Kristen Abangan ala Sadrach

Dipi76

New member
50GKJ.jpg


Para pekabar Injil Belanda kelabakan mencari jalan bagaimana agar orang-orang Jawa menjadi Kristen yang sungguh-sungguh. Masyarakat Jawa tak ingin tercerabut dari akar budayanya yang telah dipegang teguh jauh sebelum Kristen datang. Lain halnya dengan para pekabar Injil awam Indo-Eropa yang memperhatikan budaya lokal. Maka muncullah jemaat bumiputera berpenampilan Jawa. Mereka disebut “jemaat Sadrach” karena pemimpinnya adalah penginjil Jawa kharismatik, Sadrach Surapranata.

Sadrach tinggal di Karangjasa, sebuah desa terpencil di selatan Bagelan, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan kedua abad ke-19, Karangjasa dikenal sebagai tempat mengabarkan Injil oleh para pejabat kolonial Belanda, Misi Gereja-gereja Gereformeerd Belanda (ZGKN), dan orang-orang Kristen Jawa. Tapi pemerintah kolonial menganggap Sadrach sebagai pemimpin pemberontak yang mengancam stabilitas, ketentraman, dan ketertiban umum. Sedangkan para zending Belanda menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Calvinisme.

“Mereka menuduh Sadrach sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaatnya dianggap orang-orang Kristen palsu atau jemaat Islam yang berpakaian Kristen,” tulis Soetarman Soediman Partonadi dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya. “Karenanya desa Karangjasa yang artinya ‘batu karang yang teguh berdiri’ menjadi Karangdosa yang artinya ‘batu karang dosa’.”

Saat itu terjadi semacam perbenturan konsep keberagamaan. Agama Kristen sering dicap sebagai “agama Belanda”. Sementara orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh antara lain dengan ungkapan londo durung jowo tanggung (orang Belanda bukan, orang Jawa tanggung).

Menurut Soetarman, tempat dan tanggal kelahiran serta kedua orangtua Sadrach tak diketahui. Dia dilahirkan sekitar tahun 1835 dari keluarga petani miskin di dekat Jepara, Demak, atau di desa Luring dekat Semarang. Semua tempat ini berada di pantai utara Jawa Tengah, tempat Islam kali pertama berpijak.

Sadrach diberi nama Radin –“in” menjadi petunjuk bahwa dia berasal dari desa. Dia kemudian diadopsi keluarga Muslim kaya, yang membesarkannya menurut tradisi Islam. Radin muda belajar membaca alquran, belajar ngelmu Jawa pada Pak Kurmen atau Sis Kanoman di Semarang, sebelum masuk pesantren di Jawa Timur. Setelah itu dia kembali ke Semarang dan tinggal di Kauman. Saat itu, dia menambahkan nama Arab yang telah disesuaikan dengan bahasa Jawa: Abas.

Di Semarang, dia bertemu lagi dengan Pak Kurmen, yang ternyata sudah masuk Kristen. Oleh Pak Kurmen, Radin Abas diperkenalkan dengan Tunggul Wulung, penginjil Jawa yang mengkristenkannya lewat debat umum. “Radin Abas menjadi tertarik pada Kristen. Dia terkesan oleh Tunggul Wulung dan belajar darinya bahwa orang Kristen Jawa tak harus meninggalkan adat Jawa. Tunggul Wulung pernah menegaskan keyakinannya bahwa orang Kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa dengan menyatakan bahwa mereka harus mencari seorang Kristus bagi mereka sendiri,” tulis Soetarman.

Pada 1866, ditemani Tunggul Wulung, Radin pergi ke Batavia untuk menemui Mr F.L. Anthing, pekabar injil pertama di Jawa Barat yang kemudian pindah ke Batavia. Anthing menyambutnya dengan hangat dan menerimanya sebagai pembantu. Di sini Radin dibaptis oleh Rev. Ader, pendeta De Protestantsche Kerk in Nederlansche-Indie atau Indische Kerk (sekarang Gereja Protestan Indonesia) dan menerima nama baptis: Sadrach.

Setelah beberapa tahun, Sadrach kembali ke Jawa Tengah bagian utara. Pada 1868, dia bergabung dengan Tunggul Wulung dan Pak Kurmen untuk membangun desa-desa Kristen di Bondo, juga Jawa Timur. Setelah itu Sadrach pergi ke Tuksanga, Purwareja, selama kurang lebih satu tahun sebelum pindah ke Karangjasa. Di sinilah popularitasnya merangkak naik.

Metode Sadrach untuk mengabarkan Injil, tulis Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, sama dengan yang digunakan Tunggul Wulung, yakni berdiskusi dan berdebat, seringkali berhari-hari, siang-malam, secara terbuka di depan umum. Sadrach selalu menang dan mengkristenkan sejumlah kiai.

