Daud dan Sulaiman: Dua Raja Yang Diperdebatkan

Dipi76

New member
186.jpg

Apakah Kerajaan Daud dan Sulaiman merupakan kerajaan megah atau sekadar
kota pertanian kecil? Jawabannya bergantung pada ahli arkeologi yang Anda tanyai.

Oleh ROBERT DRAPER
Foto oleh GREG GIRARD
Editor oleh DIPI PURNOMO
National Geographic


Perempuan yang sedang duduk di bangku di Kota Tua Yerusalem, yang berwajah bulat dan berpakaian tebal untuk melawan dinginnya musim gugur itu, mengunyah apel sambil mengamati bangunan yang telah memberinya ketenaran dan cercaan. Bangunan itu tidak benar-benar tampak seperti bangunan—hanya dinding batu pendek yang berbatasan dengan dinding penopang purba setinggi 20 meter yang ketinggiannya tidak merata. Namun, karena dia ahli arkeologi, dan karena ini temuannya, matanya melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata orang lain. Dia memperhatikan posisi bangunan itu pada lereng curam di utara kota tua, menghadap ke Lembah Kidron Yerusalem, dan dia membayangkan tempat tinggi yang ideal untuk menyigi suatu kerajaan.

Dia membayangkan tukang kayu dan tukang batu Phoenix yang membangunnya pada abad ke-10 SM. Dia juga membayangkan bangsa Babilonia yang menghancurkannya empat abad kemudian. Yang terutama, dia membayangkan orang yang menurutnya memerintahkan pembangunannya dan menghuninya. Namanya Daud. Bangunan ini, begitu perempuan itu mengabarkannya ke seluruh dunia melalui tulisannya dalam jurnal arkeologi, mungkin sekali bangunan yang dikisahkan dalam Buku Kedua Samuel: "Raja Hiram dari Tyre mengirimkan… tukang kayu dan tukang batu, dan mereka membangun rumah untuk Daud. Dan Daud menyadari bahwa Allah menetapkannya sebagai raja di Israel, dan bahwa Dia memuliakan kerajaan itu demi umatnya, bangsa Israel."

Perempuan itu bernama Eilat Mazar. Sambil terus mengunyah apel dan melayangkan pandangannya, penampilannya begitu damai—sampai muncul seorang pemandu wisata. Pemandu itu seorang pemuda Israel yang memandu beberapa orang wisatawan yang berkumpul di depan bangku agar dapat melihat bangunan tersebut. Begitu pemuda itu membuka mulut, Mazar langsung tahu apa yang akan diucapkannya. Pemandu wisata itu mantan muridnya dalam bidang arkeologi. Dia mendengar kabar betapa pemuda itu suka membawa rombongan wisatawan ke sini dan mengatakan kepada mereka bahwa tempat itu BUKAN istana Daud dan bahwa semua penelitian arkeologi di Kota Daud merupakan sarana bagi warga Israel sayap-kanan untuk meluaskan klaim teritorial negara itu dan menyingkirkan bangsa Palestina.

Mazar bangkit dari bangku dan bergegas menghampiri si pemandu. Dengan geram dia berbicara dalam bahasa Ibrani dengan nada suara pendek-pendek, sementara si pemandu menatapnya dengan sikap pasif. Para wisatawan yang tercengang memandang Mazar pergi dengan wajah masih marah.

"Kami benar-benar harus tegas," katanya bersungut-sungut sambil berjalan. "Seakan-akan semua orang ingin menghancurkan hasil penelitian kami." Kemudian, dengan mimik yang tampak lebih sedih: "Mengapa? Apa salah kami?" Ahli arkeologi itu naik ke mobil. Dia tampak terguncang. "Rasanya seperti sakit akibat stres," katanya. "Saya merasa lebih tua daripada usia saya yang sebenarnya."

Hanya di bagian dunia inilah arkeologi sangat melibatkan emosi dan sarat persaingan. Eilat Mazar adalah salah satu penyebabnya. Pengumumannya pada 2005 yang mengemukakan bahwa dia yakin telah berhasil menggali istana Raja Daud menjadi pembelaan lantang tentang teori lama yang mendapat kecaman selama lebih dari seperempat abad—yakni bahwa paparan Alkitab yang menyatakan kerajaan yang didirikan pada masa Daud dan diteruskan oleh putranya Sulaiman memang akurat menurut sejarah. Klaim Mazar berhasil membesarkan hati umat Kristiani dan Yahudi di seluruh dunia yang bersikukuh bahwa Perjanjian Lama dapat dan semestinyalah ditafsirkan secara harfiah. Temuannya yang diakui itu khususnya diterima dengan penuh gairah di Israel karena di situlah kisah Daud dan Sulaiman berkaitan erat dengan klaim bangsa Yahudi atas Zion menurut Alkitab.

Kisah ini sudah sangat dikenal oleh setiap orang yang mempelajari Alkitab. Seorang penggembala muda bernama Daud dari suku Yudea berhasil menewaskan raksasa Goliath dari suku musuhnya, Filistin, dan dia diangkat menjadi Raja Yudea setelah wafatnya Saul menjelang berakhirnya abad ke-11 SM, menaklukkan Yerusalem, mempersatukan penduduk Yudea dengan suku Israel yang terpencar-pencar di utara, kemudian mulai membangun dinasti bangsawan yang dilanjutkan oleh Sulaiman hingga jauh memasuki abad ke-10 SM. Namun, meskipun Alkitab mengisahkan bahwa Daud dan Sulaiman membangun kerajaan Israel menjadi kerajaan yang berkuasa dan bergengsi, yang merentang dari Mediterania hingga Sungai Yordan, dari Damaskus hingga Negev, ada masalah kecil—bahwa meskipun telah dicari selama puluhan tahun, para ahli arkeologi tidak berhasil menemukan bukti kuat bahwa Daud ataupun Sulaiman pernah membangun apa pun.

