereka juga mencoba membunuhnya dengan meracuni arak yang diminumnya ketika bertamu ke tempat Li Jiancheng. Namun Li Shimin sudah merasakan efek racun yang kerjanya perlahan namun mematikan itu sehingga dia buru-buru meminum penawar dan sembuh.

Li Shimin membunuh kakak dan adiknya

Musim panas tahun 626, jenderal dari Tujue Timur (suku Turki), Ashina Yushe, memasuki perbatasan Tang serta mengepung Wucheng (sekarang Yulin, Shaanxi). Biasanya yang menangani gangguan dari Tujue adalah Li Shimin, namun atas bujukan Li Jiancheng, Kaisar Gaozu memberikan tugas ini pada Li Yuanji dan pasukan dibawah Li Shimin dialihkan pada adiknya itu. Atas saran iparnya, Zhangsun Wuji dan Yuchi Jingde, Li Shimin yang takut kedua saudaranya akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menghabisinya memutuskan untuk mengambil tindakan. Secara rahasia ia memanggil Fang Xuanling dan Du Ruhui ke kediamannya untuk menyusun rencana. Malamnya mereka mengirimkan laporan berisi tuduhan palsu terhadap Li Jiancheng dan Li Yuanji yang menyebutkan bahwa keduanya memiliki hubungan gelap dengan selir ayahnya dan berencana membunuhnya. Gaozu sangat terkejut dengan laporan ini, namun dia belum mengambil tindakan antisipasi, hanya mengatakan bahwa ia akan menangani masalah ini besok. Ia juga memanggil pejabat-pejabat tingginya seperti Pei Ji, Xiao Yu, dan Chen Shuda untuk membicarakan apa tindakan apa yang harus diambil selanjutnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Li Shimin dan Zhangsun Wuji berangkat ke istana kaisar dan menyembunyikan pasukannya di gerbang utara istana yang bernama Gerbang Xuanwu. Sementara itu, salah seorang selir Gaozu, Selir Zhang telah mendengar tuduhan palsu yang dibuat Li Shimin terhadap dua saudaranya. Dia pun secara rahasia membeberkannya pada kedua pangeran itu. Li Yuanji menyarankan untuk tidak melaporkan hal ini ke istana, yang harus dilakukan adalah mempersiapkan pasukan untuk berperang. Namun kakaknya, sambil menggerakkan pasukanm juga ingin menghadap ayahnya untuk membicarakan situasi, maka mereka bersama pasukannya bergerak menuju istana.

Ketika keduanya tiba di istana, barulah mereka menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Mereka bersiap untuk kembali ke kediaman Li Jiancheng, namun terlambat, Li Shimin bersama pasukannya keluar dari persembunyian dan menyergap mereka. Li Yuanji menembakkan panah tiga kali pada Li Shimin, namun karena panik, semuanya meleset. Li Shimin membalasnya dengan menembakkan sebatang anak panah yang mengenai dan menewaskan Li Jiancheng. Menurut catatan dari Zizhi Tongjian karya sejarawan Song, Sima Guang, Li Shimin sebenarnya tidak ingin membunuh Li Yuanji. Ia mengejar adiknya yang mencoba kabur. Di hutan Li terjatuh dari kudanya dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh Li Yuanji untuk membunuh Li Shimin dengan cekikan tali busur. Pada saat yang kritis itu, Yuchi Jingde tiba dan ia membunuh Li Yuanji dengan sebatang panah.

Pasca kudeta

Sementara itu, kepala pengawal Li Jiancheng, Feng Yi walaupun telah mendengar kematian tuannya, ia masih setia padanya dan memutuskan untuk terus berperang. Bersama perwira lainnya, Xue Wanche dan Xie Shufang, Feng memimpin pasukan Li Jiancheng dan Li Yuanji ke Gerbang Xuanwu dimana mereka berhadapan dengan pasukan Li Shimin. Pada awalnya mereka di atas angin dan berhasil membunuh dua orang komandan Li, Jing Junhong dan Lu Shiheng, namun tak lama kemudian Li dan Yuchi tiba disana sambil membawa kepala kedua pangeran. Moral pasukan itu langsung jatuh begitu melihat kepala kedua junjungannya, Feng dan Xue melarikan diri di tengah kekacauan itu.

Li lalu mengirim Yuchi ke istana lengkap dengan pasukan. Kaisar Gaozu sangat terkejut ketika Yuchi menghadapnya dengan pasukan. Ia bertanya apa yang dilakukannya di sini, Yuchi menjawab, “Putra mahkota dan Pangeran Qi (Li Yuanji) telah memberontak, Pangeran Qin (Li Shimin) telah mengirim pasukan dan menghukum mati mereka. Ia khawatir yang mulia akan terkejut sehingga mengirim hamba untuk melindungi yang mulia”

Kaisar Gaozu yang menyadari situasi telah demikian serius meminta nasihat dari Pei Ji, Xiao Yu, dan Chen Shuda. Xiao dan Chen menyarankan padanya agar menetapkan Li Shimin sebagai putra mahkota untuk menenangkannya. Atas permintaan Yuchi, Gaozu mengeluarkan titah yang memerintahkan agar seluruh sisa pasukan Li Jiancheng dan Li Yuanji menghentikan perlawanan dan tunduk pada Li Shimin. Ia juga memanggil putra keduanya itu menghadapnya untuk memberinya beberapa nasihat, di hadapan ayahnya Li Shimin berlutut dan menangis. Tiga hari kemudian ia mengangkat Li Shimin sebagai putra mahkota dan menyerahkan seluruh tanggung jawab negara padanya. Dua bulan setelahnya ia turun tahta dan Li Shimin menjadi kaisar berikutnya dengan gelar Kaisar Tang Taizong. Li Shimin menghukum mati seluruh putra-putra Li Jiancheng dan Li Yuanji, namun mengampuni para bawahan mereka.

Legenda

Dalam naskah Dunhuang ada salinan berjudul Perjalanan Kaisar Taizong ke Alam Baka. Disini diceritakan bahwa, Li Shimin ketika sakit keras, jiwanya sempat berkelana ke alam baka dimana dia berjumpa dengan arwah kedua saudaranya yang menuntut balas, mereka menuntut agar Li Shimin diinterogasi oleh Raja Yama, penguasa alam baka dan dijebloskan ke neraka. Namun kisah ini hanyalah hasil rekayasa selama rezim kaisar wanita Wu Zetian untuk mendiskreditkan klan Li (keluarga Dinasti Tang) dan pendukungnya.

Legenda ini juga menjadi asal mula tradisi Dewa Pintu. Konon untuk menghalangi hantu kedua saudaranya yang bergentayangan mengganggunya, Li Shimin memerintahkan dua jenderalnya, Yuchi Jingde dan Qin Qiong untuk berjaga di depan pintu kamarnya sepanjang hari. Namun karena keterbatasan tenaga, keduanya tidak bisa berjaga non-stop sepanjang hari. Sebagai gantinya dibuatlah lukisan kedua jenderal itu dan ditempelkan di sisi kanan dan kiri pintu kamar sang kaisar. Tradisi ini masih dipraktekkan oleh orang Tionghoa hingga kini untuk mencegah hal-hal yang buruk masuk ke rumah.



