Kerusuhan di Tunisia

Dipi76

New member
Kerugian Akibat Kekacauan di Tunisia 1,6 Miliar Euro
Selasa, 18 Januari 2011 05:36 WIB

20110115050624tunis150111.jpg


Tunis (ANTARA News/AFP) - Kekacauan berminggu-minggu di Tunisia dengan protes yang menggulingkan presiden mengakibatkan kerugian negara Afrika Utara itu 1,6 miliar euro (2,2 miliar dolar AS), Menteri Dalam Negeri Ahmed Friaa mengatakan kepada wartawan, Senin.

Kerugian itu setara dengan sekitar empat persen dari produk domestik bruto (PDB) Tunisia 2010, menurut perhitungan AFP berdasarkan data ekonomi Dana Moneter Internasional.

Friaa mengatakan dua-pertiga dari kerugian itu adalah karena gangguan kegiatan ekonomi selama protes terhadap presiden digulingkan Zine El Abidine Ben Ali dan sepertiga karena kehilangan pendapatan ekspor.

Kegiatan ekonomi telah hampir berhenti di Tunisia, dengan banyak toko-toko dan bank masih tertutup.

Kegiatan pariwisata, yang mencerminkan 6,5 persen dari PDB Tunisia dan mempekerjakan sekitar 350.000 orang, telah ditutup setelah ribuan wisatawan asing dievakuasi selama bentrokan kekerasan dalam beberapa hari terakhir. (A026/K004)

================================

KBRI Tunisia Selamatkan Lima WNI
Senin, 17 Januari 2011 20:02 WIB

London (ANTARA News) - KBRI Tunisia kembali berhasil mengamankan lima WNI yang berada di titik rawan pergolakan di negara itu.

Penyelamatan lima WNI itu, menurut keterangan yang diperoleh ANTARA London, Senin, harus melalui perjalanan dengan melintasi kerumunan massa yang sedang melakukan penjarahan dan pembakaran toko, supermarket dan showroom mobil mewah di daerah Chartage, Tunis.

"Mobil KBRI pun sempat diberhentikan oleh massa sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya staf KBRI dapat mengamankan lima orang tersebut pada pukul 23.59 pada 16 Januari," ujar Sekretaris III Pensosbud KBRI Tunisia, Sugiri Suparwan.

Berbagai info dan banyak saksi mata menyatakan, kerusuhan di sini disebabkan oleh orang-orang yang sengaja dikirim oleh polisi. Masyarakat mengadakan ronda menjaga kampung dan kompleks perumahan.

Militer menyediakan hotline untuk pengaduan jika ada masyarakat melihat perusuh. Di berbagai tempat militer berpatroli termasuk dengan helikopter dan di beberapa tempat, mereka harus turun dari helikopter untuk intervensi karena ada pengaduan.

Sedianya pada hari Minggu, KBRI Tunisia merencanakan mengamankan delapan WNI yang berada di titik rawan, namun mengalami kesulitan untuk mengamankan dua TKI yang bekerja di Istana Kepresidenan, karena tidak diberi akses masuk.

Dalam tiga hari terkahir, KBRI Tunisia sudah mencoba memasuki istana namun selalu gagal. Pada Minggu pukul satu siang, staf KBRI Tunisia yang hendak menjemput dua TKI tersebut ditodong senjata.

Menurut Sugiri Suparwan, staf KBRI Tunisia pun menyaksikan mobil lain yang berusaha masuk ditembak bannya oleh petugas keamanan istana.

KBRI Tunisia akan terus mengupayakan pengamanan mereka melalui jalur diplomatik dan melalui koordinasi dengan aparat keamanan setempat, ujarnya.

Adapun satu WNI lainnya yang berada di titik rawan di luar Istana belum sempat dievakuasi karena jalur masuk menuju rumah yang bersangkutan telah dipenuhi kerumunan massa yang melakukan pembakaran dan penjarahan yang sangat membahayakan keselamatan staf KBRI.

Selain itu, terdapat juga satu WNI yang datang ke Wisma Duta karena sudah merasa tidak aman di tempat tinggalnya. Keseluruhan Jumlah WNI yang dapat diamankan pada Minggu sebanyak enam orang.

