Serial Silat: Pendekar Hina Kelana by Jin Yong (144 Episode)

Re: [Cerbung] Serial Silat: Pendekar Hina Kelana by Jin Yong

Hina Kelana
Bab 1. Si Gadis Penjual Arak
Oleh Jin Yong


Di depan sebuah gedung megah yang dibangun di jalan raya pintu gerbang barat kota Hokciu di provinsi Hokkian terdapat dua altar batu di kanan-kiri, di atas altar-altar batu itu masing-masing menjulang tinggi sebuah tiang bendera, dua helai bendera hijau tampak berkibar-kibar tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan seekor singa jantan yang garang, bendera yang lain bersulamkan empat huruf yang berbunyi “Hok-wi-piaukiok”, huruf-huruf yang indah dan kuat itu terang ditulis oleh kaum ahli yang ternama.

Pintu gerbang gedung itu bercat merah dengan hiasan paku-paku tembaga yang besar dan digosok mengilat. Di atas pintu terdapat sebuah papan merek berdasar hitam dan berhuruf kuning emas yang tertulis “Hok-wi-piaukiok” (perusahaan pengawalan Hok-wi), di bawah huruf-huruf besar itu terlintang pula dua huruf lebih kecil yang berbunyi “Kantor Pusat”.

Di dalam pintu terdapat dua baris bangku panjang di sebelah kanan dan kiri, tampak berduduk di situ delapan laki-laki yang berdandan kencang ringkas, semuanya gagah-gagah dan sedang mengobrol dan bersenda gurau.

Sekonyong-konyong dari pekarangan belakang terdengar suara derapan kuda, kedelapan laki-laki itu serentak berbangkit terus lari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung itu tertampak menerjang keluar lima penunggang kuda untuk kemudian berhenti di depan pintu gerbang tadi.

Kuda yang paling depan ternyata putih mulus, tepian pelana kuda itu seluruhnya terbuat dari sepuhan perak. Penunggangnya adalah seorang pemuda berpakaian perlente berusia antara 18-19 tahun. Di atas pundak pemuda itu tampak hinggap seekor burung elang pemburu, pedang bergantungan di pinggangnya, gendewa dan panah juga terbawa di punggungnya, sedangkan tangan kirinya memegang pecut kuda.

Keempat penunggang kuda yang mengikut dari belakang itu semuanya berbaju warna kuning cekak. Dari gaya tunggangan mereka jelas sekali kepandaian menunggang kuda mereka teramat tinggi.

Setiba kelima orang itu di depan pintu besar Piaukiok, tiga di antara kedelapan laki-laki tadi lantas berseru, “Siaupiauthau (pemimpin muda) hendak pergi berburu lagi!”

Pemuda perlente itu hanya mengakak tawa saja, “Tarrrr”, pecutnya dibunyikan di udara, kuda putih tunggangannya mendadak berdiri sambil meringkik, habis itu terus membedal ke depan secepat terbang.

Seorang laki-laki lantas berseru pula, “Su-piauthau, hendaklah nanti membawa pulang seekor babi hutan lagi supaya kita bisa menggayangnya dengan sepuas-puasnya.”

“Sudah tentu, paling sedikit kau akan kebagian ekornya!” jawab seorang laki-laki setengah umur yang mengikut di belakang pemuda perlente tadi.

Maka di tengah gelak tertawa orang-orang itu kelima penunggang kuda itu pun sudah pergi jauh.

Perusahaan pengawalan “Hok-wi” (rezeki dan wibawa) itu adalah suatu Piaukiok terbesar di daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), Congpiauthau (pemimpin umum, pemilik) she Lim bernama Cin-lam. Piaukiok itu adalah perusahaan warisan leluhur keluarga Lim, sampai di tangan Lin Cin-lam sudah turun-temurun tiga angkatan.

Kakek Lim Cin-lam bernama Lim Wan-tho dan terkenal karena ilmu pedang “Pi-sia-kiam-hoat” yang meliputi 72 gerakan, ilmu pukulan “Hoan-thian-ciang” yang meliputi pula 108 gerakan, serta 18 batang panah “Gin-ih-cian”, sejak kakeknya itu membuka Piaukiok di kampung halamannya sendiri, yakni kota Hokciu, hanya dalam waktu 10 tahun saja nama Hok-wi-piaukiok sudah termasyhur dan berkembang dengan subur.

Semula ada juga kawanan bandit yang mengganggu barang kawalannya, tapi menghadapi ilmu pedang, ilmu pukulan dan senjata rahasia panah Lim Wan-tho yang lihai itu, kalau tidak binasa tentu juga akan terluka parah dan cacat. Maka sejak itu perjalanan antara Hokkian, menuju ke Hangciu, terus ke Kangsoh, Soatang, Hopak sampai di Kwantang, beberapa provinsi di pantai timur itu boleh dikata merupakan wilayah pengaruhnya. Asalkan di atas kereta barang terpancang panji pertandaan “Hok-wi-piaukiok”, asalkan petugas pengawal berteriak “Hok-wi-peng-an” (selamat Hok-wi), maka kawanan penjahat sekali-kali tidak berani lagi mengincar barang-barang kawalannya biar pentolan bandit betapa pun lihainya.

Sampai hari ulang tahun 70 barulah Lim Wan-tho mencuci tangan dan mewariskan perusahaan pengawalannya kepada putranya yang kedua, Lim Tiong-hiong. Putra sulungnya bernama Lim Pek-hun dan menjadi Buciang (perwira setingkat kolonel). Karena hubungan itulah, maka usaha Piaukiok mereka tambah maju, terutama langganan-langganan dari kalangan pembesar negeri.

Lim Tiong-hiong itu suka bergaul dan bersahabat, maka siang malam di rumahnya selalu penuh dengan handai taulan sehingga makan minum melampaui batas. Akhirnya dia meninggal dalam usia yang masih muda. Lantaran itu Hok-wi-piaukiok lantas di bawah pimpinan putranya, Lim Cin-lam.

Ilmu silat Lim Cin-lam adalah ajaran langsung dari sang kakek. Pada waktu ulang tahun 70, di tengah perjamuan yang ramai itu Lim Wan-tho telah menyuruh cucunya itu berdemonstrasi di depan orang banyak.

Waktu itu usia Cin-lam baru 16 tahun, tapi kepandaiannya seperti pukulan sebelah tangan memadamkan api lilin, mengincar Hiat-to dengan sambitan panah, semuanya ini sangat mengagumkan para jago silat yang hadir. Semuanya memuji rezeki Lim-loenghiong sangat besar sehingga mempunyai keturunan jago muda sehebat itu, untuk selanjutnya Hok-wi-piaukiok pasti akan berkembang lebih pesat dan lebih jaya.

Dan benar juga. Lim Cin-lam memang tidak mengecewakan harapan orang banyak.

Setelah menggantikan ayahnya, bukan saja Hok-wi-piaukiok telah membuka kantor cabang di provinsi-provinsi pantai timur sebagaimana tersebut di atas, sampai-sampai provinsi Kwitang, Kangsay, Oulam, Oupak, Kwisay juga terdapat kantor cabangnya. Bila mendengar nama Hok-wi-piaukiok, setiap orang Kangouw tentu akan mengacungkan jari jempolnya dan berkata, “Ya, Hok-wi-piaukiok memang punya rezeki dan berwibawa pula!”

Selain kantor pusat di kota Hokciu, ditambah pula sebelas kantor cabang di berbagai daerah, modal kerja Hok-wi-piaukiok menjadi sangat besar, pengaruhnya juga tidak kecil, maka tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan yang bekerja padanya. Selama 20-an tahun perusahaan berjalan lancar, walaupun pernah juga menghadapi beberapa persoalan sulit, tapi bila jago-jago dari ke-12 kantor pengawalan itu serentak keluar semua, urusan betapa pun sulitnya juga lantas terpecahkan.

Istri Lim Cin-lam she Ong, juga berasal dari keluarga persilatan. Walaupun ilmu silat nyonya Lim sendiri tidak terlalu tinggi, tapi ayahnya Ong Goan-pa berjuluk Kim-to-bu-tek (si golok emas tanpa tanding) adalah ketua Kim-to-bun di kota Lokyang dan sangat banyak anak muridnya. Dengan hubungan keluarga dan saling membantu itu, maka Hok-wi-piaukiok menjadi lebih kuat.

Lim Cin-lam hanya mempunyai seorang putra tunggal bernama Peng-ci. Sejak kecil Lim Peng-ci sudah mendapat didikan yang keras dan ikut belajar ketiga macam kepandaian tunggal sang kakek. Terkadang ia suka mengusik sang ibu agar mengajarkan ilmu golok dari Kim-to-bun pula. Selain itu Cin-lam juga mengundang seorang sastrawan untuk mengajarkan ilmu sastra kepada putranya itu.

Sebaliknya Lim Peng-ci ternyata kurang menaruh minat untuk belajar ilmu sastra, dalam tiga hari sering kali ada dua hari suka membolos. Tahun ini dia sudah berusia 18, tapi sejilid kitab Su-si saja belum selesai dipelajari. Untungnya Lim Cin-lam juga tidak menaruh harapan agar putranya mengikuti ujian kenegaraan untuk memperoleh pangkat segala, asalkan Peng-ci tekun belajar silat, maka bolehlah.

Hari ini Peng-ci membawa serta dua orang Piauthau (pemimpin pengawal) she Su dan The, serta dua pengiring bernama Pek Ji dan Tan Jit, beramai-ramai mereka pergi memburu ke hutan di barat kota.

Kuda putih tunggangannya itu adalah hadiah nenek luarnya ketika Peng-ci berulang tahun ke-17. Kuda putih itu adalah kuda pilihan yang dibeli sang nenek dari daerah Se-ek (negeri-negeri wilayah barat), maka Peng-ci sangat sayang kepada binatang itu.

Begitulah mereka berlima dalam sekejap saja sudah keluar pintu gerbang kota, segera Peng-ci mengempit kencang kedua kakinya, kuda putih itu terus membedal ke depan secepat terbang. Hanya dalam waktu singkat saja keempat pengiringnya sudah jauh tertinggal di belakang.

Setiba di atas tanjakan bukit, elang pemburunya lantas dilepaskan. Tak lama kemudian sepasang kelinci telah digebah keluar dari dalam hutan oleh elang pemburu itu. Cepat Peng-ci menyiapkan panah di atas gendewa, “serrr”, kontan seekor kelinci yang sedang berlari-lari itu roboh terkena panah. Waktu dia hendak mengincar pula, kelinci yang lain ternyata sudah menghilang ke dalam semak-semak rumput-rumput.

Waktu The-piauthau menyusul tiba dan melihat hasil buruan itu, dengan tertawa ia memuji, “Kepandaian panah yang hebat, Siaupiauthau!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Pek Ji sedang berseru di dalam hutan sebelah kiri sana, “Siaupiauthau, lekas kemari! Di sini ada ayam hutan!”

Segera Peng-ci mengeprak kudanya ke sana. Baru saja tiba, sekonyong-konyong dari dalam hutan melayang keluar seekor ayam hutan berbulu indah dan berekor panjang. “Sret,” kontan Peng-ci melepaskan panahnya, tapi ayam hutan itu justru melayang ke atas kepalanya sehingga panah mengenai tempat kosong. Peng-ci tidak kekurangan akal, cepat pecutnya menyabat ke atas. “Plok,” tanpa ampun lagi ayam hutan itu tersabat jatuh ke bawah, bulunya yang berwarna-warni bertebaran di udara.

Kelima orang sama-sama bergelak tertawa puas. “Sabatan pecut Siaupiauthau ini jangankan cuma seekor ayam hutan, sekalipun burung rajawali yang besar juga akan jatuh terpukul,” ujar Su-piauthau.

Mereka berlima lantas menyusur kian kemari di tengah hutan. Karena ingin menyenangkan hati Lim Peng-ci, maka kedua Piauthau dan kedua pengiring itu selalu menggebah binatang yang mereka temukan ke jurusan Peng-ci agar tuan muda mereka yang membinasakan sasaran buruan itu.

Satu jam lebih lamanya kembali Peng-ci memperoleh dua ekor kelinci, dua ekor ayam hutan, cuma belum mendapatkan babi hutan atau rusa dan binatang lain yang agak besaran. Rupanya Peng-ci masih belum puas, segera katanya, “Marilah kita mencari pula ke depan sana.”

Diam-diam Su-piauthau pikir kalau menuruti hasrat majikan muda mereka itu, boleh jadi sampai hari gelap juga belum tentu mau pulang dan tentu para pengiring mereka inilah akan diomeli lagi oleh nyonya majikan. Maka ia menjawab, “Hari sudah hampir gelap, jalan pegunungan banyak batunya dan sukar dilalui, jangan-jangan kuda putih akan terpeleset. Mumpung hari masih terang, lebih baik kita pulang saja, besok kita dapat berangkat lebih siangan dan tentu akan mendapatkan binatang yang lebih besaran.”

Ia tahu dengan alasan apa pun susah mencegah kemauan sang majikan muda yang keras itu kecuali mengatakan kemungkinan kuda putih kesayangannya itu akan jatuh terluka atau pincang.

Benar juga, Peng-ci lantas tepuk-tepuk leher kudanya sambil berkata, “Naga putih ini sih sangat cerdik dan pintar, tidak nanti dia kesandung atau terpeleset. Justru kuda-kuda tunggangan kalian yang mungkin tidak tahan. Baiklah, marilah kita pulang saja, jangan-jangan pantat si Tan Jit nanti akan terbanting pecah.”

Begitulah di tengah gelak tawa kelima orang itu, mereka lantas putar kuda ke arah semula. Tapi sampai di tengah jalan mendadak Peng-ci membelokkan kudanya ke jurusan utara. Sesudah melarikan kudanya sekian lamanya dan merasa puas, kemudian ia lambatkan kudanya dengan berjalan perlahan-lahan. Maka tertampaklah di tepi jalan di depan sana terpancang sehelai panji penjual arak.

“Siaupiauthau,” seru The-piauthau, “marilah kita minum secawan dahulu! Daging kelinci dan ayam hutan kebetulan cocok sekali untuk digoreng sebagai teman arak.”

Peng-ci menyahut dengan tertawa, “Sebenarnya kau cuma pura-pura mengikut berburu padaku, tapi sesungguhnya kau ingin keluar minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir kau minum arak, besok tentu kau akan malas ikut keluar lagi.”

Habis berkata ia congklang kudanya pula ke depan, setiba di depan warung arak ia lantas melompat turun dan memasuki warung arak itu.

Biasanya bilamana warung arak itu kedatangan Lim Peng-ci, maka sebelum pemuda itu masuk warungnya, si Lo Coa, pemilik warung arak, tentu sudah lantas memapak keluar untuk menambatkan kudanya sambil mengucapkan kata-kata sanjung hormat.

Tapi hari ini ternyata tidak sama, Lo Coa tidak tampak muncul, keadaan warung itu pun sepi. Hanya di samping anglo ada seorang gadis muda berbaju hijau dan berkonde dua sedang asyik memasak arak.

“Hai, Lo Coa, mengapa tidak lekas keluar menuntun kuda Siaupiauthau!” seru The-piauthau.

Pek Ji dan Tan Jit lantas menarik bangku panjang di samping meja, ia kebut debu di atas bangku itu dan silakan Peng-ci duduk dengan diiringi Su dan The-piauthau, sedangkan Pek Ji dan Tan Jit sendiri mengambil tempat duduk pada meja yang lain.

Maka terdengarlah suara orang terbatuk-batuk, dari dalam warung arak itu muncul seorang tua beruban, katanya, “Silakan duduk, tuan-tuan! Apakah mau minum arak?”

Dari logatnya teranglah dia bukan orang setempat.

“Masuk warung arak tidak minum arak, habis apakah minum teh?” sahut The-piauthau. “Bawakan dahulu tiga kati Tiok-yap-jing (nama arak tersohor). Pergi ke manakah si Lo Coa? Apakah barangkali warung arak ini sudah berganti juragan?”

“Baik, baik! Wan-ji, lekas bawakan tiga kati Tiok-yap-jing,” demikian orang tua itu menjawab. “Untuk bicara terus terang saja, orang tua she Sat, asalnya memang penduduk setempat, cuma sejak kecil telah berkelana ke daerah lain untuk berdagang. Putra dan anak menantuku sudah meninggal semua, orang tua pikir manusia akhirnya toh mesti pulang ke asalnya. Maka dari itu bersama cucu perempuanku ini kami telah pulang kampung halaman. Siapa duga selama 50-an tahun meninggalkan kampung, seluruh sanak kadang sudah tak tertinggal seorang pun. Untunglah si Lo Coa pemilik warung arak ini merasa bosan meneruskan usahanya, maka dengan harga 30 tahil perak warung ini telah dioperkan padaku. Ai, akhirnya dapatlah pulang di kampung leluhur, alangkah nikmatnya dapat mendengarkan logat bahasa kampung halamannya sendiri.”

Dalam pada itu si gadis baju hijau tadi telah datang membawakan sebuah nampan kayu dengan kepala menunduk. Ia menaruh cawan dan sumpit di depan Peng-ci bertiga dengan tiga poci arak pula. Habis itu dengan tunduk kepala, ia menyingkir pergi, selama itu tak sekejap pun dia memandang tetamunya.

Peng-ci dapat melihat perawakan nona itu langsing menggiurkan, tapi kulit badannya sangat kasap dan hitam, mukanya juga berpenyakit cacar. Mungkin karena baru melakukan pekerjaan menjual arak, maka gerak-geriknya masih kaku, hal ini pun tidak diperhatikan oleh Peng-ci.

Sedangkan Su-piauthau telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada si kakek Sat, katanya, “Boleh disembelih dan gorenglah menjadi dua piring!”

“Baik, baik!” sahut si kakek Sat dengan hormat. “Untuk teman arak silakan tuan-tuan menikmati dahulu sedikit daging rebus dan kacang goreng.”

Mendengar itu, tanpa menunggu perintah sang kakek, si gadis yang dipanggil Wan-ji tadi segera membawakan potongan daging rebus dan kacang goreng yang dimaksud.

“Tuan muda ini adalah Lim-kongcu, Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, seorang kesatria muda yang budiman dan murah hati,” kata The-piauthau. “Asalkan kedua piring gorenganmu nanti mencocoki seleranya, maka ke-30 tahil perak modal yang telah kau keluarkan itu rasanya takkan seberapa hari tentu akan dapat dipulihkan kembali.”

“Ya, ya! Terima kasih, terima kasih!” sahut si kakek Sat dengan rendah hati sambil berjalan pergi dengan membawa ayam hutan dan kelinci.

Segera The-piauthau menuangkan arak bagi Peng-ci, Su-piauthau dan dirinya sendiri, sekali tenggak ia menghabiskan isi cawan, sambil berkecap-kecap ia berkata, “Warung ini sudah ganti juragan, tapi rasa araknya tidaklah berubah.”

Lalu ia menuang secawan lagi dan baru saja hendak ditenggak pula, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang riuh, dua penunggang kuda sedang mendatangi dari jalan raya sebelah utara sana.

Cepat sekali datangnya kuda-kuda itu, hanya sekejap saja sudah sampai di luar warung arak. Terdengar seorang di antaranya telah berseru, “Di sini ada warung arak, marilah kita minum satu cawan dahulu!”

Su-piauthau sudah berpengalaman, dari logat suara orang itu ia menduga mereka adalah orang Sucwan barat. Ia coba berpaling ke luar, tertampaklah dua laki-laki memakai topi berpinggiran lebar seperti caping, berjubah hijau. Setelah menambat kuda di bawah pohon karet di depan warung arak, mereka menanggalkan topi, lalu masuk ke dalam warung arak. Sekilas mereka memandang ke arah Peng-ci bertiga, habis itu lantas berduduk dengan lagak tuan besar.

Selain berjubah hijau, kedua orang itu memakai ubel-ubel kain putih pula, tampaknya dandanan mereka agak halus, tapi kedua kaki mereka ternyata telanjang, tanpa kaus, hanya memakai sandal tali rami bertali.

Su-piauthau tahu orang Sucwan kebanyakan berdandan demikian. Sebabnya memakai ikat kain putih di atas kepala adalah kebiasaan mereka. Karena wafatnya Cukat Liang atau Khong Beng di zaman Sam Kok, orang Sucwan telah ikut berkabung untuk memperingati jasa negarawan yang sangat mereka cintai itu. Sebab itulah maka ikat kain putih turun-temurun masih melekat pada diri orang-orang Sucwan.

Sebaliknya Lim Peng-ci merasa heran, pikirnya, “Dandanan kedua orang ini halus tidak kasar pun tidak, potongan mereka benar-benar agak aneh.”

“Araknya mana? Hayo, bawakan arak ke sini!” demikian seorang di antaranya yang lebih muda lantas berseru. “Persetan, pegunungan di wilayah Hokkian ini benar-benar sangat banyak, sampai kuda pun kepayahan.”

Dengan kepala menunduk Wan-ji si gadis penjual arak mendekati kedua tamunya yang baru itu, tanyanya dengan suara lirih, “Minta arak apa?”

Walaupun suaranya sangat perlahan, tapi terdengar sangat nyaring dan merdu. Lelaki muda tadi melengak, sekonyong-konyong ia terbahak-bahak sambil menjulurkan tangan kanan untuk menyanggah dagu Wan-ji agar muka si nona mendongak ke atas. Lalu serunya dengan tertawa, “Wah, sayang, sayang!”

Keruan Wan-ji terkejut dan cepat melangkah mundur.

Segera laki-laki yang lain juga lantas berkata dengan tertawa, “Buset! Potongan badan nona belang ini sih boleh juga, cuma sayang mukanya demikian kasap seperti kertas amril!”

Begitulah mereka menggoda dan mengolok-olok si nona penjual arak itu dalam logat bahasa daerah mereka, habis itu kedua orang lantas terbahak-bahak pula.

Peng-ci menjadi naik darah. Ia gebrak meja sambil berteriak, “Huh, macam apa! Dua ekor anjing buta berani main gila ke kota Hokciu kita ini!”

“He, Keh-loji, ada orang sedang mencaci maki, kau kira anak kelinci ini lagi memaki siapa!” demikian lelaki muda she Ih tadi berkata pula dengan tertawa kepada kawannya.

Dasar roman Lim Peng-ci memang mirip ibunya, putih cakap seperti wanita. Biasanya kalau ada orang berani main gila padanya kontan tentu ditempeleng olehnya. Sekarang mendengar orang menyebutnya sebagai “anak kelinci” (putih bagus maksudnya), keruan ia tidak tahan lagi. Sebuah poci arak buatan timah yang terletak di atas meja terus disambarnya dan ditimpukkan ke sana.

Namun orang she Ih itu sempat berkelit sehingga poci timah itu terbanting keluar warung, arak pun berceceran.

Serentak Su-piauthau dan The-piauthau lantas berbangkit dan menyerobot maju ke samping kedua orang itu.

Tapi orang she Ih itu masih tertawa dan berkata, “Kalau bocah ini naik panggung untuk berjoget mungkin lebih menarik, suruh dia berkelahi teranglah tidak jadi!”

“Ini adalah Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, besar amat nyalimu, berani tepuk lalat di atas kepala harimau?” bentak Su-piauthau segera, berbareng kepalan kiri terus menonjok ke muka orang.

Namun sekali bergerak, tahu-tahu tangan The-piauthau malah kena dipegang orang she Ih itu, sekali ditarik pula, tubuh The-piauthau lantas menyelonong ke depan dan menumbuk meja. “Brakkk,” kaki meja itu sampai patah. Badan The-piauthau juga lantas menungging karena pergelangan tangannya masih tergenggam. Waktu sikut si orang she Ih bekerja, dengan tepat kuduk The-piauthau kena disikut sehingga jatuh terduduk dan tak sanggup berdiri lagi untuk sekian lamanya.

Meski The-piauthau itu bukan jago pilihan di antara orang Hok-wi-piaukiok, tapi juga bukan kaum lemah. Tapi sekarang hanya sekali gebrak saja sudah keok, hal ini menandakan pihak lawan itu pastilah bukan tokoh sembarangan. Segera Su-piauthau bertanya, “Siapakah saudara ini? Kalau sesama kaum persilatan, apakah benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Hok-wi-piaukiok?”

“Hok-wi-piaukiok? Hehe, selamanya tak pernah dengar! Apa kerjanya?” jengek laki-laki she Ih itu.

“Kerjanya tukang menghajar anjing!” bentak Lim Peng-ci sambil melompat maju, tangan kiri terus menghantam, sampai di tengah jalan tangan kanan lantas menyusul memukul dari bawah. Ini adalah jurus “In-li-kian-kun” (jagat di balik mega) yang merupakan ilmu pukulan lihai warisan leluhur.

“Hah, boleh juga anak kelinci ini!” orang she Ih itu mengolok-olok pula sambil menangkis serangan Peng-ci, bahkan tangan kanan terus meraih maju buat mencengkeram pundak pemuda itu.

Cepat Peng-ci mendak ke bawah, berbareng telapak tangan kiri menghantam pula. Tapi orang she Ih itu pun sempat miringkan kepala untuk berkelit. Tak terduga ilmu pukulan “Hoan-thian-ciang” yang meliputi 108 gaya itu memang sangat aneh perubahannya, tampaknya orang she Ih memang seperti sudah dapat menghindarkan pukulan Peng-ci tadi, siapa tahu mendadak tangan pemuda itu lantas menampar balik dengan jurus “Bu-li-gan-hoa” (memandang bunga dari balik kabut), “plok,” dengan tepat orang she Ih kena ditempeleng satu kali.

Keruan orang she Ih menjadi murka, kakinya lantas menendang. Namun Peng-ci sempat mengegos ke samping, menyusul ia pun balas mendepak ….

Dalam pada itu Su-piauthau juga sudah bergebrak dengan orang she Keh. Sedangkan Pek Ji telah membangunkan The-piauthau yang masih meringis kesakitan itu. Sambil mencaci maki The-piauthau lantas menerjang maju pula untuk mengerubut si orang she Ih.

“Kau boleh membantu Su-piauthau saja, keparat ini biar kubereskan sendiri,” kata Peng-ci.

The-piauthau tahu Peng-ci suka unggul dan tidak mau dibantu orang lain, maka ia lantas jemput sebatang kaki meja yang patah, dengan senjata itu ia terus pentung ke atas kepala si orang she Keh.

Tan Jit dan Pek Ji lantas lari keluar, seorang mengambilkan pedang Peng-ci, yang lain membawa tombak pemburu, mereka masuk kembali dan mencaci maki kepada orang she Ih. Dalam hal ilmu silat kedua pegawai Piaukiok itu sih rendah saja, tapi dalam hal mulut, mereka sudah biasa berteriak dan menggembor di waktu mengawal barang, maka caci maki mereka menjadi sangat lantang. Apalagi yang mereka lontarkan adalah makian bahasa daerah Hokciu, dengan sendirinya kedua orang Sucwan sama sekali tidak paham, yang pasti ucapan mereka itu tentu bukan kata-kata baik.

Dalam pada itu si kakek Sat juga sudah berlari keluar dari dapur, sambil bersandar pada bahu kakeknya, Wan-ji tampak sangat takut.

Semakin lama Peng-ci menjadi makin bersemangat, ia telah depak meja kursi warung arak itu ke pinggir, ia keluarkan 108 jurus “Hoan-thian-ciang” ajaran ayahnya untuk melabrak musuh.

Sejak berumur enam Peng-ci sudah berlatih silat, sampai sekarang sudah ada 12 tahun lamanya, Hoan-thian-ciang itu pun dilatihnya setiap hari sehingga sedikitnya telah ribuan kali diulanginya, dengan sendirinya ilmu pukulan itu sudah sangat hafal baginya.

Biasanya kalau dia berlatih melawan para Piauthau dalam perusahaan, tiada seorang pun yang dapat menandinginya, hal ini dapat dimengerti, pertama karena ilmu pukulannya itu memang hebat, kedua, para Piauthau dengan sendirinya lebih suka mengalah daripada bergebrak sungguh-sungguh. Sebab itulah walaupun pengalaman di tengah gelanggang sudah banyak, tapi pertarungan yang sungguh-sungguh jarang dialami oleh Peng-ci.

Sekali ini dia telah ketemukan lawan orang she Ih dari Sucwan, hanya belasan gebrak saja segera rasa congkak Peng-ci mulai lenyap. Ternyata orang she Ih itu sambil bertempur masih sempat membuka mulut untuk mengolok-oloknya. “Eh, saudara cilik, kulihat kau lebih mirip seorang nona cantik dalam penyamaran sebagai lelaki, mukamu putih lagi cantik. Ehmm, bolehkah kucium sekali saja, marilah kita berkawan dan pesiar ke sana.”

Mendengar ucapan yang tidak senonoh itu dan tingkahnya yang mempermainkan, keruan Peng-ci sangat gusar. Ia coba melirik Su dan The-piauthau, ternyata kedua orang yang mengeroyok orang she Keh itu toh tidak lebih unggul dari lawannya, bahkan hidung The-piauthau tampak matang biru terkena bogem orang she Keh dan keluar kecapnya.

Pada suatu kesempatan, dengan gerakan kilat sekonyong-konyong orang she Ih kena ditempeleng sekali lagi oleh Peng-ci. Tamparan yang lebih keras ini membuat orang she Ih menjadi murka, bentaknya, “Anak kelinci yang tidak kenal selatan, karena kulihat mukamu manis, maka aku ingin memeluk kau, sebaliknya kau malah menghajar kekasihmu ini ya?”

Mendadak ilmu pukulannya lantas berubah, ia balas menyerang dengan gencar, kepalan bekerja naik turun menghantam.

Pertarungan kedua orang yang berlangsung dengan seru itu akhirnya sampai berpindah ke luar warung arak itu.

Ketika orang she Ih mendadak memukul ke depan, tiba-tiba Peng-ci teringat kepada ajaran ayahnya, dengan gaya dorong, ia tangkis dan mendorong tenaga pukulan lawan ke samping.

Tak terduga tenaga orang she Ih itu ternyata sangat kuat, dorongan itu ternyata tidak mempan, “bluk,” malah dada Peng-ci kena terhantam. Dalam keadaan sempoyongan tahu-tahu Peng-ci merasa baju lehernya telah kena dicengkeram tangan kiri lawan. Ketika orang itu menekan sekuatnya ke bawah, setengah badan Peng-ci sampai membungkuk ke bawah. Menyusul dengan gaya “Tiat-bun-kam” (palang pintu besi), dengan melintangkan telapak tangan, orang itu mengancam di atas kuduk Peng-ci sambil mengejek, “Hahaha! Anak kura-kura, sekarang kau boleh menjura tiga kali dan panggil tiga kali paman yang baik padaku barulah akan kulepaskan kau.”

Melihat majikan muda mereka kena dibekuk musuh, keruan Su dan The-piauthau terperanjat, serentak mereka meninggalkan lawan yang sedang dihadapi untuk menolong Peng-ci. Akan tetapi orang she Keh itu segera menghantam dan menendang sehingga mereka sukar menyingkir.

Pek Ji lekas-lekas angkat tombaknya dan menusuk ke punggung orang she Ih sambil berteriak, “Kau mau lepas tangan tidak? Apakah kau ingin mampus ….”

Belum habis ucapannya, tanpa menoleh mendadak orang she Ih menyepak ke belakang dengan kaki kiri sehingga tombak itu mencelat beberapa meter jauhnya, bahkan kaki kanan juga lantas mendepak sehingga Pek Ji terguling-guling beberapa kali dan meringis kesakitan tak sanggup berdiri untuk sekian lamanya.

“Anak jadah, bangsat keparat! Terkutuklah kakek moyangmu tujuh belas turunan!” demikian Tan Jit ikut mencaci maki, tapi bukannya menerjang maju, sebaliknya ia mundur-mundur ketakutan.

“Nah, nona manis, kau mau menjura padaku atau tidak?” tanya pula si orang she Ih dengan tertawa. Ketika ia tambahi tenaga pada tangan yang melintang di atas kuduk sehingga kepala Peng-ci ikut tertahan ke bawah, makin tahan makin rendah sampai batok kepalanya hampir-hampir menyentuh tanah.

Peng-ci mengayun kepalan dengan maksud hendak menggenjot perut lawan, tapi selalu kurang beberapa senti dan tak dapat mencapai sasarannya. Sebaliknya tulang tengkuk terasa kesakitan seakan-akan patah, mata pun berkunang-kunang dan telinga mendenging.

Dalam keadaan kepepet, kedua tangan Peng-ci menghantam dan mencakar serabutan, sekonyong-konyong tangannya tersentuh sesuatu benda yang terselip di betisnya, tanpa pikir lagi benda itu terus disambarnya dan segera ditubleskan ke depan sehingga menancap di perut orang she Ih.

Kontan orang she Ih itu menjerit dan mengendurkan kedua tangannya sambil mundur dua-tiga langkah, air mukanya tampak menampilkan rasa takut dan ngeri. Ternyata di atas perutnya telah menancap sebilah belati warna emas, mulut orang she Ih kelihatan terpentang, seperti ingin menjerit atau bicara, tapi tak keluar suaranya. Tangan tampak hendak mencabut belati yang menancap di perutnya sendiri itu, tapi juga tidak berani.

Walaupun berhasil melukai lawannya, namun Peng-ci juga berdebar-debar ketakutan, ia pun melangkah mundur beberapa tindak.

Sementara itu orang she Keh dan kedua Piauthau juga sudah berhenti bertempur, mereka ternganga kaget memandangi orang she Ih. Tertampaklah orang she Ih itu mulai terhuyung-huyung, tiba-tiba tangan kanan memegang gagang belati terus dicabut sekuatnya, seketika darah segar memuncrat keluar sampai dua-tiga meter jauhnya. Beberapa orang yang menyaksikan itu sampai menjerit kaget.

“Keh … Keh-loji … ka … katakanlah ke … kepada ayah supaya balaskan sakit hatiku,” seru orang she Ih dengan terputus-putus sambil melemparkan belati warna kuning gemerlapan itu ke depan.

Cepat orang she Keh sambar belati yang melayang ke arahnya itu sambil berseru, “Ih-hiante, Ih-hiante!” Berbareng ia terus memburu maju.

Namun si orang she Ih sudah lantas roboh tersungkur, setelah berkelojotan beberapa kali lalu tidak bergerak lagi.

“Ambil senjata!” seru Su-piauthau dengan suara tertahan kepada kawannya. Segera ia mendahului berlari ke samping kudanya dan menyiapkan senjatanya. Sebagai seorang Kangouw kawakan ia tahu sesudah terjadinya korban jiwa, tentu orang she Keh itu akan melabrak mereka dengan mati-matian.

Tapi orang she Keh itu ternyata tidak menerjang maju lagi, ia sadar dalam keadaan sendirian tentu sukar mengalahkan jumlah lawan yang lebih banyak, jangan-jangan dia akan ikut terbinasa sehingga sakit hati mereka tentu takkan terbalas lagi. Ia pikir jalan paling selamat ialah kabur saja.

Begitulah, mendadak ia lompat ke samping kudanya, sekali cemplak ia sudah berada di atas pelana, “sret,” ia potong tali kendali kuda yang tertambat itu terus melarikan kudanya secepat terbang ke arah utara.



-dipi-
 
Re: [Cerbung] Serial Silat: Pendekar Hina Kelana by Jin Yong

Hina Kelana
Bab 2. Kematian Para Piauthau Secara Ganjil
Oleh Jin Yong


Tan Jit coba mendekati mayat orang she Ih itu dan menendangnya sekali sehingga mayat itu terbalik ke atas. Darah tampak masih mengucur keluar dari luka di bagian perut. “Inilah ganjaranmu, mungkin kau memang sudah bosan hidup, maka kau berani mengusik Siaupiauthau kami?!”

Baru pertama kali inilah Peng-ci membunuh orang, keruan air mukanya pucat saking takutnya. Katanya dengan gemetar, “Su … Su-piauthau … bagai … bagaimana baiknya ini! Sesungguhnya aku … aku tidak bermaksud membunuh dia!”

Su-piauthau mengerut kening, katanya kemudian, “Lekas kita menyeret mayat itu ke dalam warung, di sini dekat jalan raya, jangan-jangan nanti dilihat orang?”

Untunglah waktu itu sudah dekat magrib, jalanan sudah sepi. Cepat Pek Ji dan Tan Jit lantas menggotong jenazah itu ke dalam warung.

“Siaupiauthau, apakah engkau membawa uang?” bisik Su-piauthau kepada majikan muda itu.

“Ada, ada!” cepat Peng-ci menjawab sambil mengeluarkan seluruh isi kantongnya yang berjumlah 20-an tahil perak.

Sesudah menerima uang perak itu, Su-piauthau lantas masuk ke dalam warung, ia taruh semua uang itu di atas meja, lalu berkata kepada si kakek, “Sat-lothau, kau sendiri telah menyaksikan, orang dari daerah lain ini tadi telah menggoda cucu perempuanmu, karena membela kebenaran, Siaupiauthau kami terpaksa telah membunuhnya. Urusan ini timbul dari diri kalian, kalau sampai meluas tentu kalian pun takkan terlepas dari persoalan ini. Beberapa tahil uang perak ini boleh kau gunakan dahulu, marilah kita kubur jenazah ini, kemudian kita dapat berunding cara bagaimana untuk menutupi peristiwa ini.”

“Ya, ya, ya!” cepat si kakek Sat menyetujui.

“Hok-wi-piaukiok kami sudah biasa berkelana di luaran, kalau cuma membunuh beberapa orang penjahat saja adalah soal terlalu kecil,” The-piauthau ikut bicara. “Kedua tikus Sucwan ini datang-datang lantas celingukan seperti maling, kalau bukan kaum bandit tentu juga penjahat yang biasa merusak kaum wanita, besar kemungkinan kedatangan mereka ke Hokciu sini adalah untuk melakukan kejahatan, keamanan kota Hokciu tentu akan terganggu, jasa Siaupiauthau kami ini sebenarnya cukup besar. Cuma beliau tidak suka banyak urusan, lebih baik persoalan ini dianggap tidak ada saja. Maka hendaklah engkau tutup mulut yang rapat, kalau urusan ini sampai bocor, tentu kalian akan celaka sendiri. Masakan kalian baru saja membuka warung arak ini lantas kedatangan kedua bandit dari luar daerah, terang kalian telah bersekongkol dengan mereka, kalau tidak, masakah sedemikian kebetulan?”

Terpaksa Sat-lothau hanya mengiakan saja dan menyatakan akan tutup mulut.

Lalu Su-piauthau memimpin Pek Ji dan Tan Jit mengubur jenazah itu di kebun sayur di belakang warung arak. Noda darah di depan warung lantas dipaculi pula sehingga lenyap.

Kemudian Su-piauthau berkata lagi kepada Sat-lothau, “Dalam sepuluh hari kalau tidak terjadi apa-apa, tentu kami akan mengantar 50 tahil perak lagi kepadamu. Tapi kalau kau sembarangan mengoceh di luaran, hm-hm, biasanya Hok-wi-piaukiok juga sudah banyak membinasakan kawanan bangsat, kalau tidak ada seribu juga sudah ada delapan ratus, jika ditambah lagi kalian berdua tua dan muda ini paling-paling kebun sayurmu itu yang akan bertambah dengan dua kerangka tengkorak saja.”

“Terima kasih, terima kasih! Pasti takkan kukatakan kepada siapa pun juga,” sahut Sat-lothau dengan takut-takut.

Selesai mengatur seperlunya, sementara itu hari pun sudah gelap. Perasaan Peng-ci menjadi rada lega. Kemudian pulanglah dia dengan hati kurang tenteram.

Waktu memasuki ruangan depan, dilihatnya sang ayah duduk di atas kursi malas dan sedang memejamkan mata, entah apa yang sedang direnungkan.

“Ayah!” dengan sikap agak kaku Peng-ci menyapa.

Padahal Hok-wi-piaukiok sudah tiga turunan menjalankan pekerjaan pengawalan, dalam hal berkelahi dan membunuh orang sudah tentu sukar dihindarkan, cuma yang dibunuh semuanya adalah orang-orang dari golongan jahat, apalagi peristiwa demikian itu biasanya terjadi di pegunungan atau rimba yang sepi, bila jatuh korban lantas dikubur saja di situ dan habis perkara.

Tapi orang yang dibunuhnya sekali ini terang bukan kaum garong atau sebangsanya, tempat kejadian berdekatan pula dengan kota, perkara jiwa bukanlah soal kecil, jangankan cuma putra pengusaha Piaukiok, sekalipun putra gubernur atau menteri, jika membunuh orang juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Karena itulah sepanjang jalan benak Peng-ci terus bekerja, ia ragu apakah kejadian itu harus dilaporkan kepada ayahnya atau tidak? Siapa duga begitu masuk rumah lantas kepergok sang ayah dan terpaksa ia menyapa.

Tak tersangka air muka Lim Cin-lam ternyata sangat riang, ia malah bertanya, “Apa pulang dari berburu? Apa hasilnya? Mendapatkan babi hutan atau tidak?”

“Tidak,” jawab Peng-ci.

Sekonyong-konyong Cin-lam mengangkat Honcoe (pipa cangklong, pipa tembakau yang panjang) terus menghantam ke pundak Peng-ci sambil membentak dengan tertawa, “Awas!”

Jika dalam keadaan biasa, karena tahu sang ayah sering kali secara mendadak menjajal kepandaiannya, maka begitu melihat ayahnya mengeluarkan jurus ke-26 dari “Pi-sia-kiam-hoat” yang disebut “Lin-sing-hui-tui” (cirit bintang jatuh melayang), tentu secara spontan dia akan menangkis dengan gerakan “Hoa-khay-kian-hud” (bunga mekar menghadapi Buddha).

Tapi sekarang karena perasaannya tidak tenteram, disangkanya kejadian di warung arak itu telah diketahui sehingga sang ayah hendak menghajarnya dengan pipa cangklong itu, maka ia tidak berani berkelit dan hanya berseru saja, “Ayah!”

“He, ada apakah?” tegur Cin-lam sambil menahan cangklongnya ketika hampir mengetok pundak putranya, hanya tinggal beberapa senti saja jaraknya. “Sedemikian lamban gerakanmu, kalau ketemukan musuh tangguh tentu sebelah bahumu ini sudah berpisah dengan badanmu.”

Walaupun nadanya mengomel, tapi wajahnya tetap tersenyum simpul.

Peng-ci mengiakan dan segera mendak ke bawah, dengan cepat ia memutar ke belakang sang ayah, sekalian ia sambar kemoceng (bulu ayam) yang terletak di atas meja teh dan segera ia tusukkan punggung ayahnya. Gerakan ini tepat adalah jurus Hoa-khay-kian-hud.

“Cara beginilah baru betul,” ujar Cin-lam dengan tertawa. Berbareng cangklongnya lantas menangkis, menyusul ia balas menyerang lagi dalam jurus “Kang-siang-long-tek” (meniup seruling di tengah sungai).

Dengan semangat Peng-ci juga lantas patahkan serangan sang ayah dengan jurus “Ci-gi-tong-lay” (pelangi melintang dari timur).

Setelah 50-an jurus mereka bergebrak, mendadak cangklong Cin-lam menutuk cepat ke depan, dengan perlahan dada kiri Peng-ci tertutuk sekali, karena tak sempat menangkis, seketika pemuda itu merasakan lengan kanan kaku kesemutan sehingga kemoceng yang dipegangnya terlepas dari cekalan.

“Bagus, bagus! Selama sebulan ini sudah ada kemajuanmu, hari ini kau lebih banyak menangkis empat jurus seranganku!” kata Cin-lam dengan tersenyum sambil bersandar kembali pada kursi malasnya. Sesudah mengisi tembakau pada pipanya, lalu katanya pula, “Anak Peng, akan kuberi tahukan bahwa hari ini kita telah menerima suatu berita baik.”

Cepat Peng-ci mengambil batu api dan mengetik api untuk menyalakan tembakau di pipa ayahnya, lalu bertanya, “Barangkali ayah telah menerima suatu partai barang kawalan yang besar?”

“Bukan soal perusahaan,” sahut Cin-lam. “Asalkan kekuatan kita cukup, masakan khawatir tiada barang kawalan yang datang sendiri. Yang kita khawatirkan justru ada barang kawalan yang disodorkan kepada kita, tapi kita tidak sanggup menerimanya.”

Setelah mengembuskan asap tembakaunya, lalu sambungnya pula, “Yang kumaksudkan berita baik adalah pulangnya Li-piauthau dari Kangsay, ia telah bawa kembali berita tentang barang-barang sumbangan yang kita kirim telah diterima dengan baik oleh Ih-koancu di Siong-hong-koan, itu tokoh utama Jing-sia-pay di Sucwan Barat.”

Mendengar kata-kata “Ih-koancu” di “Sucwan Barat” itu, hati Peng-ci lantas berdebur keras. Cepat ia menegas, “Barang-barang sumbangan kita itu telah diterima?”

“Ya,” sahut Cin-lam. “Tentang urusan perusahaan memang jarang kubicarakan padamu sehingga kau pun kurang jelas. Cuma kau sudah mulai dewasa, lambat laun beban yang kupikul selama ini harus kupindahkan juga ke atas bahumu, maka selanjutnya kau harus lebih banyak ikut memerhatikan dan mempelajari pekerjaan perusahaan kita. Nak, sudah tiga turunan kita melakukan pekerjaan mengawal, adanya kemajuan-kemajuan yang diperoleh perusahaan kita selama ini adalah pertama, berkat nama kebesaran kakek-besarmu dahulu, kedua, memang kepandaian yang diturunkan leluhur kita pun bukan dari golongan lemah sehingga dapat mencapai kejayaan seperti sekarang ini. Akan tetapi urusan dunia Kangouw tidaklah begitu sederhana, nama memang juga penting, tapi hanya mengambil dua bagian saja, kepandaian orangnya juga mengambil tempat dua bagian, keenam bagian sisanya sesungguhnya adalah berkat kerja sama di antara kawan-kawan baik dari kalangan Pek-to (kaum kesatria yang baik) maupun Hek-to (golongan penjahat). Coba kau pikir sendiri, kereta barang Hok-wi-piaukiok kita sudah menjelajahi 12 provinsi, jika setiap kali perjalanan harus bertempur dan bertanding dengan orang, dari mana kita mempunyai nyawa sedemikian banyak untuk bertempur? Padahal biarpun menang, pihak kita sendiri juga tidak terhindar dari korban, dan untuk ganti kerugian dan uang pensiun para petugas kita yang gugur itu pun diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, bukan mustahil kita harus tambal dari kas sendiri karena honorarium pengawalan yang kita terima tidak mencukupi.”

Peng-ci hanya mengiakan saja. Dalam benaknya sudah terbayang-bayang kata-kata “Ih-koancu” dari “Sucwan Barat” tadi sehingga apa yang diuraikan ayahnya tiada separuh yang masuk ke dalam telinganya.

Dalam pada itu, Cin-lam telah menyambung, “Maka dari itu, kita yang hidup dari usaha pengawalan ini harus mengutamakan persahabatan, tangan juga harus terbuka. Hal-hal ini jauh lebih penting daripada main senjata ataupun mengandalkan kepandaian sejati.”

Kalau di hari-hari biasa, bilamana Peng-ci mendengar sang ayah bicara tentang usaha Hok-wi-piaukiok yang lambat laun akan dibebankan ke atas bahunya, tentulah Peng-ci akan terbangkit semangat dan mengadakan pembicaraan lebih mendalam dengan ayahnya. Tapi sekarang hatinya berdebur-debur keras sehingga ucapan ayahnya tidak menimbulkan hasratnya untuk bicara.