-dipi-
 
Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907–960)

Antara tahun 907 sampai 960, sejak runtuhnya Dinasti Tang sampai berkuasanya Dinasti Song, terjadi suatu periode perpecahan politik yang dikenal sebagai Zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Negara. Pada masa yang cukup singkat ini, lima dinasti (Liang, Tang, Jin, Han, dan Zhou) secara bergantian menguasai jantung wilayah kerajaan lama di utara Cina. Pada saat yang bersamaan, sepuluh negara kecil lain (Wu, Wuyue, Min, Nanping, Chu, Tang Selatan, Han Selatan, Han Utara, Shu Awal, dan Shu Akhir) berkuasa di selatan dan barat Cina.



Dinasti Song (960-1279)


China_11a.jpg

Dinasti Song adalah salah satu dinasti yang memerintah di Cina antara tahun 960 sampai dengan tahun 1279 sebelum Cina diinvasi oleh bangsa Mongol. Dinasti ini menggantikan periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara dan setelah kejatuhannya digantikan oleh Dinasti Yuan. Dinasti ini merupakan pemerintahan pertama di dunia yang mencetak uang kertas dan merupakan dinasti Cina pertama yang mendirikan angkatan laut. Dalam periode pemerintahan dinasti ini pula, untuk pertama kalinya bubuk mesiu digunakan dalam peperangan dan kompas digunakan untuk menentukan arah utara.

Dinasti Song dibagi ke dalam dua periode berbeda, Song Utara dan Song Selatan. Semasa periode Song Utara (960–1127), ibukota Song terletak di kota Bianjing (sekarang Kaifeng) dan dinasti ini mengontrol kebanyakan daerah Cina dalam (daerah suku Han bermayoritas). Song Selatan (1127–1279) merujuk pada periode setelah dinasti Song kehilangan kontrol atas Cina Utara yang direbut oleh Dinasti Jin. Pada masa periode ini, pemerintahan Song mundur ke selatan Sungai Yangtze dan mendirikan ibukota di Lin'an (sekarang Hangzhou). Walaupun Dinasti Song telah kehilangan kontrol atas daerah asal kelahiran kebudayaan Cina yang berpusat di sekitar Sungai Kuning, ekonomi Dinasti Song tidaklah jatuh karena 60 persen populasi Cina berada di daerah kekuasaan Song Selatan dan mayoritas daerah kekuasaannya merupakan tanah pertanian yang produktif. Dinasti Song Selatan meningkatkan kekuatan angkatan lautnya untuk mempertahankan daerah maritim dinasti Song. Untuk mendesak Jin dan bangsa Mongol, dinasti Song mengembangkan teknologi militer yang menggunakan bubuk mesiu. Pada tahun 1234, Dinasti Jin ditaklukkan oleh bangsa Mongol. Möngke Khan, Khan ke-empat kekaisaran Mongol, meninggal pada tahun 1259 dalam penyerangan ke sebuah kota di Chongqing. Saudara lelakinya, Kublai Khan kemudian dinyatakan sebagai Khan yang baru, walaupun klaim ini hanya diakui oleh sebagian bangsa Mongol di bagian Barat. Pada tahun 1271, Kubilai Khan dinyatakan sebagai Kaisar Cina. Setelah peperangan sporadis selama dua dasawarsa, tentara Kubilai Khan berhasil menaklukkan dinasti Song pada tahun 1279. Cina kemudian disatukan kembali di bawah Dinasti Yuan (1271–1368).

Populasi Cina meningkat dua kali lipat semasa abad ke-10 dan ke-11. Pertumbuhan ini didukung oleh perluasan kultivasi padi di Cina tengah dan selatan, penggunaan bibit beras cepat panen dari Asia selatan dan tenggara, dan surplus produksi bahan pangan. Sensus Dinasti Song Utara mencatat populasi sekitar 50 juta. Angka ini menyamai populasi Cina pada saat Dinasti Han dan Dinasti Tang. Data ini diperoleh dari sumber catatan Dua Puluh Empat Sejarah. Namun, diperkirakan bahwa Dinasti Song Utara berpopulasi sekitar 100 juta jiwa. Pertumbuhan populasi yang dramatis ini memacu revolusi ekonomi Cina pramodern. Populasi yang meningkat ini merupakan salah satu penyebab lepasnya secara perlahan peranan pemerintah pusat dalam mengatur ekonomi pasar. Populasi yang besar ini juga meningkatkan pentingnya peranan para bangsawan rendah dalam menjalankan administrasi pemerintahan tingkat bawah.

Kehidupan sosial semasa Dinasti Song cukup vibran. Elit-elit sosial saling berkumpul untuk memamerkan dan memperdagangkan karya-karya seni berharga, masyarakat saling berkumpul dalam festival-festival publik dan klub-klub privat, dan di kota-kota terdapat daerah perempatan hiburan yang semarak. Penyebaran ilmu dan literatur didorong oleh penemuan teknik percetakan blok kayu yang telah ada dan penemuan percetakan bergerak pada abad ke-11. Teknologi, sains, filsafat, matematika, dan ilmu teknik pra-modern berkembang dengan pesat pada masa Dinasti Song. Walaupun institusi seperti ujian pegawai sipil telah ada sejak masa Dinasti Sui, institusi ini menjadi lebih menonjol pada periode Song. Hal inilah yang menjadi faktor utama bergesernya elit bangsawan menjadi elit birokrat.

Sejarah

Song Utara


Song_Taizu.jpg

Kaisar Song Taizu​

Kaisar Song Taizu (memerintah 960–976) menyatukan Cina dengan menaklukkan berbagai daerah-daerah kekuasaan semasa pemerintahannya dan mengakhiri pergolakan periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara. Di Kaifeng, ia mendirikan pemerintahan pusat yang kuat. Ia menjaga stabilitas administrasi negara dengan mempromosikan sistem ujian pegawai sipil dalam menunjuk pejabat-pejabat birokrat. Selain itu, ia juga memulai berbagai proyek-proyek yang bertujuan menjamin efisiensi komunikasi di seluruh kerajaan. Salah satu proyek tersebut adalah pembuatan peta tiap-tiap provinsi dan kota-kota kerajaan secara mendetail dan kesemuannya dikumpulkan menjadi satu atlas yang besar. Ia juga mendorong inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mendukung berbagai karya-karya ilmiah seperti pembuatan menara jam astronomi yang dibuat oleh insinyur Zhang Sixun.

Kerajaan Song memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan Chola di India, Fatimid di Mesir, Sriwijaya, dan kerajaan-kerjaan mitra dagang lainnya. Dari awal sejak didirikannya oleh Taizu, Dinasti Song secara bergantian terlibat dalam peperangan dan hubungan diplomasi dengan bangsa Khitan dari Dinasti Liao di Timur Laut dan bangsa Tangut dari Dinasti Xia Barat di Barat Laut. Dinasti Song menggunakan kekuatan militer dalam usahanya menumpas Dinasti Liao dan merebut kembali Enam belas Prefektur, daerah kekuasaan Khitan yang dianggap sebagai bagian dari Cina. Namun, tentara Song berhasil didesak oleh tentara Liao yang terlibat dalam kampanye perang agresif selama bertahun-tahun di daerah utara Song. Hal ini berhenti pada tahun 1005 dengan ditandatanganinya perjanjian Shanyuan.

