cersil- Peristiwa Bulu Merak

itu masih terus berlari ke depan, lari hanya dengan dua kaki
depannya. Mendadak darahnya menyembur dan muncrat
bagai sambaran panah, setelah lari tujuh langkah baru kuda
buntung itu ambruk, isi perutnya tercecer dan terseret di jalan
raya.
"Awas!" teriak Yan Lam-hwi. Belum lenyap suaranya, tahu-
tahu kereta itu sudah terpental mumbul ke udara dan terbalik
seperti berakrobatik.
Yan Lam-hwi menubruk maju sambil memeluk seorang
anak Co Giok-cin, berbareng sebelah kakinya menendang
terbuka pintu kereta. Sebuah tangan terulur ke dalam,
didengarnya suara Pho Ang-soat berkata, "Tarik kencang."
Dua tangan saling gendong dan tarik, Pho Ang-soat
menarik Yan Lam-hwi, sementara Yan Lam-hwi memeluk Co
Giok-cin dan seorang anaknya.
Di tengah bentakan nyaring, mereka sudah mencelat
terbang keluar. "Biang", suara keras menggetar bumi, kereta
itu sudah hancur menubruk sebatang pohon.
Lohor.
Cuaca cerah, sinar matahari cemerlang.
Sinar mentari yang menyegarkan menerangi jalan raya
besar itu, mendadak segumpal mega tiba, sehingga cahaya
mentari tertutup, seolah-olah sang surya pun tidak tega
melihat peristiwa yang baru saja terjadi di jalan raya.
Kereta itu sudah remuk, kuda penarik kereta pun terpotong
menjadi dua, bagian belakang bangkai kuda itu masih terikat
 
di depan kereta, bagian kepalanya ternyata sudah
menggeletak di tengah jalan raya.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi?
Dengan kencang Co Giok-cin memeluk kedua anaknya
supaya tidak menangis. Walau dia masih bingung, tidak tahu
apa yang telah terjadi, tapi sungguh dia teramat takut, begitu
takutnya sehingga lupa sakit. Padahal sekujur badan dan
tulang-tulangnya seperti dibetot dan copot, tapi rasa takut
telah membuatnya pati rasa, maka selanjutnya dia mulai
muntah-muntah.
Seorang laki-laki penebang kayu yang masih muda sedang
berdiri di pinggir jalan di bawah pohon, mendadak dia pun ikut
muntah-muntah. Tadi dia pun sedang melangkah keluar dari
dalam hutan, hendak menyeberang jalan raya ini, namun
segera dia menyurut mundur dan menunggu, karena
dilihatnya sebuah kereta berkuda sedang berlari kencang
mendatangi.
Yang memegang kendali adalah seorang bermuka pucat,
seolah-olah begitu besar keinginannya supaya kereta kuda ini
dalam sekejap menempuh delapan ratus li perjalanan.
"Memangnya orang ini buru-buru hendak melayat,"
demikian gerutu penebang kayu muda itu dalam hati, namun
sebelum dia bergerak lagi, mendadak dilihatnya sinar golok
berkelebat. Sebetulnya dia tidak melihat jelas dan tidak bisa
membedakan apakah yang berkelebat barusan sinar golok
atau kilat menyambar. Tapi dia melihat selarik sinar terang
melesat terbang dari dalam hutan di seberang sana, jatuh di
punggung kuda yang menarik kereta.
 
Kuda gagah yang sedang berlari kencang menarik kereta,
mendadak terpotong menjadi dua. Bagian kepalanya ternyata
berpisah dengan bagian pantatnya, bagian kepala masih bisa
berlari dengan kedua kaki depannya. Lalu apa pula yang
terjadi selanjutnya hakikatnya penebang kayu ini tidak melihat,
dia berdiri menjublek tidak percaya bahwa apa yang barusan
disaksikan adalah kejadian nyata. Dia hanya mengharap apa
yang disaksikannya ini hanya sebuah impian, impian buruk.
Tapi dia sudah mulai muntah-muntah.
ooooOOoooo
Bab 13. Golok Raja Langit Pemenggal Setan
Sekali bacok tepat membelah seekor kuda menjadi dua,
golok apakah itu? Tiada orang melihat. Yang jelas sinar golok
melesat keluar dari dalam hutan, padahal kereta sudah berlari
sejauh tiga puluhan tombak, dipandang dari sini ke arah sana,
tiada bayangan orang, juga tidak terlihat adanya golok.
Pho Ang-soat menghadang di depan Co Giok-cin dan
kedua anaknya, matanya menatap hutan lebat di sebelah kiri,
kulit wajahnya yang pucat seolah-olah menjadi bening.
Setelah menenangkan napas, segera Yan Lam-hwi
bertanya, "Kau lihat golok itu?"
Pho Ang-soat menggeleng.
"Tapi kau pasti sudah tahu golok macam apakah itu?" Pho
Ang-soat mengangguk
 
