Kekaisaran Persia

Dipi76

New member
Proskynesis.jpg

Kekaisaran Persia adalah sejumlah kekaisaran bersejarah yang berkuasa di Dataran Tinggi Iran, tanah air asal Bangsa Persia, dan sekitarnya termasuk Asia Barat, Asia Tengah dan Kaukasus. Saat ini nama Persia dan Iran sudah menjadi kebiasaan; Persia digunakan untuk isu sejarah dan kebudayaan dan Iran digunakan untuk isu politik.

Kekaisaran Media dan Kekaisaran Akhemeniyah (3200 SM – 330 SM)

Dari tulisan-tulisan sejarah, peradaban Iran yang pertama ialah Proto-Iran, diikuti dengan peradaban Elam. Pada milenium kedua dan ketiga, Bangsa Arya hijrah ke Iran dan mendirikan kekaisaran pertama Iran, Kekaisaran Media (728-550 SM). Kekaisaran ini telah menjadi simbol pendiri bangsa dan juga kekaisaran Iran, yang disusul dengan Kekaisaran Akhemeniyah (648–330 SM) yang didirikan oleh Koresh yang Agung.

Koresh Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan, tertulis di atas artefak yang dikenal sebagai Silinder Koresh. Ia juga merupakan pemerintah pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Di zamannya, perbudakan dilarang di kawasan-kawasan taklukannya (juga dikenal sebagai Kekaisaran Persia.) Gagasan ini kemudian memberi dampak yang besar pada peradaban-peradaban manusia setelah zamannya.

Kekaisaran Persia kemudian diperintah oleh Cambyses selama tujuh tahun (531-522 M) dan kemangkatannya disusul dengan perebutan kuasa. Akhirnya Darius yang Agung (522-486 M) menang dan dinyatakan sebagai raja.

Ibu kota Persia pada zaman Darius dipindahkan ke Susa dan ia mulai membangun Persepolis. Sebuah terusan di antara Sungai Nil dan Laut Merah turut dibangun dan menjadikannya pelopor untuk pembangunan Terusan Suez. Sistem jalan juga turut diperbaharui dan sebuah jalan raya dibangun menghubungkan Susa dan Sardis. Jalan raya ini dikenal sebagai Jalan Kerajaan.

Selain itu, mata uang syiling dalam bentuk daric (syiling emas) dan juga Shekel (syiling perak) diperkenalkan ke seluruh dunia. Bahasa Persia Kuno turut diperkenalkan dan diterbitkan di dalam prasasti-prasasti kerajaan.

Di bawah pemerintahan Koresh yang Agung dan Darius yang Agung, Kekaisaran Persia menjadi sebuah kekaisaran yang terbesar dan terkuat di dunia zaman itu. Pencapaian utamanya ialah sebuah kekaisaran besar pertama yang mengamalkan sikap toleransi dan menghormati budaya-budaya dan agama-agama lain di kawasan jajahannya.

Persepolis adalah sebuah ibu kota kuno dari Kekaisaran Persia, terletak 70 km timur laut Shiraz, Iran. Dalam bahasa Persia kuno, kota ini disebut Parsa, yang berarti "Kota Bangsa Persia". Persepolis adalah terjemahan bahasa Yunani dari nama kota ini: Persēs polis: "Kota Persia". Dalam bahasa Persia, tempat ini dikenal sebagai Takht-e Jamshid (Tahta Jamshid) dan Parseh. Sisa terawal Persepolis berasal sekitar tahun 515 SM.

Pada tahun 1979 UNESCO mendeklarasikan kota Persepolis sebagai Situs Warisan Dunia.

PersepolisMap.png


Bukti arkeologi menunjukkan bahwa reruntuhan Persepolis yang paling awal berasal dari sekitar tahun 515 SM. André Godard, seorang arkeolog Perancis pada awal 1930-an menyatakan bahwa Cyrus Agung memilih lokasi Persepolis, tetapi Darius Agunglah yang membangun teras pelataran dan kompleks bangunan istananya.

Darius memerintahkan pembangunan Balai Apadana dan Balai Konsul (Tripylon atau Balai Tiga Gerbang), yang menjadi bangunan Perbendaharaan Kemaharajaan, serta beberapa bangunan disekelilingnya. Pembangunan ini dirampungkan pada masa pemerintahan putranya, Raja Xerxes Agung. Pembangunan lebih lanjut pada bangunan dan teras terus dilanjutkan hingga masa keruntuhan Kekaisaran Akhemeniyah.

