cersil- Peristiwa Bulu Merak

Pada saat itulah sinar golok berkelebat, Pho Ang-soat yang
selamanya tidak sembarangan mengeluarkan senjatanya,
mendadak mencabut goloknya. Begitu sinar golok
menyambar, roti yang dipegang kedua bocah itu sudah
tertabas jatuh di tanah menjadi dua potong.
Kejadian yang mendadak itu keruan membuat kedua anak
itu kaget terpana, dengan menangis keras mereka berlari balik
ke samping sang nenek.
Yan Lam-hwi sendiri juga tertegun, dengan kaget dia
mengawasi Pho Ang-soat.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya,
wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan apa-apa.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, "Sekarang baru
aku mengerti, kecuali untuk membunuh orang golokmu itu
masih ada pula gunanya."
"Hm," Pho Ang-soat hanya mendengus dalam tenggorokan.
"Golokmu inipun berguna untuk menakuti bocah."
"Ya, tapi aku hanya menakuti satu macam bocah."
"Bocah macam apa?"
"Bocah yang berani membunuh orang."
Kembali Yan Lam-hwi melengak, perlahan dia menoleh,
dilihatnya si nenek sedang menyurut mundur sambil memeluk
kedua anak itu. Kedua bocah itu tidak menangis lagi, matanya
terbeliak, dengan penuh kebencian mereka melotot kepada
 
Yan Lam-hwi. Terpancar cahaya kebencian dan dendam
kesumat dari sinar matanya.
Yan Lam-hwi menundukkan kepala, hatinya juga seperti
tenggelam, dari dalam roti yang tertabas jatuh di tanah
ternyata memancarkan cahaya gemerlap. Waktu dia
memungut setengah potong di antaranya, segera dia
mendapatkan di dalam roti ternyata berisi sebuah bumbung
kecil berisi jepretan jarum, itulah Ngo-tok-hwi-ciam, jarum
terbang yang mengandung panca bisa. Laksana burung
terbang, mendadak dia melesat ke depan dan berdiri di depan
nenek itu, katanya, "kau inikah Kwi-gwa-po?"
Nenek itu tertawa, wajahnya yang kecil dan tirus itu
mendadak berubah bengis menyeringai, katanya, "Sungguh
tak nyana ternyata kau tahu juga tentang diriku."
Yan Lam-hwi menatapnya lama, katanya kemudian, "Tentu
kau juga tahu aku punya semacam kebiasaan?"
"Kebiasaan apa?"
"Selamanya tidak pernah membunuh perempuan."
"Itu kebiasaan baik."
"Walau kau sudah tua, jelek-jelek kau juga perempuan."
Kwi-gwa-po menghela napas, katanya, "Sayang kau tidak
pernah melihat tampangku waktu masih muda, kalau tidak ..."
"Kalau tidak, aku tetap akan membunuhmu," desis Yan
Lam-hwi.
"Masih segar dalam ingatanku, barusan kau bilang
selamanya tidak pernah membunuh perempuan."
 
"Tapi kau boleh dikecualikan."
"Kenapa aku harus dikecualikan?"
"Anak-anak masih berjiwa polos dan bersih, tak pantas kau
memperalat mereka, kau menyia-nyiakan masa depan
mereka."
Kwi-gwa-po tertawa lagi, tawa yang menakutkan, katanya,
"Nenek yang baik sayang kepada cucunya, anak-anak itu juga
senang mengerjakan sesuatu untuk neneknya, memangnya
apa sangkut-pautnya dengan kau."
Yan Lam-hwi bungkam, dia segan membicarakan soal ini,
dia sudah menggenggam gagang pedang. Pedang yang
merah, merah bagai darah segar.
Kwi-gwa-po menyeringai, katanya, "Orang lain takut
terhadap Jio-hwi-kiam, aku...."
Ternyata dia tidak meneruskan ucapannya, mendadak
sebungkus roti yang dipegang dibantingnya ke tanah dengan
gregetan.
"Blam", ledakan cukup keras menimbulkan kepulan asap
dan debu, dibarengi sinar bintik-bintik.
Yan Lam-hwi bersalto di tengah udara, mundur dua tombak
jauhnya.
Setelah asap dan debu buyar tertiup angin, bayangan Kwi-
gwa-po dan kedua bocah itu sudah tidak kelihatan lagi, tanah
dimana tadi mereka berpijak sudah berlubang besar. Orang-
orang merubung maju, lekas sekali mereka pun bubar, tiada
tontonan yang bisa mereka saksikan di sini.
 