Bangsa Cina kemudian dipaksa membayar upeti kepada bangsa Khitan, walaupun pembayaran upeti ini tidak memberikan dampak yang besar bagi ekonomi Song karena bangsa Khitan sangat bergantung pada impor barang dari Dinasti Song. Dinasti Song berhasil memenangkan beberapa peperangan dengan bangsa Tangut pada awal abad ke-11. Kemenangan ini mencapai puncaknya di bawah arahan Jenderal Shen Kuo (1031–1095), yang juga seorang cendekiawan dan negarawan. Namun, operasi militer ini pada akhirnya gagal oleh karena salah seorang rival Shen tidak mematuhi perintah langsung dan daerah yang berhasil direbut dari Xia Barat pada akhirnya lepas. Terdapat pula perang yang signifikan melawan Dinasti Lý dari Vietnam dari tahun 1075 sampai dengan tahun 1077 dikarenakan sengketa wilayah perbatasan dan diputusnya hubungan dagang dengan keajaan Đại Việt.

Setelah tentara Lý berhasil memberikan kerusakan parah dalam serangannya di Guangxi, komandan Song Guo Kui (1022–1088) kemudian membalas dengan menyerang balik sampai sejauh Thăng Long (sekarang Hanoi). Oleh karena kerugian besar yang ditanggung oleh kedua belah pihak, Komandan Lý Thường Kiệt (1019–1105) kemudian menawarkan perjanjian damai dan mengijinkan kedua belah pihak mundur dari peperangan. Daerah-daerah yang berhasil direbut oleh Song dan Lý kemudian dikembalikan ke pihak masing-masing bersama dengan para tahanan perang pada tahun 1082.

Selama abad ke-11, persaingan politik yang sengit kemudian memecah belah anggota-anggota istana kerajaan oleh karena perbedaan pendekatan, pendapat, dan kebijakan para menteri pejabat dalam menangani ekonomi dan masyarakat Song yang kompleks. Kanselir Fan Zhongyan (989–1052) yang merupakan seorang idealis, mendapatkan pukulan politik yang besar ketika ia berusaha melakukan reformasi dalam memperbaiki sistem perekrutan pejebat, meningkatkan gaji para pegawai rendah, dan menginisiasi program sponsor yang mengijinkan masyarakat luas mendapatkan pendidikan. Setelah Fan dipaksa turun dari jabatannya, Wang Anshi (1021–1086) menjadi kanselir baru istana. Dengan dukungan Kaisar Shenzong (1067–1085), Wang Anshi mengkritik habis-habisan sistem pendidikan dan birokrasi negara.

Untuk menyelesaikan apa yang ia lihat sebagai korupsi dan kelalaian negara, Wang mengimplementasikan sejumlah reformasi yang disebut sebagai Kebijakan Baru. Reformasi ini meliputi reformasi pajak tanah, pendirian monopoli pemerintah, dukungan terhadap milisi-milisi lokal, dan pembuatan standar baru dalam ujian kerajaan. Reformasi ini menimbulkan perpecahan politik dalam istana kerajaan. Kelompok Kebijakan Baru Wang Anshi ditentang oleh golongan 'Konservatif' yang dipimpin oleh sejarahwan dan Kanselir Sima Guang (1019–1086). Seketika salah satu golongan menjadi mayoritas dalam kementerian istana, para pejabat saingan akan diturunkan jabatannya secara paksa dan diasingkan ke tempat-tempat terpencil di kerajaan. Salah satu korban persaingan politik yang terkenal ini adalah negawaran dan penyair Su Shi (1037–1101). Ia dipenjarakan dan pada akhirnya diasingkan oleh karena mengkritik kebijakan reformasi Wang.

Manakala politik istana Song terpecah dan terfokus pada masalah internal, peristiwa besar yang terjadi di Kerajaan Liao pada akhirnya mendapatkan perhatian Kerajaan Song. Bangsa Jurchen yang merupakan suku taklukkan Kerajaan Liao memberontak dan mendirikan kerajaan mereka sendiri, yakni Jin Dynasty (1115–1234). Pejabat Song Tong Guan (1054–1126) menganjurkan Kaisar Huizong (1100–1125) membentuk aliansi dengan bangsa Jurchen dan melakukan operasi militer bersama untuk menaklukkan Dinasti Liao pada tahun 1125. Namun, buruknya prestasi dan lemahnya kekuatan militer tentara Song terlihat oleh bangsa Jurchen dan dengan segera mereka keluar dari aliansi dengan Song. Bangsa Jurchen kemudian menyerang daerah Song pada tahun 1125 dan 1127.

Pada penyerangan tahun 1127, bangsa Jurchen bukan hanya dapat merebut ibukota Song di Kaifeng, namun juga menawan Kaisar Huizong yang telah mengundurkan diri, penggantinya Qinzong, dan kebanyakan anggota istana. Kejadian ini terjadi pada tahun Jinkang dan dikenal sebagai peristiwa Penghinaan Jinkang. Tentara Song yang tersisa kemudian bergabung di bawah perintah Kaisar Gaozong (1127–1162) yang mengangkat dirinya sebagai Kaisar. Dinasti Song kemudian mundur ke selatan Sungai Yangtze dan mendirikan ibukota baru di Lin'an (sekarang Hangzhou). Penaklukan Cina utara oleh bangsa Jurchen dan berpindahnya ibukota dari Kaifeng ke Lin'an merupakan garis pemisah Dinasti Song Utara dengan Dinasti Song Selatan.


Bersambung



-dipi-
 
Dinasti Liao

Dinasti Liao (916 - 1125) adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh bangsa Khitan, sebuah bangsa minoritas di sebelah utara Cina tepatnya di Manchuria yang sekarang.

Dinasti Jin (1115-1234)

Dinasti Jin (sering juga disebut negara Jin) adalah sebuah negara yang didirikan oleh suku Nuzhen di utara Cina. Suku ini merupakan cikal bakal dari suku Manchu yang kemudian mendirikan Dinasti Qing.

Dinasti Yuan

Dinasti Yuan (1271 - 1368) adalah satu dari dua dinasti asing di Cina (yang lainnya adalah dinasti Qing). Dinasti asing berarti dinasti yang bukan didirikan oleh orang Han karena di zaman dulu, Han adalah satu-satunya yang dianggap mewakili entitas China. Dinasti ini didirikan oleh Kublai Khan, cucu dari Jenghiz Khan yang mendirikan kekaisaran terbesar dalam sejarah dunia.

Walaupun Kublai Khan secara de-facto adalah pendiri Dinasti Yuan, namun ia menempatkan kakeknya, Jenghiz Khan sebagai kaisar pertama Dinasti Yuan.