Cin-lam ketok-ketok pipa cangklongnya di atas lantai untuk mengeluarkan abu tembakau, lalu berkata pula, “Ilmu silat ayah sudah tentu tak bisa melebihi kakek-besarmu, juga belum dapat memadai eyangmu. Akan tetapi kemajuan perusahaan pengawalan ini dapat kubanggakan telah berkembang lebih banyak daripada leluhurmu itu. Apa rahasia sukses ayahmu ini? Haha, tidak lain adalah ‘banyak bersahabat sedikit bermusuhan’, hanya ini saja. Haha, haha!”

Peng-ci ikut tertawa beberapa kali, tapi sedikit pun tiada mengandung rasa gembira yang sesungguhnya.

Rupanya Cin-lam tidak mengetahui sikap putranya yang gelisah itu, katanya pula, “Usaha Piaukiok kita telah mencapai provinsi Oupak, lalu berhenti. Maka aku pikir mengapa kita tidak meneruskannya sehingga ke wilayah Sucwan. Provinsi Sucwan adalah daerah yang paling subur dan makmur, jika kita dapat menembus daerah ini sehingga ke utara akan sampai di Siamsay, ke selatan akan mencapai Hunlam dan Kuiciu, dengan demikian perusahaan kita sedikitnya akan tambah besar tiga bagian. Cuma daerah Sucwan adalah tempat yang terkenal banyak orang-orang kosen, kalau kereta barang Hok-wi-piaukiok ingin melalui Sucwan, sedikitnya harus berhubungan baik dengan Jing-sia dan Go-bi-pay.

“Sejak tiga tahun yang lalu, tiap-tiap tahun baru selalu aku mengirimkan hadiah-hadiah berharga dan khusus mengutus orang mengantarkan ke Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay dan Kim-teng-si di Go-bi-san. Akan tetapi kedua Ciangbunjin Jing-sia-pay dan Go-bi-pay itu belum pernah menerima hadiah-hadiah kita. Kim-kong Siangjin dari Go-bi-pay masih mendingan, dia masih mau menemui dan mengucapkan terima kasih serta menjamunya, habis itu hadiah yang kita kirim itu diretur kembali tanpa disentuh sedikit pun.

“Sedangkan Ih-koancu Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay itu benar-benar sangat aneh, baru saja utusan kita sampai di lamping gunungnya sudah lantas dicegah, katanya Ih-koancu sedang tirakat dan semadi, sementara ini tidak menerima tamu. Segala barang di dalam kuil mereka cukup tersedia, maka tidak mau terima hadiah dari luar. Dalam keadaan begitu jangankan menemui Ih-koancu mereka, sampai-sampai menghadap ke arah mana pintu kuil mereka juga tidak tahu. Sepulangnya para Piauthau yang kita kirim setiap tahun itu tentu maki-maki, katanya kalau tidak mengingat pesanku yang melarang mereka umbar kemarahan biarpun pihak sana memperlakukan apa pun kepada mereka, mungkin mereka sudah lantas ajak berkelahi pada orang-orang yang tak kenal kebaikan itu.”

Sampai di sini Cin-lam lantas berbangkit, dengan gembira ia menyambung pula, “Dan sekali ini ternyata Ih-koancu mau terima hadiah yang kukirim, bahkan mengatakan telah mengirim empat orang anak muridnya balas berkunjung ke Hokkian sini ….”

“Empat orang? Bukan dua orang?” mendadak Peng-ci menyela.

“Benar, empat orang muridnya,” sahut Cin-lam. “Coba pikir, sedemikian Ih-koancu memandang penting urusan ini, bukankah ini suatu penghargaan bagi Hok-wi-piaukiok kita? Sebab itulah sore tadi aku sudah mengirim orang secara kilat pergi memberi tahu pada kantor-kantor cabang di Kangsay, Oulam dan Oupak agar sepanjang jalan memberi sambutan sebaik-baiknya kepada keempat tamu agung dari Jing-sia-pay itu.”

“Ayah, apakah orang Sucwan kalau bicara suka menyebut orang lain sebagai ‘anak kura-kura’ dan ‘anak kelinci’ segala?” tanya Peng-ci tiba-tiba.

“Ah, itu kan ucapan orang kasar,” ujar Cin-lam dengan tertawa. “Orang kasar di mana-mana pun ada dan ucapan mereka sudah tentu kasar pula. Seperti pegawai-pegawai kita sebangsa tukang kawal, tukang kereta, di kala berjudi dan minum arak bukankah mereka pun suka mengumpat maki yang bahkan jauh lebih kasar dan kotor daripada orang Sucwan. Ada apa sih kau menanyakan hal demikian?”

“Tidak apa-apa,” sahut Peng-ci.

Maka Cin-lam memberi pesan pula, “Nanti kalau keempat murid Jing-sia-pay itu sudah datang, kau harus lebih berdekatan dengan mereka, belajarlah sedikit gaya murid dari golongan ternama. Rasanya akan sangat berfaedah bagimu bilamana dapat bersahabat dengan kawan-kawan seperti itu ….”

Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara orang ribut di luar, menyusul beberapa orang tampak berlari masuk dengan gugup.

Cin-lam mengerut kening dan anggap orang-orang itu benar-benar tidak tahu aturan. Kiranya yang datang itu adalah tiga tukang kawal, satu di antaranya segera berkata dengan suara tergagap-gagap karena napasnya tersengal-sengal, “Cong … Congpiauthau ….”

“Ada urusan apa, koh ribut-ribut begini?” potong Cin-lam.

“Pek … Pek Ji sudah mati,” sambung seorang tukang kawal yang lain.

Baru sekarang Cin-lam terkejut. Tanyanya cepat, “Siapa yang membunuh dia? Kalian berjudi dan berkelahi bukan?”

Diam-diam ia mendongkol terhadap anak buahnya yang kasar itu, sedikit-sedikit lantas berkelahi, sekarang telah terjadi perkara jiwa, tentu akan banyak mendatangkan kesukaran.

“Bukan, bukan! Tadi waktu Siau Li pergi ke kakus, mendadak dilihatnya Pek Ji sudah menggeletak di kebun sayur di samping kakus,” demikian timbrung Tan Jit yang entah sejak kapan sudah masuk juga. “Anehnya tiada terdapat tanda-tanda luka di atas badan Pek Ji, entah apa yang menyebabkan kematiannya. Mungkin … mungkin terkena penyakit maut sehingga mati mendadak.”

“Coba kupergi melihatnya,” kata Cin-lam. Segera ia menuju ke kebun sayur dengan diikuti Peng-ci dari belakang.

Sampai di tengah kebun sayur, tertampak beberapa orang berkerumun di situ. Melihat pemimpin mereka sudah datang, segera mereka memberi jalan.

Cin-lam melihat pakaian Pek Ji sudah dibuka orang, tapi di atas badannya tiada noda darah sedikit pun. Segera ia tanya Ciok-piauthau yang berdiri di sebelahnya, “Apakah tiada tanda-tanda terluka?”

“Sudah kuperiksa dengan teliti dan ternyata sekujur badannya tiada tanda luka sedikit pun, tampaknya juga bukan keracunan,” sahut Ciok-piausu.

Muka Pek Ji ternyata biasa saja, sedikit pun tiada tanda-tanda matang biru keracunan, ujung mulutnya malah mengulum senyum.

Tiada jalan lain Cin-lam hanya mengangguk saja dan berkata, “Beri tahukan kepada Tang-siansing, suruh dia mengurus penguburan Pek Ji dan kirimkan 100 tahil perak kepada keluarganya.”

Kiranya sejak Lim Wan-tho mendirikan Hok-wi-piaukiok sudah ada peraturan tentang jaminan sosial bagi para petugas yang gugur atau cacat dalam melakukan tugas, juga sakit dan kematian mendapat pensiun dalam jumlah uang tertentu. Ketika Lim Cin-lam memimpin Piaukiok, jaminan sosial itu sudah diperbaiki pula dan ditambah dua kali.

Bahwasanya cuma kematian seorang tukang kawal saja sudah tentu tidak terlalu dipikirkan oleh Cin-lam. Setelah memberi perintah seperlunya lalu ia kembali ke ruangan tengah. Katanya kepada putranya, “Apakah tadi Pek Ji tidak ikut pergi berburu?”

“Ikut,” sahut Peng-ci. “Waktu pulang tadi masih segar bugar, siapa duga mendadak diserang penyakit dan meninggal.”

“Ya, semua ini benar-benar terlalu mendadak,” ujar Cin-lam. “Sudah lama aku ingin buka jalan ke daerah Sucwan dan selalu gagal, siapa duga Ih-koancu mendadak terbuka pikirannya dan mau menerima hadiahku, bahkan mengirimkan empat orang muridnya untuk mengadakan kunjungan balasan padaku.”

Tiba-Peng-ci berkata, “Ayah, meski Jing-sia-pay adalah golongan terkemuka di dunia persilatan, tetapi nama ayah dan Hok-wi-piaukiok kita toh tidak lemah di mata orang-orang Kangouw. Kita sudah mengirimkan oleh-oleh setiap tahunnya, kalau sekarang Ih-koancu mengirim orangnya kemari, bukankah ini pun merupakan kehormatan timbal balik saja?”

“Kau tahu apa?” sahut Cin-lam dengan tertawa. “Jing-sia dan Go-bi-pay di daerah Sucwan itu sama-sama terkenal seperti Siau-lim dan Bu-tong-pay. Sejarah mereka pun sudah beberapa ratus tahun lamanya, tidak sedikit terdapat bibit-bibit baru di antara anak muridnya, mereka benar-benar sangat hebat. Sebaliknya ilmu silat keluarga Lim kita walaupun tidak lemah, namun sama sekali kita tidak membuka pintu dan menerima murid, pada angkatanku ini hanya melulu aku seorang, pada angkatanmu juga cuma kau sendirian, dari mana kita dapat dibandingkan dengan mereka?”

Peng-ci merasa penasaran, katanya pula, “Tapi kepandaian Tiok-sioksiok, Ciu-pepek, Pang-sioksiok, Ciang-taysiansing dan lain-lain juga terhitung jago-jago pilihan di dunia persilatan, masakah para kesatria dan orang-orang gagah dari Piaukiok kita kalau dikumpulkan semua masih kalah kepada mereka?”

Cin-lam tertawa, jawabnya, “Nak, ucapanmu tidak menjadi soal bila cuma didengar oleh ayahmu, tapi kalau kau bicara di luaran cara demikian dan didengar orang lain, tentu akan lantas mendatangkan kesukaran-kesukaran. Dari 94 orang jago kawal dalam 12 kantor pengawalan kita memang masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, kalau digabung menjadi satu sudah tentu takkan kalah terhadap golongan mana pun juga. Akan tetapi apa sih gunanya andaikan dapat mengalahkan mereka? Sebagai perusahaan pengawalan kita harus mencari sahabat dan bukannya mencari musuh, bahkan sedapat mungkin kita harus mengalah.”

Waktu mudanya Cin-lam juga seperti Peng-ci sekarang, sehingga banyak telan pil pahit, tapi sesudah puluhan tahun berkecimpung di Kangouw, setelah tua, sikap garang dan rasa tinggi hatinya sudah tergembleng lenyap, sekarang pikirannya sangat sabar dan dapat mengalah kepada orang.

Peng-ci masih kurang puas, katanya pula, “Ayah ….”

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar orang berteriak di luar, “Wah, celaka! The-piauthau juga mati!”

Cin-lam dan Peng-ci sama-sama terperanjat. Bahkan Peng-ci sampai melonjak dari kursinya. Katanya dengan suara gemetar, “Tentu merekalah yang da … datang menuntut ba ….”

Tidak sampai diucapkan seluruhnya kata-kata “menuntut balas” itu, dengan cepat Peng-ci lantas menahan mulutnya. Syukurlah waktu itu Cin-lam sudah memapak keluar sehingga tidak memerhatikan apa yang dikatakan putranya itu.

Dalam pada itu kelihatan Tan Jit berlari datang dengan napas terengah-engah, serunya, “Wah, ce … celaka, Cong … Congpiauthau! The … The-piauthau telah di … ditagih jiwa oleh … oleh setan jahat Sucwan itu.”

“Setan jahat Sucwan apa segala, ngaco-belo!” bentak Cin-lam dengan menarik muka.

“Be … benar, Congpiauthau,” sahut Tan Jit. “To … tolonglah, Siaupiauthau, selanjutnya setan itu tentu … tentu akan mencari diriku. Rezekimu besar dan dilindungi malaikat dewata, se … setan jahat itu tidak berani mencari padamu. Tapi ham … hambalah yang akan celaka, lekas … lekas kita berdaya, kita harus memanggil Hwesio atau Tosu untuk mengadakan selamatan dan membaca kitab suci. Siau … Siaupiauthau sendiri perlu juga bersembahyang untuk menghindarkan diri dari godaan arwah jahat itu ….”

Begitulah Tan Jit mengoceh tak keruan sehingga Cin-lam merasa bingung. Segera ia membentak, “Tutup mulutmu! Kau sembarangan mengoceh apa?”

“Ya, ya! Setan Sucwan itu di … di waktu hidupnya sangat ganas, sesudah … sesudah mati tentu … tentu lebih-lebih jahat lagi ….” demikian Tan Jit mengoceh pula. Tapi ketika kebentrok dengan sorot mata Cin-lam yang melotot kereng itu, seketika ia tidak berani meneruskan lagi. Ia hanya pandang ke arah Peng-ci dengan rasa takut-takut dan minta dikasihani.

Maka Cin-lam lantas tanya, “Kau bilang The-piauthau telah meninggal? Di manakah jenazahnya dan cara bagaimana matinya?”

Saat itu beberapa orang tukang kawal yang lain juga sudah berlari datang. Seorang di antaranya lantas menjawab, “Congpiauthau, kematian The-piauthau itu sama halnya seperti Pek Ji, badannya juga tiada terdapat tanda luka apa-apa, muka juga tidak berdarah atau matang biru. Jangan-jangan dia ter … terkena tulah waktu dia ikut Siaupiauthau pergi berburu siang tadi.”

Cin-lam mendengus, katanya, “Selama berkecimpung di dunia Kangouw, belum pernah aku ketemukan setan iblis segala. Hayolah kita pergi melihatnya.”

Habis itu ia lantas mendahului berjalan keluar. Dari belakang Tan Jit masih mengoceh tak keruan seperti tadi, namun Cin-lam tidak menggubrisnya lagi. Dengan diantar para tukang kawal itu, sampailah mereka di kandang kuda. Ternyata The-piauthau menggeletak di depan istal itu, kedua tangannya masih memegang pelana kuda, terang tadi dia lagi melepaskan pelana dan mendadak lantas roboh binasa, sama sekali tiada tanda-tanda telah bertempur dengan orang lain.

Sementara hari sudah gelap, Cin-lam suruh orang membawakan lampu kerudung, lalu ia sendiri membuka pakaian The-piauthau, diperiksanya secara teliti sekujur badan korban itu, sampai-sampai ruas tulang seluruh badan juga dipegang dan diremasnya, tapi memang tiada sedikit pun tanda terluka, sampai tulang jari pun tidak ada yang patah.

Cin-lam adalah seorang laki-laki yang berpikiran luas, biasanya ia tidak takhayul, tidak percaya kepada setan segala. Ia tidak heran ketika Pek Ji mati secara mendadak, tapi sekarang kematian The-piauthau juga serupa, di dalam hal ini benar-benar ada sesuatu yang ganjil. Bila mati karena penyakit pes atau penyakit menular lain, mengapa di atas tubuh sang korban tiada sesuatu bintik apa-apa atau tanda-tanda lain?

Akhirnya teringat olehnya besar kemungkinan ada sangkut pautnya dengan pengalaman berburu putranya pada siang hari tadi. Segera ia berpaling dan tanya Peng-ci, “Selain The-piauthau dan Pek Ji, siapa lagi yang ikut kau pergi berburu siang tadi?”

“Ada pula Su-piauthau dan dia,” sahut Peng-ci sambil menuding Tan Jit.

“Baiklah, kalian berdua ikut padaku,” kata Cin-lam. Lalu katanya pula kepada seorang tukang kawal, “Coba panggil Su-piauthau agar datang ke kamarku untuk bicara.”

Setelah berada di dalam kamar serambi timur, untuk sejenak Cin-lam hanya duduk saja tanpa bicara. Ia tahu putranya tidak punya pengalaman, pengetahuannya juga terbatas. Tan Jit hanya pandai mengoceh tak keruan dan membingungkan orang saja. Hanya dari Su-piauthau yang sudah banyak merasakan asam garam dapatlah diharapkan keterangan-keterangan yang diperlukan.

Beberapa kali Tan Jit bermaksud membuka suara, tapi setiap kali urung bila tertatap oleh sinar mata pemimpinnya yang tajam dan kereng itu.

Tunggu punya tunggu, ternyata sampai sekian lamanya Su-piauthau masih belum tampak muncul. Akhirnya Cin-lam menjadi tidak sabar, katanya kepada Tan Jit, “Coba kau pergi mendesak Su-piauthau supaya lekas datang ke sini.”

Tan Jit mengiakan sambil berjalan ke arah pintu sambil menggumam, “Kukira sebentar juga Su-piauthau akan datang, kukira ti … tidak perlu pergi mendesaknya lagi.”

Cin-lam menjadi gusar, semprotnya, “Kuperintahkan pergi, kau berani membantah? Hayo lekas berangkat!”

“Ya, ya! Segera juga hamba berangkat,” jawab Tan-Jit dengan gemetar. Sebelah kakinya yang sudah melangkahi ambang pintu mendadak ditarik kembali. Sekonyong-konyong ia putar balik terus berlutut ke hadapan Cin-lam sambil memohon, “O, Congpiauthau, ampunilah jiwa hamba ini. Asalkan hamba melangkah keluar dari sini, tentu jiwa hamba akan melayang!”

Melihat muka Tan Jit pucat sebagai mayat, badannya gemetaran, takutnya tidak alang kepalang, hal ini benar-benar jarang terjadi. Mau tak mau Cin-lam yang biasanya tidak percaya setan iblis ikut merinding juga menyaksikan sikap Tan Jit itu.

“Sudahlah, lekas … lekas bangun! Apakah sudah … sudah gila?” hardik Cin-lam dengan rasa tak enak.

Tapi Tan Jit masih mengoceh lagi, “Siaupiauthau, urusan ini sesungguhnya tiada sangkut pautnya dengan hamba, engkau … engkau harus mencari suatu jalan yang baik.”

Cin-lam menjadi curiga. Katanya lagi, “Lekas kau bangun dan berdirilah di situ saja.”

Seperti orang yang mendapat pengampunan dari hukuman mati, cepat sekali Tan Jit merangkak bangun, menyusul pintu kamar terus ditutupnya seakan-akan setan gentayangan orang Sucwan itu benar-benar akan datang mencabut nyawanya.

Segera Cin-lam berpaling dan tanya Peng-ci, “Sebenarnya apakah yang sudah terjadi?”

Tahu tidak dapat menutupi lagi peristiwa itu, terpaksa Peng-ci menceritakan pengalamannya waktu pulang dari memburu tadi dan tentang perkelahiannya dengan dua orang Sucwan lantaran membela si gadis penjual arak yang digoda itu. Dalam keadaan kuduknya dibekuk lawan dan dipaksa menyembah, saking gugup dan gusarnya dirinya lantas mencabut belati dan membunuh orang Sucwan itu. Akhirnya mayat korban itu ditanam di kebun sayur si penjual arak serta memberikan uang kepada kakek penjual arak supaya tutup mulut atas kejadian itu.

Makin mendengarkan cerita itu, perasaan Cin-lam semakin tak enak. Namun sebagai seorang Kangouw berpengalaman, dia pun merasa bukanlah sesuatu soal yang terlalu sulit untuk diselesaikan jika putranya telah berkelahi dan akhirnya menewaskan orang.

Dengan tenang ia mengikuti cerita putranya itu, habis itu ia merenung sejenak, kemudian ia bertanya, “Apakah kedua orang itu tidak mengatakan mereka berasal dari aliran dan golongan mana atau anggota sesuatu organisasi apa?”

“Tidak,” sahut Peng-ci.

“Adakah di antara ucapan dan tingkah laku mereka memperlihatkan sesuatu tanda-tanda yang luar biasa?” tanya Cin-lam lebih lanjut.

“Juga tiada sesuatu yang aneh, hanya orang she Ih itu mengatakan ….”

“Apa? Kau maksudkan orang yang telah kau bunuh itu she Ih?” Cin-lam menegas sebelum selesai ucapan Peng-ci.

“Ya, kudengar seorang di antaranya menyebut dia sebagai Ih-hiante, cuma entah betul-betul Ih atau bukan. Mereka adalah orang dari daerah lain, boleh jadi logat mereka berbeda dengan kita,” kata Peng-ci pula.

Mendadak Cin-lam menggoyang kepala dan menggumam sendiri, “Tidak, tidak mungkin begini kebetulan. Ih-koancu menyatakan akan mengirim orang kemari, masakah sedemikian cepat mereka sudah sampai di wilayah Hokciu, mereka toh tidak bersayap?”

Hati Peng-ci terkesiap mendengar gumaman sang ayah. Cepat ia tanya, “Apakah ayah sangsikan kedua orang itu berasal dari Jing-sia-pay?”

Cin-lam tidak menjawab. Selang sejenak sambil menggerakkan tangannya ia berkata, “Waktu kau menyerang dia dengan gaya “Hoan-thian-ciang” kita ini, cara bagaimana dia menangkis pukulanmu?”

“Dia tidak dapat menangkis sehingga kena kutempeleng,” sahut Peng-ci.

“Ehm, bagus, bagus, bagus!” kata Cin-lam sambil tertawa.

Suasana di dalam kamar yang diliputi rasa khawatir dan cemas itu menjadi agak mereda dengan tiga kali “bagus” yang diucapkan Cin-lam itu. Peng-ci sendiri pun ikut tersenyum, perasaan yang tertekan tadi menjadi longgar juga.

“Dan waktu kau menyerang lagi dengan gerakan ini, cara bagaimana pula dia balas menyerang?” kembali Cin-lam bertanya sambil memberi contoh suatu gerak serangan.

Peng-ci menjawab, “Waktu itu anak sudah murka sehingga tidak jelas bagaimana sikapnya, yang terang serangan anak itu seperti mengenai dadanya pula.”

Air muka Cin-lam menjadi lebih tenang pula, katanya, “Ehm, bagus! Serangan kita memang harus demikian, tapi sama sekali ia tidak mampu menangkis, rasanya tidak mungkin adalah anak murid Ih-koancu dari Jing-sia-pay yang namanya termasyhur itu.”

Kiranya ucapan “bagus-bagus” tadi bukanlah dimaksudkan sebagai pujian kepada kemenangan perkelahian putranya itu, tapi adalah perasaan lega karena lawannya itu ternyata bukan orang Jing-sia-pay. Ia pikir orang Sucwan terlalu banyak yang mahir ilmu silat, jika orang she Ih itu kena dibunuh oleh putranya, tentulah ilmu silatnya tidak tinggi dan tidaklah mungkin adalah anak murid Jing-sia-pay.

Sambil mengetok-ketok muka meja dengan jari tangan kanannya, lalu Cin-lam tanya lebih lanjut, “Dan cara bagaimana dia membekuk kudukmu?”

Peng-ci lantas menggerakkan tangan dan memberikan contoh cara bagaimana tadi dirinya dibekuk lawan sehingga tak bisa berkutik.

Rupanya Tan Jit sudah mulai hilang rasa takutnya, segera ia menimbrung, “Ya, waktu Pek Ji menikam punggungnya dengan tombak, tahu-tahu dia mendepak ke belakang sehingga tombak mencelat, bahkan Pek Ji sendiri sampai terguling-guling tak bisa bangun.”

Perasaan Cin-lam tergetar. Cepat ia tanya sambil berbangkit, “Dia mendepak ke belakang sehingga tombak mencelat dan Pek Ji terjungkal? Cara … cara bagaimana mendepaknya itu?”

“Kalau tidak salah … seperti begini,” tutur Tan Jit sambil memberi contoh gerakan, tangannya memegang sandaran kursi, lalu kedua kakinya susul-menyusul mendepak ke belakang.

Dasar ilmu silat Tan Jit memang rendah sehingga kedua kali depakan yang dia pertunjukkan itu sangat kaku dan lebih mirip pemain kuda lumping.

Melihat permainan yang lucu itu, hampir-hampir saja Peng-ci tertawa geli. Katanya segera, “Ayah, coba caranya ….”

Tapi mendadak tertampak air muka sang ayah menampilkan rasa terkejut, maka ucapannya tidak jadi diteruskan.

“Kedua kali depakan ke belakang itu memang mirip ‘Pek-pian-yu-tui’ (tendangan seratus gaya) yang menjadi kebanggaan kaum Jing-sia-pay,” ucap Cin-lam. “Nak, sebenarnya cara bagaimana dia melontarkan kedua kali depakan itu?”

“Waktu itu tengkuk anak dibekuk olehnya dan ditekan ke bawah sehingga tidak jelas cara bagaimana dia mendepak ke belakang,” sahut Peng-ci.

“Ya, hanya Su-piauthau saja yang bisa memberi keterangan,” ujar Cin-lam. Segera ia keluar kamar dan menggembor, “He, mana orangnya? Sudah sekian lamanya mengapa Su-piauthau belum tampak?”

Buru-buru dua orang tukang kawal mendekati dan menjawab, “Sudah dicari ke mana-mana, tapi Su-piauthau tidak dapat diketemukan, boleh jadi lagi melancong ke pasar.”

Cin-lam menggeleng-geleng kepala, katanya, “Lekas pergi mencarinya lagi, besar kemungkinan ia mengeram di rumah janda penjual tahu di gang belakang sana. Ai, sudah terjadi urusan segawat ini masih sempat berpelesiran segala.”

“Ya, sudah, sudah ada orang mencarinya ke sana,” sahut tukang kawal itu.

Kedua tukang kawal saling pandang dengan tersenyum. Mereka sama-sama pikir, “Para kawan sama menyangka Congpiauthau tidak tahu apa-apa, siapa nyana perbuatan Su-piauthau yang bergendakan dengan janda penjual tahu itu pun diketahui olehnya, rupanya segala apa Congpiauthau hanya pura-pura tidak tahu saja, tetapi sebenarnya tiada sesuatu yang dapat mengelabui beliau.”

Hendaklah maklum bahwa setiap Piausu atau jago kawal yang dipekerjakan oleh Lim Cin-lam pada semua kantor pengawalannya, sebelum masuk kerja sudah diselidiki dahulu asal usul dan tingkah lakunya. Setelah bekerja, setiap gerak-gerik para Piausu itu pun tidak terlepas dari perhatian Cin-lam, hanya lahirnya saja seakan-akan ia tidak mengambil pusing kepada urusan pribadi anak buahnya itu. Sering kali bila ada salah seorang Piausu kalah judi atau terjadi permusuhan di antara beberapa Piausu, maka sebisa mungkin Cin-lam lantas berdaya untuk menyelesaikan persoalan mereka.

Seperti halnya di kalangan militer dan di waktu perang, jika bagian dalam tidak akur, sering kali memberi kesempatan kepada musuh untuk menerobos masuk. Dahulu ayahnya sering bercerita dan memberi contoh kepada Cin-lam tentang Piaukiok-piaukiok besar di daerah lain yang tadinya maju pesat dan berkembang dengan jaya, akhirnya kena juga dirunduk musuh dengan memasukkan mata-mata ke dalam perusahaan sehingga terjadilah perpecahan dari bagian dalam, dan pada saat gawat itu musuh juga lantas menyerang dari luar, dengan demikian kehancuran total sukar lagi dihindarkan.


-dipi-
 
Re: [Cerbung] Serial Silat: Pendekar Hina Kelana by Jin Yong

Hina Kelana
Bab 3. Keajaiban di Kebun Sayur
Oleh Jin Yong

Cerita-cerita dan contoh yang dikemukakan ayahnya itu selalu dijadikan pedoman dan senantiasa berlaku waspada. Sebab itulah Cin-lam telah mengadakan pengawasan yang sangat ketat terhadap gerak-gerik dan tingkah laku para Piausu yang dia terima.

Begitulah, sesudah agak lama kemudian, dua tukang kawal tampak masuk dengan tergesa-gesa, mereka lantas melapor, “Congpiauthau, Su-piauthau juga ti … tidak diketemukan di tempat … di tempat yang sering dikunjunginya.”

Begitulah Cin-lam menjadi curiga, “Jangan-jangan Su-piauthau adalah mata-mata musuh yang sengaja diselundupkan ke sini, karena urusan sudah mulai menjalar, dia lantas meloloskan diri? Atau mungkin juga dia yang telah membunuh Pek Ji dan The-piauthau? Kalau tidak, buat apa mendadak dia menghilang?”

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar Tan-jit lagi berteriak, “Celaka! Wah, celaka! Su-piauthau tentu juga telah direnggut nyawanya oleh setan Sucwan yang jahat itu! Ai, sel … selanjutnya tentu akan menjadi giliranku! O, Congpiauthau, mohon … mohon engkau berdaya menyelamatkan jiwa hamba ini!”

Dengan muka pucat dan mewek-mewek, segera Tan Jit mendekati Cin-lam dan kembali akan berlutut lagi ke hadapan sang majikan.

Memangnya Cin-lam lagi kesal, ia menjadi dongkol melihat kelakuan Tan Jit, ia dorong orang yang menyebalkan itu, rupanya dorongannya agak keras sehingga Tan Jit menjerit kaget sampai sempoyongan ke belakang, “bluk”, akhirnya ia jatuh terduduk.

“Tan Jit, jangan ngaco-belo lagi sehingga membikin marah ayah saja,” bentak Peng-ci.

Dalam pada itu Cin-lam sendiri lagi jalan mondar-mandir di tengah ruangan sambil berunding pada dirinya sendiri, “Jikalau depakan ke belakang itu memang Pek-pian-yu-tui adanya, maka … maka naga-naganya orang itu sekalipun bukan anak murid Ih-koancu, tentu juga ada hubungannya dengan Jing-sia-pay.”

Setelah berpikir sejenak, diam-diam ia ambil keputusan. Katanya segera, “Coba panggil Cui-piausu dan Ki-piausu kemari!”

Kedua Piausu yang disebut itu adalah orang kepercayaan Cin-lam, pengalaman mereka luas, cara bekerjanya rajin. Ketika mengetahui Su-piauthau menghilang dan The-piauthau tewas mendadak, diam-diam mereka sudah tahu telah terjadi sesuatu, maka sebelumnya sudah siap di luar ruangan. Ketika mendengar panggilan Cin-lam, dengan segera mereka masuk ke dalam.

Kata Cui-piauthau, “Congpiauthau, mungkin ada sesuatu yang tak beres tentang menghilangnya Su-piauthau secara mendadak. Siokhe sudah pergi memeriksa kamarnya, dia tidak membawa sesuatu barang, bahkan di bawah bantalnya juga masih terdapat 29 tahil perak. Hal ini benar-benar rada aneh. Bukanlah aku sengaja mengusik urusan orang, tapi biasanya aku sudah menaruh perhatian pada tingkah laku Su-piauthau yang suka main sembunyi-sembunyi, hanya saja Siokhe belum mendapatkan sesuatu kesalahannya.”

“Cui-piausu, coba silakan memanggil Tio-piauthau, Ciu-piauthau dan Ciang-piauthau, suruh mereka sekarang juga lekas menuju ke pintu utara untuk mengejar Su-piauthau, jika ketemu hendaklah menasihatkan dia supaya pulang saja, katakanlah betapa pun besar adanya urusan tentu akan kubereskan baginya.”

“Dan kalau dia berkeras tak mau pulang, apakah harus menggunakan kekerasan?” tanya Cui-piauthau.

“Su-piauthau adalah orang cerdik dan bisa melihat gelagat, jika dia melihat kita telah mengutus empat orang untuk mengejar dia, sepasang tangannya susah melawan delapan lengan, biarpun tidak suka, mau tak mau terpaksa ia akan ikut pulang dan dengan sendirinya tidak perlu menggunakan kekerasan lagi,” ujar Cin-lam. “Sebaliknya kalau kalian tidak menemukan dia, bolehlah kalian terus mampir di kantor-kantor cabang di Ciatkang, Kangsay dan lain-lain untuk menyampaikan pesanku agar mereka bantu mencegatnya di tengah jalan. Suruh mereka masing-masing mengambil persekot 100 tahil perak kepada kasir untuk biaya perjalanan.”

Cui-piauthau mengiakan dan segera pergi melaksanakan tugasnya. Biasanya dia tidak cocok dengan Su-piauthau, sudah tentu ia sangat senang melihat sang pemimpin sedemikian keras menguber Su-piauthau.

Cin-lam sendiri lantas menimbang-nimbang, “Orang Sucwan yang terbunuh ini sebenarnya siapa? Rasanya aku harus pergi memeriksanya sendiri.”

Ia tunggu setelah Cui-piauthau sudah kembali, lalu berkata, “Marilah kita pergi mengerjakan sesuatu. Cui dan Ki-piauthau, anak Peng dan Tan Jit boleh ikut sekalian.”

Mereka berlima lantas keluar pintu utara dengan berkuda, untung pintu gerbang kota itu belum ditutup.

“Warung arak yang mana, coba anak Peng menunjukkan jalannya di depan,” kata Cin-lam kemudian.

Segera Peng-ci mengeprak kudanya mendahului ke depan. Sebaliknya kaget Tan Jit tak terlukiskan, hampir-hampir ia terperosot jatuh dari atas kuda. Serunya, “He, kita hendak ke warung arak itu? Wah, Cong … Congpiauthau, betapa pun tempat setan itu jangan didatangi lagi. Setan … setan Sucwan itu tentu sudah menunggu di sana, lebih baik kita jangan … jangan mengantarkan nyawa!”

Cin-lam sangat mendongkol. Katanya, “Ki-piauthau, jika Tan Jit berani menyebut ‘setan’ lagi, kontan kau boleh mencambuk dia satu kali biar otaknya sedikit terang!”

Dengan tersenyum, Ki-piausu mengiakan. Ia angkat pecutnya dan menoleh ke arah Tan Jit, Katanya, “Nah, kau dengar tidak, Tan Jit?”

Tidak lama kemudian, sampailah mereka di depan warung arak kecil itu. Tapi pintu warung ternyata tertutup rapat. Segera Peng-ci melangkah maju untuk mengetok pintu sambil berseru, “Sat-lothau! Sat-lothau! Lekas buka pintu!”

Meski sudah diketok sampai sekian lamanya, tenyata tidak ada suara jawaban sedikit pun dari dalam warung.

“Wah, kakek sial dan nona belang itu tentu … tentu juga sudah direnggut oleh setan ….” baru saja Tan Jit mengucapkan kata-kata terakhir itu, “tarr”, kontan cambuk Ki-piauthau sudah mampir di atas pundaknya.

“Biarpun kau menghajar aku juga tiada gunanya, aku … aku akan pulang duluan saja,” kata Tan Jit. “Lebih baik aku tidak bekerja daripada mengantarkan nyawa.”

Nyata dia lebih suka dipecat dari pekerjaan Piaukiok daripada merasa ketakutan dan ada kemungkinan akan terbinasa pula setiap saat.

Akan tetapi Ki-piauthau sudah lantas berkata padanya dengan suara tertahan, “Kau boleh pulang sendiri saja jika tidak takut setan gentayangan itu mencegat kau di tengah jalan.”

Keruan Tan Jit menjadi takut dan gusar pula, omelnya, “Dalam urusan begini juga kau masih bergurau padaku?”

Namun demikian ia menjadi tidak berani lagi pulang sendiri.

Karena pintu warung itu masih belum dibuka juga, Cui-piauthau memandang ke arah Lim Cin-lam sambil memberikan gerakan tangan mendobrak pintu.

Cin-lam mengangguk-angguk. Maka kedua tangan Cui-piauthau lantas menolak ke depan. “Krak”, palang pintu patah seketika, kedua daun pintu lantas terpentang ke belakang, tapi segera merapat kembali dengan cepat, kemudian terbuka lagi dan begitu seterusnya, membuka dan menutup sampai beberapa kali dengan mengeluarkan suara keriang-keriut yang menyeramkan di malam nan sunyi.

Begitu pintu terpentang, Cui-piauthau lantas menarik Peng-ci menyingkir ke samping. Sesudah tiada sesuatu yang mencurigakan, barulah mereka melangkah masuk mengetik api untuk menyulut pelita minyak yang berada di atas meja.

Luar-dalam warung itu mereka periksa semua, tapi tidak tampak seorang pun, segala perabotan di dalam rumah masih lengkap, tiada yang diboyong pergi.

“Mungkin kakek itu khawatir tersangkut perkara jiwa ini, apalagi mayat dikubur di kebun sayurnya, maka lekas-lekas ia telah kabur pergi,” kata Cin-lam. “Coba ambil cangkul, Tan Jit! Galilah mayat itu, ingin kuperiksanya.”

Coba kalau Tan Jit tidak menghormat dan segan kepada sang Congpiauthau, tentu dia sudah mengacir saja daripada tinggal di situ dan disuruh menggali mayat. Namun tidak urung ia ambilkan cangkul yang diminta setelah ragu-ragu sejenak.

“Cui-piauthau, Ki-piauthau, harap kalian bermurah hati, berdirilah di sisiku sini lebih dekat, semoga Buddha memberkahi istri-istri kalian melahirkan seorang anak laki-laki yang putih lagi gemuk,” demikian pinta Tan Jit.

“Kurang ajar!” semprot Cui-piauthau dengan tertawa. “Kau ini benar-benar sontoloyo, ucapanmu itu bukankah menganggap istri kami bergendak dengan orang lain? Sudah tiga tahun aku dan Ki-piausu tidak pernah pulang rumah, dari mana istriku dapat melahirkan anak laki-laki yang gemuk?”

“Ya, tapi … tapi ….” jika pada hari-hari biasa, tentu Tan Jit akan bicara panjang lebar lagi. Tapi sekarang karena hatinya berkebat-kebit, terpaksa ia angkat cangkul dan mulai menggali tempat yang siangnya baru saja dibuat mengubur mayat itu.

Lantaran merasa takut, maka belum berapa kali dia mencangkul, kaki dan tangannya sudah terasa lemas tak bertenaga seakan-akan terkulai lumpuh.

“Tak berguna!” omel Ki-piausu. “Begini saja ingin makan nasi pengawalan.”

Segera ia ambil cangkul itu dari tangan Tan Jit dan menyodorkan lampu kerudung padanya. Segera ia menggantikan mencangkul.

Tenaga Ki-piausu memang lebih kuat daripada Tan Jit, pula bekerja dengan sungguh-sungguh, maka tidak antara lama liang itu sudah dicangkul cukup dalam sehingga mulai kelihatan baju jenazah di dalam liang itu. Setelah mencangkul beberapa kali lagi, akhirnya ia gunakan cangkulnya untuk mencungkil mayat itu sehingga terangkat ke atas.

Cepat Tan Jit menoleh ke jurusan lain, ia tidak berani memandang mayat itu. Tapi lantas terdengar seruan kaget keempat orang. Saking takutnya, lampu kerudung di tangannya itu sampai jatuh sehingga kebun sayur itu seketika gelap gulita.

“Yang ditanam di sini sudah terang adalah orang Sucwan itu, mengapa … mengapa ….” demikian terdengar Peng-ci berkata dengan terputus-putus.

“Rupanya aku telah keliru menyalahkan dia!” kata Cin-lam. “Lekas sulut kembali lampu itu.”

Setelah Cui-piauthau mengetik api pula dan menyalakan lampu kerudung itu, lalu Cin-lam berjongkok untuk memeriksa jenazah. Selang sejenak berkatalah dia, “Badannya tiada terdapat tanda-tanda luka, kematiannya ternyata serupa.”

Tan Jit coba beranikan diri memandang ke arah mayat, tapi mendadak ia menjerit kaget, “Su-piauthau! Su-piauthau!”

Kiranya yang tergali itu adalah mayatnya Su-piauthau, sedangkan mayat orang Sucwan itu sudah menghilang entah ke mana.

“Kakek she Sat itu tentu ada sesuatu yang tidak beres,” kata Cin-lam. Segera ia sambar lampu kerudung terus lari ke dalam rumah untuk memeriksa pula. Dari guci arak di dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja kursi, semuanya tidak terkecuali dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan teliti. Tapi tetap tiada menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Sementara itu Cui dan Ki-piauthau bersama Peng-ci juga ikut memeriksa tempat lain. Sekonyong-konyong Peng-ci berseru, “He, ayah, coba lihat ini!”

Waktu Cin-lam menuju ke tempat arah suara, ternyata putranya berada di dalam kamar si gadis penjual arak, tangannya memegang sehelai saputangan warna hijau.

“Yah, hanya seorang nona dari keluarga miskin dari mana bisa memiliki benda begini?” kata Peng-ci.

Cin-lam coba mengambil saputangan itu, sayup-sayup terendus olehnya bau harum dari saputangan yang sangat halus dan terasa agak antap pula bobotnya. Nyata saputangan itu terbuat dari bahan sutera pilihan. Ketika diperiksa lebih cermat, tertampak tepi saputangan itu berlingkaran tiga garis benang hijau, pada suatu ujungnya tersulam setangkai bunga mawar kuning, rajin dan indah sekali sulaman itu.

“Dari mana datangnya saputangan ini?” tanya Cin-lam.

“Diketemukan di pojok kolong ranjang,” sahut Peng-ci. “Besar kemungkinan mereka pergi dengan tergesa-gesa dan waktu berbenah tidak melihat saputangan yang jatuh ini.”

Dengan membawa lampu kerudung Cin-lam lantas berjongkok untuk memeriksa kolong ranjang kalau-kalau ada barang lain lagi. Dan baru saja ia hendak berdiri kembali, sekilas tertampak dekat di pojok dinding sana ada sesuatu benda yang sangat kecil dan bersinar.

“Itu seperti ada sebutir mutiara, coba kau menjemputnya,” katanya kepada Peng-ci.

Segera Peng-ci merangkak ke bawah ranjang dan menjemput benda itu. “Ya, memang sebutir mutiara,” katanya sambil meletakkan benda kecil itu di tangan sang ayah.

Mutiara itu hanya sebesar kacang hijau saja, tapi bentuknya bulat licin dan mengeluarkan sinar yang mengilap. Sebagai seorang pengusaha Piaukiok yang telah sering mengawal benda-benda berharga, begitu lihat Cin-lam lantas tahu mutiara kecil ini tentu terlepas dari perhiasan sebangsa anting-anting atau kalung. Kalau melulu sebutir mutiara demikian sih tidak terlalu berharga, tapi kalau sebentuk perhiasan yang dirangkai dengan mutiara-mutiara berkualitas tinggi sebagai ini, maka nilainya tentu sukar diukur.

Sambil menggerakkan tangannya perlahan sehingga mutiara itu bergelindingan di telapak tangannya, Cin-lam merenung sejenak lalu berkata, “Kau bilang nona penjual arak itu mukanya sangat jelek, maka pakaiannya tentu juga tidak begitu bagus. Tapi dandanannya apakah sangat rajin dan bersih?”

“Waktu itu aku pun tidak memerhatikan dia,” sahut Peng-ci. “Tapi rasanya tidaklah buruk, sebab kalau sangat kotor tentu aku akan merasakannya waktu dia menuangkan arak bagiku.”

“Bagaimana pendapatmu, Lau Cui?” tanya Cin-lam kepada Cui-piauthau.

“Kukira kematian Su-piauthau dan The-piauthau tentu ada sangkut pautnya dengan kedua orang tua dan muda ini, besar kemungkinan merekalah yang mengganas,” sahut Cui-piauthau.

“Dan kedua orang Sucwan itu boleh jadi sekomplotan dengan mereka,” demikian Ki-piauthau ikut bicara. “Kalau tidak, buat apa mereka memindahkan mayat?”

“Tapi orang she Ih sudah terang main gila dan menggoda nona itu, kalau tidak, tentu aku pun takkan bertengkar dengan dia,” ujar Peng-ci. “Maka kukira mereka tidak mungkin adalah sekomplotan.”

“Dalam hal ini Siaupiauthau memang kurang berpengalaman, hati orang Kangouw kebanyakan palsu dan jahat, mereka sering pasang perangkap untuk menjerat lawannya,” demikian kata Cui-piauthau. “Misalnya dua orang sering pura-pura berkelahi agar pihak ketiga melerai mereka, tapi mendadak kedua orang yang berkelahi itu bisa berbalik mengerubut orang yang melerai mereka. Tapi biarlah kita tanya lebih jelas lagi kepada Tan Jit. He, Tan Jit! Ke mana kau? Lekas ke sini!”

Meski Ki-piauthau mengulangi lagi teriakannya, namun Tan Jit tetap tidak menjawab dan juga tidak muncul. “Kurang ajar! Sontoloyo Tan Jit ini, besar kemungkinan telah kelengar saking ketakutan.”

Ia coba menuju ke ruangan depan, bayangan Tan Jit tidak kelihatan, ia mencari lagi ke dapur, tetap tidak kelihatan batang hidung Tan Jit. Mau tak mau Cin-lam dan Peng-ci menjadi curiga juga, segera mereka pun keluar mencarinya.

“Mungkin dia takut setan, maka sudah pulang lebih dahulu,” kata Peng-ci.

“Jika demikian, besok juga kita suruh dia gulung tikar dan lekas enyah saja,” kata Cui-piauthau. “He, Tan Jit! Keparat, di mana kau? Tan Jit!”

Begitulah sambil berteriak dan memaki ia terus mencari ke kebun sayur. Sekonyong-konyong ia berteriak terlebih keras, “He, di … di manakah Su-piauthau?”

Cepat Cin-lam berlari ke kebun sayur sambil menjinjing lampu. Ternyata mayat Su-piauthau yang menggeletak di tepi liang kubur tadi sekarang sudah lenyap. Keruan kagetnya tak terkatakan, waktu ia menerangi sekitar situ, namun tiada tampak sesuatu jejak apa-apa.

“He, ayah, coba li … lihat itu!” tiba-tiba Peng-ci berteriak.

Waktu Cin-lam memandang ke arah yang ditunjuk, yaitu liang yang baru saja digali keluar mayat Su-piauthau, sekarang liang itu sudah teruruk rata lagi.

“Ya, ini benar-benar sangat aneh, apa barangkali si Tan Jit telah mengubur lagi mayat Su-piauthau ke dalam liang ini?” ujar Cin-lam dengan ragu-ragu.

Ia taruh lampu kerudung itu di samping, lalu ia pegang cangkul terus menggali dengan cepat. Tidak lama kemudian cangkulnya lantas menyentuh sesosok tubuh manusia yang masih lemas. Cepat ia mengeluarkan tanahnya sehingga tertampaklah baju mayat itu. Tapi ia lantas terkesiap. Ia ingat betul baju yang dipakai Su-piauthau berwarna biru, mengapa baju yang kelihatan ini berwarna hitam?

Lekas-lekas ia membersihkan tanah yang masih menutupi muka mayat itu. Tapi serentak keempat orang lantas menjerit kaget semua sambil melompat mundur.

Kiranya yang menggeletak di dalam liang kubur itu bukannya mayat Su-piauthau, tetapi adalah Tan Jit!

Sesudah tenangkan diri, segera Cin-lam menjambret baju dada Tan Jit terus diangkat ke atas. Ia coba meraba pipinya, terasa masih sedikit hangat. Waktu periksa napasnya, ternyata sudah putus. Dipegang nadinya, denyut jantungnya juga sudah berhenti.

Tanpa bicara lagi Cin-lam terus lolos pedang dari pinggangnya, sekali lompat ia lantas melayang lewat pagar kebun sayur yang tidak tinggi itu.

Walaupun sudah cukup lama Cui dan Ki-piausu bekerja pada Hok-wi-piaukiok, tapi belum pernah mereka menyaksikan Cin-lam menggunakan senjata. Sekali melihat gerakan Congpiauthau mereka yang gesit laksana kucing itu, diam-diam mereka terkejut dan kagum sekali.

