cersil- Peristiwa Bulu Merak

"Karena kita punya kereta."
"Kudanya sudah letih, kuda yang sudah lelah tak kuat
ditunggangi dua orang, tapi masih kuat menarik kereta."
"Karena kereta pakai roda?"
"Betul."
"Kita juga punya kaki, kenapa tidak lari?"
"Karena kita juga sudah lelah, tenaga kita harus
dipertahankan."
"Dipertahankan untuk membunuh orang?"
"Asal ada orang yang patut dibunuh, tidak asal bunuh
orang."
Merak memang sudah mati.
Khong-jiok-san-ceng bukan lagi Khong-jiok-san-ceng yang
dulu. Malam kelam masih dihiasi beberapa kerlipan bintang
yang jarang-jarang, sinar bintang itulah yang menyinari puing-
puing itu, kelihatannya sunyi dan seram.
Kuda yang dilarikan kencang sejauh ratusan li akhirnya
roboh.
Kamar batu di bawah tanah itu sudah kosong, tidak dihuni
seorang pun, kosong melompong, barang-barang yang bisa
bergerak di sini seluruhnya telah diangkut.
Cahaya api tanpa bergerak, karena tangan Yan Lam-hwi
yang memegang obor gemetar.
 
Konon di waktu Merak mati. Bing-gwat-sim pun akan
mengiringnya tenggelam.
Yan Lam-hwi mengertak gigi, katanya, "Bagaimana mereka
bisa tahu? Darimana tahu kalau orangnya ada di sini?"
Tangan Pho Ang-soat yang memegang golok tidak
gemetar, kulit mukanya justru kedutan, wajah yang pucat
merah membara, merah yang aneh, merah menakutkan.
"Waktu kita kemari, di belakang pasti tidak ada yang
menguntit, siapakah..."
"Keluar," mendadak Pho Ang-soat meraung.
"Kau suruh aku keluar," Yan Lam-hwi terbeliak.
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, ujung mulutnya sudah
berkerut-merut.
Yan Lam-hwi mengawasinya dengan kaget, mundur
selangkah demi selangkah.
Pho Ang-soat sudah terkapar, begitu roboh sekujur
badannya lantas mengejang dan menggelepar seperti dihajar
cambuk yang tidak kelihatan, menghajar dan menghajar terus,
karena kesakitan, tubuhnya itu sudah meringkel dan meronta
seperti cacing kepanasan, seperti udang kering,
tenggorokannya mengeluarkan gerangan rendah seperti
binatang buas yang sekarat sebelum ajal, "Aku salah, akulah
yang salah…"
Sebelah tangannya mencengkeram dan mencakar tanah,
bagai seorang yang hampir mati tenggelam berusaha
menangkap sebatang kayu terapung yang hakikatnya tidak
 
ada. Tanah itu dilapisi batu, kukunya pecah, tangannya sudah
mulai mengeluarkan darah. Tangannya yang satu lagi tetap
memegang kencang goloknya, golok masih tetap golok, golok
tidak kenal balas kasihan, maka golok itu abadi.
Yan Lam-hwi tahu dia pasti pantang keadaannya yang
menderita dan penyakit anehnya ini diketahui orang lain. Tapi
Yan Lam-hwi tidak keluar, karena dia tahu, walau golok masih
tetap golok, namun Pho Ang-soat dalam keadaan seperti ini
bukan lagi Pho Ang-soat biasanya.
Sekarang siapa pun yang masuk kemari, sekali bacok
dengan mudah dapat membunuhnya. Kenapa yang Maha
Kuasa harus menyiksanya sedemikian rupa? Kenapa manusia
seperti dia harus mengidap penyakit seaneh ini?
Sekuat Yan Lam-hwi menekan emosinya supaya air mata
tidak meleleh.
Obor sudah padam, karena dia tidak tega menyaksikan
keadaannya. Tangannya sudah menggenggam pedang di
bawah bajunya.
Lubang di atas dinding itu kelihatannya seperti mata
tunggal binatang buas yang jahat di kegelapan seperti dalam
dongeng. Dia bersumpah, sekarang siapa pun yang berani
menerjang masuk dari lubang itu, maka dia harus mampus di
bawah pedangnya, dia yakin dapat melakukan hal ini.
Tiada orang masuk dari lubang itu, namun di tengah
kegelapan mendadak terbit sinar api. Darimana datangnya
sinar api?
 