Yan Lam-hwi masih berdiri menjublek, lama sekali baru dia
berputar ke arah Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tetap bersikap
dingin laksana es.
Akhirnya Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Kali ini
kau tidak meleset juga."
"Jarang sekali aku meleset."
"Tapi anak-anak itu tidak berdosa, pasti sejak kecil mereka
telah diculik dan dididik oleh Kwi-gwa-po ... dengan berbagai
daya-upaya dia menggembleng kedua bocah itu, jadi sejak
kecil mereka sudah diajar berbuat jahat, menanam dendam
dan dosa."
"Karena itu sepantasnya kau tidak memberi ampun
kepadanya."
"Aku tidak menyangka dalam bungkusan roti di tangannya
disembunyikan granat tangan buatan Pi-lik-tong dari
Kanglam."
"Seharusnya kau sudah menduga, jika jarum bisa
disembunyikan di dalam roti, maka mungkin saja juga bisa
dimasuki granat tangan itu."
"Jadi kau sudah menduga sebelumnya?"
Pho Ang-soat tidak menyangkal.
"Bahwa kau juga berpendapat tidak pantas membiarkan dia
pergi, kenapa kau tidak turun tangan."
"Karena dia bukan hendak membunuh aku, aku pun tidak
mengira bahwa kau begini goblok."
 
Yan Lam-hwi menatapnya, mendadak dia tertawa, tertawa
getir.
"Mungkin bukan aku yang goblok, tapi karena kau terlalu
cerdik sampai sekarang aku masih belum mengerti racun
dalam asap, ular dalam pelana, cara bagaimana kau bisa
mengetahui?"
Pho Ang-soat membungkam agak lama, akhirnya berkata
dengan perlahan, "Cara membunuh orang banyak macamnya,
membokong adalah salah satu cara di antaranya, malah cara
ini paling menakutkan?"
"Aku tahu."
"Tahukah kau berapa macam pula cara membunuh secara
membokong."
"Aku tidak tahu."
"Tahukah kau selama tiga ratusan tahun ini, berapa banyak
orang mati terbunuh karena dibokong."
"Tidak tahu."
"Sedikitnya ada lima ratus tiga puluh delapan orang."
"Kau pernah menghitung?"
"Aku pernah menghitung, menghabiskan waktu tujuh tahun
baru jelas seluruhnya."
"Kenapa kau membuang waktu dan tenaga hanya untuk
menghitung jumlah orang mati?"
 
"Karena kalau aku tidak pernah menghitungnya, sekarang
paling sedikit aku sudah mati belasan kali dan kau juga sudah
mati tiga kali."
Perlahan Yan Lam-hwi menghembuskan napas, ingin
membuka mulut namun dibatalkan pula.
"Lima ratus tiga puluh delapan orang yang kumaksud,
semua adalah jago kosen kelas wahid di Bu-lim, orang yang
membunuh semestinya bukan tandingan mereka."
"Soalnya cara orang-orang itu membunuh lawannya
teramat keji dan lihai, maka mereka berhasil dengan baik."
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Yang mati terbunuh
ada lima ratus tiga puluh delapan, tapi pembunuhnya ternyata
hanya empat ratus delapan puluh tiga."
"Karena di antara korban terbunuh di tangan orang yang
sama."
"Caranya membunuh korbannya juga ada beberapa di
antaranya yang sama."
"Itu bisa kuduga."
"Seluruhnya mereka menggunakan dua ratus tujuh puluh
dua cara."
"Dua ratus tujuh puluh dua cara membunuh orang, sudah
tentu adalah cara yang paling ganas, paling lihai dan hebat."
"Sudah tentu."
"Kau tahu berapa di antaranya?"
 
