Bertahan Hidup dengan Punggung

anak_dumai

New member
Bertahan Hidup dengan Punggung
Selasa, 21 Desember 2010


44759744.jpg


Tukang becak membantu menaruh beban di punggung seorang buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Sabtu (4/12). Sekitar 500 buruh gendong mengadu nasib di pasar itu. Umumnya, mereka berasal dari desa di sekitar Yogyakarta dan pergi ke kota lantaran pendapatan di desa sangat minim.

KOMPAS. : Tak banyak pilihan pekerjaan bagi Menuk. Ia tidak pernah sekolah. Juga tidak bisa baca-tulis. Namun, untuk menopang hidup sehari-hari, Menuk terpaksa hanya bisa ”menjual” kekuatan punggungnya.

Di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, keranjang dan karung belanja jadi sarana untuk kerja, sekaligus untuk mendapatkan upah bagi hidup yang dicintainya.

Menuk (42) tidak sendiri. Ada sekitar 500 perempuan yang mencintai hidup dengan pekerjaan yang sama. Itu pun baru jumlah mereka yang ”menjual” punggung di Pasar Beringharjo.

Pekerjaan ini jadi bagian dari denyut kehidupan sebagian besar pasar tradisional di Yogyakarta. Buruh gendong itu sudah hadir saat pasar mulai menggeliat menjelang subuh. Mereka setia menunggu hingga pasar mulai terlelap, sore hari.

Bekerja sebagai buruh gendong telah lama jadi pilihan dan meluas di kampung-kampung asal para buruh gendong itu. Mereka di kampung saling bertetangga. Ada juga yang bertalian darah, bahkan ibu dan anak perempuan ada yang sama-sama menjadi buruh gendong.

”Kakak yang mengenalkan saya dengan pekerjaan ini,” ucap Menuk, awal Oktober. Ibu dua anak ini sudah melakoni pekerjaan itu sejak usia 20-an tahun.

Ayu (12), anak bungsu Menuk, jadi penyemangatnya. Menuk rela bolak-balik mengangkut puluhan kilogram beban di punggung agar bisa menyekolahkan Ayu—yang tunarungu—di sekolah luar biasa.

Tak jarang mereka memanggul sampai 100 kilogram beban sekali angkut. Tidak ada standar upah. ”Bergantung pada yang memberi saja,” ucap Mbah Karsono (75), juga buruh gendong.

Biasanya, sekali angkut upahnya Rp 2.000. Ada kalanya orang berbaik hati memberi Rp 5.000. Bila sedang mujur, Mbah Karsono mengantongi Rp 30.000 sehari. Kadang, ada Rp 50.000 yang diterimanya. Bila sedang apes hanya Rp 20.000 seharian dan dipastikan bakal ludes untuk makan-minum saja.

Dengan pendapatan yang tidak menentu, Mbah Karsono yang asli Desa Ngentakrejo, Kecamatan Nglendah, Kabupaten Kulon Progo, memilih menginap di emperan toko di utara pasar. Dia pulang setiap dua atau lima hari sekali. Ongkos yang makin mahal membuat Mbah Karsono berhitung matang-matang.

Rutinitas seperti itu bukan satu-dua tahun dilakoni Mbah Karsono. Dia bahkan sudah tak ingat lagi kapan mulai menggendong. Mbah Karsono cuma ingat, ia sudah ikut ibunya ”menggendong” sejak masih zaman Presiden Soekarno.

Kemiskinan di desa

Buruh gendong muncul karena ketimpangan pembangunan desa-kota. Mereka memang berasal dari desa-desa miskin di sekitar Yogyakarta.

Profesi itu dipilih karena tak banyak pilihan yang bisa diambil. Lahan pertanian, misalnya, selain tidak memadai luasnya, juga tidak subur. Banyak buruh yang berasal dari keluarga yang tidak punya lahan pertanian.

Dusun Wonobroto, Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo, tempat asal Menuk, adalah contoh gambaran ketimpangan desa-kota. Di desa ini, jalan raya memang sudah diaspal, tapi transportasi publik terbatas. Angkutan umum belum masuk ke Wonobroto. Padahal, desa itu hanya berjarak 35 km dari kota Yogyakarta.

Menurut Juwari, Sekretaris Desa Tuksono, pertanian tidak bisa diharapkan karena tanahnya gersang. ”Sawah hanya bisa ditanam dua kali, itu pun tak selalu bagus. Jika ada hama atau jarang hujan, bisa tak panen,” kata Paimin, warga Tuksono.

Paimin beristri buruh gendong. Bila alam bersahabat, istrinya membantu di sawah. Tapi bila kekeringan melanda, istri pergi ke pasar ”menjual” punggung.

Lingkaran kemiskinan itu membuat anak-anak di Tuksono hanya tamat SMA. Sebagian lagi hanya SMP. Ketika zaman sudah melesat cepat dengan kemajuan teknologi, generasi Menuk bahkan masih banyak yang tak mengenal baca-tulis.

Ketimpangan itulah yang membawa para perempuan ini ke kota untuk memelihara hidup dengan bekerja. Kendati terbiasa bekerja keras, mereka masih asing dengan istilah menabung. Uang hasil ”menggendong” hampir selalu ludes pada hari itu lantaran jumlahnya yang tak seberapa. Tidak jarang mereka utang ke rentenir di sekitar pasar atau desa. Utang dilunasi dari pendapatan menggendong pada hari-hari berikutnya. Kisah pun terus berulang....
 
Last edited by a moderator:
sangat kejam dunia ini klu kita melihat berita di atas..
klu ane ditanya apakah sanggup...??
Ane ngk yakin akan bisa..tp klu emang harus itu jalan hidup yg harus saya lakonin mau tidak mau harus bisa..karena kita bisa klu kita belajar dan faham apa yg akan kita kerjakan.
 
Back
Top