script: Mencintai Kamu Selamanya

Kalina

Moderator
sehubung ada bencana lokal, jadi.. yang The Rose saya pending....
ini cerita iseng & spontan... langsung ditulis di sini.. untuk judul.. juga bersifat sementara. Kalau ada yang mau sumbangin judul... boleehh.. [<:)
1

Jet pribadi itu mendarat di Bandara Juanda. Seorang gadis cantik turun dari pesawat mewah itu.
76052_136371096418777_100001376615604_179365_3797054_n.jpg

Jet Pribadi
Disambut oleh papa dan mamanya. Juga sepupunya.
Diana: "Reyna, sayang.. akhirnya kamu pulang.."
Sang mama sungguh tak sabar ingin memeluk putri sematawayangnya, yang baru menyelesaikan pendidikannya di London, UK. Enam tahun lamanya, sejak Reyna lulus SMA, dan langsung fly ke negeri Ratu Elizabeth itu.
Reyna: "IYa, Reyna kangen banget sama mama dan papa.."
Ia memeluk papanya juga.
Reyna: "Gak kelewat... gue juga kangen sama lo, Mora..!!"
Mora: "Haha..!! Duo ratu gosip kembali bersatu..!!"
Reyna: "Haha..!! Gak berubah ya, manusia satu ini.."
Mora: "Elu juga..!!"

76345_1244356965764_1734572217_462911_5067210_n.jpg

Reyna Wijaya.....

nsv6.jpg
Diana Wijaya mamanya Reyna

p32-d_2.img_assist_custom.jpg

Arif Wijaya, papanya Reyna

Yasmine-Leeds-Wildblood.jpg

Mora, sepupu.. sekaligus sahabat paling dekatnya Reyna
Sepanjang perjalanan dari Surabaya ke Jember, Reyna dan Mora rame terus. Namanya anak muda, sahabatan, dan sama-sama cerewet tingkat tinggi. Namun sepertinya Reyna telah banyak berubah. Tak secerewet saat remaja.

Perjalanan Surabaya ke Jember memang lama.. sekitar 4 sampai 5 jam. Namun, dengan keceriaan mereka, tak terasa, waktu pun cepat berlalu, dan jarak jauh serasa dekat.

Mora turun duluan dari mobil. Kemudian Reyna. Setelah itu papa, dan mamanya. Sopir menurunkan barang-barang yang dibawa Reyna. Mbak Surti dan Pak Mo membawakannya ke dalam.
Dengan percaya diri, Reyna membuka sendiri pintu rumah.. dan.. "WELCOME HOME, REYNA WIJAYA..!!"
Waahh.. semua keluarga dan teman-teman Reyna telah berkumpul di rumah dan membuat pesta penyambutan.

luxury-homes.jpg

Rumah mewah keluarga Wijaya
1 Minggu kemudian..

Padahal, hanya enam tahun di UK. Kenapa sulit bagi Reyna untuk beradaptasi? Ia sudah lupa jalanan Jember yang rumit sekalee.. Maka, ia membutuhkan seorang "guide".
Reyna: "Papa.. aku butuh "guide" untuk antar jemput aku.. untuk temenin jalan-jalan, dan sebagainya. Boleh?"
Arif: "Maksud kamu sopir?"
Reyna: "Bukan, Pa.. Aku butuh seseorang yang bisa diajak ngobrol dan nyambung. Jadi, kalau aku bingung, gak tau arah, dia bisa kasih jawaban.."
Arif: "Lebih tepatnya.. asisten ya, Sayang?"
Reyna: "Ya.. bisa juga disebut itu. Boleh, ya?"
Arif: "Nanti, papa coba carikan yang tepat, ya.."
Reyna: "Terimakasih, Papaku, Sayang.."
Reyna memang putri tunggal yang sangat dimanja. Terutama oleh papanya.

Suatu siang..
Arif memang selalu pulang untuk makan siang di rumah. Dan siang itu, Arif tidak sendiri. Ia bersama seorang pria muda, ganteng, wah.. pokoknya keren, deh.. Namanya Ardhi.
Arif: "Dhi.. ini putri Om.. namanya Reyna.."
Ardhi tersenyum pada Reyna. Begitu pun sebaliknya.
Arif: "Rey.. Ardhi ini.. nantinya yang akan jadi asisten kamu. Sesuai dengan yang kamu minta.."
Rupanya, Diana sudah kenal dengan Ardhi.
Diana: "Ardhi ini hobinya gak jauh beda sama kamu. Shopping dan travelling. Dia tuh paling tau tempat-tempat yang tepat. Mau makan bubur ayam, dia tu restoran bubur ayam paling enak di Jember. Mau pergi beli baju.. dia juga tau tempat yang jual pakaian dengan kualitas terbaik."
Ardhi: "Tante.. kok jadi promosi, sih.."

018.jpg

Ardhi Subono
Sebenarnya, Ardhi adalah pimpinan Management Creatif di perusahaannya Arif, Wijaya Fame. Ia bertugas mencetuskan sebuah ide untuk produk baru perusahaan tersebut.
Reyna: "Gak heran.. kalau kamu kerja itu. Emang harus banyak refreshing untuk cari ide baru. Caranya.. ya dengan jalan-jalan.."
Ardhi: "Pekerjaan itu.. ya hobi aku.."
Reyna merasa.. Ardhi orangnya tak mudah diajak bercanda.
Reyna: "Oh ya.. sejak pulang dari Inggris.. ada satu hal yang pengen aku lakuin."
Ardhi: "Apa?"
Reyna: "Main komidi putar.."
Ardhi: "Apa? Komidi putar?"
Reyna: "Iya.. main di mana, ya..?"
Ardhi: "Hm.. aku harap.. Inggris gak membuat kamu lupain Pasar Malem ala Jember.."
Reyna: "Jember Expo...."

100.jpg

Ardhi Subono
Sementara itu.. Diana dan Arif di rumah, bicara cukup serius.
Diana: "Pa.. aku harap.. Reyna dan Ardhi bisa cocok. Lalu.. kita bisa segera mewujudkan keinginan terakhir papiku.."
Arif: "Ma.. tapi, aku minta satu hal.. Kalau Reyna menolak.. tolong jangan dipaksa, ya.. Aku ingin.. putri sematawayang kita meraih kebahagiaannya sendiri.."
Diana mengangguk.
Diana: "Oh ya, besok aku mau jenguk mamiku di Banyuwangi. Kamu mau ikut, Pa?"
Arif: "Aku gak bisa, Ma. Banyak meeting."
Diana: "Ya udah. Biar Reyna nemenin papa, ya.."
Arif: "Iya.."

Ah.. mama telah ke Banyuwangi. Papa sibuk terus di kantor. Ardhi.. tidak bisa minta dia nemenin terus. Dia kan kerja juga.
Reyna menelpon Mora.
Reyna: "Ra, ke rumah, ya.. sendirian, nih.."

30 menit kemudian, Mora datang. Bawa Pizza.
Mora: "Nyokap lo ke mana?"
Reyna: "Ke Banyuwangi.. seminggu."
Mora: "Bokap?"
Reyna: "Sibuk di kantor.."
Lalu, Reyna membuka laptopnya. Menunjukkan pada Mora, ia ingin pergi berlibur.
Reyna: "Mendaki gunung kayaknya asik, Ra.. And.. i choose this.. Bromo.."
Mora: "Jauh amat ke Bromo.."
Reyna: "Lo mau ikut, kan?"
Mora: "Kapan perginya..?"
Reyna: "Lusa, deh.."
Mora mengunyah pizzanya sambil mengingat-ingat schedule kerjanya.
Mora: "Lusa, ya..? Wah.. gak bisa.. ada pernikahan pake EO gue.."
Reyna: "Kalau gitu.. gue pergi sendiri."

Rencana Reyna membuat Arif dan Ardhi terkejut.
Arif: "Sayang.. kamu kan baru aja tiba di Indonesia. Belum seminggu, loh.. Masa.. udah mau liburan jauh-jauh.."
Reyna: "Pa.. di Inggris sana.. aku sebulan sekali pasti mendaki gunung.. atau berjemur di pantai.. Udah jadi rutinitas.."
Arif: "Putri papa satu ini.. kalau udah punya keinginan pasti gak bisa ditawar.."
Reyna tersenyum.
Ardhi: "Aku temenin ya, Rey..?"
Reyna: "Kalau kamu sibuk, jangan.."
Ardhi: "Gak sibuk, kok.."
Reyna: "Ya udah.. besok, kita naik kereta api, ya.."

Dua tiket kereta api telah dipesan. Reyna juga sudah ready to go. Pukul sepuluh pagi, Ardhi datang. Keduanya diantar sopir menuju stasiun.
Ardhi: "Pemandangan di Bromo indah banget, loh.."
Reyna: "Iya. Aku lihat di google semalam.. Dan aku juga udah prepare kamera."
Ardhi: "Hobi fotografi?"
Reyna: "My job is my hobby.."
Keduanya tertawa.

kereta-api.jpg

the train
to be continue..

Perjalanan dari Jember ke Probolinggo hanya butuh waktu tak sampai 1 jam. Dan menuju Bromo, dari stasiun, mereka naik bus, yang akan membawa mereka menuju kawasan Bromo.


Adalah Bromo View Villa.. yang disewa Ardhi, untuk tempat mereka bermalam.
Wah.. Bromo di malam hari.. ternyata amat sangat dingin. Dan Reyna tak tau itu sama sekali.
Reyna: "Astaga.. aku gak bawa baju tebal.."
Ardhi: "Malam ini dinginnya belum seberapa, loh.. Ntar pagi nih yang menantang. Bisa mencapai nol derajat celcius!!"
Reyna: "Trus gimana?"
Ardhi: "Aku bawa lebih, kok.. Bisa pakai punya aku dulu.."
Reyna: "Thanks ya, Ardhi.."
Ardhi tersenyum.
Ardhi: "Ya udah.. kami istirahat dulu, ya.. Aku cari makan.."
Reyna: "He... eehh.."

Reyna menarik selimut. Lalu berbaring.
Tapi.. seseorang mengetuk pintu villa. Dengan sedikit menggigil Reyna membuka pintu. Seorang pria memakai topi dan jaket tebal berdiri di depan pintu.
"Mana Kathlyn? Kamu yang namanya Rani? Balikin Kathlyn!!"
Astaga, orang mabuk.
Reyna: "Apa-apaan, sih?! Gue bukan yang elo cari.. as*h*le!!
Aroma alkohol menyeruak dari tubuh laki-laki ini.
Reyna mengambil segelas air dingin dari kulkas, dan menyiram wajah pria itu. Brrr..!! Hampir saja pria itu mengamuk. Untungnya ada petugas keamanan yang segera membekuk pria itu.
Dan pada saat itu juga, Ardhi datang.
Ardhi: "Itu tadi siapa, Rey?"
Reyna: "Orang mabuk."
Ardhi: "Kamu diapain?"
Reyna tertawa. Sama sekali tak ambil pusing.
Reyna: "Mestinya kamu nanya, aku apain tuh orang."
Ardhi: "Emang kamu apain dia?"
Reyna: "Aku siram air dingin. Biar mabuknya hilang.."
Cewek aneh. Tapi cerdas dan menarik. Itulah kesan Ardhi pada Reyna sejauh ini..

16847-lava-view-hotel-you-can-see-bromo-caldera-from-your-window-room-bromo-east-java-indonesia.jpg

Bromo Villa View (aslinya.. Lava View)
 
Last edited:
re: [R.STORY] Mencintai Kamu Selamanya

:) ditunggu lanjutannya =b=

Judulnya bukan "Mencintai Kamu selamanya" itu?
 
Re: [R.STORY] Mencintai Kamu Selamanya

:) ditunggu lanjutannya =b=

Judulnya bukan "Mencintai Kamu selamanya" itu?

ho oh.. pasti dilanjutin.. per post 1 eps. jadi ntar pake sistem edit :)

Mencintai Kamu Selamanya itu judul sementara..

covernya..

162682_136368803085673_100001376615604_179341_1787486_n.jpg
 
Re: [R.STORY] Mencintai Kamu Selamanya

2

It's time to holiday!!
Pagi-pagi sekali.. Ardhi dan Reyna jalan kaki menuju Bromo. Mereka mau lihat sunrise.
Ardhi: "Apa bener.. kamu sebulan sekali mendaki gunung?"
Reyna: "Iya. Sebenernya gak hanya mendaki gunung. Tapi juga berjemur di pantai dan berlayar. Dari Inggris ke Irlandia. Atau dari Inggris ke Belanda."
Ardhi: "Kapan-kapan kita berlayar, yuk. Aku tau tempat yang bagus dan indah. Dan aku yakin, kamu pasti suka."
Reyna menerima tawaran itu.

Pria mabuk semalam adalah Rama Yusuf. Ia ditinggalkan oleh kekasihnya, Kathlyn, dibantu oleh Rani, sahabatnya. Menurut informasi yang Rama peroleh, kekasihnya itu pergi mengasingkan diri di Bromo. Ia ingin kejelasan dari Kathlyn, mengapa dirinya ditinggalkan begitu saja.
Dan malam itu..
Rama dapat informasi lagi, kalau Kathlyn tinggal di sebuah Villa tipe B. Saat menerima informasi, Rama sedang setengah mabuk di sebuah bar.
Tanpa pikir panjang.. dengan berjalan sempoyongan, ia langsung dah, nyamperin setiap villa tipe b.

Sekarang Rama berada di kantor keamanan Tengger. Menunggu seseorang untuk menjaminnya bebas. Kalau sampai 1x24 jam tak ada yang datang, Rama bisa dikirim ke kantor polisi.
Tapi untunglah..
Asisten pribadinya, Riza Santoso segera datang dan menjaminnya bebas.
Riza: "Sebaiknya, kita kembali ke Jember. Sepertinya, Mbak Kathlyn dan Mbak Rani udah gak di Bromo lagi, Mas.."
Rama: "Kamu ada benernya, Riz. Oke, kita kembali ke Jember hari ini.

Chicco%20Jerikho.jpg

ne dia si Rama Yusuf

images

Riza, asistennya Rama
Reyna sungguh asyik jepret sana sini. Bahkan Ardhi pun jadi objek.
Reyna: "Ayo bergaya senarsis mungkin.. Mumpung aku lagi baik, nih.."
Ardhi: "Emang kalao jahat kayak apah?"
Reyna: "Aku ceburin kamu ke kawah Bromo.."
Reyna tertawa. Ardhi juga.
Ardhi: "Jahat banget.."
Reyna: "Udah ah.. ayo gantian.. kamu yang fotoin aku.."