"Dua ratus tujuh puluh dua macam."
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya dengan
menggeleng kepala, "Sebetulnya satu cara pun aku tiada yang
tahu."
"Sekarang paling sedikit kau sudah tahu tiga di antaranya."
"Kukira tidak terbatas tiga macam saja."
"Tidak terbatas?"
"Tahukah kau selama setengah tahun ini berapa kali aku
pernah dibokong orang?"
Pho Ang-soat menggeleng.
"Tidak termasuk yang pernah kau saksikan, seluruhnya tiga
puluh sembilan kali."
"Cara yang mereka gunakan berbeda?"
"Bukan saja berbeda, malah semuanya tidak pernah
kuduga, tapi sampai sekarang aku masih hidup."
Kali ini giliran Pho Ang-soat yang bungkam.
Di tengah tawa lebarnya Yan Lam-hwi berputar beranjak
pergi, membelok ke sebuah jalan melintang di seberang sana,
di jalan ini terdapat sebuah gedung berloteng, di atas loteng
terdapat kembang wangi, aroma kembang apakah itu?
Apakah kembang mawar?
Loteng itu tinggi, di atas loteng ada jendela, rembulan
bergantung di luar jendela, di bawah rembulan kembang
mekar. Kembang bunga mawar, bulannya bulan purnama. Di
 
sini tiada lampu, sinar bulan menyorot masuk lewat jendela,
menyinari bunga mawar di samping Yan Lam-hwi. Bukan saja
di sampingnya terdapat bunga mawar, ada pula seorang yang
pernah tertusuk duri mawar.
Malam telah larut. Manusia pantas mabuk, tapi Yan Lam-
hwi tidak mabuk, sepasang matanya tetap cemerlang laksana
rembulan, namun mimik mukanya seperti orang yang
tangannya tertusuk duri mawar, kalau mawar ada durinya,
bagaimana dengan Bing-gwat (bulan purnama)? Bing-gwat
punya hati, maka dia bernama Bing-gwat-sim.
Malam makin kelam, cahaya bulan lebih jernih, wajahnya
juga lebih molek, namun rona mukanya kelihatan amat
menderita. Lama dia memandangnya dari dekat, akhirnya
menghela napas, tanyanya, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Agak lama juga Yan Lam-hwi termenung, lalu menjawab
lirih, "Aku sedang memikirkan dua orang."
Makin lembut suara Bing-gwat-sim, "Satu di antara kedua
orang yang sedang kau pikirkan adakah aku di antaranya?"
"Tidak," ujar Yan Lam-hwi, suaranya dingin. "Bukan kau."
Si cantik tertusuk pula, namun dia tidak kenal mundur,
tanyanya pula, "Bukan aku, lalu siapa?"
"Seorang jelas adalah Pho Ang-soat."
"Pho Ang-soat? Orang yang menunggumu di Hong-hong-
kip? Bukankah dia musuhmu?"
"Bukan."
 
"Jadi temanmu?"
"Juga bukan," mendadak Lam-hwi tertawa sendiri.
"Selamanya kau tidak akan menduga, kenapa dia mau
menungguku di Hong-hong-kip?"
"Ya, kenapa?"
"Dia menungguku di sana untuk membunuh aku."
"Tapi kenyataan dia tidak membunuhmu."
"Bukan saja tidak membunuhku, malah tiga kali pula dia
menyelamatkan jiwaku."
"Apa yang dilakukan lelaki seperti kalian, kaum hawa
seperti aku ini selamanya takkan tahu."
"Memang kalian tidak akan mengerti."
Bing-gwat-sim memandang keluar, menatap bulan
purnama di luar jendela.
"Siapa pula seorang lagi yang kau pikirkan?"
Sorot mata yang mengandung sindiran kini berubah
menjadi tekanan derita, perlahan suaranya, "Seorang yang
ingin kubunuh, sayang aku sendiri tahu, selamanya aku tidak
akan bisa membunuhnya."
Mengawasi betapa besar derita batinnya, sorot mata Bing-
gwat-sim ikut guram, demikian pula cahaya rembulan di luar
jendela juga seperti redup, segumpal mega melayang
menutupi bulan purnama.
 