Kubilai Khan

Kubilai Khan atau "Khan Besar Terakhir" (23 September 1215 - 18 Februari 1294) adalah kaisar Mongol (1260-1294) dan juga pendiri Dinasti Yuan (1279-1294). Terlahir sebagai putra kedua dari Tului dan Sorghatani Beki, cucu dari Jenghis Khan. Ia menggantikan kakaknya Mengke pada tahun 1260. Saudaranya yang lain, Hulagu, menguasai Persia dan mendirikan Il-Khanate.

Kubilai adalah cucu Jenghis Khan. Masa mudanya dihabiskan untuk mempelajari kebudayaan Tiongkok. Saat Mengke menjadi kaisar, Kubilai menjadi gubernur daerah Selatan Mongol. Saat menjabat, Kubilai meningkatkan hasil bumi provinsi Henan dan meningkatkan kesejahteraan sosial Xi'an.

Pada tahun 1253, Kubilai menyerang Yunnan. Kemudian ia menguasai dan menghancurkan kerajaan Dali. Pada tahun 1258, Mengke menunjuk Kubilai untuk memimpin Pasukan dari Timur untuk membantu menaklukkan Sichuan dan Yunnan. Sebelum tiba (1259), ada berita bahwa Mengke wafat. Saat itu Kubilai tetap menyerang Wuhan. Tak lama ia mendengar bahwa adiknya merebut tahta. Kubilai langsung berdamai dengan negeri Sung dan pulang ke arah utara padang Mongolia.

Kubilai dan adiknya masing-masing lalu mengangkat diri menjadi Khan. Pertempuran keduanya berlangsung selama 3 tahun, dimana Kubilai muncul sebagai pemenang. Saat itulah gubernur Yizhou, Li memberontak melawan Mongol. Kejadian ini menimbulkan rasa tidak percaya Kubilai terhadap bangsa Han. Saat berkuasa, Kubilai mengeluarkan hukum anti Han, seperti larangan gelar bagi penguasa daerah di Tiongkok.

Kubilai Khan kemudian mengangkat dirinya bukan saja sebagai Khan dari Kekaisaran Mongolia, namun juga sebagai Kaisar China, dan membangun Dinasti Yuan di tanah China. Ia lalu memerintahkan untuk memindahkan ibukota Mongol ke Beijing. Pada saat itu kerajaan Mongol mencapai zaman keemasannya dimana pedagang dari China dapat pergi berdagang di Eropa dengan aman. Para pedagang Eropa yang haus akan kain sutra pun dapat datang membeli barang dagangan di China dengan aman tentram. Marco Polo dari Italia tiba di China pada masa Dinasti Yuan, dan pernah dijadikan gubernur oleh Kubilai Khan. Hal inilah menandakan perdagangan langsun pertama kalinya muncul antar Eropa dan China, dimana permintaan Eropa akan porselein, ukiran, dan sutra dari China melaju tinggi.

Berbagai invasi ke negeri-negeri Asia Timur dan Asia Tenggara dilancarkan oleh pasukan-pasukan Kublai Khan. Tujuan utamanya ialah untuk memperluas pengaruh kekuasaan, melancarkan perdagangan dan menerima upeti dari negara-negara lain di Asia. Kekaisaran Dinasti Yuan mencapai batas terluasnya saat di bawah kekuasaan Kublai Khan, dengan penaklukan tuntasnya atas Dinasti Sung, yang terjadi pada tahun 1279.

Kubilai Khan tidak hanya disibukan oleh peperangan, namun ia juga mempelajari tradisi China. Ia senang dengan kehidupan dan adat istiadat China. Artis, tukang pahat, tukang masak terbaik semua dikumpulkan di Beijing untuk memacu adat-istiadat negara. Marco Polo dikabarkan juga membawa banyak kekayaan budaya seperti sutra dan resep memasak dari China ke Italia.

Invasi ke Korea

Pasukan Mongol memasuki wilayah Korea pada tahun 1216. Pada saat itu hubungan berlangsung baik dikarenakan pasukan Mongol diperintahkan untuk menghancurkan angkatan perang Khitan. Pada saat itu hubungan antar kerajaan Koryo (Korea) dan kerajaan Khitan tidaklah berlangsung baik. Angkatan perang Khitan yang tidak mendapat bantuan pangan dari kerajaan Korea mengambil langkah untuk merebut pangan dari desa-desa di Korea untuk melawan kerajaan Mongolia. Raja Koryo memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Mongolia dalam menghancurkan pasukan Khitan. Setelah perang usai, raja Koryo membuat perjanjian damai terhadap kerajaan Mongolia dan mengirim upeti tahunan. Namun upeti tersebut dirampas oleh kawanan perampok dan duta besar Mongolia terbunuh. Hal itu mengakibatkan kerajaan Mongol marah dan mengirim pasukan penghukumnya untuk memasuki wilayah Korea yang kedua kalinya.

Pertempuran terjadi sengit pada tahun 1231. Pasukan Mongol berhasil menawan raja Korea dan mendirikan perkemahan Mongol untuk mengamankan wilayah jajahannya. Kemudian sebagian besar pasukan mereka kembali ke negeri Mongol. Namun perkemahan tersebut diserang oleh para pemberontak. Hal itu menimbulkan invasi ketiga pada tahun 1254 yang mengakhiri hidup kerajaan Korea. Pada tahun 1258 seluruh wilayah Korea berhasil dikuasai oleh kerajaan Mongol. Raja Korea yang kabur ke pulau kecil Cheju, lalu mengawinkan putrinya kepada kerajaan Mongol pada tahun 1273. Pulau itulah yang kemudian dipakai oleh pihak Mongol untuk rencana invasi ke negeri Jepang.

Invasi ke Jepang

Invasi ke tanah Jepang dilakukan jauh sebelum invasi ke kerajaan di Asia Tenggara. Invasi ini berlangsung dua kali. Invasi pertama dilakukan pada tahun 1274 dimana pasukan Mongol bergabung dengan pasukan Korea (pada umumnya budak) mendarat di teluk Hakata. Ribuan pasukan yang berangkat dari Pusan (Korea) melewati pulau Tsushima dan Iki dengan mudah. Namun pada saat mereka hendak mencapai tanah Jepang, mereka diserang oleh badai Tsunami yang menghancurkan pasukan serta pangan mereka hingga tiga per empatnya. Pasukan yang mendarat di teluk Hakata tidak memiliki pangan dan senjata yang cukup untuk melawan pasukan Jepang. Mereka dihancurkan oleh pasukan Samurai. Kaisar Jepang memerintahkan pasukan China untuk dibebaskan karena mereka adalah penduduk dari Tang (kerajaan China pada zaman dinasti Tang mempunyai hubungan baik dengan Jepang). Sedangkan pasukan Mongolia dan Korea semuanya dihukum penggal. Pasukan Mongol yang dikirim ke Jepang itu berupa gabungan dari tentara Mongolia sendiri dan budak-budak dari China dan Korea.