Liburan yang menyenangkan. Reyna sangat betah di Bromo.
Ardhi: "Wah.. besok kita udah mesti balik ke Jember."
Reyna: "Gak mau ah.. Kamu aja yang pulang. Aku di sini aja.."
Ardhi: "Ntar bisa gawat dong, kalo aku pulang sendirian.."
Reyna: "Gawat gimana?"
Ardhi: "Papa kamu akan pecat aku, trus menyita semua harta aku.. mobil, rumah, kartu kredit. Abis gitu, disuruh nyusul kamu, cuma dikasih uang saku seribu perak. Gimana, dong? Bisa tua di jalan akunya.."
Tawa Reyna meledak. Lalu mencubit pipi Ardhi gemas.
Reyna: "Ternyata kamu punya selera humor yang cukup bagus, ya.."
Ardhi: "Namanya juga manajer kreatif. Kalau serius mulu kan.. suram.."
Reyna: "Iya.. percaya.."
Ardhi: "Jadi.. kamu ikut pulang, ya..?"
Reyna: "Iya. Eh.. tapi.. boleh minta bantuan, gak..?"
Arhdi: "Bantuan apa?"
Reyna: "Cariin aku pekerjaan. Lulusan luar negeri.. masa nganggur, sih.."
Ardhi: "Kalo gitu.. jadi pengacara aja.."
Reyna: "Aku kan bukan lulusan hukum. Masa jadi pengacara."
Ardhi: "Maksudnya.. pengangguran banyak acara.."
Reyna: "Iihh..!! Becanda aja, nih..!!"
Ardhi tertawa.

Malamnya..
Ardhi mengajak Reyna ke lautan pasir Bromo. Ia menyiapkan candle light dinner.
Semua orang, termasuk Reyna, menganggap ini konyol. Angin sedang bertiup tak pelan. 3 batang lilin berkali-kali padam ditiupnya.
Reyna: "Aneh-aneh aja.."
Ardhi: "Biarin.. kalo aneh, kan pasti bakal diingat dalam jangka waktu yang lama."
Reyna: "Hm.. ya.. ya.. sekarang aku makan, ya.. laper.."
Menunya enak, nih.. steak dan salad. Ada juga cream soup, sebotol wine merah, dan air putih. Enak pokoknya. Tapi..
Ardhi: "Eh.. tunggu dulu.. nikmatin dulu suasana malam yang indah ini.."
Reyna melihat ke sekelilingnya..
Reyna: "Dingin.. gelap.. sepi.. SEREM! Apanya yangn mau dinikmatin coba? Aku udah laper, nih.."
Ardhi: "Oke.. oke.. ayo, makan.. tapi pelan-pelan aja, ya.."

Diana kembali dari Banyuwangi. Mendapati Arief lagi di rumah sendirian.
Diana: "Reyna ke mana, Pa?"
Arief: "Pergi liburan ke Bromo."
Diana: "Apa? Ke Bromo? Jauh amat.. Kok Papa izinin, sih?"
Arief: "Kalau perginya sendirian, jelas aku larang, lah.."
Diana: "Perginya sama siapa, emang?"
Arief: "Sama Ardhi."
Tadinya, Diana sudah emosi. Tapi ia tak jadi marah. Karena Reyna ditemani Ardhi.
Diana: "Pa, kayaknya ini saat yang tepat untuk bahas perjodohan Reyna dan Ardhi."
Arief: "Kok buru-buru, Ma?"
Diana: "Aku gak buru-buru, kok. Lagi pula, kan ini akan membahas rencananya dulu."
Tiba-tiba..
"Perjodohan?"
Suara Reyna.. Ya.. Gadis itu baru tiba di Jakarta. Ardhi masih bayar ongkos taksi."
Reyna: "Kalian mau ngejodohin aku? Sama siapa, Pa? Ma?"
Diana: "Sayang.. masuk dan duduk dulu.."
Di belakang Reyna, kemudian muncul Ardhi.
Setelah Reyna dan Ardhi duduk di sofa dengan tenang.. barulah.. Diana menyampaikan apa yang seharusnya, menurut dia.
Diana: "Reyna.. Ardhi.. dulu, papinya mama, dan neneknya Ardhi adalah sepasang kekasih. Tujuh tahun menjalin asmara, dan perasaan semakin dalam, namun tak mendapat restu dari orang tua masing-masing. Maunya, mama yang menjalin kembali ikatan itu bersama keluarga mamanya Ardhi. Sayang sekali.. keluarga Suwiryo terputus. Semuanya anak perempuan. Namun, Tuhan akhirnya memberikan jalan. Mama melahirkan seorang putri, yaitu kamu, dan Jeng Elok, melahirkan seorang putra, yaitu Ardhi. Walau pun tidak lagi menggunakan nama belakang Suwiryo.. Kami ingin, kalian bertunangan dan menikah."
Kasian juga sebenernya. Cuman..
Reyna: "Mama.. Ardhi tuh.. bukan tipe suami yang aku inginkan.."
Ardhi: "Betul tuh, Om.. Tante.. Aku dan Reyna tidak cocok dalam pernikahan.."
Diana: "Tolong.. kalian pertimbangkan dulu semuanya.."
Lalu, Diana masuk ke kamar. Arief juga."

Reyna dan Ardhi mendadak saling diam. Canggung banget. Tapi, kemudian Ardhi dulu yang ngomong.
Ardhi: "Rey.. maaf, ya.. Tapi aku harus bilang, kalau rencana orang tua kita.. STRES.."
Reyna: "Gak perlu minta maaf.. Aku sependapat, kok.."
Reyna memandangi Ardhi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu kembali lagi dari bawah ke atas.
Ardhi: "Ngeliatinnya kok sampe kayak gitu?"
Reyna: "Hm.. gak papa. Aku ke kamar dulu, ya.. Capek. Kamu pake aja paviliun depan. Ntar biar aku minta Bi Surti bantu kamu, ya.."

Rama masih mencari tau keberadaan Kathlyn. Segala cara ia lakukan. Mulai dari pasang iklan di koran, internet, sampai menyiarkannya di televisi dan radio. Tapi hasilnya nihil..
Asistennya, Riza.. juga sibuk mondar-mandir membantu atasannya itu. Sama saja.. Kathlyn bagai hilang ditelan bumi.
Keterpurukan ini membuat Rama tak fokus kerja.
Riza: "Mas Rama.. saya sarankan, sebaiknya Mas tanya langsung pada orang tua Mbak Kathlyn."
Rama: "Kayaknya.. kamu benar. Oke. Aku akan ke rumah orang tua Kathlyn. Kamu ikut, ya.."
Riza: "Baik, Mas.."

Rumah orang tua Kathlyn terletak di sebuah kompleks perumahan elit. Rumah itu tampak sepi. Kathlyn sendiri sebenarnya punya rumah sendiri.
Rama: "Permisi.."
Rama pun bertemu dengan kedua orang tua kekasihnya. Mereka tampak tenang awalnya. Namun, ketika Rama bertanya tentang Kathlyn, barulah tampak rasa tak suka mereka terhadap Rama.
Bramana: "Kamu jangan lagi mencari Kathlyn. Karena dia sudah pergi jauh ke luar negeri."
Rama: "Tapi, Om.. Tente.. salah saya pada Kathlyn.. apa?"
Lasrti: "Kamu.. sama sekali tidak pantas untuk putri kamu. Sebaiknya, kamu pergi dari sini!"
Lalu, mereka menutup pintu rumah.
Rama sangat sedih. Apakah harus menyerah?

julie_seksi+pool.jpg

kathlyn.. kekasih Rama yang hilang itu..
 
Re: [R.STORY] Mencintai Kamu Selamanya

Sesuai janjinya, Ardhi bantu Reyna cari kerja.
Reyna: "Ini.. koran-koran.. dan majalah-majalah.. juga ada tabloid. Semuanya baru terbit pagi ini. Nah, ayo kita cari kerja.."
Ardhi: "Kita? Kamu doang kali.."
Reyna: "Maksudnya.. bantuin aku cari kerja.."
Ardhi: "He.. em.."
Seharian mereka membaca semua lowongan kerja. Tak satu pun yang sesuai dengan keinginan Reyna.
Diana menghampiri mereka. Membawa sepiring kue molen cokelat dan keju, juga jus apel pisang.

Diana: "Ya ampun.. kalian berdua ngapain, sih? Kok berantakan begini?"
Reyna: "Ntar kita beresin kok, Ma.."
Diana: "Bener, ya.."
Reyna: "Iya.."
Diana memperhatikan isi koran yang Reyna baca.
Diana: "Emangnya kalian lagi cari apa?"
Reyna: "Aku lagi cari kerja nih, Ma.."
Diana: "Cari kerja?"
Diana tersenyum.
Diana: "Kenapa kamu gak bilang sama Papa? Pasti kamu dikasih posisi bagus di kantor."
Reyna: "Ma.."
Reyna mulai serius bicara dengan mamanya.
Reyna: "Semisal, aku kerja di kantor Papa.. posisi aku apa? GM? Trus GM yang sekarang mau dikemanain? Kan kasian juga, Ma.."
Diana: "Kamu ada benernya, Sayang.."
Kesan Ardhi terhadap Reyna semakin positif.

Diana menyampaikan pada Arif, keinginan Reyna bekerja, dan bagaimana maunya.
Arif: "Aku bangga sama putriku.."
Diana: "Jadi gimana?"
Arif: "Nanti aku akan bicara sama temen-temen bisnisku."

Reyna dan Mora ketemuan di restoran Italy. Mereka makan spaghetty gila-gilaan. 3 piring!!
Mora: "Kalo kayak gini.. diet gue bisa gagal, nih.."
Reyna: "Gue juga, kalii.."
Lalu, topik obrolan mereka mulai serius.
Mora: "Jadi, sekarang lo punya asisten pribadi namanya Ardhi? Gile.."
Reyna: "Iya. Orangnya baik dan cakep."
Mora: "Lagi jatuh cinta, nih?"
Reyna: "Nooo..!! Bukan selera gue.."
Mora: "Yakin? Hmm.. jadi pengen tau sama si Ardhi ini.. Apa sih yang kurang?"
Reyna: "Entahlah.."
Kemudian, mereka kembali makan. Air mineral dingin menyegarkan mulut mereka.

Saat pulang, mereka tidak pakai mobil. Mereka lebih suka jalan kaki. Di samping karena Ardhi sedang meeting di kantor, dan mobil Mora lagi diservis, jalan kaki kan menyehatkan.
Mora: "Rey.. sebenernya, ada yang mau gue omongin lagi ke lo."
Reyna: "Apa?"
Mora: "Inget sama.. Vano Gunawan, gak?"
Reyna: "Temen SMA kita yang pakai kacamata itu, kan?"
Mora: "Iya.. Mm.. dia nanyain lo mulu."
Reyna: "Untuk apa?"
Mora: "Rey.. Vano naksir sama lo."
Reyna: "Idiih.. bukannya dia tuh dulu pacaran sama Rani, ya?"
Mora: "Yee.. itu kan kabar jadul. Waktu kuliah smester dua, mereka putus. trus, si Rani udah gak tau kabarnya gimana."
Reyna: "Turut sedih.."
Aneh juga, kan putusnya smester dua. Sementara Reyna sudah di Inggris jauh sebelum itu. Biarin dah, ah.. mungkin cuma naksir sesaat.

Meeting sudah selesai. Ardhi keluar dari ruangan. Dan bertemu rekannya, Nira.
Nira: "Ardhi.. katanya, lo lagi nyari lowongan kerja buat temen lo, ya?"
Ardhi: "Iya, nih.. kenapa? Apa udah ada?"
Nira: "Ada.. PT Raja Yusuf barusan pecat seorang sekertaris. Coba aja ngelamar di situ."
Ardhi: "Oh.. oke. Thanks ya, Nir.."
Ardhi segera memberitau Reyna. Kebetulan, Reyna tak jauh dari kantor papanya.
Reyna terdengar senang di telpon. Suaranya girang sekali.
Reyna: "Mm.. sekertaris, ya..? Gak papa, deh.. Itung-itung nambah pengalaman kerja. Kebetulan aku selalu bawa CV dan surat lamaran kerja ke mana-mana. Kita ngelamar sekarang, yuk.."
Ardhi: "Sekarang? Buru-buru amat.."
Reyna: "Keburu disamber orang.."
Ardhi: "Ya, deh.. Kamu di mana sekarang? Aku jemput."
Reyna: "Aku di halaman parkir kantor Papa.. kamu cepet keluar, ya. Aku tunggu di luar aja.."
Ardhi: "Oke.. Aku segera keluar.."

Ardhi melihat Reyna, dan tersenyum.
Ardhi: "Sebelum kita ke sana.. tarik nafas dulu dari hidung dalam-dalam.. keluarin lewat mulut pelan-pelan.."
Reyna menurut.
Ardhi: "Saat diinterview nanti.. harus siap mental. Seumpama ditolak, ya udah.. harus lapang dada. Oke..?"
Reyna malah tertawa.
Ardhi: "Malah ketawa."
Reyna: "Tenang aja.. aku tuh udah sering interview kerja. Di London, tiap tiga bulan sekali aku ganti profesi. Mulai dari tukang parkir di kampus, office girl, pelayan restoran, banyak, deh.. Bahkan, aku pernah jadi baby sitter paruh waktu."
Ardhi: "Kamu tuh di London.. kuliah.. apa kerja?"
Reyna: "Dua-duanyalah.. aku kan orangnya gak bisa diem.."

Mereka sampai di depan gedung, itu kantornya PT Raja Yusuf. Yang mengelola berbagai bidang. Mereka punya mall, hotel, restoran, rumah sakit, ah.. banyak, deh.
Reyna: "Ardhi.. kalau ntar aku udah kerja di sini.. rahasiain ya, tentang keluarga aku."
Ardhi: "Kok gitu?"
Reyna: "Pokoknya gitu, deh. Aku gak mau ada kesenjangan sosial gitu. Plis.."
Ardhi: "Hm.. ya.. ya.."

Ardhi menunggu di lobi. Sementara Reyna ikut seorang petugas memasuki sebuah ruangan, untuk diinterview.

Di dalam ruangan itu belum ada siapa pun. Petugasnya meminta Reyna menunggu di situ.
15 menit kemudian, petugasnya datang, dan interview pun dimulai.
Petugas: "Lulusan London University, Art & Designer Faculty. Barusan, ya?"
Reyna: "Iya, Mbak."
Petugas: "Punya pengalaman kerja?"
Reyna: "Saya pernah kerja serabutan waktu kuliah dulu. Paruh waktu, Mbak.."
Petugas: "Oke.."
Pertanyaan-pertanyaannya cukup banyak. Tapi mudah juga dijawab. Reyna agak lega.