Segera Cui-piauthau mengeluarkan juga senjatanya yang berbentuk tombak pendek berantai dan berkata kepada Peng-ci, “Siaupiauthau, musuh berada di sekitar sini saja, lekas siapkan pedangmu.”

Peng-ci mengangguk dan segera melolos pedang terus menerobos keluar melalui pintu depan. Di bawah cahaya bintang kelap-kelip yang remang-remang tertampak di atas kuda putihnya yang tertambat di patok kayu di depan warung itu seperti ada satu orang sedang menunggang binatang itu.

Cepat ia memburu maju sambil membentak, “Siapa kau?” berbareng dengan jurus “Liu-siang-kan-goat” (bintang meluncur memburu rembulan), pedangnya terus menusuk ke arah orang itu. Tapi aneh, orang itu ternyata tidak bergerak sedikit pun.

Sementara itu ujung pedang Peng-ci sudah hampir mengenai dada orang itu, lekas ia mengerem senjatanya itu dan dengan batang pedang ia terus menyampuk saja, “plok”, kontan orang itu tersampuk jatuh dan terguling ke bawah kuda. Remang-remang kelihatan wajah orang itu kekuning-kuningan dan berkumis tikus, ternyata bukan lain dari mayat Su-piauthau.

Keruan Peng-ci terkejut dan cepat berseru, “Ayah, lekas kemari, ayah!”

Mendengar suaranya, cepat sekali Cin-lam dan kedua Piausu lantas memburu ke situ. “Sungguh kurang ajar sekali kaum pengecut itu!” jengek Cin-lam dengan tertawa dingin. Lalu ia berseru dengan suara lantang, “Orang kosen dari manakah yang berkunjung ke kota Hokciu ini? Jika seorang kesatria sejati, hayolah tampil ke muka, kenapa mesti main sembunyi-sembunyi dan berkelakar seperti ini?”

Berulang-ulang Cin-lam berseru dua-tiga kali, tapi tiada sesuatu jawaban apa-apa.

“Gerakan orang ini cepat sekali, kita hanya tinggal sebentar saja di dalam dan dia sudah sempat melakukan hal-hal sebanyak ini,” ujar Cui-piauthau dengan suara bisik-bisik.

“Mungkin lebih dari satu orang,” kata Cin-lam.

Tiba-tiba hatinya tergerak, segera ia jinjing lampu ke rumah dan memeriksa kembali kebun sayur tadi. Namun tanah di sekitar liang tadi sudah digali dan diuruk berulang kali, juga sudah kian kemari dibuat jalan orang, maka sukar untuk membedakan tapak kaki.

“Bagaimana pandangan Congpiauthau atas urusan ini?” tanya Cui-piauthau kemudian dengan suara tertahan.

“Sasaran yang dituju atas kedatangan si kakek dan si nona penjual arak ini tentulah diri kita,” sahut Cin-lam. “Cuma tidak tahu apakah mereka berdua pun sekomplotan dengan kedua orang Sucwan itu atau bukan?”

Tiba-tiba Peng-ci menimbrung, “Ayah, katamu Ih-koancu dari Siang-hong-koan telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari, sekarang mereka … mereka kan juga empat orang?”

Ucapan ini menyadarkan Lim Cin-lam. Untuk sejenak ia terkesima dan termenung, kemudian berkata, “Hok-wi-piaukiok selamanya sangat menghormati Jing-sia-pay dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak baik pada mereka. Lalu sebab apakah Ih-koancu sengaja mengirim orang-orangnya ke sini untuk mencari perkara padaku?”

Begitulah mereka berempat hanya saling pandang dengan bingung dan tidak dapat bersuara. Sampai agak lama barulah Cin-lam berkata pula, “Coba pindahkan dahulu jenazah Su-piauthau ke dalam rumah. Tentang kejadian ini hendaklah jangan disiarkan kalau pulang di rumah supaya tidak diketahui pihak yang berwajib dan menimbulkan kesukaran lain lagi.”

“Prak”, dengan suara keras Cin-lam masukkan pedangnya ke sarungnya, lalu berkata, “Orang she Lim biasanya terlalu sungkan-sungkan kepada orang, tapi juga bukan kaum pengecut yang terima dihina dan dipukul sebelah kanan segera diberikan pula sebelah kiri.”

Cui dan Ki-piauthau saling pandang saja, mereka pikir peristiwa ini benar-benar telah menimbulkan kemarahan sang Congpiauthau. Segera Ki-piauthau berkata, “Harap Congpiauthau maklum, sekalipun musuh cukup lihai, namun Hok-wi-piaukiok kita juga bukan kaum lemah yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Kami sudah cukup menerima budi kebaikan Congpiauthau, bila ada kesukaran biarlah kita menghadapi bersama-sama, masakah kita dapat membiarkan nama baik Hok-wi-piaukiok kita dihancurkan orang dengan cara begini?”

“Ya, terima kasih pada maksud baikmu,” sahut Cin-lam sambil mengangguk.

Mereka lantas pulang ke dalam kota. Ketika sudah dekat dengan gedung perusahaan, dari jauh tertampaklah cahaya obor terang benderang, di depan pintu gedung itu berkerumun sejumlah orang.

Hati Cin-lam tergetar, cepat ia keprak kudanya ke depan. Didengarnya beberapa orang lantas berseru, “Itu dia, Congpiauthau sudah pulang!”

Dengan gesit Cin-lam melompat turun dari kudanya, dilihatnya sang istri dengan muka merah padam lantas memapak kedatangannya sambil berkata, “Coba kau lihat! Hm, sedemikian kurang ajar orang telah menghina kita!”

Ternyata di atas tanah melintang dua batang tiang bendera dengan dua helai bendera bersulam, terang adalah panji tanda perusahaan yang terpancang di depan Piaukiok itu, sekarang berikut setengah potong tiang benderanya telah dipatahkan orang.

Dari tempat patahnya tiang bendera yang tidak rajin itu Cin-lam yakin tentu bukan ditebas dengan senjata tajam, tetapi telah dipukul patah oleh tenaga pukulan. Padahal bulat tengah tiang bendera itu ada belasan senti besarnya, sekarang pihak musuh mampu mematahkannya dengan getaran tenaga pukulan, maka ilmu silatnya dapatlah dibayangkan dan benar-benar sangat mengejutkan.

Ia lihat sisa tiang bendera yang masih menegak di tempatnya itu masih dua-tiga meter tingginya, ia menduga untuk mematahkan tiang bendera itu orangnya harus memanjat ke atas. Dalam keadaan demikian sesungguhnya tidaklah mudah untuk mengerahkan tenaga.

Ong-hujin, istri Cin-lam itu tidak membawa senjata, segera ia melolos pedang dari pinggang sang suami, “sret-sret”, dua kali, ia potong kedua helai bendera itu dari tiangnya, digulung terus dibawa masuk ke dalam rumah.

“Cui-piauthau,” Cin-lam memberi perintah, “sisa kedua potong tiang bendera yang patah itu boleh dipenggal saja sekalian. Hm, tidaklah gampang jika ingin meruntuhkan Hok-wi-piaukiok!”

Cui-piauthau mengiakan dan pergi melakukan tugasnya.

Sedangkan Ki-piauthau lantas memaki, “Keparat! Kawanan bangsat itu adalah pengecut semua, di kala Congpiauthau tidak di rumah barulah mereka berani melakukan perbuatan yang rendah ini.”

Cin-lam lantas menggapai putranya, kedua orang sama-sama masuk ke dalam rumah. Di luar masih terdengar caci maki Ki-piauthau yang tak berhenti-henti.

Sampai di kamar sebelah timur, tertampak Ong-hujin telah membentang kedua helai panji bersulam itu di atas meja. Seketika Cin-lam menjadi murka demi melihat keadaan panji-panji itu. Ternyata lukisan singa pada sehelai panji itu kedua matanya telah dicungkil orang sehingga tinggal dua lubang kosong saja. Panji lain yang bertuliskan Hok-wi-piaukiok, huruf “Wi” juga telah dihapus oleh orang.

Melihat itu, betapa pun sabarnya Cin-lam juga tidak tahan lagi, mendadak ia menggebrak meja, “krak”, sebelah kaki meja itu sampai patah.

Selamanya Peng-ci tidak pernah menyaksikan ayahnya mengumbar marah, ia menjadi takut, katanya dengan suara gemetar, “Semuanya ga … gara-garaku, ayah! Akulah yang telah menimbulkan onar ini!”

Dengan suara keras Cin-lam menjawab, “Orang she Lim biarpun membunuh orang, habis mau apa? Manusia rendah macam itu andaikan kebentur di tangan ayahmu juga pasti sudah kubunuh juga!”

“Macam apa orang yang terbunuh?” tanya Ong-hujin.

“Coba ceritakan pada ibumu, anak Peng,” kata Cin-lam.

Maka Peng-ci lantas menguraikan apa yang sudah terjadi, tentang terbunuhnya orang Sucwan, menyusul Su-piauthau dan Tan Jit berturut-turut juga binasa secara aneh.

Tentang matinya The-piauthau dan Pek Ji secara mendadak itu sudah diketahui Ong-hujin, sekarang mendengar orang Piaukiok mati lagi dua orang, tidak kaget berbalik Ong-hujin malah gusar, ia gebrak meja sambil berbangkit, katanya, “Toako, masakah Hok-wi-piaukiok boleh sembarangan dihina orang? Marilah kita kumpulkan orang, besok juga kita lantas berangkat ke Sucwan untuk menuntut keadilan dan kebenaran pada pihak Jing-sia-pay. Sekalian kita nanti mengajak pula ayahku, para paman dan kakek untuk ikut serta.”

Kiranya watak Ong-hujin itu sejak kecil memang berangasan. Pada waktu gadisnya sedikit-sedikit ia pun suka berkelahi. Lantaran ilmu silat Kim-to-bun mereka memang terkenal, pengaruhnya juga besar, maka semua orang segan kepada ayahnya, yaitu Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa, dan suka mengalah padanya. Sekarang usianya sudah lanjut, putranya juga sudah dewasa, tapi sifat berangasannya ternyata masih belum hilang.

“Siapakah pihak lawan kita sementara ini masih belum pasti, juga belum tentu adalah Jing-sia-pay,” ujar Cin-lam. “Kukira mereka takkan berhenti sampai di sini saja dengan cuma mematahkan dua batang tiang bendera dan membunuh dua orang Piausu dan habis perkara ….”

“Memangnya mereka mau apa lagi?” sela Ong-hujin.

Cin-lam tidak menjawab lebih jauh, ia hanya memandang sekejap ke arah Peng-ci. Ong-hujin lantas paham maksud sang suami, seketika hatinya berdebar-debar, mukanya menjadi pucat pasi.

“Urusan ini adalah gara-gara perbuatan anak, seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, anak se … sedikit pun tidak gentar,” demikian Peng-ci ikut bicara.

Walaupun mulutnya bilang tidak gentar, tapi usianya masih terlalu muda, pula tidak berpengalaman apa-apa, mau tak mau hatinya merasa takut juga sehingga suaranya menjadi agak gemetar.

“Hm, boleh coba mereka mengganggu seujung rambutmu, kecuali mereka membunuh dahulu ibumu ini,” kata Ong-hujin. “Sudah tiga keturunan Hok-wi-piaukiok berdiri dan selamanya belum pernah tunduk pada siapa pun.”

Sampai di sini ia lantas berpaling kepada Lim Cin-lam dan berkata pula, “Jika dendam ini tidak dibalas, untuk seterusnya kita pun tidak dapat menjadi manusia lagi.”

Cin-lam mengangguk, jawabnya, “Ya, aku akan kirim orang untuk menyelidiki keluar dan di dalam kota apakah terdapat orang Kangouw yang tak dikenal, akan kutambahi pula penjagaan di sekitar perusahaan. Sementara ini kau dan anak Peng boleh tunggu di sini saja, jangan membiarkan dia sembarangan keluar.”

“Ya, aku tahu,” sahut Ong-hujin.

Mereka suami istri cukup paham bahwa langkah musuh selanjutnya adalah putra mereka yang akan dijadikan sasaran. Sekarang musuh dalam keadaan gelap dan pihak sendiri di tempat yang terang, asal Peng-ci melangkah keluar Hok-wi-piaukiok setindak saja pasti akan mendatangkan malapetaka baginya.

Begitulah Cin-lam lantas mengumpulkan para Piausu di ruangan tengah, ia membagi tugas kepada mereka untuk menyelidiki dan menjaga tempat-tempat yang penting.

Sementara itu para Piausu sudah mendapat berita, bahwasanya tiang bendera Hok-wi-piaukiok telah dipatahkan orang, ini benar-benar merupakan suatu tamparan keras bagi mereka. Karena rasa tanggung jawab menghadapi musuh bersama itulah, maka sejak tadi-tadi mereka sudah berdandan ringkas dan siapkan senjata, asalkan mendapat perintah sang pemimpin serentak mereka akan bergerak semua.

Hati Cin-lam rada lega melihat persatuan di antara para anak buahnya untuk menghadapi musuh bersama. Setelah masuk ke ruangan dalam, katanya kepada putranya, “Anak Peng, badan ibumu beberapa hari terakhir ini kurang sehat, sekarang sedang menghadapi musuh pula, maka boleh kau tidur pada dipan di luar kamarku ini untuk melindungi ibumu.”

“Hah, masakah aku perlu ….” baru sekian Ong-hujin bicara, mendadak ia sadar maksud sang suami itu sebenarnya cuma pura-pura saja, yang betul justru mereka suami istri dapat melindungi putranya setiap saat. Sebab watak putranya itu diketahui angkuh dan tinggi hati, kalau terang-terangan suruh dia bernaung di bawah perlindungan ayah-bundanya, bukan mustahil dia malah merasa penasaran dan keluar untuk menantang pihak musuh, dan hal ini tentu akan sangat berbahaya. Dari itu cepat Ong-hujin lantas ganti suara, “Ya, betul juga. Anak Peng, kesehatan ibu beberapa hari terakhir ini memang terganggu, kaki dan tangan terasa lemas, mungkin penyakit encok kambuh lagi. Ayahmu sendiri perlu memimpin keadaan di luar dan tidak dapat mendampingi aku senantiasa, jika ada musuh menerobos ke dalam sini mungkin ibu tidak sanggup melawannya.”

“Baiklah, aku akan mengawani ibu di sini,” kata Peng-ci.

Begitulah malamnya Peng-ci lantas tidur di luar kamar ayah-bundanya. Cin-lam sengaja membuka pintu kamar dan menaruh senjata di samping bantal, sampai baju pun tidak dilepas, begitu pula sepatunya. Asalkan ada sesuatu tanda bahaya, segera juga dia akan melompat bangun untuk melabrak musuh.

Tapi malam itu ternyata lalu dengan aman tenteram tanpa terjadi sesuatu.

Besoknya pagi-pagi sekali sudah ada orang memanggil-manggil di luar jendela dengan suara tertahan, “Siaupiauthau! Siaupiauthau!”

Rupanya semalaman Peng-ci tak bisa tidur nyenyak, sewaktu fajar menyingsing dia baru saja pulas sehingga suara orang itu tidak dapat membangunkan dia.

Segera Cin-lam menanya, “Ada urusan apa itu?”

“Kuda … kuda putih Siaupiauthau itu sudah … sudah mati,” sahut orang yang di luar.

Sebenarnya kalau cuma kematian seekor kuda saja bagi perusahaan Piaukiok mereka adalah soal kecil. Tapi kuda putih itu adalah binatang tunggangan kesayangan Peng-ci. Maka begitu melihat bangkai kuda itu, cepat-cepat tukang piara kuda yang biasanya merawat kuda putih itu lantas datang melapor.

Dalam keadaan sadar tak sadar dan mata sepat, saat itu Peng-ci juga sudah mendusin, segera ia bangun sambil kucek-kucek matanya dan berseru, “Biar kupergi melihatnya.”

Cin-lam merasa kejadian ini pun agak ganjil, segera ia pun menyusul ke kandang kuda. Maka tertampaklah kuda putih itu sudah menggeletak tak bernyawa lagi di situ. Di atas badan binatang itu pun tiada terdapat sesuatu tanda luka apa-apa.

“Apakah semalam ada yang mendengar suara ringkikan kuda atau suara lain?” tanya Cin-lam.

“Tidak, tidak ada,” sahut si tukang kuda.

Cin-lam pegang tangan putranya dan berkata, “Tak perlu menyesal, biarlah ayah nanti suruh orang membelikan seekor kuda bagus yang lain bagimu.”

Sambil meraba-raba bangkai kuda, Peng-ci termangu-mangu sekian lamanya sambil meneteskan air mata.

Sekonyong-konyong seorang tukang kawal berlari masuk dengan napas terengah-engah, serunya terputus-putus, “Wah, celaka, Cong … Congpiauthau! Para … para Piauthau yang pergi itu ji … jiwanya telah direnggut semua oleh … oleh setan maut.”

“Apa katamu?!” tanya Cin-lam dan Peng-ci berbarengan dengan terkejut.

“Mati, mati semua!” demikian tukang kawal itu berteriak-teriak.

“Mati semua apa?” bentak Peng-ci dengan gusar, berbareng ia jambret baju leher orang itu sambil dientak-entakkan.

“Ya, Siaupiauthau, sudah mati!” kata pula si tukang kawal.

Mendengar ucapan “Siaupiauthau sudah mati” itu, Cin-lam merasa kata-kata itu membawa alamat tidak baik dan menyebalkan. Tapi kalau dia mendampratnya lantaran kata-kata itu saja rasanya terlalu dicari-cari.

Dalam pada itu terdengar suara riuh ramai pula di luar, ada yang sedang berseru, “Di manakah Congpiauthau? Lekas melaporkan kepada beliau!”

Dan ada juga yang berkata, “Wah, arwah jahat ini benar-benar sangat lihai, apa … apa daya kita sekarang?”

“Aku berada di sini! Ada urusan apa?” teriak Cin-lam.

Segera ada dua orang Piauthau dan tiga tukang kawal berlari masuk. Seorang di antara Piauthau itu lantas berkata, “Congpiauthau, kawan kita yang dikirim pergi itu tiada seorang pun yang pulang kembali.”



-dipi-
 
Hina Kelana
Bab 4. Keluar Pintu Lebih Dari Sepuluh Langkah: Mati
Oleh Jin Yong


Semula Cin-lam menduga ada orang mendadak binasa lagi, tetapi semalam orang-orang yang dikirim keluar untuk menyelidiki dan meronda itu seluruhnya ada 23 orang, masakah mungkin seluruhnya amblas?

Maka cepat ia tanya, “Apakah ada orang mati lagi? Besar kemungkinan mereka masih melakukan tugas penyelidikan dan belum sempat pulang lapor.”

Namun Piauthau itu menggeleng kepala dan menjawab, “Sudah … sudah diketemukan 17 sosok jenazah ….”

“Haaaah! 17 sosok jenazah?” Cin-lam dan Peng-ci menegas berbareng.

“Ya, 17 sosok,” sahut Piauthau itu dengan roman penuh rasa cemas dan khawatir. “Di antaranya terdapat Thio-piauthau, Go-piauthau dan lain-lain, jenazah-jenazah itu sekarang berada di ruangan tengah.”

Tanpa bicara lagi, Cin-lam lantas menuju ke ruang tengah dengan langkah lebar. Tertampaklah meja kursi di ruang besar itu sudah disingkirkan, sebagai gantinya 17 sosok jenazah telah membujur di situ secara berjajar-jajar.

Biarpun selama hidup Lim Cin-lam sudah banyak mengalami damparan gelombang badai, tetapi sekonyong-konyong menyaksikan adegan yang demikian ini, mau tak mau kedua tangannya rada gemetar juga, kedua kaki pun terasa lemas dan hampir-hampir tak sanggup berdiri tegak. “Seb … sebab ….” demikian ia ingin tanya, tapi tenggorokan serasa kering dan sukar mengeluarkan suara.

Tiba-tiba terdengar pula di luar ada orang berkata, “Ai, Ko-piauthau biasanya sangat jujur dan baik hati, siapa nyana jiwanya juga kena direnggut setan jahat.”

Maka tertampaklah beberapa orang penduduk tetangga telah menggotong masuk sesosok jenazah dengan daun pintu, seorang setengah umur di antaranya lantas berkata, “Waktu membuka pintu tadi mendadak hamba melihat sesosok tubuh menggeletak di tengah jalan, kemudian dapat dikenali sebagai Ko-piauthau dari perusahaan kalian. Mungkin dia terkena penyakit menular atau kemasukan setan, maka sengaja kami antar pulang ke sini.”

“Terima kasih, terima kasih!” sahut Cin-lam sambil memberi hormat. Lalu katanya kepada seorang pegawainya, “Para tetangga yang baik hati ini masing-masing boleh dipersen tiga tahil perak, lekas, pergi mengambil pada kasir.”

Namun sebelum menerima hadiah, demi tampak di tengah ruangan situ sudah penuh mayat, lekas-lekas saja para tetangga itu sudah mohon diri lebih dahulu.

Tidak lama kemudian, kembali ada orang mengantar pulang tiga-empat sosok jenazah para Piausu yang lain. Cin-lam coba menghitung jumlah korban itu, semalam dia telah mengirim keluar 23 orang, sekarang sudah ada 22 sosok jenazah, hanya ketinggalan mayat Ci-piausu saja yang belum diketemukan. Namun hal ini terang hanya soal waktu saja.

Ia kembali ke kamarnya, diminumnya secangkir teh panas, tapi perasaannya kusut dan sukar ditenangkan.

Tiba-tiba Peng-ci datang memberi tahu, “Ayah, ada seorang Ang-suya dan seorang Pi-lothau dari kantor kabupaten ingin bertemu padamu.”

Sebenarnya Cin-lam tidak ingin terima tamu, tapi mengingat tempatnya telah jatuh korban jiwa sebanyak ini, kalau dari kantor pemerintah ada petugas yang datang, mau tak mau mereka harus ditemui juga.

Begitulah, terpaksa ia keluar untuk melayani tamu-tamu itu, tapi sama sekali ia tidak menyinggung tentang ada orang datang menuntut balas sehingga terjadi urusan, ia hanya mengatakan besar kemungkinan berjangkit penyakit pes atau penyakit menular yang lain sehingga banyak di antara pegawainya telah ikut menjadi korban.

Tapi orang she Pi yang bertugas sebagai opas itu lantas berkata, “Congpiauthau, maafkan jika aku dianggap usil mulut, namun kukira sebaiknya engkau lekas pergi mengundang seorang ahli nujum dan coba tanya dia sebab apakah tempat kediamanmu ini tidak selamat, apakah karena arahnya tidak betul atau waktunya tidak cocok atau sebab lainnya.”

Sedangkan Ang-suya, juru tulis kabupaten, lantas menanggapi, “Ya, apa yang dikatakan Pi-loji memang tidak salah. Selamanya Congpiauthau mengusahakan pengawalan tentu tidak terhindar dari menimbulkan korban jiwa. Nasib orang sering kali susah diduga, boleh jadi tahun ini Congpiauthau lagi apes sehingga setan iblis pun datang menggoda. Sebaiknya panggil saja serombongan Hwesio atau Tosu untuk mengadakan kenduri dan melenyapkan sial, kerja demikian tentu tidaklah sukar untuk dilaksanakan.”

Cin-lam merasa sebal melayani mereka, sambil mengiakan secara tak acuh ia lantas suruh orang pergi mengambil 100 tahil perak untuk dibagikan kepada kedua petugas pemerintah itu.

Akan tetapi opas Pi itu menolak, katanya dengan tertawa, “Congpiauthau adalah kawan sendiri, kedatangan kami hanya main-main saja, toh bukan menyelidiki perkara, mana boleh kami minta uang? Pula perkara jiwa sebanyak ini, andaikan kami diharuskan menanggung perkara ini rasanya juga tidak mau terima uang yang sedikit ini. Betul tidak? Hahahaha!”

Sungguh dalam hati Cin-lam gusar tak terkatakan, pikirnya, “Kurang ajar! Hanya seorang opas keroco saja berani menggunakan kesempatan ini untuk memeras padaku? Hm, aku Lim Cin-lam kalau mau membunuh seorang opas kecil sebagai kau adalah seperti memites mati seekor semut saja.”

“Ah, ucapan adik Pi terlalu sembrono, hendaklah Lim-congpiauthau jangan marah,” demikian Ang-suya lantas mengipasi dengan tertawa. “Perkara ini dibilang besar memang tidak besar, dikatakan kecil sesungguhnya juga tidak kecil, tentu pihak atasan akan tetap mengusut. Cuma Congpiauthau boleh jangan khawatir, dalam urusan dinas paling tidak hamba masih dapat memberi bantuan, asalkan sehelai laporan singkat menyatakan di sini telah terjadi penyakit menular, maka segala apa akan menjadi beres dan habis perkara.”

“Ya, betul juga, supaya sama-sama tidak repot,” ujar Cin-lam. Segera ia suruh orang mengambil pula 100 tahil perak. Dengan demikian barulah kedua orang she Pi dan Ang itu merasa puas, setelah mengucapkan terima kasih mereka lantas mohon diri.

Waktu Cin-lam mengantar keluar, dilihatnya kedua tiang benderanya sudah diangkat seluruhnya dari tempat altar, hatinya menjadi tambah kesal. Sampai saat ini musuh sudah membinasakan lebih dari 20 orang Piaukiok, tapi masih tetap tidak unjuk muka, juga belum menantang secara terang-terangan dan memperkenalkan diri.

Ia menoleh dan memandang papan merek Hok-wi-piaukiok yang terpasang di atas pintu itu. Pikirnya, “Hok-wi-piaukiok sudah beberapa puluh tahun malang melintang di dunia Kangouw, siapa duga hari ini akan hancur di tanganku?”

Mendadak terdengar suara derapan kuda dari jalan raya sana, beberapa ekor kuda dengan perlahan-lahan sedang mendatangi. Waktu Cin-lam membalik tubuh, dilihatnya seluruhnya ada empat ekor kuda, semuanya tanpa penunggang, tapi di punggung kuda-kuda itu ada orang tengkurap secara melintang. Diam-diam Cin-lam sudah dapat menerka beberapa bagian, cepat ia memapak maju. Benar juga, empat tubuh yang melintang di atas kuda itu adalah mayat semua dan dikenali adalah Tio, Ciu, Pang dan Ciang-piauthau yang kemarin ditugaskan pergi mengejar Su-piauthau itu, terang mereka terbunuh di tengah jalan, lalu mayat mereka ditaruh melintang di atas kuda, karena kuda-kuda itu kenal jalanan dan sekarang telah pulang sendiri.

Waktu Cin-lam periksa jenazah-jenazah itu, semuanya juga tiada tanda terluka apa-apa, senjata dan uang yang dibawa para Piauthau itu pun tiada yang kurang.

Dan baru saja Cin-lam menyuruh usung keempat jenazah itu ke dalam rumah, tiba-tiba datang lagi seorang pengemis berbaju compang-camping dan menggendong satu orang. Dari pakaiannya Cin-lam mengenali orang yang digendong itu adalah Ci-piausu. Diam-diam ia membatin, “Sekarang seluruh jenazah sudah lengkap kembali semua.”

Segera ia memberi tanda kepada seorang tukang kawal yang berdiri di sebelahnya agar menyelesaikan urusan-urusan di situ, lalu ia putar tubuh masuk ke dalam.

Sekonyong-konyong terdengar Ci-piauthau berseru dengan suara lemah, “Cong … Congpiauthau, dia … dia suruh aku ….”

Cin-lam terkejut dan girang pula, cepat ia berpaling dan mendekati sambil berkata, “Ci-hiante, kiranya engkau tidak mati.”

Waktu Ci-piauthau diangkat bangun, tertampak kedua matanya tertutup rapat dan mulut masih mendesiskan kata-kata, “Dia suruh aku me … menyampaikan padamu bahwa … bahwa Siaupiauthau ….”

“Ya, ya, Siaupiauthau kenapa?” Cin-lam menegas.

“Bahwa Siaupiauthau akan … akan … akan ….” berulang-ulang Ci-piauthau hendak menyambung ucapannya, akan tetapi napasnya sudah kempas-kempis dan tidak kuat lagi, setelah badan berkejang dan berkelojotan sejenak, lalu putus napasnya.

Cin-lam menghela napas panjang, air mata pun bercucuran dan menetes di atas tubuh Ci-piauthau yang sudah tak bernyawa itu.

Sambil memondong jenazah itu ke dalam, Cin-lam berkata, “Ci-hiante, aku bersumpah takkan menjadi manusia jika tidak membalaskan sakit hatimu. Cuma sayang … sayang kau mangkat terlalu cepat dan tidak sempat mengatakan nama pihak musuh.”

Sebenarnya Ci-piauthau itu tiada sesuatu yang menonjol di dalam Piaukiok, juga tiada sesuatu hubungan istimewa dengan Cin-lam, soalnya hati Cin-lam saking terharu sehingga meneteskan air mata, padahal rasa gusar lebih banyak daripada rasa dukanya.

Ia lihat Ong-hujin sedang berdiri di depan ruangan sambil memegang golok emas, tangan kanan menuding ke arah pelataran dan sedang memaki, “Kawanan bangsat yang rendah, hanya pandai main sembunyi-sembunyi dan mencelakai orang secara menggelap. Jika memang orang gagah dan kesatria sejati seharusnya datang ke Hok-wi-piaukiok secara terang-terangan, marilah kita bertempur secara blak-blakan, tapi pintarnya cuma main sergap dan kasak-kusuk seperti kawanan tikus, kaum pengecut demikian apakah bisa dianggap sebagai orang persilatan?”

“Niocu (istriku), apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?” tanya Cin-lam dengan suara tertahan sambil meletakkan jenazah Ci-piauthau ke atas tanah.

“Justru karena tidak melihat apa-apa,” kata Ong-hujin dengan suara keras. “Kawanan bangsat anjing itu tentu takut pada 17 jurus Pi-sia-kiam-hoat dan 108 gerakan Hoan-thian-ciang kita serta ….” ia putar golok emasnya dan menebas sekali ke udara, lalu menyambung, “takut juga kepada golok emas nyonya besar ini!”

Pada saat itulah mendadak terdengar di ujung atap rumah sana ada suara orang mendengus, berbareng sebentuk senjata gelap terus menyambar tiba dengan membawa suara mendenging. “Trang”, golok emas Ong-hujin tepat kena tertimpuk. Seketika nyonya itu merasa tangan kesemutan, golok terlepas dari cekalan, bahkan terus terpental ke pelataran.

Tanpa bicara lagi Cin-lam terus mengayun tangannya, kontan dua titik perak menyambar ke pojok atap sana, menyusul sinar hijau berkelebat, pedang dilolos pula, sekali lompat ia sudah berada di wuwungan rumah, dengan gerakan “Sau-thong-kun-mo” (menyapu bersih kaum iblis), di mana sinar pedang memancar, dengan cepat ia menusuk ke tempat datangnya senjata gelap musuh tadi.

Sudah beberapa hari Cin-lam menahan dongkolnya dan selama itu belum pernah melihat bayangan musuh, sekarang ada kesempatan berhadapan dengan musuh yang dinanti-nantikan, maka jurus serangannya itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak memberi ampun.

Siapa duga tusukannya itu ternyata mengenai tempat kosong, pojok wuwungan situ ternyata kosong melompong, tiada bayangan seorang pun. Sekali loncat segera Cin-lam melayang ke wuwungan rumah sebelah timur yang lebih tinggi, tapi bayangan musuh tetap tidak kelihatan. Dalam pada itu Ong-hujin dan Peng-ci juga sudah memburu tiba untuk memberi bantuan.

Karena senjatanya dipukul jatuh oleh senjata rahasia musuh, keruan Ong-hujin berjingkrak-jingkrak gusar, teriaknya murka, “Hayo, kawanan bangsat anjing, kalau berani keluarlah untuk bertempur mati-matian, hanya main sembunyi terhitung anak anjing macam apa itu?”

Karena tidak mendapat jawaban, kemudian ia tanya sang suami apakah musuh sudah lari dan bagaimana rupanya.

Namun Cin-lam hanya menggeleng kepala saja, sahutnya dengan suara perlahan, “Jangan bersuara keras supaya tidak mengejutkan orang lain!”

Setelah mereka bertiga mengelilingi dan mencari seputar wuwungan rumah dan tetap tidak menemukan jejak musuh, akhirnya mereka melompat kembali ke pelataran rumah sendiri.

“Sungguh gila, sampai-sampai dua batang panahku juga kena ditangkap musuh, tapi bayangannya saja tiada kelihatan, benar-benar luar biasa,” kata Cin-lam dengan suara rendah.

“Bisa demikian?” baru sekarang Ong-hujin terkejut.

“Dengan senjata gelap apakah golokmu tertimpuk?” tanya Cin-lam.

“Entah, bangsat benar!” maki Ong-hujin.

Segera kedua orang memeriksa sekitar pelataran dan tidak tampak sesuatu senjata rahasia musuh yang jatuh tadi. Hanya di bawah pohon sana banyak tersebar pasir-pasir batu bata yang lembut. Nyatalah bahwa musuh telah menggunakan sepotong kecil bata untuk menyambit golok Ong-hujin. Hanya sepotong kecil batu bata saja membawa tenaga sekuat itu, sungguh mengagumkan dan menyeramkan pula.

Kalau semula Ong-hujin masih mencaci maki, sesudah menyaksikan remukan batu bata di bawah pohon itu, rasa gusarnya tadi tanpa terasa berubah menjadi jeri. Ia termangu-mangu sejenak, tanpa bicara lagi kemudian ia masuk ke kamar.

Sesudah sang suami dan putranya juga sudah ikut masuk, cepat-cepat ia lantas menutup pintu kamar, katanya dengan suara bisik-bisik, “Kepandaian musuh terlalu lihai, kita bukan tandingannya, lantas … lantas bagaimana ….”

“Urusan sudah kadung begini, terpaksa kita harus minta bantuan kepada sahabat,” kata Cin-lam. “Saling membantu di waktu menghadapi kesukaran adalah soal jamak di dalam dunia persilatan.”

“Ya, sahabat baik kita memang tidak sedikit, tapi orang yang berkepandaian lebih tinggi daripada kita hanya terbatas beberapa orang saja,” ujar Ong-hujin. “Jika orang yang berkepandaian lebih rendah dari kita, andaikan diundang membantu juga tiada gunanya.”

“Betul juga pendapatmu,” kata Cin-lam. “Tapi orang banyak tentu akan punya pikiran banyak pula, tiada jeleknya jika kita berunding dengan para kawan.”

“Habis siapa saja yang akan kau undang?” tanya sang istri.

“Kita mengundang yang berdekatan dahulu, seperti para jago yang terdapat di kantor cabang Hangciu, Lamjiang dan Kwiciu, habis itu baru para kawan dunia persilatan di daerah Hokkian, Ciatkang, Kwitang dan Kangsay dapat kita undang pula, misalnya Tan-lokunsu di Unciu, Kio It-liong di Coanciu dan Ho Tiong, Ho-jiko dari Ciangciu, semuanya dapat kita kirim undangan.”

“Cara minta bala bantuan begini, kalau sampai tersiar di luaran benar-benar akan sangat merosotkan pamor Hok-wi-piaukiok,” ujar Ong-hujin dengan mengerut kening.

“Niocu, tahun ini kau berusia 39 tahun bukan?” tiba-tiba Cin-lam bertanya.

“Cis, dalam keadaan demikian kau masih tanya umurku segala?” semprot sang istri. “Aku shio Hou (macan), masakah kau lupa umurku berapa?”

“Ya, aku akan mengirimkan kartu undangan dengan alasan akan merayakan ulang tahunmu yang ke 40 ….”

“Hus, tanpa sebab apa-apa kenapa usiaku ditambah satu tahun? Memangnya kau kira aku belum cukup lekas tua?”

“Bilakah kau sudah tua?” ujar Cin-lam. “Rambutmu seujung pun belum ubanan. Ulang tahunmu hanya sebagai alasan saja supaya tidak dicurigai orang. Sesudah para teman berkumpul, diam-diam kita lantas memberitahukan maksud tujuan kita, dengan demikian nama baik Piaukiok kita tidak sampai tercemar.”

“Baiklah, terserah padamu. Dan hadiah apa yang akan kau berikan pada ulang tahunku?”

“Hadiah paling berharga, yaitu tahun depan kita akan mempunyai seorang putra yang gemuk!” bisik Cin-lam di telinga sang istri.

“Cis, sudah tua masih omong tak genah,” omel Ong-hujin dengan muka merah.

Cin-lam tertawa sambil tinggal pergi ke kantor untuk menyuruh juru tulis menyiapkan kartu undangan. Padahal perasaannya juga sangat tertekan, dia sengaja bergurau pada istrinya untuk sekadar mengurangi rasa gelisah sang istri.

Diam-diam ia pun menimbang dalam hati, “Air di tempat jauh susah memadamkan kebakaran di tempat dekat. Malam ini juga di dalam Piaukiok tentu akan terjadi apa-apa lagi, bila mesti menunggu datangnya kawan-kawan yang diundang entah setiba mereka nanti Hok-wi-piaukiok ini masih berdiri di dunia atau tidak?”

Setiba di depan kamar kantor, tiba-tiba tertampak dua orang pesuruh menyambutnya dengan air muka pucat ketakutan, kata mereka, “Wah, ce … celaka, Cong … Congpiauthau!”

“Ada apakah?” tanya Cin-lam dengan hati berdebar.

“Tadi tuan kasir menyuruh Lim Hok pergi membeli peti mati, tapi ba … baru saja sampai di pengkolan gang sana, Lim Hok lantas roboh dan mati,” kata salah seorang pesuruh.

“Bisa terjadi demikian? Dan di manakah dia?” Cin-lam menegas.

“Masih … masih di pengkolan gang sana,” kata pesuruh itu.

“Coba pergi mengusung pulang jenazahnya,” perintah Cin-lam. Diam-diam ia merasa sangat penasaran dan penuh dendam, ternyata di siang hari bolong musuh pun berani mengganas di tempat ramai.

Kedua pesuruh itu mengiakan, akan tetapi tidak menggeser selangkah pun.

“Kenapa sih?” desak Cin-lam.

Terpaksa seorang pesuruh berkata dengan suara gemetar, “Si … silakan Congpiauthau pergi … pergi melihatnya sendiri.”

Cin-lam tahu tentu telah terjadi sesuatu yang ganjil lagi. Sambil menjengek sekali ia lantas melangkah ke pintu gerbang. Tenyata di ambang pintu sudah berdiri tiga orang Piausu dan lima orang tukang kawal, dengan muka pucat ketakutan mereka sedang memandang ke luar pintu sana.

“Ada apakah?” tanya Cin-lam cepat. Tapi sebelum ada jawaban ia sudah tahu apa yang terjadi.

Kiranya di atas balok batu di depan pintu sana telah ditulis orang dengan darah sebanyak enam huruf besar yang berbunyi: “Keluar pintu lebih sepuluh langkah mati!”

Selain itu, kira-kira sepuluh langkah dari pintu tergaris pula satu jalur merah darah selebar dua-tiga senti dan panjang melintang.

“Sejak kapan orang menulis di situ? Apakah tiada seorang pun yang melihatnya?” tanya Cin-lam.

“Karena tadi Lim Hok diketahui mati di ujung gang sana, maka beramai-ramai kami telah mengerumun ke sana sehingga di depan pintu sini tiada seorang pun. Entah siapakah yang bergurau dan sengaja menulis demikian ini?”

Dengan penasaran Cin-lam lantas berteriak keras-keras, “Ini dia orang she Lim sudah bosan hidup, maka dia ingin tahu ‘keluar pintu lebih sepuluh langkah mati’ cara bagaimana jadinya!”

Habis itu dengan langkah lebar ia terus bertindak ke depan sana.

“He, Congpiauthau!” seru beberapa orang Piausu itu berbareng.

Namun Cin-lam tidak peduli lagi, langsung ia melangkahi garis merah darah itu. Dilihatnya huruf darah itu masih basah, segera ia gunakan kakinya untuk menghapus keenam huruf itu sehingga tak bisa dibaca lagi, kemudian barulah ia kembali. Katanya kepada para Piausu, “Ini hanya permainan gertak sambal saja, kita sudah biasa berkecimpung di Kangouw, kenapa mesti takut? Silakan kalian pergi membeli peti mati, sekalian mampir di Thian-ling-si untuk memanggil Hwesio-hwesio di sana supaya datang kemari mengadakan sembahyangan selama beberapa hari.”

Ketiga Piausu itu menyaksikan sang pemimpin melalui garis darah itu dan tetap selamat tak kurang apa pun, segera mereka pun tidak takut lagi, sambil mengiakan mereka lantas betulkan pakaian dan siapkan senjata, lalu keluar bersama. Cin-lam menyaksikan mereka sudah melampaui garis darah itu dan sudah membelok ke jalan sana, habis itu barulah ia masuk ke dalam.

Sampai di kantor, ia berkata kepada juru tulis Wi-siansing agar menulis beberapa kartu undangan kepada para sobat handai agar datang ikut merayakan ulang tahun sang istri. Dan baru saja juru tulis itu menanyakan hari ulang tahunnya serta alamat para tamu yang akan diundang, sekonyong-konyong terdengar suara orang berlari mendatangi, cepat Cin-lam menoleh, tahu-tahu seorang telah roboh tidak jauh dari tempatnya.

Dengan terkejut Cin-lam memburu maju untuk memeriksanya, kiranya orang itu adalah Tik-piauthau, salah seorang Piausu yang disuruh pergi membeli peti mati tadi. Badan Tik-piauthau terasa masih berkelojotan, cepat Cin-lam membangunkannya dan bertanya, “Tik-hiante, ada apakah?”

“Me … mereka sudah mati semua, ha … hanya aku saja yang dapat berlari pulang,” sahut Tik-piauthau dengan suara lemah.

“Bagaimana macamnya musuh?” tanya Cin-lam lagi.

“En … entah, tidak … tidak ….” hanya sekian jawaban Tik-piauthau, lalu badannya berkejangan sejenak terus putus napasnya.

Kejadian itu hanya sebentar saja sudah diketahui oleh semua orang di dalam Piaukiok. Ong-hujin dan Peng-ci juga lantas keluar. Terdengar setiap orang secara bisik-bisik sedang saling membicarakan tentang tulisan “keluar pintu lebih sepuluh langkah mati” di luar pintu itu.

“Biar kupergi membawa pulang jenazah kedua Piausu itu,” kata Cin-lam kemudian.

“Jangan … jangan pergi sendiri, Congpiauthau,” seru Wi-siansing si juru tulis, “asal ada hadiah tentu ada pemberani. Nah, sia … siapakah yang siap pergi membawa pulang jenazah-jenazah itu akan mendapat hadiah 30 tahil perak.”

Akan tetapi meski dia sudah mengulangi dua kali lagi seruannya itu, ternyata tiada seorang pun yang berani tampil ke muka. Sebaliknya mendadak terdengar Ong-hujin berteriak, “He, ke mana perginya anak Peng? Anak Peng! An … anak Peng!”

Melihat Peng-ci lenyap, semua orang ikut khawatir dan beramai-ramai lantas memanggil ke sana dan kemari. Syukurlah lantas terdengar suara Peng-ci bergema di luar pintu sana, “Aku berada di sini.”

Girang semua orang tak terkatakan, cepat mereka memburu keluar. Terlihatlah perawakan Peng-ci yang tinggi itu sedang membelok datang dari jalan sana dengan kedua bahunya masing-masing memanggul satu jenazah, yaitu kedua orang Piausu yang dilaporkan mati di jalan raya sana.

Cepat Cin-lam dan sang istri berlari memapak maju ke sebelah garis merah dengan senjata terhunus untuk melindungi pulangnya Peng-ci.

Serentak semua orang bersorak memuji, “Siaupiauthau benar-benar seorang kesatria muda yang gagah berani!”

Diam-diam Cin-lam dan Ong-hujin juga merasa sangat senang. “Anak muda memang sembrono, betapa pun kedua paman Piauthau ini toh sudah meninggal, kenapa kau mesti menghadapi bahaya sebesar ini?” omel Ong-hujin.

Peng-ci hanya tersenyum saja. Tapi di dalam hati ia merasa tidak enak, pikirnya, “Gara-gara perbuatanku yang telah menewaskan seorang, akibatnya jiwa sedemikian banyak telah berkorban bagiku, kalau sekarang aku sendiri berbalik takut mati, apakah aku ada muka untuk menjadi manusia lagi?”

Pada saat itulah sekonyong-konyong di ruangan belakang juga ada orang berteriak, “He, tanpa sebab apa-apa kakek Hoa mendadak juga mati?”

Seorang petugas bernama Lim Thong dengan muka pucat dan ketakutan tampak berlari keluar dan melapor, “Congpiauthau, kakek Hoa tadi melalui pintu belakang hendak pergi belanja ke pasar, tahu-tahu dia mati di tempat kira-kira belasan langkah dari pintu. Di … di pintu belakang sana juga terdapat … terdapat enam huruf darah seperti di pintu depan tadi.”

Kakek Hoa yang dikatakan itu adalah koki atau ahli masak Hok-wi-piaukiok, kepandaiannya masak dalam beberapa jenis daharan benar-benar sangat memesonakan dan merupakan salah satu modal Lim Cin-lam untuk memelet hati kaum pembesar dan bangsawan. Sekarang mendengar koki pandai itu pun terbunuh keruan hatinya tergetar pula. Pikirnya, “Dia hanya seorang koki biasa saja, toh bukan jago kawal atau petugas Piaukiok yang aktif, mengapa musuh sedemikian keji? Padahal menurut tata krama dunia Kangouw, di waktu hendak merampas barang kawalan, para jago kawal dapat dibunuh, tapi tukang kereta, kuli angkut dan sebagainya biasanya tidak boleh dibunuh. Memangnya apakah sekarang segenap penghuni Hok-wi-piaukiok ini akan dihabiskan?”

Ketika melihat semua orang dalam keadaan panik, cepat ia berseru, “Semua orang harus tenang, jangan gelisah. Hm, kawanan bangsat itu hanya pandai main sergap secara sembunyi-sembunyi. Padahal kalian juga menyaksikan sendiri, bukankah kawanan bangsat itu pun tidak berani mengapa-apakan diriku suami istri dan anak Peng ketika kami melangkah keluar lebih dari sepuluh tindak?”

Semua orang mengiakan. Namun demikian toh tiada seorang pun yang berani melangkah keluar pintu lagi. Cin-lam dan istrinya juga saling pandang dengan sedih, mereka benar-benar mati kutu dan tak berdaya.

Malamnya Cin-lam mengatur dinas jaga para Piausu itu. Siapa duga ketika dia keluar mengontrol, 20-an orang Piausu itu ternyata duduk berkerumun di ruang tengah, nyata tiada seorang pun yang berani berjaga di luar, bahkan pergi ke kamar kecil sendirian juga perlu minta ditemani.

Waktu tampak keluarnya Cin-lam, para Piausu itu sama berdiri dengan kikuk, tapi tetap tiada seorang pun yang berani melangkah ke luar. Diam-diam Cin-lam juga maklum bahwa sesungguhnya pihak musuh memang terlalu lihai, di pihak sendiri sudah jatuh korban sebanyak ini dan dirinya ternyata tak berdaya sama sekali, pantas juga jika semua orang menjadi jeri. Sebab itulah ia malah menghiburkan para Piausu itu, bahkan suruh menyediakan arak dan daharan serta mengiringi mereka makan minum di situ.

Tapi lantaran hati merasa kesal dan tertekan, maka siapa pun jarang bicara, mereka hanya minum arak saja tanpa mengobrol, tidak lama kemudian beberapa orang lantas terpulas mabuk.