Pada tahun 1281 ratusan ribu pasukan Mongol mendarat untuk kedua kalinya ditanah Jepang. Pasukan Samurai Jepang saat itu tidak mengerti dengan taktik perang Mongol. Menurut tradisi Jepang, sebelum perang dimulai, mereka harus mengadakan duel (satu lawan satu) antar panglima diatas kuda untuk mengukur kekuatan dan semangat lawan. Namun pada saat itu, tidak ada orang yang bisa berbicara bahasa Mongol dari jajaran pasukan Jepang. Pasukan Mongol sendiri tidak mengerti bahasa Jepang. Sehingga pada saat tantangan duel diteriakkan, ribuan pasukan Mongol maju menyerang secara membabi buta. Pasukan Samurai juga menderita oleh serangan Mongol yang berupa hujan anak panah. Secara tradisi pasukan Samurai berperang dengan memanah musuh secara akurat tidak seperti Mongol yang memanah musuh secara membabi buta dan dengan jumlah yang besar. Pasukan Mongol juga menggunakan "senjata guntur" (bom) untuk menghancurkan jajaran pasukan Samurai. Senjata guntur itu pertama kali diciptakan oleh kerajaan China. Senjata itu terbuat dari tanah liat dan dengan bentuk bola yang besar. Di dalam tanah liat tersebut diisi penuh dengan bubuk mesiu. Kemudian bola tanah liat itu diikat dengan tali dan diayukan kearah musuh. Ledakan bola tanah liat itu bagaikan guntur dan menakuti jajaran pasukan samurai dan kuda-kuda yang mereka tunggangi.

Setelah perang dimenangkan, ratusan ribu pasukan Mongol kembali ke perkemahan mereka di daerah pantai serta membakar desa-desa disekitarnya. Pada malam harinya terjadi Tsunami ganda yang menghancurkan perkemahan mereka serta kapal-kapal mereka lebih parah dengan apa yang terjadi pada tahun 1274. Tsunami ganda tersebut dinamakan Kamikaze, yang kemudian nama itu digunakan oleh kerajaan perang sebagai kode tempur dalam perang pasifik pada perang dunia ke 2. Pasukan Mongol yang tersisa sedikit tersebut kemudian dihancurkan oleh pasukan Jepang. Hal itu menandakan akhir invasi Mongol ke Jepang. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa kaisar Jepang mengakui kedaulatan Mongol serta mengirimkan upeti, hal itulah yang membuat Kubilai Khan puas dan mulai mengarahkan pandangannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara (Jawa, Vietnam, Kamboja, dsb).

Invasi ke Annam (Vietnam Utara)

Kubilai Khan menaruh perhatiannya ke wilayah Asia tenggara setelah ia berhasil menguasai seluruh wilayah Asia Timur. Ia mulai mengirim duta besarnya kepada puluhan kerajaan kecil untuk meminta upeti tahunan. Namun hal itu tidak berlangsung baik, karena banyak kerajaan yang tidak mengenal Mongolia dan bahkan mempermalukan duta besar mereka. Pasukan Mongolia lalu dikirimkan untuk menghancurkan kerajaan Champa, namun mereka tidak diperbolehkan untuk memasuki wilayah Annam. Hal ini menimbulkan amarah Kubilai Khan setelah pasukannya diserang secara tiba-tiba 1285. Pada tahun 1287 pasukan gelombang kedua tiba dan berhasil mengepung serta menghancurkan ibukota Annam, Hanoi. Raja Annam berhasil kabur ke selatan. Iklim tropis yang panas dan lembab di daerah itu memaksa pasukan Mongol untuk meninggalkan keberhasilan mereka setelah merebut kota Hanoi. Pada tahun 1288 panglima Mongol merasa tidak puas dan menyerang wilayah Annam untuk ketiga kalinya. Walaupun raja Annam berhasil melarikan diri, ia sadar bahwa pasukan Mongol tidak akan pernah berhenti menyerang tanpa adanya perjanjian damai. Raja Annam kemudian mengakui kekuatan Mongol dan mengirimkan upeti.

Invasi ke Champa (Vietnam Selatan) dan Kamboja

Setelah kerajaan Annam berhasil dikuasai Mongol, pasukannya mulai berekspedisi ke arah selatan. Dalam tahun yang sama, raja Champa menyerah dan menyerahkan kekuasaan ketangan Mongolia seperti raja Annam. Mereka menjadi raja boneka yang dikontrol sepenuhnya oleh Kubilai Khan.

Invasi ke Tibet dan Thailand

Invasi ini berlangsung damai. Hal tersebut dikarenakan raja dari kerajaan tersebut mengakui kedaulatan Mongolia dan setuju untuk mengirimkan upeti terhadap kerajaan Mongol. Pada saat itu, Kubilai Khan juga disibukkan oleh berbagai perang dengan kerajaan lain, sehingga tidak ada pasukan yang dikirim untuk mendiami wilayah Tibet maupun Thailand.

Invasi ke Burma

Invasi ini berlangsung dikarenakan duta besar Mongol yang dibunuh oleh raja Burma. Kerajaan Burma pada saat itu sedang dalam zaman keemasan dengan memiliki pasukan yang berlimpah. Pasukan Burma pada umumnya berupa pasukan gajah. Namun hal itu tidak menjadi tantangan besar oleh pasukan Mongolia. Pada tahun 1277 dan 1283, pasukan Burma mengadakan invasi ketanah Mongolia di China untuk menunjukkan kekuatan mereka. Pasukan penghukum yang dipimpin oleh Temur (cucu Kubilai Khan) meratakan ibukota Burma, Pagan. Raja Burma berhasil kabur dari pertempuran tersebut, namun pada tahu 1287 seluruh wilayah Burma berada dalam kekuasaan Mongolia.

Invasi ke Jawa

Pada akhir tahun 1292 angkatan perang Mongol mulai dikirim ketanah Jawa dikarenakan duta besar mereka dipermalukan oleh kerajaan Singhasari dibawah rajanya Kertanagara. Pada tahun 1293 angkatan perang tersebut mendarat di Rembang dan mulai melaju kearah timur Jawa. Pada saat mereka tiba, tanah Jawa dipenuhi dengan kehancuran yang diakibatkan oleh perang, jauh sebelum mereka tiba. Kerajaan Singhasari sendiri sudah jauh hari dihancurkan oleh kerajaan Kediri. Pasukan Mongol yang tidak tahu apa yang harus mereka perbuat itu disiasati oleh Raden Wijaya untuk berontak melawan kerajaan Kediri. Raja Jayakatwang akhirnya tertangkap, dan Raden Wijaya mendirikan kerajaan yang diberi nama Majapahit. Pasukan Mongolia kemudian diserang oleh Raden Wijaya sendiri dan diusir dari tanah Jawa. Panglima Mongol yang sudah kehilangan sedikitnya 3000 tentara dan dipengaruhi dengan iklim tropis yang lembab dan panas itu memutuskan untuk berlayar kembali ke tanah Mongolia dengan berbekal emas, budak dan hasil rampasan perang lainnya dari tanah Jawa. Namun setelah ia kembali, Kubilai Khan menjadi marah setelah mendengar cerita ekspedisinya. Panglima tersebut diberi hukuman 16 cambukan dan setengah dari kekayaannya disita kerajaan.