Tiba-tiba dia berbisik, "Kau sudah harus tidur, aku pun
harus berlalu."
"Pergilah kau," ucap Yan Lam-hwi tanpa mengangkat
kepala.
Bing-gwat-sim berkata pula, "Aku maklum akan
perasaanmu sekarang, seharusnya aku tetap di sini
menemani kau, tapi..."
"Tapi kau harus berlalu, karena meski kau berada dalam
lingkunganmu ini, di sini tak pernah kau menerima tamu,
apalagi sampai menginap, bahwa aku bisa menginap
semalam di sini terhitung kau sudah memberi muka
kepadaku."
Bing-gwat-sim menatapnya, lama-lama sorot matanya
menampilkan penderitaan, mendadak dia berputar, katanya
rawan dan sendu, "Mungkin aku tidak pantas menahanmu di
sini atau mungkin kau tidak patut kemari."
Bulan purnama sudah tidak terlihat lagi, mega mendung,
hujan pun turun amat lebat.
Mawar yang mekar di jendela pun rontok tertimpa air hujan.
Tapi di bawah dinding di depan sana ada seorang yang tak
pernah rontok. Bukan saja tidak dapat merontokkan orangnya,
juga tak akan bisa merontokkan hatinya.
Waktu Yan Lam-hwi mendorong jendela, dia melihat orang
itu.
"Dia masih di situ," demikian mulutnya menggumam, "hujan
makin deras, tapi orang itu masih berdiri tegak tak bergerak,
umpama titik air hujan yang berlaksa banyaknya itu berubah
 
menjadi laksaan pisau, orang itu juga tidak akan menyurut
barang setapak pun."
Yan Lam-hwi tertawa getir, "Pho Ang-soat, Pho Ang-soat,
kenapa kau adalah manusia bukan kebanyakan manusia?"
Angin berhembus santer, air hujan memukul mukanya,
dinginnya menyentuh sanubari. Rasa dingin ini justru
membakar darah panasnya, entah darimana timbul hasratnya,
mendadak dia menerobos keluar jendela, menerobos hujan
lebat yang dingin, dia melompati tembok, melayang ke depan
Pho Ang-soat.
Sukma Pho Ang-soat seperti berada di tempat jauh, tidak
merasakan datangnya hujan lebat ini, juga tidak melihat
kedatangannya. Hanya sekejap Yan Lam-hwi sudah berdiri di
tengah hujan lebat itu, sekujur badannya juga sudah basah
kuyup. Tapi bila Pho Ang-soat tidak buka suara, dia pun tidak
buka mulut.
Untunglah sorot mata Pho Ang-soat akhirnya berputar ke
arahnya, suaranya dingin, "Di luar sedang hujan, hujan lebat."
"Aku tahu."
"Seharusnya kau tidak keluar."
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Kalau kau boleh kehujanan
di luar, kenapa aku tidak?"
"Boleh saja," kata Pho Ang-soat, lalu dia mengalihkan sorot
matanya, jelas dia siap mengakhiri percakapan ini.
 