Besok paginya dua orang dusun datang mengantarkan sayur-sayuran. Karena penghuni Piaukiok cukup banyak, maka setiap hari diperlukan dua pikul sayur-sayuran dan biasanya sudah diborong oleh tukang sayur tertentu.

Begitulah kedua tukang sayur itu terima uang lalu mohon diri. Diam-diam semua orang lantas berkumpul di pintu belakang untuk mengikuti apa yang akan terjadi. Ternyata kedua tukang sayur itu dengan memikul keranjang kosong sudah pergi beberapa puluh langkah jauhnya dan tiada timbul sesuatu yang aneh. Mereka pikir tulisan tentang “keluar pintu lebih sepuluh langkah mati” itu tentu hanya berlaku bagi orang-orang Piaukiok dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar.

Tampaklah kedua tukang sayur itu sudah menghilang di antara orang banyak yang berlalu-lalang di jalan raya. Sekonyong-konyong terdengarlah suara teriakan ramai di tengah jalan sana dan orang-orang pun lantas menyingkir. Waktu orang-orang Piaukiok memandang dari jauh, ternyata kedua tukang sayur itu sudah menggeletak di tengah jalan raya, dua pikulannya yang kosong itu terlempar di samping.

Dengan demikian maka di seluruh pelosok kota Hokciu lantas tersiar kabar bahwa Hok-wi-piaukiok adalah rumah maut sehingga tiada seorang pun yang berani berkunjung lagi ke perusahaan pengawalan itu.

Siang harinya lewat tengah hari tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai, ada beberapa penunggang kuda telah berlari keluar dari dalam Piaukiok. Waktu Cin-lam suruh periksa, kiranya lima orang Piausu yang merasa cemas menghadapi keadaan demikian itu diam-diam mereka telah pergi tanpa pamit.

“Ya, orang she Lim tidak mampu melindungi saudara-saudara di kala datangnya bencana, jika kalian merasa lebih aman untuk pergi, maka bolehlah silakan saja,” ujar Cin-lam dengan menghela napas.

Namun para Piausu yang lain lantas ramai membicarakan kawan-kawan mereka yang kabur secara pengecut dan tidak setia kawan itu.

Tak terduga pada petangnya lima ekor kuda pulang lagi dengan memuat lima sosok tubuh yang sudah tak bernyawa. Kelima Piausu itu maksudnya hendak meninggalkan tempat maut tapi malah mengantarkan nyawa lebih dahulu.

Melihat kelima mayat itu, sungguh rasa dendam Peng-ci tak tertahankan lagi, dengan pedang terhunus ia terus terjang keluar dan berdiri beberapa langkah di luar garis merah darah itu, teriaknya dengan suara lantang, “Seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab. Orang Sucwan she Ih itu memang aku Lim Peng-ci yang membunuhnya dan tiada sangkut pautnya dengan orang lain. Jika ingin menuntut balas boleh silakan maju padaku saja, biarpun mati aku takkan menyesal. Tapi cara kalian membunuh orang-orang yang tak berdosa begini terhitung kesatria macam apa? Ini dia Lim Peng-ci berada di sini, kalian boleh datang membunuh aku saja! Jika kalian tidak berani unjuk muka berarti kalian adalah kawanan anjing pengecut!”

Begitulah, makin berteriak makin keras, malahan Peng-ci terus membuka baju dan tepuk-tepuk dada. Ia menantang dan sumbar-sumbar sambil mencaci maki. Orang-orang yang lalu hanya memandang heran ke arahnya dan tiada seorang pun yang berani mendekati Piaukiok maut itu.

Ketika mendengar suara putranya, Cin-lam suami istri juga lantas berlari keluar. Memangnya mereka berdua selama dua hari ini pun hanya menahan rasa dendam belaka, sekarang mendengar putranya memaki dan menantang musuh, segera mereka pun ikut membentak dan memaki.

Para Piauthau saling pandang dengan rasa kagum kepada keberanian ketiga orang itu. Terutama sang majikan muda yang biasanya lemah lembut seperti perempuan, sekarang ternyata juga gagah berani dan menantang musuh, benar-benar luar biasa.

Namun demikian, meski mereka bertiga sudah mencak-mencak dan menantang sekian lamanya, suasana di sekeliling situ tetap sunyi senyap saja tanpa sesuatu reaksi apa-apa.

“Huh, keluar pintu lebih sepuluh langkah mati apa segala? Ini, aku justru melangkah dua puluh langkah ke sini, ingin kulihat apa yang kau mampu perbuat atas diriku!” demikian teriak Peng-ci sambil berjalan mondar-mandir jauh di luar garis darah itu dengan pedang terhunus dan lagak angkuh.

“Bagus!” angguk Ong-hujin. “Memangnya kawanan anjing itu hanya berani pada yang lemah dan takut kepada yang keras, coba apakah mereka berani pada anakku?”

Habis itu Peng-ci lantas diajaknya masuk kembali ke rumah. Saking penasaran sampai badan Peng-ci gemetar, setiba di dalam kamar ia tidak tahan lagi, ia menjatuhkan diri di atas dipan terus menangis keras-keras.

Cin-lam cukup paham perasaan putranya itu. Sebabnya Peng-ci sesumbar dan menantang musuh di depan pintu adalah karena timbul dari rasa gusar dan dendamnya. Hanya saja usianya masih muda, pikirannya masih kekanak-kanakan. Segera ia mengelus kepala Peng-ci dan berkata, “Kau sungguh berani, nak, kau tidak malu sebagai putra keluarga Lim kita. Namun musuh tetap tak mau unjuk muka, apa daya kita? Boleh mengaso saja sebentar.”

Malamnya sesudah makan, Peng-ci mendengar ayah dan ibunya sedang bisik-bisik membicarakan beberapa orang Piausu yang mempunyai pikiran aneh, yaitu ingin menggangsir, membuat jalan di bawah tanah yang dapat menembus jauh di luar garis darah itu untuk melarikan diri, kalau tidak mereka merasa tidak aman, lambat atau cepat pasti juga akan binasa.

Terdengar ibunya hanya mendengus saja dan anggap pikiran para Piausu itu terlalu muluk-muluk, jika mereka melarikan diri tentu nasib mereka takkan berbeda dengan Piausu yang telah kabur dan kemudian pulang kembali sudah menjadi mayat.

Kemudian ternyata para Piausu itu hanya omong di mulut saja, tapi sebenarnya tiada seorang pun berani mempraktikkan teori mereka itu untuk melarikan diri.

Karena terlalu lelah, siang-siang mereka bertiga lantas tidur. Sedangkan para Piausu benar-benar sudah putus asa, mereka hanya pasrah nasib saja dan tiada seorang pun pergi meronda segala.

Sampai tengah malam, tiba-tiba Peng-ci merasa pundaknya ditepuk-tepuk orang dengan perlahan, cepat ia melompat bangun dan segera hendak melolos pedang yang terselip di bawah bantal. Tapi lantas terdengar suara mendesis ibunya, “Ssst, anak Peng, akulah, jangan bersuara!”

Hati Peng-ci yang tergetar tadi menjadi tenang kembali. Ia menyapa perlahan. Namun ibunya lantas berbisik padanya, “Ayahmu telah keluar sejak tadi dan belum pulang, marilah kita pergi mencarinya.”

“Ke mana ayah?” tanya Peng-ci dengan khawatir.

“Entah,” sahut sang ibu.

Dengan membawa senjata perlahan mereka lantas keluar kamar. Lebih dahulu mereka melongok ke ruang depan, suasana di sana terang benderang, belasan orang Piausu sedang main dadu dan berjudi kartu. Dari putus asa rupanya para Piausu itu menjadi masa bodoh dan pasrah nasib.

Segera Ong-hujin mengajak pergi Peng-ci mencari lagi ke tempat lain, tapi bayangan Cin-lam tetap tidak kelihatan. Mau tak mau ibu dan anak itu mulai khawatir dan gelisah. Namun demikian mereka tidak berani mengejutkan para Piausu, sebab kalau mengetahui Congpiauthau mereka menghilang, tentu keadaan akan panik dan tambah runyam.

“Paling akhir di manakah kau bertemu dengan ayahmu?” tanya Ong-hujin.
 
Hina Kelana
Bab 5. Ilmu Pukulan “Cui-sim-ciang” dari Jing-sia-pay
Oleh Jin Yong



Baru saja Peng-ci hendak menjawab, sekonyong-konyong di kamar senjata sebelah sana ada suara keletik yang perlahan. Dari celah-celah jendela juga tampak ada sinar lampu. Cepat ia melompat ke sana, ia colok kertas jendela dan mengintip ke dalam, segera ia berseru girang, “Ayah, kiranya engkau berada di sini?”

Waktu itu Cin-lam mestinya lagi asyik entah apa yang dikerjakan dan menghadap ke sebelah sana, demi mendengar seruan Peng-ci segera ia berpaling. Hati Peng-ci tergetar demi lihat air muka sang ayah yang menampilkan rasa kejut dan ngeri, wajahnya yang berseri-seri karena telah menemukan sang ayah seketika lenyap, mulutnya sampai ternganga tak sanggup bicara.

Ong-hujin lantas membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalam. Dilihatnya darah memenuhi lantai, tiga buah bangku panjang berjajar dan di atasnya telentang sesosok tubuh manusia yang telanjang bulat, bagian perutnya telah dibedah. Waktu diperhatikan kiranya jenazah itu adalah Ho-piauthau yang siangnya telah kabur bersama kawan-kawannya, lalu pulang kembali dalam keadaan tak bernyawa di atas kudanya itu.

Dalam pada itu Peng-ci juga sudah ikut masuk ke dalam serta menutup pula pintu kamar.

Dari rongga dada jenazah yang telah dibedah itu Cin-lam mencomot keluar sebuah hati manusia dan berkata, “Hati ini sudah tergetar pecah menjadi beberapa bagian, ternyata … ternyata memang ….”

“Memang “Cui-sim-ciang” (pukulan penghancur hati) dari Jing-sia-pay!” sambung Ong-hujin.

Cin-lam mengangguk dan terdiam.

Baru sekarang Peng-ci tahu bahwa sebabnya sang ayah menyembunyikan diri kiranya adalah untuk membedah jenazah untuk mencari tahu sebab musabab kematiannya.

“Segala obrolan tentang setan dan arwah gentayangan segala memangnya aku tidak percaya, sekarang menyaksikan hati yang remuk ini barulah aku yakin apa yang sudah terjadi dan tidak perlu disangsikan lagi,” kata Cin-lam kemudian.

Lalu ia membungkus jenazah itu dengan kain minyak yang sudah tersedia dan ditaruhnya di pojok kamar. Setelah membersihkan noda darah tangannya, bersama istri dan anaknya kemudian mereka pulang ke kamar.

“Sekarang sudah jelas pihak lawan memang benar adalah jago Jing-sia-pay,” kata Cin-lam. “Lantas bagaimana pendapatmu, Niocu?”

Dengan gusar Peng-ci lantas berseru, “Urusan ini adalah gara-garaku, biarlah besok juga anak akan menantang untuk bertempur mati-matian padanya, jika tidak mampu menandingi, biarlah anak dibunuh olehnya saja.”

Namun Cin-lam menggeleng kepala, katanya, “Sekali pukul saja orang ini dapat menghancurkan hati manusia tanpa meninggalkan sesuatu bekas luka di luar badan, nyata ilmu silat orang ini adalah tokoh kesatu atau kedua dalam Jing-sia-pay. Jika dia mau membunuh kau tentu sudah siang-siang dilakukan olehnya. Kukira musuh justru bermaksud keji dan sengaja mempermainkan kita.”

“Apa tujuannya yang sesungguhnya?” tanya Peng-ci.

“Bangsat itu hendak menggoda kita seperti kucing mempermainkan tikus agar si tikus ketakutan setengah mati dan akhirnya binasa sendiri, dengan demikian barulah ia merasa puas,” kata Cin-lam.

“Jadi dalam pandangannya Hok-wi-piaukiok kita ini dianggapnya barang sepele saja?” seru Peng-ci dengan gusar.

“Ya, memang kita dianggap sepele olehnya,” sahut Cin-lam dengan menghela napas.

“Boleh jadi dia gentar kepada 108 jurus Hoan-thian-ciang ayah, kalau tidak mengapa tidak berani menampakkan diri dan cuma main sergap saja?”

“Anak Peng, kepandaian ayah memang lebih dari cukup untuk menghadapi kawanan penjahat dari kalangan Hek-to, tapi kalau dibandingkan dengan Cui-sim-ciang orang ini terang ayah ketinggalan jauh. Ya, selamanya aku pun tidak mau menyerah kepada siapa pun juga, tapi demi melihat hati Ho-piauthau tadi, aku … aku …. Ai!”

Melihat semangat sang ayah sedemikian lesu, Peng-ci tidak berani banyak bicara lagi.

Maka Ong-hujin lantas berkata, “Jika musuh benar-benar begini lihai, seorang laki-laki harus berani maju maupun mundur, biarlah sementara ini kita menghindari saja.”

“Ya, aku pun berpikir demikian,” ujar Cin-lam.

“Malam ini juga kita lantas berangkat ke Lokyang, toh kita sudah tahu asal usul musuh, untuk membalas dendam belumlah terlambat biarpun sepuluh tahun lagi,” kata Ong-hujin.

“Benar,” sahut Cin-lam. “Ayah mertua sangat luas pergaulannya, tentu beliau akan dapat memberi saran-saran baik kepada kita. Marilah kita lantas berbenah yang perlu saja dan segera berangkat.”

“Lalu orang-orang yang kita tinggalkan di sini tanpa pimpinan lantas bagaimana mereka nanti?” tanya Peng-ci.

“Musuh toh tiada permusuhan apa-apa dengan mereka, asal kita sudah kabur, tentu orang-orang yang tinggal di sini akan menjadi selamat malah,” kata Cin-lam.

Peng-ci pikir ucapan sang ayah cukup beralasan, sebabnya jatuh korban sebanyak ini sebenarnya juga lantaran perbuatan dirinya saja, jika dirinya sudah kabur, tentu musuh takkan memusuhi para Piausu dan tukang kawal yang tak berdosa itu.

Begitulah segera ia kembali ke kamar sendiri untuk berbenah seperlunya. Selamanya dia belum pernah meninggalkan rumah ke tempat jauh, ia pikir keberangkatan ke Lokyang sekali ini bukan mustahil akan memberi kesempatan kepada musuh untuk membakar ludes Hok-wi-piaukiok ini, maka ia merasa sayang untuk meninggalkan miliknya. Sedapat mungkin ia hendak membawa serta barang-barang yang bisa dibawa sehingga akhirnya ia mengumpulkan dua buntalan besar, walaupun demikian masih dirasakan banyak barang-barang kesayangannya yang belum ikut terbawa, maka sekalian ia lantas ambil pula sebuah kuda kemala yang berada di atas meja dan sehelai kulit macan tutul hasil buruannya dahulu. Dengan memanggul dua buntalan besar itulah ia menuju ke kamar ayah-bundanya.

Melihat begitu, Ong-hujin merasa geli. Katanya, “Kita ini hendak mengungsi dan bukannya pindah rumah. Buat apa membawa barang-barang begitu banyak?”

Diam-diam Cin-lam menghela napas dan goyang kepala. Ia maklum putranya sejak kecil sudah hidup senang dan serbakecukupan, sekarang mendadak mengalami kesukaran, pantas juga jika anak muda itu menjadi bingung. Tanpa terasa timbullah rasa kasih sayangnya, katanya, “Di rumah Gwakong (kakek luar) tidak kekurangan barang apa pun, tidak perlu kau membawa barang sebanyak ini. Asal membawa sedikit bekal saja dan sedikit benda-benda berharga yang ringkas, sepanjang jalan juga banyak terdapat kantor-kantor cabang kita, masakah kita khawatir akan kekurangan ongkos? Buntalanmu harus makin kecil makin baik agar bila perlu bertempur beban kita juga akan lebih enteng.”

Walaupun merasa ogah-ogahan, terpaksa Peng-ci meletakkan juga buntalannya itu.

“Kita menunggang kuda dan secara terang-terangan keluar dari pintu depan atau kabur melalui pintu belakang secara diam-diam?” tanya Ong-hujin.

Cin-lam tidak menjawab. Ia duduk bersandar di kursi malas sambil mengisap pipa cangklongnya, sampai sekian lamanya barulah ia membuka mata dan berkata, “Anak Peng, coba pergi memberitahukan segenap penghuni Piaukiok kita ini agar semuanya juga berbenah seperlunya, besok pagi-pagi kita akan pergi semua dari sini. Suruh kasir memberi pesangon pula kepada semua orang, katakan kepada mereka bila kelak penyakit menular ini sudah lenyap barulah kita akan pulang kembali.”

Peng-ci mengiakan. Diam-diam ia merasa heran mengapa mendadak sang ayah ganti haluan lagi.

Ong-hujin lantas bertanya, “Kau maksudkan kita akan bubar semua dari sini? Habis siapa yang akan menjaga Piaukiok ini?”

“Tidak perlu dijaga,” kata Cin-lam. “Rumah ini telah dianggap sebagai gedung maut, siapa lagi yang berani mengantarkan nyawa ke sini? Pula seperginya kita bertiga, masakah orang-orang yang tertinggal di sini tidak ingin pergi juga?”

Begitulah Peng-ci lantas keluar untuk menyampaikan maklumat ayahnya itu. Keruan semua orang menjadi panik seketika.

Setelah Peng-ci keluar barulah Cin-lam berkata, “Niocu, kami ayah dan anak akan menyamar sebagai tukang kawal, maka kau pun menyaru sebagai kaum pelayan saja. Besok pagi-pagi beberapa puluh orang kita lantas bubar dan kabur serentak, betapa pun musuh akan bingung juga yang manakah yang harus diubernya!”

“Bagus sekali akal ini,” puji Ong-hujin. Segera ia pergi mengambil dua setel pakaian tukang kawal, setelah Peng-ci sudah kembali, segera ayah dan anak itu disuruh ganti baju. Ia sendiri pun salin pakaian hijau dengan ikat kepala dari kain kembang sehingga mirip kaum pelayan pekerja kasar.

Peng-ci yang merasa runyam, baju yang dipakainya baunya tidak kepalang, tapi apa boleh buat, terpaksa ia bertahan sekuat mungkin.

Esok paginya baru saja fajar menyingsing, segera Cin-lam suruh membuka pintu lebar, katanya kepada para pegawainya, “Tahun ini perusahaan kita lagi apes, terpaksa kita harus menghindari untuk sementara. Jika saudara-saudara masih ingin bekerja, bolehlah datang ke Hangciu, Lamjiang atau kota lain yang terdapat kantor cabang kita, di sana kalian tentu akan diterima dengan baik. Nah, sekarang boleh kita berangkat saja.”

Begitulah hampir seratus orang serentak lantas mencemplak ke atas kuda, lalu berbondong-bondong menerjang keluar.

Sesudah menggembok pintu, sekali bentak Cin-lam dan orang banyak terus terjang keluar garis darah maut itu. Orang banyak maju serentak rasanya menjadi tidak takut lagi, semuanya pikir asalkan bisa lebih cepat meninggalkan gedung maut itu tentu akan lebih aman.

Maka terdengarlah suara derapan kuda yang berdetak-detak riuh ramai sama menuju ke pintu gerbang kota utara. Orang-orang itu sama sekali tidak punya pendirian, ketika melihat temannya menuju ke utara, segera yang lain juga melarikan kuda mereka ke utara.

Cin-lam sendiri lantas memberi tanda kepada istri dan putranya supaya berhenti pada persimpangan jalan dalam kota sana. Katanya dengan suara tertahan, “Biarlah mereka menuju ke utara, kita berbalik putar haluan ke selatan saja.”

“Bukankah kita akan ke Lokyang? Mengapa menuju ke selatan?” tanya sang istri.

Namun Cin-lam menjawab, “Musuh tentu menduga kita akan pergi ke Lokyang dan pasti akan mencegat kita di pintu utara, tapi sekarang kita justru menuju ke selatan, kita putar satu lingkaran sejauh mungkin baru kemudian balik ke utara, biarkan bangsat itu menubruk tempat kosong.”

“Ayah,” mendadak Peng-ci memanggil.

“Ada apa?” sahut Cin-lam.

Tapi pemuda itu malah terdiam. Selang sejenak, kembali ia memanggil, “Ayah!”

“Apa yang hendak kau katakan boleh katakan saja,” ujar Ong-hujin.

“Ayah, kupikir kita lebih baik tetap melalui pintu utara saja,” kata Peng-ci. “Bangsat anjing itu telah sekian banyak membinasakan kawan-kawan kita, kalau kita tidak melabrak dia, rasa dendam ini benar-benar tak terlampiaskan.”

“Sakit hati ini sudah tentu akan kita balas,” kata Ong-hujin. “Tapi melulu sedikit kepandaianmu ini apakah kau mampu melawan Cui-sim-ciang orang yang lihai itu?”

“Paling-paling juga seperti Ho-piauthau, biarkan pukulannya menghancurkan jantungku saja,” ujar Peng-ci dengan penasaran dan penuh dendam.

Dengan muka merah padam Cin-lam mendengus, “Hm, keluarga Lim kita tiga-empat turunan jika semuanya meniru kau suka gagah-gagahan, maka tak perlu direcoki orang juga Hok-wi-piaukiok akan bangkrut dengan sendirinya.”

Melihat sang ayah menjadi gusar, Peng-ci tidak berani bicara lagi. Terpaksa ikut ayah-ibunya memutar ke arah selatan. Sekeluarnya kota, mereka lantas membelok ke sebelah barat laut untuk kemudian menyeberangi Bankang (sungai Ban) terus ke Lamtay, melintasi bukit Katnia dan akhirnya sampai di kota Engthay.

Perjalanan sehari penuh itu boleh dikata tanpa berhenti. Waktu mereka mendapatkan hotel dan mengaso, sungguh mereka sudah terlalu lelah. Untungnya sepanjang jalan ternyata tidak mengalami rintangan apa-apa. Sesudah makan malam barulah Cin-lam merasa lega, katanya perlahan, “Akhirnya dapatlah melepaskan diri dari godaan bangsat itu.”

“Nak, orang tak bisa sabar bukanlah orang gagah, kalau sakit hati tidak dibalas, lebih-lebih bukan kaum kesatria,” kata Ong-hujin kepada putranya.

“Benar,” sahut Peng-ci. “Kukira lawan masih juga gentar kepada ayah, kalau tidak buat apa sejak mula sampai akhir dia tidak berani terang-terangan menantang kita.”

“Ah, anak kecil tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit,” ujar Cin-lam sambil menggeleng. “Sudahlah, tidur saja!”

Besok pagi-pagi mereka sudah bangun. Cin-lam lantas berseru memanggil, “Pelayan! Pelayan!”

Namun hotel itu ternyata sunyi senyap tanpa jawaban apa-apa.

Ia coba keluar kamar dan berseru memanggil pula. Tapi mendadak tampak di pelataran dalam sana menggeletak satu orang yang dikenali sebagai pelayan yang melayani mereka kemarin. Cin-lam terkejut, cepat ia memburu maju untuk memeriksanya. Ternyata pelayan itu sudah mati, badannya sudah dingin, suatu tanda sudah mati untuk sekian lamanya. Melihat keadaannya, mirip benar dengan kematian orang-orang Piaukiok yang terkena Cui-sim-ciang.

Dengan hati berdebur-debur keras Cin-lam menuju ke ruangan depan, seorang pun tidak kelihatan. Waktu membuka kamar tidur sana, tertampak kuasa hotel suami istri bersama anaknya yang berumur empat-lima tahun itu semuanya sudah mati di atas tempat tidur. Mendadak terdengar Ong-hujin sedang berteriak, “Wah, tamu-tamu ini sudah mati semua!”

Waktu Cin-lam berpaling, tertampak muka sang istri dan putranya pucat sebagai mayat. Beberapa kamar tamu tampak terpentang pintunya, penghuninya sudah mati semua, ada yang menggeletak di atas ranjang, ada yang tersungkur di lantai. Hotel sebesar itu kecuali rombongannya bertiga, selebihnya tak peduli kuasa hotel atau tamu, seluruhnya sudah binasa.

Sementara itu di luar hotel terdengar suara orang lalu-lalang semakin berisik, pasar pagi sudah mulai ramai.

“Marilah kita lekas pergi dari sini,” cepat Cin-lam mengajak dan segera mendahului berlari ke belakang. Tapi setiba di kandang kuda ternyata seluruh binatang-binatang tunggangan itu juga sudah mati, begitu pula tiga ekor kuda miliknya.

Perlahan-lahan Cin-lam membuka pintu belakang dan membiarkan istri dan putranya keluar dahulu, lalu ia pun menyelinap keluar sambil merapatkan kembali daun pintu. Dengan langkah lebar mereka bertiga lantas berjalan ke jurusan barat laut.

Kira-kira lebih dari 20 li, mereka membelok ke suatu jalan kecil yang berliku-liku. Setelah belasan li lagi barulah mereka mengaso dan sarapan di suatu warung nasi kecil di tepi jalan.

Bila teringat kepada keadaan hotel yang penuh mayat tadi, Peng-ci menjadi tidak ada nafsu makan lagi. Semangkuk nasi hanya disumpit dua kali saja lantas ditaruhnya kembali ke atas meja. Katanya, “Aku tiada nafsu makan, ibu.”

Ong-hujin memandang sekejap kepada pemuda itu dan tidak menanggapinya. Sejenak kemudian ia menggumam sendiri, “Kita bertiga seperti orang mati semua! Masakah orang membunuh semalam suntuk di sekitar kita, malah sama sekali kita bertiga tidak mendengar apa-apa.”

Cin-lam menghela napas. Ia habiskan setengah mangkuk nasi barulah berkata, “Cui-sim-ciang dari Jing-sia-pay itu memang adalah ilmu pukulan tanpa suara, konon waktu memukul sedikit pun tidak mengeluarkan suara apa-apa, yang terkena pukulannya juga tidak sempat bersuara sedikit pun dan segera binasa. Sungguh suatu ilmu pukulan yang sangat keji dan ganas.”

“Untuk bisa mencapai tingkatan kepandaian setinggi itu harus berlatih berapa lamanya?” tanya Peng-ci.

“Kukira sedikitnya juga perlu 30-40 tahun lamanya,” sahut Cin-lam.

“Tentu si kakek Sat itulah orangnya,” seru Peng-ci sambil berbangkit. “Aku … aku telah menolong cucu perempuannya dengan maksud baik, siapa tahu ….” sampai di sini air matanya lantas berlinang-linang hampir menetes dengan rasa penasaran.

“Ya, aku pun sudah menduga pada orang tua itu,” kata Cin-lam. “Hm, kalau orang-orang Piaukiok kita terbunuh boleh dikatakan sebagai menuntut balas, tapi para tamu hotel yang tak berdosa juga telah dibunuh olehnya, lalu apa alasannya?”

“Padahal Jing-sia-pay juga terhitung golongan terhormat di dunia persilatan, tapi malah melakukan perbuatan tidak pantas demikian ini, bukan saja mereka adalah musuh Hok-wi-piaukiok kita, bahkan … bahkan boleh dikatakan adalah musuh bersama setiap orang persilatan,” ujar Ong-hujin.

“Biarkan saja, perbuatan mereka yang sewenang-wenang dan keterlaluan ini akhirnya pasti akan menerima ganjarannya yang setimpal!” kata Cin-lam. “Nak, habiskan mangkuk nasimu itu.”

“Aku tidak nafsu menghabiskannya,” sahut Peng-ci sambil menggeleng.

“Pelayan, bayar!” segera Cin-lam berseru. Tapi meski sudah diulangi lagi tetap tiada jawaban.

Ong-hujin juga ikut memanggil, namun pemilik warung nasi tetap tidak kelihatan. Dengan cepat ia membuka buntalan dan mengeluarkan goloknya, segera ia berlari ke ruangan belakang. Ternyata laki-laki penjual nasi itu sudah menggeletak di sana, di samping pintu juga merebah seorang wanita, yaitu istri penjual nasi. Beberapa saat sebelumnya suami istri masih sibuk melayani tamunya, tapi dalam waktu singkat saja mereka sudah terbinasa.

Ketika memeriksa pernapasan laki-laki itu ternyata napasnya sudah putus, hanya terasa bibirnya masih agak hangat ketika jari Ong-hujin menyentuh mulutnya.

Sementara itu Cin-lam dan Peng-ci juga sudah lolos pedang dan mengitari warung nasi itu. Warung yang dibangun terpencil membelakangi bukit itu ternyata sunyi senyap tiada sesuatu tanda yang mencurigakan.

“He, lihat itu!” mendadak Ong-hujin berteriak sambil menunjuk ke depan.

Ternyata di atas tanah di depan warung nasi itu tahu-tahu sudah ada satu garis merah darah, di sampingnya tertulis enam huruf “keluar pintu lebih sepuluh tindak mati”. Hanya huruf “mati” terakhir itu tampak baru selesai setengah, boleh jadi Cin-lam berdua sekonyong-konyong keluar dan karena khawatir kepergok, maka orang yang menulis itu lekas-lekas menyingkir pergi sebelum selesai menulis. Walaupun demikian dalam waktu sekejap saja orang itu mampu menggaris dan menulis tanpa diketahui, maka dapatlah dibayangkan betapa cepatnya gerakan orang itu.

Dengan menghunus pedang Cin-lam lantas berseru, “Sobat dari Jing-sia-pay, orang she Lim menanti kematian di sini, silakan keluar untuk bertemu!”

Ia berteriak-teriak beberapa kali, tapi yang terdengar hanya suara kumandang yang membalik dari lembah bukit sana, selain itu tiada suara jawaban lain.

Peng-ci lantas berlari keluar garis darah itu sambil berteriak, “Ini aku, Lim Peng-ci untuk kedua kalinya melintasi garis darah kalian, hayo, boleh kalian keluar untuk membunuh aku! Dasar bangsat pengecut, beraninya cuma main sembunyi-sembunyi seperti kawanan bajingan tengik yang tidak laku sepeser pun.”

Sekonyong-konyong dari hutan bambu di sebelah warung berkumandang suara tertawa orang yang nyaring, pandangan Peng-ci terasa kabur, tahu-tahu di depannya sudah berdiri satu orang. Tanpa pikir lagi, Peng-ci terus angkat pedang dan menusuk ke dada orang itu. Namun sedikit mengegos, orang itu sudah menghindarkan serangan itu.

Waktu Peng-ci menebas pula dari samping, orang itu mendengus dan memutar ke sebelah kiri. Cepat tangan kiri Peng-ci menyampuk, berbareng pedang ditarik kembali terus menusuk pula.

Sementara itu Cin-lam dan istrinya juga sudah memburu maju. Tapi melihat Peng-ci dapat menghadapi musuh dengan serangan yang teratur tanpa kelihatan gugup sedikit pun, maka mereka tidak lantas maju membantu.

Memangnya Peng-ci sudah menahan dendam sekian lamanya, sekarang ia lantas mainkan Pi-sia-kiam-hoat sedemikian gencarnya, ia menyerang dengan nekat.

Orang itu ternyata bertangan kosong dan cuma berkelit saja tanpa balas menyerang. Setelah Peng-ci menyerang lebih 20 jurus, tiba-tiba ia tertawa dingin, “Huh, kiranya Pi-sia-kiam-hoat hanya begini saja!”

“Cring”, mendadak ia menyelentik sekali, seketika Peng-ci merasa tangannya kesemutan, pedang lantas terlepas dari cekalan.

Menyusul kaki orang itu lantas melayang, kontan Peng-ci didepak hingga terjungkal beberapa kali.

Cepat Cin-lam dan istrinya lantas melompat maju untuk mengaling-alingi Peng-ci, waktu mereka memerhatikan, kiranya orang itu berbaju hijau, wajahnya putih, sikapnya gagah, usianya kira-kira baru 23-24 tahun. Dengan melirik hina dia menghadapi Cin-lam berdua.

“Siapakah nama saudara yang terhormat? Apakah dari Jing-sia-pay?” tanya Cin-lam.

“Hanya sedikit permainan Hok-wi-piaukiok kalian ini masih belum ada harganya untuk tanya namaku,” ejek orang itu. “Cuma sekarang aku bermaksud menuntut balas dan kau harus diberi tahu. Memang, aku ini orang dari Jing-sia-pay.”

Dengan menahan ujung pedangnya ke tanah, Cin-lam berkata pula, “Selamanya Cayhe sangat menghormati Ih-koancu dari Siong-hong-koan, setiap tahun selalu mengirim orang menyampaikan salam kepada beliau, sedikit pun Cayhe tidak pernah kurang adat. Malahan tahun ini Ih-koancu juga telah mengirim empat orang muridnya untuk berkunjung ke Hokciu. Tapi entah di mana kami telah berbuat salah pada saudara?”

Pemuda baju hijau itu mendongak ke atas dan tertawa dingin beberapa kali, selang sejenak barulah ia membuka suara pula, “Ya, benar. Suhuku memang hendak mengirim empat orang muridnya ke Hokciu, satu di antaranya adalah aku ini.”

“Bagus sekali jika begitu,” seru Cin-lam. “Dan siapakah nama saudara yang mulia?”

Pemuda itu menunjukkan sikap seperti enggan untuk menjawab, setelah mendengus lagi sekali barulah berkata, “Aku she Uh, namaku Uh Jin-ho.”

“Oo,” Cin-lam manggut-manggut. “Eng Hiong Ho Kiat, kiranya saudara adalah salah satu di antara empat murid utama Siong-hong-koan. Pantas Cui-sim-ciang sudah sedemikian hebatnya, sampai-sampai membunuh orang tanpa keluar darah. Sungguh kagum, kagum sekali.”

“Membunuh orang tanpa keluar darah” ini memang gambaran dari ilmu pukulan Cui-sim-ciang dari Jing-sia-pay yang tiada bandingannya. Diam-diam Uh Jin-ho merasa senang karena namanya sendiri ternyata dikenal orang. Sebaliknya ia pun anggap Lim Cin-lam juga bukan sembarangan orang karena sekaligus dapat mengetahui di mana letak intisari kebagusan ilmu pukulan perguruannya itu.

Lalu Cin-lam berkata pula, “Kedatangan Uh-enghiong dari sejauh ini aku tidak mengadakan penyambutan sepantasnya, harap dimaafkan kekurangan adat ini.”

“Kau tidak menyambut, tapi putramu yang bagus dan tinggi ilmu silatnya ini sudah melakukan penyambutan, ya, sampai-sampai putra kesayangan guruku juga dibunuh olehnya, penyambutan ini rasanya tidak terlalu kurang adat,” jengek Jin-ho.

Mendengar itu seketika Cin-lam berkeringat dingin. Memangnya dia sudah menduga orang yang dibunuh Peng-ci besar kemungkinan adalah orang Jing-sia-pay, siapa nyana adalah putra kesayangan Ih-koancu malah. Sekarang urusan sudah telanjur, jalan lain tidak ada lagi kecuali mengadu jiwa. Maka dengan cepat ia tenangkan diri, mendadak ia terbahak-bahak dan berkata, “Sungguh menggelikan! Uh-siauhiap ini ternyata suka berkelakar. Hahaha!”

“Aku berkelakar apa?” ejek Uh Jin-ho dengan melotot.

“Siapa orang Kangouw yang tidak kagum pada ilmu silat Ih-koancu yang sakti dan tata tertib rumah tangganya yang keras?” sahut Cin-lam. “Padahal orang yang dibunuh anakku yang tak becus itu adalah seorang bajingan tengik yang suka menggoda kaum wanita di warung arak, jika anakku yang tak becus itu dapat membunuhnya, maka ilmu silat bergajul itu pun dapat dibayangkan betapa rendahnya. Orang demikian siapa yang mau percaya adalah putra kesayangan Ih-koancu, bukankah Uh-siauhiap sengaja berkelakar?”

Dengan muka masam seketika Uh Jin-ho tak bisa menjawab.

Kiranya orang yang dibunuh Peng-ci di warung arak itu memang betul adalah putra bungsu Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay, namanya Ih Jin-gan. Ibunya adalah gundik kesayangan Ih Jong-hay yang nomor empat.

Sejak kecil Ih Jin-gan itu sangat dimanjakan ibunya sehingga pelajaran ilmu silatnya hanya setengah-setengah saja. Sebaliknya di luar tahu ayahnya dia selalu berjudi dan main perempuan dan perbuatan-perbuatan kotor yang lain.

Sekali ini dia dengar ayahnya hendak mengutus orang ke Hokkian, karena sudah merasa bosan hidup di pegunungan, dia lantas merecoki sang ibu agar minta kepada ayahnya supaya dia juga dikirim ke Hokkian untuk menambah pengalaman. Padahal maksud yang sesungguhnya adalah untuk foya-foya di dunia yang fana.

Ih Jong-hay juga tahu putra bungsunya itu adalah paling nakal dan tidak becus di antara beberapa anaknya itu, kalau ada pertandingan silat atau di medan pertempuran tingkat tinggi betapa pun tidak akan mengutus putra yang memalukan melulu itu. Tapi sekarang ke Hokkian adalah sekadar kunjungan balasan kepada Hok-wi-piaukiok saja, tentunya tidak akan terjadi apa-apa di tengah jalan. Sebab itulah dia meluluskan permintaan Jin-gan.

Sepanjang jalan memang tiada terjadi rintangan apa-apa meski Ih Jin-gan telah berfoya-foya sepuas-puasnya, makan minum berjudi dan main perempuan, semuanya tiada yang ketinggalan. Setiba di luar kota Hokciu, siapa duga akhirnya dia mati ditubles belati oleh Lim Peng-ci.

Terhadap pribadi Suheng itu, biasanya Uh Jin-ho juga memandang hina padanya. Cuma mengingat ibunya adalah gundik kesayangan gurunya, maka dia tidak berani menyalahi Jin-gan. Sekarang ia menjadi sukar menjawab atas ucapan-ucapan Lim Cin-lam yang tajam menusuk itu.

Tapi mendadak dari hutan bambu sana ada orang berseru, “Kata peribahasa ‘empat kepalan sukar melawan delapan tangan’. Ketika di warung arak itu Lim-siaupiauthau telah mengeroyok Ih-sute kami bersama belasan orang Piauthau ….” begitulah sambil bicara orang itu lantas muncul. Tertampak perawakan orang ini kecil, kepalanya juga kecil, tangan membawa kipas, dia menyambung terus, “Andaikan pertempuran itu dilakukan secara terang-terangan sih mendingan, biarpun jumlah orang Hok-wi-piaukiok lebih banyak juga tiada gunanya. Akan tetapi Lim-siaupiauthau justru menaruh racun di dalam arak yang diminum Ih-sute kami, sekaligus menghujani Ih-sute kami dengan belasan senjata rahasia berbisa pula. Hehe, anak kura-kura ini benar-benar sangat keji. Maksud baik kita hendak mengadakan kunjungan balasan di luar dugaan malah disambut dengan sergapan secara licik.”

Peng-ci yang ditendang terguling oleh Uh Jin-ho tadi dengan menahan gusar telah berdiri di samping, ia sedang menunggu sesudah ayahnya bicara secara sopan dengan lawan, habis itu segera dia akan menerjang maju untuk bertempur lagi. Siapa duga lantas muncul seorang yang berkepala kecil dan bermuka ciut, dengan ocehan yang memutarbalikkan kejadian yang sebenarnya, bahkan memfitnah dirinya menaruh racun di dalam arak apa segala. Keruan ia menjadi murka dan membentak, “Kentut anjingmu! Selamanya aku tidak kenal manusia rendah she Ih itu, hakikatnya aku tidak tahu dia dari Jing-sia-pay, buat apa aku mesti mencelakai dia?”

“Kentut! Ya, kentut! Ehm, alangkah baunya!” demikian seru orang berkepala kecil itu sambil mengebas kipasnya dengan cepat. “Jika kau bilang tidak kenal dan tidak bermusuhan dengan Ih-sute kami, sebab apa kau menyembunyikan pula berpuluh kawanmu di luar warung arak untuk mengeroyoknya? Ih-sute kami menyaksikan kau menggoda wanita baik-baik, dia telah menasihatkan kau, tapi kau tidak mau menurut sehingga kau dihajar olehnya, akhirnya jiwamu juga diampuni. Tapi kau tidak merasa berterima kasih berbalik lantas mengerubut Ih-sute kami bersama para Piauthau anjing itu!”

Sungguh gusar Peng-ci tak terlukiskan, hampir-hampir dadanya meledak saking penasaran. Teriaknya kalap, “Ha, kiranya orang-orang Jing-sia-pay adalah kawanan bajingan tengik yang suka memutarbalikkan duduknya perkara!”

“Anak kura-kura, kau berani memaki orang?” semprot orang itu dengan cengar-cengir.

“Ya, aku memaki kau, habis kau mau apa?” teriak Peng-ci dengan gusar.

“Baiklah, boleh kau memaki terus, tidak menjadi halangan, tidak menjadi soal!” ujar orang itu mengangguk.

Peng-ci melengak malah, jawaban orang itu benar-benar di luar dugaannya. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara angin menyambar, sesosok tubuh telah menubruk ke arahnya. Segera Peng-ci bermaksud mengayun sebelah tangannya untuk menghantam, tapi sudah terlambat sedetik. “Plok”, pipinya telah kena ditempeleng orang dengan keras, matanya sampai berkunang-kunang dan hampir-hampir jatuh kelengar.

Gerakan orang itu benar-benar luar biasa cepatnya, begitu berhasil serangannya segera ia mundur ke tempatnya semula sambil meraba-raba pipinya sendiri dan berkata dengan gusar, “Anak kura-kura, mengapa kau memukul orang? Wah, alangkah sakitnya, sakit sekali! Hahaha!”

Melihat putranya dihina, “sret”, kontan Ong-hujin mengayun goloknya membacok orang itu dengan jurus “Ya-hwe-siau-thian” (api liar membakar langit), serangan yang kuat lagi jitu. Orang itu sedikit mengegos, tahu-tahu golok Ong-hujin mengenai tempat kosong. Namun demikian sebelah bahu orang itu juga hampir-hampir tertebas kutung, selisihnya cuma dua-tiga senti saja, kalau telat sedetik saja, tentu celakalah dia.

Mau tak mau orang itu pun terkejut dan mengomel. Ia tidak berani memandang enteng pada musuh lagi. Segera ia mengeluarkan senjatanya, yaitu ruyung lemas yang melilit di pinggangnya sebagai sabuk. Waktu serangan kedua Ong-hujin tiba pula, sambil berkelit kontan ia pun balas menyabat dengan ruyungnya.

Melihat gelagatnya Cin-lam tahu urusan sukar dibereskan secara damai, segera ia pun acungkan pedang dan berkata, “Jing-sia-pay hendak menjatuhkan Hok-wi-piaukiok memangnya adalah pekerjaan yang teramat mudah. Tapi segala soal di Bu-lim juga tidak terlepas dari keadilan dan kebenaran. Nah, silakan maju, Uh-siauhiap!”

Sekali pegang gagang senjatanya, “sret”, Uh Jin-ho lantas lolos senjata juga dan berkata, “Silakan, Lim-congpiauthau!”



-dipi-
 
Hina Kelana
Bab 06. Si Budak Bermuka Jelek dari Hoa-san-pay
Oleh Jin Yong


Diam-diam Cin-lam membatin, “Kabarnya Siong-hong-kiam-hoat (ilmu pedang angin meniup pohon Siong) Jing-sia-pay mereka mengutamakan gesit dan enteng sebagai angin serta ulet sebagai pohon Siong. Untuk bisa menang harapanku hanya mencari kesempatan untuk mendahului saja.”

Karena itu tanpa sungkan-sungkan lagi pedangnya lantas bergerak, kontan ia menebas dari samping dalam jurus “Kun-sia-pi-ih” (kawanan iblis terkocar-kacir) dari Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis).

Melihat sergapan Cin-lam yang cukup dahsyat itu, Jin-ho juga tidak berani menangkisnya secara keras lawan keras, cepat ia mengegos untuk menghindarkan diri.

Namun sebelum serangan pertama itu mencapai titik sasarannya, dengan cepat Cin-lam sudah lantas tarik kembali pedangnya dan segera melancarkan jurus kedua “Ciong-Siu-kiap-bok” (Ciong Siu mencolok mata), ujung pedangnya terus menusuk kedua mata lawan.

Tatkala itu sinar sang surya lagi menembus melalui celah-celah hutan bambu, walaupun tidak terlalu terang, namun menyilaukan juga ketika memantul di atas pedang yang gemerlapan itu.

“Celaka,” diam-diam Jin-ho mengeluh, cepat ia melompat mundur. Syukurlah ia dapat lolos dari serangan keji itu namun tidak urung hatinya memukul keras.

Dalam pada itu, serangan Cin-lam yang lain sudah menyusul tiba pula. Terpaksa Jin-ho menangkis. “Trang”, tangan kedua orang sama-sama tergetar. Diam-diam Cin-lam bergirang malah, pikirnya, “Kukira ilmu silat Jing-sia-pay betapa hebatnya, tak tahunya juga cuma begini saja.”

Selama beberapa hari Hok-wi-piaukiok dirongrong oleh pihak lawan secara misterius sehingga timbul rasa jerinya, tapi sekarang setelah diketahui orang yang dibunuh oleh Peng-ci itu adalah putranya Ih Jong-hay, selain menghadapi musuh dengan mati-matian tiada jalan lain lagi, maka Cin-lam menjadi nekat, cara bertempurnya menjadi tidak sungkan-sungkan lagi, serangan-serangannya menjadi lebih hebat.

Sebaliknya Uh Jin-ho berpikir, “Tenaga tua bangka ini ternyata boleh juga.”

Padahal setelah Peng-ci didepak terjungkal dengan mudah olehnya, ia sangka Lim Cin-lam paling-paling juga cuma jago silat gadungan saja, siapa tahu di antara ayah dan anak ternyata mempunyai perbedaan sedemikian jauh. Bahkan dalam hal pengalaman di medan pertempuran Cin-lam malah lebih luas daripada Jin-ho sendiri.

Maka Jin-ho tidak berani ayal lagi, ia putar pedangnya dengan kencang. Mendadak ia menusuk ke depan, seketika bintang-bintang bertaburan, sekaligus ujung pedangnya telah menusuk tujuh tempat.

Karena tidak tahu ke mana pedang lawan hendak menusuk, Cin-lam tidak berani sembarangan menangkis, terpaksa ia mundur satu tindak. Ketika Jin-ho hendak susulkan tusukan lain pula, di luar dugaan perubahan Lim Cin-lam juga amat cepat, hanya sedetik luang saja sudah digunakan dengan baik olehnya untuk balas menyerang.

Begitulah yang satu lebih tua dan lebih ulet, yang lain lebih gesit dan lebih bagus gerak pedangnya. Kedua orang maju dan mundur dengan cepat, meski sudah berlangsung lebih 30 jurus tetap susah menentukan kalah atau menang.

Di sebelah lain, Ong-hujin yang harus menempur si orang berkepala kecil yang bernama Pui Jin-ti itu, berulang-ulang telah menghadapi serangan musuh yang berbahaya. Golok emas yang diputarnya itu beberapa kali terlilit oleh ruyung musuh dan hampir-hampir terbetot lepas dari cekalan.

Melihat ibunya terdesak, cepat Peng-ci berlari masuk ke dalam warung nasi, ia angkat sebuah bangku panjang terus menerjang ke arah Pui Jin-ti, bangku panjang itu lantas disodokkan ke depan.

“E-eh, Lim-siaupiauthau kenapa berkelahi secara ngawur begini?” demikian Jin-ti tertawa mengejek. Sekali ia sendal ruyungnya, sekonyong-konyong senjata itu memutar balik, “plak”, segera pinggang Peng-ci tersabat satu kali.

