cersil- Peristiwa Bulu Merak

ketiga kalinya, mendadak terdengar "Plak", cangkir itu remuk
di tangannya. Seketika rona mukanya berubah, berubah putih
mulus dan mengkilap.
Hanya sekilas Pho Ang-soat melihat wajahnya, mendadak
dia maju, tangan bekerja bagai angin, sepasang sumpit dia
jejalkan ke dalam mulutnya, sekaligus dia menutuk pula
delapan Hiat-to di sekitar urat nadinya.
Yan Lam-hwi mengertak gigi sekerasnya, tapi tak mampu
menggigit putus sepasang sumpit itu, di antara dua baris gigi
atas bawah terdapat celah-celah lubang. Lekas sekali Pho
Ang-soat sudah mencekok sebotol puyer obat ke dalam
mulutnya, begitu kedua jarinya memegang dagu dan memijat
gerahamnya, mulutnya lantas terpentang lebih lebar, sumpit
jatuh obat pun tertelan.
Nona cilik itu sudah berdiri kaku ketakutan, diam-diam dia
menggeremet mundur hendak ngacir, tiba-tiba dilihatnya
sepasang mata dingin setajam pisau sedang mendelik
kepadanya.
Poci arak dan cangkir terbuat dari perak, segel dan tutup
guci jelas belum pernah disentuh orang. Tapi kenyataan Yan
Lam-hwi terkena racun, hanya tiga cangkir, tapi racun yang
bekerja ternyata sudah segawat ini, lalu darimana datangnya
racun dalam arak.
Segera Pho Ang-soat angkat guci itu lalu dibalik, arak
tumpah, sinar lentera yang benderang menyinari pantat guci,
tampak setitik sinar gemerdep. Begitu guci dia tepuk pecah,
maka ditemukan sebatang jarum putih beracun di dalam guci.
Jarum panjang satu setengah dim, tebal guci itu hanya satu
 
dim, bila jarum ditusukkan dari bawah, racun di ujung jarum
segera akan terendam di dalam arak.
Lekas sekali Pho Ang-soat sudah memperoleh
jawabannya, tapi persoalan tidak sederhana, racun memang
dari ujung jarum, lalu dari mana asalnya jarum ini?
Setajam pisau tatapan mata Pho Ang-soat, tanyanya
dingin, "Kau yang membawa guci arak ini?"
Nona cilik itu mengangguk, pipinya yang merah seperti
buah apel kini sudah pucat-lesi.
"Darimana kau mengambilnya?"
Gemetar suara nona cilik itu, "Guci arak ini tersimpan di
kamar bawah loteng ini."
"Bagaimana kau bisa memilih guci arak yang satu ini?"
"Bukan aku yang memilih, nona kami bilang supaya
meladeni tamu agung dengan arak yang paling bagus, arak
dalam guci ini adalah yang paling bagus."
"Dimana dia sekarang?"
"Dia sedang berganti pakaian, karena ..."
"Karena waktu aku kembali tadi, seluruh pakaianku juga
sudah basah kuyup," seorang tiba-tiba menyambung dari luar
pintu. Suaranya merdu, senyumannya lebih elok, sikapnya
begitu anggun dan ramah, dandanannya juga sederhana tapi
asri.
Mungkin dia tidak terhitung perempuan paling cantik di
seluruh negeri ini, tapi waktu dia melangkah masuk,
 