Ketika interview selesai, petugas mengatakan, bahwa atasannya ingin bertemu dengan Reyna. Guna melihat, apakah nantinya akan cocok atau tidak.

Atasan yang dimaksud adalah General Manager perusahaan tersebut.

Sementara itu di tempat lain, Mora dan Vano ketemuan di Kafe Ngopi.
Vano: "Reyna.. beneran udah pulang?"
Mora: "Iya, Van. Baru dua mingguan, sih.."
Vano: "Mora.. lo tau kan, perasaan gue ke Reyna kayak gimana?"
Mora: "Iya. Dan gue juga udah coba ngomong. Tapi dia gak percaya."

27526_110368618994518_4483_n.jpg

Vano Gunawan

Reyna diminta menunggu di ruangan GM. Ruangannya benar-benar nyaman. Meja kerjanya juga asyik. Ada satu set sofa putih plus mejanya. Ditambah dengan tema dindingnya yang warna hijau muda, dan lantainya dilapisi karpet warna hijau tua. Mirip dengan isi sebuah rumah minimalis. Reyna jadi merasa betah. Namun, yang namanya menunggu tetap saja menjenuhkan.
Reyna: "Kok gak dateng-dateng, sih?"
Sudah tiga puluh menunggu. Lama amat..

Ardhi mengirim sms pada Reyna.
Ardhi: "Belum kelar?"
Reyna: "Interview sih udah. Tapi, katanya, Pak GM mau ketemu aku. Cuman, nih lama banget.."
Ardhi: "Disabarin yah, Rey.."

Akhirnya si GM datang juga. Bersama asistennya.
Si GM, bernama Rama Yusuf. Ia mengenakan setelan jas, berdasi warna hijau tua, motif garis putih. Plus kacamata hitam.
Reyna memandanginya. Nyentrik amat nih orang.
Tapi, saat Rama buka kacamatanya.. Oh.. My.. God..!!!
Reyna ingat betul wajah pria ini.. Dia kan pria mabuk itu.. Yang waktu di Bromo.
Hati Reyna berdebar-debar. Keringat dingin meruncut, tatkala Rama menatap tajam ke arah dirinya.
Apakah dia mengingat semuanya..?

living-room-design-decor-idea-green-room.jpg

 
Last edited:
4

Ternyata tidak.. fiuh..
Rama: "Kamu.. mulai besok sudah bisa mulai bekerja. Jam sembilan, harus sudah di kantor. Sebulan ini.. anggap saja masa percobaan. Jadi.. kerja yang benar.."
Reyna: "Ya.. tentu, Pak.."

Reyna segera menemui Ardhi di Lobby, dan buru-buru memeluknya erat.
Reyna: "Aku diterima.."
Ardhi: "Selamat ya, Rey.."
Reyna: "Untuk ngerayainnya.. ntar malem, kamu makan malam di rumahku, ya. Spesial, aku yang masak sendiri."
Ardhi: "Oke.. hm.. jadi pengen tau rasa masakan kamu."
Reyna: "Hehe.. pasti lezat.."

Benar saja, Reyna meminta Bi Surti untuk belanja. Ia sudah menuliskan daftar belanjanya, dan memberinya uang.
Sementara itu, di rumah, Reyna menyiapkan peralatan memasaknya. Diana sampai geleng-geleng kepala. Reyna sama sekali tak mau dibantu.
Reyna: "Kalau dibantu, ntar rasanya jadi beda, Ma.."
Diana: "Kok gitu? Kan yang ngebumbuin kamu. Yang potongin daging dan sayur.. mama dan Bi Surti. Gimana rasanya bisa berubah?"
Reyna: "Ma..masak gak hanya perlu pintar meracik bumbu. Tapi, hati juga punya peran untuk membuat masakan tersebut terasa spesial."
Diana: "Kamu nih.. ada-ada aja.."
Lalu, Reyna menelpon Mora, agar datang juga.

Pukul setengah tujuh, masakan sudah matang semua. Reyna menatanya di meja.
Kemudian, Ardhi datang.
Ardhi: "Hmm.. dari aromanya.. udah bikin ngiler.."
Beberapa menit kemudian, Mora datang juga. Tapi tidak sendirian. Ia bersama..
Reyna: "Vano?!"
Vano: "Hai, Reyna..!"
Reyna menyambut Vano dengan ramah.
Reyna: "Kamu apa kabar?"
Vano: "Baik. Kamu sendiri?"
Reyna: "Iya, aku baik juga."
Sambil makan malam, Reyna menceritakan suasana interview tadi.
Reyna: "Pokoknya, gugup banget, deh."
Mora: "Memangnya.. kerja di mana, Rey?"
Reyna: "PT Raja Yusuf. Jadi sekertaris GM."
Tentu saja, Arief tau perusahaan itu.
Arief: "Papa kenal sekali dengan Direktrisnya. Bu Aini Yusuf."
Reyna: "Tapi Papa jangan bilang apa-apa sama Bu Aini, ya.. biar aku nyaman kerjanya."
Arief: "Tapi, Bu Aini tuh tau sama kamu. Waktu itu, kamu masih SD, dan sering ikut Papa kalau lagi bertamu di kantornya dia."
Reyna: "Semoga aja gak inget."

Hari pertama kerja..
Reyna ribet memilih baju kerja yang bagus. Untung deh, Diana membantunya.

Ardhi datang untuk menjemput Reyna.
Ardhi: "Udah siap, Rey?"
Reyna: "Dikit lagi.."
Kemudian, Diana keluar dari kamar Reyna.
Diana: "Reyna masih pilih-pilih baju. Udah gitu dandannya juga lama."
Ardhi: "Biasalah, Tante.. namanya juga hari pertama kerja. Tebar pesona dulu."
Reyna keluar kamar, setelah rapi. Ia sedikit mendengar yang Ardhi katakan.
Reyna: "Biar bosnya tunduk sama aku."
Ardhi: "Dasar, kamu..!"

Sebelum turun dari mobil, Ardhi telah ribuan kali berpesan, agar Reyna mengendalikan rasa gugupnya, supaya bisa konsentrasi dengan pekerjaannya.
Reyna: "Aku memang gugup. Tapi aku bisa kontrol. Tenang aja. Ntar siang kalau kamu gak sibuk, kita makan siang bareng, ya.."
Ardhi: "Iya. Selamat bekerja, ya. Good Luck!"

Reyna sudah tau di mana ia akan bekerja. Hm.. ia satu ruangan dengan Pak GM. Hanya, antara meja GM dan meja sekertaris dipisah oleh sekat dari kayu.
Ia masuk ke ruangan itu. Masih pukul 8.30. Reyna merapikan dan membersihkan semua ruangan.
Selang waktu lima belas menit, seseorang datang. Bukan Pak GM. Tapi asistennya, Riza.
Riza: "Oh.. kamu sekertaris baru itu, ya?"
Reyna: "Iya. Aku.. namaku Reyna."
Riza: "Aku Riza."
Keduanya bersalaman.
Riza: "Bos lagi di jalan. Bentar lagi dateng. Udah tau orangnya, kan?"
Reyna: "Iya. Kan kemarin dia yang bilang sama aku, supaya masuk hari ini."
Riza: "Aku yakin kamu pasti betah dan seneng banget kerja di sini. Bosnya baik dan ramah."
Reyna: "Iya. Aku percaya, kok."

Rama memasuki ruangannya. Riza menyambut.
Riza: "Selamat pagi, Mas.."
Rama: "Selamat pagi juga, Za.."
Reyna melihat wajah Rama tampak tak ramah. Namun, sesuai etika, Reyna ikut menyapa.
Reyna: "Selamat pagi, Pak.."
Rama menatap Reyna dengan seksama. Ia hampir saja lupa, kalau gadis di depannya ini adalah sekertaris baru.
Rama: "Kamu sekertaris yang kemarin, kan?"
Reyna: "Iya, Pak.."
Rama: "Nama kamu siapa? Aku lupa.."
Reyna: "Nama saya Reyna, Pak."
Rama mengamati wajah Reyna. Sepertinya tak asing.
Rama: "Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya?"
Waduh.. gawat, nih, kalau Rama sampai ingat kejadian di Bromo waktu itu.
Reyna: "Ya.. kan kita emang pernah ketemu dua kali. Kemarin dan hari ini. Makanya, serasa gak asing sama wajah saya.."
Rama: "Hm.. iya juga, sih.. Ya udah, ayo mulai kerja."
Ugh.. hampir aja..

Hari itu, Rama meminta Reyna mengetik beberapa berkas.
Rama: "Bisa kan, pake komputer?"
Reyna: "Bisa dong, Pak. Udah biasa malah."
Rama: "Bagus."
Berkasnya cukup banyak. Biar gak lesu, Reyna udah pesan kopu susu ke bagian pentri.
Bekerja... mulai..

Di tempat lain..
Tepatnya di Banjarmasin..
Di kota inilah.. Kathlyn ditemenin sama Rani.. melarikan diri dari pelukan Rama.. Gak ketebak, kan?
Rani: "Lyn.. mau sampai kapan lo akan melarikan diri kayak gini..? Kasian Rama, Lyn.."
Kathlyn menangis.
Kathlyn: "Sejujurnya.. gue masih cinta sama Rama. Tapi.. gue udah sangat kotor. Gue gak pantas untuk Rama."
Rani: "Tapi, yang lo lakuin ini.. pasti menyiksa Rama. Dia kan gak salah, Lyn.."
Kathlyn masih menangis.
Rani: "Kak Doni yang salah!! Dia.. udah ngehancurin hubungan lo sama Rama. Dia udah ngerusak masa depan lo..!!"
Kathlyn diam. Teringat jelas di benaknya tentang kejadian itu.

Kathlyn dan Rama janjian mau pergi makan malam. Namun, 15 menit kemudian, Rama ditelpon rekan bisnisnya. Katanya investor hotel, dari Jepang udah datang. Sebagai tuan rumah, Rama wajib menyambut, walau hanya sebentar.
Rama: "Kamu tunggu di rumahku, ya. Ntar abis ketemuan ama orang Jepang itu.. kita langsung dinner."
Kathlyn: "Oke.."
Tak disangka.. Rama pergi begitu lama.
Di rumah Rama..
Mamanya Rama sedang di luar negeri. Hanya ada Doni.. kakanya Rama. Sambil mengusir kejenuhan menunggu, Doni menemaninya mengobrol.
Mendadak, Kathlyn lemas dan tak sadarkan diri.
Dengan leluasa, Doni membawa Kathlyn ke hotel, dan menikmati hawa nafsu bejadnya di situ.
Doni: "Sorry.. aku khilaf.. aku janji, akan bertanggung jawab.."

Kathlyn sangat terpuruk. Hampir saja ia mengakhiri hidupnya. Beruntung ia memiliki sahabat sebaik Rani. Ya.. sahabatnya itu selalu mendampingi. Bahkan, saat bicara pada orang tua Kathlyn. Memang, papanya Kathlyn murka. Namun, Kathlyn wanita baik. Ia bilang pada papa dan mamanya..
Kathlyn: "Pa.. Ma.. Kathlyn udah menerima semuanya dengan lapang dada. Tapi, Kathlyn belum siap memberitau Rama tentang ini.. Maka.. untuk sementara waktu.. Kath akan pergi meninggalkan Jember."
Maka.. dimulailah kehidupan rumit itu. Kathlyn berpindah-pindah tempat.

Kathlyn menangis. Memeluk guling.
Kathlyn: "Ya Tuhan.. ampuni hamba.."

Asmirandah+Zantman.05.jpg

Rani Aryati, sahabatnya Kathlyn..

attachment.php


Doni Yusuf, kakaknya Rama
 

Attachments

  • winky_wiryawan_056.jpg
    winky_wiryawan_056.jpg
    70.6 KB · Views: 2,338
Last edited:
5

Sudah waktunya makan siang. Tapi, pekerjaan Reyna belum selesai. Ardhi sudah berkali-kali telpon, tapi tak dijawabnya. Karena ponselnya di set tanpa nada dering.
Riza: "Kamu gak makan siang dulu, Rey?"
Reyna: "Iya, bentar lagi. Tanggung nih, tinggal dikit."
Riza: "Hm.. ya udah. Aku duluan, ya.."
Reyna: "Oke.."
Reyna melanjutkan pekerjaannya.

Karena Reyna tak juga mengangkat telpon, Ardhi langsung datang ke tempat kerja Reyna, sambil bawa makanan. Seorang office boy menunjukkan ruangannya.
Ardhi: "Taraaa..!!"
Reyna: "Eh.. Ardhi..! Ngagetin aja, sih.."
Ardhi: "Hm.. kamu, nih.. baru hari pertama kerja, telpon aku gak dijawab."
Reyna: "Sorry.. aku masih kerja, nih.."
Ardhi: "Eh.. makan siang dulu, yuk.."
Reyna: "Ntar aja.. tanggung, nih.."
Ardhi: "Gini deh.. walau pun sebenernya gak baik, tapi kamu kan tetep harus makan. Jadi.. makan sambil kerja. Gitu aja, ya.."
Reyna: "Iya, deh.."

Ardhi selalu perhatian dan peduli pada Reyna. Membuat Diana semakin mantap untuk menjodohkan mereka.
Arief: "Ma.. sekali lagi aku ingatkan sama kamu. Kalau Reyna menolak, tolong jangan dipaksa."
Diana: "Pa.. terkadang, Papa harus memperhatikan mereka berdua. Kedekatan mereka itu, menunjukkan, kalau mereka udah mulai saling suka. Hanya.. masih malu-malu mau mengakuinya. Papa nih.. kayak gak pernah muda aja.."
Arief: "Ma.. Reyna putri kita. Aku harap, Mama mengutamakan kebahagiaannya."
Diana: "Kalau soal itu.. aku ngerti, Pa. Dan aku yakin.. Ardhi dapat membahagiakan Reyna lahir dan batin."
Arief: "Hm.. Mama ini.."