Yan Lam-hwi mendadak menoleh, bara sekarang dilihatnya
pintu besi yang terkunci tiga belas itu entah sejak kapan tanpa
mengeluarkan suara telah merenggang. Sinar api menyorot
masuk dari luar pintu, perlahan pintu terbuka lebar, maka
muncullah lima orang.
Dua orang mengangkat dua obor berdiri di luar pintu, tiga
orang yang lain beranjak masuk dengan langkah lebar.
Orang pertama pergelangan kanannya dibalut kain putih,
dengan kain sutra menggantungnya di depan dada, tangan kiri
memegang terbalik sebatang Hou-sing-kiam, sorot matanya
memancarkan dendam dan kebencian. Seorang di sebelahnya
mengenakan jubah Tosu dan bertopi keagamaan, langkahnya
mantap dan tegap, jelas hatinya dilembari keyakinan. Orang
terakhir mukanya dihiasi codet bekas bacokan, ujung
mulutnya mengulum senyum, namun kelihatannya culas dan
kejam.
Serasa tenggelam hati Yan Lam-hwi, rasa getir dan pahit
bergolak dalam perutnya seperti hendak muntah.
Seharusnya dia ingat orang lain tidak mungkin bisa
membuka tiga belas kunci di pintu besi itu, namun Kongsun To
pasti bisa, jadi lubang di atas dinding itu bukan lagi jalan
keluar masuk satu-satunya di kamar batu ini. Mereka tidak
memikirkan hal ini, mereka terlalu terburu-buru oleh keyakinan
sehingga melalaikan titik kelemahan ini, melakukan kesalahan
yang amat fatal.
Mendadak Kongsun To mengulur sebelah tangannya,
pelan-pelan membuka telapak tangannya, maka tampak
Khong-jiok-ling yang mengkilap kuning itu di telapak
tangannya. Khong-jiok-ling terjatuh di tangannya, bagaimana
 
dengan Bing-gwat-sim? Sekuatnya Yan Lam-hwi menahan diri
supaya tidak muntah.
Kongsun To tersenyum, katanya, "Tidak pantas kalian
suruh dia memegang Am-gi ini menghadap ke lubang di atas
dinding, kami manusia bukan tikus, bukan saja tidak bisa
membuat lubang, juga tidak akan menerobos dari lubang."
Tawanya amat riang, lalu melanjutkan, "Jika dia tumplekkan
seluruh perhatiannya menghadap ke lubang, mungkin tidak
mudah bagi kami untuk masuk kemari."
Tak tahan Yan Lam-hwi menghela napas, katanya
menyesal, "Aku yang salah."
"Kau memang salah, seharusnya kau sudah membunuhku,"
jengek Kongsun To.
Nyo Bu-ki berkata tawar, "Karena itu selanjutnya kau harus
selalu ingat nasehatku. Jika ingin membunuh orang harus
tanpa pantangan."
"Kenapa kau memberi nasehat kepadanya malah, kalau dia
punya kesempatan lagi, bukankah aku bakal mampus."
"Apa mungkin dia memperoleh kesempatan kedua?" sinis
suara Nyo Bu-ki.
"Tidak, pasti tidak."
Nyo Bu-Ki menggeleng kepala, katanya, "Sekarang orang
yang bisa dia bunuh hanyalah dirinya sendiri, tapi dia juga
masih bisa membunuh Pho Ang-soat."
Kongsun To berkata, "Pho Ang-soat bagian Tio Ping, dia
bergerak saja tidak bisa."
 