Keruan Peng-ci meringis kesakitan, hampir-hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak. Tapi ia tahu bila dirinya roboh, pastilah mereka ibu dan anak akan mati konyol. Maka dengan mengertak gigi menahan rasa sakit, sekuatnya ia angkat bangku itu terus mengepruk ke atas kepala Pui Jin-ti.

Ketika Jin-ti mengegos ke samping, seperti banteng ketaton segera Peng-ci menerjang maju lagi. Tapi sekonyong-konyong kakinya tersangkut entah tersandung apa, kontan ia jatuh tersungkur, berbareng itu terdengar suara seorang lagi berkata, “Rebahlah!” menyusul sebuah kaki telah menginjak di atas tubuhnya, berbareng ujung sebuah benda tajam juga terasa mengancam di punggungnya.

Sudah tentu Peng-ci tak dapat melihat bagian belakang, yang tertampak hanya debu pasir di depan matanya, hanya terdengar jeritan sang ibu, “Jangan, jangan membunuh anakku!”

Tapi lantas terdengar Pui Jin-ti membentak, “Kau juga merebah saja!”

Kiranya pada saat Peng-ci hendak menerjang maju tadi, mendadak dari belakang ia dijegal oleh kaki seseorang sehingga Peng-ci jatuh tersungkur, menyusul orang itu lantas mencabut belati dan mengancam di punggung pemuda itu.

Ong-hujin sendiri memangnya tak sanggup melawan Pui Jin-ti, melihat keselamatan putranya terancam, keruan ia tambah gugup dan bingung. Pada saat itulah Pui Jin-ti lantas mengayun ruyungnya sehingga sebelah kaki Ong-hujin terlilit, sekali tarik, kontan nyonya itu pun terseret roboh. Menyusul Jin-ti lantas memburu maju untuk menutuk Hiat-to ibu dan anak itu.

Orang yang menjegal Peng-ci dari belakang itu kiranya adalah orang she Keh yang pernah bertempur melawan The dan Su-piauthau di warung arak di luar kota Hokciu tempo hari. Nama lengkapnya adalah Keh Jin-tat.

Bicara tentang ilmu silat, Keh Jin-tat ini memang terhitung nomor satu di antara murid-murid Jing-sia-pay, namun bukan nomor satu dari depan, tapi nomor satu dihitung dari belakang. Cuma sehari-hari Jin-tat selalu mendekati dan menjilat Ih Jin-gan, itu putra bungsu kesayangan Ih-koancu, mereka sama-sama makan-minum, sama-sama berjudi dan cari cewek. Berkat bantuan Ih Jin-gan itulah maka Keh Jin-tat juga ikut-ikut datang ke Hokciu.

Dia bersama Pui Jin-ti telah dapat merobohkan Peng-ci dan ibunya, Perlahan-lahan mereka lantas menggeser ke belakang Lim Cin-lam.

Cin-lam menjadi gugup melihat istri dan putranya tertawan musuh, “sret-sret-sret”, cepat ia menyerang beberapa kali.

“Awas, Uh-sute, kura-kura ini hendak kabur!” seru Pui Jin-ti.

Sekarang Uh Jin-ho sudah mulai dapat meraba jalan ilmu pedang lawan, maka ia telah mainkan Siong-hong-kiam-hoat dengan kencang, sinar pedang gemerlapan membungkus rapat di sekeliling Lim Cin-lam.

Di kala menghadapi ilmu pedang lawan yang hebat itu, sekarang bertambah lagi dua orang lawan yang lain, untuk mundur terang tiada jalan lagi, terpaksa Cin-lam mengerahkan seluruh semangatnya untuk bertahan.

Sekonyong-konyong pandangannya menjadi kabur, serentak seperti berpuluh pedang menyerang berbareng dari berbagai jurusan. Cin-lam terkejut dan cepat ia putar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.

“Kena!” mendadak terdengar Jin-ho membentak. Kontan lutut kanan Cin-lam terkena pedang, kakinya lemas dan sampai bertekuk lutut. Cepat ia melompat bangun pula, walaupun begitu, ujung pedang Uh Jin-ho tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya.

“Uh-sute, sungguh suatu jurus ‘Liu-sing-kan-goat’ yang hebat!” memuji Keh Jin-tat. Biarpun jago kelas kambing dari Jing-sia-pay, namun terhadap jurus ilmu pedang golongannya sendiri ia masih dapat membedakannya.

Cin-lam menghela napas, ia melemparkan pedang ke tanah, katanya, “Ya, apa mau dikata lagi. Harap bereskan kami secara cepat dan gampang saja!”

Mendadak punggungnya terasa kesemutan, kiranya telah ditutuk oleh gagang kipasnya Pui Jin-ti.

“Huh, secara gampangan bereskan kalian, masakah di dunia ini ada urusan begini enak? Kau harus ikut ke Jing-sia-san untuk menemui Suhuku!” jengek orang she Pui itu.

Cin-lam pikir yang terbunuh adalah putra guru mereka, sudah tentu mereka ingin meringkus dirinya sekeluarga untuk dibawa ke Sucwan sebagai pertanggungjawaban kepada guru mereka. Perjalanan sejauh ini juga ada baiknya, di tengah jalan boleh jadi ada kesempatan untuk meloloskan diri.

Dalam pada itu Keh Jin-tat tidak membuang kesempatan untuk melampiaskan dendamnya, mendadak ia cengkeram punggung Peng-ci terus diangkat ke atas, “plak-plok”, dua kali ia tempeleng pemuda itu sambil memaki, “Anak kelinci keparat, sejak hari ini aku akan hajar kau setiap hari sehingga sampai di Jing-sia-san, akan kubikin mukamu yang resik ini menjadi belang bonteng!”

Peng-ci tahu sesudah jatuh dalam cengkeraman musuh, untuk selanjutnya pasti akan kenyang dihina dan disiksa. Sekarang dirinya tak bisa berkutik, dengan gusar ia terus meludahi musuh yang bermartabat rendah itu.

Karena jarak dua orang sangat dekat, maka Keh Jin-tat tidak sempat mengelak, “plok”, dengan tepat riak kental yang disemprotkan Peng-ci itu kena di batang hidungnya. Keruan Jin-tat menjadi murka, ia banting pemuda itu ke tanah dan segera sebelah kakinya hendak menendang.

“Sudahlah, sudah cukup! Jika dia mati kau tendang, cara bagaimana kita harus bertanggung jawab kepada Suhu?” ujar Jin-ti dengan tertawa. “Bocah ini mirip seorang nona, mana dapat menahan pukulan dan tendanganmu?”

Sesungguhnya dendam Keh Jin-tat tak terkatakan. Maklumlah dia tidak punya kepandaian yang berarti, biasanya juga tidak disukai sang guru dan saudara-saudara seperguruan, di atas Jing-sia-san hanya Ih Jin-gan seorang yang menjadi sandaran satu-satunya. Sekarang sandaran satu-satunya itu telah “kuik” ditubles belati oleh Peng-ci, keruan bencinya kepada pemuda itu tidak alang kepalang. Tapi demi dicegah oleh Jin-ti, terpaksa ia urungkan maksudnya menghajar Peng-ci lebih jauh, hanya berulang-ulang ia meludahi pemuda itu untuk melampiaskan dendamnya.

“Marilah kita makan dahulu barulah berangkat,” ujar Pui Jin-ti. “Nah, Keh-sute harap kau capaikan diri untuk menanak nasi dan menyediakan daharan.”

Cepat Jin-tat mengiakan. Biasanya ia juga tunduk kepada Pui-suhengnya itu, apalagi sekarang Ih Jin-gan telah dibunuh orang dan hanya dia yang menyaksikan, kalau pulang mustahil gurunya takkan menghukumnya karena tidak melindungi sang Sute, bahkan menyelamatkan diri sendiri secara pengecut. Untuk ini beberapa kali dia telah mohon bantuan Uh Jin-ho dan Pui Jin-ti agar sepulangnya nanti sudi menutupi sedikit dosanya itu di hadapan sang guru. Sekarang Jin-ti hanya menyuruhnya menanak nasi dan menyediakan daharan, sekalipun dia disuruh mengerjakan sesuatu yang berpuluh kali lebih sulit juga pasti akan dilakukannya. Begitulah, maka dengan cepat ia lantas pergi ke belakang untuk melaksanakan tugasnya.

Jin-ho dan Jin-ti lantas menyeret Cin-lam bertiga ke dalam warung dan dilemparkan di pojok sana. Kata Uh Jin-ho, “Pui-suko, perjalanan pulang ke Jing-sia ini akan makan tempo cukup lama, kita harus waspada akan kemungkinan lolosnya mereka ini. Ilmu silat yang tua ini pun boleh juga, kau harus mencari suatu akal yang baik.”

“Apa susahnya?” ujar Jin-ti dengan tertawa. “Sehabis makan nanti kita putuskan saja urat tangan mereka, lalu gunakan ruyungku yang lemas untuk menembus tulang pundak mereka dan diikat menjadi satu seperti ikatan kepiting, tanggung mereka tidak mampu lolos lagi.”

Otak Cin-lam serasa menjadi kopyor mendengar itu, kalau urat tangan diputus dan tulang pundak ditembus, untuk seterusnya tentu akan menjadi cacat selamanya. Dalam keadaan demikian sekalipun berhasil meloloskan diri juga tiada gunanya lagi. Pikiran orang she Pui ini benar-benar teramat keji.

Peng-ci lantas mencaci maki, “Bangsat keparat yang tidak tahu malu! Kalau berani lekas bunuh saja tuan besarmu ini, cara kalian itu tidak lebih adalah perbuatan bajingan yang rendah dan kotor.”

“Uh-sute,” tiba-tiba Jin-ti berkata dengan tertawa, “kalau anak jadah ini memaki satu kali lagi segera aku akan mengambil sedikit kotoran kerbau dan anjing untuk menjejal mulutnya.”

Ancaman ini ternyata sangat manjur. Seketika Peng-ci bungkam, tidak berani memaki lagi walaupun gusarnya tidak kepalang.

Kemudian Pui Jin-ti masih terus membual dengan kata-kata yang lucu-lucu tapi menusuk. Jin-ho hanya mendengarkan saja dengan mengerut kening, terkadang ia pun mengiringi tersenyum. Namun yang terbayang dalam benaknya adalah jurus-jurus pertarungannya dengan Lim Cin-lam tadi.

Tidak lama kemudian Keh Jin-tat keluar dengan membawa daharan. Katanya, “Tempat ini benar-benar terlalu miskin, seekor ayam saja tidak ada. Apakah kalian suka makan kalau kupotong sedikit daging paha anak jadah ini untuk digoreng.”

Jin-ti tahu Sutenya itu cuma bergurau saja, segera ia menanggapi, “Ya, bagus! Anak jadah ini putih lagi halus, dagingnya tentu lebih lezat daripada ayam goreng. Cuma sayang tidak ada arak ….”

“Segala apa ada di sini! Tuan ingin apa, segera kubawakan!” demikian tiba-tiba dari belakang suara seorang wanita muda yang nyaring merdu menukas ucapan Pui Jin-ti itu.

Keruan mereka terperanjat. Berbareng mereka memandang ke belakang, maka tampaklah keluar seorang nona baju hijau dengan membawa sebuah nampan kayu, di tengah nampan ada sebuah poci arak dengan tiga buah cawan.

Meski nona ini menundukkan kepalanya, tapi masih tampak jelas kelihatan mukanya yang benjol-benjol bekas penyakit cacar.

Jin-ti dan Jin-ho menjadi heran dari mana datangnya nona bermuka burik ini. Sebaliknya Keh Jin-tat sangat terkejut, sebab ia kenal nona burik ini tak lain tak bukan adalah si gadis penjual arak di warung arak di luar kota Hokciu itu. Kematian Ih Jin-gan justru disebabkan dia menggoda nona ini, mengapa sekarang nona ini mendadak muncul lagi di warung yang terpencil ini?

Saking kagetnya Jin-tat sampai melonjak bangun, serunya sambil menuding nona itu, “Meng … mengapa kau pun ber … berada di sini?”

Nona itu tidak menjawab, kepalanya tetap menunduk, katanya dengan suara perlahan, “Inilah araknya, cuma tiada sayur apa-apa.”

Berbareng ia terus menaruh nampannya di atas meja.

“Kau dengar tidak? Kutanya kau mengapa kau pun berada di sini?” demikian Jin-tat berteriak pula dan segera lengan si nona hendak dipegangnya.

Tapi sedikit mengegos saja nona itu sudah mengelakkan cengkeraman Keh Jin-tat. Lalu katanya, “Ya, hidup kami ini adalah menjual arak. Di mana pun tuan-tuan ingin minum arak, di situlah kami akan berada untuk melayani.”

Walaupun Keh Jin-tat termasuk kaum keroco, namun jelek-jelek adalah murid Jing-sia-pay. Si nona dapat mengelakkan cengkeramannya itu, teranglah juga mahir ilmu silat.

Jin-ti memandang sekejap kepada Jin-ho, kemudian bertanya, “Bagus sekali! Lantas arak apakah yang nona jual ini?”

“Arak Hong-ting-ang (merah jengger bangau) campur warangan, arak ‘Chit-kang-liu-hiat-ciu’ (tujuh lubang keluar darah),” sahut si nona itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dan disodorkan ke depan Jin-ho bertiga. Warna arak itu memang merah seperti darah dan lain daripada yang lain. (Yang dimaksudkan tujuh lubang adalah mata, hidung, telinga dan mulut).

Keh Jin-tat menjadi gusar, bentaknya, “Kurang ajar! Kiranya kau adalah begundal dan gendak anak kura-kura ini!”

Berbareng sebelah tangannya terus menampar dari samping.

Namun nona itu hanya mundur setindak saja sudah menghindarkan diri dari serangan lawan, Jin-tat merasa malu kepada kedua Suheng dan Sutenya itu, masakah terhadap seorang anak dara saja tidak mampu menang? Sambil menggerung kalap ia menubruk maju, sepuluh jarinya terus mencengkeram ke dada si nona.

Serangan Keh Jin-tat ini benar-benar kotor dan tak bermoral. Sebagai anak murid golongan terhormat mestinya tidak pantas menyerang ala bajingan demikian. Tapi dasarnya dia memang bangor, si nona penjual arak itu tak dipandang sebelah mata pula olehnya, maka cara menyerangnya menjadi tidak sungkan-sungkan dan pakai aturan segala.

Tentu saja nona itu menjadi gusar. Sedikit mengegos ke samping, dengan cepat sekali tangan kirinya terus menolak ke punggung Jin-tat, ia pinjam daya tubrukan Jin-tat itu sekalian didorong ke depan sekuat-kuatnya. Tanpa ampun lagi tubuh Jin-tat lantas melayang ke depan sebagai terbang sambil berkaok-kaok, “bluk”, kepalanya tertumbuk pada tiga batang bambu yang tumbuh di situ.

Pada umumnya batang bambu memang sangat keras daya melentingnya, maka begitu melengkung tertumbuk oleh Jin-tat, kontan tubuh Jin-tat lantas terlempar kembali ke udara. Khawatir kalau terbanting dengan lebih keras dan kehilangan muka disaksikan orang banyak, lekas-lekas Jin-tat menggunakan gerakan “Le-hi-pak-ting” (ikan lele meletik) untuk membalik tubuh di atas dengan maksud menurunkan kakinya dahulu ke bawah.

Tak terduga daya pegas batang bambu itu memang aneh dan susah diraba arahnya, masih mendingan kalau dia diam saja, tapi lantaran membalik tubuh di atas sebagai ikan meletik, maka tubuh Jin-tat berbalik terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, terus menubruk ke atas tanah. “Prok”, tanpa ampun lagi beberapa gigi Jin-tat rompal. Lekas-lekas ia merangkak bangun, namun muka dan mulutnya sudah penuh berlumuran darah tercampur debu.

Sambil mencaci maki secara kotor, dengan nekat Jin-tat lantas mencabut belati dan menubruk maju pula. Tapi kembali si nona mengegos, sebelah tangannya menolak dan mendorong pula, ia tetap menggunakan pinjam tenaga lawan untuk memukul lawan, sekali ini yang diincar adalah sebuah kolam di samping hutan bambu sana. “Plung”, tanpa ampun lagi Jin-tat tercebur ke dalam kolam sehingga air muncrat ke mana-mana. Belati yang dipegangnya juga ikut mencelat dari cekalannya sehingga mengeluarkan sinar kuning kemilau di atas udara.

Segera si nona meloncat ke sana, sekali sambar belati yang melayang-layang di udara itu kena dirampas olehnya.

Belum kapok juga, Jin-tat masih terus mencaci maki. Tapi sekali mulutnya mengap, seketika air kolam masuk ke tenggorokannya seperti dicekoki, keruan ia gelagapan.

Padahal air kolam itu biasanya oleh si pemilik warung itu digunakan untuk menyiram sayur dan tanaman-tanaman lain, air kolam itu sebagian besar adalah air kotoran dan kencing manusia. Keruan sekali ini Keh Jin-tat benar-benar “tahu rasanya”.

Melihat Sute mereka dihajar orang, Pui Jin-ti dan Jin-ho hanya duduk tenang-tenang saja dan tidak menolongnya. Tunggu setelah si nona jalan kembali dengan belati rampasannya itu, barulah Jin-ti berkata dengan nada dingin, “Selamanya Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay kami tiada permusuhan apa-apa, orang tua dari kedua belah pihak selamanya juga bersahabat baik. Apakah nona tidak keterlaluan dengan menyuguhkan kami arak ‘Chit-kang-liu-hiat-ciu’ campuran dari Hong-ting-ang dan warangan ini?”

Nona itu tampak melengak, tapi lantas mengikik tawa. Lalu jawabnya, “Tajam benar penglihatanmu, dari mana kau tahu aku berasal dari Hoa-san-pay?”

“Kedua gerakan ‘Sun-cui-tui-ciu’ (mendorong perahu menurut arus) yang digunakan nona barusan ini terang adalah ajaran asli Gak-tayciangbun dari Hoa-san-pay,” kata Jin-ti. “Nama Hoa-san-pay cukup menggetarkan Kangouw, biarpun picik juga Cayhe masih sanggup membedakannya.”

“Kau tidak perlu menyanjung diriku,” ujar si nona. “Aku pun tahu engkau adalah Pui-toaya, tokoh terkemuka Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay dan ini adalah Uh-toaya, satu di antara empat murid utama yang terkenal sebagai “Eng Hiong Ho Kiat”. Nah, silakan kalian mulai saja.”

“Ah, menghadapi nama Hoa-san-pay yang termasyhur betapa pun juga kami harus mengalah sejauh mungkin,” sahut Jin-ti. “Tapi sedikitnya nama nona yang budiman juga perlu kami ketahui, kalau tidak, cara bagaimana kami harus menjawab jika kami ditanya oleh Suhu?”

“Asalkan kau katakan ‘si budak jelek dari Hoa-san-pay’ saja sudah cukup, rasanya di dunia ini tiada orang kedua yang bermuka lebih buruk daripada diriku ini,” sahut si nona dengan tertawa.

Dalam pada itu Keh Jin-tat sudah merangkak bangun dari dalam kolam yang berair kotor dan bau itu, ia masih terus mencaci maki sambil tiada hentinya muntah-muntah dan batuk-batuk. Tapi lantaran giginya sudah banyak yang rompal, dalam keadaan ompong suaranya menjadi sangat lucu.

Nona penjual arak itu lantas masuk ke dalam warung dengan langkah yang menggiurkan, katanya dengan tertawa, “Aku pun tahu hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya cukup baik. Kabarnya ada seorang Suheng kalian yang she Ih telah menggoda wanita baik, kebetulan dilihat orang yang membela keadilan sehingga Suheng kalian itu terbunuh, sungguh kalian harus diberi ucapan selamat atas kejadian yang menggirangkan itu. Hal ini sangat besar manfaatnya bagi penertiban dan penegakan wibawa perguruan kalian, aku percaya Ih-koancu kalian juga pasti akan sangat gembira bila mendapat laporan dan besar kemungkinan kalian bertiga akan mendapatkan ganjaran yang berharga. Sebab itulah aku sengaja menyediakan tiga cawan arak Chit-kang-liu-hiat-ciu ini sekadar sebagai penghargaan dan ucapan selamat kepada kalian.”

Meski wajahnya jelek, tapi suaranya sangat nyaring dan merdu, enak didengar. Hanya saja setiap katanya itu penuh sindiran sehingga bagi pendengaran Pui Jin-ti rasanya sangat menusuk.

“Pui … Pui-suko, kematian … kematian Ih-sute justru lantaran dia!” tiba-tiba Keh Jin-tat berseru.

“Apa katamu?” Jin-ti menegas dengan heran. Ia tahu kelakuan Ih Jin-gan memang bergajul, tapi kalau kematiannya adalah lantaran seorang wanita, maka dapat diduga wanita itu pasti sangat cantik, paling tidak juga cukup cantik, tidaklah mungkin pemuda bajul buntung itu dapat penujui seorang nona burik yang memuakkan bagi orang yang memandangnya ini.

Namun Jin-tat lantas menjawab, “Ya, justru dia inilah, budak burik inilah yang menyebabkan kematian Ih-sute. Lantaran Ih-sute menertawakan dia sebagai muka siluman sehingga bertengkar dengan anak jadah she Lim ini.”

“Oh, kiranya demikian,” kata Jin-ti mengangguk. Ia coba mengamat-amati pula si nona, perawakannya kelihatan langsing dengan garis-garis tubuh yang indah, cuma sayang mukanya saja burik, bahkan benjol-benjol tak keruan, benar-benar muka buruk yang jarang terdapat. Lalu ia manggut-manggut dan berkata pula, “O, kiranya demikian. Jadi orang telah membela nona, makanya nona sekarang juga hendak membela orang?”

Dengan baju basah kuyup saat itu Keh Jin-tat berdiri di luar warung, baunya bacin, berulang-ulang ia menggoyang badannya seperti anjing habis kecemplung ke dalam air, lalu mengguncangkan tubuhnya untuk menghilangkan air yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba ia berseru, “Binatang kecil she Lim itu cantik sebagai wanita, besar kemungkinan budak siluman ini yang telah penujui dia, lalu menguntit sepanjang jalan. Hayolah Pui-suko dan Uh-sute, lekas kalian bereskan saja dia, mau tunggu kapan lagi?”

Dalam pada itu si nona lagi mengamat-amati belati emas yang dirampasnya dari Keh Jin-tat tadi. Tertampak di batang belati itu terdapat ukiran beberapa huruf yang berbunyi “anak Peng genap 10 tahun”. Di samping itu ada beberapa huruf lebih besar yang berarti “banyak rezeki dan panjang umur”. Ia memandang sekejap ke arah Peng-ci yang menggeletak di atas tanah itu dengan tersenyum. Katanya dalam hati, “Kiranya belati ini adalah hadiah ulang tahunmu yang ke-10, tapi kau telah menggunakannya untuk membunuh orang bagiku.”

Sejenak kemudian ia lantas berkata kepada Jin-ti dan Jin-ho, “Sesungguhnya Jing-sia-pay juga terhitung golongan ternama dan terhormat di dunia persilatan, tak tersangka juga terdapat tidak sedikit murid bajingan tengik seperti dia ini.” Sembari berkata ia terus angkat belati dan pura-pura akan menyambit ke arah Keh Jin-tat.

Rupanya Jin-tat sudah kapok benar terhadap nona burik itu, disangkanya belati itu akan ditimpukkan betul-betul, maka cepat ia melompat ke samping dengan cara yang menggelikan.

Tapi nona itu hanya pura-pura mengayunkan belatinya saja, lalu berkata pula, “Manusia rendah begini memangnya sudah dulu-dulu harus dibinasakan, kalau dibiarkan hidup hanya akan membikin malu perguruan saja. Masakah manusia kotor demikian juga ada harganya untuk mengaku sebagai Suheng dan Sute dengan kalian berdua kesatria gagah ini?”

Diam-diam Jin-ti dan Jin-ho mendongkol. Ucapan si nona sesungguhnya memang kena benar pada hati kecil mereka. Biasanya mereka memang suka anggap diri sendiri sebagai kesatria sejati dan merasa malu untuk menjadi saudara seperguruan dengan manusia sebagai Keh Jin-tat itu. Akan tetapi biar bagaimanapun juga Keh Jin-tat memang betul-betul adalah saudara seperguruan dengan mereka, terpaksa mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Maka terdengar si nona telah menyambung pula dengan tertawa, “Aku yakin kalian berdua tentu berharap tidak mempunyai Sute semacam ini bukan? Baiklah, akan kubantu kalian, biarlah bajingan tengik ini kubunuh saja!”

Habis berkata segera ia melangkah ke arah Keh Jin-tat dengan belati terhunus.

Keruan Jin-tat ketakutan dan menjerit, “Haya, kau … apa-apaan kau!”

Dan ketika melihat kedua saudara Suheng dan Sutenya tiada tanda-tanda sudi menolongnya, sebaliknya malah bersikap acuh tak acuh seakan-akan mengharap nona burik itu benar-benar membunuhnya saja, terpaksa lekas-lekas ia putar tubuh terus lari sipat kuping, hanya sekejap saja ia sudah menghilang di tengah hutan bambu.

Si nona mengikik geli, lalu putar balik ke dalam warung. Katanya dengan tertawa, “Nah, aku telah membantu kalian melakukan sesuatu yang menggembirakan, apakah hal ini tidak berharga untuk dirayakan dengan minum secawan arak?”

Berbareng ia pun menunjuk ketiga cawan arak merah di atas meja itu dengan sikap menyilakan minum secara hormat.

Jin-ti saling pandang sekejap dengan Jin-ho, mereka merasa serbasusah dan entah cara bagaimana harus melayani nona aneh yang berada di depan mereka ini. Bahwasanya nona ini tidak bermaksud baik terhadap mereka memang hal ini tidak perlu disangsikan lagi.

Soalnya Hoa-san-pay terkenal sebagai aliran utama dari Ngo-gak-kiam-pay (lima aliran ilmu pedang dari lima gunung), jumlah orang mereka sangat banyak, kekuatan mereka pun sangat hebat, pergaulannya luas dan mempunyai hubungan baik dengan berbagai golongan dan aliran yang lain, betapa pun tidak boleh sembarangan diganggu.

Diam-diam Jin-ti membatin, “Entah apa maksud tujuan wanita ini? Tapi kematian Ih-sute adalah lantaran dia, mungkin dia pun akan ikut campur untuk menolong bocah she Lim ini. Kalau Ih-sute tidak mati sih tidak menjadi soal kami mengalah padanya. Seorang laki-laki tidak berkelahi dengan orang perempuan, andaikan tersiar juga tidak memalukan Jing-sia-pay. Namun sekarang cara bagaimana kami harus bertanggung jawab kepada Suhu atas kematian Ih-sute? Kalau pembunuhnya tidak dapat kami tawan pulang, pastilah aku tiada muka buat tinggal di Siong-hong-koan lagi!”

Begitulah sambil tertawa dingin ia memandangi ketiga cawan arak merah di atas meja itu, tampaknya acuh tak acuh, tapi sesungguhnya dalam hati merasa serbasusah.

“Ketiga cawan arak ini akan kalian minum atau tidak?” demikian si nona menegas pula dengan tersenyum.

“Cret”, mendadak Jin-ho ayun telapak tangannya dan memotong ke ujung meja, kontan ujung meja itu tertebas putus secara rajin bagai ditebas golok tajam. Sambil memandang keluar ia berkata, “Jing-sia-pay kami selamanya sangat menghormati Gak-ciangbun dari Hoa-san-pay kalian, maka kami tidak ingin bertengkar dengan nona. Tapi berulang nona telah mencemooh dan menghina, jika kami dianggap sebagai kaum celurut yang tak becus, maka mungkin nona telah salah mata.”

“Ai, ai, masakah aku begitu sembrono menganggap demikian? Kaum celurut yang tidak becus memangnya sudah kenyang minum air pecomberan dan kini telah kabur,” kata si nona. “Baiklah, biar kutawarkan saja kepada Lim-kongcu ini apakah mau minum arak atau tidak?”

Habis berkata, mendadak sinar kuning berkelebat, belati yang dipegangnya itu tahu-tahu disambitkan ke dada Lim Peng-ci.

Hal ini benar-benar di luar dugaan Uh Jin-ho dan Pui Jin-ti, sama sekali mereka tidak pikir bahwa nona itu bisa mendadak menyambitkan belati untuk membunuh orang. Cin-lam dan istrinya lebih-lebih terkejut, tapi mereka tertutuk dan tak bisa berkutik.

Melihat belati emas itu menyambar tiba, Peng-ci sendiri pun tak berdaya dan terima ajal saja. Siapa duga ketika belati itu melayang sampai di tengah jalan, sekonyong-konyong batang belati lantas membalik sehingga gagang belati di depan dan ujung belati di belakang, dengan demikian maka terdengarlah suara “plok” yang perlahan, gagang belati telah menumbuk di atas dada Peng-ci, tempat yang ditumbuk tepat adalah “Tan-tiong-hiat”, suatu Hiat-to penting di tubuh manusia.

Seketika Peng-ci merasa bagian Hiat-to itu kesakitan, beberapa arus hawa hangat lantas meluas ke bagian tangan dan kaki, segera ia dapat bergerak lagi. Cepat ia lantas melompat bangun. Cuma lututnya terasa masih lemas, untuk berdiri tegak masih belum kuat, ia sempoyongan dan berlutut ke arah si nona, cepat ia menggunakan tangan untuk menahan di tanah, dengan demikian barulah dapat berdiri kembali dengan muka merah jengah.

Pui Jin-ti sudah lama masuk Jing-sia-pay, dalam hal ilmu silat boleh dikata cukup berpengalaman dan pengetahuannya, tapi gerakan “lempar belati membuka Hiat-to” yang dilakukan si nona burik itu benar-benar mengherankannya. Belati itu sudah disambitkan, kemudian membalik di tengah jalan, cara lemparan demikian benar-benar sukar dibayangkan.

Sebenarnya kalau si nona terang-terangan hendak membuka Hiat-to Lim Peng-ci yang tertutuk, tentulah Jin-ti dan Jin-ho akan merintanginya. Tapi dengan cara melempar belati untuk membuka Hiat-to pemuda itu, mereka benar-benar mati kutu dan tidak sempat untuk mencegahnya.

Dan waktu Peng-ci berdiri kembali, belati emas itu telah jatuh ke lantai dan tepat menggelinding ke samping kaki si nona. Dengan enteng sekali si nona mencukit dengan ujung kakinya, belati itu mendadak meloncat ke atas dan segera dipegang kembali oleh nona itu. Katanya kepada Peng-ci, “Nah, Lim-kongcu, biarlah kuperkenalkan, yang ini adalah Pui-tayhiap dan yang itu adalah Uh-tayhiap, mereka adalah tokoh-tokoh Jing-sia-pay yang terkenal, silakan kalian berkenalan.”

Peng-ci menjadi serbarunyam, katanya di dalam hati, “Sudah sejak tadi kami telah berkenalan!”

Tapi ia tahu maksud si nona tentu menguntungkan dirinya, maka terpaksa menjawab secara samar-samar saja.

Lalu si nona berkata pula, “Dengan maksud baik aku telah menyuguhi mereka dengan tiga cawan arak Chit-kang-liu-hiat-ciu. Tapi Pui dan Uh-tayhiap ternyata tidak sudi minum, sebaliknya bicara hal-hal yang mendongkolkan orang. Aku percaya Lim-kongcu pasti lebih bijaksana daripada mereka, jika kau berani boleh silakan minum saja arak itu.”

Tadi walaupun Peng-ci menggeletak tak bisa berkutik di atas tanah, tetapi ia dapat mengikuti pembicaraan mereka tentang nama arak itu. Ia pikir Ho-ting-ang dan warangan adalah racun paling jahat, lebih-lebih Ho-ting-ang, boleh dikata asal menempel mulut saja tentu akan merenggut nyawa. Arak itu kelihatan merah sebagai darah, tentu campuran dari racun yang luar biasa jahatnya, arak demikian mana boleh diminum?

Sekilas dilihatnya air muka kedua murid Jing-sia-pay itu sedang memandang padanya dengan sikap menghina. Tadi dia telah kenyang dianiaya, memangnya rasa dendamnya lagi belum terlampiaskan. Sekarang melihat lagi air muka kedua orang yang mencemoohkannya itu, keruan ia tambah kalap. Seketika timbul suatu pikiran nekat dalam benaknya, “Jika nona ini tidak menolong aku, entah betapa aku akan menderita bila aku ditawan ke Jing-sia-pay, akhirnya aku pun tak terhindar dari kematian. Hm, mereka menganggap dirinya sendiri sebagai kesatria dan memandang hina padaku seperti kaum pengecut. Huh, biar mati kenapa aku mesti takut? Kalau aku tidak minum arak berbisa ini, tentu juga nona ini akan mengatakan aku tidak punya nyali.”

Begitulah serentak semangat bergolak, rasa nekatnya lantas berkobar-kobar, tanpa pikir akibatnya lagi, segera ia angkat secawan arak itu terus ditenggak habis. Begitu habiskan secawan, rasa hatinya terasa pilu, menyusul cawan kedua dan ketiga juga lantas dihabiskannya. Lalu berkata, “Lebih baik aku mati minum arak racun pemberian nona ini daripada binasa di tangan manusia-manusia rendah sebagai kalian ini.”

Habis berkata, tiba-tiba ia merasa sisa arak di dalam mulutnya itu penuh rasa harum pupur, ia menjadi heran, bau Ho-ting-ang dan warangan itu kenapa sama dengan bau pupur yang wangi.

Dalam pada itu, Lim Cin-lam dan Ong-hujin merasa sangat berduka ketika melihat putranya tidak tahan dihina dan sekaligus minum habis tiga cawan arak berbisa.

Sedangkan air muka Pui Jin-ti tampak likat-likat. Sebaliknya, diam-diam Uh Jin-ho merasa kagum kepada Peng-ci, pikirnya, “Ilmu silat orang ini hanya biasa saja, tapi ternyata seorang laki-laki yang gagah berani.”

Si nona burik juga lantas acungkan jempolnya dan memuji, “Bagus, Lim-kongcu memang tidak memalukan sebagai putra pemilik Hok-wi-piaukiok yang termasyhur.”

Lalu katanya kepada Jin-ti berdua, “Nah, Pui-tayhiap dan Uh-tayhiap, tentang Lim-kongcu salah membunuh Ih-tayhiap, hehe, Ih-tayhiap ….” berulang ia menyebut “Ih-tayhiap” dengan nada menghina, lalu sambungnya, “maka sekarang dapatlah kalian pulang ke Jing-sia dan melapor kepada guru kalian bahwa sakit hati itu sudah terbalas dan dapat dipertanggungjawabkan. Nah, silakan berangkat!”

Jin-ho lantas berbangkit. Katanya, “Baik, mengingat diri nona, biarlah urusan ini kita akhiri sampai di sini.”



-dipi-
 
Hina Kelana
Bab 07. Lebih Baik Mengemis daripada Mencuri
Oleh Jin Yong


Tapi diam-diam Pui Jin-ti berpikir, “Urusan ini benar-benar rada ganjil, rasanya perempuan ini tidak bakal menyuruh bocah she Lim ini minum racun kecuali kalau dia benar-benar gentar kepada Siong-hong-koan kami?”

Mendadak pikirannya tergerak dan paham duduknya perkara, ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, ucapan nona ini seakan-akan menganggap kami berdua ini sebagai anak kecil umur tiga saja! Ketiga cawan itu hakikatnya berisi darah babi, darah anjing, masakan kau katakan arak Ho-ting-ang campur warangan apa segala? Kami cuma merasa muak untuk minum darah babi dan anjing yang kotor demikian itu, kalau benar-benar arak berbisa, jangankan cuma tiga cawan, biarpun 30 cawan juga akan kami minum dan kami tentu mempunyai obat penawar racunnya. Coba lihat, sesudah minum, anak jadah she Lim itu masih tetap segar bugar, apakah benar arakmu itu beracun? Huh, apakah nona kira kami begini gampang untuk dibohongi?”

Waktu Jin-ho memandang Peng-ci, muka pemuda itu tampak sebentar merah sebentar pucat dan tiada sesuatu yang luar biasa. Seketika ia pun sadar, pikirnya, “Kiranya arak itu tidak berbisa, hampir-hampir saja aku tertipu. Untung Pui-suko cukup cerdik, tidaklah percuma namanya pakai ‘Ti’ (cerdik).”

Dalam pada itu si nona telah menjawab dengan tersenyum. “Jadi kalau arak ini benar-benar arak beracun, maka 30 cawan sekalipun akan kau minum juga?”

“Anak murid Jing-sia-pay kami biasanya sih tidak begitu gentar terhadap obat beracun atau benda berbisa,” sahut Jin-ti. Tadi mereka telah memperlihatkan rasa takut mati ketika tidak berani minum arak suguhan si nona yang dikatakan berbisa, maka sekarang mulut Jin-ti sedapat mungkin tidak mau kalah.

Si nona tidak bicara lagi, segera ia angkat sebuah poci teh yang berada di atas meja, ia tuang tiga cawan teh ke dalam cawan-cawan arak yang sudah kosong itu, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari bajunya, dari botol kecil itu dituangkan sedikit bubuk warna hijau ke dalam cawan-cawan teh. Begitu sumbat botol dibuka, bubuk warna hijau itu lantas mengeluarkan semacam bau yang sangat menusuk hidung, kontan Peng-ci bersin beberapa kali.

Setelah mencair ke dalam air teh, seketika air teh yang tadinya warna kuning kecokelat-cokelatan itu lantas berubah menjadi hijau gelap, sampai-sampai air muka si nona yang kuning benjol-benjol itu pun kehijau-hijauan tersorot oleh bayangan air teh itu.

Walaupun ketiga cawan itu hanya berisi sedikit air hijau, tapi di tengah warna hijau kental itu lapat-lapat kelihatan berminyak yang mengeluarkan pancawarna mirip upas ular berbisa dan liur kelabang, kelihatannya menjadi sangat seram, berbareng bau amis yang memuakkan lantas timbul juga dari cawan. Tanpa merasa Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho sampai melangkah mundur dua tindak.

Dengan tersenyum si nona berkata pula, “Ketiga cawan arak berbisa ini memang lebih lihai daripada tadi, kalian jadi minum atau tidak?”

Dari bau dan warnanya Jin-ti tahu ketiga cawan air hijau itu hakikatnya bukan lagi arak, tapi adalah campuran obat racun dengan air teh, jangankan diminum, melulu baunya saja sudah dapat membikin orang kelengar. Maka jawabnya, “Meski kami mempunyai obat mujarab penawar racun, tapi biasanya baru kami gunakan bila tergigit ular atau kelabang dan makhluk-makhluk berbisa lain, atau bila kena diracuni oleh kaum bangsat keroco kalangan Hek-to. Tapi nona adalah murid Hoa-san-pay yang terhormat, masakah kami berani sembarangan mencari perkara?”

Ucapannya itu seakan-akan hendak mengatakan bila kau berkeras memaksa kami minum arak berbisa itu, maka kau sendirilah yang akan merosotkan harga diri sebagai kaum bangsat keroco kalangan Hek-to.

Si nona juga lantas berkata, “Lim-siaupiauthau ini telah membunuh Ih-tayhiap dari Jing-sia-pay kalian lantaran membela diriku, sekarang kalian hendak merecoki dia, masakah aku boleh berpeluk tangan tanpa ikut campur? Namun Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kami biasanya mempunyai hubungan baik, agar persoalan ini tidak meretakkan persahabatan kedua belah pihak, rasanya kita harus cari suatu jalan tengah yang sempurna. Sekarang aku ingin memintakan kelonggaran pada kalian, apakah boleh?”

Jin-ho dan Jin-ti menjadi serbasusah. Akhirnya Jin-ti menjawab, “Jika kami diharuskan mengampuni jiwa bocah she Lim ini, lalu cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan urusan ini kepada Suhu?”

“Baik, begini saja,” kata si nona, “kita boleh silakan Lim-siaupiauthau menghabiskan isi tiga cawan arak ini agar dia mangkat dengan tubuh utuh. Dengan demikian sakit hati kalian akan terbalas, sebaliknya aku pun mendapat muka, ini namanya sama-sama baiknya.”

Semula Peng-ci mengira si nona hendak membelanya dan suruh kedua orang itu jangan mengganggu dirinya, siapa tahu akhirnya tetap dirinya harus mati dengan minum racun. Ia lihat mereka bertiga bicara tentang hubungan baik antargolongan mereka, sudah tentu mereka tidak mau bertengkar hanya untuk membela seorang luar yang tidak penting bagi mereka. Apalagi seorang laki-laki sejati buat apa mesti minta seorang wanita memohonkan ampun kepada orang lain?

Karena pikiran demikian, dengan bersitegang Peng-ci lantas berseru, “Orang she Lim mengaku sudah kalah, buat apa mesti diperdebatkan lagi. Kedua golongan kalian adalah sahabat baik, mana boleh bertengkar lantaran diriku?” Habis berkata ia terus angkat arak berbisa di atas meja dan sekali tenggak ia bersihkan isinya.

Jin-ho sampai bersuara heran. Pikirnya, “Orang ini benar-benar seorang laki-laki yang tidak takut mati, sungguh hebat.”

Dalam pada itu, susul-menyusul Peng-ci telah minum habis cawan kedua dan ketiga. Seketika ia merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, bumi dan langit serasa terjungkir balik. Ia tak kuasa lagi dan jatuh terjungkal.

Karena tidak berani menyalahi pihak Hoa-san-pay, pula jeri kepada ilmu silat si nona burik yang lihai itu, apalagi Peng-ci sudah minum racun, jiwanya hanya tergantung sesaat dua saat saja, Pui Jin-ti pikir kesempatan ini paling baik untuk mundur teratur. Maka ia lantas berkata kepada si nona sambil memberi hormat, “Demi kehormatan nona, betapa pun kami harus mengalah. Jika biang keladinya sudah binasa, maka biarkan dia mati dengan jenazah sempurna saja. Namun Lim Cin-lam dan istrinya tetap kami bawa pergi agar dapat dipertanggungjawabkan kepada Suhu.”

Si nona menghela napas, katanya, “Apa mau dikata lagi, aku hanya seorang wanita lemah, masakan aku mampu merintangi Pui-tayhiap dan Uh-tayhiap yang termasyhur dari Jing-sia-pay?”

Segera Uh Jin-ho berjongkok untuk membuka Hiat-to di tubuh Cin-lam dan istrinya. Segera Cin-lam hendak mencaci maki, tapi belum lanjut ucapannya, secepat kilat Jin-ho menutuk pula “Koh-ceng-hiat” dan “Tay-cu-hiat” di tubuh mereka. Dengan demikian mereka suami istri hanya bisa berjalan saja, tapi tubuh bagian atas tetap tak bisa berkutik.

Menyusul Jin-ho lantas lolos pedang sambil membentak, “Untuk selanjutnya jika kau tidak menurut perintah dalam perjalanan, segera sebelah lengan binimu akan kutebas kutung. Sebaliknya jika binimu yang membangkang, segera aku pun mengutungi sebelah lenganmu. Kalau kalian ingin tahu rasanya nanti, tentu kalian takkan kecewa. Nah, jalanlah lekas!”

Perasaan Cin-lam dan istrinya seperti disayat-sayat demi tampak putra mereka menggeletak tak bergerak di atas tanah, terang pemuda itu sudah mati keracunan. Sekarang mendengar pula ancaman Uh Jin-ho yang keji itu, sungguh tidak kepalang rasa murkanya. Namun bila dirinya membangkang, tentu ancaman musuh itu akan dilaksanakan, kalau lengan sendiri yang ditebas sih tidak menjadi soal, celakanya justru lengan sang istri yang akan ditebas olehnya. Terpaksa dengan menahan rasa duka dan murka, mereka melangkah keluar warung nasi itu dengan agak sempoyongan.

Sebelum melangkah keluar Ong-hujin masih menoleh memandang sekejap kepada si nona dengan sorot mata yang penuh kebencian. Tapi nona itu lantas berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.

Pui Jin-ti jalan paling belakang, ia coba memeriksa dahulu pernapasan Peng-ci dan terasa sangat lemah, hampir-hampir putus setiap saat. Khawatir kalau sebentar lagi bila dirinya sudah pergi lalu si nona akan menolong pemuda itu dengan obat penawar, maka sambil memaki, segera ia tendang sekali di bagian Pek-hwe-hiat di ubun-ubun kepala Peng-ci.

Keruan si nona terperanjat, cepat ia melompat maju untuk mencegahnya, akan tetapi sudah terlambat ….

Setelah habiskan tiga cawan air berbisa, keadaan Peng-ci sudah dalam keadaan sadar tak sadar, remang-remang dilihatnya ayah-bundanya telah digiring pergi, ia ingin berteriak, tapi tak bisa mengeluarkan suara. Pada saat itulah mendadak ubun-ubunnya kena ditendang dengan keras oleh Pui Jin-ti, seketika ia merasa batok kepalanya seperti pecah terbelah, lalu tidak ingat apa-apa lagi.

*****

Entah sudah lewat berapa lama, perlahan-lahan ia siuman kembali seperti habis bermimpi buruk, ia merasa sekujur tubuhnya tertindih dan sukar bernapas, ia bermaksud meronta sekuatnya, tapi tak bisa berkutik pula. Ia coba membuka mata lebar-lebar, tapi keadaan gelap gulita, seluruh badannya sakit tak terkatakan. Ia menjadi takut. Pikirnya, “Celaka, tentu aku sudah mati, sekarang aku sudah menjadi setan dan bukan manusia lagi. Aku tentu berada di neraka dan bukan di dunia ramai.”

Selang agak lama, ia coba meronta-ronta lagi dan membuka mulut hendak berteriak, tiba-tiba mulutnya kemasukan tanah pasir yang menyesakkan napas. Ia terkejut, “Wah, aku benar-benar sudah dikubur.”

Sekuatnya ia coba menahan dengan kedua tangan, di luar dugaan kepalanya lantas menongol keluar dari dalam tanah.

Sesudah merangkak keluar dan duduk di atas tanah, ia coba periksa sekitarnya. Kiranya dia masih tetap berada di samping warung nasi itu, sekelilingnya gelap gulita, nyata sudah jauh malam, yang terdengar hanya suara serangga yang sahut-menyahut di kejauhan.

Pada saat itulah rembulan muda lapat-lapat baru saja menongol dari balik awan. Pohon bambu bergoyang-goyang tertiup angin laksana setan iblis hendak menerkam. Hati Peng-ci berdebar-debar, ubun-ubun kepala terasa sangat sakit pula seperti ditusuk-tusuk. Ia coba merangkak mendekati sebatang pohon, dengan berpegangan batang pohon itu, perlahan-lahan ia berdiri. Baru sekarang ia melihat di sebelahnya memang terdapat sebuah liang, nyata tadi dirinya memang sudah terkubur di situ.

“Sudah terang aku telah minum air racun nona itu, ubun-ubun kena ditendang pula, mengapa aku tidak jadi mati?” demikian pikirnya. “Siapakah yang mengubur aku di sini? Ya, tentulah si nona burik dari Hoa-san-pay itu.”

Dengan langkah sempoyongan ia masuk ke dalam warung nasi pula. Pikirnya, “Ayah dan ibu telah ditawan pergi oleh kedua penjahat dari Jing-sia-pay itu, tentu lebih banyak celaka daripada selamatnya, aku harus lekas-lekas menyusul untuk menolongnya. Meski aku bukan tandingan kedua musuh itu, tapi diam-diam aku dapat menyergap mereka dan mungkin berhasil. Bilamana gagal, toh ayah-ibu akan mati, buat apalagi aku hidup sendirian.”

Terpikir betapa pentingnya menolong ayah-bundanya, ia menjadi gelisah dan bersemangat pula. Ia pikir agar bisa mengelabui mata musuh, paling baik kalau dirinya menyamar saja.