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Agaknya Kongcu
Gi cukup cepat menyerap berita, Biau-thian-ong ternyata
sudah tiba."
Golok milik Biau-thian-ong sudah tentu adalah Thian-ong-
cam-kui-to.
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, katanya
dingin, "Yang datang mungkin tidak sedikit."
Pada saat itulah dari utara dan selatan jalan raya, dua
kereta dilarikan sejajar mendatangi. Jalan mundur atau maju
sudah tersumbat.
Di atas kereta pertama sebelah kiri yang datang dari utara,
dua orang sedang duduk bersimpul menghadapi meja sedang
bermain catur. Kereta kedua juga diduduki dua orang, seorang
sedang membersihkan kuku, seorang lagi sedang minum
arak. Agaknya keempat orang ini sedang khusuk menghadapi
pekerjaan masing-masing, siapa pun tiada yang mengangkat
kepala atau menoleh ke depan.
Kereta pertama yang datang dari selatan tampak beberapa
perempuan di dalamnya, ada tua ada muda, ada yang senang
menyulam ada yang sedang makan kwaci, ada pula yang
menyisir rambut.
Perempuan yang paling tua itu ternyata bukan lain adalah
Kui-gwa-po.
Di atas kereta kedua menggeletak sebuah peti mati besar
dan baru, di depannya tergantung sebuah wajan raksasa yang
terbuat dari tembaga, kuping gelang sebanyak empat buah
dari wajan ini terpasang di empat kaki besi.
 
Konon wajah terbesar di seluruh jagat ini adalah milik Siau-
lim-si, wajan untuk memasak nasi. Maklum Hwesio Siau-lim-si
banyak jumlahnya, sepanjang tahun tak pernah makan barang
berjiwa, namun setiap hari mereka harus bekerja rajin, maka
selera makannya pun amat besar. Umpama saja setiap
Hwesio setiap makan menghabiskan lima mangkuk nasi, lima
ratus Hwesio menghabiskan berapa mangkuk? Lalu untuk
memberi makan sampai kenyang lima ratus Hwesio, berapa
besar wajan yang harus digunakan untuk memasak nasi?
Yan Lam-hwi pernah bertamu ke Siau-lim-si, sengaja dia
ingin menyaksikan wajan raksasa itu, karena dia memang
seorang yang selalu tertarik akan sesuatu yang luar biasa.
Wajan tembaga di atas kereta ini ternyata tidak lebih kecil
dari wajan Siau-lim-si itu. Dan anehnya di dalam wajan
ternyata ada dua orang, kepala besar kuping lebar, wajahnya
bundar, di atas jidatnya terdapat codet merah bekas bacokan
golok yang menggelantung ke bawah, dari atas alis menggaris
turun sampai ujung mulut, sehingga wajah bundar gemuk
yang kelihatan jenaka dan lucu ini mendadak berubah menjadi
seram dan kejam.
Kereta dilarikan perlahan, wajah di atas kereta ternyata
bergontai pergi datang, seperti mereka duduk di atas ayunan.
Mega sudah tertiup pergi, sang surya merayap makin
tinggi, namun hati Yam lam-hwi justru makin tenggelam. Tapi
dia harus mengunjuk tawa meski dipaksakan, gumamnya,
"Tak nyana To-jing-cu ternyata tidak datang."
"Sekali sergap tidak berhasil, harus segera mundur,"
demikian kata Pho Ang-soat dingin, itulah aturan lama pihak
Sing-siok-hay mereka.
 