seumpama suatu malam di musim semi, cahaya rembulan
menyorot masuk dari jendela, sehingga setiap orang akan
merasa betapa elok dan permai, betapa senang dan bahagia
serta tenteramnya. Kerlingan matanya pun selembut cahaya
rembulan, tapi begitu dia melihat jarum di tangan Pho Ang-
soat, sorot matanya seketika berubah tajam bersinar.
"Bahwa kau bisa menemukan jarum itu pasti kau tahu asal-
usulnya," suaranya berubah tajam tegas, "itu kan Am-gi
tunggal keluarga Tong di Sujwan, orang tua yang mati di luar
itu adalah satu-satunya sampah persilatan dari keluarga Tong,
bernama Tong In, dia pernah kemari, tempat ini tidak terlarang
dan tidak pernah dijaga ketat, kamar bawah tanah dimana
arak ini disimpan juga tidak pernah dikunci."
Bahwasanya sikap Pho Ang-soat seperti tidak mendengar
uraiannya, dia hanya memandangnya kosong, mendelong
seperti orang linglung, wajah yang semula pucat mendadak
berubah merah, dengus napasnya juga bertambah berat dan
sesak, air hujan di mukanya baru saja kering, kini mukanya
basah pula oleh keringat dingin.
Waktu Bing-gwat-sim mengangkat kepala, baru dia
menemukan perubahan ganjil di wajah Pho Ang-soat, serunya
gugup, "Apa kau juga keracunan?"
Kedua tangan Pho Ang-soat saling cengkeram, tapi tak
bertahan masih juga tubuhnya menggigil, mendadak dia
membalik tubuh terus menerobos keluar jendela.
Nona cilik terbelalak kaget mengawasi bayangan orang
lenyap di luar, katanya sambil mengerut alis, "Agaknya orang
ini tidak normal."
 
"Ya," ucap Bing-gwat-sim. "Penyakitnya memang sudah
parah."
"Penyakit apa?"
"Sakit di hati."
Berkedip mata si nona cilik, "Bagaimana mungkin sakit bisa
di hati?"
Bing-gwat-sim diam cukup lama, lalu menghela napas,
"Karena dia pun seorang yang selalu dirundung kesedihan."
Hujan ritik-rintik, angin bertiup kencang.
Di sini tiada lampu, diliputi kegelapan, bagai berada di
tegalan belukar.
Pho Ang-soat sudah terjungkal jatuh ke selokan di pinggir
jalan, tubuhnya meringkuk dan berkelejetan, mulutnya
muntah-muntah. Kemungkinan tiada isi perut yang
ditumpahkannya, dia hanya ingin menumpahkan rasa sedih,
rasa kecut dan penderitaan batinnya.
Pho Ang-soat memang sakit. Bagi Ang-soat, bukan saja
penyakit merupakan derita yang tak mungkin dihindarkan, juga
merupakan ciri yang memalukan, setiap kali amarah dan
deritanya memuncak tak tertahankan, penyakitnya itu lantas
saja kumat, maka dia harus menyembunyikan diri, seorang diri
bersembunyi di tempat yang tidak diketahui orang, dengan
cara yang paling sadis menyiksa diri sendiri. Karena dia
membenci dirinya sendiri, membenci kenapa dirinya bisa
dihinggapi penyakit seperti ini?
 
Hujan masih turun, tetesan air hujan seperti cambuk yang
melecut tubuhnya, hatinya sedang berdarah, tangannya pun
berdarah, kedua tangannya mencengkeram bumi, dengan
kencang dia mencomot tanah, tanah yang berlumur darah itu
dia jejalkan ke dalam mulut. Dia kuatir dalam keadaan
penyakit kumat ini, dirinya akan mengerang, merintih dan
berteriak seperti binatang yang sekarat. Dia lebih suka
mengucurkan darah daripada keadaannya yang memalukan
ini terlihat orang lain.
Tapi gang sempit yang jorok dan gelap ini sekarang justru
telah dikunjungi orang.
Bayangan semampai dengan langkah gemulai, seorang
tengah menghampiri pelan-pelan dan langsung berhenti di
depannya. Dia tidak melihat orangnya, hanya melihat
sepasang kakinya.
Sepasang kaki yang mulus, mengenakan sepatu sulam
yang lemas, serasi dengan warna pakaiannya. Warna
pakaiannya ternyata kalem dan muda, semuda cahaya
rembulan yang cemerlang.
Dari tenggorokan Pho Ang-soat mendadak mengeluarkan
raungan rendah seperti binatang buas, bagai seekor harimau
yang perutnya disembelih. Dia lebih suka orang-orang di dunia
ini memergoki keadaannya yang menderita dan memalukan
ini, tapi jangan orang yang satu ini.
Sekuatnya dia meronta dan melompat, sayang sekujur
badannya hanya bisa mengejang, tulang seperti dicopot dari
ruasnya, tenaga pun susah dikerahkan.
 