Sadrach juga memimpin kebaktian dalam bahasa Jawa sehingga mudah dimengerti oleh jemaat. Selain itu, dia dikenal mampu mengendalikan roh jahat dan iblis. Karenanya, keris yang dikeramatkan dan bisa dipakai untuk mengatasi berbagai malapetaka dan mengusir setan-setan, dianggap kekuatan mahasakti dan harus disembah. Keris kemudian menjadi simbol identifikasi Kristus (keris yang meneteskan darahnya seperti darah Yesus yang menetes dari paku salib). Cara duduk ketika beribadah adalah duduk bersila dan para jemaat Sadrach harus menyentuh dan mencium kaki Sadrach, seperti ketertundukan para murid terhadap Yesus. Dalam kapasitas ini, Sadrach menganggap dirinya sebagai penampakan “sang rasul Yesus ke orang Jawa”.

”Sadrach membangun agama Kristen Jawa yang tetap dekat sekali dengan bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal di dalam Islam dan ngelmu. Gedung gereja disebut masjid dan dibangun dengan bentuk masjid di halaman rumah pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian dimulai sebuah bedug dipukul. Sesudah acara pembaptisan diadakan slametan,” ujar Alle. G. Hoekema, sebagaimana dikutip Aritonang.

Karangjasa segera menjadi tempat berkumpul orang-orang Kristen dari berbagai daerah. Jemaatnya meningkat pesat; mencapai hampir 2.500 hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873). Selama masa itu, lima gereja didirikan di Karangsaja, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu.

Sesuai tradisi Jawa, Sadrach menambahkan nama baru, Surapranata, untuk menunjukkan posisi barunya. Surapranata berarti “dia yang berani mengatur atau memerintah”. Oleh yang iri, nama itu disalahartikan menjadi “Tuhan yang memerintah”. Terlebih, tulis Aritonang, setelah nama itu dilengkapinya menjadi Raden Mas Ngabehi Surapranata dan dia tampil bak raja, lengkap dengan dayang-dayang. Bahkan ada yang melaporkan bahwa dia sendiri pernah mengaku sebagai Kristus atau Ratu Adil.

Peningkatan jumlah jemaat Sadrach menimbulkan kecurigaan pemerintah setempat. Sadrach dianggap sebagai ancaman politik. W. Ligtvoet, residen Bagelan, mencari cara untuk menyingkirkan Sadrach. Pengurus NGZV, Bieger, mengemban misi besar itu. Berkali-kali Bieger meminta Sadrach agar mempercayakan jemaatnya kepadanya. Karena Bieger gagal, Ligtvoet turun tangan dengan menahan Sadrach selama tiga minggu lalu menjadikannya tahanan rumah selama tiga bulan. Alasan penahanan, Sadrach menolak vaksinasi cacar, yang saat itu lagi mewabah, dengan alasan agama. Karena tak cukup bukti untuk mengajukannya ke pengadilan, Sadrach dibebaskan dengan keputusan Gubernur Jenderal pada 1 Juli 1882. “Takut para jemaatnya ngamuk,” tulis M. Alie Humaedi dalam Keresahan Sosial dalam Isu Kristenisasi ataukah Islamisasi.

Setelah bebas, Sadrach kembali ke Karangjasa. Pamor dan wibawanya tak tergoyahkan.

Sadrach pergi ke Purwareja untuk meminta Wilhelm, pekabar Injil yang bersahabat dengannya saat menjadi tahanan rumah, menjadi pendeta jemaatnya. Pada 17 April 1883, Sadrach dan para sesepuh setempat serta Wilhelm secara resmi menamakan diri Golongane Wong Kristen Kang Mardika (kelompok orang Kristen yang merdeka).

Karena merasa direndahkan oleh para zandeling, antara lain tak kunjung diangkat sebagai pendeta sehingga tak berhak menjalankan sakramen, sejak 1893, Sadrach memutuskan hubungan dengan mereka. Ternyata sebagian besar warga Kristen Jawa tetap setia mengikutinya. Selanjutnya sejak 1894 dia beralih ke Gereja Kerasulan, yang berpusat di Jawa Barat, dan diangkat menjadi rasul; jabatan yang dia pegang hingga meninggal pada 1924.

Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa dengan sebutan khusus kiai. Jemaat Sadrach mencapai 7.000 pada 1890 dan 20.000 saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di seluruh karesidenan Jawa Tengah.

Menurut Alie, perkembangan jemaah Sadrach hanya mampu bertahan kisaran tahun 1939, karena masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan didirikannya Gereja Kristen Jawa, hingga memupus habis gereja Kerasulan ala Sadrach. Mereka dipaksa mengakui prinsip-prinsip dasar Gereja Kristen Jawa. Selain di Karangjasa, Gereja Kerasulan yang masih bertahan hanyalah di wilayah Desa Kasimpar Petungkriono Pekalongan Jawa Tengah (sampai tahun 1985), yang pendiri dan majelisnya merupakan generasi langsung dari murid Sadrach.



Credit to : HENDRI F. ISNAENI (Majalah Historia)



-dipi-
 
Back
Top