Karena tekadnya hendak menolong kedua orang tua, seketika rasa sakit ubun-ubun kepalanya menjadi terlupa. Soalnya sekarang adalah cara bagaimana dia harus menyamar?

Ia coba menuju ke dapur. Dalam kegelapan ia meraba-raba, akhirnya dapat digerayanginya pisau ketikan api dan batunya. Segera ia mengetik api dan menyalakan pelita minyak. Dengan penerangan itu, ia masuk ke kamar tidur si pemilik warung dengan maksud mencari seperangkat pakaian.

Siapa tahu, dasar miskin, orang gunung lagi, kemiskinannya benar-benar luar biasa, sampai seperangkat pakaian pengganti saja tidak ada. Di dalam kamar memang ada beberapa potong baju dan celana yang penuh tambalan, tapi semuanya adalah pakaian wanita, rupanya milik istri tukang warung itu.

Setelah merenung sejenak, akhirnya Peng-ci keluar lagi dengan membawa pelita minyak, dilihatnya jenazah suami istri pemilik warung itu masih menggeletak di situ.

Mendadak angin dingin berkesiur, pelita minyak itu lantas padam. Berada di tengah-tengah mayat dalam keadaan gelap gulita, mau tak mau Peng-ci sampai mengirik, kaki pun terasa lemas.

Dengan langkah setengah diseret Peng-ci kembali ke dapur untuk menyalakan pelita pula. Lalu mayat pemilik warung itu diseretnya ke sana untuk dilucuti pakaiannya. Coba kalau hari-hari biasa, jangankan memegang mayat, baru melihat saja tentu dia sudah menyingkir jauh-jauh. Tapi sekarang demi untuk menolong ayah-bundanya, biarpun pekerjaan yang sukar bagaimanapun juga dilakukannya.

Setelah menanggalkan pakaian orang mati, mendadak ia pencet hidungnya sendiri, baunya jangan ditanya lagi. Mestinya ia ingin mencuci bersih dahulu pakaian itu, tapi tentu akan makan tempo lama sehingga kehilangan kesempatan untuk menolong ayah-ibunya, bila demikian tentu dirinya akan menyesal untuk selama hidup.

Dengan nekat ia lantas membuka bajunya sendiri hingga bersih, lalu memakai baju bekas orang mati dengan menahan napas karena baunya. Untunglah pakaian itu cukup pas baginya. Kemudian ia bungkus mayat telanjang bulat itu dengan pakaiannya sendiri tadi, bersama mayat wanita lantas dimasukkan ke dalam liang, lalu diuruknya dengan tanah. Pikirnya, “Belatiku sudah dibawa pergi nona itu, aku harus mencari suatu senjata lagi.”

Ia coba memeriksa sekitarnya, tertampak pedangnya sendiri dan pedang ayahnya serta golok ibunya, semuanya sudah patah menjadi dua dan terlempar di atas tanah. Tanpa pikir ia jemput pedang patah ayahnya itu dan dibungkus dengan sepotong kain kotor, lalu diselipkannya di pinggang.

Ketika melangkah keluar warung nasi itu, terasalah kesunyian yang demikian memilukan, hampir-hampir ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Sekuatnya ia lemparkan pelita itu, “plung”, pelita itu jatuh ke dalam kolam dan padam seketika, sekelilingnya kembali gelap gulita lagi.

“Lim Peng-ci, wahai Lim Peng-ci! Jika kau kurang waspada dan tidak sabaran sehingga jatuh ke dalam cengkeraman bangsat-bangsat Jing-sia-pay lagi, maka nasibmu akan serupa dengan pelita yang kecemplung ke dalam kolam itu,” demikian ia memperingatkan dirinya sendiri.

Tanpa merasa ia angkat lengan baju untuk mengucek-ngucek mata, tapi mendadak ia menyengir dan hampir-hampir muntah-muntah, kiranya terciumlah bau lengan baju yang bacin itu. “Wahai Lim Peng-ci, jika cuma bau busuk begini saja kau tidak tahan, percumalah kau menjadi manusia, apa lagi hendak menolong ayah-ibumu?” demikian ia berteriak sendiri. Segera ia angkat kaki menuju ke depan.

Tidak berapa jauhnya, ubun-ubun kepalanya terasa kesakitan lagi. Ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya sehingga jalannya menjadi tambah cepat malah.

Ia terus berjalan tanpa kenal arah di lingkungan jalan pegunungan yang naik turun itu. Sampai fajar menyingsing, tiba-tiba matanya menjadi silau oleh cahaya sang surya yang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang. Seketika hati Peng-ci terkesiap. “Kedua bangsat itu hendak menggiring ayah-ibuku ke Jing-sia-san yang terletak di Sucwan. Padahal Sucwan terletak di daerah barat, mengapa aku malah menuju ke arah timur?”

Maka cepat ia putar tubuh dan ganti haluan dengan berjalan membelakangi sinar matahari. Pikirnya, “Ayah-ibu sudah digiring pergi setengah malaman, aku telah berjalan salah arah pula, jarak dengan mereka menjadi semakin jauh. Aku harus membeli seekor kuda saja, entah berapa harganya?”

Tapi ia lantas mengeluh ketika merogoh saku. Kiranya keberangkatannya kali ini seluruh barang bekalnya tertaruh di kantong kulit yang digantungkan di samping pelana kuda. Maka keadaannya sekarang benar-benar bokek, tidak punya barang sepeser pun. Ini namanya sudah sial tertimpa malang lagi, “Wah, bagaimana ini, bagaimana baiknya ini?” demikian ia menjadi bingung.

Setelah termangu-mangu sejenak, akhirnya ia pikir paling penting harus menolong ayah bundanya dahulu, masakah dirinya khawatir mati kelaparan? Maka dengan langkah lebar segera ia meneruskan perjalanan ke depan dan menuruni bukit.

Menjelang tengah hari, saking laparnya perutnya mulai berkeruyukan. Tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada belasan pohon lengkeng dengan buahnya yang besar, walaupun belum masak, tapi sudah cukup sekadar buat tangsel perut.

Segera ia menuju ke bawah pohon, tangan terangkat ke atas hendak memetik buah lengkeng itu. Tapi baru saja jarinya menyentuh buah yang bundar-bundar itu, sekilas teringat olehnya, “Hok-wi-piaukiok kami adalah keluarga yang terhormat, buah lengkeng ini ada yang punya, jika aku mengambilnya tanpa permisi, ini berarti aku telah mencuri. Turun-temurun keluarga Lim melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga harta benda milik orang, selama itu selalu menjadi lawan kaum penjahat, sekarang aku sendiri mana boleh melakukan perbuatan mencuri? Jika perbuatanku kepergok orang, lalu aku dimaki sebagai pencuri di depan ayah, lantas ke mana ayah akan menyembunyikan mukanya? Hok-wi-piaukiok tidak sukar untuk dibangun kembali, tapi sekali anggota keluarga Lim menjadi pencuri, maka merek Hok-wi-piaukiok pasti susah dipasang lagi.”

Sejak kecil Peng-ci telah mendapat didikan dan petuah-petuah, ia tahu kawanan perampok asalnya adalah pencuri kecil, pencuri itu mula-mula cuma menggerayangi benda-benda kecil yang tak begitu berharga, akan tetapi dari sedikit kemudian menjadi banyak, dari kecil kemudian menjadi besar dan akhirnya lantas menjadi biasa. Kalau kaki sudah kejeblos ke dalam lumpur, maka sukarlah ditarik keluar.

Teringat demikian, tanpa merasa keluarlah keringat dinginnya. Segera ia menetapkan tekad, “Pada suatu hari akhirnya aku dan ayah pasti akan menegakkan kembali nama baik Hok-wi-piaukiok. Seorang laki-laki sejati harus berpijak pada tempat yang betul, aku lebih baik menjadi pengemis daripada menjadi pencuri.”

Begitulah ia segera meneruskan perjalanan dengan langkah lebar dan tidak mau mengincar sekejap pun pada buah lengkeng di tepi jalan itu.

Setelah beberapa li lagi, sampailah dia di suatu desa kecil. Ia coba mendatangi rumah seorang petani, dengan rasa kikuk ia ingin minta sedikit makanan. Padahal selama hidupnya dia sudah biasa dilayani, segala apa serbakecukupan, belum pernah dia minta-minta kepada orang lain. Sebab itulah baru saja bicara beberapa kata, belum-belum mukanya sudah merah jengah.

Dasar perempuan desa itu baru saja bertengkar dengan suaminya, habis dihajar oleh suaminya, memangnya rasa dongkolnya belum terlampiaskan, sekarang datang Lim Peng-ci hendak mengemis, kontan saja ia menyambutnya dengan dampratan habis-habisan, dia sambar sebatang sapu dan membentak, “Kau maling kecil ini, tentu kau yang telah mencuri ayamku yang baru saja hilang itu, sekarang kau datang hendak menggerayangi lagi. Biarpun aku ada nasi sisa juga tidak memberi sedekah kepada maling kecil seperti kau. Kau mencuri ayamku, akibatnya lakiku keparat itu marah-marah dan menggebuki aku sampai babak belur dan matang biru sekujur badanku ….”

Setiap kali perempuan desa itu memaki satu kalimat, kakinya juga lantas mendesak maju, sebaliknya Peng-ci lantas mundur satu langkah. Semakin memaki perempuan itu semakin bersemangat, sampai akhirnya mendadak dia mengangkat sapu terus hantam ke muka Peng-ci.

Peng-ci menjadi gusar, sambil mengegos sebelah tangannya lantas balas memukul. Tapi mendadak terpikir olehnya, “Aku mengemis dan tidak diberi, sebaliknya aku lantas menyerang perempuan desa yang bodoh ini, bukankah terlalu menertawakan?”

Karena itu, sekuatnya ia lantas menarik kembali pukulannya itu.

Tak tersangka dia terlalu nafsu mengeluarkan tenaga, untuk menarik kembali tangannya menjadi rada kagok, apalagi kepalanya masih cekot-cekot, gerak-geriknya kurang gesit, sedikit terhuyung, sekonyong-konyong sebelah kakinya menginjak di atas setumpuk tahi kerbau dan terpeleset, “syurrr … bluk”, ia jatuh terjengkang. Sudah begitu sapu si perempuan desa tidak urung sempat mampir juga di atas mukanya.

Melihat kelakuan Peng-ci yang lucu itu, perempuan desa itu mengakak geli. Dampratnya pula, “Maling busuk, berdiri saja tidak kuat, ingin memukul nyonya besarmu. Huh!”

Habis itu kembali ia angkat sapu terus memukul lagi dan mengusruk-usrukkan ujung sapu itu di muka Peng-ci. Ia tambahi lagi dengan meludahi pemuda itu, kemudian barulah dia balik ke dalam rumah.

Alangkah gusar dan penasaran Peng-ci mengalami hinaan demikian, ditambah lagi ruas tulang seluruh tubuhnya sakit tidak kepalang. Maklumlah bagian “Pek-hwe-hiat” di ubun-ubun kepalanya ditendang oleh Pui Jin-ti, kalau tidak mati saja sudah mujur baginya, ditambah lagi entah berapa lamanya dia dikubur hidup-hidup di dalam liang, memangnya keadaannya sudah sekarat, sebabnya dia dapat merangkak keluar liang kubur hanyalah berkat tekad baktinya yang ingin menolong ayah-ibunya. Sekarang dia terbanting jatuh lagi, maka terasalah badannya yang payah itu dan sukar merangkak bangun lagi.

Beberapa kali ia bermaksud merangkak bangun, tapi saking laparnya tenaga pun tak ada, setiap kali baru saja setengah tubuh terangkat, segera jatuh lagi sehingga muka dan tangan berlumuran kotoran kerbau.

Selagi Peng-ci berkutetan hendak bangkit, tahu-tahu si perempuan tani tadi telah keluar lagi dengan membawa empat batang jagung rebus yang masih panas, agaknya baru saja diambil dari dalam kuali.

“Ini makanlah, setan!” omel perempuan tani itu dengan tertawa sambil menyerahkan jagung-jagung rebus ke dalam tangan Peng-ci. “Kau dikaruniai dengan muka yang tampan, bahkan lebih cantik daripada menantu perempuan orang. Tapi kau justru tidak berkelakuan baik, suka makan malas kerja. Huh, apa gunanya?!”

Peng-ci menjadi gusar, segera ia hendak membanting jagung-jagung rebus yang diterimanya itu.

Tapi si perempuan tani lantas berseru dengan tertawa, “Baik, boleh kau banting saja, lekas buang semua! Jika kau tidak takut mati kelaparan, hayolah lekas banting semua jagung itu, biar kau maling cilik ini mati kelaparan!”

Diam-diam Peng-ci membatin, “Kalau tidak tahan soal kecil, tentu akan bikin runyam urusan besar. Asal aku dapat menyelamatkan ayah dan ibu serta membangun kembali Hok-wi-piaukiok, apa sih halangannya jika cuma dihina oleh seorang wanita desa saja?”

Karena itu ia lantas mengucapkan terima kasih, lalu jagung-jagung rebus itu digerogotinya.

“Hm, aku sudah menduga kau takkan membuangnya,” jengek perempuan tani itu dengan tertawa. Lalu ia putar balik ke dalam rumah pula sambil menggumam sendiri, “Setan cilik ini kelihatan sangat kelaparan, tampaknya ayamku itu bukan dicuri olehnya.”

Karena laparnya, dengan cepat sekali Peng-ci sudah menghabiskan empat batang jagung rebus itu, sebutir pun tidak ketinggalan dilalap olehnya. Maka terasalah sudah setengah kenyang, semangatnya lantas terbangkit. Segera ia merangkak bangun dan meneruskan perjalanan ke arah barat. Sepanjang jalan ia hidup dengan mengemis, terkadang juga menangsel perut dengan buah-buahan bilamana berada di tengah jalan pegunungan yang sunyi.

Untunglah tahun ini provinsi Hokkian lagi makmur, panen berlimpah-limpah, rakyat ada kelebihan bahan makanan. Walaupun Peng-ci telah poles mukanya sehingga kotor, tapi tutur katanya cukup sopan dan menyenangkan orang, maka untuk mengemis makan saja tidak sampai mengalami kesukaran.

Sepanjang jalan ia pun mencari berita tentang ayah-bundanya, tapi tiada mendapatkan sesuatu kabar apa-apa. Beberapa hari kemudian sampailah dia di wilayah provinsi Kangsay. Setelah tanya jelas arahnya, langsung Peng-ci menuju ke kota Lamjiang. Ia pikir di kota itu ada kantor cabang Hok-wi-piaukiok, di sana tentu akan bisa diperoleh berita tentang ayah-ibunya, paling tidak juga dapat mengambil sedikit uang bekal dan untuk membeli kuda.

Siapa duga, setiba di kota Lamjiang, ketika dia tanya di mana letak Hok-wi-piaukiok, tiba-tiba orang yang ditanya menjawab, “Untuk apa kau tanya Hok-wi-piaukiok? Perusahaan itu sudah terbakar habis menjadi runtuhan puing, bahkan tidak sedikit tetangga di kanan-kirinya juga ikut terbakar ludes.”

Diam-diam Peng-ci mengeluh. Ia coba mendatangi tempat kantor cabang itu. Benar juga puing memenuhi sepanjang jalan. Ia coba tanya anak di tepi jalan, kiranya kebakaran itu terjadi enam hari yang lalu. “Belasan orang Piaukiok ikut terbakar mati, baunya tidak keruan!” demikian anak kecil itu menambahkan.

Dihitung dari harinya, Peng-ci menduga tentulah perbuatan Pui Jin-ti dan kawan-kawannya yang telah datang lebih dahulu dengan menunggang kuda. Ia tertegun sejenak, diam-diam ia bersumpah, “Kalau sakit hari ini tidak kubalas, percumalah aku menjadi manusia.”

Ia coba tanya kepada seorang tukang kereta tentang jalan menuju ke Sucwan. Kiranya kalau dari Kangsay hendak ke Sucwan dapat ditempuh dua jalan, melalui sungai Tiangkang atau dengan jalan darat yang lebih sukar ditempuh karena mesti banyak melintasi lereng bukit yang sunyi. Peng-ci pikir kalau menumpang kapal, pertama ia tidak punya bekal, pula sukar mencari jejak ayah-ibunya. Maka tanpa sangsi lagi, segera ia berjalan ke arah barat.

Suatu hari, sampailah dia di kota Tiangsah, ibukota provinsi Oulam. Di kota ini pun terdapat kantor cabang Hok-wi-piaukiok, tapi ia menduga kantor cabang itu pun pasti sudah dibakar musuh.

Tatkala itu hawa rada hangat, di undak-undakan batu di depan sebuah kelenteng di tepi jalan tertampak berduduk tiga orang pengemis dengan tubuh bagian atas telanjang, mereka sedang menjemur sambil membalik-balik baju mereka. Rupanya mereka sedang mencari kutu sambil terkadang-kadang memasukkan kutu yang diketemukan ke dalam mulut terus dikertak sehingga mengeluarkan suara.

Dengan tersenyum yang dibuat-buat, Peng-ci mendekati mereka dan bertanya, “Numpang tanya kepada ketiga Toako, apakah kalian mengetahui bilakah Hok-wi-piaukiok di sini telah terbakar?”

Rupanya ketiga pengemis itu tidak jelas terhadap logat bahasa Hokkian yang diucapkan Peng-ci itu, dengan mata melotot mereka menghardik, “Kau bilang apa?”

Terpaksa Peng-ci mengulangi lagi pertanyaannya. Maka seorang di antaranya yang lebih tua lantas berkata, “Jangan ngaco-belo segala! Jika didengar oleh tuan-tuan dari Piaukiok itu mustahil kau tidak diberi hajaran yang setimpal!”

Sungguh girang Peng-ci tidak terhingga mendengar jawaban itu, cepat ia menjawab, “Ya, ya! Entah Piaukiok itu terletak di jalan mana?”

“Itu bukan?” kata pengemis itu sambil menuding sebuah gedung yang terletak beberapa puluh meter dari situ. “Jika kau ingin minta sedekah, lebih baik ikut kami saja. Jika kau mengira akan mendapatkan apa-apa dari Piaukiok itu, hm, jangan-jangan pantatmu bisa pecah ditendang orang.”

Karena mendapat tahu cabang Piaukioknya tidak berhalangan, Peng-ci tidak mau gubris lagi kepada pengemis-pengemis itu. Segera ia berjalan ke tempat Piaukiok dengan langkah lebar.

Sampai di depan kantor cabang itu, dilihatnya gedungnya walaupun tidak semegah kantor pusat di Hokciu, tapi juga cukup mentereng, kedua daun pintu besar dicat merah, kanan-kiri terdapat dua ekor singa-singaan batu yang angker. Ia coba melongok ke dalam, tapi tiada tertampak seorang pun. Ia menjadi ragu-ragu, kalau dirinya masuk begitu saja dalam keadaan tak ubahnya seperti pengemis, apakah takkan dipandang hina oleh para Piauthau di dalam kantor cabang itu?

Ketika mendadak ia mendongak, tiba-tiba tertampak papan merek yang berhuruf emas itu tidak terpasang sebagaimana mestinya, papan merek yang bertuliskan “Hok-wi-piaukiok cabang Oulam” itu ternyata terbalik pasangnya. Tentu saja ia heran, apakah para Piauthau di sini sedemikian sembrono sampai-sampai papan merek yang harus dijaga baik-baik itu terpasang terbalik?

Waktu ia menoleh dan memerhatikan panji perusahaan yang terpancang di tiang bendera, seketika ia terkesiap.

Ternyata tiang bendera sebelah kiri terpancang sepasang sepatu rusak, sedangkan tiang bendera sebelah kanan terpancang sehelai celana wanita yang robek dan melambai-lambai tertiup angin.

Selagi bingung, tiba-tiba dari dalam Piaukiok berjalan keluar seorang dan membentak padanya, “Anak kura-kura, kerja apa longak-longok di sini? Mau mencuri ya?”

Mendengar logat orang sama dengan rombongan Ih Jin-gan, Keh Jin-tat dan lain-lain, terang adalah orang Sucwan, maka Peng-ci tidak berani bertingkah lagi di situ, segera ia hendak menyingkir. Tapi mendadak angin menyambar dari belakang, pantatnya telah didepak orang itu sehingga dia jatuh terjerembap.

Dengan murka segera Peng-ci bermaksud merangkak bangun untuk melabrak orang itu. Tapi lantas teringat olehnya, “Cabang Piaukiok di sini terang juga telah dikangkangi oleh orang Jing-sia-pay, aku masih harus mencari ayah dan ibu, mana boleh sembrono mengumbar nafsu marah?”

Segera ia pura-pura tidak mahir ilmu silat dan meringis kesakitan, sampai lama sekali masih tidak sanggup berdiri. Untung ilmu silat orang itu pun tidak tinggi sehingga tidak tahu lagak Peng-ci yang pura-pura itu. Sebaliknya ia bergelak tertawa sambil memaki “anak kura-kura” pula lalu tinggal masuk ke dalam.

Perlahan-lahan Peng-ci merangkak bangun, dengan jalan terpincang yang dibuat-buat ia menyingkir ke suatu gang kecil dan mengemis semangkuk nasi kepada seorang penduduk. Pikirnya, “Di sekelilingku sekarang banyak musuh, aku harus waspada dan hati-hati.”

Segera ia mencari sedikit debu hangus untuk mengusap mukanya sehingga kelihatan hitam kotor. Kemudian ia berbaring di pojok dinding rumah sana untuk mengaso.

Akhirnya hari pun menjadi gelap. Ia ringkaskan pakaiannya, pedang patah yang terselip di dalam bajunya disiapkan di pinggang. Lalu ia putar ke pintu belakang cabang Piaukiok. Setelah tiada mendengar sesuatu suara apa-apa di balik dinding barulah dia melompat ke atas pagar tembok. Ternyata di dalamnya adalah sebuah kebun sayur. Dengan perlahan-lahan ia melompat turun, selangkah demi selangkah ia merayap maju menyisir tembok.

Sebenarnya kantor cabang di kota Tiangsah itu adalah cabang yang terbesar, seluruh pegawainya meliputi 60-70 orang. Tapi sekarang keadaan di dalam gedung itu ternyata gelap gulita, tidak ada sinar lampu, juga tidak ada suara orang.

Dengan hati berdebur-debur Peng-ci merayap maju terus dengan sangat hati-hati agar tidak menerbitkan suara sedikit pun. Setelah melintasi pekarangan dalam, tertampaklah jendela di kamar serambi timur sana ada sinar lampu, sayup-sayup terdengar ada suara orang pula. Dengan nekat Peng-ci mendekati jendela itu dengan berjinjit-jinjit dan menahan napas. Sesudah merunduk sampai di bawah jendela, dengan hati-hati ia meringkuk di situ untuk mendengarkan.

Baru saja ia duduk di kaki dinding di bawah jendela itu, segera terdengar suara seorang sedang berkata, “Besok pagi-pagi kita lantas membakar habis Piaukiok kura-kura ini, supaya tidak mencolok mata saja.”

Tapi seorang lagi lantas menjawab, “Jangan! Sekali ini kita tak boleh bakar lagi. Piaukiok kura-kura di Lamjiang itu telah kita bakar sehingga merembet pada belasan rumah tetangga di sekitarnya, kejadian demikian akan kurang menguntungkan nama baik Jing-sia-pay kita.”

Maka jelaslah bagi Peng-ci bahwa terbakarnya kantor cabang di Lamjiang itu memang sengaja dilakukan oleh orang Jing-sia-pay, tapi sekarang mereka masih berpikir tentang nama baik apa segala.

Dalam pada itu terdengar orang pertama tadi telah berkata pula, “Tidak dibakar, apakah dibiarkan begini saja?”

“Sifatmu yang keras ini rupanya tidak bisa berubah, Kiat-sute,” ujar kawannya dengan tertawa. “Kita telah jungkir balikkan papan Piaukiok ini, telah menggantung celana wanita dan sepatu rusak di tiang benderanya, selanjutnya apakah nama Hok-wi-piaukiok mereka takkan runtuh habis-habisan di dunia Kangouw. Kita biarkan celana robek itu tetap melambai-lambai di tiang benderanya, buat apa mesti membakar lagi?”

“Betul juga, Sin-suko,” kata si orang she Kiat dengan tertawa. “Hehe, celana wanita itu benar-benar membikin sial Hok-wi-piaukiok mereka, tanggung selama 300 tahun mereka akan selalu celaka.”

Maka tertawalah kedua orang itu dengan terbahak-bahak. Lalu si orang she Kiat berkata pula, “Besok kita akan pergi ke Heng-san untuk mengucapkan selamat kepada Lau Cing-hong, sebaiknya kita membawakan hadiah apa untuknya? Berita ini kita terima secara tiba-tiba sehingga tidak keburu melapor kepada Suhu, jika kado kita ini kurang bernilai tentu akan merendahkan derajat Jing-sia-pay kita.”

“Kado ini siang-siang sudah kusediakan,” kata orang she Sin dengan tertawa, “untuk ini harap kau jangan khawatir, tanggung takkan membikin malu Jing-sia-pay kita. Boleh jadi dalam perjamuan merayakan ‘cuci tangan’ Lau Cing-hong nanti, yang akan paling menonjol mungkin adalah hadiah kita ini.”

“He, kado berharga apakah itu? Mengapa sedikit pun aku tidak tahu?” seru si orang she Kiat dengan senang. “Ya, Sin-suko memang banyak akal, mungkin Pui-suheng yang terkenal cerdik pandai itu pun tidak dapat membandingi kau.”

Si orang she Sin tertawa gembira. Katanya, “Hadiah ini sebenarnya juga cuma meminjam milik orang lain saja. Coba kau lihat, apakah barang ini cukup mentereng atau tidak?”

Lalu terdengarlah suara keresek-keresek, suara orang membuka bungkusan apa-apa. Kemudian terdengar orang she Kiat sampai berseru kaget, katanya, “Wah, hebat, hebat sekali. Sungguh mahasakti kepandaian Sin-suko, dari manakah kau mendapatkan benda-benda berharga seperti ini?”

Mestinya Peng-ci ingin mengintip melalui celah-celah jendela untuk mengetahui benda apa yang diributkan itu, tapi khawatir perbuatannya itu diketahui orang, terpaksa ia mengekang maksudnya itu.

Maka terdengar si orang she Sin telah menjawab, “Memangnya apakah usaha sia-sia saja kita merebut Hok-wi-piaukiok ini? Sepasang kuda kemala dan sepasang merak zamrud ini mestinya hendak kubawa pulang untuk dipersembahkan kepada Suhu, tapi sekarang agaknya si tua Lau Cing-hong yang akan terima benda-benda ini.”

Kembali hati Peng-ci merasa gemas, pikirnya, “Kiranya dia telah merampok benda mestika Piaukiok kami, sebaliknya digunakan untuk mengambil hati orang lain, perbuatan mereka ini bukankah tiada ubahnya seperti bandit kalangan Lok-lim? Ya, kantor cabang Tiangsah sini memangnya tersimpan tidak sedikit harta benda yang merupakan barang langganan yang harus dikawal. Sepasang kuda kemala dan merak zamrud itu tentu tidak terhingga nilainya, jika sampai hilang tentu ayah yang harus ganti kerugian ini.”

Dalam pada itu terdengar si orang she Kiat lagi berkata, “Sin-suko, hubungan Lau Cing-hong dengan Suhu agaknya tidak terlalu akrab, kukira hadiah kita ini cukup satu macam saja, sisanya lebih baik kita persembahkan kepada Suhu.”


-dipi-
 
Hina Kelana
Bab 08. Harta Karun di Dalam Peti
Oleh Jin Yong


“Rupanya kau tidak mengetahui persoalan ini,” ujar si orang she Sin dengan tertawa. “Sekali ini Lau Cing-hong merayakan pesta ‘cuci tangan’, tentu tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai golongan dan aliran akan ikut hadir. Maka hadiah kita ini bukan untuk mengambil hatinya Lau Cing-hong, tapi lebih tepat adalah untuk menonjolkan nama Jing-sia-pay kita agar mereka lebih kenal siapakah Jing-sia-pay.”

“O, ya, betapa pun memang Sin-suko lebih dapat berpikir panjang,” kata si orang she Kiat. “Hanya saja kalau … kalau kita pulang dengan tangan kosong, walaupun Suhu takkan marah, tapi kita … kita sendiri ….”

“Jangan khawatir,” ujar si orang she Sin. “Biasanya benda-benda begini saja takkan berharga dalam pandangan Suhu. Kukira justru ibu-guru muda yang harus kita persembahi apa-apa. Dan hadiah baginya juga sudah kusediakan. Untuk ini kau pun jangan khawatir, Kiat-sute. Hadiah ini menggunakan atas nama kita berdua, tidak nanti Suhengmu ini melupakan dirimu.”

“Banyak terima kasih, Sin-suko,” sahut si orang she Kiat dengan girang.

“Terima kasih apa? Kita berdua yang telah merebut Piaukiok ini, kita mengeluarkan tenaga bersama, sudah tentu kita menerima pahala bersama pula,” kata orang she Sin.

Maka bergelak tertawalah kedua orang itu.

Habis itu, terdengar si orang she Sin menyambung lagi, “Nah, Kiat-sute, di sini telah kusediakan empat buntal, satu buntal kita persembahkan kepada para Susiok, sebuntal lagi untuk para Suheng dan Sute, dan kedua buntal ini adalah bagian kita berdua. Boleh kau pilih sendiri saja!”

“Barang apakah itu?” tanya si orang she Kiat.

Keadaan lalu sunyi, menyusul hanya terdengar suara keresek-keresek seperti tadi. Habis itu mendadak terdengar orang she Kiat itu berseru kaget. Katanya, “Wah, kiranya emas intan seluruhnya. Waduh, sekali ini kita benar-benar kaya mendadak. Anak kura-kura, selama ini Hok-wi-piaukiok ini ternyata tidak sedikit mengumpulkan harta benda. Sin-suko, dari mana kau menemukannya? Padahal aku sudah mencari belasan kali, sampai-sampai ubin juga hampir kugali, tapi yang kudapatkan hanya ratusan tahil perak saja. Tapi diam-diam kau malah dapat menguras keluar harta pusaka mereka.”

Si orang she Sin sangat senang dan merasa bangga, jawabnya dengan tertawa, “Harta benda perusahaan Piaukiok mana boleh ditaruh di tempat sembarangan? Haha, selama beberapa hari ini diam-diam aku telah mengikuti caramu membongkar lemari, mendongkel dinding, membalik meja dan membobol laci, sibuknya tidak keruan!”

“Ya, kagum, kagum! Sebenarnya dari mana kau menemukannya, Sin-suko?” tanya pula si orang she Kiat.

“Kiat-sute,” jawab si orang she Sin, “kita mengembara Kangouw, ilmu silat memang penting, tapi yang lebih penting adalah ini ….” ia ketok-ketok dahi sendiri dengan jari, lalu menyambung, “Coba kau pikir, adakah sesuatu yang tidak masuk di akal dalam Piaukiok ini?”

“Yang tidak masuk di akal? Hahaha! Kukira banyak sekali hal-hal yang tak masuk di akal dalam Piaukiok ini, mana aku dapat menyelidikinya satu per satu?”

“Sebab itulah, maka kau, Kiat-sute, kukira untuk selanjutnya kau harus lebih banyak menggunakan otak,” ujar si orang she Sin dengan tertawa. “Misalnya, gedung Piaukiok mereka yang megah ini kenapa di ruangan samping ditaruh sebuah peti mati yang besar, apakah ini masuk di akal?”

“Ah, aku tidak punya tempo senggang untuk mengurusnya, apakah mereka suka menaruh peti mati atau menaruh telaga tahi di situ, peduli apa dengan aku?”

“Makanya, sekali lagi kubilang kau harus menggunakan otak, Kiat-sute,” kata orang she Sin. “Coba pikirkan, untuk apa mereka taruh peti mati di kamar sebelah, memangnya dia sayang menguburnya karena yang mati adalah anaknya atau bininya? Haha, kukira tidak. Lalu apakah tiada tersimpan sesuatu di dalam peti mati itu untuk mengelabui orang lain ….”

“Aha, benar!” seru si orang she Kiat sambil melonjak bangun. “Engkau benar-benar lihai, Sin-suko. Tentunya harta yang kau ketemukan itu tersimpan di dalam peti mati itu, bukan? Haha, bagus, bagus! Para Piausu anak kura-kura ini memang macam-macam dan ada-ada saja. Mereka sengaja menyimpan harta karun ini di dalam peti mati, tentu saja sukar diketemukan biarpun Piaukiok ini kedatangan garong. Eh, Sin-suko marilah kita mencuci kaki, lalu tidur saja.”

Habis berkata ia menguap kantuk, lalu membuka pintu dan keluar.

Dengan mendekam di bawah jendela Peng-ci tidak berani bergerak sedikit pun, ia coba melirik ke dalam melalui celah-celah jendela, dari bayangannya kelihatan orang she Kiat itu berperawakan pendek gemuk, besar kemungkinan adalah orang yang mendepaknya siang tadi.

Selang tak lama, si orang she Kiat telah masuk kembali ke kamar dengan membawa satu baskom air panas, katanya, “Sin-suko, kali ini Suhu telah mengutus kita berjumlah 16 orang keluar, tampaknya kita berdua yang mendapatkan rezeki paling banyak, berkat kelihaian Sin-suko aku pun ikut berjasa. Bak-sute bertugas menyerang cabang Kwiciu, Kong-suko menyerang cabang Hangciu, tapi biarpun mereka melihat peti mati juga belum tentu tahu di dalamnya tersimpan harta karun sebanyak ini.”

“Tapi Pui-suko dan Uh-sute yang ditugaskan mengubrak-abrik kantor pusat di Hokciu, hasil mereka tentu jauh lebih besar daripada kita,” sahut orang she Sin dengan tertawa. “Cuma jiwa putra kesayangan ibu-guru itu telah melayang di Hokciu, jasa mereka mungkin dapat menutupi kesalahan mereka di hadapan Suhu, namun ibu-guru muda tentu tak mau mengampuni mereka.”

“Ya, aku pun heran,” demikian kata si orang she Kiat. “Pada waktu Suhu mengirim kita keluar, katanya Hok-wi-piaukiok sudah tiga turunan melakukan usaha pengawalan, orangnya banyak, pengaruhnya besar, kepandaian warisan keluarga Lim berupa 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat, 108 gerakan Hoan-thian-ciang dan 18 batang panah tidak boleh dipandang enteng, kita disuruh menyerang secara mendadak dan serentak baik di kantor pusat maupun di kantor cabangnya. Siapa duga Hok-wi-piaukiok hanya punya nama kosong saja, dengan mudah Pui-suko sudah menangkap Lim Cin-lam dan istrinya. Tampaknya sekali ini Suhu sendiri pun salah mata.”

Keringat dingin sampai memenuhi dahi Peng-ci yang mendengarkan di luar jendela itu. Pikirnya, “Jika demikian jadi Jing-sia-pay memang mempunyai rencana untuk mencari perkara kepada Piaukiok kami dan bukanlah lantaran aku salah membunuh orang she Ih itu. Menurut rencana mereka, andaikan aku tidak membunuh keparat she Ih itu juga mereka tetap akan menghancurkan Piaukiok kami. Tapi entah kesalahan apa yang telah kami perbuat terhadap Jing-sia-pay sehingga mereka turun tangan sekeji ini?”

Berpikir sampai di sini, rasa menyesalnya semula atas diri sendiri yang telah menimbulkan malapetaka ini menjadi berkurang, sebaliknya rasa dendam dan gusar lantas bergolak. Kalau tidak sadar bahwa kepandaian sendiri bukan tandingan lawan, sungguh dia ingin menerjang masuk untuk membinasakan kedua jahanam itu.

Sementara itu terdengar suara gemerciknya air di dalam kamar, rupanya kedua orang itu sedang mencuci kaki. Terdengar si orang she Sin lagi berkata, “Bukanlah Suhu salah mata, sesungguhnya Hok-wi-piaukiok memang mempunyai kepandaian sejati, kalau tidak masakah namanya selama ini sedemikian disegani di provinsi-provinsi antarpantai. Besar kemungkinan keturunan mereka yang tidak becus, tidak mampu mewariskan kepandaian leluhur sendiri. Padahal Pi-sia-kiam-hoat dan Hoan-thian-ciang benar-benar sangat ternama di kalangan Bu-lim dan bukanlah omong kosong.”

Muka Peng-ci sampai merah jengah dalam kegelapan demi mendengar orang mencerca “keturunan mereka yang tidak becus dan tidak mampu mewariskan kepandaian leluhur”. Diam-diam ia harus mengakui akan kebenaran ucapan lawan.

Sementara itu orang she Sin telah menyambung, “Waktu kita hendak berangkat Suhu telah mengajarkan cara-cara mematahkan Pi-sia-kiam-hoat dan Hoan-thian-ciang pada kita, walaupun dalam waktu belasan hari saja sukar mempelajarinya dengan sempurna, tapi tampaknya ilmu pedang dan ilmu pukulan itu memang mempunyai kekuatan tersembunyi yang tidak mudah untuk dimainkan. Kau sendiri dapat memahami berapa banyak, Kiat-sute?”

“Ah, Suhu sendiri mengatakan bahwa sampai-sampai Lim Cin-lam sendiri pun tidak memahami intisari ilmu-ilmu pedang dan pukulan leluhurnya itu, maka aku pun malas untuk menyelaminya lebih mendalam,” sahut orang she Kiat. “Eh, Sin-suko, sesudah Pui-suko berhasil menawan Lim Cin-lam dan istrinya, mengapa mereka tidak terus pulang ke Jing-sia, tapi membawanya ke Heng-san malah?”

“Pada waktu Lau Cing-hong mengadakan perayaan ‘cuci tangan’ nanti, tentu banyak tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai golongan akan hadir untuk mengucapkan selamat padanya. Sekarang Pui-suheng dan Uh-sute dapat membekuk pemimpin Hok-wi-piaukiok yang termasyhur, dengan sendirinya mereka ingin pamer sedikit di tengah perjamuan besar itu.”

“Pui-suheng dan Uh-sute sih masih boleh, tapi Keh Jin-tat si keparat itu kutu busuk macam apa, masakah dia juga ada harganya untuk membual dan pamer di depan orang banyak?” kata orang she Kiat.

“Ada harganya atau tidak, habis siapa yang suruh kita menjadi saudara seperguruan dengan dia? Sudahlah, tidur saja!” sahut orang she Sin dengan tertawa.

“Dasar anak kura-kura!” terdengar orang she Kiat memaki. Habis itu mendadak daun jendela dibuka olehnya.

Keruan Peng-ci terperanjat dan mengira jejaknya telah dipergoki. Baru saja dia bermaksud lari, sekonyong-konyong “byuurrrr”, kepalanya tersiram sebaskom air hangat, saking kagetnya hampir-hampir Peng-ci menjerit. Syukurlah daun jendela itu lantas tertutup pula. Menyusul pandangannya menjadi gelap, kiranya pelita di dalam kamar telah dipadamkan.

Belum lagi tenang perasaan Peng-ci, terasalah air menetes-netes dari atas kepala dan mukanya, baunya jangan ditanya. Baru sekarang diketahuinya air itu adalah air kotor bekas air cuci kaki yang telah disiramkan oleh orang she Kiat sehingga dia basah kuyup, walaupun tidak disengaja, tapi Peng-ci sudah terhina. Namun begitu ia menjadi girang malah sebab berita tentang ayah-ibunya telah diperoleh, jangankan cuma disiram air bekas cuci kaki, biarpun air kencing sekalipun takkan berhalangan baginya.

Suasana selanjutnya menjadi sunyi senyap, kalau dia lantas pergi saja khawatir didengar oleh kedua orang di dalam kamar. Ia pikir biarlah tunggu sesudah mereka tidur dahulu. Maka ia tetap duduk bersandar di dinding, di bawah jendela.

Selang tak lama, terdengarlah suara mendengkur yang sahut-menyahut di dalam kamar. Perlahan-lahan barulah Peng-ci berdiri. Tapi mendadak ia kaget dan cepat mendak ke bawah lagi ketika melihat sesuatu bayangan orang tersorot di atas jendela oleh cahaya bulan, bahkan daun jendela itu tampak tergoyang-goyang perlahan.

Sesudah ditunggu sejenak dan diperhatikan pula barulah Peng-ci tahu duduknya perkara, rupanya sesudah membuang air kotor tadi si orang she Kiat telah lupa memasang palang jendela sehingga daun jendela itu masih terbuka sedikit.

“Inilah kesempatan bagus untuk menuntut balas!” demikian pikir Peng-ci. Segera ia melolos pedang patah yang terselip di pinggang itu, perlahan-lahan ia menolak daun jendela itu hingga terpentang, dengan gerakan “Leng-niau-hi-tiap” (kucing lincah menggoda kupu-kupu), dengan enteng sekali ia melompat masuk ke dalam kamar. Dari sinar bulan yang remang-remang dapatlah dilihatnya dua dipan di kanan-kiri kamar itu tertidur dua orang.

Tatkala itu baru permulaan musim semi, nyamuk masih jarang-jarang, kelambu tempat tidur tidak terurai, maka dapat tertampak jelas seorang berbaring miring menghadap ke dinding, kepalanya rada botak. Seorang lagi tidur telentang, alisnya tebal dan berewok pendek kaku. Di tengah-tengah tempat tidur terdapat sebuah meja di mana tertaruh lima buntalan, di samping itu ada sebatang golok dan sebatang pedang.

Golok itu lantas dipegang Peng-ci, pikirnya, “Sekali bacok satu nyawa, gampangnya seperti memotong sayur.”

Dan baru saja goloknya hendak membacok ke leher si berewok, tiba-tiba terpikir lagi olehnya, “Cara kubunuh mereka begini apakah perbuatan seorang kesatria? Kelak kalau aku sudah berhasil meyakinkan ilmu silat leluhur sendiri barulah akan kugunakan untuk menumpas kawanan bangsat Jing-sia-pay ini.”

Maka dia batalkan maksudnya membunuh orang, ia kumpulkan golok, pedang dan kelima buntalan itu di atas meja depan jendela. Dilihatnya di atas meja ada alat tulis, segera ia angkat pit (pensil) dan membasahi dengan sedikit tinta, lalu dia menulis di atas meja: “Lim Peng-ci dari Hok-wi-piaukiok baru saja pesiar ke sini.”

Selesai menulis, didengarnya suara mendengkur si berewok semakin keras. Seketika timbul sifat kanak-kanaknya dan bermaksud mencoret-coret muka si berewok. Tapi akhirnya ia dapat menahan maksud jahilnya itu, pikirnya, “Jika dia sampai terjaga bangun, tentu celakalah aku!”

Begitulah perlahan-lahan ia melompat keluar jendela, ia selipkan golok dan pedang di pinggang sendiri, tiga buntalan itu digendongnya, setiap tangan membawa satu buntalan pula, lalu dengan langkah berjinjit-jinjit ia berjalan ke pekarangan belakang.

Sampai di kandang kuda, ia tuntun keluar seekor kuda yang paling tinggi besar, ia membuka pintu belakang dan keluar dari Piaukiok itu. Setelah agak jauh meninggalkan Piaukiok barulah dia mencemplak ke atas kuda dan dilarikan ke pintu selatan.

Tatkala itu masih terlalu pagi, pintu kota belum dibuka. Ia tuntun kudanya ke belakang sebuah gundukan tanah. Di situlah ia pindahkan buntalan-buntalan yang digendongnya untuk digantungkan pada pelana kuda. Khawatir kalau kedua orang Jing-sia-pay itu mengejarnya, hati Peng-ci menjadi berdebar-debar. Syukurlah tidak lama kemudian fajar pun menyingsing, pintu kota telah dibuka, segera ia mencemplak ke atas kuda dan dilarikan keluar kota.

Sekaligus ia melarikan kudanya sejauh belasan li barulah merasa aman. Lalu melambatkan kudanya. Sejak meninggalkan kota Hokciu baru sekarang perasaannya terasa longgar.

Waktu melihat di tepi jalan ada sebuah warung makan, ia berhenti untuk sekadar menangsel perut. Ia tidak berani berhenti terlalu lama, ia hanya makan semangkuk bakmi, lalu merogoh buntalan untuk mengambil uang. Tapi ketika dikeluarkan, ia terperanjat. Ternyata yang dirogoh keluar itu adalah sepotong lantakan emas. Lekas-lekas ia masukkan lagi ke dalam buntalan dan meraba barang lainnya. Akhirnya dapat dikeluarkan sepotong lantakan perak.

Ia gunakan pedang untuk memotong ujung lantakan perak itu guna membayar bakmi. Tapi meski penjual bakmi itu telah mengumpulkan seluruh uang receh hasil jualannya juga masih belum cukup buat mengembalikan uang perak Peng-ci itu.

“Sudahlah, ambil semua!” kata Peng-ci dengan royal. Sepanjang jalan dia telah kenyang dihina orang, baru sekaranglah untuk pertama kalinya dia pulih kembali sebagai juragan muda yang royal.

Setelah melanjutkan perjalanan beberapa puluh li lagi, sampailah dia di suatu kota besar. Ia mencari suatu hotel dengan kamar yang terpilih. Setelah menutup rapat pintu kamar, segera ia membuka kelima buntalan itu dan memeriksa isinya, ternyata seluruhnya terdiri dari emas perak, perhiasan batu permata. Pada buntalan kelima isinya adalah sepasang kuda-kudaan buatan batu yade putih serta sepasang merak zamrud, semuanya sebesar belasan senti tingginya.

Sejak kecil dia sudah biasa melihat benda-benda mestika, namun kedua pasang kuda-kudaan dan merak-merakan itu membuatnya terpesona juga. Ia pikir di kantor cabang Piaukiok tersimpan benda-benda berharga demikian, pantas juga kalau Jing-sia-pay mengincarnya.

Segera ia keluarkan sedikit pecahan perak untuk bekal, isi keempat buntalan tadi dia bungkus lagi menjadi satu dan digendongnya. Ia pikir seekor kuda saja tidak cukup, sebaiknya beli lagi dua ekor kuda bagus agar dapat memburu perjalanan lebih cepat untuk mencari ayah-ibunya.

Begitulah ia lantas pergi ke pasar untuk membeli dua ekor kuda bagus, dengan tiga ekor kuda ia dapat bergantian menunggangnya tanpa berhenti. Setiap hari ia hanya tidur dua-tiga jam saja, siang malam ia menempuh perjalanan secara nonstop.

Hari itu sampailah dia di Heng-san. Begitu masuk kota, lantas melihat banyak sekali orang-orang Kangouw berlalu-lalang di jalanan. Khawatir kalau ketemu dengan Pui Jin-ti dan rombongannya, Peng-ci berjalan dengan menunduk untuk mencari rumah penginapan.

Tak terduga beruntun-runtun tiga hotel yang didatangi selalu menyatakan kamar sudah penuh. Terpaksa Peng-ci mencari ke jalan yang agak sepi, setelah mencari lagi beberapa tempat akhirnya barulah mendapatkan sebuah kamar sederhana di suatu hotel kecil.

Ia pikir agar tidak dikenali orang, paling baik kalau menyamar saja. Maka datanglah ia ke rumah obat untuk membeli tiga helai koyok (obat tempel). Dua helai ia tempelkan di ujung dahi sehingga kedua alisnya tertarik ke atas, lalu yang sehelai ditempel di atas pipi sehingga bibirnya tertarik sampai terbuka dan kelihatan giginya yang menyengir. Ia coba bercermin, ia merasa rupanya sendiri jeleknya tak terkatakan, sampai dirinya sendiri juga merasa muak, jangankan orang lain.