Jumlah WNI di Tunisia sesuai lapor diri sebanyak 109 orang, sedangkan WNI baru melapor saat terjadi krisis keamanan dengan angka terus berubah adalah 10 orang yang total keseluruhan ada 119 orang WNI di Tunisia.

Keberadaan mereka sebanyak 33 orang berada di Wisma Duta yang menjadi posko 1 yang terdiri dari Dubes RI, istri dan staf sebanyak 8 orang, masyarakat Indonesia 25 orang.

Sementara di Kantor KBRI Tunisia yang menjadi posko 2 terdapat 21 orang yang terdiri dari delapan staf KBRI, 10 mahasiswa dan tiga orang TKI. Sedangkan di rumah Home Staff yang berada dekat Kantor KBRI yang menjadi posko 3, terdapat 17 orang yang terdiri dari 14 orang Staf KBRI dan tiga masyarakat Indonesia.

Selain itu, di rumah sakit terdapat satu orang dan 47 orang lainnya berada di rumah masing-masing yaitu 20 orang Staf KBRI dan keluarga, lima orang mahasiswa dan 11 orang WNI menikah dengan orang asing dan 11 TKI.

Dari 47 orang WNI yang berada di rumah masing-masing, tiga orang berada di titik rawan. KBRI Tunis terus mengupayakan pengamanan mereka.

(H-ZG/S023/S026)

====================================

78 Tewas Dalam Sebulan Kerusuhan di Tunisia
Selasa, 18 Januari 2011 05:57 WIB

Tunis (ANTARA News/AFP) - Tujupuluh-delapan orang telah tewas di Tunisia dalam sebulan kerusuhan, hampir melipat-empatkan korban tewas resmi sebelumnya.

Jumlah korban tewas itu diumumkan oleh Menteri Informasi Ahned Friaa, Senin.

Hitungan resmi terakhir 21 orang tewas diberikan oleh pemerintah pada 11 Januari lalu -- sebelum diusirnya presiden yang dipecat, Zine El Abidine Ben Ali.

Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia yang bermarkas di Paris mengatakan pada 13 Januari bahwa 66 orang telah tewas. (S008/K004)

=============

Sumber: Antaranews



-dipi-
 
TUNISIA
Istri Presiden Larikan Emas 1,5 Ton
Penulis : Egidius Patnistik | Editor : Egidius Patnistik
Selasa, 18 Januari 2011 | 15:11 WIB

1706342620X310.jpg


TUNIS, KOMPAS.com — Istri Presiden Tunisia, yang terguling, melarikan diri dari negara yang dilanda kekacauan itu dengan membawa 1,5 ton emas batangan senilai lebih dari 55 juta dollar AS. Kabar itu mencuat Senin (17/1/2011) sebagaimana dilansir Dailymail, Selasa.

Dijuluki "Imelda Marcos dari dunia Arab" karena gaya hidup mewahnya dan kesukaannya pada pakaian karya desainer top, Leila Trabelsi dikatakan sudah meminta emas-emas tersebut minggu lalu saat rezim Presiden Zine Al Abidine Ben Ali ambruk. Kepala bank sentral Tunisia semula menolak permintaan Leila, tetapi Ben Ali (74 tahun) secara pribadi campur tangan. Si kepala bank sentral pun tunduk dan Leila dengan leluasa terbang keluar dari Tunisa bersama emas batangan itu untuk kemudian bergabung dengan Ben Ali di pengasingan di Arab Saudi. Sumber klaim itu, ekonom terkemuka Tunisia Moncef Cheikhrouhou, mengatakan, para milisi mencoba mengambil lebih banyak emas.

Klan dari mantan ibu negara itu secara luas menjadi sasaran hinaan karena dilihat sebagai simbol utama korupsi dan ketamakan. Leila (53 tahun), seorang mantan penata rambut, dikenal karena kecintanya pada mobil. Keluarga itu memiliki lebih dari 50 rumah mewah dan sering berbelanja ke Dubai. Di sana ia dikatakan menghabiskan ratusan ribu dollar.

Saat banyak warga Tunisia menghadapi masalah pengangguran, kondisi hidup yang buruk dan penindasan dari rezim Ben Ali yang brutal, keluarganya—yang dikenal sebagai "The Mafia" di Tunis, ibu kota negara Afrika Utara—dikatakan telah mengumpulkan kekayaan hingga mencapai 55 miliar dollar AS. Banyak dari jumlah itu disimpan di Perancis. Di sana pula beberapa dari anggota keluarga itu masih bersembunyi.