Tapi Yan Lam-hui tidak mau mengakhiri, katanya pula,
"Sudah tentu aku boleh kehujanan, setiap orang bebas untuk
berdiri di tengah hujan."
Sorot mata Pho Ang-soat lurus lengang, seolah-olah
sukmanya pergi ke tempat nan jauh.
Yan Lam-hwi menambah keras suaranya, "Tapi aku bukan
sengaja keluar untuk berdiri di tengah hujan." Suaranya
mendekati jeritan, jauh lebih keras dari suara hujan deras.
Betapapun Pho Ang-soat tidak tuli, akhirnya dia bertanya
tawar, "Lalu untuk apa kau keluar?"
"Aku ingin memberitahu sebuah persoalan, sebuah
rahasia."
Sorot mata Pho Ang-soat seketika memancarkan cahaya,
katanya, "Jadi kau sudah siap memberitahu kepadaku
sekarang?"
Yan Lam-hwi mengangguk.
"Semula bukankah mati pun kau tidak mau menjelaskan
kepadaku?"
"Ya, sebetulnya aku sudah bertekad bulat, kepada siapa
pun tidak akan kujelaskan."
"Kenapa sekarang mau kau jelaskan kepadaku?"
Yan Lam-hwi menatap mukanya, menatap air hujan yang
mengalir di mukanya, muka yang pucat, katanya, "Sekarang
aku mau memberitahu kepadamu, karena mendadak aku
menemukan satu kenyataan."
"Kenyataan apa?"
Yan Lam-hwi menyeringai tawa, suaranya tawar, "Kau
bukan manusia, hakikatnya bukan."
ooooOOoooo
 
Bab 4 Ibu Jari Tangan Hitam .

Bukan manusia lalu apa? Binatang? Setan? Kayu? Batu?
Atau malaikat? Dewa? Mungkin semuanya bukan. Cuma
sepak terjangnya, apa yang dia lakukan selalu melampaui
batas kemampuan orang kebanyakan, melampui daya tahan
dan kesabaran orang awam umumnya. Dalam hal ini Yan
Lam-hwi mempunyai alasan, 'Umpama kau ini manusia, paling
juga termasuk manusia yang bukan manusia'.
Pho Ang-soat tertawa, ternyata dia masih bisa tertawa.
Umpama dia tidak tertawa benar-benar, tertawa lebar
umpamanya, sorot matanya sudah menampilkan rona yang
tajam. Hal ini jarang terjadi dan merupakan kejadian luar
biasa, bagaikan di tengah hujan lebat di antara mega
mendung mendadak terbersit selarik sinar surya.
Yan Lam-hwi mengawasinya, mendadak dia menghela
napas, katanya, "Yang membuatku di luar dugaan adalah
manusia yang bukan manusia macammu ini ternyata juga bisa
tertawa."
"Bukan saja bisa tertawa, juga pandai mendengar," ujar
Pho Ang-soat.
"Kalau begitu marilah ikut aku."
 
"Kemana?"
"Ke tempat yang tak bakal kehujanan, ke tempat yang ada
arak."
Di atas loteng kecil itu ada arak, juga ada lentera, di malam
nan dingin ini, terasa lebih hangat dari senyum tawa Pho Ang-
soat. Tapi Pho Ang-soat hanya menengadah sekilas, rona
tawa dalam matanya seketika membulat dingin, katanya,
"Itulah tempat tujuanmu, bukan tempatku."
"Kau tidak mau?"
"Pasti tidak."
"Kalau aku boleh ke sana, kenapa kau tidak?"
"Karena kau bukan aku, dan aku bukan kau."
Justru karena kau bukan aku, maka kau pasti takkan tahu
duka-lara dan penderitaanku. Hal ini tidak dia ucapkan, juga
tidak perlu diucapkan.
Tapi Yan Lam-hwi sudah melihat penderitaannya, karena
menderita hingga kulit mukanya tampak berkerut dan kedutan.
Tempat itu hanyalah sarang pelacur, tempat setiap lelaki
mencari hiburan, kenapa justru memancing reaksi
penderitaannya? Mungkinkah di tempat seperti ini dia
mempunyai kenangan lama yang menyebabkan dia
menderita?
Mendadak Yan Lam-hwi bertanya, "Adakah kau melihat
orang yang menemani aku pergi ke Hong-hong-kip? Orang
yang memetik harpa itu?"
 