Akhir kerajaan Mongol

Kerajaan Mongol diakhiri oleh perebutan kekuasaan dan pemberontakan diseluruh jajaran wilayah Mongolia. Setelah kehancuran Dinasti Yuan di China, Kaisar Zhu Yuanzhang dari China mendirikan kerajaan Ming dan memerintahkan untuk mengadakan operasi balas dendam terhadap Mongolia. Ibukota Mongolia diratakan dengan tanah berserta seluruh harta karunnya. Setelah kerajaan Mongolia hancur, sejarah mencatat bahwa hanya dalam 1-2 generasi, rakyat China dan Eropa hilang hubungan dan tidak mengetahui sesamanya. Setelah itu Eropa tidak pernah tahu keberadaan negeri China, dan sebaliknya. Marco Polo yang pulang ke Italia dan memberitakan ekspedisi yang ia alami selama di China, dimana ia melihat vihara yang beratapkan emas, kerajaan yang berlimpah akan makanan dan harta itu, tidak dipercayai oleh orang Eropa. Namun ada seseorang yang percaya akan legenda yang diceritakan oleh Marco Polo. Ia adalah Columbus, yang mengadakan pelayaran untuk mencari dunia yang diceritakan oleh Marco Polo, dan akhirnya mendarat di benua baru yang dinamakan benua Amerika.



-dipi-
 
Dinasti Ming (1368–1644)

Dinasti Ming (1368 - 1644) adalah dinasti satu dari dua dinasti yang didirikan oleh pemberontakan petani sepanjang sejarah Cina. Dinasti ini adalah dinasti bangsa Han yang terakhir memerintah setelah Dinasti Song. Pada tahun 1368 Zhu Yuanzhang berhasil mengusir bangsa Mongol kembali ke utara dan menghancurkan Dinasti Yuan yang mereka dirikan. Ia mendirikan dinasti Ming, dengan ibukotanya di Yingtian (sekarang Nanjing) sebelum putranya, Zhu Di, yang menjadi kaisar ke-3 memindahkan ibukota ke Shuntian (sekarang Beijing). Yingtian kemudian berganti nama menjadi Nanjing (ibukota selatan).

Awal Dinasti Ming ditandai dengan masa-masa ketenangan dan kemakmuran di bawah Kaisar Hongwu, Zhu Yuanzhang. Kaisar Hongwu melakukan reformasi pada sistem pemerintahan dan birokrasi dengan membentuk organ birokrasi baru yang saling mengimbangi untuk mencegah munculnya lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang terlalu besar. Ia juga melalukan pembangunan ekonomi, menghentikan segala ekspedisi militer untuk memberi rakyat waktu dan ketenangan untuk melakukan tanggung jawab mereka di bidang masing-masing. Kebijakan ini berhasil ditandai dengan peningkatan jumlah populasi sampai dengan 10.650.000 kepala keluarga atau 65.000.000 jiwa pada tahun 1393.

Di penghujung Dinasti Ming, pemberontakan marak di seluruh negara dan pada puncaknya, Beijing jatuh ke tangan pemberontak yang dipimpin oleh Li Zicheng. Kekalahan ini menyebabkan Chongzhen menggantung diri di bukit di belakang Kota Terlarang. Li yang bersengketa dengan Wu Sangui menangkapi keluarganya di Beijing menyebabkan Wu memutuskan untuk menyerah kepada suku Manchu yang kemudian menaklukkan Li Zicheng dan menguasai Beijing pada tahun 1644.

Setelah Beijing dikuasai oleh suku Manchu, mereke kemudian mendirikan Dinasti Qing yang menandai runtuhnya Dinasti Ming. Sisa-sisa kekuatan yang setia kepada Dinasti Ming kemudian mengungsi ke selatan Cina dan meneruskan perlawanan secara terpisah. Dalam sejarah, kekuatan ini dikenal sebagai Ming Selatan. Ming Selatan kemudian berhasil dihancurkan oleh Kaisar Kangxi pada tahun 1683.

Penghujung Dinasti Yuan

Dinasti Yuan adalah dinasti yang didirikan oleh bangsa Mongol yang dianggap sebagai bangsa asing oleh suku Han. Diskriminasi kekaisaran terhadap suku Han yang mayoritas sangat kentara dengan pembagian kasta yang didasarkan atas etnisitas. Suku Han dialokasikan di dua kasta terendah pada zaman tersebut.

Penghujung Dinasti Yuan juga ditandai dengan pemerintahan yang korup, pajak dan inflasi yang tinggi. Hal ini diperparah dengan tingkah laku bangsawan Mongol yang sewenang-wenang. Kekaisaran kemudian mengganti mata uang yang telah beredar sejak zaman Kublai Khan dengan mata uang baru. Mata uang baru ini kemudian dicetak dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hiperinflasi. Perekonomian ambruk dan bencana kelaparan merebak di mana-mana.

Tahun 1351, Sungai Kuning meluap menyebabkan banjir besar. Bencana ini memperparah kondisi perekonomian yang telah sangat kacau. Kekaisaran kemudian memerintahkan seluruh ratusan ribu petani dan tentara untuk memperbaiki bendungan Sungau Kuning. Kerja paksa ini menyebabkan ketidakpuasan rakyat mencapai puncaknya.

Pemberontakan petani

Hiperinflasi dan ketidakpuasan atas kerja paksa menanggulangi bencana banjir Sungai Kuning menyebabkan pecahnya pemberontakan petani secara massal. Pemberontakan ini dikenal dengan Pemberontakan Serban Merah yang meletus pada bulan Mei 1351.

Tahun berikutnya, Guo Zixing memimpin pemberontakan dan berhasil menguasai wilayah Haozhou (sekarang Kabupaten Fengyang, Anhui). Pada saat ini, Zhu Yuanzhang ikut berpartisipasi dan berjasa dalam beberapa pertempuran. Jasa Zhu kemudian menarik perhatian Guo yang akhirnya menikahkan putri angkatnya kepada Zhu. Setelahnya, Zhu kemudian meninggalkan Haozhou dan memperkuat diri sendiri. Tahun 1356, dengan kekuatannya sendiri, ia berhasil menaklukkan Jiqing (sekarang Nanjing, Jiangsu) dan mengganti nama menjadi Yingtian. Yingtian inilah yang kemudian menjadi ibukota yang baru setelah Dinasti Ming berdiri.

Berdirinya Dinasti Ming

Zhu Yuanzhang kemudian memutuskan untuk berbasis di Yingtian untuk memusatkan kekuatan demi mempersatukan daratan Cina. Pada awalnya, situasi Zhu di wilayah Yingtian sangat tidak strategi buat mengumpulkan kekuatan dalam waktu singkat. Kemudian ia menerima nasihat Zhu Sheng untuk memperkuat pertahanan dan memusatkan perhatian pada perbaikan logistik dan tidak terlalu gegabah untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja.

Kebijakan ini menyebabkan Zhu dapat memperkuat dirinya dalam waktu singkat. Ia kemudian menyerang kekuatan pemberontak lainnya, Chen Youliang pada tahun 1360. Ia kemudian berhasil memukul mundur pasukan Chen ke Jiangzhou, wilayah pesisir sebelah timur Yingtian. Dalam waktu tiga tahun, Zhu berhasil menghancurkan kekuatan Chen.