Reyna masih fokus bekerja. Sampai Ardhi pulang pun, ia tak menyentuh makan siangnya.
Riza: "Mas Rama.. tuh sekertaris baru kerjanya bagus, loh.."
Rama: "Namanya juga hari pertama kerja. Cari perhatian dulu."
Lalu, Riza menghampiri Reyna. Melihat gadis itu masih sibuk.
Riza: "Wah.. tuh sushi enak banget kayaknya. Kok gak dimakan, Rey?"
Reyna: "Bentar lagi.."
Riza: "Kerjaannya masih banyak, ya?"
Reyna: "Engga.. udah tinggal dikit."

japan11.jpg


Sudah pukul tiga sore. Reyna masih mengetik.
Sementara karyawan lain sudah siap mau pulang.
Riza: "Belum selesai juga, Rey?"
Reyna: "Iya.. dikit lagi."
Riza: "Kayaknya, dari siang tinggal dikit mulu, tapi gak selesai-selesai, deh.."
Reyna: "Kalau sekertaris lain, ngetik kayak gini.. empat hari baru selesai. Kalau aku.. gak sampe dua belas jam udah beres."
Riza: "Hm.. ya udah. Aku pulang dulu, ya."
Reyna: "Iya."

Barulah pukul enam sore, Reyna benar-benar selesai. Ia pun mengemasi barang-barangnya. Seperti ponsel, ipod, dan gelas bekas kopi.
Saat akan menelpon Ardhi..
Reyna: "Yah.. lowbat.."
Ponselnya mati. Ia berinisiatif mau menggunakan telpon kantor.
Reyna: "Yaa.. kok gak bisa, sih?"
Telpon tersebut mati. Mungkin sengaja dimatikan, karena sudah tidak ada orang di kantor.

Lampu-lampu di dalam gedung sudah padam. Gelap. Hanya cahaya lampu dari luar gedung yang samar-samar menerangi.
Reyna berinisiatif mau pulang naik taksi. Tapi, menuju lobi lantai satu harus menggunakan lift. Sayangnya.. lift juga sudah mati. Ia menggunakan tangga.
Reyna: "Ya ampun.. jauh banget.."
Tiba di lantai dua..
Reyna melihat salah satu ruangan terbuka. Ternyata itu ruang meeting.
Rupanya.. Reyna tidak sendirian di dalam gedung yang sudah sepi ini. Seseorang berbaring di atas meja. Reyna melihat lebih dekat.
Reyna: "Pak Rama..?!"
Ya. Itu Rama.
Reyna: "Belum pulang, Pak?"
Rama: "Kamu sendiri?"
Reyna: "Nih, baru mau pulang. Saya baru kelar ngetik laporan yang Pak Rama suruh tadi pagi."
Rama: "Beneran udah selesai?"
Reyna: "Iya. Ng.. ya udah, saya pulang duluan, ya.."
Reyna mau melangkah keluar, tapi..
Rama: "Percuma.. udah pada dikunci semua.. Satpam juga masih istirahat. Baru balik ntar jam sembilanan.."
Reyna: "Apa?!"
Reyna duduk di salah satu kursi. Berusaha untuk tetap tenang.
Reyna: "Jam sembilan, kan..?"
Rama: "Kok gak panik?"
Reyna: "Ngapain panik?"
Rama: "Kamu gak takut?"
Reyna: "Engga. Biasa aja.."
Rama: "Yakin?"
Reyna: "Lagian, apa yang mau ditakutkan, coba?"
Ia mengambil sebotol air dari tasnya. Ingin minum.
Rama: "Kalau.. aku ini.. sebenernya bukan Rama.. gimana?"
Rama bangkit dari rebahannya. Reyna melihat wajah Rama menyeringai.
Reyna: "Emang kamu siapa? Romi? Romo?"
Rama: "Aku adalah.."
Ia mendekati Reyna. Gadis itu mundur beberapa langkah, dan Rama terus mendekati. Sampai Reyna tak bisa mundur lagi, karena terhalang tembok.
Rama: "Aku ini.."
Belum lagi Rama menyelesaikan kalimatnya, wajahnya telah basar oleh air yang Reyna siramkan. Reyna sendiri menutup matanya rapat-rapat. Lalu perlahan membukanya.. O.. ow..!!
Reyna: "Ma..af.."
Buru-buru ia mengambil tissue di tas, dan melap wajah Rama.
Reyna: "Kamu sih.. becandanya kelewatan.."
Rama: "Lagian, kamu kan bilang gak takut."
Reyna: "Iya.. maaf.."
Rama: "Aku jadi inget satu kejadian waktu ke Bromo. Ada cewek siram wajah aku pakai air dingin!"
Degg!! Reyna berhenti melap wajah Rama. Gawat!! Kalo Rama inget gimana, dong??
Rama: "Rese banget tuh cewek!"

Di rumah, Diana panik. Arief juga. Karena Reyna tak juga pulang. Ardhi pun sama. Berkali-kali ia menelpon, tapi ponsel Reyna tak aktif.
Diana: "Reyna.. kamu ke mana, sih?"
Namun.. Arief berusaha tenang, dan berpikir positif.
Arief: "Mungkin, dia ikut atasannya meeting sama tamu luar negeri.."
Diana: "Tapi, kan Reyna masih baru di sana.. Masa udah langsung ikut kegiatan kayak gitu?"
Arief: "Ini kan.. mungkin, Ma.."

Ardhi menghentikan mobilnya di depan gedung kantor, tempat Reyna bekerja. Sudah putus asa mencari Reyna. Lalu, ia melihat seorang satpam baru datang.
Ardhi berpikir..
Ardhi: "Reyna kan masih baru. Mana mungkin tuh satpam kenal sama Reyna, ya.."

Reyna melihat jam dinding.. sudah pukul sembilan kurang lima belas menit. Lalu, ia membereskan barang-barangnya.
Rama: "Kamu mau ke mana, Rey?"
Reyna: "Pulang, lah.."
Rama: "Bareng, dong.."
Reyna: "Ayo, cepetan!"
Mereka berdua menuruni tangga, menuju lobi lantai satu.
Reyna melihat mobilnya Ardhi.
Reyna: "Huaa.. Ardhi!!"
Ia mengetuk-ngetuk pintu kaca.
Beruntunglah, Ardhi melihatnya. Ia segera meminta satpam untuk membukakan pintu. Begitu pintu telah dibuka, Ardhi menyongsong Reyna, dan memeluknya.
Ardhi: "Ya ampun.. Reyna.. kami semua khawatir nyari kamu."
Reyna: "Maaf.. aku tadi terkunci di dalem.."
Ardhi: "Kok bisa, sih?"
Ia melepaskan pelukan, dan memperhatikan sekujur tubuh Reyna.
Ardhi: "Trus, kamu gak kenapa-kenapa, kan?"
Reyna: "Emangnya kenapa? Untung aja tadi ditemenin sama Pak Rama ini.."
Ardhi melihat seorang pria berdiri di belakang Reyna.
Reyna: "Kenalin.. dia.."
Belum selesai Reyna bicara.
Ardhi: "Rama Yusuf?!"
Rama: "Ardhi Subono?!"
Ternyata mereka berdua sudah saling kenal.
Rama: "Aku dan Ardhi adalah temen lama. Sering bisnis bareng juga."
Ardhi: "Ram.. Reyna ini.. cewek tangguh. Jadi, lo beruntung banget, dia kerja sama lo."
Rama: "Iya. Gue juga udah liat kok.."
Reyna senang, keduanya telah saling kena. Jadi tidak perlu repot-repot memperkenalkan lagi.



Aini Yusuf, mamanya Rama dan Doni :)
 
Last edited:
6

Reyna: "Ardhi.. kia cari makan dulu, yuk.. laper. Pak Rama.. ikut, ya.."
Ardhi: "Bukannya gak mau ya, Rey.. Tapi, Papa dan Mama kamu lagi cemas nunggu kamu pulang. Udah deh, gak usah aneh-aneh. Makan malam di rumah aja, ya.."
Reyna: "Hm.. ya, deh. Tapi, besok pagi.. aku mau sarapan sama bubur ayam, ya.."
Ardhi: "Iya. Ntar aku beliin bubur ayam yang paling enak di Jember."

Sampai di rumah, tentu saja Diana menyambut Reyna penuh harap cemas, dan juga banyak pertanyaan.
Diana: "Kamu dari mana, Sayang?"
Reyna: "Masih di kantor, Ma.."
Diana: "Udah makan?"
Reyna: "Belum, Ma.."
Langsung saja, Arief menggandeng Reyna ke ruang makan.
Arief: "Kamu makan malam dulu ya, Sayang.."
Walau sebenarnya, Diana ingin Reyna mandi dan ganti baju dulu.. Tapi yaa.. apa boleh buat. Reyna tampak lelah malam itu.
Sambil makan, Reyna menceritakan pekerjaannya pada sang Papa.
Reyna: "Bos aku orangnya baik, Pa. Usianya juga gak terlalu jauh dari aku. Jadi, masih bisa dijangkau arah pemikirannya."
Arief: "Pesan Papa hanya satu. Sekeras apapun kamu bekerja, jangan mengabaikan kesehatan, ya. Harus ingat istirahat dan makan."
Reyna: "Iya, Pa.."

Di ruang tamu, Diana menemani Ardhi ngobrol.
Diana: "Ardhi.. kamu masih ingat kan, apa yang tante ceritakan waktu itu?"
Ardhi: "Iya, Tante. Aku masih ingat."
Diana: "Tante harap, kamu mau terus mempertimbangkannya."
Ardhi diam. Ia tak tau harus menjawab apa.

Keesokan harinya, Reyna tiba di kantor pukul sembilan. Agak terkejut melihat Rama juga baru sampai. Biasanya, ia datang jam sepuluh. Namun, tanpa ditanya, Rama menjelaskannya.
Rama: "Ah.. Riza pulang ke Jawa Timur. Karena ayahnya sakit. Jadi dia cuti."
Reyna: "Oh.. gitu. Kasihan sekali.. semoga ayahnya cepat sembuh."
Rama: "Ya udah. Kamu sekarang gantiin Riza. Ikut aku meeting di Rembangan."
Reyna: "Apa? Rembangan.. itu.. di mana?"
Rama: "Udahlah.. ikut aja."
Rama tak peduli, apakah Reyna tau di mana Rembangan atau tidak.
Dalam perjalanan, Reyna kirim sms pada Ardhi, bahwa ia ikut Rama ke sebuah tempat bernama Rembangan.
Ardhi: "Ya udah. Hati-hati ya, Rey.. Jangan jauh-jauh dari Rama."

Di Rembangan, Rama memiliki sebuah villa yang cukup bagus.
Reyna: "Dingin, ya.. aku gak bawa baju tebal.."
Lalu, Rama mengambil jaket di jok belakang. Memberikannya pada Reyna.
Rama: "Kamu pakai ini.."
Reyna memakainya.
Reyna: "Makasih."
Beruntung, dekat villa ada restoran. Rama menyuruh Reyna memesan beberapa menu, untuk menjamu tamunya. Dengan dibantu seorang pembantu villa itu, Reyna menatanya di meja. Menyiapkan peralatan makan, dan sebagainya.
Karena sudah biasa melakukan hal-hal seperti ini, Reyna pun tampak cekatan. Rama jadi tertarik mengamati kedua tangan Reyna bekerja dengan luwesnya, dan tanpa ada kesalahan.
Rama: "Kamu bisa masak, Rey?"
Reyna: "Bisa dong. Memasak adalah salah satu keahlian yang wajib dimiliki seorang istri. Masakan yang lezat dari tangan seorang istri, adalah kenyamanan hidup seorang suami."
Rama tersenyum. Senyum pertama yang Reyna lihat!
Rama: "Kamu tuh ada-ada aja."
Reyna: "Beneran, loh.."
Rama: "Ya.. ya.. percaya.."

Beberapa menit kemudian, tamunya Rama datang.
Mereka duduk di ruang tengah. Membicarakan bisnis dengan tenang. Reyna terus di sisi Rama. Mencatat apa saja yang mereka bicarakan di laptop. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan hasil yang di harapkan. Juga tujuan dari proyek ini.
Rencananya, mereka ingin bekerja sama membangun beberapa gedung serba guna yang bisa disewakan untuk berbagai acara, seperti pernikahan, perpisahan sekolah, reuni, gathering, dan lain sebagainya.
Lalu..
Reyna: "Saya boleh usul, gak?"
Rama: "Silahkan, Rey.."
Reyna: "Kalau bisa.. jangan hanya gedung saja. Tapi dari kitanya juga bersedia melayani katering, dan kita ajak katering terbaik di Jember ini untuk bekerja sama. Lalu juga event organizernya yang menangani dekorasi dan peralatan seperti soundsystem."
Hendrik, GM dari Panca Setiadi memuji usul itu.
Hendrik: "Wah.. sederhana, sepele, tapi itu penting, loh.. Selain menambah income, kita juga menyediakan wadah untuk promosi usaha orang lain. Bagus, nih. Gak uluk-muluk, tapi menjangkau seluruh aspek."
Reyna senang sekali dipuji demikian. Tapi..
Hendrik: "Wah.. istrimu memang cerdas, Rama.."
Istri???!!!
Wajah Rama langsung memucat, dan wajah Reyna menjadi merah muda.
Hendrik: "Udah cerdas, cantik juga. Kalian berdua emang serasi. Benar begitu kan, Gung?"
Agung, asisten Hendrik mengiyakan apa yang Hendrik bilang.
Setelah berhasil mengendalikan diri, baru Rama bicara.
Rama: "Sorry, Ndrik. Reyna ini.. sekertarisku. Bukan istri."
Hendrik tertawa.
Hendrik: "Wah.. salah sangka nih aku."
Reyna sendiri tersenyum memaklumi.
Saat Rama dan para tamu makan siang, ia segera ke toilet. Tertawa sendiri mengingat ekspresi Rama tadi.
Reyna: "Dasar cowok aneh..!"
Ternyata Rama melakukan hal yang sama. Ia melepas tawanya di kamar. Tapi, ia setuju dengan Hendrik. Reyna memang cantik dan cerdas.
Rama: "Dasar Reyna.."

Hari-hari selanjutnya, selama Riza belum kembali, Reynalah yang mendampingi Rama ke mana-mana. Terutama kalau meeting di luar kantor.

Aini Yusuf, mamanya Rama yang telah beberapa bulan di Amerika, akhirnya pulang ke Tanah Air. Rama sendiri yang menjemputnya di bandara.
Aini: "Kamu sepertinya agak kurusan, Sayang.."
Rama: "Masa sih, Ma? Padahal aku udah banyak makan belakangan ini."
Aini: "Mungkin karena kamu terlalu sibuk dan lelah."
Rama: "Bisa jadi, Ma.."