Terdengar si dia menghela napas, perlahan ia
membungkuk badan.
Pho Ang-soat mendengar helaan napasnya, terasa jari-jari
halus nan dingin mengelus mukanya, lalu mendadak dia
kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan, seluruh derita yang
dialami seperti bebas meninggalkan badan kasarnya.
Waktu dia siuman, dirinya sudah berada di atas loteng pula.
Si dia duduk di ujung ranjang sedang mengawasi, pakaiannya
selembut cahaya bulan, sementara matanya gemerlapan
laksana bintang kejora. Melihat sepasang mata ini, dari relung
hatinya yang paling dalam segera bergema suatu perasaan
ganjil, bagai getaran senar harpa yang dipetik terus tanpa
berhenti.
Si dia tampak dingin, katanya tawar, "Apa pun tak usah kau
katakan, aku membawa dirimu pulang karena aku ingin
menolong Yan Lam-hwi, dia keracunan, keadaannya amat
parah."
Pho Ang-soat memejamkan mata, entah untuk menghindari
tatapan matanya atau karena tidak ingin melihat derita hatinya
dari sorot matanya sendiri.
Bing-gwat-sim berkata, "Aku tahu di kalangan Kangouw,
paling hanya tiga orang yang dapat menawarkan racun
keluarga Tong dan kau adalah satu di antaranya."
Pho Ang-soat tidak memberikan reaksi, tapi mendadak dia
berdiri, berdiri ke arah jendela dan membelakangi si dia.
Pakaian yang dikenakan tetap pakaiannya yang dulu, golok
masih berada di tangan, kedua hal ini jelas menenteramkan
 
hatinya, maka kali ini dia tidak lagi menerobos jendela, namun
hanya bertanya dingin, "Dimana dia?"
"Masih di sini, di kamar sebelah."
"Aku akan ke sana, kau tunggu di sini."
Bing-gwat-sim berdiri di sana, mengawasi dia yang pelan-
pelan masuk ke dalam, melihat gayanya berjalan, sorot
matanya seketika mengalirkan perasaan sedih, pilu serta
derita yang tak bisa dijelaskan.
Lama sekali baru terdengar suaranya berkata dari balik
kerai, "Obat penawar di atas meja." Suaranya kaku dingin,
sambungnya, "Keadaannya sudah tidak menguatirkan, tiga
hari lagi pasti siuman, tujuh hari kemudian sudah sembuh
seluruhnya."
"Sekarang kau belum boleh pergi."
Bing-gwat-sim bicara cepat, seperti tahu bahwa dia hendak
pergi.
"Umpama kau tidak ingin melihatnya lagi, betapapun
sekarang janganlah kau pergi?"
"Aku menyelami keadaanmu, aku dapat merasakan duka-
lara masa lalumu, orang yang membuatmu sedih pasti
berwajah seperti diriku," suara Bing-gwat-sim tegas dan
mantap, "tapi kau harus maklum, dia tetap dia, bukan aku,
juga bukan orang lain. Karena itu kau tidak boleh menyingkir,
lari dari kenyataan ini, kepada siapa pun kau tidak perlu
menyingkir."
 