Penelitian Arkeologi

Odorico da Pordenone singgah di Persepolis sekitar tahun 1320 dalam perjalanannya ke China. Pada 1474, Giosafat Barbaro mengunjungi reruntuhan Persepolis dan secara keliru mengira bahwa ini adalah reruntuhan kota Yahudi. Antonio de Gouveia dari Portugal menulis tentang prasasti cuneiform pada saat kunjungannya tahun 1602. Laporan pertamanya tentang Persia, Jornada, diterbitkan pada 1606.

Persepolis_recreated.jpg

Penggalian ilmiah pertama di Persepolis dilakukan oleh Ernst Herzfeld dan Erich F Schmidt mewakili Oriental Institute dan Universitas Chicago. Penggalian arkeologi dilakukan selama delapan musim, dimulai tahun 1930 dan mencakup situs-situs di sekitarnya.

Sejak 1946, dokumen asli, catatan, foto, serta tembikar dari penggalian Persepolis oleh Herzfeld, pada 1923, 1928, dan antara 1931 dan 1934 disimpan di Freer Gallery of Art, Institusi Smithsonian, di Washington, DC.

Herzfeld meyakini bahwa pembangunan Persepolis bertujuan untuk menciptakan atmosfer dan citra keagungan, sebagai simbol kejayaan kemaharajaan Persia, serta sebagai tempat menggelar upacara dan perayaan khusus, terutama “Nowruz”. Sebagai alasan historis, Persepolis dibangun di tanah air dinasti Akhaemenid, meskipun pada saat itu tidak terletak tepat di tengah jantung kemaharajaan.

Arsitektur Persepolis tercatat biasanya menggunakan tiang kayu. Arsitek menggantinya dengan pilar batu ketika kayu sedar Lebanon, atau kayu jati India tidak ada yang memenuhi ukuran besar yang diinginkan. Alas pilar dan kepala pilar terbuat dari batu, bahkan pada pilar kayu, akan tetapi keberadaan pilar kayu hanya berupa dugaan.

Bangunan di kompleks Persepolis terbagi atas tiga kelompok: kawasan militer, kawasan perbendaharaan (ruang harta), dan balai resepsi serta kediaman sementara Raja. Struktur utama antara lain Tangga Agung, Gerbang Semua Bangsa (Gerbang Xerxes), Istana Apadana Darius, Balai Seratus Tiang, Balai Tripylon Hall, dan Istana Tachara milik Darius, Istana Hadish milik Xerxes, Istana Artaxerxes III, Bendahara Kemaharajaan, Istal kuda kerajaan, serta rumah Kereta Perang.

Proyek rekonstruksi paling akhir berusaha untuk merekonstruksi aneka warna cat dari situs dan monumennya.

Reruntuhan

Reruntuhan beberapa bangunan kolosal terdapat di teras. Semuanya terbuat dari marmer abu-abu gelap. Lima belas pilar diantaranya masih utuh. Tiga pilar telah didirikan kembali sejak 1970. Beberapa bangunan lain tidak terselesaikan. F. Stolze menunjukkan bahwa serpihan batu tatahan tukang batu masih terdapat di lokasi. Reruntuhan yang kini dinamai Chehel minar ("empat puluh menara") ditelusuri kembali ke abad ke-13, dan dikenal sebagai Takht-e Jamshid ("Takhta Jamshid"). Sejak masa Pietro della Valle, bangunan ini masih diperdebatkan, apakah berasal dari Persepolis yang dikuasai dan dihancurkan oleh Iskandar Agung.

AerialViewPersepolis.jpg

Reruntuhan Persepolis​


Di belakang Takht-e Jamshid terdapat tiga makam yang diukir dari batu karang di sisi bukit. Bagian mukanya yang salah satunya belum rampung, diukir relief yang kaya. Berjarak sekitar 13 km Timur Laut, di sisi lain Pulwar, berdiri tembok batu, dimana empat makam yang serupa diukir cukup tinggi dari dasar tembok. Situs ini kini disebut Naqsh-e Rustam atau Nakshi Rostam ("lukisan Rostam"), berdasarkan relief Sassanid dibawah bukaan, yang dianggap sebagai gambaran pahlawan mistis Rostam. Dapat ditafsirkan bahwa patung-patung yang menghuni tujuh makam ini adalah perwujudan para raja.