Yan Lam-hwi mengawasi mereka, terasa suara mereka
seperti berkumandang di tempat yang jauh. Seharusnya dia
memusatkan seluruh perhatian dan tenaga untuk menghadapi
mereka. Dia harus tahu detik-detik kritis yang menentukan
mati hidup ini, musuh jelas tidak akan memberi kelonggaran
dan mengampuni jiwanya, dia sendiri juga tidak boleh mundur,
tidak boleh menyerah. Umpama ada kesempatan mundur, dia
pasti tidak akan mau mundur.
Mendadak dia justru merasa amat lelah, apakah lantaran
dia sendiri insyaf bahwa kemampuannya sendiri jelas bukan
tandingan kedua lawan tangguh ini?
Bing-gwat-sim sudah tenggelam, malaikat golok yang tidak
pernah kalah kini juga sudah roboh, rebah dalam keadaan
sekarat, adakah harapan yang dapat diraihnya?
Kongsun To sedang bertanya pada Tio Ping, "Siapakah
yang memotong tanganmu?"
"Pho Ang-soat," desis Tio Ping penuh dendam.
"Ingin tidak kau menuntut balas?"
"Ingin sekali."
"Dengan cara apa kau ingin menghadapinya?"
"Aku punya caraku sendiri?"
"Kenapa sekarang tidak lekas kau turun tangan?
Memangnya kau tidak tahu bahwa sekarang adalah
kesempatan paling baik?" desak Kongsun To.
 
Nyo Bu-Ki berkata, "Kesempatan hanya datang sekali dan
tidak akan terulang selamanya, bila Pho Ang-soat sudah
siuman dan sadar berarti kau sudah terlambat bertindak."
"Sekarang kau tidak perlu kuatir terhadap Yan Lam-hwi,"
Kongsun To menghasut.
"Kenapa?" Tio Ping percaya.
"Karena bila dia berani bergerak, Pho Ang-soat akan
segera berubah jadi merak," ujar Kongsun To. "Jadi merak?"
"Bulu merak sebumbung penuh ini peduli menancap di
badan siapa saja, maka orang itu akan segera menjadi merak,
merak yang mati tentunya."
Tio Ping tertawa, ujarnya, "Tapi aku tidak ingin dia lekas
mati."
"Ya, aku pun demikian."
Mendadak Tio Ping meletakkan Hou-sing-kiam di
tangannya terus menerjang maju, sekali jambak dia renggut
rambut Pho Ang-soat, dengan lutut terangkat dia hajar jidat
orang, menyusul telapak tangannya terayun membacok
tengkuknya, begitu kepala Pho Ang-soat terkulai, kaki Tio Ping
pun menendang Pho Ang-soat, bentaknya bengis, "Buka
matamu dan lihat siapa aku."
Otot hijau di atas jidat Pho Ang-soat tampak merongkol,
bukan saja dia tidak bisa melawan, napasnya pun megap-
megap.
Tio Ping menyeringai dingin, "Kau memotong tanganku,
dengan tanganku ini akan kucekik putus lehermu."
 
Otot hijau di jidat Yan Lam-hwi juga merongkol,
keadaannya juga hampir susah bernapas.
Kongsun To menyeringai sadis katanya, "Kenapa tidak kau
tolong temanmu? Apakah kau ingin berdiri saja menonton
kematiannya?"
Yan Lam-hwi tidak bergerak.
Yan Lam-hwi tahu kalau dia bergerak, Pho Ang-soat akan
lebih cepat mati. Tapi dia tidak boleh tidak harus bertindak.
Dengan sebelah tangannya yang utuh Tio Ping sedang
menghajar muka Pho Ang-soat pergi datang, agaknya tidak
akan segera mencabut jiwanya, tapi penghinaan ini akan
terasa lebih menyiksa daripada mati.
Yan Lam-hwi menggenggam pedang di balik bajunya,
keringat mengucur di mukanya, mendadak dia berkata,
"Umpama kalian bisa membunuh dia, belum tentu mampu
membunuhku."
"Apa kehendakmu?"
"Kalian harus membebaskan dia."
"Dan kau?"
"Biar aku yang mati."
"Bukan saja kami ingin kau pun mampus, dia pun tidak
boleh hidup."
"Kalau mau membunuh orang, tanpa pantangan," jengek
Nyo Bu-ki.
 