Kemudian, Mazar mengumumkan temuannya. "Mazar tahu akibat pengumumannya itu," kata ahli arkeologi lain, David Ilan dari Hebrew Union College. "Dia secara sadar menceburkan diri ke dalam perdebatan sengit itu, dengan niat menimbulkan kontroversi."

Ilan sendiri meragukan bahwa Mazar telah menemukan istana Raja Daud. "Naluri saya mengatakan bahwa ini bangunan yang berasal dari abad ke-8 atau ke-9 SM," katanya, yang dibangun seratus tahun atau lebih setelah Sulaiman wafat pada 930 SM. Lebih dari itu, para pengecam mempertanyakan motivasi Mazar. Mereka mengamati bahwa kegiatan penggaliannya disponsori oleh dua organisasi—City of David Foundation dan Shalem Center—yang dimaksudkan untuk meneguhkan klaim Israel atas kawasan itu. Dan para pengecam itu mencemooh Mazar yang menggunakan metode kuno yang dianut leluhurnya yang juga ahli arkeologi, seperti kakeknya, yang tanpa tedeng aling-aling melakukan penggalian dengan mengacu pada Alkitab.

Dulu, para ahli arkeologi terbiasa menggunakan Alkitab sebagai panduan, namun sekarang metode tersebut ditentang secara luas, dianggap sebagai nalar berputar-putar yang tidak ilmiah—dan dengan sangat tegas dianggap demikian oleh biang-penentangnya, yakni Finkelstein yang berkebangsaan Israel dari Tel Aviv University, yang dengan penuh semangat selalu menepiskan anggapan seperti itu. Dia dan para pendukung lain yang meyakini "pembangunan bukan di zaman Daud" mengatakan bahwa kebanyakan bukti arkeologis di wilayah Israel dan sekitarnya menunjukkan bahwa masa yang dikemukakan oleh para ilmuwan Alkitab lebih tua satu abad. Bangunan "masa Sulaiman" yang digali oleh para arkeologi pengacu Alkitab dalam kurun waktu beberapa dasawarsa terakhir di Hazor, Gezer, dan Megiddo tidak dibangun pada masa Daud dan Sulaiman, katanya, sehingga pastilah dibangun oleh para raja abad ke-9 SM dari dinasti Omride, puluhan tahun sesudah masa pemerintahan Daud dan Sulaiman.

Pada masa pemerintahan Daud, menurut Finkelstein, Yerusalem tidak lebih dari sekadar "pedesaan di perbukitan." Daud sendiri adalah pemuda miskin bersahaja, namun berambisi, yang bersaudara dengan Pancho Villa. Jumlah pengikutnya mungkin "500" orang bersenjatakan tongkat, suka berteriak-teriak serta memaki-maki dan meludah—bukan anggota pasukan hebat mengendarai kereta kuda seperti yang diceritakan dalam Alkitab.

"Tentu saja kita tidak sedang menyaksikan istana Daud!" Filkenstein bersuara lantang begitu disinggung perihal temuan Mazar. "Maksud saya, yang benar sajalah. Saya menghormati upayanya. Saya menyukainya—dia wanita yang menyenangkan. Tetapi, tafsiran ini—bagaimana mengatakannya ya—agak naif."
 
Sekarang justru teori Finkelstein-lah yang dipertanyakan. Tidak lama setelah klaim Mazar bahwa dia berhasil menemukan istana Raja Daud, dua ahli arkeologi lain mengemukakan temuan yang menakjubkan. Tiga puluh kilometer di barat daya Yerusalem di Lembah Elah—tempat yang menurut Alkitab adalah tempat Daud menewaskan Goliath—guru besar Universitas Hebrew Yosef Garfinkel mengaku telah berhasil menggali sekelumit kota Yudea yang tepat berasal dari masa pemerintahan Daud. Sementara itu, 50 kilometer di selatan Laut Mati di Yordania, guru besar University of California, San Diego yang bernama Thomas Levy menghabiskan delapan tahun terakhir ini menggali tambang tembaga besar di Khirbat en Nahas. Levy menetapkan usia salah satu periode produksi tembaga yang paling produktif di situs itu, yakni abad ke-10 SM—yang menurut kisah dalam Alkitab adalah ketika musuh Daud, yakni bangsa Edom, bermukim di kawasan itu. (Akan tetapi, ilmuwan seperti Finkelstein meyakini bahwa bangsa Edom baru tumbuh berkembang dua abad kemudian.) Kenyataan adanya kegiatan pertambangan dua abad sebelum kelompok Finkelstein menyatakan waktu kemunculan bangsa Edom menyiratkan adanya kegiatan perekonomian yang sudah maju pada waktu pemerintahan Daud dan Sulaiman. "Mungkin saja tambang ini milik Daud dan Sulaiman," kata Levy tentang temuannya itu. "Maksud saya, skala besar produksi logam ini menyiratkan besarnya negeri atau kerajaan purba tersebut."

Levy dan Garfinkel—keduanya pernah menerima hibah dari National Geographic Society—mendukung pendirian mereka dengan setumpuk data ilmiah, antara lain pecahan gerabah serta biji buah zaitun dan kurma yang ditemukan di situs tersebut, yang usianya ditentukan dengan metode radiokarbon. Jika bukti dari hasil penggalian mereka yang masih terus berlangsung ini cukup dapat dipercaya, para ilmuwan masa lalu yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung fakta akurat tentang kisah Daud dan Sulaiman, terbukti benar.