Gerbang Semua Bangsa

Gerbang Semua Bangsa, dimaksudkan untuk seluruh kerajaan taklukan kemaharajaan Persia saat itu. Terdiri atas balai agung berukuran panjang 25 meter, dengan empat tiang besar di pintu masuknya di dinding Barat. Terdapat dua pintu lain, satu menghadap ke selatan membuka ka arah lapangan pelataran Apadana, yang satunya lagi membuka ke arah jalan panjang ke timur. Lubang engsel ditemukan di sudut dalam setiap pintu menunjukkan bahwa pintu besar ini terdiri atas dua daun pintu, mungkin terbuat dari kayu, dan dilapisi lembaran logam berukir.

Sepasang banteng Lamassu berkepala pria berjenggot, berdiri di sisi barat. Sepasang lainnya memiliki sayap berkepala khas Persia(Gopät-Shäh), berdiri di gerbang timur, kesemuanya melambangkan kekuasaan kemaharajaan Persia.

Nama Xerxes tertulis dalam tiga bahasa terukir di pintu masuk, menunjukkan bahwa dialah yang memerintahkan pembangunan gerbang ini.

Istana Apadana

Darius Agung membangun istana paling agung di Persepolis di sisi barat. Istana ini disebut Apadana. Raja segala Raja menggunakannya sebagai balairung audiensi resmi. Pembangunan dimulai tahun 515 SM. Putranya, Xerxes I, menyempurnakannya 30 tahun kemudian. Istana ini memiliki balai agung berbentuk bujur sangkar, tiap sisinya berukuran panjang 60 meter dengan 72 tiang besar, 30 diantaranya masih tegak berdiri. Setiap pilar besar ini setinggi 19 meter. Pilar ini menopang atap yang luas dan sangat berat. Puncak tiang dihasi patung batu hewan, seperti banteng berkepala dua, singa, atau rajawali. Tiang ini terhubung oleh batang penopang datar dari kayu ek atau kayu sedar Lebanon. Dindingnya dilapisi lumpur dan stuko setebal 5 cm, sebagai perekat, kemudian dilapisi stuko hijau. Di sisi barat, utara, dan timur istana terdapat beranda persegi yang memiliki 12 tiang tersusun dalam dua baris masing-masing enam tiang. Di sisi selatan balairung terdapat serangkaian kamar sebagai tempat penyimpanan. Dua tangga bergaya Persepolis dibangun secara simetris terhubung dengan fondasi batu. Untuk melindungi atap dari erosi, talang air vertikal dibangun melewati tembok bata. Di keempat sudut Apadana, dibangunlah empat menara yang menjorok ke luar.

Dinding dilapisi tegel dan dihiasi gambar singa, banteng, dan bunga. Darius memerintahkan namanya dan detil kemaharajaannya ditulis dengan lempeng emas dan perak, yang ditempatkan dalam peti batu dan ditanam di keempat sudut istana. Tangga simetris bergaya Persepolis dibangun di sisi utara dan timur untuk mengatasi perbedaan ketinggian. Dua tangga lainnya berdiri di tengah bangunan. Tampilan luar istana diembos dengan gambar Immortal, pasukan elit pengawal Raja. Tangga utara diselesaikan pada masa pemerintahan Darius, sedangkan tangga lainnya dirampungkan pada masa kemudian.

Balai Takhta

Disebelah Apadana, bangunan kedua terbesar dari teras dan adalah Balai Takhta atau Balai Kehormatan Prajurit Kemaharajaan (juga disebut "Istana Bertiang Seratus"). Bangunan berukuran This 70x70 meter persegi dibangun oleh Xerxes I dan diselesaikan oleh putranya, Artaxerxes I pada akhir abad ke-5 SM. Kedelapan gerbang batunya dihiasi relief. Pada sisi utara dan selatan menggambarkan suasana takhta, dan pada sisi timur dan barat dengan adegan Raja memerangi monster. Dua patung batu banteng raksasa mengapit portiko utara. Kepala salah satu banteng ini kini disimpan di Oriental Institute di Chicago.

Pada awal pemerintahan Xerxes, Balai Takhta umumnya digunakan untuk resepsi komandan militer dan utusan dari semua negara jajahan Kemaharajaan Persia. Kemudian Balai Singgasana dijadikan museum kemaharajaan.