Angin masih menghembus, kerai juga tertiup berderai,
ternyata dia belum pergi, Bing-gwat-sim mendengar helaan
napasnya, segera dia berkata pula, "Jika kau ingin dia hidup
setahun lagi, maka kau harus melakukan dua hal."
"Dua hal apa?" akhirnya Pho Ang-soat bersuara.
"Dalam tujuh hari ini kau tidak boleh pergi," Bing-gwat-sim
mengedipkan mata, lalu melanjutkan, "tengah hari nanti, kau
harus menemani aku berjalan-jalan, akan kutunjukkan
beberapa orang kepadamu."
"Siapakah mereka?"
"Orang-orang yang tidak akan memberi kesempatan hidup
kepada Yan Lam-hwi."
ooooOOoooo
Lohor.
Sebuah kereta berhenti di sebuah pintu kecil di belakang
kebun, kerai diturunkan rendah hingga penumpang tidak
kelihatan dari luar. "Kenapa harus naik kereta?"
"Karena kuingin kau dapat melihat mereka, tapi mereka
tidak dapat melihat engkau," Bing-gwat-sin mendadak tertawa.
"Aku tahu kau pun tidak ingin melihatku, karena itu aku sudah
siap mengenakan kedok."
Topeng yang dipakainya berbentuk Mi-to-hud yang sedang
tertawa, pipinya gemuk, bibirnya tebal, begitu mungil laksana
 
orok kecil, padahal perawakannya ramping semampai serta
menggiurkan, jadi kelihatannya agak ganjil dan lucu.
Jangankan melihat, melirik pun Pho Ang-soat tidak, jari-jari
tangannya yang pucat dengan otot hijau merongkol menghias
punggung tangannya yang menggenggam kencang golok
hitamnya.
Dalam pandangan Pho Ang-soat, di dunia ini seakan-akan
tiada sesuatu persoalan yang patut membuatnya tertawa.
Sepasang mata Bing-gwat-sim justru tengah menatapnya
dari balik kedok jenaka itu, tanyanya tiba-tiba, "Apakah kau
tidak ingin tahu siapa orang pertama yang ingin kutunjukkan
kepadamu?"
Pho Ang-soat tidak menjawab.
"Dia bernama Toh Lui, It-to-tang-hong-lui Toh Lui."
Pho Ang-soat tetap tidak memberi reaksi.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya pula, "Agaknya
sudah lama kau meninggalkan percaturan dunia persilatan,
ternyata Toh Lui yang sekali menggerakkan golok
mengguncang angin dan geledek juga tidak kau kenal."
Akhirnya Pho Ang-soat buka suara, "Mengapa aku harus
tahu?"
"Karena dia termasuk salah seorang dalam daftar."
"Daftar apa?"
"Daftar nama-nama orang terkenal kaum persilatan."
Semakin pucat muka Pho Ang-soat.
 
Dia tahu, siapa pun bila dia sudah angkat nama di kalangan
Kangouw, maka dia tidak akan mau tunduk kepada orang lain.
Dahulu waktu Pek-hiau-sing membuat daftar senjata,
menilai dan menimbang jago-jago kosen seluruh jagat, meski
daftar nama yang tercantum di dalamnya cukup adil dan
obyektif, toh masih juga menimbulkan huru-hara yang cukup
gawat bagi dunia persilatan, belakangan ada orang menuduh
dia sengaja ingin menimbulkan onar sehingga kaum persilatan
saling bunuh. Sekarang entah darimana asal mulanya, tahu-
tahu ada pula daftar nama tokoh terkenal dunia persilatan?
Apakah tidak mempunyai maksud tertentu?
Bing-gwat-sim memberi uraian, "Konon daftar nama itu
adalah buah karya Kongcu Gi sendiri, di dalam daftar hanya
tercantum tiga belas nama orang."
Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, jengeknya,
"Namanya sendiri tentu juga tercantum di dalam daftar itu."
"Dugaanmu memang benar."
Jelalatan sinar mata Pho Ang-soat, tanyanya, "Yap Kay?
Apakah juga tercantum?"
"Nama Yap kay justru tidak tercantum, mungkin karena
sudah lama dia meninggalkan dunia Kangouw, sebagai orang
di luar garis percaturan."
Pho Ang-soat diam, sorot matanya seperti mendadak
sudah berada di tempat jauh.
"Aku tahu Yap Kay adalah kawanmu satu-satunya, apakah
kau pun tidak pernah mendapat kabar beritanya?"
 