Tawa Yan Lam-hwi seperti amat riang katanya, "Kecuali
dia, yang pantas datang agaknya sudah tiba, yang tidak patut
datang ternyata juga sudah tiba." Mengawasi si gembrot
dengan codet di mukanya dalam wajan itu dia tersenyum,
katanya, "Koki Dol, kenapa kau pun datang?"
Codet di muka si gendut bergerak seperti ular. Dia sedang
tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan menjijikkan dan
misterius, katanya, "Kali ini aku datang mengerjai mayat."
"Mengerjai mayat siapa?" tanya Yan Lam-hwi.
"Mayat apa saja kukerjai!" dengan bergontai dia berdiri dan
keluar dari wajan besar itu. "Kuda mati dimasukkan ke perut,
orang mati dimasukkan ke layon."
Kereta sudah berhenti seluruhnya. Yang bermain catur
tetap saja main catur, yang minum arak masih memegang
cangkir, yang menyisir juga tetap menyisir rambut, masing-
masing masih sibuk dengan tugasnya.
Koki Dol tertawa, "Agaknya semua orang hari ini akan
dapat rezeki mujur, kalian akan bisa berpesta sampai
kenyang, daging kuda panca wangi yang diolah Koki Dol, tidak
sembarang orang dapat menikmatinya."
Yan Lam-hwi berkata, "Masakan keahlianmu kurasa bukan
daging kuda panca wangi, betul tidak?"
"Bahan-bahan untuk membuat masakan keahlianku sukar
dicari, bolehlah hari ini kalian menikmati daging kuda panca
wangi saja," sembari bicara badannya yang gendut itu tahu-
tahu sudah menyelinap keluar dari bawah wajan, terus
melompat turun, bagi yang tidak menyaksikan sendiri sungguh
 
sukar percaya bahwa si gendut yang beratnya ratusan kati itu,
gerak-geriknya ternyata enteng dan lincah. Dan ternyata dia
juga membawa pisau, pisau pendek tapi lebar, pisau untuk
merajang sayur, pisau yang biasa digunakan koki di setiap
restoran.
Tak tahan Co Giok-cin bertanya, "Apa benar Koki Dol
seorang koki?"
"Palsu," sahut Yan Lam-hwi. "Kenapa orang memanggilnya
koki?"
"Karena dia senang memasak dan suka pakai golok sayur."
"Paling ahli dia masak apa?"
"Panggang jantung orang, dicampur saos daging
panggang."
Penebang kayu itu sudah tidak muntah lagi, baru saja dia
mengangkat kepala, menegakkan badan, seketika dia berdiri
menjublek pula.
Tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa tempat ini
bakal ramai. Pagi tadi dia hanya makan dua bakpao hangat
dengan beberapa tangkai sayur asin, semula dia menyangka
isi perutnya sudah terkuras habis, tiada yang bisa
dimuntahkan lagi. Tapi hanya sekejap dia melihat ke sana, tak
tertahan dia memeluk perut muntah-muntah lagi, lebih keras
dan banyak.
Sementara itu Koki Dol sudah mengeluarkan pisaunya
membacok daging kuda, kulit daging bercampur tulangnya
sekalian, dia membacok segumpal besar, seenaknya saja
 
tangannya terayun melemparkan gumpalan daging itu ke
dalam wajan besar itu.
Tangan kanan mengerjakan pisau, tangan kiri melempar
daging, kedua tangannya naik turun secara cepat, gerak-
geriknya cekatan dan amat mahir, kuda itu dalam sekejap
telah diirisnya menjadi seratus tiga puluhan kerat daging.
Daging kuda sudah berada di dalam wajan, mana bahan
panca wanginya?
Darah yang berlepotan di atas pisaunya dibersihkan
dengan alas sepatu Koki Dol, lalu dia melangkah balik
menghampiri peti mati besar dan tebal itu. Di dalam peti mati
ternyata tersimpan berbagai bahan masakan, minyak, garam,
kecap, cuka, lada, jahe dan banyak lagi, tidak ketinggalan juga
penyedap rasa, bahan-bahan masakan yang terpikir olehmu
pasti dibawa oleh Koki Dol.
Koki Dol menggumam, "Kereta bobrok ini kebetulan untuk
bahan bakar, bila kereta ini terbakar habis, yakin dagingnya
juga sudah empuk, sudah matang."
Nyo Bu-ki yang sedang main catur tiba-tiba berseru,
"Bagianku jangan terlalu empuk, gigiku masih utuh."
Koki Dol berkata dengan nada tinggi, "Tosu yang beribadah
juga berani makan daging?"
"Jangan kata daging kuda, daging manusia juga pernah
kumakan."
Koki Dol bergelak tertawa, katanya, "Jika Tosu ingin makan
daging manusia, sebentar boleh kubikinkan, bahan-bahan
sudah lengkap tersedia di sini."
 