Lenyap seringai sadis Kongsun To, mendadak dia
menghardik, "Tio Ping, bunuh dia sekarang juga."
Tio Ping mengertak gigi, seluruh tenaga dia kerahkan ke
sikunya.
Pada saat itulah mendadak sinar golok berkelebat. Itulah
golok Pho Ang-soat, golok yang tiada bandingan di kolong
langit.
Mereka mengira adu otak kali ini mereka pasti menang,
karena mereka melupakan satu hal. Tangan Pho Ang-soat
masih menggenggam kencang goloknya.
Pada saat yang hampir sama, Yan Lam-hwi juga mendadak
menyayun tangan, cahaya pedang yang merah menyala
langsung mengulung ke arah Kongsun To.
Pedang Nyo Bu-Ki juga sudah keluar dari sarung, cara dia
mencabut pedang sangat mahir dan lincah, serangannya telak
dan manjur, pedangnya menusuk sasaran mematikan di tubuh
Yan Lam-hwi. Umpama Yan Lam-hwi dapat membunuh
Kongsun To dengan pedangnya, dia sendiri juga pasti mati di
bawah pedang Nyo Bu-ki. Terpaksa dia harus membalikkan
pedang menyelamatkan jiwa sendiri.
Sigap sekali Kongsun To, setelah lolos dari tabir cahaya
pedang yang lebat bagai hujan darah, dia melambung ke
udara bersalto beberapa kali kemudian meluncur keluar pintu.
Pedang panjang Nyo Bu-ki dituntun keluar, badan bergerak
mengikuti gerak pedang, dia pun ikut melesat keluar.
Sudah tentu Yan Lam-hwi tidak membiarkan musuh merat,
baru saja dia bergerak hendak mengudak keluar, mendadak
 
didengarnya sebuah jeritan disusul bentakan bengis,
"Sambut."
Sesosok bayangan orang menubruk terbang ke dalam,
rambut awut-awutan, mukanya berlepotan darah, siapa lagi
kalau bukan Co Giok-cin.
Walau pedang Yan Lam-hwi secepat kilat, pandangannya
pun tajam, baru saja pedangnya menusuk, segera dia
kendorkan tenaga menarik tangan.
Setengah menjerit Co Giok-cin sudah menubruk badannya.
"Biang", pintu besi tebal itupun tertutup rapat. Di luar segera
terdengar suara "klik, klik, klik" beruntun, tiga belas kunci telah
dikunci seluruhnya, kecuali Kongsun To, tiada orang di dunia
ini yang mampu membuka pintu besi itu.
Yan Lam-hwi membanting kaki, tidak menghiraukan Co
Giok-cin yang roboh di tanah, dia membalik tubuh terus
menerobos ke lubang dinding.
"Jagalah nona Co, akan kupenggal kepala Kongsun To dan
kuserahkan kepadamu," katanya.
Kalau golok Pho Ang-soat sudah keluar sarung, apa pula
yang perlu dia kuatirkan di sini. Sekarang hanya satu
tekadnya, membunuh orang, membunuh orang yang
membunuh.
Darah masih menetes dari ujung golok.
Tio Ping terkapar di bawah goloknya, Co Giok-cin rebah di
sampingnya, asal dia mengangkat kepala, akan melihat darah
 