Sebagaimana dikatakan oleh Mazar dengan penuh suka cita, "Ini adalah akhir dari teori Filkenstein."

JALAN RAYA yang sibuk, Rute 38, bersimpangan dengan jalan purba yang menyusuri Lembah Elah menuju Laut Mediterania. Di bawah perbukitan di kedua sisi jalan itu terdapat reruntuhan Socoh dan Azekah. Menurut Alkitab, bangsa Filistin berkemah di lembah ini, di antara kedua kota tersebut, menjelang perkelahian mematikan antara mereka dan Daud.

Arena perkelahian yang tenar itu sekarang sepi dan dipenuhi ladang gandum, jelai, pohon almond, dan semak anggur, belum lagi beberapa batang pohon asli terebinth (Pistacia terebinthus, Pistacia atlantica, Pistacia palestina) (elah dalam bahasa Ibrani). Nama Elah inilah yang digunakan untuk menamai lembah tersebut. Sebuah jembatan kecil terentang dari Rute 38 di atas Sungai Elah (Brook of Elah). Pada musim sibuk, bus para wisatawan diparkir di sini sehingga para penumpangnya dapat turun ke lembah dan mengambil batu untuk dibawa pulang dan membanggakannya kepada teman, menunjukkan batu yang diambil dari tempat yang sama dengan batu yang menewaskan Goliath.

"Mungkin Goliath hanya mitos belaka," kata Garfinkel saat mengendarai mobil melintasi jembatan menuju tempatnya, Khirbet Qeiyafa. "Konon Goliath berasal dari sebuah kota raksasa, dan dalam perkembangan cerita yang dikisahkan selama berabad-abad itu, dia pun diceritakan sebagai sosok raksasa. Ini sebuah perumpamaan saja. Para ilmuwan modern menginginkan Alkitab seperti Ensklopedia Oxford. Padahal, orang tidak mungkin menulis sejarah 3.000 tahun yang lalu seperti ini. Di malam hari, sambil menghangatkan tubuh di sekitar api unggun, begitulah kisah Daud dan Goliath dimulai."

Di balik penampilan Garfinkel yang cendekia, dengan kepala gundul dan rasa humor halus—yang mengungkapkan sisi tajam ketika membicarakan Filkenstein—tersembunyi ambisi yang teguh. Dia pertama kali mendengar dari pegawai Otoritas Barang Purba Israel tentang dinding batu besar setinggi tiga meter yang melengkung di tepian Sungai Elah. Dia memulai penggalian besar-besaran pada 2008.

Menurut Garfinkel, dinding itu memiliki gaya yang sama dengan yang tampak di dua kota di kawasan utara, yakni Hazor dan Gezer—kamar di dalam benteng yang terdiri atas dua dinding yang mengapit sebuah ruangan—dan dinding itu mengelilingi sebuah kota di dalam benteng yang luasnya 2,3 hektar. Sejumlah rumah pribadi berbatasan dengan dinding tersebut, desain yang tidak tampak di perumahan bangsa Filistin. Setelah menyekop lapisan tanah paling atas, Garfinkel menemukan beberapa keping koin dan artefak dari masa Aleksander Agung. Di bawah lapisan dari zaman Helen itu dia menemukan sejumlah bangunan yang di dalamnya tampak terserak empat butir biji zaitun, yang menurut analisis karbon-14 berasal dari sekitar 1000 SM. Dia juga menemukan baki kuno untuk memanggang roti pita, serta ratusan tulang sapi, domba, biri-biri, dan ikan—tetapi, tidak ditemukan tulang babi. Dengan kata lain, bangsa Yudea, bukan Filistin, dipastikan pernah tinggal (atau setidaknya pernah makan) di sini. Karena tim penggalian Garfinkel juga menemukan temuan yang sangat langka—pecahan gerabah bertulis yang tampaknya merupakan asal-mula bahasa bangsa Canaan dengan kata kerja yang khas dari bahasa Ibrani—kesimpulan yang diambilnya sangat jelas: Inilah bukti adanya semacam masyarakat Yudea yang sudah sangat berkembang dari abad ke-10 SM, yang oleh para ahli arkeologi seperti Filkenstein dikatakan tidak ada.

Dan apakah nama kota itu? Garfinkel menemukan jawabannya setelah menemukan bahwa kota dalam benteng itu ternyata memiliki dua gerbang, bukan satu—satu-satunya situs seperti ini yang ditemukan sejauh ini dalam kerajaan Yudea dan Israel. "Dua gerbang" dalam bahasa Ibrani berarti shaarayim, yakni kota yang tiga kali disebut dalam Alkitab. Salah satu referensinya (I Samuel 17:52) menceritakan bangsa Filistin yang melarikan diri untuk menghindari Daud, dan kembali ke Gath melalui "jalan dari Shaaraim." "Kita sudah mengetahui kisah tentang Daud dan Goliath, dan sekarang kita sudah menemukan situsnya, dan ternyata cocok," kata Garfinkel tanpa basa-basi. "Situs ini memiliki ciri khas Yudea, mulai dari tulang-belulang hewan tanpa tulang babi hingga dinding kota. Coba berikan dua alasan yang menyiratkan bahwa ini kota bangsa Filistin. Satu alasan menyiratkan bahwa Filkenstein tidak ingin kami menghancurkan teorinya tentang waktu yang lebih kini. Baiklah, kalau begitu, beri kami alasan lain."