Sorot mata Pho Ang-soat mendadak berubah kaku dingin
dan tajam, suaranya mendesis, "Aku tidak punya kawan, satu
pun tidak punya."
Bing-gwat-sim menghela napas panjang, segera dia alihkan
pembicaraan, "Kenapa kau tidak bertanya padaku, apakah
namamu juga tercantum di dalam daftar itu?"
Pho Ang-soat tidak bertanya, karena dia tahu bahwasanya
tidak perlu dia bertanya.
"Mungkin kau memang tidak usah bertanya, dalam daftar
itu memang ada namamu. Nama Yan Lam-hwi juga tercantum
di dalamnya," seperti memikirkan sesuatu, lalu dia
meneruskan, "Di dalam daftar memang sudah diberi catatan
bahwa urutan nama itu tidak ditentukan tinggi rendah atau
besar kecil nama seseorang, namun di atas secarik kertas
terdaftar tiga belas nama orang betapapun harus diberi nomor
urut."
Akhirnya Pho Ang-soat bertanya, "Nama siapa yang
tercantum paling atas?"
"Yan Lam-hwi."
Gemetar tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok,
namun lambat-laun mengendor pula.
"Kenapa selama dia berkelana di Kangouw selalu tidak
pernah aman, selalu menghadapi bahaya, sekarang tentu kau
sudah maklum sebabnya."
Pho Ang-soat tidak bersuara.
 
Kereta sudah berhenti, berhenti di seberang sebuah
gedung berloteng, Hwe-ping-lau itu tingginya ada puluhan
tombak.
"Aku tahu setiap hari Toh Lui makan siang di sini, setelah
makan, cukup lama dia berdiam di atas loteng, kira-kira pada
saat seperti ini baru akan pulang," Bing-gwat-sim
menerangkan, "menu yang dimakan setiap hari terdiri empat
macam hidangan, dua mangkuk nasi dan sepoci arak, jenis
keempat hidangan itupun tidak pernah berubah."
Wajah pucat Pho Ang-soat kelihatan tetap tidak
menunjukkan perasaan, namun kedua matanya sudah mulai
memicing. Dia tahu kali ini dirinya bakal berhadapan dengan
seorang lawan yang amat menakutkan.
Jago dalam dunia persilatan memang tidak terhitung
banyaknya, namun yang terdaftar justru hanya tiga belas
orang, maka dapatlah dibayangkan bahwa tiga belas orang itu
pasti adalah tokoh-tokoh yang menakutkan.
Bing-gwat-sim sedikit menyingkap kerai mengintip keluar,
katanya mendadak, "Nah, itu dia keluar."
Mentari tepat bercokol di tengah angkasa.
Waktu Toh Lui beranjak keluar dari Hwe-ping-lau,
bayangan tubuhnya kebetulan terinjak di bawah telapak kaki
sendiri. Kakinya memakai sepasang sepatu beludru, selop
tinggi beralas karet yang lunak, harga sepatu ini delapan belas
tahil, baru kemarin dibelinya.
Setiap kali dia memakai sepatu barunya menginjak
bayangan sendiri, selalu timbul gejolak perasaan aneh di
 
