KAMBOJA MENANGIS

arserick

New member
Kamboja Menangis


Seorang nenek 9 windu berdiri.....
Ia sendiri....
Padahal ia terjepit di antara lautan manusia.
Mereka saling dorong, berteriak-teriak, mengadahkan tangan penuh keringat kepayahan.
Menangis, hampir pingsan... atau mungkin hampir mati.
Mereka berkumpul meminta sembako gratis.
Satu kresek.....
Tak seberapa memang,
Tetapi paling tidak nyawa mereka tidak terputus hari ini
Nenek itu bergerak maju....
Berjuang, menembus ke celah yang menyesakkan nafas.
Ia melihat di depannya ada seorang wanita muda menggendong anak.
Ia terlihat kelelahan, sesak nafas, terombang-ambing.
Nenek itu ingin menolong..
Tetapi...
Dia sendiri malah hampir mati...
“ Aku sudah tidak kuat.”
Nenek itu berenang menepi, menjauhi lautan manusia yang hampir menelannya.

Nenek 9 windu itu duduk melepas lelah.
Dilihatnya butir-butir beras berceceran di tanah.
Ia tersenyum, lalu memungutinya
Satu persatu...
Hingga segenggam...
Dibawanya pulang...
Dimasak...
Lalu dihidangkannya untuk makan.
Hari ini nyawanya tertolong dengan beberapa butir beras.
Tapi esok?
Sementara itu....
Seorang wanita berpakaian “ Uwah,” sedang memilih beras terwangi, terputih, termahal, terenak.....
Karena katanya: “ Kalau saya makan beras sembarangan, perut saya bisa karatan.”
***
Esmeralda, nama nenek 9 windu itu.
Tetapi, ia biasa dipanggil Esmah.
Keturunan belanda yang terjatuh...
Dalam pelukan sampah.
Kelopak matanya meleleh terpanggang usia.
Begitupun pipinya, kendur melewati dagunya.
Kerutan-kerutan yang menggilas keningnya,
Merupakan catatan kisah zaman yang ia saksikan.
Dengan mata telanjang.....
Ia melamun di bawah kolong jembatan.
Memejamkan matanya yang sudah rabun.
Menyaksikan kembali lembaran-lembaran yang terlukis di keningnya.
“ Evolusi mental!” begitulah arah fikirannya.
Ia merasakan benar evolusi mental manusia yang bergerak begitu cepat.
Memang, evolusi kecerdasan manusia bergerak maju.
Tetapi, evolusi mental manusia bergerak mundur.
“ Ah, apa yang aku fikirkan?” bisiknya.
Ia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi jika ia hidup lebih lama lagi.
Ia tersiksa....
Matanya perih menyaksikan semuanya....
Matanya hampir terbalik ketika menyaksikan orang-orang saling mencekik, saling memangsa.
Yang ia ingin lihat adalah orang-orang yang saling berpegangan tangan, saling memberi hidup dan kehidupan.
Esmah semakin tersesat dalam angannya sendiri.
Ingin keluar.....
Tetapi ia bingung, bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia fikirkan?
Ia berusaha membuka mata,
Lalu ia mendapatai bintang-bintang terlukis di depan matanya.
Ia memandangi langit malam dari bawah kolong jembatan.
“ Bukankah tadi baru saja pagi?” bisiknya.
Ia bergegas, berjalan dengan kakinya yang penuh sisik.
Susah payah dengan badan yang sudah keropos.
Ia berjalan menyusuri lorong-lorong pemukiman.
Mengambil kantong-kantong plastik yang menggantung di belakang rumah-rumah warga.
Isinya adalah nasi sisa...
Yang akan ia daur ulang...
Untuk penghidupan...
Esok dan esok lagi....
***
Lalat mengerumuni hidung Esmah,
Ia tak peduli.
Memang inilah kehidupannya.
Ia menggorek-gorek sampah dan terus menggorek.
Sesekali ia mengusap hidungnya dengan kerudung kotor yang ia pakai.
Ia sudah biasa dengan lalat-lalat yang mungkin sudah akrab menjadi temannya, atau bahkan ada sebagian lalat-lalat yang menjadi saingannya,
Ia mengumpulkan sedikit demi sedikit sesuatu yang masih sedikit berharga di antara tumpukan sampah yang menggunung.
Untuk ia jual.
Untuk menyambung nafas.
Untuk dirinya.
Untuk kehidupannya.
Karena ia belum bosan untuk menyaksikan kisah zaman yang ia pahami betul setiap geraknya.