"Memangnya aku sedang menunggu, biasanya aku tidak
tergesa-gesa."
Koki Dol bergelak tawa, matanya melirik ke arah Pho Ang-
soat, katanya, "Daging manusia untuk tambah darah, siapa
mau makan sedikit daging orang, mukanya tanggung tidak
pucat lagi." Di tengah gelak tawanya, cukup dengan sebelah
tangan dia mengangkat wajan raksasa seberat tiga ratusan
kati itu bersama kaki besinya ke tengah jalan raya, lalu
dengan pecahan kayu kereta dia mulai menyulut api di bawah
wajan.
Lekas sekali api telah menyala, asap mengepul, kayu yang
terjilat api meletup-letup lirih.
Orok di pelukan Co Giok-cin menangis, terpaksa Co Giok-
cin menarik bajunya, memberi minum air teteknya.
Kongsun To yang masih memegangi cangkir arak
mendadak berseru, "Waduh putihnya."
"Daging yang empuk dan gurih," sela Koki Dol tertawa.
Kwi-gwa-po yang sedang makan kwaci mendadak
menghela napas, katanya, "Orok yang harus dikasihani."
Terasa oleh Pho Ang-soat, perutnya seperti mengkeret, tak
tertahan hampir saja dia pun muntah-muntah. Otot hijau sudah
merongkol di punggung tangannya yang memegang golok,
agaknya sudah siap mencabut goloknya.
Tapi Yan Lam-hwi memegang pundaknya, katanya lirih,
"Sekarang tidak boleh bergerak."
 
Sudah tentu Pho Ang-soat juga tahu situasi sekarang
belum mengizinkan dia beraksi. Beberapa orang itu kelihatan
bersikap santai, padahal hati mereka juga gugup, gelisah
sepeti semut di dalam kuali yang panas, sedikit lena dan
bergerak tanpa perhitungan, akibatnya pasti susah
dibayangkan.
Lalu bagaimana kalau tidak beraksi? Apakah harus diam
begini saja sampai mereka habis gegares daging kuda, lalu
makan daging manusia.
Dengan merendahkan suaranya, Yan Lam-hwi bertanya,
"Kau kenal tidak Toh Cap-jit yang punya delapan nyali dan
delapan sukma?"
Pho Ang-soat geleng kepala.
"Orang ini bukan Tayhiap, bukan ksatria, tapi mempunyai
jiwa pendekar melebihi para pendekar dan ksatria yang
pernah kukenal. Aku sudah berjanji dengan dia untuk bertemu
di kedai minum Thian-hiang-lau di kota sebelah depan, asal
dapat menemukan dia, persoalan apa pun pasti dapat
dibereskan, hubunganku dengan dia amat baik."
"Itu kan urusanmu."
"Tapi sekarang urusanku adalah urusanmu pula."
"Aku tidak mengenalnya."
"Tapi dia mengenalmu."
Yang main catur tetap asyik dengan permainannya, setiap
orang masih tekun melakukan tugas masing-masing,
 