Sumber:
  • Ernst E Herzfeld, A New Inscription of Xerxes from Persepolis, Studies in Ancient Oriental Civilization, vol. 5, 1932
  • Wikipedia



-dipi-
 
Kekaisaran Parthia (248 SM – 224 M)

LocationParthia.PNG

Wilayah Parthia

Parthia bermula dengan Dinasti Arsacida yang menyatukan dan memerintah dataran tinggi Iran, yang juga turut menaklukkan wilayah timur Yunani pada awal abad ketiga Masehi dan juga Mesopotamia antara tahun 150 SM dan 224 M. Parthia juga merupakan musuh bebuyutan Romawi di sebelah timur, dan membatasi bahaya Romawi di Anatolia. Tentara-tentara Parthia terbagi atas dua kelompok berkuda, tentara berkuda yang berperisai dan membawa senjata berat, dan tentara berkuda yang bersenjata ringan dan kudanya lincah bergerak. Sementara itu, tentara Romawi terlalu bergantung kepada infantri, menyebabkan Romawi sukar untuk mengalahkan Parthia. Tetapi, Parthia kekurangan teknik dalam perang tawan, menyebabkan mereka sukar mengawal kawasan taklukan. Ini menyebabkan kedua belah pihak gagal mengalahkan satu sama lain.

Kekaisaran Parthia tegak selama lima abad (Berakhir pada tahun 224 M,) dan raja terakhirnya kalah di tangan kekaisaran lindungannya, yaitu Sassania.

Anatolia, juga disebut dengan nama Latin Asia Minor, ialah sebuah kawasan di Asia Barat Daya yang kini dapat disamakan dengan Turki bagian Asia.

Karena letaknya yang strategis pada pertemuan Asia dan Eropa, Anatolia telah menjadi tempat lahir beberapa peradaban sejak abad prasejarah, dengan permukiman neolitik seperti Catalhöyük (neolitik barang tembikar), Cayönü (Neolitik Pra-Barang Tembikar A ke neolitik barang tembikar), Nevali Cori (Neolitik Pra-Barang Tembikar B), Hacilar (neolitik barang tembikar), Göbekli Tepe (Neolitik Pra-Barang Tembikar A) dan Mersin. Permukiman Troya bermula di masa Neolitiknamun berlanjut sampai abad besi.

Peradaban dan penduduk utama yang telah tinggal di atau menaklukkan Anatolia termasuk Hattia, Luwia, Hittit, Phrygia, Simeria, Lidia, Persia, Kelt, Tabal, Mesekh, Yunani, Pelasgia, Armenia, Romawi, Goth, Kurd, Bizantium, Turki Seljuk dan Turki Utsmani. Mereka semua termasuk dari banyak budaya etnis dan linguistik. Sepanjang sejarah yang terlacak, penduduk Anatolia telah bercakap Indo-Eropa dan Semit, seperti banyak bahasa dari pertalian tak pasti. Nyatanya, beberapa sarjana telah mengusulkan Anatolia sebagai pusat hipotesis dari yang bahasa Indo-Eropa telah menyebar. Penulis lainnya telah mengusulkan asal penduduk Anatolia dari bangsa Etruria dari Italia kuno.

Kini kebanyakan penduduk Anatolia merupakan penutur asli bahasa Turki, yang telah diperkenalkan penakluk Anatolia oleh orang Turki dan naiknya Kerajaan Ottoman abad ke-13. Bagaimanapun, Anatolia menyisakan multi-etnis sampai awal abad ke-20. Minoritas etnis dan linguistik Kurdi yang signifikan tetap ada di bagian selatan.


-dipi-
 
Kekaisaran Sassaniyah (248 SM – 224 M)

LocationParthia.PNG


Kekaisaran Sassania atau Dinasti Sassania adalah nama bagi dinasti bangsa Iran yang ketiga dan kekaisaran Persia yang kedua (226–651). Dinasti Sassania didirikan oleh Ardashir I setelah mengalahkan raja Parthia (Ashkâniâ) terakhir, Artabanus IV; dan berakhir ketika Shahanshah (Raja Segala Raja) Sasania terakhir, Yazdegerd III (632–651), kalah dalam perjuangan selama 14 tahun untuk menyingkirkan kekhalifahan Islam yang pertama, yaitu pendahulu dari kekaisaran-kekaisaran Islam lainnya. Wilayah kekaisaran ini meliputi seluruh Iran, Irak, Armenia, dan Afganistan saat ini, bagian timur Turki, dan sebagian dari India, Suriah, Pakistan, Kaukasia, Asia Tengah dan Arabia. Selama pemerintahan Khosrau II (590–628), Mesir, Yordania, Palestina/Israel, dan Libanon juga sementara waktu merupakan wilayah kekaisaran ini.