Putri mantan presiden itu yang berusia 24 tahun dan sedang hamil, Nesrine, dan suaminya yang playboy, Sakhr, berlindung di serangkaian suite di Disneyland Paris, bersama dengan rombongan besar pelayan dan pengawal. Nesrine dijuluki "Marie Antoinette dari Tunisia". Ia punya kebiasaan menerbangkan makanan mewah, termasuk es krim dari St Tropez, ke mansion mewah tepi pantai dengan jet pribadi. Suaminya memelihara harimau sebagai hewan peliharaan, yang makanan utamanya potongan daging sapi. Nesrine dan adiknya Cyrine diperkirakan akan segera diusir dari Paris. Seorang menteri Perancis kemarin mengatakan, Perancis—bekas penguasa kolonial Tunisia—mempertimbangkan untuk membekukan aset-aset yang terkait dengan rezim Ben Ali.

"Mereka (keluarga Nyonya Ben Ali) adalah pencuri, penipu, dan pembunuh," kata warga Tunis, Mantasser Ben Mabrouk. "Satu-satunya tujuan mereka adalah mengeruk uang dengan berbagai cara yang mereka bisa."

Perdana Menteri Tunisia Mohammed Ghannouchi, Senin, mengumumkan satu pemerintah persatuan nasional, yang memungkinkan oposisi masuk dalam struktur kepemimpinan negara itu untuk pertama kalinya. Namun, tidak jelas apakah hal itu memungkinkan Ghannouchi, sekutu lama Ben Ali, mempertahankan jabatannya bersama dengan beberapa menteri. Demonstrasi dan kekerasan berlanjut di beberapa kota kemarin, dan pasukan keamanan kembali menembakkan gas air mata, meriam air, dan peluru tajam.

Krisis Tunisia itu dimulai setelah kematian seorang pedagang sayuran di tepi jalan yang membakar diri karena marah atas berbagai pembatasan/larangan negara terhadap upaya untuk mencari nafkah. Ia lalu menjadi seorang martir bagi orang banyak dan memicu protes atas kondisi kehidupan yang buruk setelah warga mengetahui korupsi rezim yang berkuasa melalui publikasi situs WikiLeaks.

sumber:kompas



-dipi-
 
Presiden Tunisia Ditumbangkan Tukang Sayur

103502_presiden-zine-ben-ali--jas-hitam--saat-membesuk-mohamed-bouazizi--desember-2010_300_225.jpg

Presiden Zine Ben Ali (jas hitam) saat membesuk Mohamed Bouazizi, Desember 2010 (AP Photo/Tunisian Presidency)

Barangkali ini adalah harga dari sebuah kekuasaan yang angkuh. Di Tunisia, Presiden Zine El Abidine Ben Ali, turun dari kursi kekuasaan dengan cara memalukan. Dia kabur ke luar negeri, karena tak mampu membendung kemarahan rakyat. Meski telah berkuasa 23 tahun di negeri Afrika utara itu, Ben Ali harus lengser akibat dia tak mendengar keluhan seorang tukang sayur.

Adalah Mohamed Bouazizi, seorang tukang sayur, yang memicu kemarahan rakyat atas sang penguasa. Dia masih muda, usianya 26 tahun. Lelaki itu nekad membakar diri, setelah barang dagangannya disita polisi di kota Sidi Bouzid pada 17 Desember 2010. Berhari-hari dirawat di rumah sakit, Bouazizi akhirnya meninggal pada 4 Januari 2011.
Bouazizi adalah wajah rakyat Tunisia yang menderita. Negeri itu dilanda krisis pangan. Lapangan kerja sulit, dan rakyat hidup dalam politik yang tak peduli pada kritik.
Tak banyak pilihan bagi pemuda seperti Bouazizi. Lelaki itu adalah tiang keluarga, dan dia harus menghidupi ibu dan adiknya. Itu sebabnya, Bouazizi bekerja apa saja, termasuk menjadi penjual sayur dan buah.