hakikatnya tidak memperhatikan mereka, seolah-olah mereka
sudah dianggap sebagai orang mati.
"Apakah kau ini seorang yang kenal aturan?" tanya Yan
Lam-hwi. "Kadang kala saja," sahut Pho Ang-soat.
"Sekarang apakah sudah tiba saatnya kita tidak usah kenal
aturan?"
"Agaknya memang demikian."
"Bolehkah Co Giok-cin dan kedua anaknya mati di sini?"
"Tidak boleh."
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Syukurlah kalau
kau selalu ingat perkataanku tadi, marilah pergi."
"Pergi? Pergi bagaimana?"
"Begitu kau mendengar aku mengucap 'anjing kecil',
bawalah Co Giok-cin dan kedua anaknya ke atas kereta itu,
sembunyikan ke dalam peti mati, urusan selanjutnya serahkan
kepadaku." Lalu dengan tertawa Yan Lam-hwi menambahkan,
"Jangan lupa kepandaianku melarikan diri nomor satu di
seluruh jagat ini."
Terkancing mulut Pho Ang-soat, sudah tentu dia maklum
apa maksud Yan Lam-hwi, sekarang dia tidak punya pilihan
lain. Apa pun yang akan terjadi dia harus berjuang dan
berusaha supaya Co Giok-cin dan kedua anaknya tidak
terjatuh ke tangan orang-orang itu.
Kereta dimana Kwi-gwa-po duduk seluruhnya berisi orang
perempuan, kecuali nenek peyot ini, empat yang lain berwajah
 
tidak jelek. Tidak jelek maksudnya ayu jelita, yang paling jelita
sedang menyisir rambut, rambutnya yang panjang terurai
mayang dan hitam mengkilap.
Mendadak Yan Lam-hwi berkata, "Konon dari yang tua
sampai yang paling muda, Biau-thian-ong seluruh mempunyai
delapan puluh bini."
"Ya, tepat delapan puluh, dia suka angka genap," sahut
Kwi-gwa-po.
"Kabarnya peduli kemana pun dia, paling sedikit akan
membawa empat lima bininya, karena sembarang waktu dia
memerlukan hiburan," kata pula Yan Lam-hwi.
"Dia memang laki-laki yang selalu fit tenaganya, maka
setiap bininya pasti merasa ketiban rezeki," ujar Kwi-gwa-po.
"Apakah kau salah satu di antaranya?"
Kwi-gwa-po menghela napas, katanya,"Aku memang ingin,
sayang dia menganggap aku terlalu tua."
"Siapa bilang kau sudah tua, menurut pandanganku, kau
lebih muda sepuluh tahun dibanding nenek yang sedang
menyisir rambut itu."
Kwi-gwa-po tertawa lebar, gadis yang sedang menyisir
rambut berubah air mukanya, menatapnya dengan mata
melotot.
Yan Lam-hwi malah tertawa menyengir padanya, katanya,
"Sebetulnya kau belum terhitung tua, kecuali Kwi-gwa-po, kau
terhitung yang paling muda."
 
Sekarang orang banyak sudah tahu kalau dia sengaja
mencari setori, mencari kesulitan, tapi mereka tak habis
mengerti, orang-orang sengaja tidak memperhatikan dia,
sekarang terpaksa melirik atau menoleh ke arahnya.
Maka Yan Lam-hwi langsung menemui Koki Dol, katanya,
"Kecuali membacok daging mengiris sayur, pisaumu ini apa
pula gunanya?"
"Untuk membunuh orang pula," sahut Koki Dol. Codet di
mukanya mulai bergerak pula, "Membunuh seorang dengan
golok antik yang dihiasi mutiara dan mutu manikam, apa
bedanya dengan golok sayurku ini?"
"Kurasa ada sedikit perbedaannya."
"Dimana perbedaannya?"
Yan Lam-hwi tidak menghiraukan dia, setelah memutar
tubuh dia membuka tutup peti mati, mulutnya menggumam,
"Eh, di sini juga ada bawang merah, ada merica, apa ada
lombok?"
"Dimana perbedaannya?" teriak Koki Dol.
Yan Lam-hwi tetap tidak mempedulikan dia, katanya, "Ha,
di sini memang ada lombok. Agaknya peti mati ini cukup untuk
dibuat dapur."
Semula Koki Dol mendemprok di tanah, sekarang dia
berdiri, katanya, "Kenapa tidak kau jelaskan? Sebetulnya
dimana letak perbedaannya?"
Akhirnya Yan Lam-hwi menoleh, katanya dengan tertawa,
"Sebetulnya dimana perbedaannya aku sendiri juga tidak tahu.
 