Bangsa Sassania menamakan kerajaan mereka Eranshahr, yaitu "Wilayah kekuasaan bangsa Iran (Arya)". Masa kekuasaan Sassania terbentang sepanjang periode Abad Kuno Akhir (bahasa Inggris: Late Antiquity), dan dianggap sebagai salah satu periode yang paling penting dan berpengaruh dalam sejarah Iran. Dalam banyak hal periode Sassania menyaksikan pencapaian tertinggi kebudayaan Persia, dan melambangkan kemegahan Kekaisaran Iran terakhir sebelum penaklukan muslim dan berkembangnya agama Islam.

Persia memiliki pengaruh yang cukup besar pada kebudayaan Romawi selama masa Sassania, dan bangsa Romawi menganggap bangsa Persia Sassania sebagai satu-satunya bangsa yang berstatus sama dengan mereka. Hal ini diperlihatkan misalnya dalam surat-surat yang ditulis oleh Kaisar Romawi kepada Shahanshah Persia, yang pada alamatnya bertuliskan kata "kepada saudaraku". Pengaruh kebudayaan Sassania terbentang jauh melebihi batas-batas wilayah kekaisaran mereka, dan bahkan menjangkau sampai Europa Barat, Afrika, Cina, dan India, serta berperan penting dalam pembentukan seni-seni Abad Pertengahan di Eropa dan Asia.

Pengaruh tersebut terus terbawa ke masa awal perkembangan dunia Islam. Kebudayaan yang unik dan aristokratik dari dinasti ini telah mengubah penaklukan Islam atas Iran menjadi sebuah Renaisans Persia. Banyak hal yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan, arsitektur, dan penulisan Islam serta berbagai keahlian lainnya, diperoleh dari Sassania Persia dan kemudian disebarkan pada dunia Islam yang lebih luas. Sebagai contohnya ialah bahasa resmi Afghanistan, yaitu Bahasa Dari yang merupakan dialek dari Bahasa Persia, merupakan perkembangan dari bahasa kerajaan bangsa Sassania.

Asal mula dan sejarah awal (205–310)

Dinasti Sassania didirikan oleh Ardashir I (226–241), seorang keturunan kaum pendeta Dewi Anahita di Istakhr, Pars (Fars), yang pada awal abad ke-3 telah berhasil menjadi gubernur wilayah tersebut. Ayahnya Pabag (juga disebut Papak atau Babak), awalnya adalah penguasa kota kecil bernama Kheir. Ia tahun 205 berhasil menggulingkan Gocihr, raja terakhir dinasti Bazrangid (yaitu penguasa lokal Pars yang merupakan sekutu dari Parthia) dan mengangkat dirinya sendiri menjadi penguasa baru. Ibunya, Rodhagh, adalah putri dari gubernur provinsi Persis. Nama dinasti ini sendiri berasal dari kakek pihak ayah Ardashir I, yaitu Sassan, seorang pendeta besar Kuil Anahita.

Usaha Pabag menguasai daerah tersebut pada awalnya luput dari perhatian kaisar dinasti Ashkâniâ Artabanus IV, yang saat itu sedang terlibat perseteruan dinasti dengan saudaranya Vologases (Walakhsh) VI di Mesopotamia. Dengan menggunakan peluang yang tercipta karena terjadinya perseteruan tersebut, Pabag dan anak tertuanya Shapur berhasil memperluas kekuasaan mereka ke seluruh Persis. Kejadian-kejadian selanjutnya tidak begitu jelas, karena sedikitnya sumber-sumber sejarah. Meskipun demikian sesuatu hal yang pasti ialah ketika Pabag meninggal tahun 220, Ardashir yang ketika itu adalah gubernur Darabgird terlibat dalam perebutan kekuasaan melawan kakaknya Shapur. Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa tahun 222, Shapur yang akan berangkat untuk menemui saudaranya tewas ketika atap sebuah bangunan runtuh menimpanya.