Panas...
Esmah mengambil kantong plastik di belakang rumah warga.
Ia melihat uang sepuluh ribuan tergeletak di tanah.
Lalu ia ambil.
Ia gemetar, bingung, wajahnya semakin pucat.
Seorang wanita pemilik rumah melihatnya.
Lalu berteriak, “ Maling!!”
Disusul wanita-wanita lain yang berdatangan.
Mengeroyoknya hingga babak belur.
Lalu ditinggal begitu saja.
Esmah mencoba untuk berdiri dengan sekujur tubuhnya sakit.
Penglihatannya mulai samar, matanya berkunang-kunang.
“ Ya Allah, mungkin hanya sebatas ini kemampuanku yang aku persembahkan untuk Mu dalam hidupku.” Bisiknya seperti orang yang mau pergi saja.
Perutnya mulai keroncongan, tetapi ia mendengar panggilan.
Ia bergegas ke sebuah mushola kecil.
Bau busuk yang dibawanya membuat orang-orang yang berdatangan merasa terganggu.
Hampir ia diusir.
Tetapi seorag wanita muda bercadar mencegahnya.
Lalu memberinya gamis dan kerudung bekas.
Esmah sangat senang...
Ia punya baju baru.
***
Esmah lebih bersemangat dengan baju barunya itu.
Ia membeli sebungkus nasi.
Dilepaskan karet pembungkusnya.
Tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil datang menghampirinya.
Tatapannya gelisah, menyedihkan.
Ia membungkus kembali nasinya lalu memberikannya pada anak kecil itu.
Dia bilang, “ Lebih baik aku yang mati daripada anak itu yang mati. Aku sudah lama menatap kehidupan, sementara dia..... masih banyak cerita hidup yang harus ia tulis meski di antara tumpukan sampah.”
Anak itu pergi....
Tetapi tidak lama kemudian, 4 orang laki-laki berpakaian hitam menghampirinya.
3 orang dari mereka membawa kamera.
Mereka mendekat!
Esmah ketakutan
Dia bilang, “ Apa salahku? Aku sama sekali tidak melakukan apa-apa.”
Ia berlari, tetapi orang-orang itu terus mengejarnya.
Laki-laki yang tidak membawa kamera mencegah langkahnya dan berusaha menenangkannya.
Dia bilang, “ Nek, tadi Nenek menolong anak kecil kan?”
Esmah mengangguk.
“ Dan karena ketulusan Nenek, kami dari tim ‘Tulung’ sangat berterimakasih pada Nenek. Dan ini untuk Nenek.” Orang itu memegang tangan Esmah lalu menyerahkan setumpuk uang.
***
Tengah malam.....
Esmah masih menggorek-gorek tempat sampah.
Mencari sesuatu yang benar-benar ingin ia temukan.
Entah apa, ia pun tak tahu.
Ia tidak peduli dengan kasak-kusuk orang-orang yang membicarakan peristiwa tadi sore.
“ Seorang nenek dirampok, lalu dibunuh dengan cara dimutilasi. Potongan tubuhnya ditemukan di pinggir sungai.”
Esmah tidak merasa takut, ia semakin bersemangat untuk mencari-cari sesuatu yang ia tidak mengerti.
Akhirnya ia menemukan sebuah dus di tengah-tengah tumpukan sampah.
Ia membukanya.
Ia mengenali wajahnya.
Mengenali wajah yang ada di dalam dus itu.
Ia paham betul.
Itu....
Itu adalah wajahnya.



By: Arserick
 
Back
Top