Berikut ini alasan kedua untuk tidak begitu saja menerima kesimpulan Yossi Garfinkel: Dia mengumumkan kesimpulannya, dengan gesit dan menggebu-gebu, padahal dia hanya menemukan empat butir biji zaitun yang dijadikan dasar untuk menentukan kurun waktu temuannya, ukiran tulisan yang sifatnya sangat taksa, dan hanya 5 persen situs penelitiannya yang digali. Dengan kata lain, kata ahli arkeologi David Ilan, "Yossi pasti punya niat terselubung—antara lain memiliki kepentingan dari segi agama, tetapi juga memiliki kepentingan pribadi. Dia orang yang sangat pintar sekaligus ambisius. Filkenstein ibarat gorila besar, dan para ahli arkeologi muda berpendapat bahwa Filkenstein terlalu memonopoli arkeologi yang berkaitan dengan aneka kisah dalam Alkitab. Jadi, mereka ingin menumbangkannya." Selain itu, dari sudut pandang berbagai pihak lain yang berkepentingan: Apabila Filkenstein berhasil ditumbangkan, kisah Raja Daud bisa kembali naik daun.
 
DAUD BERTAHAN SELAMA TIGA MILENIUM—selalu muncul dalam dunia seni, gereja, dan namanya digunakan oleh banyak orang. Bagi kaum muslim, Daud adalah raja yang mulia sekaligus utusan Allah. Bagi umat Kristiani, Daud adalah leluhur Yesus, baik dari segi biologis maupun spiritual, dan karena itulah Yesus mewarisi status dan tanggung jawab juru selamat yang pernah disandang Daud. Bagi bangsa Yahudi, Daud adalah cikal bakal Israel—raja penggembala yang dipilih Tuhan—dan mereka adalah keturunannya dan Bangsa Pilihan Tuhan. Bahwa Daud tidak memiliki semua atribut ini, atau bahkan hanya sekadar mitos, sangatlah mustahil bagi kebanyakan orang.

"Kami berpendapat bahwa kami adalah salah satu bangsa tertua di dunia, berperan penting dalam ranah pengetahuan peradaban dunia, bahwa kamilah penulis buku yang menjadi sumber berbagai buku lainnya, yakni Alkitab," kata Daniel Polisar, ketua Shalem Center, lembaga penelitian Israel yang membantu mendanai proyek penggalian Eilat Mazar. Jika Daud dan kerajaannya dianggap tidak ada, maka Alkitab pun tidak ada. Paparannya bukan lagi karya sejarah, namun karya fiksi. Maka, Alkitab pun hanyalah upaya propaganda untuk menciptakan sesuatu yang tidak pernah ada. Dan, jika kita tidak berhasil menemukan buktinya, maka peristiwa itu pun mungkin tidak pernah terjadi. Karena itulah berbagai penelitian ini sangat besar artinya."

Buku-buku Perjanjian Lama yang mengikhtisarkan kisah Daud dan Sulaiman terdiri atas sejumlah naskah yang boleh jadi ditulis sekurang-kurangnya 300 tahun setelah peristiwa itu terjadi, oleh para pengarang yang tidak terlalu objektif. Tidak ada naskah dari kurun waktu tersebut yang berhasil ditemukan untuk membenarkan klaim mereka. Sejak masa-masa awal arkeologi yang didasarkan pada Alkitab, para ilmuwan berupaya tanpa hasil untuk memverifikasi bahwa memang pernah ada Nabi Ibrahim, Nabi Musa, eksodus besar-besaran bangsa Israel keluar dari Mesir, penaklukan Jericho. Meskipun demikian, Amihai Mazar, saudara sepupu Eilat dan salah seorang ahli arkeologi Israel yang terpandang, berkata, "Hampir semua orang sepakat bahwa Alkitab adalah naskah kuno yang berkaitan dengan sejarah negeri ini di Zaman Besi. Kita bisa memandangnya secara kritis, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan. Namun, kita tidak dapat mengabaikan naskah itu begitu saja—kita harus memperhitungkannya."

Akan tetapi, kata Mazar meneruskan, "Kita tidak semestinya mencari untuk membuktikan naskah itu secara harfiah." Namun, tetap saja, banyak sekali ahli arkeologi yang memusatkan seluruh perhatian selama karier mereka pada hal tersebut, yang dipelopori oleh ilmuwan Amerika yang sekaligus juga begawan arkeologi Alkitab, William Albright. Salah seorang anak didik Albright adalah Yigael Yadin, yakni ilmuwan, politisi, dan petinggi militer Israel. Bagi Yadin dan para ahli arkeologinya, Alkitab bukanlah sesuatu yang bisa diperdebatkan. Akibatnya, ketika dia berhasil menggali gerbang kota di Hazor pada akhir 1950-an, kota yang disebut dalam Alkitab, Yadin melakukan sesuatu yang dianggap tabu dalam bidang arkeologi masa kini: Karena saat itu penentuan usia dengan metode karbon belum ada, dia menggunakan Alkitab, bersama stratigrafi, untuk menentukan usia gerabah yang ditemukan di dalam gerbang. Dia menyatakan bahwa gerbang itu berasal dari abad ke-10 SM, masa kerajaan Sulaiman—karena Buku Pertama Para Raja menyatakan demikian.
Masalahnya, jika kita mengandalkan bab ini, yang memang ada di dalam Alkitab, kita harus menyadari bahwa bab tersebut ditambahkan lama setelah Sulaiman wafat pada 930 SM, ketika Israel pecah menjadi dua bagian—Yudea di selatan dan Israel di utara. "Gezer adalah kota paling selatan di kerajaan Israel di kawasan utara, sedangkan Hazor adalah kawasan paling utara, dan Megiddo adalah pusat kegiatan ekonomi di kawasan tengah," kata ahli arkeologi Norma Franklin dari Universitas Tel Aviv. "Jadi, amatlah penting bagi para penulis kisah ini untuk mengklaim semua wilayah tersebut. Bagi Yadin, Alkitab mengatakan demikian. Titik. Tiga gerbang—semuanya pasti berasal dari masa Sulaiman."