Tak jelas benar latar pendidikannya. Stasiun berita CNN menyebut pemuda itu sebagai sarjana komputer. Lulus kuliah, Bouazizi sulit mendapatkan pekerjaan seperti sarjana lainnya di Tunisia. Itu membuat Bouazizi terpaksa mengasong, menjual sayur dan buah.

Tapi, adiknya Samia Bouazizi memberi versi berbeda, seperti dilaporkan oleh laman Gulf News. “Kakakku berusia 26 tahun, dan tak lulus sekolah menengah atas. Jadi dia berjualan buah dan sayur untuk menghidupi dirinya, dan keluarga,” ujar Samia.

Pada 17 Desember 2010, adalah hari sial bagi Bouazizi. Barang jualannya dirampas polisi. Alasannya, dia berdagang tanpa izin. Lelaki malang itu lalu mengadu ke kantor gubernur di Sidi Bouzid. Dia meminta keadilan. Tuntutannya sederhana: dia minta dagangannya dikembalikan, dan diizinkan berdagang kembali.

Tapi, teriakan Bouazizi seperti hilang ditiup angin. Tak seorang pejabat di kantor itu peduli. Bouazizi pun putus harapan. Dia lalu nekad: mengguyur dirinya dengan minyak, lalu menyulut api. Di depan kantor gubernur yang angkuh itu pun tubuhnya terbakar.
Meski tubuhnya dilalap api, jiwa Bouzizi tak melayang. Sebagian badannya hangus, dan dia menahan pedih berhari-hari di rumah sakit. Tapi akibat luka bakar yang parah, Bouazizi akhirnya meninggal.
Peristiwa itu lalu menyentak warga Tunisia. Bouazizi seperti menjadi juru bicara tragis bagi nasib mereka. Di tengah krisis pangan, pengangguran membekap Tunisia. Harga kebutuhan pokok, seperti roti, gandum dan gula, melejit tak terbeli. Rakyat pun murka. Demonstrasi meledak, dan kemarahan meluas ke sekujur negeri.

Lebih dari sepekan setelah Bouazizi membakar diri, Presiden Ben Ali membesuk pemuda malang itu. Dia datang ke rumah sakit pada 28 Desember 2010. Tapi Ben Ali tak peduli dengan kemarahan rakyat. Dia malah memberi cap teroris, bagi para demonstran yang onar.
Ben Ali bahkan mengerahkan aparat keamanan meredam aksi massa. Korban pun berjatuhan. Kebencian pada Ben Ali dan rezimnya makin menggila. Ben Ali kaget, tapi dia yang dulu berkuasa lewat kudeta tak berdarah pada 1987, terlambat. Kemarahan rakyat tak lagi terbendung.

"Saya sadar dengan tuntutan rakyat Tunisia. Saya juga sedih dengan apa yang tengah terjadi setelah 50 tahun mengabdi bagi bangsa ini, baik dalam dinas militer, berbagai posisi di pemerintahan, dan menjadi presiden selama 23 tahun," kata Ben Ali, seperti dikutip stasiun televisi Al Jazeera, Kamis malam, 13 Januari 2011 waktu
Rakyat Tunisia lalu tumpah ke jalan. Mereka menuntut Ben Ali turun. Akhirnya, pada 14 Januari 2011, Ben Ali yang tak lagi dipercaya rakyat itu pun diam-diam kabur ke Arab Saudi bersama keluarganya.
Tunisia kini dibiarkannya terombang-ambing. Tak ada pemerintahan transisi.

Aksi Bouazizi bahkan menjadi ilham bagi negara tetangga. Selama 15-18 Januari 2011, sudah 10 orang membakar diri sebagai bentuk protes kepada pemerintah. Mereka berasal dari Mesir, Aljazair dan Mauritania. Dua orang dilaporkan tewas, sisanya dalam keadaan kritis.

Viva News
 
PERPECAHAN di antara KAUM MUSLIMIN (konteks atau Tunisia)


Perpecahan di antara Ummah sangat berbahaya dan dapat memberikan kesempatan pembunuh untuk adv ersa ries untuk menambah bensin ke dalam api.



Setelah semua, kurma telah korup, kompeten atau penguasa yang tidak bermoral. Ia telah mencetak lebih dari lulus mark (aku akan memberinya kelebihan Pass) tidak ada bukti yang sulit untuk membuktikan bahwa tahun lalu pemilihan adalah lelucon.