dalam sanubarinya, ingin dia mencopot sepatunya, mencopot
seluruh pakaian yang dipakainya hingga telanjang bulat, lalu
berlari di jalanan sambil berteriak-teriak, Namun jelas dia tidak
akan berbuat demikian, karena sekarang dia sudah menjadi
orang ternama, seorang yang terkenal, setiap persoalan yang
dikerjakan pasti beres, tepat dan adil. Dimana pun dia berada,
berapa lama dia akan di sana, setiap hari dia pasti
menggunakan waktu yang sama untuk makan minum, dan
yang dimakan adalah menu yang itu-itu juga.
Ada kalanya dia sendiri merasa hampir gila karena
kebiasaannya itu, namun dia tetap bandel, tidak mau merubah
kebiasaan ini, karena dia ingin dan mengharap orang lain
menganggap dirinya punya disiplin keras dan hidup terpimpin,
dia tahu manusia umumnya akan menaruh hormat terhadap
orang sejenis ini. Dan itulah hal yang paling menggembirakan
dan dianggapnya sebagai suatu kenikmatan.
Setelah mengalami gemblengan tujuh belas tahun,
perjuangan lima tahun, empat puluh tiga pertarungan besar
kecil, jerih-payahnya agaknya tidak mengecewakan, dan apa
yang diharapkan memang adalah yang itu pula, maka dia
berpedoman supaya diri sendiri percaya, sekarang dia bukan
lagi anak miskin yang sepanjang tahun bertelanjang kaki.
Gagang goloknya yang dihiasi mutiara tampak kemilau
ditimpa sinar mentari, banyak orang di jalanan menatap tajam
ke arah goloknya itu.
Dua pasang mata tersenyum di balik kerai di dalam kereta
di seberang jalan juga seperti sedang mengintip golok itu.
Beberapa tahun belakangan ini, dia sudah biasa ditatap
dan diawasi orang banyak di tengah jalan, maklum setiap
 
orang ternama harus berani menghadapi kebiasaan ini. Tapi
entah mengapa hari ini dia seperti merasa risi dan kikuk, bagai
seorang gadis rupawan yang bertelanjang bulat di hadapan
banyak orang laki-laki.
Apakah ini lantaran dua pasang mata yang mengintipnya
dari dalam kereta hitam di seberang jalan, sudah menembusi
rahasia dirinya bahwa hanya kerangka luar badannya saja
yang disepuh emas, terbayang pula akan seorang anak miskin
yang telanjang kaki.
Sekali tabas membelah kabin kereta itu dan mengorek
keluar kedua pasang mata itu. Sebetulnya emosi ini sudah
menggelitik hatinya, namun tidak dia lakukan, karena
kedatangannya kemari bukan untuk mencari kesulitan.
Beberapa tahun belakangan ini dia sudah pandai
mengendalikan diri, menahan sabar.
Dia tidak menoleh ke arah seberang, langkahnya
menyusuri jalan raya panjang yang diterangi sinar matahari,
beranjak ke hotel dimana dia menginap. Setiap langkah
kakinya diperhitungkan dan pas satu dengan yang lain,
sejengkal pun tidak berbeda. Dia pun mengharap orang lain
juga maklum bahwa goloknya juga selalu tepat.
Bing-gwat-sim menurunkan kerai perlahan, lalu menghela
napas pula, katanya, "Bagaimana pendapatmu tentang orang
ini?"
Dingin reaksi Pho Ang-soat, "Dalam tiga tahun kalau dia
masih hidup, pasti menjadi gila."
"Sayang, sekarang dia belum gila."
 
Kereta itu berhenti pula di seberang It-ping-hiang, sebuah
restoran yang amat besar. Umumnya restoran dikunjungi
berbagai macam manusia, semakin besar restorannya
semakin banyak pengunjungnya.
Bing-gwat-sim menyingkap kerai sedikit supaya Pho Ang-
soat bisa mengintip cukup lama, lalu dia bertanya, "Apa yang
kau lihat?"
"Manusia," sahut Pho Ang-soat pendek.
"Berapa?"
"Tujuh orang."
Sekarang adalah saatnya restoran itu paling ramai,
waktunya makan siang, ada seratus lebih tamu yang sedang
gegares di dalam restoran besar ini, kenapa dia hanya bilang
melihat tujuh orang?
Ternyata Bing-gwat-sim tidak menyatakan heran, sorot
matanya malah memancarkan rasa kagum, tanyanya pula,
"Tujuh orang yang mana yang kau lihat?"
Tujuh orang yang dilihat Pho Ang-soat adalah dua orang
yang sedang main catur, seorang makan kacang kulit,
seorang Hwesio, seorang burikan, seorang nona yang menjual
suara nyanyian, satu lagi adalah seorang gendut yang
mengantuk mendekam di meja. Ketujuh orang ini ada yang
duduk di pojok, ada yang duduk di tengah kerumunan orang,
tampang mereka juga tiada yang istimewa, kenapa orang lain
tidak memperhatikan, justru yang dia lihat hanya ketujuh orang
ini?
 