Dewasa ini, banyak ilmuwan (termasuk Franklin dan sejawatnya Finkelstein) meragukan bahwa ketiga gerbang itu berasal dari masa pemerintahan Sulaiman, sementara ilmuwan lain (Amihai Mazar, misalnya) berpendapat bisa saja begitu. Namun, semuanya menolak nalar pembuktian terbalik yang dianut Yadin, yang pada awal 1980-an membantu meluncurkan gerakan penentangan "minimalisme Alkitab," yang dipimpin oleh para ilmuwan di Universitas Kopenhagen. Bagi penganut aliran minimalisme ini, Daud dan Sulaiman hanyalah tokoh rekaan. Kredibilitas keyakinan ini dibuktikan tidak benar pada 1993, ketika sebuah tim penggalian di kawasan utara Israel di situs Tel Dan berhasil menggali stela basalt hitam yang bertuliskan "Rumah Daud." Namun, keberadaan Sulaiman, masih belum terbukti sama sekali.

Tanpa bukti tambahan, mau tak mau kita harus menerima dunia Alkitab abad ke-10 SM yang menjemukan yang dikemukakan pertama kali oleh Filkenstein dalam tulisannya pada 1996—bukan satu-satunya kerajaan besar yang memiliki kemegahan bangunan monumental, melainkan hanya memiliki bentang alam gersang yang dikuasai oleh beberapa suku yang terpencar-pencar dan berkembang dengan lamban: bangsa Filistin di selatan, bangsa Moab di timur, bangsa Israel di utara, bangsa Arama di utara jauh, dan ya, mungkin juga bangsa Yudea yang melakukan penyerbuan di bawah pimpinan penggembala muda di Yerusalem, sebuah kota kecil dan miskin. Tafsiran ini membuat geram warga Israel yang memandang ibukota Kerajaan Daud sebagai cikal bakal masyarakat mereka. Banyak penggalian yang dilakukan di Yerusalem didanai oleh City of David Foundation, yang direktur pengembangan internasionalnya, Doron Spielman, dengan jujur mengakui, "Tatkala kami menggalang dana untuk melakukan penggalian, yang mengilhami kami adalah pengungkapan Alkitab—dan hal itu sepenuhnya berkaitan dengan kedaulatan Israel."

Tidaklah mengherankan apabila kegiatan ini tidak disambut baik oleh penduduk Yerusalem yang kebetulan bangsa Palestina. Banyak penggalian ini dilakukan di bagian timur kota, tempat yang sudah dihuni keluarga mereka selama beberapa generasi, dan mungkin sekali kelak mereka diusir jika proyek penggalian itu berubah menjadi klaim Israel untuk menjadikannya sebagai tempat permukiman mereka. Dari sudut pandang bangsa Palestina, sikap tergesa-gesa mencari bukti arkeologi untuk membenarkan rasa kepemilikan sebagian orang sungguh tidak adil. Sebagai penduduk Yerusalem Timur dan guru besar arkeologi, Hani Nur el-Din berkata, "Saat saya melihat perempuan Palestina membuat gerabah tradisional sejak awal Zaman Perunggu, tatkala saya mencium roti taboon yang dibakar dengan cara yang sama dengan yang dilakukan orang pada milenium keempat atau kelima SM, saya menganggapnya sebagai DNA budaya. Di Palestina memang tidak ada dokumen tertulis, tidak ada riwayat bersejarah—namun, tetap saja, ini adalah sejarah."
 
Kebanyakan ahli arkeologi Israel menghendaki agar hasil penelitian mereka tidak digunakan sebagai senjata politik. Namun, hal ini memang cara yang biasa digunakan negara baru yang masih terus menjajaki keabsahan mereka. Sebagaimana yang diamati oleh guru besar arkeologi Avraham Faust dari Universitas Bar-Ilan, "Bangsa Norwegia mengandalkan keberadaan situs Viking untuk menciptakan jatidiri yang terpisah dari para penguasa mereka yang berasal dari Swedia dan Denmark. Zimbabwe mendapatkan namanya dari situs arkeologi. Arkeologi adalah alat bantu yang sangat nyaman untuk menciptakan jatidiri bangsa.

Itulah salah satu hal yang membedakan Israel dengan negara lain. Jatidiri nasionalnya sudah ada jauh sebelum adanya kegiatan penggalian. Benda galian dapat menegaskan jatidiri itu… atau sebaliknya.

"TEMPAT INI IBARAT NERAKA," kata Tom Levy dengan riang saat berdiri di tepi sumur tambang terbuka purba yang dipenuhi terak legam sehitam batubara. Di sekelilingnya dan sejumlah sukarelawan mahasiswa S-1 dari University of California, San Diego, terbentang situs penggalian tembaga seluas 10 hektar—dan di samping kawasan itu tampak kompleks benteng besar yang terdiri atas reruntuhan rumah jaga berusia 3.000 tahun. Tampaknya para penjaga itu tinggal di dekat lokasi tambang, sambil mengawasi para pekerja yang mungkin dipaksa bekerja di situ. "Apabila kita memiliki produksi berskala industri sebesar ini, pasti diperlukan sistem pengadaan makanan dan air minum," kata Levy lagi. "Saya tidak bisa membuktikannya, namun menurut pendapat saya, orang yang bekerja di lingkungan yang sangat berat ini pastilah para budak—atau mahasiswa S-1. Intinya, masyarakat miskin yang papa mustahil bisa melakukan kegiatan penambangan berskala sebesar ini."

