Berhutang Dengan Niat Tidak Bayar

jmw01

New member
Dalam pandangan Allah, hak-hak hamba sangat besar nilainya. Seseorang bisa saja bebas dari hak Allah hanya dengan taubat, tetapi tidak demikian hal-nya dengan hak antara sesama manusia -yang belum terselesaikan- kelak akan diadili pada hari yang utang-piutang tidak dibayar dengan dinar atau dirham, tetapi dibayar dengan pahala atau dosa. Mengenai hak antar sesama manusia, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerima.” (An-Nisa: 58)

Di antara masalah yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah gampang berutang. Ironisnya, sebagian orang berutang tidak karena kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi kebutuhan luks atau berlomba dengan para tetangga. Misalnya untuk membeli mobil model baru, perkakas rumah tangga atau berbagai kesenangan lainnya yang bersifat duniawi dan fana. Sebagian orang tak segan-segan membeli barang-barang secara kredit yang sebagiannya tak lepas dari syubhat atau sesuatu yang haram.

Mudah dalam berutang akan menyeret seseorang pada kebiasaan menunda-nunda pembayaran atau malah mengakibatkan hilangnya barang orang lain.

Memperingatkan akibat perbuatan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَ هَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ.

“Barangsiapa mengambil (berutang) harta manusia dan ia ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan utangnya. Dan barangsiapa mengambil (berutang) dengan keinginan untuk merugikannya (tidak membayar), niscaya Allah akan benar-benar membinasakannya.” ( Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 5/54.)

Banyak orang meremehkan soal utang-piutang, mereka menganggapnya masalah sepele, padahal di sisi Allah utang-piutang merupakan masalah yang besar. Bahkan hingga seorang syahid yang memiliki berbagai keistimewaan yang agung, pahala yang besar dan derajat yang tinggi, tidak lepas dari urusan utang-piutang.

Dalil yang menegaskan tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ التَّشْدِيْدِ فِي الدِّيْنِ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ.

“Maha Suci Allah, betapa keras apa yang diturunkan Allah dalam urusan utang-piutang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh kemudian dihidupkan lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki utang, sungguh ia tak akan masuk Surga, sampai dibayarkan untuknya utang tersebut.” ( Hadits riwayat An-Nasa’i, lihat Al Mujtaba, 7/314; Shahihul Jami’, 3594.)

Setelah mengetahui hal ini, masih tak pedulikah orang-orang yang menggampangkan urusan utang-piutang?

Sumber : Surat dari sahabat
 
Hukum Islam memang hukum yang komplit...
Nice posting, Mas.

Repu..!


-dipi-

bahkan ayat terpanjang di dalam alquran, adalah khusus membahas tata cara hutang piutang :D

al baqoroh : 282
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
 
Mungkin ke Ahli Warisnya, Mas?

Anyway, aku ada sedikit pertanyaan nih...
Kalo misalkan ada orang yang berhutang ke kita, dan seiring perjalanan waktu sepertinya orang itu nggak berniat untuk membayar. Ketika kita berusaha merelakan, apakah otomatis hutang beserta kewajiban yang ditanggung orang itu akan hilang? atau ada tata cara lain yang mengatur soal ini?


-dipi-
 
@Masykur
Gimana kalo punya hutang kpd orang yg telah wafat.. cara bayarnya piye?

sama seperti kata mbak dipi, bayar ke ahli warisnya.

Kalo misalkan ada orang yang berhutang ke kita, dan seiring perjalanan waktu sepertinya orang itu nggak berniat untuk membayar. Ketika kita berusaha merelakan, apakah otomatis hutang beserta kewajiban yang ditanggung orang itu akan hilang? atau ada tata cara lain yang mengatur soal ini?

jika kita sudah mengikhlaskannya, maka kewajiban membayar hutang orang tersebut akan hilang, aku belum ketemu dalil khusus yang membahas tatacara mengikhlaskan hutang ini :D

tapi misalnya ada seorang yang berhutang dan dia jatuh miskin (gak mungkin lagi untuk membayar), lalu kita mengikhlaskan hutangnya, maka sebaiknya kita memberitahunya bahwa hutang tersebut sudah diikhlaskan dan membatalkan surat hutang yang sebelumnya dibuat. jika orang tersebut sudah meninggal, masalah hutang bisa didiskusikan dengan ahli waris agar tidak terjadi kesalahpahaman.
 
aku belum ketemu dalil khusus yang membahas tatacara mengikhlaskan hutang ini :D

.

Ini bukan bang??

:وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
 
Ini bukan bang??

:وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

artinya dong Om :)
 
Ini bukan bang??

:وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

artinya dong Om :)

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (al baqoroh : 280)

ya, berarti mengikhlaskan hutang seperti memberikan sedekah, tampaknya gak perlu tata cara khusus.
 
Hmm.. berdosakah bagi yg punya piutang jika dia tidak mengingatkan kepada si penghutang sampai akhir hayatnya? dikarenakan si penghutang tidak pernah mengakui jika dia punya hutang.
 
Hmm.. berdosakah bagi yg punya piutang jika dia tidak mengingatkan kepada si penghutang sampai akhir hayatnya? dikarenakan si penghutang tidak pernah mengakui jika dia punya hutang.

masalah dosa yang memberi hutang itu wallahu a'lam, jika sudah jelas surat2 hutangnya, mungkin tidak perlu diingatkan lagi (sudah menunjukkan bukti ke penghutang,walaupun dia tidak mengakuinya).

yang pasti bersalah adalah yang berhutang karena dia melalaikan kewajibannya (seperti yang disebutkan dalam hadits di posting awal).
 
Back
Top