Besoknya, Aini ke kantor. Melihat perkembangan perushaan. Dan ia sangat menyukai ide untuk membuat gedung serba guna yang akan dibangun di beberapa titik di Jember dan Banyuwangi.
Lali, setelah puas berkeliling, Aini ingin duduk sebentar di ruangan Rama.
Aini: "Mama sangat menyukai design ruangan kamu. Kathlyn itu.. selain cantik, juga kreatif."
Rama: "Ya.. Mama benar. Tapi, aku dan Kathlyn udah putus, Ma.."
Aini: "Sayang sekali. Tapi.. Mama berharap, kamu bisa dapat yang jauh lebih baik dari dia."
Mereka berdua duduk di sofa, dan ngobrol banyak.
Rama: "Ma.. mau minuman dingin atau hangat?"
Aini: "Dingin aja.."
Rama menyuruh Reyna pesan minum di kantin.
Aini memperhatikan Reyna.
Aini: "Itu.. sekertaris baru? Santi ke mana?"
Rama: "Iya. Baru, Ma. Santi kerjanya mulai malas, Ma. Telponan terus. Sehingga pekerjaannya jadi gak beres."
Aini: "Kalau Riza?"
Rama: "Cuti. Ayahnya sakit."
Beberapa menit kemudian, Reyna datang membawa nampan berisi dua gelas orange juice.
Aini memperhatikan Reyna. Gadis ini cantik sekali, pujinya dalam hati."
Aini: "Nama kamu siapa?"
Reyna: "Nama saya Reyna.."
Aini: "Saya.. merasa gak asing loh, sama kamu."
Gawat! Apakah wajahnya saat SD hingga sekarang, masih sama persis?
Rama: "Ah.. Mama.. kan baru ketemu hari ini sama Reyna."
Aini masih memperhatikan wajah Reyna. Mengingat-ingat sesuatu.
Aini: "Bener ya, nama kamu Reyna? Nama panjangnya siapa?"
Reyna: "Reyna.. Samantha.. Wijaya, Bu Direktris.."
Aini tersenyum. Ia.. sudah ingat siapa sekertaris ini sebenarnya.
Reyna sangat gugup.
Aini: "Kamu ini.."
 
Last edited:
7

Belum juga Aini menyelesaikan kalimatnya. Rama keburu memotongnya.
Rama: "Udahlah, Ma.. mungkin pernah lihat di jalan atau di mana, gitu.."
Kalau dipikir-pikir..
Aini: "Iya juga, sih.. Reyna ini.. mirip sekali dengan putri temen Mama. Tapi mingkun, namanya juga kebetulan sama."
Untunglah, akhirnya Rama dan Aini mengganti topik pembicaraan. Sedangkan Reyna kembali bekerja.

Hari itu, pekerjaan Reyna tak banyak. Jadi agak bosan. Lalu, tangannya menarik secarik kertas dari rak, dan mengambil pensil di laci.
Ia mulai menggambar. Objeknya adalah Rama, yang sedang baca majalah di mejanya. Saking seriusnya menggambar, Reyna sampai tak sadar, kalau Rama memperhatikannya, berjalan ke arahnya, dan melihat yang ia lakukan.
Rama: "Kamu lagi ngegambar apa, tuh?"
Kaget! Tapi bisa dikontrol.
Reyna langsung meremas kertasnya.
Reyna: "Engga ada.. cuma coret-coret aja."
Ia melemparnya ke tempat sampah.
Rama: "Hm.. ya udah. Udah jam empat, nih. Kamu gak pulang?"
Reyna: "Pulang, dong.."
Reyna mematikan laptopnya, lalu bersiap-siap pulang.
Setelah Rama siap, mereka keluar bersama. Tapi, saat di epan lift, Rama kembali lagi ke ruangannya. Dia bilang ada yang tertinggal.
Reyna: "Kalo gitu aku duluan, ya.."

Di ruangannya, Rama mencari ponselnya. Ia lupa meletakkannya di mana. Lalu.. ia melihat bulatan kertas yang tadi di lempar Reyna ke tempat sampah. Ternyata meleset. Hm.. penasaran juga sama gambarnya Reyna.
Rama: "Ya ampun.. lucu amat.."
Akhirnya ia menemukan ponselnya di sofa.
 
Arief melihat Reyna baru pulang kerja. Juga Ardhi yang mengantarnya, ikut turun, dan masuk ke rumah.
Reyna: "Hai, Papa..!"
Ia mencium pipi Papanya. Memeluknya, dan sedikit bermanja-manja.
Reyna: "Pa.. tadi aku ketemu sama Bu Aini."
Arief: "Wah.. dia sudah pulang dari Amerika, ya? Lalu apa katanya?"
Reyna: "Ya.. aku berusaha membuat dia gak mengenali aku. Walau sebenernya dia udah hampir ingat."

Aini sedang dibantu oleh Bi Nina menyiapkan makan malam. Kemudian melihat Rama datang.
Aini: "Bi.. kalau sudah matang semua, diatata yang benr. Trus, kupas apel dan jeruknya. Taruh di kulkas dulu."
Bi Nina: "Baik, Nyonya."

Aini menyusul Rama ke kamar.
Aini: "Rama..!"
Rama membuka pintu kamar.
Rama: "Ya, Ma?"
Aini: "Ada yang ingin Mama bicarakan sama kamu."
Rama: "Oke. Ngobrol di kamar aku aja ya, Ma.."
Mereka masuk dan duduk di ranjang.
Aini: "Rama.. sebenernya.. perusahaan kita yang di Amerika.. collaps. Begitu juga dengan yang di Hongkong dan Spanyol. Yang tersisa hanya yang di Jember dan Surabaya. Mama merasa telah gagal menjalankan amanah Papa."
Rama: "Ma.. jangan sedih. Mama masih bisa mengandalkan aku. Aku gak akan membiarkan perusahaan kita yang masih tersisa ini ikutan bangkrut. Investor kita banyak yang loyal."
Aini: "Sebenernya, ada satu orang yang mampu menopang perusahaan kita agar tidak jatuh."
Rama: "Siapa, Ma?"
Aini: "Sahabat Papa dan Mama.. Namanya Arief Wijaya. Ia memimpin perusahaan yang telah puluhan tahun berdiri. Turun temurun sejak didirikan kakeknya. Wijaya Global memang sukses."
Rama: "Lalu.. apa yang akan Mama lakukan?"
Aini: "Mama akan bertemu dia besok di kantornya."
 
Keesokan harinya, Aini ke kantornya Wijaya Global. Ia bertemu dengan Arief.
Arief: “Mbak Aini.. gimana kabarnya?”
Aini: “Baik. Kamu sama Diana?”
Arief: “Alhamdulillah, Mbak.”
Aini terdiam sebentar. Mengerem basa basi yang dapat membuang waktu dengan percuma.
Aini: “Arief.. Mbak tau, kamu dan mas Radja adalah sahabat karib sejak SMA. Maka dari itu.. Mbak memberanikan diri datang ke sini dan menemuimu.”
Arief: “Loh.. sebeneranya ada apa, Mbak?”
Aini mulai bercerita tentang keadaan perusahaan yang dipimpinnya, Raja Yusuf. Arief pun mendengarkan dengan seksama.
Arief: “Aku turut prihatin, Mbak. Lalu.. apa yang.. kira-kira bias aku Bantu, Mbak?”
Arief memang orang yang begitu baik dan setia kawan. Belum juga Aini mengutarakan untuk minta bantuan, Arief lebih dulu menawarkan bantuan itu.
Akhirnya, Arief bersedia menopang PT Raja Yusuf dengan memberikan investasi yang mereka butuhkan.
Aini: “Arief, Mbak sangat berterimakasih sama kamu.”
Arief: “Ini sudah seharusnya aku lakukan. Dulu, Mas Raja yang mengajari aku ilmu bisnis. Yang memperkenalkan aku dengan Diana. Banyak hal yang sudah dia lakukan untukku. Jadi, walau pun sebenarnya juga belum sebanding.. sudah seharusnya aku membalas kebaikannya dengan cara apapun.”

Sepulangnya dari kantor Wijaya Global, Aini segera menemui Rama di kantornya, dan menceritakan semua.

Arief memanggil Ardhi ke ruangannya.
Arief: “Bagaimana.. hubungan kamu dengan Reyna?”
Ardhi: “Baik, Om. Reyna sangat menyenangkan.
Arief: “Kamu jangan khawatir, kalau saya menanyakan ini. Karena gak lebih hanya ingin mengetahui perkembangan anak.”
Ardhi: “Saya mengerti, Om..”
Arief: “Saya juga tidak terlalu mendukung keinginan Tante Diana untuk menjodohkan kalian. Semua kembali pada keputusan Reyna. Karena Reynalah yang akan menjalaninya”
Ardhi: “Lagi pula, Om.. Reyna masih terlalu muda untuk menikah. Dia juga baru lulus kuliah, dan masih ingin cari banyak pengalaman.”
Arief: “Kamu benar. Oh ya, satu lagi. Saya harap, kamu ajarin dia ilmu bisnis juga, ya. Bagaimana pun, dialah yang nantinya akan menggantikan saya untuk meneruskan perusahaan ini.”
Ardhi: “Iya, Om. Pasti.”

Rama agak terkejut dengan rencana sang mama.
Rama: “Ma..ini mana bias?”
Aini: “Pasti bias, Sayang. Perusahaan kita sangat bergantung pada Wijaya Global. Dan, Pak Arief sudah dengan baik hati mau membantu. Jadi, sudah sepantasnya kamu melakukan ini. Putrinya Pak Arief sangat cantik. Mama yakin, ia jauh lebih baik dari Kathlyn.”
Rama: “Tapi, Ma..”
Aini: “Akhir minggu ini ada jamuan pesta untuk para pebisnis di Jember. Pak Arief akan mengajak putrinya. Dan kamu juga harus ikut.”

Hari Sabtu yang suram. Kantor libur. Enaknya ngapain, ya?
Reyna menelpon Mora.
Reyna: “Jalan, yuk!”
Mora: “Ayoo!”

Reyna telah rapi saat waktu menunjukkan pukul sepuluh.
Diana: Kamu mau ke mana, Rey?”
Reyna: “Mau jalan-jalan sama Mora.”
Arief: “Oh ya, Sayang.. ntar malem kamu ikut Papa dan Mama menghadiri pesta.”
Reyna: Oke, Pa..”

Reyna dan Mora mampir ke sebuah butik yang menjual gaun pesta.
Mora: “Wah, lo musti tampil perfect, nih..”
Reyna: “Ya, dong..”
Mora: “Siapa tau.. ada cowok-cowok kece yang bakal langsung terpikat..”
Reyna: “Hahaha!! Ngawur!!”
Mora: “Ngomongin soal cowok.. ternyata.. si Ardhi lumayan juga loh. Apa sih yang kurang?”
Reyna: “Dia lebih pas jadi sahabat.”
Mora: “Gitu, ya? Wah.. saying banget..”

Setelah beli gaun, mereka ke mall.
Saat sedang berjalan, melihat-lihat aksesoris, tiba-tiba seorang cewek jalan dengan terburu-buru, sehingga menabrak Mora, sampai Mora jatuh. Reyna melihat cewek itu. Dan.. ia mengenalnya.
Reyna: “Lo.. Rani?!”
 
8

Mora berdiri. Dan juga melihat Rani.
Mora: “Rani?!”
Rani tampak gelisah. Ia hendak pergi, tapi Mora keburu menahan, dengan menarik tangannya.
Mora: “Ran, mau ke mana?! Jangan pergi dulu!”
Rani: “Sorry.. Mora.. Reyna.. gue buru-buru.”
Mora tetap menahan Rani.
Reyna agak heran dengan sikap Mora pada Rani.
Reyna: “Sebenernya ada apa sih, Ra?”
Mora: “Rani.. dia punya hutang sama gue. Dua puluh juta rupiah!”
Rani: “Gue akan bayar. Tapi please.. gak hari ini. Gue gak berniat kabur, kok..”
Mora: “Tapi, tindakan lo gak jauh beda dengan orang yang berniat kabur. Lo ditelpon gak bisa. Gue datengin ke rumah, lo gak ada. Apa namanya kalo bukan berniat kabur?”
Rani: “Gini deh.. ini kartu nama gue yang baru. Di situ ada nomer ponsel dan nomer telpon gue yang baru. Lo bisa hubungin gue ke nomer itu. Kapan pun. Sekarang, gue harus pergi.”
Mora: “Eit.. belom!”
Reyna: “Apa lagi, Ra?”
Rani: “Iya nih.. apa lagi?”
Mora menghubungi nomer ponsel yang tertera di kartu nama itu.”
Mora: “Sekedar memastikan, bahwa nomer itu gak palsu.”
Ponsel Rani pun berdering.
Rani: “Gak palsu, kan?”
Mora: “Oke. Sekarang, silahkan pergi. Tapi, kalo lo gak bisa lagi dihubungi, barang sehari pun, gue akan lapor polisi.”
Rani: “Gue janji!”
Lalu, Rani pergi.
Reyna menatap Mora. Ia heran. Bisa-bisanya Rani pinjam uang segitu banyaknya. Bukankah Rani anak orang kaya? Papanya adalah saudagar sukses di Medan, kota asalnya. Untuk apa, sih? Reyna ingin tau memang. Tapi kalau dipikir-pikir, ini bukan urusannya.

Malamnya, Reyna sudah sangat cantik, dengan gaun pestanya yang baru. Berwarna putih, motif bunga warna merah muda. Dibagian atas renda ungu berbunga menutupi bagian bahu kanan, dada, dan bahu kiri. Di bagian tengah serangkai renda merah muda berbunga, melingkar di pinggang seperti ikat pinggang. Bagian paling bawah payet bunga-bunga warna merah muda, putih, dan ungu membuat gaun tampak lebih ramai tapi tetap anggun. Rambut cokelat panjangnya diikat jadi satu di belakang, dengan ikat rambut warna putih. Poninya yang pendek menutupi kening.
Riasan wajahnya, walau minimalis, namun tetap cantik.

Arief membiarkan Reyna menyelipkan tangan kiri di lengan kanannya. Semenjak memasuki gedung tempat pesta diadakan, setiap orang menyapa Arief dengan ramah. Arief pun memperkenalkan Reyna.
Sebenarnya Diana mau ikut. Tapi mendadak ada tamu di rumah.
Kemudian, Arief disapa oleh dua pria berjas putih. Yang satu bertubuh tambun. Rambutnya tipis dan sedikit beruban. Yang satu lagi agak kurus, dan wajahnya lebih halus. Mereka ayah dan anak.
Arief: “Rey, kenalin.. ini Om Daus Setiadi. Dan putranya.. Hendrik Setiadi. Mereka dari PT. Panca Setiadi.”
Hendrik melihat wajah Reyna, dan langsung mengenali.
Hendrik: “Kamu.. bukannya sekertaris Rama Yusuf, ya?”
Seketika, perasaan Reyna langsung dikuasai dengan perasaan canggung. Tapi sangat mustahil untuk melarikan diri dari perangkap topeng.
Reyna: “Iya..”
Rupanya, Arief memahami yang dirasakan oleh putrinya.
Arief: “Reyna ini baru lulus kuliah. Masih banyak hal yang harus dipelajari, sebelum nantinya akan terjun ke dunia bisnis dan membantu perkembangan Wijaya Global.”
Darius: “Wah.. anak yang hebat.”