Levy, sebagai ahli antropologi, pertama kali datang ke Yerusalem selatan pada 1997 untuk mengkaji peranan metalurgi dalam evolusi masyarakat. Distrik dataran rendah Faynan, tempat kita bisa menyaksikan kilauan malakhit biru-hijau dari jarak jauh, adalah tempat yang tepat untuk melakukan kajian tersebut. Tempat ini pulalah yang diklaim dengan bangga pada 1940 oleh rabi dan ahli arkeologi Amerika Nelson Glueck sebagai tempat dia menemukan tambang Edom yang dikuasai Raja Sulaiman. Para penggali berkebangsaan Inggris yang berikutnya meyakini bahwa mereka telah menemukan bukti yang menyatakan bahwa kurun waktu yang ditetapkan oleh Glueck meleset sampai tiga abad, dan bahwa Edom sebenarnya baru ada pada abad ke-7 SM. Namun, ketika Levy mulai memeriksa situs yang dikenal sebagai Khirbat en Nahas (dalam bahasa Arab berarti "puing-puing tembaga"), sampel yang dikirimkannya ke Oxford untuk ditentukan usianya dengan metode radiokarbon menegaskan bahwa klaim Glueck memang tepat: Ini adalah situs produksi tembaga abad ke-10 SM—dan, Levy menambahkan dengan yakin, "sumber tembaga terdekat ke Yerusalem."

Tim yang dikepalai oleh Levy dan sejawatnya dari Yordania, Mohammad Najjar, berhasil menggali gerbang berkamar empat yang mirip dengan gerbang yang ditemukan di sejumlah situs di Israel yang mungkin berasal dari abad ke-10 SM. Beberapa kilometer dari kompleks pertambangan itu, mereka berhasil menggali sebuah permakaman yang berisi lebih dari 3.500 makam yang berasal dari kurun waktu yang sama—mungkin berisi sisa-sisa jenazah kaum nomaden pegunungan dari Zaman Besi yang menurut sumber Mesir purba dikenal sebagai Shasu, yang menurut Levy mungkin "ditawan pada suatu waktu tertentu dan dipaksa bekerja di pertambangan." Sebagian besar kegiatan di tambang itu tampaknya berhenti menjelang akhir abad ke-9 SM—dan lapisan yang dinamakan "lapisan jarahan" yang digali oleh mahasiswa Levy mungkin bisa menjelaskan alasannya.

Dalam lapisan ini mereka menemukan 22 biji kurma, yang ternyata berasal dari abad ke-10 SM, bersama sejumlah artefak Mesir seperti jimat berkepala singa dan jimat berbentuk kumbang, keduanya berasal dari kurun waktu Firaun Shoshenq I. Penyerbuan wilayah itu oleh sang firaun tidak lama setelah kematian Sulaiman dikisahkan dalam Perjanjian Lama dan di Kuil Amun di Karnak. "Saya sepenuhnya percaya bahwa Shoshenq mengakhiri produksi logam di sini pada akhir abad ke-10 SM," kata Levy. "Bangsa Mesir pada Periode Antara Ketiga tidak cukup kuat untuk menyediakan pasukan dan persenjataan di wilayah jajahan, dan itulah alasannya mengapa di sini kita tidak menemukan cetakan roti dan peninggalan kebudayaan penting lainnya yang khas Mesir. Namun, mereka mungkin melakukan serangan militer yang cukup besar—yang cukup kuat untuk mengalahkan beberapa kerajaan kecil ini, untuk memastikan bahwa mereka tidak menjadi ancaman bagi Mesir. Itulah yang menurut saya dilakukan oleh Shoshenq di sini."

"Neraka" yang berhasil digali oleh Levy di Khirbat en Nahas mungkin bisa merupakan "neraka" juga bagi teori Filkenstein tentang "kronologi abad lebih kini." Tambang tembaga yang ditemukan Levy mungkin tidak semenggairahkan istana Raja Daud atau tempat di ketinggian untuk mengamati perkelahian antara Daud dan Goliath. Namun, kegiatan penggalian Levy mencakup kurun waktu lebih panjang dan area lebih luas daripada yang dilakukan Eilat Mazar dan Yosef Garfinkel, dan jauh lebih sering menggunakan analisis radiokarbon untuk menentukan usia berbagai lapisan stratigrafi di situsnya. "Semua ilmuwan yang mengkaji Edom pada 1980-an dan 1990-an menyatakan bahwa Edom tidak ada sebagai negeri sebelum abad ke-8 SM," kata Amihai Mazar. "Tetapi, analisis radiokarbon yang dilakukan Levy memberikan bukti lain, dan bukti tersebut menunjukkan kurun waktu abad ke-10 hingga ke-9 SM, dan tidak seorang pun bisa menyatakan bahwa bukti tersebut keliru."
 
Namun, justru itulah yang dilakukan para pengecam Levy. Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa 46 analisisnya yang pertama tidak memadai untuk membenarkan penyusunan kembali seluruh kronologi Edom. Untuk analisis C-14 yang kedua, Levy melipatduakan jumlah sampelnya dan dengan teliti memilih batubara yang berasal dari tanaman yang memiliki lingkaran kambium yang dapat dikaji.