yang menetes di ujung goloknya. Darah segar menetes di atas
batu, muncrat menjadi ceceran yang menggiriskan.
Pho Ang-soat berdiri tidak bergerak, mengawasi darah
menetes di ujung goloknya, kali ini golok ternyata tidak
langsung kembali ke sarungnya.
Co Giok-cin meronta bangun dan duduk di sampingnya,
matanya lengang mengawasi goloknya. Sungguh sangat
besar keinginannya untuk melihat dimanakah letak
kemujizatan golok ini? Waktu gokok ini membunuh orang,
seolah sudah diberi tuah oleh para malaikat di langit, tapi juga
seperti pernah dikutuk oleh para iblis di neraka.
Tapi dia kecewa, batang pedang yang panjang sempit
sedikit melengkung, mata golok yang tajam dan mengkilap
dengan jalur lekukan darah yang tidak begitu dalam, kecuali
gagang goloknya yang hitam, bentuk dari golok ini
kelihatannya tiada beda dengan golok umumnya.
Co Giok-Cin menghela napas, katanya, "Bagaimanapun
juga, akhirnya aku toh melihat golokmu. Apakah aku harus
berterima kasih kepada orang yang mati di bawah golokmu
ini?" Perkataannya kelam dan perlahan, seperti sedang
menggumam sendiri.
Dia hanya ingin supaya Pho Ang-soat maklum, apa yang
ingin dia lakukan, pasti bisa dilaksanakan dengan baik. Tapi
setelah dia melontarkan kata-katanya, segera dia sadar
bahwa dirinya telah berbuat salah, karena dia sudah melihat
mata Pho Ang-soat.
Sebelum ini sepasang mata ini kelihatannya amat lelah,
amat berduka, sekarang ternyata berubah lebih tajam dan
 
dingin dari mata pisau. Tanpa sadar Co Giok-cin menurut
mundur, tanyanya dengan suara memelas, "Ada yang salah
dengan ucapankanku?"
Pho Ang-soat menatapnya, seperti harimau kumbang
menatap mangsanya, setiap saat akan menerkamnya. Tapi
setelah semua merah di mukanya sirna, dia hanya menghela
napas, katanya, "Kita salah semua, kesalahanku lebih
menakutkan dari kau, kenapa aku harus menyalahkanmu?"
"Kau pun salah?" Co Giok-cin memancing keterangan.
"Kau salah omong, aku salah membunuh orang."
Co Giok-cin mengawasi mayat di tanah, "Kau tidak pantas
membunuhnya? Bukankah dia hendak membunuhmu?"
"Kalau dia benar ingin membunuh, yang menggeletak jadi
mayat sekarang adalah aku." Kepalanya tertunduk, sorot
matanya diliputi duka dan sesal.
"Dia tidak membunuhmu, apakah membalas budi
kebaikanmu, karena tempo hari kau tidak membunuh dia?"
Pho Ang-soat menggeleng.
Jelas ini bukan jawaban, peduli tangan siapa pun bila kau
potong, cara yang tepat untuk membalas budi kebaikan orang
itu terhadapmu adalah memotong buntung tanganmu.
Mungkin ini hanya suatu perasaan terima kasih yang ganjil,
terima kasih kepadamu lantaran kau telah membuatnya sadar
dan meresapi sesuatu yang sebelum ini tidak atau belum
pernah dia pikirkan, berterima kasih kepadamu karena telah
mempertahankan gengsi, harga dirinya.
 
Pho Ang-soat dapat meresapi perasaan hatinya, namun tak
kuasa dia utarakan, sering terjadi adanya ikatan batin yang
aneh dan ruwet, namun siapa pun sukar menjelaskan dimana
anehnya, bagaimana pula ruwetnya.
Darah di ujung golok sudah kering.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Inilah yang pertama,
juga yang terakhir."
"Aku tahu," ucap Co Giok-cin. "Pertama kali ini kau salah
membunuh orang, juga yang terakhir."
"Kau keliru lagi, orang yang sering membunuh orang, setiap
saat mungkin saja salah membunuh."
"Jadi maksudmu ..."
"Inilah pertama kali kau melihat golokku, juga yang
terakhir," ucap Pho Ang-soat tegas.
Golok akhirnya masuk ke sarung.
Co Giok-cin memberanikan diri berkata dengan tertawa,
"Golok itu tidak bagus, tidak lebih hanyalah sebatang golok
biasa saja."
Pho Ang-soat tidak ingin bicara lagi, baru saja membalik
tubuh, mukanya yang pucat mendadak berkerut dan kedutan
lagi, "Bagaimana kau bisa melihat golokku?"
Co Gok-cin segera menjawab, "Golokmu berada di depan
mataku, aku toh tidak buta kenapa tidak bisa melihatnya?"
Jawaban yang masuk akal, tapi dia melupakan satu hal.
 