Tak lama kemudian, Aini dan Rama datang. Mereka disambut oleh para eksekutif, baik yang tuda dan yang muda.

Hal yang paling menakutkan pun terjadi. Reyna melihat Aini dan Rama datang mendekat.
Reyna: “Pa.. tuh, ada si Rama. Aku ngumpet aja, ya..”
Arief: “Gak boleh, Sayang.. Cepat atau lambat, hal ini harus terjadi. Gak akan ada bedanya.”
Ia menggenggam tangan Reyna, dan putrinya itu terpaksa buang muka, pura-pura hendak ambil minum.
Aini: “Arief..”
Arief: “Mbak Aini?”
Aini melihat seorang perempuan di sisi Arief.
Aini: “Ini.. Diana?”
Arief: “Diana gak ikut, Mbak. Ini.. putriku..”
Lalu, ia berbisik pada Reyna.
Arief: “Kamu jangan khawatir. Papa akan bantu jelasin pada mereka. Ayo.. sekarang sapa mereka.”
Reyna pun berbalik, dan menghadapi mereka. Tapi masih dengan kepala tertunduk.
Aini memperhatikannya. Lalu tersenyum.
Aini: “Aku udah mengira, dan aku tidak salah ingat.”
Rama pun sangat terkejut melihat gadis yang ia kenal itu.
Rama: “Reyna..? Sekertaris aku..?”
Arief tersenyum. Lalu menjelaskannya.
Arief: “Benar. Reyna putri Om ini, adalah Reyna sekertaris kamu. Tapi, kamu jangan salah paham dulu. Bukan Om yang meminta Reyna bekerja di situ. Dia nyari kerja sendiri.”
Reyna tersenyum pahit. Tiba-tiba,
Aini: “Kamu sudah tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik, Reyna saying.. sangat.. cantik..”
Reyna: “Terimakasih atas pujiannya, Bu Direktris..”
Aini tersenyum. Menatap Reyna penuh rasa sayang.
Aini: “Kok panggil saya Bu Direktris? Panggil Tante, dong..”
Lalu, Arief bicara lagi.
Arief: “Reyna menyembunyikan identitasnya, karena ingin bekerja dengan leluasa.”
Reyna: “Benar, Tante. Aku juga gak mau ada kesenjangan sosial. Aku gak mau diperlakukan beda hanya karena.. aku anak orang kaya. Itu aja, kok..”
Aini memeluk Reyna lagi.
Aini: “Alasan yang sungguh mulia, Sayang.. Tante mengerti maksud kamu. Jangan khawatir.. karyawan lain tidak perlu mengetahui ini. Sehingga kamu bisa tetap terus bekerja.”
Reyna: “Terimakasih, Tante..”

Hari Senin, di kantor..
Rama baru selesai meeting mingguan. Sepanjang pagi hingga siang hari, tak sepatah kata pun keluar dari mulut Rama, untuk mengatakan sesuatu pada Reyna. Apakah.. Rama marah?
Sesuai jam makan siang.. saat Rama dan Reyna berada di dalam satu ruangan.. Reyna berinisiatif untuk bicara terlebih dulu.
Reyna: “Pak Rama..”
Rama tidak menjawab. Sikapnya berubah drastis.
Padahal, hari Jum’at lalu, ia sangat baik dan ramah. Tapi hari ini.. malah sebaliknya.
Reyna: “Aku minta maaf karena udah bersikap tidak jujur tentang latar belakang aku. Aku tau dan sadar bahwa aku telah bersalah dan mengecewakan Pak Rama. Namun, seperti yang pak Rama dengar saat pesta. Aku hanya ingin bekerja. Sekaligus belajar tentang bisnis dan mengatur perusahaan. Aku sama sekali gak tau, bahwa perusahaan ini adalah milik sahabat terbaik Papa aku. Sekali lagi.. aku minta maaf. Kalau memang.. Pak Rama udah muak sama aku.. aku akan dengan suka rela untuk keluar dari perusahaan ini.”
Reyna membereskan barang-barangnya. Dan bersiap akan pergi.
Tanpa disangka.. seseorang menyentuh pundak Reyna. Dan dia adalah Rama. Pria itu tidak lagi menekuk wajah. Ia tersenyum. Senyum yang jauh lebih indah. Senyum.. yang begitu manis dan menawan. Membuat berdiri bulu roma Reyna.
Rama: “Kamu gak perlu pergi.. kamu jangan pergi..”
Reyna sungguh tidak menyangka, Rama adalah orang yang jauh lebih baik dari hari Jumat kemarin. Pria di hadapannya ini.. ia klaim dalam hati, sebagai pria yang paling kuat hari ini. Karena pria tersebut mampu menaklukkan amarah, dan menggantinya dengan senyuman yang sangat manis.
Rama: “Siapa bilang kamu bersalah? Siapa bilang kamu mengecewakan? Siapa bilang aku muak terhadap kamu? Aku hanya shock. Karena.. kamu sangat tulus bekerja di sini, sehingga merahasiakan latar belakang kamu. Karena kamu adalah putri seorang pengusaha yang lebih hebat dari aku. Putri pemilik perusahaan paling sukses di Jember.. bahkan Indonesia. Aku bangga mengenal kamu. Dan aku gak akan melepaskan kamu. So.. stay here.. with me..”
Secara refleks, Reyna memeluk Rama. Erat. Setitik air mata tumpah dari kedua matanya.
Reyna: “Terimakasih. Terimakasih, Pak Rama. I promise. I’ll be the best partner for you. And I won’t leave you. Sampai kamu sendiri yang menyuruh aku pergi.”
Hari itu, Reyna sungguh bahagia.
 
9

Pukul empat sore, Ardhi sudah menunggu Reyna keluar dari gedung, tempatnya bekerja. Ia berdiri, menyandar pada sisi mobilnya. Tangan kirinya masuk ke saku celana.
Beberapa menit kemudian, ia melihat Reyna keluar dari gedung. Wajah gadis itu tanpak ceria. Senyuman tipis menghiasi keceriaan itu.
Ardhi : “Hm.. kayaknya lagi seneng, nih.. Kenapa?”
Reyna : “Ada, deh.. mau tau aja.!.”
Ardhi : “Ya ampun.. wajah kamu merah tuh. Haha.. kenapa, sih? Aku jadi pengen tau.”
Reyna : “Oke. Yuk, aku certain di mobil.”
Reyna tampak antusias menceritakan, kalau Rama tidak marah, saat tau siapa Reyna. Malah sebaliknya.
Reyna : “Dia tuh.. baik banget, ya..”
Ardhi : “Dari gaya kamu bercerita, dan memuji Rama, hm.. aku bisa ikut ngerasain aroma-aroma yang gak biasa.”
Reyna : “Maksudnya?
Ardhi : “Kamu naksir Rama, kaaan…??!”
Wajah Reyna semakin bersemu merah.
Reyna : “Ah.. kamu, nih.. ada-ada aja. Kalau pun iya.. wajarlah.. kan dia almost perfect. Tapi.. yaa.. harus sadar diri, lah.. Kali aja dia udah ada yang punya.”
Ardhi : “Dulu sih iya, Rama punya kekasih. Tapi.. udah empat bulan ini.. dia sendirian. Mungkin putus.”
Reyna : “Udah, ah.. Ngomongin Rama terus, ntar bikin aku benar-benar jatuh cinta, lagi.”
Ardhi tertawa.

Reyna tidak bisa memejamkan mata. Padahal, malam sudah sangat larut, bahkan menjelang dini hari.
Reyna : “Rama.. hmm.. this man..”

Riza memperpanjang cuti hingga dua bulan. Membuat Reyna terpaksa diminta kerja dobel. Sebagai sekertaris dan asisten sekaligus. Ia selalu ikut ke mana pun Rama pergi, bahkan saat jam makan siang.
Rama meminta Reyna untuk mencatat ide-idenya ke dalam buku. Ide-ide untuk semakin memajukan PT. Radja Yusuf tentunya.
Satu ide yang menggelitik hati Reyna. Yaitu, Rama ingin perusahaannya mengeluarkan produk baru yang sangat berguna. Yaitu produk muslim. Pakaian muslim dan muslimah, peci, jilbab, sarung, mukena, hingga sorban.
Reyna : “Wah, ide yang usefull, Pak. Untuk dunia dan akhirat.”
Rama : “Ya.. bekerja sambil mengumpulkan pahala.”
Reyna : “Wah.. Pak Rama sungguh religius, ya.”
Rama : “Gak juga, Rey. Aku hanya sedang berusaha untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Aku gak ingin, bekerja sekedar untuk duniwai. Ya.. itung-itung.. ngumpulin tabungan untuk akhirat dan dunia gitu, deh.”
Reyna : “Pak Rama begitu mulia..”
Kemudian, mereka mengubah topic pembicaraan.
Rama : “Oh ya, boleh minta satu hal, gak?”
Reyna : “Apa?”
Rama : “Kalau di luar kantor, jangan panggil aku “Pak”, ya..”
Reyna : “Emang kenapa?”
Rama : “Ya.. usia kita kan Cuma terpaut tiga tahun. Panggil nama aja, ya.. RAMA.”
Reyna : “Oke, deh.. Sesuai permintaan. RAMA.”

Rama tak asal bicara dengan idenya. Seusai urusan bisnis gedung serba guna berjalan, barulah ia mengadakan meeting bersama para staff dari bagian produksi. Para staffnya pun menyetujui ide itu.

Awalnya iseng. Tapi Rama tidak sengaja melihat sesuatu di meja Reyna. Ada designe motif sajadah, sarung, mukena, dan sebagainya. Rama pun meminta Reyna terus mengembangkan kreatifitasnya itu.
Reyna : “Ntar kalau ada tambahan ide, bilang, ya..”
Rama : “Pasti..”

Penjualan produk muslim sangat memuaskan. Dengan harga yang terjangkau dan designe yang bagus, membuat laris dan disukai banyak orang, termasuk yang non-muslim.
Rama memuji hasil kerja para staffnya, dan berjanji akan memberikan bonus gaji.

Usia kehamilan Kathlyn sudah enam bulan, dan semakin besar. Rani selalu mendampinginya.
Hingga suatu hari kemudian, mereka kedatangan tamu yang paling tidak diharapkan. Doni Yusuf, ayah dari anak yang ada di dalam perut Kathlyn.
Doni : “Gak salah, aku memilih Bung Laksono untuk melacak keberadaan kamu. Apa.. aku harus bilang juga sama Rama tentang ini?”
Kathlyn : “Aku mohon.. jangan..”
Doni : “Bagaimana ya.. kalau dia tau, bahwa kekasihnya menghilang karena dihamili oleh kakaknya sendiri?”
Kathlyn : “Membuat aku jadi seperti ini.. hamil di luar nikah. Meninggalkan pekerjaanku. Dan mencampakkan Rama dengan sangat menyedihkan. Apa itu semua belum cukup membuat kamu puas? Mau sampai kapan kamu buat adik kamu begini?”
Doni : “Kalau memang aku belum puas… lantas kenapa?”
Kathlyn : “Kamu jahat, Kak Doni.”
Doni : “Apa sih, bagusnya Rama, sampai dibelain gitu?”
Rani melihat Kathlyn sangat terpukul. Ia tak tega.
Rani : “Sebaiknya, Kak Doni pergi dari sini! Jangan ganggu Kathlyn lagi.”
Doni : “Oh.. ada Rani juga ternyata. Eh, Ran..! Mikir, dong! Di perut Kathlyn itu anak aku. Mau gak mau, aku akan terus mendatangi Kathlyn.”
Rani : “Selama ada aku, jangan harap Kak Doni bisa ganggu Kathlyn lagi!”
Doni mulai membenci Rani. Lalu, ia pergi, setelah menyumpahserapah Kathlyn, Rani, dan calon anak Kathlyn.
Doni : “Kalian ingat baik-baik. Di mana pun Kathlyn dan anaknya berada.. Doni Yusuf pasti menemukannya!”

Suatu hari..
Diana, mamanya Reyna, dan Elok Subono, mamanya Ardhi bertemu. Ya. Diana sengaja datang untuk membicarakan rencana perjodohan Ardhi dan Reyna.
Elok : “Kita harus mengadakan pertemuan dua keluarga, Jeng..”
Diana : “itu sih udah pasti, Jeng. Kita harus pilih waktu yang tepat.”
Elok : “Akhir Januari ini.. aku rasa waktu yang tepat.”
Diana : “Tanggal 29 January.. hari Sabtu.. pas banget tuh. Kan weekend, bisa lebih santai.”
Elok : “Ya.. aku setuju. Ntar pertemuannya di rumah Jeng Diana aja.”
Diana : “Oke.”
Tanpa mereka sadari, adik Ardhi.. Susan Subono, mendengar obrolan itu.
Susan : “Kak Ardhi mau dijodohin..?”

Maka, malamnya, ketika Ardhi baru pulang, Susan memberitaunya perihal perjodohan itu. Terang saja Ardhi terkejut bukan main. Ardhi segera menemui mamanya.
Ardhi : “Maaf, Ma.. ada yang ingin aku bicarain sama Mama.”
Elok : “Tentang apa, Nak?”
Ardhi pun memberitau mamanya, bahwa ia menolak perjodohan itu.
Ardhi : “Reyna memang wanita yang baik, pintar, cantik, dan menyenangkan. Namun, kami berdua lebih senang menjadi sahabat. Kami berdua tidak saling mencintai. Aku yakin, almarhumah Oma, gak akan keberatan kalau aku menolaknya.”
Ardhi tidak memberi Elok kesempatan untuk bicara, dan menyampaikan pandapatnya. Karena Ardhi tidak ingin urusannya malah menjadi rumit dan panjang.