Meskipun biaya analisis C-14 lumayan mahal—lebih dari Rp5.000.000 untuk sebutir biji zaitun—tekniknya tidak selalu jitu. "Karbon-14 tidak banyak membantu menyelesaikan semua pertentangan ini," kata Eilat Mazar. "Ada plus minusnya"—margin kesalahannya sekitar 40 tahun. "Laboratorium yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula. Banyak ilmuwan yang meragukan ketepatan hasil analisis C-14." Filkenstein dan Amihai Mazar sama-sama tidak sependapat mengenai satu lapisan tertentu di Tel Rehov, sebuah kota dari Zaman Perunggu dan Zaman Besi yang lokasinya tidak jauh dari Sungai Yordan. Mazar berpendapat bahwa lapisan itu bisa jadi dari masa Sulaiman, sementara Filkenstein mengatakannya dari dinasti Omride yang lebih kini, yang mengambil nama dari Omri, ayah Ahab. Kesenjangan antara kedua masa itu sekitar 40 tahun.

"Banyak usia yang ditentukan dengan analisis radiokarbon untuk kurun waktu ini meliputi rentang waktu yang justru diperdebatkan," kata Amihai Mazar, sambil tersenyum pahit. "Bukan kurun waktu sebelum atau sesudahnya. Keadaan masih tetap sama selama 15 tahun ini."

"KITA BISA SAJA MENEMUKAN bukti radiokarbon bahwa Daud adalah orang desa yang tinggal di Norwegia pada abad keenam!" kata Israel Filkenstein—sengaja dilebih-lebihkan untuk menegaskan maksudnya, sebagaimana yang sering dilakukannya. "Tetapi, serius, saya senang membaca apa pun yang ditulis oleh Tom tentang Khirbat en Nahas. Tulisannya membuat saya terilhami. Saya sendiri tidak akan mau menggali di tempat seperti itu—terlalu panas! Buat saya, arkeologi itu harus menyenangkan. Cobalah datang ke Megiddo—kami tinggal di losmen berpenyejuk udara yang bersebelahan dengan kolam renang."

Beginilah cara Filkenstein memulai sanggahannya, dengan kata pembuka santun yang tidak mampu menyembunyikan binar bola matanya yang "nakal." Sebagai ilmuwan, ahli arkeologi asal Tel Aviv ini memiliki sifat yang sangat gigih—sambil mencondongkan sosoknya yang tinggi dan menghadapkan wajahnya yang berjanggut ke wajah tamunya, melambaikan tangannya yang besar, mengatur nada suara baritonnya dengan kepiawaian seorang aktor kawakan.

Namun, sikapnya yang memesona itu dengan cepat membuat jengkel orang-orang yang pernah merasakan sengatannya. "Jika ingin menarik perhatian, Anda bisa bersikap seperti Filkenstein," kata Eilat Mazar. Yang juga tidak menyukai sikap Filkenstein adalah Yosef Garfinkel, yang mengatakan bahwa "Dia bahkan sama sekali tidak menggunakan ilmu pengetahuan—di situlah ironisnya. Ibarat memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Saddam Hussein."

Akan tetapi, teori Filkenstein tampaknya cukup berterima bagi ilmuwan yang pendiriannya berada di antara mereka yang secara harfiah memercayai Alkitab sebagai sumber sejarah dan yang memandangnya sebagai mitos. "Bayangkan saja Alkitab seperti saat Anda membayangkan situs arkeologi yang berlapis-lapis," katanya. "Beberapa lapisan ditulis pada abad ke-8 SM, beberapa pada abad ke-7 SM, kemudian melonjak ke abad ke-2 SM. Jadi, Alkitab ditulis selama enam ratus tahun. Ini tidak berarti bahwa Alkitab tidak berasal dari zaman purba. Namun, realitas yang ditampilkan dalam kisah tersebut adalah realitas yang lebih kini. Daud, misalnya, adalah tokoh sejarah. Dia memang hidup pada abad ke-10 SM. Saya bisa menerima penjelasan bahwa Daud adalah semacam pemimpin kelompok yang bergolak, para pembuat onar yang tinggal di daerah pinggiran. Tetapi, saya tidak bisa menerima pendapat tentang kemegahan kota Yerusalem, atau kerajaan hebat di masa Sulaiman. Ketika para pengarang naskah itu menceritakannya, yang mereka bayangkan adalah realitas masa mereka sendiri, masa Kerajaan Assyria.

"Nah, soal Sulaiman," katanya meneruskan sambil berdesah. "Boleh dikatakan saya melumatnya. Maaf saja! Coba kita kupas dia dan kita analisis kisahnya. Ambil contoh kunjungan istimewa Ratu Sheba—seorang ratu Arab datang berkunjung, membawa segala macam benda eksotis ke Yerusalem. Ini cerita yang mustahil terjadi sebelum 732 SM, sebelum dimulainya perdagangan oleh bangsa Arab di bawah penjajahan Assyria. Ambil lagi contoh kisah tentang Sulaiman sebagai pelatih hebat dalam perkudaan, kereta kuda, pasukan besar, dan sebagainya. Kisah tentang Sulaiman ini adalah kisah yang bercerita tentang kerajaan Assyria pada abad itu."