Pho Ang-soat menggeleng tanpa bersuara.
"Aku tahu kau tidak melihatnya, karena kau tidak minum
arak, selamanya juga tidak melihat perempuan." Wajah Pho
Ang-soat ditatapnya, lalu melanjutkan dengan perlahan,
"Apakah lantaran arak dan perempuan yang membuat hatimu
terluka?"
Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak buka suara, namun
setiap inci kulit daging mukanya seperti mengejang. Karena
setiap patah pertanyaan Yan Lam-hwi setajam jarum menusuk
sanubarinya.
Di tempat hiburan, kenapa tidak mungkin terjadi kenangan
yang penuh derita? Tanpa hiburan darimana datangnya
sengsara?
Yan Lam-hwi tutup mulut, dia tidak ingin bertanya lagi, tidak
tega mengajukan pertanyaan lagi.
Pada saat itulah dari belakang tembok mendadak melesat
terbang dua orang, "Bluk", seorang di antaranya jatuh di tanah
untuk tidak bergerak lagi, seorang lagi menggunakan Yan-cu-
sam-jau-cui, Ginkang tingkat tinggi untuk meluncur ke loteng
di seberang sana.
Waktu Yan Lam-hwi keluar, jendela sudah terbuka, lentera
juga menyala. Di bawah sinar lentera yang menyorot keluar
hanya terlihat sesosok bayangan langsing yang lincah cekatan
berkelebat sekali, terus menerobos masuk jendela.
Yang roboh di atas tanah adalah seorang kakek tua berbaju
hitam, memelihara jenggot pendek seperti jenggot kambing,
 
wajahnya kurus kering berwarna kuning. Begitu badan
menyentuh tanah, napasnya lantas putus.
Tahu napas orang sudah putus, segera Yan Lam-hwi
melompat, terbang ke atas dengan kecepatan tinggi,
menerobos ke dalam loteng lewat jendela. Ketika dia sudah
berada di atas loteng, dilihatnya Pho Ang-soat juga sudah
berdiri di dalam rumah. Tiada bayangan orang di dalam
kecuali bekas tapak kaki yang masih basah.
Tapak kakinya amat enteng dan kecil, bayangan orang
seringan burung walet tadi jelas adalah seorang perempuan.
Yan Lam-hwi mengerut kening, gumamnya, "Mungkinkah
dia?"
"Dia siapa?" tanya Pho Ang-soat.
"Bing-gwat-sim."
Dingin suara Pho Ang-soat, "Di langit tiada bulan, bulan
tiada hati, darimana datangnya Bing-gwat-sim?"
"Kau keliru," ujar Yan Lam-hwi dengan menghela napas,
"sebetulnya aku juga keliru, sampai sekarang baru aku tahu
bahwa Bing-gwat-sim itu punya hati."
Yang tidak punya hati adalah mawar, maka mawar di ujung
langit, di tempat yang amat jauh.
"Jadi Bing-gwat-sim adalah penghuni tempat ini?" tanya
Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi mengangguk tidak bersuara, dari luar
terdengar ketukan pintu.
 
Daun pintu hanya dirapatkan saja, nona cilik dengan mata
bundar berpakaian sutra hijau, wajahnya bersemu merah,
tangan kiri membawa cangkir, tangan kanan memeluk sebuah
guci arak kecil yang masih disegel tutupnya, dengan malu-
malu dia beranjak masuk, matanya yang jeli lincah berputar
mengawasi Pho Ang-soat sekian lamanya. Tiba-tiba dia
berkata, "Apakah dia ini tamu agungmu yang dikatakan nona
kami?"
Pho Ang-soat tidak mengerti, demikian pula Yan Lam-hwi
juga tidak habis mengerti.
Nona cilik ini berkata pula, "Nona kami bilang, ada tamu
agung bertandang, maka menyuruhku menyiapkan santapan,
tapi kulihat kau ini tidak mirip tamu agung." Seperti malas
melihat Pho Ang-soat lagi, mulut selesai bicara segera ia
membalik ke sana membersihkan meja, lalu menata hidangan.
Bayangan orang tadi ternyata memang benar Bing-gwat-
sim adanya.
Kakek tua berbaju hitam memang hendak membunuh Yan
Lam-hwi, sayang pembunuh gelap ini telah terbunuh lebih dulu
oleh Bing-gwat-sim, namun dia tidak ingin segera unjuk diri,
mungkin hendak memancing Pho Ang-soat masuk ke atas
loteng itu.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Gelagatnya dia lebih mahir
dari aku dalam hal mengundang tamu."
Pho Ang-soat menarik muka, katanya, "Sayang sekali aku
ini bukan tamu agung seperti yang dibayangkan olehnya."
 