Kamar batu ini hakikatnya gelap gulita, tiada setitik sinar api
pun, gelap pekat.
Sejak umur lima tahun Pho Ang-soat sudah mulai latihan
golok, kamar gelap yang rapat, pengap dan panas, sinar dupa
yang menyala berkelap-kelip, berhari-hari hingga bertahun-
tahun. Dia giat berlatih sepuluh tahun baru bisa melihat semut
yang merambat di kamar gelap, sekarang walaupun dia
melihat jelas wajah Co Giok-cin, karena dia pernah latihan,
maka dia pun tahu hal ini jelas bukan pekerjaan yang
gampang. Lalu bagaimana mungkin Co Giok-cin bisa melihat
goloknya? Tanpa terasa tangan Pho Ang-soat menggenggam
kencang goloknya.
Mendadak Co Giok-cin tertawa, katanya, "Mungkin belum
pernah kau pikir, ada sementara orang sejak lahir sudah
dibekali mata malam."
"Dan kau satu di antaranya?"
"Bukan saja mataku dapat melihat di tempat gelap, aku pun
bisa menembus rongga dada orang melihat apa isi hatinya,"
senyumannya berubah pudar. "Sekarang dalam hatimu tentu
sedang berpikir, aku ini bukan Co Giok-cin asli, sudah tentu
kau tidak menganggap aku ini siluman, tapi kemungkinan
adalah mata-mata Kongsun To, bukan mustahil pula seorang
pembunuh perempuan yang lihai dan terkenal, kemungkinan
besar pula Bing-gwat-sim telah aku jual, karena tiada orang
tahu kami berdua bersembunyi di sini."
Pho Ang-soat diam saja, berarti sependapat.
 
Co Giok-cin mengawasinya, matanya berkaca-kaca,
katanya, "Kenapa kau selalu tidak percaya kepadaku?
Kenapa?"
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, katanya, "Mungkin kau
tidak pantas sepandai ini."
"Kenapa tidak pantas? Lagi-lagi seperti Jiu Cui-jing, mana
bisa mencari bini yang bodoh untuk melahirkan
keturunannya?"
Terkatup mulut Pho Ang-soat.
Sebaliknya Co Giok-cin tak berhenti bicara, "Anak yang
kulahirkan pasti juga pintar, oleh karena itu aku tidak ingin
begitu dia lahir sudah tidak punya ayah, aku tidak bisa
membuatnya merana dan menderita, penuh penyesalan
seumur hidupnya kelak."
Muka Pho Ang-soat kedutan pula. Dia maklum pula apa
maksud perkataannya, karena sejak dilahirkan dia pun tidak
pernah punya ayah. Seorang bocah pandai yang tidak punya
ayah itu sudah merupakan tragedi, setelah dia tumbuh
dewasa pasti akan membuat orang lain melakukan banyak
peristiwa tragis. Karena dendam dan kebencian yang
bersemayam dalam sanubarinya jauh lebih besar dari rasa
kasih sayang.
Akhirnya Pho Ang menghela napas, katanya, "Kau bisa
mencari seorang ayah untuk anakmu."
"Aku sudah menemukan."
"Siapa?"
 