Tahun 1367, Zhu berhasil menaklukkan Zhang Shicheng, pemberontak lainnya dan menguasai Pingjiang (sekarang Suzhou, Jiangsu). Dalam tahun yang sama, Zhu juga menghancurkan kekuatan Fang Guozhen yang pada saat itu menguasai wilayah pesisir Zhejiang. Setelah keberhasilan ini, Zhu Yuanzhang mengangkat diri sebagai kaisar pada tahun 1368, memulai sejarah Dinasti Ming selama 300 tahun ke depan. Ia menetapkan Hongwu sebagai tahun pemerintahan sehingga ia dikenal juga sebagai Kaisar Hongwu.

Di tahun itu juga, Kaisar Hongwu melakukan ekspedisi ke utara untuk mempersatukan Cina. Kekaisaran Yuan yang saat itu telah melemah tidak dapat menghambat tentara Ming yang saat itu bermoral tinggi karena kemenangan demi kemenangan. Ibukota Yuan, Dadu berhasil dikuasai dan dibumi-hanguskan atas perintah Kaisar Hongwu. Suku Mongol kemudian berhasil diusir kembali ke padang rumput Mongol.

Setelah berhasil menghancurkan Dinasti Yuan, Kaisar Hongwu menaklukan pemberontak Ming Yuzhen di Sichuan pada tahun 1371. Sepuluh tahun kemudian, hancurnya kekuatan Raja Liang dari Dinasti Yuan di Yunnan mengukuhkan penyatuan Cina daratan di bawah Dinasti Ming.

Pemerintahan Hongwu

Setelah berhasil mendirikan Dinasti Ming, Kaisar Hongwu melaksanakan kebijakan untuk menenangkan rakyat. Di antaranya dengan mengembalikan gerak roda perekonomian, melakukan reformasi birokrasi Dinasti Yuan, meringankan pajak dan beban petani dan menghukum berat para pejabat yang korup. Masa ini dikenal sebagai pemerintahan Hongwu dalam sejarah.

Kaisar Hongwu juga merupakan kaisar yang penuh kecurigaan terhadap para menterinya. Ia takut pejabat kekaisaran menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan mereka untuk kepentingan diri sendiri yang pada akhirnya dapat mengancam dan membahayakan kekuasaannya. Dalam pada itu, ia terkenal sebagai kaisar yang kerap menjatuhkan hukuman kepada para menterinya.

Pada menteri terkenal yang dibunuh antara lain adalah Liau Yongzhong, Zhu Liangxiang, Li Wenzhong, Hu Weiyong, Lan Yu dan Chen Ning.

Pada akhirnya, hampir seluruh pejabat kekaisaran yang berjasa dalam pendirian Dinasti Ming kecuali Tang He dihukum mati oleh Kaisar Hongwu. Setelah ini, Kaisar Hongwu juga membentuk badan intelijen yang selanjutnya makin mengukuhkan kekuasaan absolut di tangannya.

Insiden Jingnan

Insiden Jingnan adalah peristiwa kudeta berdarah karena perebutan tahta kekaisaran antara Kaisar Jianwen dan Raja Yan, Zhu Di yang selanjutnya menjadi Kaisar Yongle. Kaisar Jianwen, Zhu Yunwen adalah cucu tertua dari Zhu Yuanzhang. Zhu Yunwen sendiri adalah anak dari Zhu Biao, anak sulung Zhu yang mati muda sebelum sempat naik tahta.

Tahun 1398, Kaisar Hongwu wafat dan digantikan oleh Kaisar Jianwen. Kaisar Jianwen atas nasihat menterinya, Qi Tai melakukan pembersihan lawan-lawan politiknya yang masing-masing memiliki kekuatan sendiri di seluruh negeri. Lawan politik yang dimaksud adalah para raja yang sebenarnya masih merupakan pamannya sendiri, anak dari mendiang Kaisar Hongwu.

Lima raja berhasil diturunkan dari tahta dan menjalani hukuman sebagai rakyat biasa. Raja Yan, Zhu Di adalah anak keempat dari Kaisar Hongwu, mempunyai kekuatan paling besar kemudian melakukan kudeta saat mendengar bahwa kekuatannya akan menjadi target pembersihan selanjutnya oleh Kaisar Jianwen.

Zhu Di akhirnya melakukan penyerangan ke ibukota Nanjing pada tahun 1399 atas saran dari penasihatnya Yao Guangxiao. Perang saudara pecah antara Kaisar Jianwen dan Zhu Di, namun akhirnya berhasil dimenangkan oleh Zhu Di pada tahun 1402. Kaisar Jianwen hilang dan tidak diketahui nasibnya setelah insiden berdarah ini.

Zhu Di lalu naik tahta dengan gelar Chengzu, menetapkan era pemerintahan sebagai Yongle sehingga dikenal juga sebagai Kaisar Yongle.

Era kejayaan Yongle

Di masa pemerintahan Kaisar Yongle, Ming mengalami masa kejayaan awal. Ekspedisi militer dilakukan oleh Kaisar Yongle untuk mempertahankan kejayaan ini. Annam (sekarang Vietnam) berhasil ditaklukkan dan kemudian menjadi protektorat Ming. Kaisar Yongle juga memimpin ekspedisi ke utara untuk memukul mundur bangsa Mongol ke Asia Tengah demi mencegah ancaman dari mereka.

Tahun 1405, Kaisar Yongle juga memerintahkan Zheng He untuk memimpin ekspedisi maritim ke lautan selatan. Tujuh kali ekspedisi melayari lautan sampai ke Madagaskar.

Pada tahun 1406, istana kekaisaran dibangun di Beiping (sekarang Beijing) dan menggunakan Beiping sebagai basis untuk melakukan ekspedisi ke Mongolia. Sampai pada tahun 1422, pembangunan dan perkembangan Beiping sangat pesat dan Kaisar Yongle kemudian menitahkan untuk memindahkan ibukota dari Nanjing ke Beiping. Beiping kemudian berganti nama menjadi Beijing.

Masa pemerintahan Yongle ditandai dengan kedamaian dan kemajuan yang pesat di seluruh negeri. Dalam catatan sejarah, masa ini dikenal sebagai era kejayaan Yongle. Namun, di balik masa kejayaan ini, Kaisar Yongle bukanlah seorang kaisar yang pengasih. Hukuman yang dijatuhkan kepada lawan politik dan oposisi tidak berkurang, ditandai dengan peristiwa penjatuhan hukuman mati sepuluh kerabat kepada Fang Xiaoru. Ini merupakan peristiwa satu-satunya di dalam sejarah Cina yang biasanya hanya membunuh sampai sembilan kerabat.

Kaisar Yongle wafat pada tahun 1424 dan digantikan oleh anaknya, Zhu Gaochi.

Pemerintahan Renxuan

Setelah Kaisar Yongle wafat pada tahun 1424, anak sulungnya Zhu Gaochi naik tahta menggantikannya sebagai kaisar. Era pemerintahan diganti menjadi Hongxi. Malangnya, ia meninggal tahun berikutnya dalam usia 48 tahun.