Bukan saja tidak merasa heran sikap, Bing-gwat-sim malah
kelihatan kagum, katanya dengan menghela napas perlahan,
"Aku hanya tahu golokmu cepat, tak nyana pandangan
matamu lebih cepat lagi."
"Sebetulnya asal aku hanya melihat seorang juga sudah
cukup/' ujar Pho Ang-soat, memang sekarang dia sedang
mengawasi satu orang.
Si gendut yang mendekam ngantuk di meja sekarang
sedang menggeliat dan menegakkan badan, lalu menuang
secangkir teh untuk kumur, "Crot", mendadak dia semburkan
air teh di mulut ke lantai dan menyemprot basah kaki dan
celana satu orang, bergegas dia memburu maju, membungkuk
badan membersihkan kaki orang serta munduk-munduk dan
tertawa minta maaf.
Seseorang bila badannya terlalu tambun setiap melakukan
sesuatu pasti kelihatan agak dungu dan menggelikan, tapi
waktu Pho Ang-soat mengawasi si gendut ini, rona matanya
justru prihatin, seperti waktu dia mengawasi Toh Lui tadi.
Apakah dia berpendapat bahwa si gendut ini juga seorang
lawan tangguh yang menakutkan?
"Kau kenal orang ini?" tanya Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
"Tapi kau justru memperhatikan dia."
Pho Ang-soat mengangguk.
"Kau sudah melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya?"
 
Lama Pho Ang-soat tidak bersuara, lalu sepatah demi
sepatah dia berkata, "Orang ini membawa hawa membunuh."
"Hawa membunuh?" Bing-gwat-sim menegas.
Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya,
"Hanya seorang kosen yang pernah membunuh orang tak
terhitung banyaknya, pada tubuhnya baru akan timbul hawa
membunuh."
"Tapi kelihatannya dia tidak lebih hanya seorang gendut
yang lamban, si gendut yang dungu."
"Itu hanya sebagai tabir untuk menutupi keaslian dirinya,
bagai sarung pedang atau golok itulah."
"Agaknya matamu lebih tajam dari golokmu," Bing-gwat-sim
menghela napas. Agaknya dia kenal baik orang ini, malah
tahu asal-usulnya.
"Siapakah dia?" Pho Ang-soat bertanya
"Dia itu Bok-cay (ibu jari)."
"Ibu jari?"
"Tahukah kau belakangan ini di kalangan Kangouw muncul
suatu sindikat rahasia yang menakutkan?"
"Apa nama sindikat itu?"
"Hek-jiu (tangan hitam)."
Belum pernah Pho Ang-soat mendengar nama ini, namun
dalam pendengarannya terasa adanya suatu tekanan yang tak
bisa dilukiskan.
 
"Sejauh ini belum banyak orang persilatan yang tahu
tentang sindikat rahasia itu, karena mereka bekerja di bawah
tanah, melakukan pekerjaan yang takut dilihat matahari."
"Apa tugas kerja sindikat rahasia itu?"
"Merampok, merampas dan pembunuhan gelap."
Setiap orang mempunyai lima jari tangan, maka sindikat ini
dipimpin lima orang. Dan si gendut ini adalah Bok-cay alias
Ibu jari, ibu jari dari tangan hitam itu.
Kereta itu bergerak lagi ke depan, kerai pun diturunkan
pula.
Mendadak Bing-gwat-sim bertanya, "Pada sebuah tangan,
jari manakah yang memiliki tenaga paling besar?"
"Sudah tentu ibu jari."
"Yang paling lincah jari mana?"
"Jari telunjuk."
"Dalam sindikat gelap tangan hitam ini, tugas Ibu jari dan
Jari telunjuk adalah menjadi pembunuh gelap."
Yang paling menakutkan pada Ibu jari adalah dia
meyakinkan Cap-sah-thay-po, ilmu weduk yang harus
dilandasi dengan Thong-cu-kang, kekebalan badan yang tak
mungkin bisa diyakinkan orang lain."
Karena Ibu jari adalah seorang Thay-kam (sida-sida), sejak
kecil dia sudah menjadi sida-sida, beberapa jago kosen dalam
istana raja pernah mengajar silat kepadanya, ilmunya tinggi
dan menakutkan.
 