"Engkau."
Kamar batu itu makin gelap, di tempat gelap pekat ini
jawaban itu kedengarannya berkumadang di tempat yang
teramat jauh.
"Hanya kau yang setimpal menjadi ayah anakku, hanya kau
mampu melindungi bocah ini hingga tumbuh dewasa, kecuali
kau tiada orang lain lagi yang setimpal."
Pho Ang-soat berdiri kaku ditelan kegelapan, terasa setiap
jengkal kulit dagingnya seperti mengeras kaku.
Ternyata Co Giok-cin melakukian tindakan yang amat
mengejutkan sanubarinya pula, mendadak dia meraih Hou-
sing-kiam milik Tio Ping, katanya, "Kalau kau menolak, lebih
baik anak dalam kandunganku ini mati dalam perut."
"Sekarang?" pekik Pho Ang-soat tertahan.
"Ya, sekarang juga, karena aku sudah merasakan dia akan
segera lahir," walau dia berusaha menahan diri, namun
wajahnya sudah kelihatan pucat dan berkerut-kerut menahan
sakit.
Derita seorang perempuan di kala melahirkan, memang
merupakan salah satu derita yang tidak mungkin ditahan
dalam kehidupan manusia.
Pho Ang-soat lebih kaget, serunya, "Tapi kau pernah
bilang, kandunganmu baru tujuh bulan, kan belum genap."
Co Giok-cin tertawa getir dengan menahan napas, katanya,
"Anak biasanya memang nakal dan tidak mau mendengar
nasehat, apalagi anak yang masih dalam kandungan, bila dia
 
mau lahir, siapa pun takkan bisa mencegahnya." Tawa
getirnya berubah menjadi seringai kesakitan, namun diliputi
rasa hangat dan kasih sayang ibunda yang sukar dilukiskan.
Dengan suara perlahan dia menyambung, "Mungkin karena
dia ingin lekas melihat dunia atau mungkin juga aku
diguncangkan oleh orang-orang itu, maka...."
Dia tidak kuat meneruskan ucapannya, rasa sakit yang
bergelombang di perutnya membuatnya merinding dan
menggelepar. Tangannya masih memegang kencang Hou-
sing-kiam, seperti Pho Ang-soat waktu menggenggam
goloknya tadi. Agaknya dia sudah bertekad bulat.
Pho Ang-soat tergagap, "Aku ... aku boleh menjadi ayah
angkatnya." Seolah-olah dia sudah mengerahkan seluruh
tenaga dan keberaniannya melontarkan kata-kata itu,
suaranya pun serak.
"Ayah angkat tidak bisa mewakili ayah, jelas tidak bisa?"
"Lalu apa kehendakmu?"
"Aku ingin supaya kau mempersunting aku jadi istrimu.
Anakku baru resmi menjadi anakmu," rasa sakit merangsang
pula. Dengan mengertak gigi dia unjuk tawa dipaksakan. "Jika
kau tidak setuju, aku juga tidak akan menyalahkan kau, cuma
aku mohon kau kubur mayat kami di pekuburan Khong-jiok-
sian-ceng."
Apakah ini pesan terakhir? Jika Pho Ang-soat menolak
lamarannya, dia akan segera mati?
Pho Ang-soat tertegun, dia sering berhadapan dengan
musuh yang paling menakutkan, menghadapi bahaya besar
 
yang hampir merenggut nyawanya, tapi belum pernah dia
mengalami kesulitan seperti sekarang.
Kematian Jiu Cui-jing boleh dikata lantaran dirinya, Co
Giok-cin boleh dianggap sebagai istri Jiu Cui-jing. Tapi dilihat
dari sudut lain, bahwa kematian Jiu Cui-jing juga lantaran
dirinya hingga Khong-jiok-san-ceng yang sudah berdiri selama
hampir empat ratus tahun hancur-lebur dalam sekejap, kini Jiu
Cui-jing hanya meninggalkan satu keturunan, apa pun
pengorbanannya adalah pantas kalau dia melindungi Co Giok-
cin, biarlah dia melahirkan secara wajar dan lancar,
melindunginya hingga bocah tumbuh dewasa. Mungkinkah dia
menolaknya?
Gelombang sakit semakin sering dan pendek, rasa sakit itu
juga makin parah, mata tajam Hou-sing-kiam sudah mengiris
robek baju luarnya.
Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan yang
menyiksa hatinya, "Baiklah, aku terima."
"Kau bersedia manjadi suamiku."
"Ya, aku mau menjadi suamimu."
Apakah tetap keputusannya? Tiada orang dapat
memastikan, dia sendiri pun tidak bisa, namun dalam keadaan
seperti itu dia sudah tidak punya pilihan lain.
Dengus napas, rintihan dan jerit kesakitan ... mendadak
seluruhnya berhenti, menjadi hening lelap seperti tiada
kehidupan.
 