Aku hanya tahu supaya daging kuda panca wangi terasa
sedap, harus banyak dicampur lombok." Lalu dia mencomot
segenggam lombok, menghampiri wajan besar itu, katanya
pula, "Kukira di sini tiada orang yang tidak doyan lombok, yang
tidak makan lombok adalah anjing cilik."
Saking gusar selebar muka Koki Dol yang gembrot sudah
pucat-pias, pada saat itulah terdengar ringkik kuda disertai
bentakan nyaring. Pho Ang-soat sudah mengangkat Co Giok-
cin, Co Giok-cin memeluk kedua anaknya, dua orang besar
dan dua orok meluncur pesat merebut kereta. Co Giok cin
langsung memasukkan kedua anaknya ke dalam peti mati,
sementara Pho Ang-soat mengayun cambuk mengeprak kuda,
pada waktu yang sama Yan Lam-hwi memegang kaki wajan,
terus diangkatnya ke atas.
"Awas!" Kongsun To berseru, menimpukkan cangkir seraya
berjingkrak berdiri.
Sebelum hilang suaranya, Co Giok-cin sudah melompat
masuk ke dalam peti mati serta menutup rapat tutupnya dari
dalam. Sementara Yan Lam-hwi mengayun wajan besar itu
terus dilempar ke arah dua kereta di depan sana.
Kuah panas muncrat, daging kuda beterbangan, kuda
berjingkrak kaget ketakutan, potongan daging kuda laksana
hamburan senjata rahasia, sipaa pun yang terkena pasti kulit
dagingnya melepuh kepanasan.
Orang-orang di atas kereta berlompatan turun sambil
menutup muka dan kepala dengan kedua lengan bajunya.
 
Tangan kanan Pho Ang-soat memegang golok, tangan kiri
mengayun cambuk, keretanya sudah menerobos pergi lewat
tengah-tengah kedua kereta yang ambruk di kedua sisi jalan.
Tubuh Siau Si-bu terapung di udara, mendadak dia
bersalto, seluruh kulit daging dan otot tangan kanannya penuh
dilandasi kekuatan dalamnya, pisau terbang sudah terpegang
di jari-jarinya.
Di sebelah sana Nyo Bu-ki juga melambung ke atas,
tangannya juga memegang gagang pedang.
Pisau Siau Si-bu sudah disambitkan, kali ini sedikitpun tidak
mengeluarkan suara, timpukannya itu menggunakan setaker
tenaga, yang diincar adalah punggung Pho Ang-soat.
Punggung adalah sasaran paling empuk dan nyata, paling
sukar dihindari.
Walau kedua kereta sudah ambruk ke pinggir, namun
peluangnya juga tidak lebar. Pho Ang-soat harus
mencurahkan perhatian mengendalikan kuda keretanya,
supaya kereta ini tidak menabrak atau terbalik. Punggungnya
juga tidak tumbuh mata, hakikatnya tidak tahu sambaran pisau
yang melesat bagai kilat menyambar itu, umpama dia tahu
juga tidak mampu berkelit. Umpama dia berhasil meluputkan
diri dari timpukan pisau, kereta tidak terkendali lagi dan pasti
menumbuk kereta yang lain.
Di saat genting itulah, goloknya mendadak menyelonong
keluar dari bawah ketiak, "Ting", sarung goloknya yang hitam
gelap itu memercikkan lelatu api, pisau terbang sepanjang
empat dim jatuh berkerontang di atas kereta.
 