"Betapapun kau sudah berada di sini, setelah datang
kenapa tidak tinggal di sini?"
"Kalau aku sudah berada di sini, kenapa kau masih tidak
bicara?"
Yan Lam-hwi tertawa, dia tepuk tutup guci arak serta
menyobek segelnya, bau arak segera merangsang hidung.
"Arak bagus," pujinya dengan tertawa, "sejak aku kemari,
belum pernah aku mencicipi arak sebagus ini."
Nona cilik itu sedang mengangkat guci menuang arak ke
dalam poci, dari poci dia mengisi arak ke dalam cangkir.
Yan Lam-hwi berkata, "Agaknya bukan saja dia
mengenalmu, orang macam apa kau ini, dia pun sudah tahu
jelas."
Arak secangkir penuh segera ditenggaknya habis, lalu dia
berputar ke arah Pho Ang-soat, katanya pula perlahan, "Cita-
citaku belum terlaksana, lantaran ada seorang belum mati."
"Siapakah dia?"
"Seorang yang patut dibunuh."
"Kau ingin membunuhnya?"
"Setiap hari setiap malam aku ingin membunuhnya."
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, lalu berkata dingin,
"Orang yang patut mati, cepat atau lambat pasti akan mati,
kenapa harus kau sendiri yang turun tangan?"
 
"Karena kecuali aku, tiada orang yang tahu bahwa dia patut
dibunuh."
"Lalu siapa dia?"
"Dia bernama Kongcu Gi."
Ruangan itu mendadak hening, nona cilik yang menuang
arak itupun berdiri melenggong, lupa mengisi cangkir yang
kosong.
ooooOOoooo
Kongcu Gi.
Nama ini seolah-olah membawa daya magis yang dapat
menyedot sukma orang.
Pho Ang-soat menatap keluar jendela, lama sekali
mendadak dia berkata, "Ingin aku bertanya kepadamu, selama
empat puluhan tahun mendatang ini, ada berapa orang yang
betul-betul dapat diagulkan menjadi pendekar besar?"
"Ada tiga orang."
"Hanya tiga orang saja?"
"Kau tidak kuhitung, kau
"Aku tahu aku bukan, aku hanya bisa membunuh orang,
tidak bisa menolong orang."
"Aku tahu kau memang bukan, karena hakikatnya kau tidak
ingin
 
jadi pendekar."
"Jadi yang kau maksud adalah Sim Long, Li Sun-hoan dan
Yap
Kay?"
Yan Lam-hwi mengangguk, katanya, "Ya, hanya mereka
bertiga yang setimpal."
Setiap insan persilatan tiada yang berani menyangkal akan
kebenaran ini. Sepuluh tahun pertama adalah zamannya Sim
Long, sepuluh tahun kedua Siau-li si pisau terbang Li Sun-
hoan malang melintang di kolong langit, sepuluh tahun ketiga
adalah kejayaan Yap Kay.
"Lalu sepuluh tahun terakhir ini?" tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, "Dunia Kangouw
sekarang berada di bawah kekuasaan Kongcu Gi." Cangkir
penuh arak, sekali tenggak dia habiskan, "Bukan saja dia
orang berbakat, kaya raya dan berkuasa, dia pula satu-
satunya ahli-waris Sim Long, bukan saja seorang gagah
romantis, juga seorang pendekar besar yang memiliki kungfu
tinggi."
"Tapi kau justru ingin membunuhnya."
"Aku ingin membunuhnya, bukan lantaran ingin berebut
nama, juga bukan untuk menuntut balas."
"Memangnya apa tujuanmu?"
"Demi keadilan dan kebenaran, karena aku tahu
rahasianya, hanya aku ..." waktu dia mengangkat cangkir
 
Back
Top