Asal-usul jari telunjuk lebih aneh dan luar biasa, konon
bukan saja dia pernah menjadi petugas penerima tamu di
Siau-lim-si, di dalam Kay-pang dia pernah menggendong
enam karung, pernah pula menjadi Sing-tong Tongcu dari
Cap-ji-lian-hoan-ou yang dikuasai Hong-bwe-pang di
Kanglam. Anak buah mereka merupakan kelompok tersendiri,
setiap orang memiliki kepandaian khas yang luar biasa, malah
sudah biasa bekerja sama. Karena itu aksi pembunuhan yang
mereka lakukan, selamanya tidak pernah gagal.
"Tapi orang yang paling menakutkan di dalam sindikat itu
bukan kedua orang ini," ucap Bing-gwat-sim.
"Siapa?"
"Yaitu Bu-bing-cay (jari tak bernama, jari manis)." Bu-bing-
cay memang adalah jari yang tak berguna, jari yang lamban
dan goblok di tangan manusia.
"Kenapa Bu-bing-cay menakutkan?"
"Karena dia tidak bernama."
Pho Ang-soat manggut-manggut, hal ini memang betul.
Jago Bu-Iim yang memiliki kepandaian hebat pasti
menyimpan kungfu khas yang menakutkan, akan tetapi ada
sementara orang yang tidak punya nama ada kalanya justru
lebih menakutkan. Karena biasanya kau menunggu setelah
goloknya menusuk jantungmu, baru kau sadar akan
kelihaiannya, tahu betapa dia menakutkan.
Bing-gwat-sim berkata, "Tiada orang dalam dunia persilatan
yang tahu siapa sebenarnya Jari tak bernama itu, tiada
seorang pun yang pernah melihatnya."
 
"Dan kau pun tidak tahu?"
"Mungkin setelah goloknya menusuk hulu hatiku baru aku
tahu siapa dia."
Bing-gwat-sim tertawa getir.
Lama Pho Ang-soat berdiam pula, lalu bertanya, "Sekarang
kau hendak membawa aku melihat siapa pula?"
Bing-gwat-sim tidak langsung menjawab pertanyaan ini,
katanya, "Kota kecil ini sebetulnya bukan tempat yang ramai,
tapi beberapa hari belakangan ini mendadak berdatangan
orang-orang asing dari kaum persilatan, terhadap tamu-tamu
yang tidak diundang ini dia tidak merasa asing lagi, karena dia
sudah mencari tahu asal-usul serta latar belakang mereka."
Ternyata Pho Ang-soat juga tidak kaget atau heran. Sejak
bertemu pertama kali Pho Ang-soat sudah merasakan
perempuan yang satu ini kelihatannya tidak seperti gayanya
yang lemah lembut dan sederhana. Pada kedua tangannya
yang terpelihara baik itu, jelas menggenggam suatu kekuatan
besar dari yang pernah dibayangkan oleh siapa pun.
Bing-gwat-sim berkata, "Boleh dikata aku sudah mencari
tahu sejelasnya tentang asal-usul kedua orang itu, hanya satu
orang terkecuali."
"Siapa?"
Bing-gwat-sim belum bersuara, mendadak kuda kekar
penarik kereta meringkik dan berjingkrak kaget seraya
melompat berdiri dengan kaki belakang, keruan kereta tertarik
miring hampir terbalik.
 
Back
Top