Kemudian ia membungkus emas perak dan batu permata itu secara gepeng memanjang, lalu diikat rapat di punggungnya dan ditutup dengan baju luar, sedikit membengkok seketika jadilah dia seorang bungkuk yang punggungnya membungkuk. “Dalam keadaan demikian, sekalipun ayah dan ibu juga takkan mengenali diriku lagi,” demikian ia merasa puas atas penyamarannya sendiri.

Sesudah makan semangkuk bakmi, lalu ia keluar pesiar ke-pelosok-pelosok kota. Pikirnya, “Paling baik kalau bisa memergoki ayah dan ibu, kalau tidak, asalkan bisa memperoleh sedikit kabar tentang orang-orang Jing-sia-pay tentu juga akan berfaedah bagiku.”

Setelah berjalan ke sana kemari sampai setengah harian, tiba-tiba turun hujan gerimis. Memang daerah selatan Oulam paling banyak air hujan, sekarang lagi permulaan musim semi, kalau sudah hujan terkadang sampai beberapa hari tidak berhenti-henti.

Peng-ci membeli sebuah caping bercat minyak di tepi jalan dan dipakai sebagai payung. Hari mendung semakin gelap, tampaknya hujan takkan berhenti. Ia coba membelok ke jalan sebelah sana, tiba-tiba dilihatnya sebuah rumah minum yang banyak berjubel-jubel para tamu.

Pada umumnya kalau rumah makan dan minum sampai penuh tetamu, soalnya cuma ada dua kemungkinan, yakni kalau bukan daharan yang dijualnya terkenal lezat, tentulah karena harganya murah.

Maka Peng-ci lantas masuk juga ke rumah minum itu, ia mencari suatu tempat kosong dan minta dibuatkan suatu poci teh enak, pelayan lantas membawakan pula satu piring kecil kuaci dan satu piring kacang goreng.

Setelah minum satu cangkir teh, selagi Peng-ci menyisil kuaci untuk menghilangkan rasa kesal, tiba-tiba terdengar suara orang berkata, “Bungkuk, kita duduk bersama ya?”

Dan tanpa menunggu jawaban Peng-ci, orang itu lantas duduk di sebelahnya, menyusul ada dua orang berduduk pula di samping.

Semula Peng-ci tidak mengira kalau yang diajak bicara oleh orang itu adalah dirinya. Tapi segera teringat bahwa yang disebut “bungkuk” itu adalah dirinya. Maka cepat ia menjawab dengan ramah, “Boleh, boleh! Silakan!”

Ia lihat ketiga orang itu semuanya berpakaian hitam, pinggang bergantungkan golok. Ketiga laki-laki itu lantas minum teh dan mengobrol sendiri tanpa menggubris Peng-ci lagi.

Terdengar seorang di antaranya yang lebih muda mulai berkata, “Peng-toako, kali ini Lau-samya mengadakan pesta ‘Kim-bun-swe-jiu’, tampaknya tidaklah sederhana cara merayakannya, lihat saja, waktunya masih tiga hari, tapi kota Heng-san ini sudah penuh dengan tamu-tamu yang akan memberi selamat padanya.”

Kim-bun-swe-jiu, cuci tangan di baskom emas, maksudnya sebagai upacara menyatakan dirinya telah cuci tangan dan meninggalkan lapangan kerja yang pernah dilakukannya.

Maka seorang kawannya yang buta sebelah telah menjawab, “Tentu saja. Heng-san-pay sendiri sudah cukup terkenal, ditambah lagi gabungan nama Ngo-gak-kiam-pay, sudah tentu pengaruhnya sangat besar di dunia persilatan, siapa orangnya yang tidak ingin bersahabat dengan mereka? Pula Lau Cing-hong, Lau-samya, sendiri juga seorang tokoh Kangouw terkemuka, dia punya 36 jurus ‘Hwe-hong-lok-gan-kiam’ terkenal sebagai jago kedua dari Heng-san-pay, dia hanya kalah setingkat daripada Ciangbunjin sendiri, yaitu Bok-taysiansing. Biasanya orang ingin bersahabat dengan dia, tapi tiada kesempatan. Sekarang dia mengadakan pesta ‘cuci tangan’, dengan sendirinya orang-orang gagah dari Bu-lim sama berkumpul di sini, kukira besok suasana kota tentu akan lebih ramai daripada sekarang.”

“Tapi jika dikatakan semua orang datang buat menyatakan persahabatan dengan Lau Cing-hong, kukira juga tidak tepat seluruhnya, misalnya tujuan kedatangan kita bertiga kan tidak demikian maksudnya, bukan?” ujar kawannya lagi yang berjenggot putih. “Padahal orang yang menyatakan ‘cuci tangan’, artinya sejak kini di dunia Kangouw takkan terdapat lagi tokoh seperti dia. Jika sudah demikian, biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga tiada gunanya lagi. Buat apa orang lain mesti mendekati dia dan menyatakan persahabatan segala?”

“Soalnya bukan begitu, Peng-toako,” kata yang muda. “Walaupun resminya Lau-samya sudah ‘cuci tangan’, tapi apa pun juga, dia adalah tokoh nomor dua dari Heng-san-pay, siapa-siapa yang bersahabat dengan Lau-samya akan berarti bersahabat dengan Heng-san-pay dan berarti pula bersahabat dengan Ngo-gak-kiam-pay!”

“Ngo-gak-kiam-pay? Hm, apakah kau memenuhi syarat?” ejek si jenggot putih she Peng.

“Bukan demikian soalnya, Peng-toako,” si buta juga menyanggah. “Sesama orang Kangouw, apa jeleknya kalau bisa tambah seorang sahabat. Biarpun ilmu silat Ngo-gak-kiam-pay teramat tinggi, tapi rasanya mereka tidak sampai memandang rendah pada pihak lain. Sebab kalau mereka itu merasa angkuh dan sombong, masakan sekarang ada sekian banyak tetamu yang datang memberi selamat padanya?”

“Hm,” si jenggot putih mendengus, selang sejenak barulah ia berkata dengan suara perlahan, “Sebagian besar adalah manusia-manusia penjilat belaka, bila melihat mereka hatiku lantas gemas!”

Mestinya Peng-ci ingin ketiga orang itu mengobrol lebih banyak tentang Ngo-gak-kiam-pay, tak terduga pembicaraan mereka ternyata tidak sepaham sehingga tidak dilanjutkan.

Bila teringat kepada si nona burik yang pernah memaksanya minum arak berbisa itu, diam-diam Peng-ci membatin, “Ya, apa yang dikatakan si jenggot putih ini memang betul juga. Seperti Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay, bukankah mereka adalah setali tiga uang? Apalagi Ngo-gak-kiam-pay segala? Huh, gagak sama hitamnya, kukira mereka juga bukan manusia baik-baik.”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar ada orang bicara dengan suara perlahan di bagian belakang, “Ong-jicek, kabarnya usia Lau-samya dari Heng-san-pay itu baru 50-an tahun, ilmu silatnya seharusnya lagi meningkat ke puncaknya, mengapa mendadak ‘cuci tangan’ segala? Bukankah percuma saja kegiatannya selama ini?”

“Banyak sekali alasannya bagi orang Bu-lim yang cuci tangan pada usia masih muda,” sahut seorang tua. “Jika seorang bandit besar dari kalangan Hek-to merasa sudah terlalu banyak berdosa, setelah ‘cuci tangan’ berarti dia telah meninggalkan perbuatan membegal dan membunuh, ini namanya kembali ke jalan yang bajik, sedikitnya akan meninggalkan nama baik bagi anak-cucunya, pula dapat menghindarkan tuduhan andaikan terjadi lagi sesuatu perkara besar di tempat kediamannya. Tapi keluarga Lau turun-temurun sudah terkenal kaya raya, sudah tentu hal ini tidak ada hubungannya dengan dia. Lain soal lagi adalah untuk menghindari permusuhan lebih jauh, misalnya Lau-samya mengumumkan di depan tamu-tamu undangannya bahwa sejak kini ia telah ‘cuci tangan’ dan tidak main senjata lagi, itu berarti musuh-musuhnya boleh tak usah khawatir akan dituntut balas lagi olehnya, sebaliknya juga diharapkan musuh-musuh itu tidak datang mencari perkara lagi padanya.”

“Ong-jicek, kukira cara demikian akan merugikan dia sendiri,” ujar si orang muda.

“Rugi apa?” Ong-jicek, paman kedua Ong, bertanya.

“Lau-samya boleh menyatakan takkan menuntut balas lagi, tapi orang lain toh setiap saat dapat mencari perkara padanya?” ujar si orang muda. “Jika orang hendak membunuhnya dan karena dia sudah menyatakan takkan bermain senjata lagi bukankah dia akan terima disembelih orang sesukanya?”

“Kau ini memang hijau pelonco,” omel paman Ong itu. “Jika orang hendak membunuh kau, apakah kau terima saja dan takkan membela diri? Padahal tokoh semacam Lau-samya dengan Heng-san-pay yang begitu besar pengaruhnya, kalau dia tidak merecoki orang lain saja sudah untung, masakah ada orang lain berani mencari perkara padanya?”

Tiba-tiba si jenggot putih yang duduk di depan Peng-ci itu menggumam sendiri, “Ah, yang pandai ada yang lebih pandai, siapa yang berani mengaku paling jempolan?”

Karena ucapannya itu perlahan, kedua orang di meja belakang itu tidak mendengarnya. Terdengar orang yang dipanggil Ong-jicek itu berkata pula, “Umpamanya ada pengusaha Piaukiok yang telah cukup mengeduk keuntungan, kalau dia bisa tahu batas dan mengundurkan diri pada waktunya, cuci tangan saja daripada adu nyawa dengan senjata, cara demikian boleh dikata cukup cerdik. Cuma Lau-samya sendiri toh bukan Piausu, pula tidak menjadi bandit. Sudah tentu lain soalnya.”

Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan orang itu. Pikirnya, “Apa yang dia maksudkan ialah kakek-besarku? Jika kakek-besarku tahu batas dan mencuci tangan pada waktunya yang tepat, lantas bagaimana jadinya?”

Pada saat itu, sekonyong-konyong seorang laki-laki setengah umur di meja pojok kiri sana telah berkata, “Beberapa hari yang lalu di Bu-han aku telah mendengar cerita dari kawan Bu-lim, katanya sebabnya Lau-samya mencuci tangan dan mengundurkan diri dari Bu-lim sesungguhnya mempunyai alasannya sendiri yang sukar diterangkan.”

“Bagaimana cerita kawan-kawan Bu-lim di sana? Apakah sobat ini dapat memberi penjelasan?” si mata satu bertanya sambil menoleh.

“Ah, penyakit kebanyakan datang dari mulut, urusan begini hanya boleh dibicarakan di kota Bu-han, berada di kota Heng-san sini tidak boleh lagi sembarangan diceritakan,” sahut orang itu dengan tertawa.

Mendadak seorang pendek gemuk dengan suara kasar lantas menanggapi, “Ala, tidak kau katakan juga banyak orang sudah tahu. Kabarnya karena ilmu silat Lau-samya terlalu tinggi, orangnya suka bersahabat, makanya terpaksa Kim-bun-swe-jiu. Mungkin orang lain akan merasa heran, akan tetapi bagi yang tahu latar belakangnya tentu tidak perlu heran lagi.”

Karena suaranya sangat keras, maka pandangan semua orang sama dipusatkan ke arahnya. Beberapa orang di antaranya lantas tanya, “Mengapa ilmu silatnya tinggi dan orangnya suka bersahabat berbalik mesti cuci tangan dan mengundurkan diri dari Bu-lim? Bukankah ini terlalu aneh? Apa sih latar belakangnya?”

Akan tetapi si pendek gemuk hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

“Ah, buat apa kalian tanya padanya?” tiba-tiba seorang kurus di meja sebelah menyela dengan nada mengejek. “Padahal dia sendiri pun tidak tahu, dia hanya omong kosong saja.”

Rupanya si pendek gemuk tidak tahan olok-olok itu, teriaknya kasar, “Siapa bilang aku tidak tahu? Sebabnya Lau-samya mengundurkan diri adalah demi kebaikan orang banyak agar tidak terjadi pertengkaran di dalam Heng-san-pay sendiri.”

“Pertengkaran apa?”

“Masakan di antara saudara seperguruan Heng-san-pay mereka juga terjadi percekcokan?” demikian beramai-ramai orang banyak menegas.

Si pendek gemuk sengaja jual mahal, ia melirik hina kepada si kurus tadi. Kemudian menjawab, “Meski orang luar mengatakan Lau-samya adalah jago nomor dua dari Heng-san-pay, tapi setiap orang Heng-san-pay sendiri cukup tahu bahwa ke-36 jurus ‘Hwe-hong-lok-gan-kiam’ (ilmu pedang angin puyuh menjatuhkan belibis) Lau-samya sebenarnya sudah jauh lebih tinggi daripada Ciangbunjin mereka, yaitu Bok-taysiansing. Bahwasanya sekali tusuk pedang Bok-taysiansing dapat menjatuhkan 3 ekor belibis, tapi pedang Lau-samya sekali tusuk dapat menjatuhkan 5 ekor. Malahan anak murid Lau-samya rata-rata juga lebih pandai daripada murid Bok-taysiansing. Keadaan sekarang saja sudah begitu, lewat beberapa tahun lagi pengaruh Bok-taysiansing tentu akan kalah besar daripada Lau-samya. Konon kedua pihak diam-diam sudah pernah bentrok. Harta milik keluarga Lau cukup besar, Lau-samya tidak sudi berebut nama kosong dengan Suheng sendiri, makanya lebih suka ‘cuci tangan’ saja untuk menikmati hari tua di rumah sendiri.”

“O, kiranya demikian. Sungguh bijaksana sekali Lau-samya itu,” ujar beberapa orang peminum teh. Lantas ada pula yang berkata, “Ya, tindakan ini terang salahnya Bok-taysiansing, setelah Lau-samya mengundurkan diri, bukankah berarti melemahkan kekuatan Heng-san-pay sendiri?”

“Segala urusan di dunia ini mana ada yang sempurna, asalkan kedudukanku sebagai Ciangbunjin aman tenteram, peduli apa dengan lemah atau kuat golongannya sendiri?” jengek laki-laki setengah umur berbaju sutera tadi.

Dalam pada itu si pendek gemuk telah menghabiskan tehnya, lalu ketok-ketok poci di atas meja sambil berseru, “Tambah air lagi! Lekas!”

Lalu ia menyambung uraiannya, “Maka dari itu, peristiwa ini terang adalah urusan penting Heng-san-pay sendiri, dari golongan lain sudah banyak yang datang buat mengucapkan selamat, sebaliknya orang Heng-san-pay sendiri ….”

Baru sampai di sini, tiba-tiba di ambang pintu bergemalah suara orang bernyanyi dalam lakon drama opera diiringi suara rebab yang digesek dengan nada yang panjang. Lagunya sedih mengharukan.

Waktu semua orang berpaling, tertampaklah di samping meja tempel panjang dekat pintu itu berduduk seorang tua tinggi kurus, mukanya cekung, berbaju hijau panjang yang sudah luntur, jelas seorang tua miskin tukang minta-minta.

“Hus, membisingkan telinga seperti jeritan setan. Mengganggu orang bicara saja!” bentak si pendek gemuk.

Seketika orang tua itu merendahkan suara rebabnya, tapi masih bernyanyi-nyanyi kecil meneruskan lagu dramanya yang mengharukan itu.

“Sobat, tadi kau bilang orang-orang Heng-san-pay bagaimana?” demikian seorang lantas bertanya kepada si pendek gemuk.

“Kumaksudkan selain anak murid Lau-samya sendiri yang sibuk menerima tamu, apakah kalian ada melihat anak murid Heng-san-pay yang lain di kota ini?” jawab si buntak.

Untuk sejenak semua orang saling pandang-memandang lalu berkata, “Ya, memang, seorang pun tidak tampak.”

“Maka dari itu, kubilang kalian ini janganlah takut, biarpun kita membicarakan urusan Heng-san-pay toh takkan didengar oleh mereka,” sela laki-laki setengah umur berbaju sutera tadi.

Pada saat itulah mendadak suara rebab si orang tua tadi digesek keras sehingga nadanya meninggi, lalu orang tua itu pun menyanyi dengan lebih lantang.

“Ah, hanya mengacau saja! Ini, ambillah!” bentak si orang muda sambil mengayun sebelah tangannya. “Plok”, serenceng uang tembaga tepat jatuh di atas meja di depan si orang tua.

Sambil mengucapkan terima kasih orang tua itu memasukkan uang tembaga itu ke dalam bajunya, tapi ternyata tidak berlalu dari situ.

Dalam pada itu si pendek gemuk telah memuji, “Wah, kiranya saudara muda ini adalah ahli senjata rahasia, timpukanmu barusan ini boleh juga!”

Si orang muda tertawa senang, sahutnya, “Ah, permainan kecil saja! Eh, menurut uraian Toako tadi, jadi Bok-taysiansing juga takkan datang ke Heng-san sini?”

“Mana dia mau datang kemari?” sahut si buntak. “Bok-taysiansing dan Lau-samya boleh dikata sudah mirip api dan air, bila bertemu tentu akan main senjata. Jika sekarang Lau-samya mau mengalah padanya, sepantasnya dia harus merasa puas.”

Tiba-tiba si orang tua tadi bangkit, perlahan-lahan ia mendekati si pendek gemuk dan memandangnya dari sisi kanan dan sisi kiri.

“Kurang ajar! Kau mau apa, tua bangka?” bentak si buntak dengan gusar.

“Kau ngaco-belo!” sahut si orang tua sambil geleng-geleng kepala. Lalu putar tubuh hendak menyingkir.

Si buntak menjadi murka, segera punggung orang tua itu hendak dicengkeramnya. Tapi mendadak matanya menjadi silau, sinar hijau berkelebat, sebatang pedang tipis telah menyambar ke permukaan meja, berbareng terdengarlah suara “tring-tring” beberapa kali.

Dengan kaget si buntak lantas melompat mundur, khawatir kalau-kalau pedang orang bersarang di tubuhnya. Tapi lantas tertampak orang tua itu sudah memasukkan kembali pedangnya ke dalam rebabnya sehingga lenyap seluruhnya.

Kiranya pedang orang tua itu tersimpan di dalam rebab, batang pedang menembus melalui badan rebab sehingga dilihat dari luar siapa pun tidak tahu bahwa di dalam rebab yang sudah tua itu tersembunyi senjata yang lihai.

Lalu si orang tua menggeleng kepala dan berkata pula, “Kau ngaco-belo belaka!”

Habis itu perlahan-lahan ia lantas tinggalkan rumah minum diiringi pandangan semua orang sampai bayangannya menghilang di tengah hujan. Menyusul suara rebab yang sedih merawankan hati sayup-sayup terdengar lagi dari jauh.

“Hahh! Lihatlah kalian!” demikian mendadak ada orang berseru kaget.

Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, kiranya tujuh buah cangkir teh yang terletak di atas meja si pendek gemuk tadi, setiap cangkir itu sudah tertebas putus setinggi dua senti. Tujuh buah cincin porselen jatuh di samping cangkir, tapi cangkir teh itu sebuah pun tidak jatuh atau pecah.


-dipi-
 
Hina Kelana
Bab 09. Suara Rebab Bok-taysiansing Mengejutkan Orang Banyak
Oleh Jin Yong


Melihat keadaan yang luar biasa itu, serentak beberapa puluh orang yang berada di rumah minum itu berkerumun maju dan beramai-ramai membicarakan kelihaian ilmu pedang orang tua itu.

Segera seorang di antaranya berkata kepada si pendek buntak tadi, “Untunglah tuan tua itu bermurah hati, kalau tidak buah kepalamu tentu sudah berpisah dengan tubuhmu seperti cawan ini.”

Tapi seorang lagi lantas menanggapi, “Ah, kukira seorang kosen seperti Losiansing ini tentu sungkan untuk berurusan dengan orang kecil sebagai kita.”

Dalam pada itu si pendek gemuk hanya termangu-mangu saja memandangi ketujuh cawan kutung itu, wajahnya pucat sebagai mayat, apa yang dibicarakan orang-orang itu hakikatnya tidak masuk ke dalam telinganya.

Si lelaki berbaju sutera tadi lantas berkata, “Nah, apa kataku tadi? Penyakit kebanyakan timbul dari mulut, tapi kau masih suka mencerocos saja. Di kota Heng-san sekarang entah terdapat berapa banyak orang kosen. Seperti orang tua barusan ini tentu adalah sahabat baik Bok-taysiansing, karena kau sembarangan mengoceh tentang Bok-taysiansing, maka dia sengaja memberi sedikit ajaran padamu.”

“Huh, sobat baik Bok-taysiansing apa? Justru dia sendiri adalah ‘Siau-siang-ya-uh’ Bok-taysiansing!” demikian tiba-tiba si jenggot putih she Pang tadi menjengek.

Kembali semua orang terkejut. “Apa katamu? Dia … dia sendiri adalah Bok-taysiansing? Da … dari mana kau tahu?” beramai-ramai mereka menegas.

“Sudah tentu aku tahu,” sahut si jenggot putih. “Bok-taysiansing suka main rebab, dia punya lagu ‘Siau-siang-ya-uh’ (hujan gerimis di waktu malam) sedemikian bagus dan mengharukan sehingga membuat pendengarnya dapat mengucurkan air mata. ‘Di dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab’, kata-kata ini adalah gambaran ilmu silat yang dimiliki Bok-taysiansing, kalian sudah berada di kota Heng-san, masakah kalian tidak tahu hal ini? Tadi saudara itu mengatakan Lau-samya sekali tusuk pedangnya dapat menjatuhkan lima ekor belibis dan Bok-taysiansing cuma dapat tiga ekor. Sekarang dia sengaja menebas tujuh cawan sekaligus agar kalian tahu. Makanya dia mendamprat saudara itu ngaco-belo belaka.”

Rupanya si pendek gemuk masih belum tenang kembali dari rasa kejutnya tadi, dia menunduk dan tak berani menjawab. Lekas-lekas si lelaki berbaju sutera membayar rekening dan menarik kawannya meninggalkan rumah minum itu.

Semua orang menjadi ngeri juga sesudah menyaksikan ‘Siau-siang-ya-uh’ Bok-taysiansing memperlihatkan kepandaian saktinya yang mengejutkan itu. Ketika si pendek gemuk memuji-muji Lau Cing-hong dan mengolok-olok Bok-taysiansing tadi, sedikit banyak mereka pun memberi suara setuju, jangan-jangan lantaran itu akan menimbulkan bencana bagi dirinya sendiri. Maka demi tampak si baju sutera menarik pergi si pendek gemuk, segera mereka pun beramai-ramai membayar rekening, dalam sekejap saja rumah minum yang tadi penuh sesak itu lantas menjadi sepi.

Diam-diam Peng-ci membatin sambil memandangi tujuh cawan dengan tujuh cincin kutungannya yang terletak di atas meja itu, “Sekali tebas saja orang itu dapat memotong tujuh buah cawan, jika aku tidak keluar dari Hokciu tentu tidak tahu bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang sedemikian lihainya. Aku benar-benar seperti katak di dalam sumur yang tidak tahu luasnya jagat ini, tadinya kukira orang yang paling lihai di dunia ini juga tidak lebih hebat daripada ayahku. Ai, jika aku dapat berguru kepada orang kosen ini dan belajar dengan giat, mungkinlah aku dapat membalas sakit hatiku. Kalau tidak, selama hidup ini tentu tiada harapan buat menuntut balas lagi.”

Kemudian terpikir pula olehnya, “Mengapa aku tidak pergi mencari Bok-taysiansing itu dan mohon dengan sangat agar beliau mau menolong ayah-bundaku serta menerima aku sebagai murid?”

Begitulah serentak ia berbangkit hendak berangkat. Tapi mendadak terpikir lagi, “Dia adalah Ciangbunjin dari Heng-san-pay, agaknya Ngo-gak-kiam-pay setali tiga uang saja dengan Jing-sia-pay, masakan dia sudi membela seorang yang tak pernah dikenalnya untuk bercekcok dengan kawan sendiri?”

Berpikir demikian ia menjadi lemas dan duduk kembali dengan lesu.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang nyaring merdu sedang berkata, “Jisuko, hujan ini tidak berhenti-henti, bajuku sampai basah kuyup. Marilah kita minum teh dulu di sini.”

Seketika Peng-ci terkesiap, suara itu dikenalnya sebagai suara si nona penjual arak di luar kota Hokciu itu. Cepat ia lantas menundukkan kepala lebih rendah supaya tidak dikenali orang.

Maka terdengarlah suara seorang tua menjawab, “Baiklah, kita minum satu cangkir teh hangat untuk membuat panas perut.”

Lalu masuklah dua orang ke dalam rumah minum itu dan mengambil tempat duduk di sebelah muka-samping Peng-ci. Ketika Peng-ci meliriknya, benar juga dilihatnya si nona penjual arak itu berpakaian hijau berduduk membelakangi dirinya, di sebelahnya duduk orang tua yang mengaku she Sat dan menyaru sebagai kakek si nona.

Diam-diam Peng-ci mendongkol, pikirnya, “Rupanya kalian berdua adalah saudara seperguruan, tapi sengaja menyaru sebagai kakek dan cucu untuk melakukan sesuatu muslihat keji di Hokciu. Dasar mataku sudah buta, masakah secara ngawur membela dua orang ini sehingga keluargaku sendiri berantakan tak keruan, bahkan jiwaku sendiri hampir-hampir melayang.”

Dalam pada itu pelayan telah membersihkan meja kedua orang itu dan membawakan teh baru. Sekilas si kakek melihat di atas meja sebelah terdapat tujuh buah cawan yang cuma tinggal setengah potong. Ia bersuara kaget dan berkata kepada sang Sumoay, “Lihatlah, Siausumoay!”

Nona burik itu pun terkejut. Katanya, “Ya, hebat benar kepandaian ini, siapakah yang mampu sekali tebas dapat memotong tujuh buah cangkir?”

Ia lihat di dalam rumah minum itu selain Peng-ci hanya ada dua orang lagi yang sedang mengantuk sambil mendekap kepala di atas meja. Mestinya ia hendak tanya Peng-ci, tapi kelihatan Peng-ci menghadap keluar seperti sedang merenungkan sesuatu, maka ia urung bertanya.

“Siausumoay, coba aku akan menguji kau,” demikian si kakek berbisik-bisik pula. “Sekali tebas tujuh gerakan, tujuh buah cangkir ini siapakah yang memotongnya?”

“Aku toh tidak menyaksikan, dari mana tahu ….” demikian omel si nona. Tapi mendadak ia berseru sambil tertawa, “Aha, tahulah aku! Tiga puluh enam jurus Hwe-hong-lok-gan-kiam, pada jurus ke-17 dengan gaya berantai sekaligus tujuh menjatuhkan sembilan ekor burung belibis. Tentu ini adalah perbuatan … ‘Siau-siang-ya-uh’ Bok-taysiansing!”

Sekonyong-konyong bergemuruhlah suara tertawa beberapa orang, semuanya berseru, “Tajam benar pandangan Siausumoay!”

Peng-ci sampai terkejut dan heran, dari manakah mendadak muncul orang sebanyak ini? Waktu ia melirik, ternyata dua orang yang sedang mengantuk tadi juga sudah berbangkit. Selain itu ada lima orang lagi tampak muncul dari ruangan dalam rumah minum, ada yang berdandan sebagai kuli, ada yang membawa Swipoa seperti pedagang kecil, ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya seperti pengamen topeng monyet.

“Aha, kiranya serombongan kaum gelandangan bersembunyi di sini sehingga membikin kaget padaku!” seru si nona burik dengan tertawa. “He, di manakah Toasuko?”

“Baru bertemu mengapa sudah memaki kami sebagai kaum gelandangan?” omel si pemain kera.

“Habis main sembunyi-sembunyi, kan sama seperti perbuatan kaum gelandangan Kangouw yang rendah?” sahut si nona dengan tertawa. “Di manakah Toasuko, mengapa tiada bersama kalian?”

“Tidak tanya soal lain, yang ditanya hanya Toasuko melulu,” ujar si pemain kera dengan tertawa. “Baru saja bicara tiga kalimat, dua kalimat di antaranya berturut-turut menanyakan diri Toasuko. Aneh, mengapa tidak tanya tentang diri Laksuko (kakak-guru keenam) saja?”

“Fui, kau si monyet ini kan baik-baik saja berada di sini, tidak mampus dan tidak sekarat, buat apa bertanya tentang dirimu?” sahut si nona dengan uring-uringan.

“Haha, dan Toasuko toh juga tidak mampus dan tidak sekarat, mengapa kau menanyakan dia?” kata si pemain monyet dengan tertawa menggoda.

“Sudahlah, aku tak mau bicara padamu,” omel si nona. “Eh, Sisuko (kakak guru keempat), hanya engkau saja orang yang baik. Di manakah Toasuko?”

Belum lagi orang yang berdandan sebagai kuli itu menjawab, beberapa orang kawannya sudah lantas tertawa dan berkata, “Hanya Sisuko saja orang baik, jadi kami ini adalah orang busuk semua? Losi, jangan katakan padanya.”

“Tidak katakan ya sudah, memangnya aku kepingin?” omel si nona dengan mendongkol. “Kalian tidak mau bicara, maka aku pun tidak mau menceritakan pengalaman anehku dengan Jisuko dalam perjalanan kami.”

Lelaki yang berdandan sebagai kuli itu sejak semula tidak berkelakar dengan si nona, rupanya dia seorang yang jujur dan pendiam, baru sekarang dia membuka suara, “Kemarin kami baru saja berpisah dengan Toasuko di kota Heng-yang, dia suruh kami berangkat lebih dulu. Saat ini besar kemungkinan mabuknya juga sudah sadar dan dapatlah menyusul kemari.”

“Kembali dia minum sampai mabuk?” si nona menegas sambil mengerut kening.

Orang yang berdandan sebagai kuli itu mengiakan. Sedangkan orang yang membawa Swipoa lantas berkata, “Sekali ini dia benar-benar minum dengan sepuas-puasnya, dari pagi minum sampai siang, dari siang minum lagi hingga petang, kukira paling sedikit juga ada dua-tiga puluh kati arak bagus yang masuk ke dalam perutnya.”

“Cara minum begitu apa takkan merusak kesehatannya? Mengapa kalian tidak menasihati dia?” omel si nona.

Orang yang membawa Swipoa itu meleletkan lidahnya, lalu berkata, “Toasuko mau terima nasihat orang? Haha, tunggu nanti jika matahari sudah terbit dari barat! Ya, kecuali Siausumoay yang menasihati dia, mungkin dia mau mengurangi sedikit minumannya itu.”

Maka tertawalah semua orang.

Segera si nona berkata pula, “Mengapa dia minum besar-besaran? Apakah dia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan lagi?”

“Pertanyaan ini harus diajukan kepada Toasuko sendiri,” ujar orang yang membawa Swipoa. “Besar kemungkinan dia mengetahui akan bertemu dengan Siausumoay di sini, saking senangnya dia terus minum besar-besaran.”

“Ngaco-belo!” semprot si nona. Namun tidak urung kelihatan rada senang. Lalu katanya pula, “Dari mana kalian mengetahui aku dan Jisuko akan datang ke sini? Kalian toh bukan malaikat dewata.”

“Kami memang bukan malaikat dewata, tapi Toasuko adalah malaikat dewata,” kata si pemain monyet dengan tertawa.

Mendengar kelakar sesama saudara seperguruan itu, diam-diam Peng-ci merasa heran, pikirnya, “Dari pembicaraan mereka, agaknya nona itu menaruh hati kepada Toasuhengnya. Namun Jisuhengnya saja sudah begitu tua, tentu Toasuheng lebih-lebih tua lagi. Padahal usia nona ini paling-paling cuma 16-17 tahun, masakah dia mencintai seorang kakek-kakek berusia lanjut?”

Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Ya, tentulah nona ini merasa mukanya sendiri burik dan jelek, terpaksa ia mencintai seorang tua yang sudah duda. Hm, dasar nona ini memang berhati buruk, katanya Toasuhengnya juga seorang pemabuk, mereka benar-benar setimpal satu sama lain.”

Dalam pada itu si nona burik telah bertanya pula, “Apakah kemarin pagi-pagi Toasuheng sudah lantas minum arak?”

Si pemain monyet itu menjawab, “Kalau tidak dijelaskan, tentu kau masih terus bertanya. Kejadiannya adalah begini: kemarin pagi-pagi waktu kami berdelapan hendak berangkat, tiba-tiba Toasuko mengendus bau arak yang harum, seketika ia celingukan ke sana kemari, akhirnya dilihatnya seorang pengemis sedang menenggak arak dari sebuah Houlo (buli-buli dari sejenis buah labu) besar. Seketika Toasuko ketagihan arak, ia coba maju mengobrol dengan si pengemis dan memuji araknya sangat harum, ditanyanya pula arak apakah itu?

“Si pengemis menjawab, ‘Ini adalah arak kera!’

“‘Kok aneh namanya arak kera?’ tanya Toasuko. Maka pengemis itu menerangkan bahwa di tengah hutan pegunungan Oulam barat ada kawanan kera yang mahir membuat arak dari buah-buahan, araknya sangat enak, kebetulan pengemis itu memergoki simpanan arak itu kawanan kera kebetulan tidak ada, segera ia mencuri tiga buli-buli arak, bahkan menangkap pula seekor monyet kecil. Nah inilah dia!”

Ia mengakhiri ceritanya sambil menunjuk kera yang hinggap di atas pundaknya. Pinggang binatang itu terikat oleh seutas tali yang digandeng di atas lengannya, gerak-geriknya sangat jenaka.

“Lak-suko,” kata si nona sambil memandangi kera itu dengan tertawa, “pantas kau berjuluk ‘Lak-kau-ji’ (si kera keenam), tampaknya kau dan binatang cilik ini akrab benar seperti saudara sekandung.”

“Bukan, kami bukan saudara sekandung, tapi saudara seperguruan,” sahut si pemain monyet dengan menarik muka. “Binatang cilik ini adalah Sukoku, aku Sutenya.”

Serentak bergelak tertawalah semua orang.

Si nona juga tertawa sambil mengomel, “Awas, secara berputar kau memaki Toasuko sebagai monyet, biarlah akan kulaporkan padanya kalau kau ingin dihajar dengan beberapa bogem mentah!”

Lalu ia tanya pula, “Dan cara bagaimana saudaramu ini sampai di tanganmu?”

“Saudaraku? O, apakah kau maksudkan binatang cilik ini?” si pemain monyet alias Lak-kau-ji menegas. “Wah, panjang sekali kalau diceritakan dan memusingkan kepala saja.”

“Tidak kau ceritakan juga aku dapat menerka,” ujar si nona dengan tertawa. “Tentulah Toasuko telah menyerahkan monyet ini padamu supaya kau mendidiknya untuk membuatkan arak bagi Toasuko, bukan?”

“I … iya … tepat sekali kau menerka,” sahut Lak-kau-ji.

“Toasuko memang suka main-main dengan urusan yang aneh-aneh,” kata si nona. “Di gunung barulah monyet dapat membuat arak, kalau sudah ditangkap orang masakah mampu membuat arak lagi?”

Sesudah merandek sejenak kemudian ia menyambung pula, “Kalau tidak, masa selama ini Lak-kau-ji kita tidak pernah membuat arak?”

“Sumoay, janganlah kurang ajar kepada Suheng, ya!” mendadak Lak-kau-ji berlagak marah.

“Aduuh, baru sekarang berlagak kereng sebagai Suheng,” sahut si nona dengan tertawa. “Eh, Lak-suko, ceritamu belum selesai. Coba teruskan, cara bagaimana sampai Toasuko minum arak terus-menerus siang dan malam?”

“Begini,” tutur Lak-kau-ji. “Waktu itu sama sekali Toasuko tidak pikirkan kotor atau tidak, dia terus minta arak kepada pengemis itu. Padahal, idiih! Daki di badan pengemis sedikitnya ada tiga senti tebalnya, kutu berkeliaran di atas bajunya, ingusnya meleleh menjijikkan, besar kemungkinan di dalam buli-buli araknya itu sudah banyak bercampur dengan ludah riaknya ….”

Si nona menjadi ikut-ikutan jijik, ia mengerut kening dan menutup hidung, katanya, “Sudahlah, jangan dibicarakan lagi, membikin orang muak saja.”

“Kau muak, tapi Toasuko justru tidak muak,” ujar Lak-kau-ji. “Malahan waktu si pengemis menolak permintaannya, segera Toasuko mengeluarkan tiga tahil perak, katanya bayar tiga tahil perak hanya untuk minum satu ceguk saja.”

“Cis, dasar rakus!” omel si nona dengan mendongkol dan geli pula.

“Karena itu barulah si pengemis meluluskan permintaan Toasuko. Sesudah menerima uang ia berkata, ‘Baiklah, kita berjanji hanya satu ceguk saja dan tidak lebih!’ Toasuko menjawab, ‘Ya, sudah janji satu ceguk sudah tentu satu ceguk kalau lebih bayar lagi nanti!’ Siapa duga, begitu buli-buli itu menempel mulut Toasuko, isi buli-buli itu lantas seperti dituang ke dalam tenggorokannya, sekaligus ia telah habiskan sisa arak yang lebih dari setengah buli-buli itu tanpa ganti napas.

“Kiranya Toasuko telah menggunakan ‘Kun-goan-it-ki-kang’ ajaran Suhu yang hebat itu sehingga tanpa ganti napas sekaligus ia telah hirup habis seluruh isi buli-buli. Coba kalau Siausumoay waktu itu ikut berada di sana, tentu kau pun akan kagum tak terkatakan menyaksikan ilmu sakti Toasuko yang sedemikian hebatnya itu.”

Saking geli si nona tertawa terpingkal-pingkal, katanya, “Dasar mulutmu memang kotor, sedemikian caranya kau melukiskan kerakusan Toasuko.”

“Habis memang begitu sih, kelakuannya,” sahut Lak-kau-ji dengan tertawa. “Sekali-kali aku tidak membual, para Suheng dan Sute ikut menjadi saksi. Boleh kau tanya mereka apakah Toasuko tidak menggunakan ‘Kun-goan-it-ki-kang’ untuk menenggak arak kera itu.”

“Ya, Siausumoay, sesungguhnya memang begitu,” kata beberapa orang Suhengnya.

Si nona menghela napas, katanya setengah menggumam, “Alangkah sukarnya ilmu itu, kita tak dapat mempelajari semua, hanya dia seorang yang dapat, tapi dia justru menggunakannya untuk menipu arak si pengemis.”

Nadanya menyesalkan tapi juga mengandung rasa memuji.

“Karena araknya dihabiskan Toasuko, dengan sendirinya pengemis itu tidak mau terima,” demikian Lak-kau-ji menyambung. “Dia pegang baju Toasuko sambil berteriak-teriak, ‘Katanya sudah janji hanya minum satu ceguk, kenapa sekarang seluruh isi Houlo dihabiskan!’ Tapi Toasuko telah menjawab dengan tertawa, ‘Ya aku memang benar-benar cuma minum satu ceguk, apakah kau melihat aku berganti napas? Tidak ganti napas berarti hanya satu ceguk. Sebelumnya toh kita tidak berjanji apakah satu ceguk besar atau satu ceguk kecil. Padahal barusan aku juga cuma minum setengah ceguk saja. Kalau satu ceguk harganya tiga tahil perak, maka setengah ceguk hanya satu setengah tahil saja. Nah mana uangnya, kembalikan satu setengah tahil perak.’”

“Hihi, sudah minum arak orang, hendak anglap uang orang lagi,” ujar si nona dengan tertawa.

“Ya, keruan saja si pengemis itu hampir-hampir menangis,” sambung Lak-kau-ji. “Toasuheng lantas berkata, ‘Lauheng (saudara), janganlah khawatir, tampaknya kau juga seorang tukang minum arak. Marilah, mari, biar kutraktir kau untuk minum sepuas-puasnya.’

“Segera si pengemis diseretnya ke dalam sebuah warung arak di tepi jalan, kedua orang itu lantas minum besar-besaran. Kekuatan minum pengemis itu lumayan juga, semangkuk demi semangkuk mereka terus menenggak tanpa berhenti. Kami menunggu sampai siang, dari siang sampai petang, mereka masih terus minum. Akhirnya pengemis itu menggeletak dan tak sanggup bangun lagi. Tapi Toasuko sendiri masih terus menuang dan menenggak, cuma bicaranya juga sudah mulai pelo. Kami disuruh berangkat ke sini dahulu dan dia akan menyusul kemudian.”

“O, kiranya demikian,” kata si nona. Dan sesudah merenung sejenak, kemudian ia bertanya pula, “Apakah pengemis itu dari Kay-pang?”

“Bukan!” sahut orang yang berdandan sebagai kuli. “Dia tidak mahir ilmu silat, punggungnya juga tidak membawa kantong.”

Si nona memandang keluar rumah minum, hujan masih rintik-rintik tak berhenti-henti. Ia menggumam sendiri, “Jika kemarin dia ikut berangkat tentu hari ini tidak perlu kehujanan lagi.”

Kemudian Lak-kau-ji berkata pula, “Suhu memberi pesan pada kami agar sesudah mengantarkan kado dan memberi selamat kepada Lau-samya di sini, lalu berangkat ke Hokkian untuk mencari kalian. Tak terduga kalian malah sudah datang ke sini lebih dulu. Eh, Siausumoay, tadi kau bilang mengalami kejadian-kejadian aneh di tengah jalan, sekarang menjadi gilirannya untuk menuturkan pengalamannya kepada kami.”

“Buat apa buru-buru?” sahut si nona. “Nanti saja kalau Toasuko sudah datang barulah kuceritakan supaya aku tidak capek mengulangi lagi. Kalian telah berjanji akan berkumpul di mana?”

“Tiada perjanjian,” sahut Lak-kau-ji. “Heng-san toh tidak terlalu besar, tentu kita dapat bertemu dengan mudah. He, kau menipu aku menceritakan kejadian Toasuko minum arak kera, tapi pengalamanmu sendiri sengaja dijual mahal dan tidak diceritakan.”

Pikiran anak dara itu tampaknya agak melayang, ia berkata, “Jisuko, silakan kau saja yang bercerita.”

Ia pandang sekejap ke arah Peng-ci yang duduk mungkur itu, lalu sambung pula, “Di sini terlalu banyak mata dan telinga, sebaiknya kita mencari hotel dahulu baru nanti kita bicara lagi.”

Seorang di antaranya yang berperawakan tinggi sejak tadi tidak ikut bicara, baru sekarang ia berkata, “Hotel di dalam kota Heng-san sudah penuh semua, kita pun tidak ingin membuat repot keluarga Lau, biarlah sebentar lagi jika Toasuko sudah datang, kita lantas mencari pondok di kelenteng atau rumah berhala lain di luar kota saja. Bagaimana Jisuko?”

Karena Toasuko belum datang, dengan sendirinya si kakek sebagai Jisuko adalah pemimpin mereka. Maka dia mengangguk dan menjawab, “Baik, bolehlah kita menunggu di sini saja.”

Dasar julukannya monyet, maka watak Lak-kau-ji juga tidak sabaran seperti kera, dengan bisik-bisik ia berkata, “Bungkuk itu besar kemungkinan adalah seorang linglung, sudah duduk di situ sejak tadi tanpa bergerak, buat apa kita urus dia? Nah, Jisuko, engkau dan Siausumoay pergi ke Hokciu, bagaimana hasil penyelidikan kalian? Hok-wi-piaukiok sudah dibabat habis oleh Jing-sia-pay, apakah keluarga Lim benar-benar tidak mempunyai kepandaian sejati?”

Mendengar nama keluarganya disinggung, segera Peng-ci lebih memusatkan perhatian untuk mendengarkan.

Tak terduga si kakek malah balik bertanya, “Sebab apakah mendadak Bok-taysiansing muncul di sini dan mengeluarkan kepandaiannya Kin-lian-hoan dan sekali tebas mengutungkan tujuh cangkir? Tadi kalian ikut menyaksikan semua, bukan?”

“Ya,” sahut Lak-kau-ji. Lalu ia mendahului bercerita apa yang terjadi tadi.

“Oh, begitu,” kata si kakek. Selang sejenak baru sambungnya, “Orang luar semua mengatakan Bok-taysiansing dan Lau-samya tidak akur, sekali ini Lau-samya hendak ‘cuci tangan’ dan mengundurkan diri, tapi Bok-taysiansing muncul pula di sini secara rahasia dan mencurigakan, sungguh sukar untuk diraba apa sebab musababnya.”

“Jisuko, kabarnya Ciangbunjin dari Thay-san-pay, Thian-bun Cinjin sendiri juga telah hadir di rumah Lau-samya?” tanya orang yang membawa Swipoa.

Si kakek rada terkejut, sahutnya, “Thian-bun Cinjin sendiri juga datang? Wah, sungguh suatu kehormatan besar bagi Lau-samya. Dengan hadirnya Thian-bun Cinjin, bila benar-benar terjadi percekcokan antara Lau-samya dan Bok-taysiansing, rasanya Lau-samya tidak perlu gentar lagi kepada Bok-taysiansing.”

“Jisuko, lalu Ih-koancu dari Jing-sia-pay akan membantu siapa?” tiba-tiba si nona burik bertanya.

Dada Peng-ci seperti dihantam godam demi mendengar nama “Ih-koancu dari Jing-sia-pay”.

Dalam pada itu Lak-kau-ji dan yang lain beramai-ramai telah tanya juga, “He, Ih-koancu juga datang?”

“Tumben ada orang dapat mengundang dia turun dari Jing-sia!”

“Wah, sedemikian banyak tokoh-tokoh terkemuka yang berkumpul di kota Heng-san ini, mungkin akan terjadilah pertarungan sengit.”

“Eh, Siausumoay, dari mana kau mendapat tahu kedatangan Ih-koancu?”

“Kenapa mesti mendapat tahu dari mana? Aku sendirilah yang melihat kedatangannya,” sahut si nona.

“Kau telah melihat Ih-koancu?” Lak-kau-ji menegaskan. “Di Heng-san sini?”

“Bukan saja aku melihatnya di sini, di Hokkian juga aku melihatnya, di Kangsay juga aku melihatnya,” sahut si nona.

“Oo, Ih-koancu sudah pergi ke Hokkian?” tukas si orang pembawa Swipoa. “Kali ini secara besar-besaran Jing-sia-pay merecoki Hok-wi-piaukiok, sampai-sampai Ih-koancu juga maju sendiri, kukira pasti ada sebab yang amat penting. Siausumoay, untuk ini kukira engkau tentu tidak tahu.”

“Gosuko, kau tidak perlu membikin panas hatiku,” sahut si nona. “Mestinya aku hendak cerita, tapi kau sengaja mengipasi, maka aku justru tidak jadi cerita lagi.”

Lak-kau-ji memandang sekejap pula ke arah Peng-ci, lalu berkata, “Mengenai Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok, andaikan didengar oleh tamu juga tidak menjadi soal. Jisuko, untuk apakah Ih-koancu pergi ke Hokkian? Cara bagaimana kalian memergoki dia?”

Ia tidak tahu bahwa diam-diam Peng-ci merasa sangat berterima kasih atas pertanyaannya itu. Sebab memang demikianlah yang ingin diketahui Peng-ci.

“Bulan 12 yang lalu,” demikian si kakek melanjutkan, “ketika di kota Hantiong, Toasuko telah menghajar Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong dari Jing-sia-pay ….”

Mendengar nama kedua orang itu, mendadak Lak-kau-ji tertawa terkekeh-kekeh.

“Apa yang kau tertawakan?” semprot si nona dengan mendelik.

“Aku menertawai kedua manusia yang sombong itu, nama mereka pakai ‘Jin-eng’ (pahlawannya manusia) dan ‘Jin-hiong’ (jantannya manusia) segala, haha, malahan orang Kangouw menyebut mereka sebagai ‘Eng-Hiong-Ho-Kiat, Jing-sia-su-siu’, kan lebih baik pakai nama ‘Liok Tay-yu’ seperti aku saja dan habis perkara,” demikian kata Lak-kau-ji dengan tertawa.