Ardashir kemudian memindahkan pusat kekuasaannya lebih jauh lagi ke selatan Persis, dan mendirikan ibukotanya di Ardashir-Khwarrah (dahulunya adalah Gur, saat ini adalah kota Firouzabad). Kota ini, yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi dan mudah dipertahanan melalui jalur-jalur tebing sempitnya, menjadi pusat dari berbagai usaha Ardashir dalam mengembangkan kekuasaannya. Kota ini dikelilingi oleh tembok kota yang tinggi dan melingkar, kemungkinan ditiru dari Darabgird, dan di bagian utara terdapat istana besar yang sisa-sisa bangunannya sekarang pun masih dapat dilihat.

Setelah membangun kekuasaannya atas Persis, Ardashir I dengan cepat meluaskan wilayahnya, menuntut upeti dari para penguasa lokal Fars, dan berhasil memperoleh kendali atas provinsi-provinsi sekitarnya yaitu Kerman, Isfahan, Susiana, dan Mesene. Perluasan kekuasaan ini segera saja menarik perhatian Artabanus IV (216–224), yaitu penguasa atasan (overlord) Ardashir I. Artabanus IV awalnya memerintahkan gubernur Khuzestan untuk menyerang Ardashir di tahun 224, akan tetapi ini berakhir dengan kemenangan besar bagi Ardashir. Artabanus sendiri akhirnya memimpin penyerangan kedua atas Ardashir I di tahun 224. Pasukan keduanya bertempur di Hormizdeghan, dan Artabanus IV tewas terbunuh. Ardashir I terus melanjutkan menyerang provinsi-provinsi sebelah barat Kekaisaran Parthia (Ashkâniâ) yang telah tumbang itu. Tahun 226, Ardashir I dimahkotai di Ctesiphon sebagai penguasa tunggal Persia, mengambil gelar Shahanshah, atau "Raja Segala Raja" (berbagai prasasti juga menyebutkan tokoh Adhur-Anahid sebagai "Ratu Segala Ratu", tetapi hubungannya dengan Ardashir belum dapat dipastikan). Dengan demikian, berakhirlah Kekaisaran Parthia yang telah berumur 400 tahun dan dimulailah pemerintahan Sassania yang akan berlangsung selama empat abad.

Dalam beberapa tahun selanjutnya, dan setelah melalui pemberontakan lokal di beberapa tempat, Ardashir I melanjutkan meluaskan kekaisaran barunya tersebut ke arah timur dan barat laut. Ia menaklukkan propinsi-propinsi Sistan, Gorgan, Khorasan, Margiana (sekarang di Turkmenistan), Balkh, dan Khwarezmi. Ia juga berhasil menaklukkan Bahrain dan Mosul ke dalam kekuasaan Sassania. Prasasti-prasasti Sassania terkemudian juga mengklaim menyerahnya para raja Kushan, Turan, dan Mekran kepada Ardashir, meskipun bila dilihat dari bukti numismatik, lebih mungkin bahwa mereka menyerah kepada anak Ardashir, yaitu Shapur I. Di sisi lain, penyerangan-penyerangan Ardashir ke arah barat terhadap Hatra, Armenia, dan Adiabene tidaklah terlalu berhasil. Tahun 230, ia menyerbu jauh ke dalam wilayah kekuasaan Romawi, dan serangan balasan Romawi dua tahun kemudian berakhir tanpa kemenangan yang jelas.