Sementara itu, di rumah keluarga Wijaya juga ribut. Ketika Diana menyampaikan niatnya bersama Elok, mamanya Ardhi untuk mengadakan acara pertemuan dua keluarga, guna membahas perjodohan ini.
Reyna : “Ma.. aku bukan anak kecil lagi, yang apa-apa mau dilakukan harus seizing Mama, dan apa-apa yang Mama suruh, harus aku patuhi. Ma, aku bisa pilih sendiri pria untuk menjadi pendamping hidup aku. Aku berharap, Mama dan Papa tidak perlu ikut campur untuk urusan yang satu ini. Aku ngerti kok, setiap orang tua ingin anaknya bahagia. Tapi maaf, pilihan Mama.. yaitu Ardhi.. aku tidak bisa terima. Dan aku tidak cocok menjadi istri Ardhi. Kami berdua tampak bahagia.. karena kami berdua adalah sahabat. Aku yakin, Mama tidak akan membuat persahabatan aku dengan Ardhi jadi rusak, hanya karena perjodohan tak penting ini.”
Arief memeluk Reyna yang wajahnya sudah basah karena air mata.
Arief : “Ma.. sudah berapa kali aku bilang? Kalau Reyna menolak, jangan dipaksa! Sekarang, kamu dengar langsung dari Reyna, tentang penolakannya. Dan aku perintahkan ke kamu, Ma.. Jangan lagi membahas perjodohan Reyna dan Ardhi!!”

Sejak hari itu, Reyna dan Diana jadi renggang. Ardhi dan Elok juga sama.
Reyna berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan. Supaya ia tetap fokus pada pekerjaan. Sayangnya, rasa sedih masih membayang. Membuat moodnya jadi jelek, dan tidak konsentrasi dalam bekerja.
Rama memperhatikan Reyna, yang kebanyakan melamun. Untunglah, sedang tidak sibuk.
Rama : “Ikut aku, yuk..!”
Tiba-tiba Rama mengajak Reyna ke suatu tempat.
 
10

Rupanya Rama mengajak Reyna ke taman kota. Siang hari memang tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang asyik membaca buku, makan, dan menemani anak-anak bermain.
Reyna : “Kita mau ngapain di sini?”
Rama : “Merefresh mood kamu.”
Reyna : “Caranya?”
Rama : “Gini..”
Reyna mengikuti apa yang Rama bilang. Ia bersandar pada bangku taman, tempat mereka berdua duduk saat ini. Memejamkan mata dengan tenang.
Rama : “Kamu rasakan deh.. hembusan angin yang sejuk. Kamu dengarkan suara gemerisik daun-daun pephonan yang bergoyang. Lakukan sekitar sepuluh menit. Kalau mengantuk, tidur sebentar..”
Angin sepoi-sepoi membuat mata Reyna tak bisa terbuka. Dia pun jatuh tertidur. Ia tampak lebih tenang dan santai dari pada tadi di kantor.

Diana pergi ke Banyuwangi hari itu juga. Menemui Latika, maminya.
Diana menceritakan pada mamanya, bahwa usahanya untuk menjodohkan Reyna dan Ardhi sangat sulit.
Latika : “Diana.. Mami tau, kamu dan Papi sangatlah dekat. Tapi bukan berarti semuanya harus kamu turuti. Sampai mengesampingkan perasaan Reyna.”
Diana : “Tapi, Mi.. perjodohan antara Reyna dan Ardhi adalah keinginan terakhir Papi. Amanah terakhir Papi..”
Latika : “Mami mengerti, Sayang.. Namun.. kamu juga mengerti sifat Papimu, kan? Dia paling tidak suka memaksakan keinginannya. Ayolah, Diana.. biarkan Reyna menemukan kebahagiaannya.”
Benar juga kata Latika. Hari itu, Diana berencana menginap satu malam di Banyuwangi.

Rama dengan sabar membiarkan Reyna tidur, hingga satu jam. Reyna terbangun sendiri. Ia melihat Rama di sampingnya.
Reyna : “Wah.. aku jadi ketiduran..”
Rama : “Inilah.. yang disebut merefresh mood. Gimana? Udah enakan atau belum?”
Reyna : “Udah mendingan, sih.. Mood aku juga udah fresh. Terimakasih ya, Rama..”
Rama tersenyum.
Rama : “Besok, kita akan ada proyek besar. Dan aku gak mau, kalau sampai kamu loyo dan gak fokus. Jadi, anggap aja, refresh mood ini adalah bagian dari pekerjaan kamu.”
Reyna tertawa.
Reyna : “Ya.. bagaimana pun.. terimakasih..”
Rama : “Saran aku.. kalau kamu sedang ada masalah.. jangan dipendam sendirian. Curahkan isi hati kamu ke sahabat. Atau tulis aja di buku harian.”
Rama sungguh bijak, itulah yang Reyna rasakan saat ini.
Rama : “Aku lapar. Cari makan, yuk!”
Ia menarik tangan Reyna dan menggandengnya. Berjalan ke mobil. Tapi tiba-tiba.. saat mereka sudah di dalam mobil..
Rama : “Aduh..! Dompet aku ketinggalan di.. kantor atau di rumah, ya..”
Ia merogoh saku baju dan celananya. Dompetnya tidak ada.
Reyna : “Kalau kembali ke kantor.. kayaknya kejauhan. Biar siang ini, aku yang traktir. Setuju?”
Rama : “Hm.. ayo! Kita ke mana?”
Reyna tak menjawab. Sepertinya memikirkan sesuatu.
Reyna : “Aduh.. aku baru inget. Dompet aku ketinggalan di tas satunya.”
Rama : “Yaaahh.. trus gimana?”
Reyna : “Makan di rumah aku aja, yuk!”
Rama : “Makan di rumah kamu?”
Reyna : “Iya. Kebetulan, tadi pagi aku punya daging sapi. Kita bisa bikin steak.”
Rama : “Ayo deh, kalo gitu..”

Dalam perjalanan, Reyna mengirim sms pada Ardhi. Memberitaunya, agar tak perlu menjemput ke kantor. Ia juga menyertakan alasannya.

Kebetulan, di rumah ada Arief. Sambil menunggu Reyna selesai masak, mereka bisa ngobrol dan main catur. Rupanya, Rama dan Arief sama-sama memiliki keahlian bermain catur.
Arief : “Wah.. strategi kamu lumayan.. Cara main kamu persis kayak papa kamu. Tapi, papa kamu masih lebih hebat. Skor terakhir kami.. 413-788. Papa kamu yang menang.”
Rama : “Waktu kecil, Papa sering ngajarin aku main catur, Om..”
Arief : “Menurunkan bakat, lebih tepatnya.”
Mereka tertawa.

Masakan Reyna sangat lezat, puji Rama saat menyantap hidangan makan malam itu. Beef steak, salad melon, dan juga ada tumis bayam. Semuanya Reyna yang masak.
Rama : “Aku jadi ingin buka restoran. Dan aku mau, kamu jadi kokinya.”
Reyna : “Ih! Sembarangan, deh! Aku gak minat jadi koki. Gak lagi, deh.. Udah pernah soalnya.”
Untunglah, Arief tidak ikut makan malam bersama mereka, karena ada acara makan malam dengan relasi bisnis.
Rama : “Di restoran mana?”
Reyna : “London Pizza Center. Berbagai jenis pizza ada di restoran ini. Dapurnya penuh sesak oleh koki, pelayan, dan cleaning service. AC emang ada. Tapi gak mempan. Pengap banget. Oven dan kompor ada di sepanjang sisi ruangan. Aduh.. berasa kayak dipanggang hidup-hidup. Dari pada jadi koki, mendingan aku jadi pelanggan aja, deh. Enak.. makan..”
Reyna mengakhiri ceritanya dengan tertawa.
Rama : “Kamu nih.. bisa-bisanya..”
Kemudian, topic pembicaraan mereka mulai serius. Reyna mengajak Rama ngobrol di teras belakang. Bi Surti membuatkan mereka minuman dingin. Grape Juice.
Reyna : “Rama.. aku.. sebenernya pengen minta maaf sama kamu.”
Rama : “Minta maaf untuk apa?”
Reyna : “Tentang kejadian di Bromo..”
Rama belum paham.
Reyna : “Aku.. yang siram muka kamu pakai air dingin.”
Pengakuan ini membuat Rama tercengang sejenak. Lalu..
Rama : “Oh, ya..?”
Reyna : “Malam itu.. aku sama Ardhi baru nyampe di Bromo. Pas Ardhi lagi pergi beli makan, kamu datang. Nyebut-nyebut dua nama. Aku lupa sih.. siapa. Sambil teriak pula.. mabuk juga. Ya.. aku siram, deh..”
Reyna terkekeh.
Tidak ada amarah dari Rama. Ia malah tertawa.
Rama : “Ya ampun.. kebetulan banget, ya. Dan seharusnya, akulah yang mesti minta maaf.”
Reyna tersenyum.
Reyna : “Ya udah.. kalo gitu, kita saling memaafkan aja.”
Keduanya bersalaman.
Ya ampun.. tangan Rama halus dan hangat. Bulu roma Reyna terasa berdiri semua. Dan ia merasakan ada sesuatu yang lompat dari dalam hatinya. Ternyata, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Setelah Rama pulang, Reyna langsung masuk ke kamar, dan menelpon Mora. Mulai deh, curhat..
Mora : “Buset, dah! Berasa ada yang mau lompat dari dalam dada pas salaman ama dia.. Dan.. tangannya serasa hangat juga halus. Wah.. penyakit, nih..”
Reyna : “Penyakit? Gue sakit apaan, Ra?”
Sambil tertawa Mora menjawab..
Mora : “Love Syndrom..”
Reyna : “Ngaco, lo!”

Aini melihat Rama melamun di depan tv. Dan sesekali senyum menghiasi wajah tampannya.
Aini : “Sayang..”
Rama terkejut ditegur mamanya.
Rama : “Eh, Mama..”
Aini : “Kamu lagi mikirin apa, sih? Seneng banget kayaknya.”
Rama : “Gak ada, Ma..”
Aini mengelus pipi Rama.
Aini : “Kamu gak bisa bohong sama Mama..”
Rama tersenyum.
Rama : “Aku.. mikirin seorang wanita, Ma.. Cantik, baik, dan smart.”
Aini : “Mama bisa menebak, siapa wanita itu. Pasti Reyna, kan?”
Sambil malu-malu, Rama mengangguk. Ia tersenyum.
Aini : “Reyna memang wanita muda yang luar biasa. Sejak kecil, dia adalah anak perempuan yang cerdas, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.”
Rama : “Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Ma..”
Aini : “Memang sudah waktunya kamu melupakan Kathlyn. Reyna jauh lebih baik. Dan Mama lihat.. kalian sangat serasi.”

Kathlyn..
Rama menatap foto Kathlyn.
Rama : “Ya.. dulu aku memang sangat mencintai kamu. Tapi kamu udah lama ninggalin aku tanpa pamit, tanpa ada satu pun kabar. Jangan salahkan aku, kalau suatu hari nanti kamu kembali, dan gak lagi bisa merasakan perasaan yang dulu. Karena aku telah jatuh cinta pada wanita lain.. Reyna.”
Rama mengambil semua foto-foto Kathlyn yang selama ii menghiasi kamarnya. Menyimpannya dalam kotak kardus, lalu menaruhnya di gudang.
Rama : “Memang sudah waktunya aku melupakan kamu.”
 
11

Rama sedang memikirkan cara untuk menyatakan perasaan cintanya pada Reyna. Yang terlintas dalam pikirannya saat ini hanyalah ide-ide norak dan sudah biasa dilakukan oleh banyak orang. Apalagi, Rama sering melihat Reyna bersama Ardhi. Apa hubungan mereka, ya?

Rama memberanikan diri menanyakan hubungan Reyna dan Ardhi.
Reyna : “Ardhi itu sahabat aku. Anak buah papaku di kantor. Dia bertugas untuk antar jemput aku ke mana pun.”
Rama : “Oh.. kirain kalian lebih dari itu.”

Diana kembali ke Jember, dan langsung bertemu dengan Elok, mamanya Ardhi.
Elok : “Sekarang gimana, Jeng?”
Diana : “Aku juga bingung nih, Jeng.. Mas Arief gak mendukung aku. Mamiku pun enggak.”
Elok : “Beberapa hari ini.. Ardhi malah ngediemin aku, Jeng. Gimana dong, ya?”
Diana : “Apapun yang terjadi, aku masih ingin Reyna menikah dengan Ardhi.”
Elok : “Ya.. aku juga belum menyerah..”

Akhirnya, Riza kembali dari Jawa Timur, dan kerja lagi.
Reyna : “Gue turut berduka sedalam-dalamnya, Riz..”
Riza bercerita pada Reyna dan Rama, bahwa ayahnya meninggal dunia karena diabetes. Namun, dia bilang, sudah tidak terlalu sedih, dan sudah bisa kembali bekerja seperti biasa.
Riza : “Perasaan sedihnya udah gue tinggalin di rumah.”
Rama : “Bagus deh, kalo gitu.”

Rama merasa, kehadiran Riza akan membantunya untuk cari cara mengungkapkan perasaannya pada Reyna.
Tentu saja Riza terkejut mendengar Rama mengatakan semua itu. Tapi ia senang, karena bosnya ini sudah bisa melupakan sang mantan yang telah meninggalkannya begitu saja.
Riza : “Mas jangan khawatir. Saya pasti akan membantu. Saya comblangin kalian berdua, sampai ke pelaminan, deh..”

Sementara itu, Reyna sendiri juga semakin terkagum pada Rama. Perasaan yang tak jelas dalam hatinya itu, membuatnya sering bertingkah aneh. Ardhi pun jadi heran dibuatnya.
Ardhi : “Kamu kenapa sih, Rey? Seneng banget kayaknya. Kenaikan gaji, ya?”
Reyna : “Haha! Kok kenaikan gaji, sih..”
Ardhi : “Lah.. trus kenapa?”
Reyna : “Kamu beneran pengen tau?”
Ardhi : “Ya iya.. Kalau di luar rumah, kamu adalah tanggung jawab aku. Kalau kamu mendadak jadi gak waras gitu, wah.. bisa mati aku.. karena dimarahin Papa kamu..”
Tawa Reyna meledak bagai bom. Ia tertawa terpingkal-pingkal.
Reyna : “Ardhi.. Ardhi.. kamu tuh ada-ada aja, sih..”
Akhirnya, Reyna pun cerita. Rupanya, belakangan ini, kalau lagi gak sibuk, Reyna browsing di internet. Mencari tau tentang perasaan anehnya. Setelah berdiskusi online dengan dokter cinta, maka.. ia pun akhirnya tau, bahwa dirinya sedang jatuh cinta. Ya.. kepada Rama..
Reyna : “Sekarang, aku butuh bantuan kamu, nih..”
Ardhi : “Bantuan apa?”
Reyna : “Cari tau.. apakah Rama udah ada yang punya atau belum..”
Ardhi : “Oke. Rama tuh.. kan temennya banyak. Ntar aku cariin informasinya. Bisa sabar, kan?”
Reyna mengangguk. Senyum masih belum hilang dari wajahnya.