Kiranya nama Lak-kau-ji yang sebenarnya adalah Liok Tay-yu. Liok artinya Lak atau enam, kebetulan urut-urutannya dalam perguruan juga nomor enam, maka orang lantas memberi julukan Lak-kau-ji, si kera keenam, padanya.

Segera seorang lagi mengomeli, “Sudahlah, jangan kau ganggu cerita Jisuko.”

“Baiklah,” sahut Liok Tay-yu, tapi tidak urung ia terkekeh-kekeh pula.

“Sebenarnya apa sih yang kau gelikan? Kau memang suka mengacau!” omel si nona.

“Aku jadi teringat pada waktu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong itu dihajar oleh Toasuko sampai jungkir balik dan terguling-guling, tapi mereka masih belum tahu siapakah orang yang menghajar mereka, lebih-lebih tidak tahu lantaran sebab apa kok menerima hajaran,” sahut Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. “Kiranya Toasuko menjadi geregetan bila mendengar nama mereka, maka sambil minum arak Toasuko lantas berteriak-teriak, ‘Anjing liar babi hutan, empat binatang dari Jing-sia’. Sudah tentu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong menjadi marah, segera mereka hendak melabrak Toasuko, tapi belum apa-apa mereka sudah didepak terguling ke bawah loteng rumah arak itu. Hahaha, sungguh sangat lucu!”

Hati Peng-ci sangat terhibur mendengar cerita itu. Timbul juga rasa simpatiknya kepada Toasuko dari Hoa-san-pay ini. Meski dirinya belum kenal Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi kedua orang itu adalah Suheng Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho, mereka telah ditendang terguling-guling oleh “Toasuko” orang-orang Hoa-san-pay ini, paling tidak rasa dendamnya sudah terlampiaskan sedikit. Padahal kejadian itu adalah bulan 12 tahun yang lalu, jadi belum terjadi permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok.

Dalam pada itu si nona burik telah mengolok-olok Lak-kau-ji, “Kau cuma pintar menonton saja, bila kau yang berkelahi dengan orang, rasanya belum tentu kau mampu menandingi ‘Jing-sia-su-siu’ (empat jago muda Jing-sia-pay).”

“Ah, juga belum tentu begitu,” sahut Lak-kau-ji. “Kau toh belum kenal siapa-siapa Jing-sia-su-siu itu.”

“Dari mana kau mengetahui bahwa aku belum kenal mereka? Malahan orang Jing-sia-pay sudah merasakan hajaranku,” sahut si nona.

Mendengar itu, para Suhengnya lantas bertanya cara bagaimana nona itu pernah menghajar orang Jing-sia-pay?

Tapi si nona sengaja jual mahal dan tidak mau cerita. Maklumlah, Keh Jin-tat yang dia lemparkan ke dalam kolam lumpur itu terhitung jago nomor buntut di antara murid-murid Jing-sia-pay, kalau dia ceritakan rasanya juga kurang gemilang.

Maka Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji lantas berkata, “Siausumoay, kepandaianmu rasanya selisih tidak jauh daripadaku, jika orang Jing-sia-pay dapat kau hajar, tentu aku pun mampu menghajar mereka.”

“Hihi, tentang Jing-sia-su-siu sih aku belum tentu mampu menandingi mereka, cuma saja mereka yang gentar padaku,” ujar si nona sambil tertawa.

“Inilah aneh,” kata Liok Tay-yu. “Kau tidak dapat menandingi mereka, tapi mereka malah gentar padamu. Ini ma … mana bisa terjadi?”

“Sudahlah, Lak-kau-ji, jangan menimbrung saja, dengarkan dulu ceritanya Jisuko,” kata si jangkung.

Biasanya Lak-kau-ji memang agak jeri kepada Samsuko si jangkung itu, maka ia tidak berani cerewet dan tertawa-tawa lagi.

“Meski Toasuko telah menghajar Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi waktu itu dia pun tidak tahu persis siapakah mereka itu, sesudah itu barulah dia mengetahuinya,” demikian tutur si kakek lagi. “Sebab itulah Ih-koancu lantas menulis surat kepada Suhu, isi suratnya sih sangat ramah, dia bilang kurang keras mendidik muridnya sehingga membikin marah muridmu, maka sengaja menulis untuk minta maaf segala.”

“Hah, orang she Ih itu sungguh sangat licin,” sela Liok Tay-yu. “Tampaknya dia menulis surat dan minta maaf, padahal maksudnya adalah mengadu kepada Suhu. Keruan Toasuko yang terima akibatnya dengan dihukum berlutut tujuh hari tujuh malam, sesudah para Suheng dan Sute memintakan maaf baginya, barulah Suhu mau mengampuni dia.”

“Ampun apa, bukankah tetap dihukum rangket 30 kali?” ujar si nona.

“Ya, aku pun ikut-ikut dipersen 10 kali rangketan,” kata Liok Tay-yu. “Hehe, cuma cara Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong terguling-guling ke bawah loteng rumah arak itu keadaannya benar-benar sangat konyol. Biarpun dirangket 10 kali aku merasa tidak rugi. Hahahaha!”

“Hm, macammu ini, sudah dirangket 10 kali toh masih belum kapok,” kata si jangkung. “Waktu itu mestinya kau dapat mencegah Toasuko. Memang dugaan Suhu tidak salah, beliau cukup kenal watakmu, bukannya mencegah, tentu kau malah mengadu dan mendorong dari belakang. Makanya pantas kau dirangket juga.”

“Ai, sekali ini Suhu benar-benar telah salah menaksirkan diriku,” ujar Liok Tay-yu. “Jika Toasuko mau tendang orang, apakah aku mampu mencegahnya? Apalagi betapa cepat Toasuko mengayun kakinya, belum sempat aku melihat jelas, tahu-tahu kedua ‘kesatria besar’ yang menubruk dari kanan-kiri itu sudah terguling ke bawah loteng tanpa berhenti. Mestinya aku hendak memerhatikan kepandaian Toasuko yang istimewa, supaya aku pun dapat belajar tendangan ‘Pah-bwe-kah’ (tendangan ekor macan tutul) itu, namun sama sekali aku tidak sempat menyaksikan dengan jelas, jangankan hendak belajar.”


-dipi-
 
Hina Kelana
Bab 10. Jing-sia-pay Ternyata Pernah Dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat
Oleh Jin Yong


“Lak-kau-ji, ingin kutanya kau, pada waktu Toasuko berteriak-teriak tentang ‘empat binatang dari Jing-sia’, tatkala itu kau ikut-ikut berteriak atau tidak?” demikian tanya seorang Suhengnya yang berbadan gede.

“Haha, jika begitu cara teriakan Toasuko, sudah tentu aku ikut-ikut memberi suara,” sahut Liok Tay-yu. “Memangnya kau malah ingin aku membantu pihak Jing-sia-pay dan memaki Toasuko?”

“Jika begitu hukuman rangket Suhu atas dirimu itu sedikit pun tidak keliru,” ujar si badan gede.

“Ya, peringatan Suhu terhadap Toasuko itu memang perlu juga diingat baik-baik oleh kita semua,” kata si kakek pula. “Menurut Suhu, banyak orang persilatan memang suka memakai julukan yang muluk-muluk dan berlebihan, tapi masakah kita dapat mengurusnya satu per satu? Orang mau menyebut dirinya sebagai ‘kesatria’ atau ‘pahlawan’ boleh biarkan saja, buat apa ambil pusing. Tentang perbuatannya, tingkah lakunya, apakah betul-betul kesatria atau pahlawan atau cuma ‘jual kecap’ melulu, tentu orang persilatan umumnya akan memberi penilaian sendiri, kita tidak perlu ambil tindakan sendiri-sendiri.”

Semua orang mengiakan uraian sang Jisuko. Maka dengan tersenyum kakek itu meneruskan, “Setelah kejadian Hau-Jin-eng dan Ang Jin-hiong dihajar oleh Toasuko, tentu saja hal mana bagi Jing-sia-pay merupakan suatu hinaan besar dan sangat memalukan, maka sama sekali mereka tidak berani membicarakannya, bahkan anak murid mereka sendiri jarang yang mengetahui kejadian itu. Suhu juga wanti-wanti memperingatkan kita agar jangan menyiarkan kejadian itu keluar untuk menghindari percekcokan kedua pihak. Maka selanjutnya kita pun jangan membicarakannya lagi, awas kalau didengar orang luar dan disiarkan.”

“Ah, padahal kepandaian Jing-sia-pay kukira juga cuma membual belaka,” ujar Liok Tay-yu. “Biar kita menyalahi mereka juga tidak menjadi soal ….”

“Laksute,” bentak si kakek, “jika kau sembarangan omong lagi, awas kalau kulaporkan kepada Suhu, tentu kau akan terima rangketan lagi. Dapatnya Toasuko menggulingkan kedua lawan dengan gerakan ‘Pah-bwe-kah’, pertama adalah karena pihak mereka sama sekali tidak siap, kedua, Toasuko adalah jago muda yang paling menonjol dari golongan kita yang sukar dibandingi orang lain. Coba kau sendiri saja, apakah kau mampu menendang orang sehingga terguling ke bawah loteng?”

Liok Tay-yu melelet-lelet lidah, jawabnya, “Ya, jangan bandingkan Toasuko dengan aku, dong!”

“Maka dari itu janganlah kita tinggi hati. Ih-koancu, ketua Jing-sia-pay, sesungguhnya adalah tokoh pilihan di dunia persilatan pada zaman ini, siapa berani memandang enteng padanya tentu akan merasakan akibatnya,” kata si kakek dengan sungguh-sungguh. “Kau, Siausumoay, kau sudah pernah melihat Ih-koancu, coba bagaimana pendapatmu tentang dia?”

“Tentang Ih-koancu maksudmu?” si nona menegas. “Aku … aku menjadi takut bila melihatnya. Lain … lain kali aku tidak ingin melihat dia lagi.”

“Bagaimana sih macamnya Ih-koancu itu sehingga Siausumoay kita sampai ketakutan padanya? Apakah mukanya sangat bengis dan jahat?” tanya Liok Tay-yu.

Anak dara itu agaknya masih merasa ngeri, maka badannya agak mengkeret dan tidak menjawab pertanyaannya.

Si kakek lantas menyambung ceritanya, “Karena Toasuko masih belum juga datang, daripada iseng biarlah kuceritakan sekalian dari awal mula. Sesudah kita mengetahui seluk-beluk urusan ini, kelak bila bertemu dengan orang-orang Jing-sia-pay dapatlah kita dapat berjaga-jaga sebelumnya dan tahu bagaimana cara bagaimana menghadapi mereka. Hari itu sesudah Suhu terima suratnya Ih-koancu, dengan marah beliau lantas memberi hukuman rangket kepada Toasuko dan Laksute. Besoknya beliau lantas menulis surat balasan dan menyuruh aku mengantarkannya ke Jing-sia-san ….”

“O, makanya hari itu kau turun gunung dengan tergesa-gesa, kiranya kau diutus pergi ke Jing-sia?” seru beberapa Sutenya.

“Benar,” sahut si kakek. “Suhu suruh aku jangan mengatakan kepada kalian supaya tidak timbul hal-hal yang tak diinginkan.”

“Hal-hal yang tak diinginkan apa sih? Itu kan cuma pikiran Suhu yang biasanya memang sangat hati-hati,” ujar Liok Tay-yu.

“Kau tahu apa?” omel Samsuhengnya. “Bila Jisuko mengatakan padamu, tentu kau akan usil mulut dan menyampaikannya pula kepada Toasuko. Andaikan Toasuko tidak berani membangkang perintah Suhu, tapi dia tentu akan menggunakan akal aneh-aneh untuk mengacau pihak Jing-sia-pay.”

“Benar juga ucapan Samte,” kata si kakek. “Toasuko mempunyai banyak sekali sahabat Kangouw, untuk melakukan sesuatu tidak perlu mesti dia sendiri yang melaksanakannya. Menurut Suhu, dalam surat mengatakan kedua murid yang nakal telah diberi hukuman yang setimpal, mestinya akan dipecat dari perguruan, tapi khawatir hal ini akan menimbulkan salah sangka orang Kangouw seakan-akan kedua aliran kita telah terjadi keretakan, maka sekarang kedua murid nakal itu sudah diberi hukum rangket sehingga tidak mampu berjalan, sebab itulah sengaja menyuruh Jitecu bernama Lo Tek-nau untuk minta maaf. Urusan yang ditimbulkan oleh murid nakal ini hendaklah Ih-koancu mengingat hubungan baik kedua pihak dan janganlah marah dan macam-macam ucapan merendah lagi.”

Mendengar uraian isi surat itu, diam-diam Peng-ci membatin, “Hubungan Hoa-san-pay kalian dan Jing-sia-pay ternyata sangat akrab, pantas nona burik itu tidak mau menyalahi mereka hanya untuk membela aku dan ayah saja.”

Dalam pada itu si kakek yang bernama Lo Tek-nau telah meneruskan ceritanya, “Sesampainya aku di Jing-sia-san, masih mendingan si Hau Jin-eng itu, yang kurang ajar adalah si Ang Jin-hiong, beberapa kali dia mengejek dan mencemooh, bahkan menantang aku untuk berkelahi ….”

“Keparat! Labrak saja, takut apa, Jisuko? Masakah keparat she Ang itu mampu menandingi kau?” seru Liok Tay-yu dengan gemas.

“Tapi Suhu menyuruh aku ke Jing-sia-san untuk meminta maaf dan bukan untuk mencari perkara,” sahut Lo Tek-nau. “Maka sedapat mungkin aku hanya bersabar saja. Aku menunggu enam hari di sana, sampai hari ketujuh barulah Ih-koancu menemui aku.”

“Hm, lagaknya!” omel Liok Tay-yu. “Selama enam hari enam malam itu tentu engkau sangat tersiksa, Jisuko.”

“Ya, sudah tentu aku kenyang disindir dan diejek,” sahut Lo Tek-nau. “Syukurlah aku cukup sadar akan tugas yang dibebankan Suhu kepadaku, bahwasanya aku yang diutus ke Jing-sia bukan lantaran ilmu silatku melebihi orang lain, beliau tahu usiaku paling tua dan jauh lebih sabar daripada para Sute. Sesudah menemui aku, Ih-koancu juga tidak bilang apa-apa, dia hanya menghibur aku beberapa patah, malamnya lantas mengadakan perjamuan untukku. Besok paginya dia sendiri yang mengantar keberangkatanku, sedikit pun tidak kurang adat. Tapi mereka tidak menduga bahwa selama enam hari aku dibiarkan tinggal di Siong-hong-koan mereka tanpa digubris sesungguhnya malah merugikan mereka sendiri.

“Karena aku belum dapat bertemu dengan Ih-koancu, dengan sendirinya aku menjadi menganggur saja. Hari ketiga pagi-pagi sekali aku telah bangun dan keluar jalan-jalan, sampai di lapangan berlatih di belakang kuil mereka itu, terlihat ada beberapa puluh murid Jing-sia-pay sedang latihan. Kita mengetahui orang Bu-lim paling pantang kalau mengintip orang lain yang sedang berlatih, maka cepat-cepat aku memutar balik ke kamar. Akan tetapi hanya sekilas pandang itu saja aku sudah lantas timbul rasa curiga. Kulihat beberapa puluh murid Jing-sia-pay itu semuanya menggunakan pedang dan sedang berlatih sesuatu ilmu pedang baru, sebab tampaknya gerakan mereka masih kaku. Cuma sekilas saja aku pun tidak jelas ilmu pedang apa yang mereka latih itu.

“Sepulangnya di kamar, hatiku semakin curiga. Aku tidak habis mengerti mengapa murid-murid Jing-sia-pay itu tanpa kecuali sekaligus telah latihan bersama sebuah ilmu pedang. Apalagi di antara mereka juga termasuk empat tokoh muda yang terkenal sebagai Jing-sia-su-siu, yaitu Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho dan Lo Jin-kiat. Coba para Sute, jika kalian yang memergoki keadaan begitu, bagaimana dugaan kalian?”

“Mungkin Jing-sia-pay baru menciptakan semacam ilmu pedang,” ujar orang pembawa Swipoa.

“Semula aku pun berpikir begitu,” sahut Lo Tek-nau. “Tapi setelah kupikir lagi kukira tidak tepat. Ilmu pedang Ih-koancu sudah cukup terkenal, jika dia berhasil menciptakan ilmu pedang baru, maka ilmu pedang ini pasti luar biasa dan tidaklah mungkin serentak diajarkan kepada semua muridnya tanpa membedakan tingkatan. Paling-paling dia cuma pilih dua-tiga muridnya yang paling pandai untuk melatihnya. Maka pagi hari berikutnya kembali aku memutar ke belakang kuil lagi, lewat di lapangan berlatih, kembali kulihat mereka masih latihan ilmu pedang. Sekilas pandang pula aku dapat mengingat baik-baik dua jurus di antaranya dengan maksud sepulangnya di Hoa-san akan kuminta keterangan kepada Suhu. Maklumlah aku menjadi curiga jangan-jangan Jing-sia-pay hendak memusuhi Hoa-san-pay kita, bukan mustahil ilmu pedang mereka yang baru itu khusus akan ditujukan untuk mengalahkan kita, untuk mana kita harus siap siaga sebelumnya.”

“Jisuko, apakah tidak mungkin mereka sedang berlatih semacam Kiam-tin (barisan pedang)?” tiba-tiba si badan gede ikut tanya.

“Hal ini pun sangat mungkin. Cuma dari cara latihan mereka itu kukira bukanlah sebuah Kiam-tin apa-apa,” sahut Lo Tek-nau. “Ketika esok paginya aku pura-pura lalu di lapangan latihan itu, namun keadaan sunyi senyap tiada seorang pun. Kutahu mereka sengaja menghindari aku, maka rasa curigaku semakin menjadi. Malamnya selagi aku hampir pulas, tiba-tiba dari jauh terdengar suara saling benturnya senjata. Aku terkejut, apakah Siong-hong-koan mereka telah kedatangan musuh? Pikiranku yang timbul pertama adalah: jangan-jangan Toasuko yang sengaja menyatroni mereka karena merasa dendam habis dimarahi Suhu? Jika demikian halnya, seorang diri tentu Toasuko sukar melawan orang banyak, aku harus keluar untuk membantunya. Karena aku tidak membawa senjata, terpaksa dengan bertangan kosong aku lantas keluar ….”

“Wah, tabah benar, Jisuko,” puji Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. “Jika aku tentu tidaklah berani melawan Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay itu dengan bertangan kosong”.

“Kau omong melantur saja, monyet,” semprot Lo Tek-nau. “Aku toh tidak mengatakan akan menempur Ih-koancu. Aku cuma khawatirkan keselamatan Toasuko, biarpun berbahaya juga terpaksa ikut maju. Memangnya kau suruh aku enak-enak tidur dan mengkeret di dalam selimut seperti kura-kura?”

Mendengar itu, para Sutenya lantas bergelak tertawa.

Liok Tay-yu menyengir, sahutnya, “Aku kan memuji kau, kenapa kau marah malah?”

“Terima kasih saja, pujianmu itu tidak enak didengar,” ujar Lo Tek-nau.

“Sudahlah Jisuko, lanjutkan saja ceritamu, jangan gubris Lak-kau-ji yang mengacau melulu itu,” kata Sute-sutenya yang lain.

“Ya, maka diam-diam aku lantas keluar dari kamar, kudengar suara senjata itu makin lama makin ramai, hatiku semakin berdebar juga. Kedengaran suara senjata itu datang dari ruangan belakang, terlihat pula di balik jendela ruangan belakang itu memang terang benderang, segera aku menuju ke sana. Waktu kuintip ke dalam ruangan melalui celah-celah jendela, maka legalah hatiku. Kiranya curigaku itu tidaklah beralasan, hanya lantaran Ih-koancu tidak menemui aku sampai beberapa hari, maka aku selalu berpikir hal-hal yang buruk. Ternyata di dalam ruangan pendopo belakang itu ada dua pasangan sedang bertanding pedang, yang satu partai adalah Hau Jin-eng melawan Ang Jin-hiong, partai lain adalah Pui Jin-ti melawan Uh Jin-ho.”

“Wah, giat amat anak murid Jing-sia-pay itu, sampai malam hari juga berlatih,” Liok Tay-yu mengolok-olok.

Lok Tek-nau melototinya sekali, lalu menyambung dengan tersenyum, “Kulihat di tengah ruangan itu duduk seorang Tojin pendek kecil berjubah hijau, usianya sekitar 50-an tahun, mukanya kurus ciut, melihat macamnya itu bobot badannya paling-paling cuma 60-70 kati saja. Orang-orang Bu-lim memang mengetahui ketua Jing-sia-pay adalah seorang Tojin yang pendek dan kecil, tapi kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tidak tahu sampai begitulah pendek dan kecilnya, apalagi percaya bahwa dia adalah Ih-koancu yang namanya termasyhur.

“Di sekeliling ruangan itu berdiri beberapa puluh anak muridnya, semuanya sedang mengikuti pertandingan ilmu pedang di tengah kalangan itu. Sesudah mengintip beberapa jurus saja aku lantas tahu bahwa ilmu pedang yang dimainkan mereka itu tak lain dan tak bukan adalah ilmu pedang yang pernah kulihat di lapangan latihan itu.

“Kutahu keadaanku waktu itu sangat berbahaya, jika sampai ketahuan orang Jing-sia-pay, bukan saja aku akan mengalami hinaan, bahkan akan merugikan nama baik perguruan kita. Peristiwa Toasuko menendang terguling kedua jago muda Jing-sia-pay itu walaupun mengakibatkan Suhu menghukum Toasuko, tapi di dalam hati Suhu mungkin juga ada perasaan senang. Sebab apa pun juga Toasuko toh sudah menonjolkan namanya, apa yang disebut Jing-sia-su-siu itu ternyata tidak tahan oleh sekali tendang murid utama Hoa-san-pay kita. Akan tetapi lain soalnya jika aku ketangkap basah selagi mengintip orang lain berlatih, maka dosaku pastilah tak terampunkan, bukan mustahil aku akan diusir keluar dari perguruan kita.

“Namun menghadapi pertandingan orang yang menarik itu, boleh jadi ada sangkut pautnya pula dengan kepentingan Hoa-san-pay kita, masakah aku mau tinggal pergi begitu saja? Diam-diam aku berjanji hanya akan melihat beberapa jurus saja, lalu pergi. Tapi beberapa jurus ditambah beberapa jurus lagi, makin melihat makin tertarik sehingga aku tetap mengintip terus. Kulihat ilmu pedang yang dimainkan mereka itu agak aneh, tapi toh tiada sesuatu yang lihai, mengapa orang Jing-sia-pay sedemikian tekun melatihnya?

“Sesudah mengintip beberapa jurus lagi, aku tidak berani mengintip terus, perlahan-lahan aku pulang ke kamar. Kukhawatir bila pertandingan mereka sudah berhenti, dalam keadaan sunyi, asal sedikit aku bergerak saja pasti akan diketahui oleh Ih-koancu. Maka untuk dua malam selanjutnya aku tidak berani pergi mengintip lagi. Padahal jika sebelumnya aku tahu mereka berlatih di hadapan Ih-koancu betapa pun aku tidak berani mengintipnya. Soalnya cuma secara kebetulan saja aku memergoki mereka. Maka dari itu pujian Laksute tentang ketabahanku sebenarnya aku tidak berani terima. Malam itu bila Laksute melihat mukaku yang pucat takut itu mustahil takkan mengatakan Jisukomu ini sebagai seorang pengecut nomor satu yang takut mati.”

“Ah, mana berani aku berkata begitu,” ujar Liok Tay-yu dengan tertawa. “Paling-paling Jisuko adalah penakut yang nomor dua. Sebab bila aku yang mengintip waktu itu, aku sih tidak takut dipergoki Ih-koancu, karena saking takutnya aku tentu menjadi kaku dan tak bisa bergerak, bernapas pun tak dapat, maka tak perlu khawatir diketahui oleh Ih-koancu, tidak nanti Ih-koancu mengetahui di luar jendela ada ‘tokoh’ nomor satu sebagai diriku ini sedang mengintip.”

Serentak tertawalah semua orang mendengar ucapan Lak-kau-ji yang lucu itu.

Lalu Lo Tek-nau melanjutkan lagi, “Akhirnya Ih-koancu menerima aku juga. Dia bicara dengan sangat sungkan, katanya hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya sangat baik, kalau anak murid bertengkar adalah seperti anak kecil berkelahi saja, buat apa orang tua ambil pusing. Malamnya aku lantas dijamu, besoknya waktu berangkat Ih-koancu mengantar sendiri keluar Siong-hong-koan. Sebagai kaum muda waktu mohon diri sudah seharusnya aku berlutut untuk menjura padanya. Tapi baru sebelah kakiku berlutut, tangan kanan Ih-koancu sudah lantas menyanggah perlahan sehingga aku terangkat bangun.

“Tenaga Ih-koancu benar-benar luar biasa, seketika badanku terasa enteng, sedikit pun tak bisa mengeluarkan tenagaku, kalau dia mau melemparkan aku, tentu aku akan terguling-guling beberapa meter jauhnya. Dengan tersenyum dia tanya padaku, ‘Toasukomu masuk perguruan lebih dahulu beberapa tahun daripadamu? Apakah kau berguru sudah memiliki ilmu silat?’

“Aku mengiakan dan mengatakan Toasuko masuk perguruan 12 tahun lebih dulu. Maka Ih-koancu tertawa lagi, katanya, ‘O, jadi lebih dulu 12 tahun!’”

“Apa maksudnya dia menanyakan hal itu?” tanya si nona burik.

“Aku pun tidak tahu, cuma wajahnya sangat aneh ketika menanyakan hal itu padaku,” sahut Lo Tek-nau. “Kukira dia hendak mengatakan kepandaianku toh tidak tinggi, biarpun Toasuko belajar lebih lama 12 tahun rasanya juga tidak berbeda banyak.”

“Hm!” si nona mendengus, lalu tidak tanya pula.

Lo Tek-nau lantas melanjutkan, “Sepulangnya di rumah aku lalu mengaturkan surat balasan Ih-koancu kepada Suhu. Isi suratnya ternyata sangat ramah dan merendah hati. Suhu sangat senang sesudah membaca. Beliau lantas tanya padaku tentang pengalamanku di Siong-hong-koan. Kuceritakan tentang ilmu pedang yang dilatih anak murid Jing-sia-pay itu, segera Suhu suruh aku untuk mempertunjukkan jurus-jurus yang kulihat itu. Karena aku cuma ingat lima-enam jurus saja, aku lantas memainkan apa yang kuketahui itu. Sesudah melihat, Suhu lantas berkata, ‘Ilmu pedang ini adalah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok!’”

Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan terakhir itu. Untunglah orang-orang Hoa-san-pay itu lagi asyik mendengar cerita Jisuko mereka sehingga tidak memerhatikan orang-orang di sekitarnya.

Dalam pada itu terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, “Waktu itu aku lantas tanya Suhu, ‘Apakah Pi-sia-kiam-hoat ini sangat hebat? Mengapa Jing-sia-pay mempelajarinya sedemikian tekun?’

“Namun Suhu tidak menjawab, sesudah merenung sejenak barulah beliau berkata, ‘Tek-nau, sebelum berguru padaku kau sudah pernah berkelana beberapa tahun di Kangouw, apakah kau pernah mendengar orang Bu-lim memberi komentar tentang ilmu silatnya Lim Cin-lam, itu pemimpin Hok-wi-piaukiok di Hokkian itu?’

“Aku menjawab, ‘Ya, menurut cerita kawan-kawan Bu-lim, katanya tangan Lim Cin-lam sangat terbuka dan suka menolong, maka setiap orang suka memberi muka padanya tanpa mengganggu barang kawalannya. Adapun mengenai kepandaiannya yang sejati sebaliknya tidak terlalu jelas.’

“Lalu Suhu berkata pula, ‘Memang perkembangan Hok-wi-piaukiok beberapa tahun terakhir ini sebagian besar adalah berkat bantuan kawan-kawan Kangouw. Tapi kau tidak tahu bahwa Ih-koancu punya Suhu, yaitu Tiang-jing-cu, pada waktu mudanya pernah terjungkal di bawah Pi-sia-kiam-hoatnya Lim Wan-tho.’

“Aku tanya siapakah Lim Wan-tho itu, apakah ayahnya Lim Cin-lam. Tapi Suhu menjawab, ‘Bukan, Lim Wan-tho adalah kakeknya Lim-Cin-lam. Dialah yang mendirikan Hok-wi-piaukiok. Dia punya 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat, 108 gerakan Hoan-thian-ciang, dan 18 batang panah yang boleh dikata tiada tandingannya di kalangan Hek-to pada masa itu. Lantaran melihat Lim Wan-tho terlalu menonjol di kalangan Kangouw, ada juga kawan kalangan Pek-to yang sengaja pergi mencari dia untuk minta bertanding, lantaran itulah Tiang-jing-cu telah dikalahkan oleh Pi-sia-kiam-hoat.’

“‘Jika begitu, jadi Pi-sia-kiam-hoat memang sangat lihai?’ demikian tanyaku.

“Suhu menjawab, ‘Tentang kalahnya Tiang-jing-cu itu kedua pihak telah tutup mulut rapat-rapat, maka orang Bu-lim tiada yang tahu. Kakek gurumu adalah sobat kentalnya Tiang-jing-cu, pada waktu bertemu Tiang-jing-cu telah menceritakan kekalahannya itu kepada beliau, katanya hal itu merupakan hinaan terbesar selama hidupnya, tapi dia pun merasa tidak dapat melawan Lim Wan-tho, dendam itu tentu sukar dibalas. Kakek gurumu pernah coba-coba mengikuti permainan Pi-sia-kiam-hoat yang diperlihatkan Tiang-jing-cu dengan maksud akan membantu dia menemukan kelemahan ilmu pedang itu.’

“Akan tetapi ke-72 jurus ilmu pedang itu memang luar biasa, tampaknya saja tiada sesuatu yang aneh, tapi di dalamnya ternyata mengandung kemukjizatan yang sukar diraba orang. Kedua orang tua itu menyelaminya sampai beberapa bulan dan tetap tidak dapat memecahkan cara mengalahkan Pi-sia-kiam-hoat. Tatkala mana aku pun menunggui mereka di samping, aku ingat betul gerakan Pi-sia-kiam-hoat itu, maka begitu kau memainkannya tadi aku lantas tahu ilmu pedang apa. Ai, sang tempo lalu dengan cepat sekali, peristiwa itu sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau!”

Sebenarnya sejak Lim Peng-ci dihajar habis-habisan oleh anak murid Jing-sia-pay, dia sudah kehilangan kepercayaan atas ilmu silat warisan leluhurnya sendiri, maka diam-diam ia berharap akan dapat mencari guru pandai untuk menuntut balas.

Tapi sekarang demi mendengar cerita Lo Tek-nau tentang betapa gagah perwira kakek besarnya, Lim Wan-tho itu, tanpa merasa semangatnya lantas terbangkit. Katanya di dalam hati, “Kiranya Pi-sia-kiam-hoat leluhurku sedemikian hebat, sampai-sampai gembong-gembong Hoa-san-pay di masa dulu juga tidak mampu menandingi. Tapi mengapa ayah sekarang malah tidak mampu melawan anak murid Jing-sia-pay yang masih hijau pelonco itu? Ai, besar kemungkinan ayah belum lagi berhasil menyelami saripati dan kelihaian ilmu pedang kakek-besar itu.”

Ia dengar Lo Tek-nau sedang berkata pula, “Waktu itu aku telah tanya Suhu, ‘Lalu Tiang-jing-cu dapat menuntut balas atau tidak?’

“Kata Suhu, ‘Sebenarnya kalah menang dalam pertandingan ilmu silat juga tak dapat dianggap sebagai permusuhan sehingga mesti merasa dendam segala, apalagi Lim Wan-tho pada masa itu sudah lama termasyhur, dia adalah Locianpwe yang dikagumi kawan-kawan Bu-lim, sebaliknya Tiang-jing-cu adalah Tosu muda yang baru saja mulai menonjol. Seorang muda dikalahkan kaum tua sebenarnya tidaklah menjadi soal. Sebab itulah kakek-gurumu telah menghibur dengan menasihati dia supaya persoalan itu jangan dipikirkan lagi. Kemudian Tiang-jing-cu telah meninggal dalam usia cuma 36 tahun, boleh jadi soal kekalahannya itu masih tetap menjadi ganjalan hatinya sehingga dia mati dengan kurang tenteram. Kejadian yang sudah berselang beberapa puluh tahun, kini mendadak Ih Jong-hay giat melatih Pi-sia-kiam-hoat bersama murid-muridnya, sebenarnya apakah sebabnya? Ya, apa sebabnya!’

“Aku coba mengemukakan pendapatku, apakah tak mungkin Ih-koancu hendak mencari perkara kepada Hok-wi-piaukiok secara besar-besaran untuk menuntut balas sakit hati gurunya? Suhu tampak mengangguk, katanya, ‘Aku pun berpikir demikian. Agaknya jiwa Tiang-jing-cu itu sangat sempit, orangnya tinggi hati pula, soal kekalahannya tentu membuatnya dendam sampai saat ajalnya, besar kemungkinan dia telah meninggalkan pesan apa-apa kepada Ih Jong-hay. Namun Lim Wan-tho sudah wafat lebih dulu daripada Tiang-jing-cu, jika Ih Jong-hay mau menuntut balas terpaksa mesti mencari keturunan Lim Wan-tho. Tapi entah mengapa tertunda hingga sekarang baru mau bertindak. Ih Jong-hay itu sangat licin, tentu dia sudah mengatur rencana dulu baru mulai bergerak. Sekali ini Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok tentu akan berhadapan dengan sengit.’

“Waktu aku tanya Suhu bagaimana pendapatnya atas perselisihan itu, pihak mana yang akan menang? Dengan tertawa Suhu menjawab, ‘Ilmu silat Ih Jong-hay sudah jauh melebihi gurunya, yaitu Tiang-jing-cu, sebaliknya kepandaian Lim Cin-lam walaupun orang luar tidak tahu persis, tapi jelas tidak dapat memadai kakeknya. Yang satu maju dan yang lain mundur, ditambah lagi Jing-sia-pay di pihak yang gelap sedangkan Hok-wi-piaukiok berada di pihak yang terang, sebelum mulai bertarung Hok-wi-piaukiok sudah kalah separuh. Apabila sebelumnya Lim Cin-lam mendapat kabar dan dapat meminta bantuan Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa dari Lokyang, yaitu ayah-mertuanya, mungkin dia masih dapat melawan Jing-sia-pay. Tek-nau, apakah kau tidak ingin pergi melihat keramaian itu?’

“Sudah tentu aku mau saja. Tapi Suhu suruh aku diam-diam saja, jangan sampai diketahui oleh para Sute. Dasar Siausumoay memang setan cerdik, akhirnya diketahui olehnya, dia merengek dan minta Suhu mengizinkan dia ikut padaku. Begitulah kami berdua lantas berangkat ke Hokkian, kami menyamar sebagai kakek dan cucu, dan membuka warung arak di luar kota Hokciu. Setiap hari kami tentu pergi menyelidiki keadaan Hok-wi-piaukiok. Kami tidak melihat apa-apa yang menarik, hanya sering melihat Lim Cin-lam sedang mengajar ilmu pedang kepada putranya yang bernama Lim Peng-ci. Melihat ilmu pedang mereka itu Siausumoay geleng-geleng kepala terus, katanya padaku, ‘Apakah begitu itu namanya Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis), haha, jika iblis benar-benar datang, mungkin Lim-kongcu itu sudah lebih dulu terhalau! ….’”

Di tengah gelak tertawa orang-orang Hoa-san-pay itu, muka Peng-ci juga merah jengah, malunya tak terlukiskan. Pikirnya, “Kiranya mereka berdua lebih dahulu mengintai ke rumahku, tapi kami sekeluarga tidak tahu sama sekali, sungguh tidak becus.”

Terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, “Tidak seberapa hari kami tinggal di luar kota Hokciu lantas datanglah anak murid Jing-sia-pay berturut-turut. Yang datang paling dulu adalah Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, setiap hari mereka pasti mondar-mandir di sekitar Hok-wi-piaukiok. Khawatir kepergok, aku dan Siausumoay lantas tidak pergi ke sana lagi.

“Pada hari itu benar-benar sangat kebetulan, tiba-tiba Lim-kongcu itu berkunjung ke warung yang kubuka bersama Siausumoay itu. Terpaksa Siausumoay mengantar arak yang mereka minta. Tadinya aku menyangsikan jangan-jangan penyamaran kami telah diketahui, maka dia sengaja datang untuk membongkar rahasia kami. Tapi sesudah ajak bicara barulah diketahui Lim-kongcu itu sama sekali tidak sadar, pemuda perlente yang hidupnya aman tenteram itu ternyata tidak paham apa-apa, tiada ubahnya seperti anak tolol. Pada saat itulah tiba-tiba kedua orang Jing-sia-pay yang paling berengsek, yaitu Ih Jin-gan dan Keh Jin-tat, juga berkunjung ke tempat kami ….”

“Haha, Jisuko, perusahaan yang kau buka bersama Siausumoay itu benar-benar subur dan makmur, laris sebagai menjual pisang goreng. Wah, tentu kalian telah kaya mendadak di Hokkian!” demikian Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji bersorak.

“Tentu saja, masakah masih perlu tanya?” sela si nona dengan tertawa. “Sudah lama Jisuko menjadi hartawan, berkat rezekinya aku pun ikut-ikut memperoleh bagian.”

Maka tertawalah semua orang.

Dengan tertawa Lo Tek-nau lantas melanjutkan, “Ilmu silat Lim-siaupiauthau itu teramat rendah, menjadi muridnya Siausumoay saja tidak memenuhi syarat, tapi jiwanya ternyata kesatria. Dasar putra mestika Ih Jong-hay itu sudah buta, dia berani main gila dan mengganggu Siausumoay, eh, Lim-kongcu itu ternyata tidak tinggal diam, ia terus tampil ke muka untuk membela Siausumoay ….”

Diam-diam perasaan Peng-ci bergolak, pikirnya dengan gusar, “Kurang ajar, rupanya secara berencana Jing-sia-pay sengaja mencari perkara dengan Hok-wi-piaukiok kami untuk menuntut balas angkatan tua mereka yang dikalahkan kakek-besarku. Jika demikian yang datang ke Hokciu tentu tidak cuma Pui Jin-ti berempat saja. Andaikan aku tidak membunuh Ih Jin-gan juga mereka akan merecoki aku.”

Karena pikirannya melayang, maka apa yang diceritakan Lo Tek-nau tentang caranya dia membunuh Ih Jin-gan menjadi tidak jelas baginya, hanya saja cerita Lo Tek-nau itu diselingi dengan suara tertawa semua orang, terang mereka menertawakan kepandaiannya yang rendah itu.

Kemudian terdengar Lo Tek-nau lagi berkata, “Sesudah kusaksikan cara Lim-siaupiauthau itu membunuh Ih Jin-gan, diam-diam aku tukar pikiran dengan Siausumoay tentang Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim, andaikan ilmu pedang itu benar-benar lihai, paling sedikit Lim-siaupiauthau itu terang belum mempelajarinya. Malamnya aku beserta Siausumoay lantas pergi lagi ke Hok-wi-piaukiok, tertampak Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho, Pui Jin-ti dan belasan kawannya sudah datang semua.

“Khawatir dipergoki mereka, kami menonton saja dari jauh. Kami menyaksikan mereka menghabisi para Piauthau dan petugas-petugas Piaukiok yang lain seorang demi seorang, setiap Piauthau yang keluar Piaukiok selalu dibinasakan oleh mereka dan mayat mereka dikirim kembali, cara mereka benar-benar sangat keji. Kupikir permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok hanya disebabkan Tiang-jing-cu dikalahkan oleh Lim Wan-tho, jika mau membalas sakit hati leluhur itu cukuplah Ih-koancu merobohkan keturunan keluarga Lim saja, mengapa mesti menggunakan cara sekejam itu? Aku menduga, mungkin karena tewasnya Ih Jin-gan, anak murid Jing-sia-pay itu terpaksa mesti main bunuh secara besar-besaran supaya bisa bertanggung jawab kepada guru mereka. Akan tetapi mereka justru membiarkan hidup Lim Cin-lam dan istrinya beserta Lim Peng-ci bertiga, mereka dipaksa kabur dari Hok-wi-piaukiok mereka.”

“Tentang kepandaian, Lim-congpiauthau itu memang jauh lebih tinggi daripada Lim-siaupiauthau, tapi juga belum terhitung jago pilihan,” ujar si nona. “Menurut Jisuko, Jing-sia-pay persiapkan diri dengan giat berlatih di waktu malam segala, sesungguhnya jerih payah mereka juga terlalu berlebihan.”

“Tapi kalau mengingat mendiang Tiang-jing-cu dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya Ih Jong-hay tidak berani memandang enteng ilmu pedang itu, maka tidaklah heran jika mereka giat berlatih dan mempersiapkan diri dengan baik,” kata Lo Tek-nau. “Hanya saja sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya dipaksa kabur, akhirnya toh Ih-koancu masih datang pula ke Piaukiok itu, bahkan tinggal selama tiga hari di sana, hal inilah yang kurasakan agak luar biasa.”

Peng-ci terkejut juga, tanyanya di dalam hati, “Aneh, mengapa bangsat tua Ih Jong-hay itu mendatangi Piaukiok kami? Untuk apa maksudnya?”

Ternyata pertanyaannya itu pun segera telah diucapkan oleh beberapa murid Hoa-san-pay itu.

Maka terdengar Lo Tek-nau telah menjawab, “Cerita ini cukup panjang. Sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya melarikan diri, Pui Jin-ti dan lain-lain lantas membayangi mereka. Karena Siausumoay ingin mengetahui apa yang akan terjadi, segera kami membayangi di belakang murid Jing-sia-pay pula. Sampai di sebuah warung nasi di daerah pegunungan selatan Hokciu, di situlah Pui Jin-ti, Uh Jin-ho dan Keh Jin-tat bertiga lantas muncul dan dapat menawan ketiga anggota keluarga Lim itu. Karena Siausumoay merasa terbunuhnya Ih Jin-gan oleh Lim-kongcu adalah disebabkan gara-gara Siausumoay sendiri, maka mau tak mau ia hendak menolong Lim-kongcu untuk sekadar membalas budi. Aku mencegahnya sedapat mungkin, kukatakan jika kita ikut campur tentu akan mengganggu hubungan baik antara Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kita, apalagi orang-orang Jing-sia-pay boleh dikata berkumpul semua di Hokciu, kami berdua tentu sukar melawan mereka, kalau ikut makan getahnya kan bisa runyam malah.”

“Dasar usia Jisuko lebih lanjut, segala apa selalu berpikir secara panjang, tentu saja sangat mengecewakan keinginan Siausumoay,” ujar Liok Tay-yu.

“Tapi sekali Siausumoay sudah mau begitu, betapa pun aku hendak mencegahnya juga tidak dapat lagi,” kata Lo Tek-nau. “Segera Siausumoay tampil ke muka dengan tetap berdandan sebagai gadis penjual arak. Sudah tentu Keh Jin-tat lantas mengenalnya, maka belum banyak bicara kontan dia sudah dijungkalbalikkan oleh Siausumoay, malahan yang terakhir Siausumoay telah melemparkan dia ke dalam kolam lumpur sehingga manusia she Keh itu kenyang menyedot air kencing dan ampas perut.”

“Haha, bagus, bagus!” sorak Liok Tay-yu dengan tertawa. “Kutahu maksud Siausumoay itu bukanlah hendak menolong bocah she Lim itu, tapi dalam hati kecilnya mempunyai tujuan lain. Hm, bagus, bagus!”

“Aku mempunyai tujuan lain apa? Kembali kau ngaco-belo lagi!” semprot si nona.

“Bukankah lantaran aku dihukum rangket oleh Suhu, maka Siausumoay ikut penasaran dan melampiaskannya bagiku dengan menghajar orang Jing-sia-pay itu? Nah, terima kasih, ya ….” sambil berkata Liok Tay-yu terus berbangkit dan memberi hormat.

Si nona melotot dengan tersenyum, omelnya, “Huh, kan kau tidak percuma merasakan rangketan itu. Sesudah dirangket, bukankah kau telah terima ganti rugi dari Toasuko?”

“Aneh, sudah dirangket, cara bagaimana memberikan ganti rugi?” ujar Liok Tay-yu dengan heran.

“Ala, pura-pura dungu, tapi jangan kau kira dapat mengelabui aku,” kata si nona. “Hari itu secara sembunyi-sembunyi kau berlatih gaya tendangan itu di belakang gunung sampai beberapa pohon Tho roboh malang melintang, bukankah tendangan itu adalah ajaran Toasuko?”

Muka Lak-kau-ji menjadi merah, sahutnya, “Ya, saking kagumnya atas tendangan Toasuheng yang sekaligus dapat membikin Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong terguling, maka aku telah tanya dia cara bagaimana menggunakan tendangan itu. Hal ini juga tak dapat dikatakan Toasuko mengajarkan padaku.”

“Dan sekarang kau sudah pandai tendangan itu atau belum?” tanya si nona dengan tertawa.

Muka Liok Tay-yu kembali merah jengah, sahutnya, “Wah, masakah begitu cepat? Jika Sumoay juga ingin belajar, tentu Toasuko akan memberi petunjuk padamu.”

“Kau sudah belajar lebih dulu, buat apa aku mengekor kau?” kata si nona.

“Lalu bagaimana Jisuko, sesudah Siausumoay menghajar orang she Keh itu?” tanya Samsuhengnya.

Maka Lo Tek-nau menyambung lagi ceritanya, “Mata Pui Jin-ti itu ternyata sangat lihai, segera ia mengenali gerakan Siausumoay adalah orang kita, tutur katanya menjadi agak jeri. Tetapi waktu Siausumoay membuka Hiat-to pemuda she Lim dan hendak melepaskan dia, namun Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho menyatakan keberatan. Maka Siausumoay lantas berguyon dengan mereka, ia campur arak dengan bedak dan gincu dan menyatakan arak itu berbisa, lalu paksa mereka minum. Ternyata orang she Pui dan Uh itu tidak berani, di luar dugaan, Lim-siaupiauthau itu ternyata sangat gagah perwira, sekaligus ia lantas habiskan arak Siausumoay itu.”

Kembali Peng-ci merasa malu, pikirnya, “Nona burik itu benar-benar telah mempermainkan aku. Kiranya arak itu dicampur bedak, pantas berbau pupur. Sungguh sial aku kena dibohongi dan kenyang minum arak begitu!”

“Pui Jin-ti tidak berani minum arak itu anggaplah tidak menjadi soal, tapi dia justru membual, katanya dia memiliki obat penawar yang tidak takut segala macam racun,” demikian Lo Tek-nau melanjutkan. “Dasar Siausumoay juga jahil, segera ia keluarkan ‘Hang-liong-hok-hou-wan’ (pil penakluk naga dan harimau) dan dicampurkan ke dalam arak, lalu suruh orang she Pui dan Uh itu minum. Coba kalian pikir betapa lihainya Hang-liong-hok-hou-wan itu, biasanya kalau kita campur dengan air dan mencekoki babi atau kambing, lalu dibuang di tanah pegunungan, makan betapa pun buasnya harimau maupun ular raksasa jika makan babi atau kambing itu juga akan roboh oleh obat itu selama sehari semalam tak bisa berkutik. Maka kalau orang-orang Jing-sia-pay itu berani meminumnya, pasti celakalah mereka dan akan dibikin malu.”


-dipi-
 
Back
Top