Selanjutnya meledaklah tangisan nyaring dan merdu dari
jabang bayi yang memecah kesunyian, membawa kehidapan
baru di jagat raya ini.
Tangan Pho Ang-soat berlepotan darah, namun darah
kehidupan. Kali ini dia membawa dengan tangannya,
membawa kehidupan, bukan kematian, kehidupan yang
menyala.
Mengawasi tangan sendiri, terasa hatinya pun melonjak-
lonjak menyambut kehidupan baru yang baru tumbuh.
Mayat Tio Ping masih di pinggir, dia mati di bawah golok
Pho Ang-soat, hanya dalam sekejap dia sudah merenggut jiwa
orang. Tapi sekarang tumbuh pula jiwa baru, jiwa segar yang
lebih bergairah. Derita dan duka-lara seketika sirna setelah
pecahnya tangis jabang bayi. Bau darah yang penuh dosa
tadi, sekarang sudah tercuci oleh darah kehidupan yang baru.
Dalam jangka yang pendek ini, dia mengantar jiwa seorang
mangkat, namun lekas sekali menyambut pula datangnya
nyawa baru di dunia ini.
Pengalaman serba aneh ini membawa reaksi yang keras
dan segar dalam sanubarinya sehingga jiwanya sendiri juga
jelas menampakkan perubahan, berubah lebih semangat,
hidup dan bergairah. Karena dia sudah mengalami suatu
pencurian darah seumpama seekor merak yang sudah
mengalami pencurian api dan memporeleh kehidupannya
yang baru untuk kedua kalinya. Walau pengalaman ini cukup
menyiksa, namun merupakan proses pertumbuhan jiwa dan
nyawa, merupakan syarat yang paling mahal, tak ternilai dan
tidak boleh kurang. Karena itulah kehidupan manusia.
 
Patah tumbuh hilang berganti, yang tua mati yang muda
tumbuh, begitulah kehidupan. Sampai detik ini baru Pho Ang-
soat terhitung paham, baru mengerti akan pengalamannya
yang baru ini, meresapi betul-betul.
Mendengarkan tangis nyaring serta jiwa kecil yang meronta
di tangannya, mendadak dia merasakan ketenangan jiwa dan
rasa gembira yang selama ini belum pernah dia rasakan.
Akhirnya dia sadar bahwa keputusannya memang benar, tiada
persoalan apa pun di dunia ini yang lebih penting dari lahirnya
jiwa. Makna kehidupan seseorang, bukankah merupakan
penyambung kehidupan jiwa di mayapada ini?
Dengan suaranya yang lemah Co Giok-cin bertanya, "Lelaki
atau perempuan?"
"Lelaki juga perempuan," sahut Pho Ang-soat, suaranya
terdengar gembira, nadanya aneh. "Kuhaturkan selamat
kepadamu, kau melahirkan sepasang bayi dampit."
Co Giok-cin menghela napas puas dan lega, wajahnya
yang lelah kelihatan rona bahagia, katanya dengan
tersenyum, "Aku pun harus memberi selamat kepadamu,
jangan lupa kau adalah ayah mereka." Ingin dia mengulur
tangan membopong putra-putrinya, namun kondisinya masih
terlalu lemah, tangan pun tak mampu diangkatnya.
Pada saat itulah terdengar suara gemuruh disertai getaran
dahsyat seperti gunung ambruk, batu sebesar gajah
berdentam memukul lantai kamar batu ini, pecahan batu
laksana anak panah muncrat kemana-mana dari lubang
dinding, satu-satunya jalan untuk keluar ternyata sudah
tersumbat rapat dari luar.
 
Back
Top