Pedang Nyo Bu-ki sudah keluar dari sarungnya, dengan
jurus Giok-li-jeng-so (gadis cantik menyusup benang)
menyerang sambil menukik turun.
Sarung golok masih terkempit, Pho Ang-soat mencabut
golok secara terbalik, dimana sinar goloknya berkelebat dia
sambut kedatangan cahaya pedang, Golok dan pedang tidak
beradu, namun gerak sinar golok lebih cepat lagi, ujung
pedang Nyo Bu-ki sudah hampir menembus leher Pho Ang-
soat, jaraknya tinggal satu dim, tapi satu dim ini justru
merupakan jarak yang menentukan.
Terdengar jeritan mengalun di angkasa, darah pun
berhamburan, dari udara melayang jatuh sebelah lengan
orang, jari-jarinya masih memegang kencang gagang pedang,
itulah Siong-bun-thi-kiam yang kuno dan antik.
Waktu badan Nyo Bu-ki melayang turun, kebetulan dia
kecemplung ke dalam wajan besar itu, masih ada sisa kuah
dan daging kuda yang panas. Itulah kali pertama selama
hidupnya berkesempatan membunuh Pho Ang-soat, kali ini
pedangnya hampir menusuk tenggorokan Pho Ang-soat,
hanya terpaut satu dim saja.
Kuda meringkik panjang, kereta itu sudah dibawanya lari
jauh meninggalkan kepulan asap. Cahaya pedang yang
menyala bagai warna darah, terbang mendatang mencegat
jalan di belakang kereta.
Pho Ang-soat tidak menoleh, dia mendengar suara batuk
Yan Lam-hwi, gerak pedang Yan Lam-hwi yang mencegat
para musuhnya itu jelas sudah mengerahkan seluruh
kekuatannya.
 
Pho Ang-soat tidak berani menoleh, dia kuatir bila dirinya
melihat ke belakang, pasti akan putar balik, berjuang
berdampingan dengan Yan Lam-hwi sampai titik darah
penghabisan. Sayang sekali ada sementara orang tidak boleh
mati, pasti tidak boleh.
Malam larut, hawa dingin. Di tanah pekuburan.
Kereta itu akhirnya berhenti di tengah pekuburan. Bintang
berkelap-kelip di angkasa, di tanah pekuburan yang belukar
dengan batu-batu nisan berserakan, tiada tampak bayangan
orang.
Mendadak seorang bangun berduduk dari dalam peti mati
di atas kereta itu, rambutnya panjang menyentuh pundak,
sorot matanya bening laksana air. Umpama dia ini setan, pasti
setan yang paling ayu di jagat ini. Sorot matanya mengerling
kian kemari, agaknya dia sedang celingukan, entah apa yang
dicarinya. Yang dicari bukan setan, bukan dedemit, tapi
seorang yang memegang golok.
Kemanakah Pho Ang-soat? Kenapa dia ditinggal seorang
diri di sini? Sorot matanya menampilkan rasa ngeri dan takut,
untunglah Pho Ang-soat sudah muncul di depannya.
Kabut mulai menyelimuti tanah pekuburan itu, tabir malam
kelihatan pucat, sepucat muka Pho Ang-soat.
Walau Co Giok-cin menghela napas lega setelah melihat
wajah pucat ini, namun dia kaget dan curiga, "Kenapa kita
harus berada di sini?"
Tidak menjawab malah balas bertanya, "Sebutir beras,
sembunyi dimana paling aman?"
 
Co Giok-cin berpikir sejenak, sahutnya, "Sembunyi di
tumpukan beras."
"Sebuah peti mati harus disembunyikan dimana supaya
tidak menarik perhatian orang."
Akhirnya Co Giok-cin mengerti maksudnya, kalau sebutir
beras sembunyi di dalam tumpukan beras, maka peti mati
harus disembunyikan di tanah pekuburan. Tapi dia masih
kurang jelas, tanyanya, "Kenapa kita tidak mencari Toh Cap-
jit, teman Yan Lam-hwi itu?"
"Tidak boleh kita ke sana."
"Kau tidak mempercayainya?"
"Orang yang dipercaya Yan Lam-hwi aku pun mau percaya
kepadanya."
"Lalu kenapa tidak mencarinya?"
"Thian-hiang-lau adalah sebuah restoran besar, Toh Cap-jit
adalah seorang terkenal, kalau hendak mencarinya, dalam
jangka tiga jam, Kongsun To dan kambrat-kambratnya pasti
segera tahu."
Co Giok-cin menghela napas, katanya lembut, "Sungguh
tak nyana, langkah kerjamu lebih teliti dari aku."
Pho Ang-soat menghindar dari kerlingan matanya, dari
dalam bajunya dia merogoh keluar sebuah buntalan kertas
minyak, katanya, "Inilah panggang ayam yang sempat kubeli
di tengah jalan, tak perlu kau bagikan kepadaku, aku sudah
makan."
 
Back
Top