Putra Ardashir I, Shapur I (241–272), melanjutkan ekspansi kekaisaran dengan menaklukkan Baktria dan bagian barat dari Kekaisaran Kushan, serta melakukan beberapa penyerangan terhadap Romawi. Ketika menyerbu bagian Mesopotamia yang dikuasai Romawi, Shapur I berhasil merebut Carrhae dan Nisibis, akan tetapi jenderal Romawi Timesitheus tahun 243 mengalahkan tentara Persia di Rhesaina dan memperoleh kembali wilayah-wilayah yang hilang. Kaisar Romawi Gordian III (238–244) yang selanjutnya bergerak untuk menguasai hilir sungai Eufrat berhasil dikalahkan di Meshike (244), menyebabkan Gordian dibunuh oleh pasukannya sendiri; dan Shapur berhasil memperoleh perjanjian perdamaian dengan kondisi yang sangat menguntungkan dari kaisar baru Romawi Philip Si Arab (244–249). Shapur mendapatkan pembayaran sebesar 500.000 denari beserta pembayaran bulanan selanjutnya. Shapur segera saja melanjutkan perang dan mengalahkan tentara Romawi pada Barbalissos (252), kemudian menyerbu Syria dan menaklukkan Antiokhia (253 atau 256). Serangan balasan Romawi dibawah Kaisar Valerian (253–260) berakhir dengan kehancuran, saat pasukan Romawi dikalahkan dan dikepung pada Edessa dan Valerian secara licik ditangkap oleh Shapur pada perundingan perdamaian, dan menjadi tawanan Shapur sepanjang hidupnya. Shapur I merayakan kemenangannya dan keberhasilan luar biasanya menangkap seorang kaisar Romawi dengan relief-relief batu di Naqsh-e Rostam dan Bishapur, serta prasasti monumental dalam bahasa Persia dan Yunani di daerah sekitar Persepolis. Ia terus saja berusaha melanjutkan kesuksesannya dengan bergerak menuju Anatolia (260), akan tetapi berakhir dengan kemundurannya yang berantakan karena kekalahannya di tangan tentara Romawi dan sekutunya Palmyra, yang dipimpin oleh Odaenathus. Selir-selir Shapur tertangkap, serta seluruh wilayah Romawi yang sebelumnya dikuasainya juga terlepas kembali.

Shapur I melaksanakan berbagai rencana pembangunan secara intensif. Ia mendirikan banyak kota, yang sebagian penduduknya adalah imigran yang berasal dari berbagai wilayah Romawi. Di antara para imigran terdapat kaum Kristen, yang memperoleh kebebasan menjalankan ajaran agamanya di bawah pemerintahan Sassania. Dua kota, yaitu Bishapur dan Nishapur dinamakan berdasarkan namanya. Shapur I secara khusus mendukung Manikheisme. Ia melindungi Mani (yang mendedikasikan salah satu kitabnya, Shabuhragan, untuk Shapur I) dan mengirimkan banyak misionaris Manikheisme sampai ke luar wilayahnya. Shapur I juga menjalin persahabatan dengan rabbi Babilonia yang bernama Shmuel. Persahabatan ini menyebabkan komunitas Yahudi setempat memperoleh sedikit kelonggaran dari penerapan berbagai hukum yang menekan, yang dikenakan kepada mereka.

Raja-raja selanjutnya menerapkan kebijakan yang berkebalikan dari Shapur I mengenai toleransi agama. Penerus Shapur I, Bahram I (273–276) menghukum Mani dan para pengikutnya berdasarkan desakan dari pendeta Magi Zoroaster. Bahram I memenjarakan Mani dan memerintahkan untuk membunuhnya. Menurut sebuah legenda, Mani meninggal di penjara ketika sedang menunggu eksekusinya, sedangkan menurut cerita lainnya ia disiksa dan dipenggal.

Selanjutnya Bahram II (276–293) meneruskan kebijakan ayahnya dalam masalah agama. Di masa pemerintahannya, ibukota Sassania Ctesiphon mengalami penghancuran oleh Romawi, yaitu di bawah pimpinan kaisar Romawi Carus (282–283). Demikian pula sebagian besar wilayah Armenia, yang selama setengah abad berada dalam penguasaan Persia, pada masa pemerintahannya diserahkan kepada Diocletian (284–305).

Bahram III hanya memerintah secara singkat (293), dan penerusnya Narseh (293–302) kemudian kembali mengobarkan pertempuran terhadap Romawi. Setelah mengalami kesuksesan awal terhadap Kaisar Galerius (293–305 sebagai Caesar, 305–311 sebagai Augustus) pada pertempuran di dekat Callinicum di Sungai Euphrates tahun 296, Narseh secara meyakinkan berhasil dikalahkan dalam penyergapan ketika ia sedang bersama haremnya di Armenia tahun 297. Dalam perjanjian yang mengakhiri perang ini, Sassania setuju menyerahkan lima provinsi di sebelah timur Sungai Tigris dan bersedia untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Armenia dan Georgia. Setelah kekalahan yang menghancurkan ini, Narseh mengundurkan diri tahun 301 dan meninggal dalam kesedihan setahun kemudian. Putra Narseh, Hormizd II (302–309), kemudian naik tahta. Meskipun ia berhasil menekan pemberontakan di Sistan dan Kushan, Hormizd II juga seorang penguasa yang lemah, dan ia tidak mampu mengontrol para bangsawan. Ia terbunuh oleh serangan suku Badui ketika sedang berburu di tahun 309.