Malam hari.. sekitar pukul sebelas.. Rama terbangun dari tidurnya. Ia mendengar suara ribut dari ruang tamu. Suara mamanya.. Aini dan suara laki-laki. Rama mengenal suara itu. Doni.. kakaknya.
Aini : “Kamu dari mana aja, Nak? Lama pergi.. Tau-tau pulang dalam keadaan mabuk kayak gini..”
Doni membentak mamanya.
Doni : “Apa sih, Mama ini! Ngapain sok peduli sama aku? Anak Mama kan cuma Rama..”
Aini : “Apa maksud kamu, Doni? Kamu juga anak Mama. Kamu lahir dari rahim Mama.”
Doni : “Aah!! Bulshit! Omong kosong Mama itu, udah gak bisa aku percaya! Minggir!”
Ia mendorong Aini hingga jatuh ke lantai. Kebetulan, Rama melihat itu. Ia pun segera menolong Aini.
Rama : “Kak Doni nih kenapa, sih?! Jangan kasar gitu sama Mama!”
Doni : “Heh, anak manja! Lo gak usah ikut campur! Lo cuma anak bego yang sok gak berdosa, dan kebetulan jadi beruntung dapetin seluruh warisan bokap! Tapi inget.. gue akan dapetin kembali, apa yang seharusnya jadi milik gue!”
Rama tidak mengerti maksud Doni. Ia ingin, kakaknya itu menjelaskan. Namun, Aini mencegahnya. Ia tidak mau kedua anaknya jadi ribut.
Aini : “Kamu jangan pikirin yang kakakmu bilang barusan. Kamu gak merebut apapun dari Doni. Semua terjadi karena keinginan Papa.”
Rama mencoba untuk bersabar. Lalu, ia mengantar Aini kembali ke kamarnya.

Di kantor.. keesokan harinya.
Gantian, deh.. sekarang yang ngelamun terus dan gak konsentrasi dengan pekerjaan adalah Rama.
Reyna : “Riz.. bos kenapa, tuh?”
Riza : “Gak tau juga nih, Rey.. Coba lo yang ngomong, deh..”

Reyna membuat secangkir the hijau untuk Rama.
Reyna : “Ram, diminum dulu tehnya.”
Rama : “Terimakasih ya, Rey..”
Reyna : “He em..”
Kemudian..
Reyna : “Mau ikut aku, gak?”
Rama : “Ke mana?”
Reyna : “Nanti kamu akan tau.”
Rupanya, Reyna mengajak Rama ke mall, dan shopping.
Reyna : “Aku tau, kamu lagi stress. Makanya, aku ajak kamu belanja. Borong semua yang kamu inginkan. Dijamin, hati dan pikiran kamu pasti plong..”
Rama tersenyum.
Rama : “Dasar shopaholic!”
Reyna pun usul, supaya mereka berdua lomba shopping. Yang paling boros, itu yang menang.
Sayangnya, Rama bukan shoppaholic ulung seperti Reyna. Dan Reyna pun memenangkan lomba shopping ini. Namun, canda tawa mereka mengembalikan mood Rama.
Rama : “Makasih ya.. udah menghibur aku.”
Reyna : “Berarti sekarang kita impas. Waktu itu, kamu kan udah bantu aku merefresh mood. Sekarang gentian, deh.”
Saat ini mereka sedang duduk di bangku taman. Angin semilir bertiup. Dan wajah mereka masih tersenyum.
Tiba-tiba, Rama menyentuh tangan Reyna. Sumpah, kali ini seluruh isi di dada Reyna terguncang. Mirip gempa bumi tujuh skala ritcher!!
Rama : “Rey.. aku rasa,, ini saat yang tepat.”
Reyna : “Untuk?”
Rama : “Ada yang mau aku katakan sama kamu.”
Reyna menahan nafas sejenak.
Lalu..
Rama : “Aku.. suka kamu, Rey..”
Rasanya Reyna ingin teriak. Bahagia sekali mendengar Rama mengatakan ini,
Rama : “Maukah kamu.. jadi kekasih aku?”
Dalam hati, Reyna menjawab, bahwa ia sangat ingin menjadi kekasih Rama. Tapi, semua kalimat mendadak tertahan.
Rama : “Kalau kamu gak mau.. gak papa. Aku gak maksa.”
Rama berdiri. Ia hendak pergi. Namun, Reyna buru-buru menarik tangannya, seraya memanggil namanya.
Reyna : “Rama..”
Rama berbalik. Ia melihat Reyna berdiri, dan berjalan ke hadapannya. Gadis itu tersenyum. Ia memeluk Rama erat.
Reyna : “Siapa bilang aku gak mau jadi kekasih kamu? Kamu nih.. sungguh gak sabaran jadi orang. Padahal aku baru mau bilang, kalau aku.. juga suka sama kamu.”
Akhirnya, terungkap sudah, bahwa mereka berdua saling menyukai, menyayangi, dan mencintai dengan begitu dalam..
Rinai hujan turun membasahi semua yang tadinya kering. Dan mereka berdua masih berpelukan.

Sementara itu..
Kathlyn sedang santai menonton televise. Usia kehamilannya sudah sembilan bulan. Rani pun masih menjaga dan mendampinginya. Kathlyn mengusap perutnya.
Kathlyn : “Sayang, sebentar lagi kamu akan bisa melihat dunia ini..”
Rani baru keluar dari kamar. Ia baru saja selesai sholat. Lalu, ia melihat sesuatu menetes dari sofa yang diduduki Kathlyn. Ia melihat dengan seksama.
Rani : “Ya Allah! Kath.. air ketuban lo pecah! Ini artinya, bayi lo segera lahir.”
Kathlyn : “Ya ampun..!”
Rani : “Kita ke rumah sakit sekarang!”

Bidan mengatakan, Kathlyn bisa bersalin normal. Saat proses, bayinya agak sulit keluar. Tapi, Kathlyn tidak menyerah. Selama hamper tujuh jam, ia berjuang antara hidup dan mati..
Pada akhirnya, Kathlyn berhasil melahirkan bayi laki-laki yang sangat sehat. Ia menamai bayinya.. MUHAMMAD IBRAHIM SULAIMAN YUSUF.
 
12

Reyna begitu bahagia. Ia curhat haabis-habisan pada Ardhi. Dia tidak berhenti tertawa dan tersenyum.
Ardhi : “Sekarang, kamu jadi punya satu alas an lagi, untuk menolak perjodohan itu.”
Reyna : “Ya. Tapi kayaknya.. mamaku udah sadar, bahwa keinginannya gak bisa dipaksa. Gak ada yang setuju juga.”
Ardhi ikut senang, karena Reyna sudah punya kekasih.
Ardhi : “Wah.. sekarang kamu udah punya pacar, nih.. Berarti.. aku gak antar jemput kamu lagi, ya?”
Reyna : “Siapa bilang? Kamu tetap pada pekerjaan kamu.”

Haha.. inikah rasanya jatuh cinta? Apalagi untuk yang pertama kali. Reyna sampai tak bisa memejamkan mata untuk tidur. Masih terbayang di dalam benaknya, saat Rama mengatakan kalimat itu.. “Aku suka sama kamu, Rey..” Membuat Reyna terus tersenyum.
Tiba-tiba ponselnya bunyi. Ya ampun.. Rama yang telpon. Aduh.. diangkat gak, ya? Karena saat ini, jantung Reyna berdegub begitu kencang. Grogi gitu, deh. Tapi akhirnya diangkat juga.
Rama : “Halo.. Reyna..”
Ya ampun.. suara Rama merdu banget. Reyna jadi hampir pingsan rasanya.
Rama : “Kamu belum tidur?”
Reyna : “Belum.. Kamu sendiri?”
Rama : “Belum juga. Kamu lagi ngapain, nih?”
Reyna : “Lagi rebahan aja di kamar.”
Selama beberapa saat, keduanya terdiam. Reyna juga bingung mau ngomong apa. Dan rupanya, Rama masih tidak kehabisan topik.
Rama : “Rey..”
Reyna : “Ya..?”
Rama : “Aku sayang sama kamu..”
Reyna : “Aku juga sayang sama kamu.”
Rama : “Aku mau.. kita menjalani hubungan ini dengan serius. Kalau kamu mau, sih.. aku ingin kita menikah..”
Dengan tenang yang amat ia usahakan, Reyna bicara.
Reyna : “Rama.. aku juga ingin menikah sama kamu. Tapi, hubungan kita baru dimulai. Aku harap, kamu gak terburu-buru, ya. Anggap aja.. kita sedang pendekatan lebih serius. Kita harus saling mengenal lebih dalam, satu sama lain.”
Rama : “Aku tau kalau soal itu..”
Reyna : “Gimana.. kalau kita awali dengan pertemuan antara kamu dan orang tua aku, atau sebaliknya..?”
Rama : “Mm.. boleh. Aku akan mengatur pertemuan kamu dan mamaku. Kamu juga atur pertemuan aku dan orang tua kamu. Oke?”
Keduanya pun sepakat dengan rencana ini.

Keesokan paginya saat sarapan..
Arief tampak lahap menyantap nasi goring sea food buatan Diana. Lalu, Reyna bergabung bersama mereka. Ia mengambil selembar roti tawar, dan mengolesinya dengan selai coklat kesukaannya.
Arief : “Sayang.. pelan-pelan dong, makannya.”
Reyna malah cengengesan.
Diana : “Oh ya, Rey.. ini.. ada dua tiket nonton. Untuk kamu dan Ardhi. Mama yakin, kalian berdua butuh hiburan.”
Senyum Reyna pudar. Arief pun menghentikan sarapannya.
Diana : “Rekomendasinya.. Little Fockers atau Yogi Bear..”
Reyna melap mulutnya dengan tissue.
Reyna : “Maaf, Ma.. aku gak punya waktu untuk pergi nonton.”
Diana : “Kok malah nyolot, Rey?”
Reyna : “Karena aku tau apa tujuan Mama!”
Kebetulan sekali, Ardhi datang. Sehingga Reyna bisa langsung pergi.

Arief pun tampaknya marah.
Arief : “Aku peringatkan sekali lagi, untuk terakhir kalinya. Jangan pernah membahas atau pun mengungkit-ungkit masalah Reyna dan Ardhi. Bagi aku.. kebahagiaan Reyna adalah yang utama.”
Kemudian, Arief pergi juga. Meninggalkan Diana di meja makan. Tapi, Diana tak kehabisan akal.
Diana : “Aku yakin.. suatu hari nanti, Reyna dan Ardhi pasti akan bersama dalam ikatan pernikahan.”

Wah.. jalan menuju kantor agak macet. Memang menyebalkan. Tapi Reyna memanfaatkan saat-saat ini dengan baik.
Reyna : “Ardhi, aku rasa.. mulai besok gak perlu antar jemput aku lagi.”
Ardhi : “Loh.. kenapa, Rey?”
Reyna : “Pertama, aku ingin mamaku berhenti mencari cara untuk menjodohkan kita. Dengan menjauh untuk sementara, mama akan sadar, bahwa keinginannya sudah tidak ada harapan lagi.”
Ardhi : “Ya. Aku bisa ngerti juga perasaan kamu. Apalagi, sekarang kamu punya pacar. Dan menjaga perasaannya adalah salah satu kewajiban.”
Reyna : “Dan itulah alasan yang ke dua. Aku gak mau bikin Rama salah paham dengan hubungan kita.”
Ardhi : “Trus, kalo gak ada aku,, siapa yang akan antar jemput kamu?”
Reyna : “Aku akan bawa mobil sendiri.”

Hari ini, Reyna bekerja seperti biasa. Sikapnya pada Rama juga biasa-biasa saja. Astaga.. Reyna hampir lupa, kalau kini, ia sudah punya kekasih. Yaitu Rama. Semua ini akibat peristiwa yang terjadi di meja makan tadi pagi.
Untuk menebus kesalahannya, Reyna mentraktir Rama makan siang di restoran special masakan Jepang. Karena, di sana tidak akan ada orang kantor yang akan melihat kemesraan mereka.

Arief.. begitu terkejut saat menerima kabar, bahwa salah satu karyawan yang menempati posisi GM, yaitu Pak Wiloto, mendadak kolaps di ruangannya. Ia terkena serangan jantung.
Sebagai atasan yang baik, Arief segera menjenguknya di rumah sakit.
Wiloto : “Pak.. mungkin sudah waktunya saya pension. Dari pada mengganggu kinerja perusahaan, sebaiknya saya mengundurkan diri.”
Arief : “Walau pun saya merasa berat hati, tapi, saya menghargai keputusan anda.”
Wiloto : “Insyaallah, hari Senin, saya serahkan surat pengunduran diri saya.”

Malamnya, Arief pun membicarakan tentang posisi GM, bersama Diana, dan Reyna.
Arief : “Rey.. Papa harap, kamu mau menerima posisi itu. Karena Papa ingin, kamu nantinya jadi penerus Papa.”
Reyna : “Tapi, Pa..”
Diana : “Sayang.. dulu kamu bilang, kamu gak mau menempati posisi GM karena saat itu masih ada yang menjabat, dan kamu tidak mau merebut pekerjaan orang. Sekarang, posisi GM sedang kosong. Kalau tidak segera ditempati, nanti akan membuat kacau pekerjaan.”
Reyna : “Iya, Ma.. aku mengerti. Tapi, aku kan masih sekertaris Rama Yusuf.”
Arief : “Kalau begitu, kamu bicarakan baik-baik sama Rama.”
Reyna : “Oke. Beri aku waktu.. satu hari.”

Sebelum tidur, Reyna membuat surat pengunduran diri.
Tentu saja, keesokan harinya, Rama dibuat terkejut dengan pengunduran diri itu.
Reyna: “Wijaya Global membutuhkan aku..”
Rama: “Tapi, Rey..”
Reyna: “Kamu jangan sedih gitu, dong.. Walau pun kita beda perusahaan, itu gak aan merubah perasaan kita berdua, kan?”
Rana pindah duduk di samping Reyna, lalu meraih gadis itu ke dadanya. Mendekapnya erat. Mencium keningnya.
Rama: “Ya.. walau pun dengan berat hati.. kamu.. jadilah GM yang baik. Kalau kamu ada kesulitan.. kamu bisa mengandalkan aku.”
Reyna: “Pasti, Sayang..”

Banjarmasin..
Kathlyn sungguh menikmati dan menyukai peran barunya. IBU. Dengan dibantu oleh Rani, Kathlyn mengasuh Ibra, putranya.
 
Back
Top