Walau era pemerintahannya sangat pendek, namun Kaisar Hongxi melakukan banyak keputusan yang penting di antaranya menghentikan ekspedisi maritim Zheng He dan ekspedisi militer. Ia juga mempromosikan produksi rakyat demi perkembangan ekonomi, mengampuni banyak tawanan politik, meringankan hukuman penjara dan melakukan penghematan di banyak bidang.

Setelah Kaisar Hongxi mangkat, anaknya Zhu Zhanji meneruskan tahta kekaisaran dan kebijakan yang ditinggalkan sang ayah. Ia bertahta sebagai Kaisar Xuande dan terkenal akan kemahirannya dalam seni lukis. Beberapa lukisannya menjadi lukisan ternama dalam sejarah Cina.

Di tahun 1431, Kaisar Xuande merasakan bahwa pengiriman upeti dari negara-negara protektorat Ming menyusut. Oleh karenanya, ia memerintahkan Zheng He untuk mempersiapkan ekspedisi maritim ketujuh. Ekspedisi ini menjadi ekspedisi terakhir bagi Zheng He karena ia kemudian meninggal di Guli, sebuah kota di pesisir India.

Masa pemerintahan Kaisar Xuande diwarnai dengan campur tangan kasim dalam keputusan kekaisaran yang dilarang sejak masa pemerintahan Kaisar Hongwu. Kaisar Xuande juga dijuluki sebagai kaisar jangkrik karena ia sangat gemar memelihara dan berlaga jangkrik. Hal ini menyebabkan para menteri dan kasim di istana berlomba-lomba untuk memberikan hadiah jangkrik kepada sang kaisar.

Walaupun ada berbagai kekurangan di atas, namun di masa ini rakyat Ming mengalami kehidupan yang relatif aman dan tenteram. Era ini dikenal sebagai pemerintahan Renxuan diambil dari gelar kedua kaisar yang memerintah, Renzong dan Xuanzong.

Invasi Mongol

Pada tahun 1435, Zhu Qizhen naik tahta dengan gelar Yingzong dan era tahun Zhengtong. Kaisar Zhengtong adalah satu-satunya kaisar dinasti Ming yang memerintah dengan dua era pemerintahan, Zhengtong dan Tianshun setelah restorasi tahta kekaisaran.

Masa pemerintahan Kaisar Zhengtong diwarnai dengan penyalahgunaan wewenang oleh kasim ternama, Wang Zhen. Wang adalah seorang guru kekaisaran yang kemudian dikebiri untuk menjadi kasim di dalam istana. Wang secara terang-terangan melanggar peraturan Kaisar Hongwu bahwa kasim tidak diperbolehkan untuk mencampuri urusan kenegaraan. Selama kurun waktu tujuh tahun dengan latar belakang sebagai kasim kesayangan kaisar, tindak-tanduknya yang korup semakin merajalela.

Seiring dengan ini, kekuatan suku Oirat di Asia Tengah makin meningkat. Pada tahun 1449, Esen Khan dari Oirat menginvasi Beijing. Wang Zhen lalu memaksa Kaisar Zhengtong untuk memimpin langsung 500.000 tentara keluar dari Beijing untuk menahan serangan Mongol. Karena pasukan ini tidak terlatih dan juga bermoral rendah menyebabkan garis depan dapat dikalahkan oleh pasukan Mongol.

Mendengar kekalahan ini, Wang Zhen lalu takut untuk meneruskan pertempuran melawan Mongol dan memerintahkan seluruh pasukan untuk mundur. Kuatir kampung halamannya akan luluh lantak setelah dilewati pasukan Ming, ia mengambil rute jalan yang lebih jauh sehingga menyebabkan pasukan Oirat berhasil mengejar pasukan Ming sesampai Kastil Tumu.

Dalam pertempuran di kastil Tumu ini, Kaisar Zhengtong berhasil ditawan oleh Esen Khan, sedangkan Wang tewas dalam pertempuran. Dalam beberapa catatan sejarah tidak resmi, dikatakan bahwa Wang tewas karena dibunuh oleh jenderal Fan Zhong, pengawal kekaisaran yang tidak puas akan tindak tanduk Wang. Namun kebenaran peristiwa ini tidak diakui oleh sejarah resmi kekaisaran. Peristiwa ini dikenal sebagai Insiden Tumu dalam catatan sejarah.

Setelah kabar bahwa insiden ini sampai ke Beijing, menteri-menteri kuatir akan keselamatan mereka bila Beijing jatuh ke tangan Oirat mengusulkan untuk memindahkan ibukota ke Nanjing dan menyerahkan Beijing. Namun usulan ini ditolak oleh salah seorang menteri, Yu Qian yang kemudian menyarankan supaya adik dari Kaisar Zhengtong, Zhu Qiyu untuk meneruskan tahta kekaisaran demi kelanjutan dinasti. Zhu kemudian naik tahta dengan gelar Daizong dan era pemerintahan Jingtai.

Esen Khan sampai ke Beijing namun tidak berhasil menguasai Beijing karena pertahanan kota yang relatif kuat karena strategi pertahanan Yu Qian. Yu Qian kemudian memimpin pasukan Ming keluar Beijing dan memukul mundur pasukan Oirat. Esen Khan kemudian mundur bersama pasukannya dengan membawa Kaisar Zhengtong sebagai tawanan.

Yu Qian tidak menghiraukan tawaran damai dari Esen Khan sebagai tebusan atas Kaisar Zhengtong, namun menyusun strategi pertahanan yang lebih kuat dan selanjutnya mengusir pasukan Oirat lebih jauh ke utara. Esen Khan memperlakukan Kaisar Zhengtong dengan baik dan kemudian melepaskannya setelah merasa bahwa tidak ada gunanya lagi menawan sang kaisar pada tahun 1450.

Restorasi Kaisar Zhengtong

Kaisar Zhengtong yang dilepaskan oleh Esen Khan kemudian pulang ke Beijing. Malangnya, kepulangannya ini tidak disambut gembira oleh Kaisar Jingtai, sang adik yang bertahta menggantikannya selama menjadi tawanan.

Walaupun atas saran para menteri, Kaisar Jingtai memberikan gelar Maha Kaisar, namun ia tidak keluar menyambut Kaisar Zhengtong di gerbang kota, malah menjatuhkannya sebagai tahanan rumah di Istana Selatan. Lebih jauh, Zhu Jianshen yang sebelumnya adalah putra mahkota dicabut gelarnya dan digantikan oleh anak Kaisar Jingtai, Zhu Jianji yang tak lama kemudian meninggal karena sakit.

Sepeninggal Zhu Jianji, Kaisar Jingtai yang tidak mempunyai putra lainnya tidak juga mengembalikan kedudukan Zhu Jianshen sebagai putra mahkota. Pada tahun 1457, Kaisar Jingtai sakit parah dan beberapa menteri merencanakan kudeta untuk merestorasi Yingzong sebagai kaisar. Kudeta ini menyebabkan beberapa menteri yang setia kepada Jingtai dijatuh hukuman mati, di antaranya Yu Qian.

Kaisar Jingtai kemudian diturunkan kedudukannya menjadi raja dan meninggal sebulan kemudian. Sebaliknya, Yingzong bertahta kembali sebagai kaisar dengan era tahun Tianshun.


-dipi-
 
Back
Top