-dipi-
 
Islam Persia dan Zaman Kegemilangan Islam Persia (700–1400)

Setelah pemelukan Islam, orang-orang Persia mulai membentuk gambaran Islam Persia, di mana mereka melestarikan gambaran sebagai orang Persia tetapi pada masa yang sama juga sebagai muslim. Pada tahun 8 M, Parsi memberi bantuan kepada Abbassiyah memerangi tentara Umayyah, karena Bani Umayyah hanya mementingkan bangsa Arab dan memandang rendah kepada orang Persia. Pada zaman Abbassiyah, orang-orang Persia mulai melibatkan diri dalam administrasi kerajaan. Sebagian mendirikan dinasti sendiri.

Pada abad kesembilan dan kesepuluh, terdapat beberapa kebangkitan ashshobiyyah Persia yang menentang gagasan Arab sebagai Islam dan Muslim. Tetapi kebangkitan ini tidak menentang identitas seorang Islam. Salah satu dampak kebangkitan ini ialah penggunaan bahasa Persia sebagai bahasa resmi Iran (hingga hari ini.)

Pada zaman ini juga, para ilmuwan Persia menciptakan Zaman Kegemilangan Islam. Sementara itu Persia menjadi tumpuan penyebaran ilmu sains, filsafat dan teknik. Ini kemudian mempengaruhi sains di Eropa dan juga kebangkitan Renaissance.

Bermula pada tahun 1220, Parsi dimasuki oleh tentera Mongolia di bawah pimpinan Genghis Khan, diikuti dengan Tamerlane, dimana kedua penjelajah ini menyebabkan kemusnahan yang parah di Persia.


-dipi-
 
Islam Syi'ah, Kekaisaran Safawi, Dinasti Qajar/Pahlavi dan Iran Modern (1501 – 1979)

Parsi mulai berganti menjadi Islam Syiah pada zaman Safawi, pada tahun 1501. Dinasti Safawi kemudian menjadi salah sebuah penguasa dunia yang utama dan mulai mempromosikan industri pariwisata di Iran. Di bawah pemerintahannya, arsitektur Persia berkembang kembali dan menyaksikan pembangunan monumen-monumen yang indah. Kejatuhan Safawi disusuli dengan Persia yang menjadi sebuah medan persaingan antara kekuasaan Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Britania (yang menggunakan pengaruh Dinasti Qajar). Namun begitu, Iran tetap melestarikan kemerdekaan dan wilayah-wilayahnya, menjadikannya unik di rantau itu. Modernisasi Iran yang bermula pada lewat abad ke-19, membangkitkan keinginan untuk berubah dari orang-orang Persia. Ini menyebabkan terjadinya Revolusi Konstitusi Persia pada tahun 1905 hingga 1911. Pada tahun 1921, Reza Khan (juga dikenal sebagai Reza Shah) mengambil alih tahta melalui perebutan kekuasaan dari Qajar yang semakin lemah. Sebagai penyokong modernisasi, Shah Reza memulai pembangunan industri modern, jalan kereta api, dan pendirian sistem pendidikan tinggi di Iran. Malangnya, sikap aristokratik dan ketidakseimbangan pemulihan kemasyarakatan menyebabkan banyak rakyat Iran tidak puas.

Pada Perang Dunia II, tentara Inggris dan Uni Soviet menyerang Iran dari 25 Agustus hingga 17 September 1941, untuk membatasi Blok Poros dan menggagas infrastruktur penggalian minyak Iran. Blok Sekutu memaksa Shah untuk melantik anaknya, Mohammad Reza Pahlavi menggantikannya, dengan harapan Mohammad Reza menyokong mereka.

Malangnya, pemerintahan Shah Mohammad Reza bersifat otokratis. Dengan bantuan dari Amerika dan Inggris, Shah meneruskan modernisasi Industri Iran, tetapi pada masa yang sama menghancurkan partai-partai oposisi melalui badan intelijennya, SAVAK. Ayatollah Ruhollah Khomeini menjadi oposisi dan pengkritik aktif terhadap pemerintahan Shah Mohammad Reza dan kemudian ia dipenjarakan selama delapan belas bulan. Melalui nasihat jenderal Hassan Pakravan, Khomeini dibuang ke luar negeri dan diantar ke Turki dan selepas itu ke Irak.


-dipi-
 
Back
Top