Tentang benteng tambang yang dikemukakan Levy, Filkenstein berkata, "Saya tidak percaya bahwa tambang itu berasal dari abad ke-10 SM. Tidak mungkin ada orang yang tinggal di situs ini selama berlangsungnya penambangan. Apinya, asap beracunnya—mustahil! Alih-alih, coba perhatikan benteng En Hazeva di sebelah barat Sungai Yordan, yang dibangun oleh bangsa Assyria di jalan utama menuju Edom. Menurut pendapat saya, bangunan yang dikemukakan Tom itu adalah benteng Assyria dari abad ke-8 SM, yang mirip dengan benteng lainnya. Dan coba perhatikan, dalam arkeologi Alkitab, situs yang digalinya bukanlah situs yang penting. Situs itu bukan kota yang bertahan dalam beberapa zaman, seperti Megiddo dan Tel Rehov. Dengan hanya mengandalkan terak, lalu mengatakan bahwa situs itu bukti paling kuat dalam perdebatan tentang sejarah menurut Alkitab—benar-benar mustahil, dan saya menolaknya mentah-mentah!"

Dengan lebih bersemangat, Finkelstein mencemooh temuan Garfinkel di Khirbet Qeiyafa: "Begini, saya tidak akan pernah mengatakan, ‘Saya menemukan sebutir biji zaitun di sebuah lapisan di Megiddo, dan biji zaitun ini—yang sudah dianalisis dengan karbon-14 ratusan kali—akan menentukan nasib peradaban Barat.’" Dia tertawa mengejek. Tidak adanya tulang babi, menyiratkan itu situs Yudea? "Memang itu bukti, tetapi bukan bukti yang meyakinkan." Tulisan langka yang ditemukan di situs itu? Mungkin dari Gath yang berasal dari bangsa Filistin, bukan dari kerajaan Yudea.

Ironisnya, Filkenstein, sang penentang arkeologi berdasarkan Alkitab itu menjelma menjadi kekuatan besar, sosok Goliath yang membela pendiriannya dari serangan para pemula terhadap teori kronologinya. Teori bahwa masyarakat maju di abad ke-10 SM mungkin ada di kedua sisi Sungai Yordan menyebabkan visi Filkenstein tentang era Daud dan Sulaiman benar-benar berada di pihak yang defensif. Sejumlah besar tulisan sanggahannya dan nada suaranya yang sinis mencerminkan sikap pembelaan diri ini, dan argumennya kadang kala tampak agak dipaksakan. (Pendapatnya tentang tinggal di benteng di dekat situs penambangan tembaga bukanlah sesuatu yang mustahil bagi para penambang batubara di Bukit Asam atau penduduk yang tinggal di dekat Gunung kapur, Padalarang, misalnya.) Meskipun demikian, bahkan seandainya pun Garfinkel dapat membuktikan bahwa suku Yudea yang merupakan leluhur Daud tinggal di benteng Shaaraim, dan Eilat Mazar dapat menemukan catatan yang menyatakan bahwa Raja Daud memerintahkan pembangunan istana di Yerusalem, dan Tom Levy dapat membuktikan dengan pasti bahwa Raja Sulaiman menguasai tambang tembaga di Edom, semua ini bukan bukti yang mendukung kebenaran tentang kegemilangan dinasti dalam Alkitab. Berapa banyak lagi penggalian yang harus dilakukan agar pertikaian ini berhenti?
BANYAK AHLI ARKEOLOGI mempertanyakan apakah pertikaian sengit tentang kebenaran paparan Alkitab ini bermanfaat. Salah seorang di antara mereka, Raphael Greenberg dari Universitas Tel Aviv tanpa tedeng aling-aling berkata, "Pertikaian itu tidak menguntungkan bidang arkeologi. Yang seharusnya kita lakukan adalah memberikan informasi yang tidak diperoleh dari naskah atau cacatan sejarah yang sudah dipatok sebelumnya—terawangan lain ke masa lalu: kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan kata lain, sesuatu yang lebih bermakna, bukan sekadar mengabsahkan Alkitab."

Tetapi, apakah Daud, dengan semua simbolismenya, tidak lagi penting apabila perbuatan baik dan kerajaanya pada akhirnya dipandang sebagai mitos belaka? Ketika saya kemukakan kepada Filkenstein bahwa orang di seluruh dunia mempercayai kehebatan Daud, saya tercengang mendengar jawabannya. "Begini, pada saat saya melakukan penelitian, saya harus membedakan antara sosok Daud menurut kepercayaan masyarakat dan sosok Daud menurut sejarah. Daud sangat penting bagi jatidiri masyarakat saya. Demikian pula, saya dapat menerima Peristiwa Eksodus tanpa memercayainya sebagai peristiwa nyata. Sosok Daud di mata saya adalah sosok Daud yang dicerminkan oleh raja Hezekiah yang lebih kini; sosok Daud yang dicerminkan oleh raja Josiah yang lebih kini; sosok Daud pada Nabi Zakaria tentang ramalan hari kiamat yang mengisahkan Yerusalem terbakar, tetapi Daud tetap hidup; sosok Daud yang merupakan penghubung dengan pemimpin umat Kristiani. Dari sudut pandang ini, sosok Daud sangat penting. Jika Anda menghendaki saya mengemukakannya secara sederhana, saya bangga bahwa sosok bersahaja ini menjelma menjadi sosok yang begitu penting dalam masyarakat Barat. "Jadi, bagi saya," kata Filkenstein, orang yang melucuti semua kemegahan itu dari sosok Daud, "Daud bukanlah sekadar prasasti di dinding benteng, bukan pula sekadar pemimpin sekelompok orang pada abad ke-10 SM. Bukan. Dia jauh lebih bermakna daripada semua simbolisme itu.


-dipi-
 
wah ternyata begitu, masih menjadi perdebatan ya...
kalau yang saya baca, untuk bukti adanya kerajaan sulaiman tidak ada ya..
hmm,,,...

maaf mba saya reply lagi niy t hread yang hampir setahun... :)
 
Back
Top