Mencoba untuk kembali ke waktu awal atau sejarah Islam ketika Khalifa Utsman bin Affan (ra) dibunuh dan ketika Ali bin Abi Thalib (ra) menjadi pimpinan bangsa Islam.


Muawiyah licik dan kelompok ingin penjahat, yang direncanakan dan dilaksanakan pembunuhan tertangkap dan dihukum secepat mungkin, tapi Ali (ra) ingin berkonsentrasi pada perdamaian, persatuan dan administrasi Ummah, tapi nya adv ersa ries keras kepala dan politik khas untuk mengerjakan sesuatu. Hal ini menyebabkan melemah dan Disintegrasi bangsa Islam. Apakah Islam mendapatkan dengan kebebasan berupa semacam ini?


Ini adalah apa yang mungkin terjadi di Iran jika pengikut atau Mousavi dikejar keegoisan dan ketamakan untuk kekuasaan politik mereka. Mereka mungkin memainkan ke tangan musuh atau Iran yang telah menunggu untuk alasan dan kesempatan untuk mengacaukan bangsa dan dalam proses membantu ambisi musuh-musuh terbesar Islam


For the sake of menyimpan jutaan orang-orang yang tidak bersalah atau bangsa Muslim, kadang-kadang kita harus mengampuni dan lupa kekurangan pemimpin dan penguasa kita daripada mencoba untuk mengubah rezim, membuat besar Anarki (melihat Afghanistan) dengan mendapatkan bantuan dari tulus dan memanipulasi Non-Muslim kekuasaan dunia.


Irak tepat di depan mata kita. Puluhan ribu orang-orang seperti saya membenci Saddam Hussein dan pergi ke sejauh atau moral co-operating dengan lawan dan pembangkang dalam mencari bantuan untuk menghukum dan mengeksekusi Saddam dan menggulingkan administrasi (ingat Dr Ahmed Chalabi dan koridor). Apa yang konsekuensi?


Tapi sekarang sama orang merasakan kebodohan, kenaifan dan ketidakdewasaan atau politik seperti berpikir dan berharap jika hanya Saddam yang tetap dalam kekuatan dan kita bisa diselamatkan kematian sekitar 1,2 juta warga Irak dan sekitar 400.000 orang-orang yang menjadi pengungsi, sekitar 600.000 janda dan yatim juta dan bangsa yang pergi ke anjing. Yang bertanggung jawab tragedi ini?
Kasus dua: Afghanistan: Islam berusaha keras untuk menghancurkan kelompok kesetiaan dan tribalism, tetapi orang-orang Afghan memberi penting bagi suku-suku mereka: Pushtu, Hazar, Tajik, Uzbek, Turkmen, Kyrgyzs dll, dan para pemimpin mereka seperti Burhanuddin, Ahmed Mashod, Hikmatyar dan lain-lain bisa memiliki didamaikan for the sake of persatuan bangsa dan Ummah tetapi ego dan keserakahan untuk kekuasaan politik rusak mereka dan membawa darah yang menghebohkan, kehancuran dan penderitaan kepada jutaan orang yang tidak bersalah dan membawa malu Islam di dunia.


Kesimpulannya, saya akan mengatakan bahwa kita harus bersabar, berdoa keras dan harus mencoba untuk menciptakan Anarki dan kebingungan dalam masyarakat-masyarakat Muslim untuk demi dari kekuasaan politik. Ada pelajaran yang sulit bagi Muslim India dari tragedi ini. Amerika kami berdiri dan dibagi kita jatuh.
Mari kita menunggu sampai Allah swt Bawalah tentang perubahan dalam kepemimpinan
 
Kisah TKI di RUmah Ipar Presiden Tunisia

"Rumah majikan saya sudah hancur dan barang-barang sudah ludes dijarah. Saya sangat takut"

103262_warga-tunisia-di-kota-tunis-berebut-untuk-membeli-makanan_300_225.jpg

Warga Tunisia di Kota Tunis berebut untuk membeli makanan (AP Photo/Hassene Dridi)

Situasi di Tunisia dalam beberapa pekan terakhir membuat para tenaga kerja asal Indonesia (TKI) kena getahnya. Mereka yang bekerja di rumah keluarga maupun kerabat Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, mengaku sempat terperangkap di rumah majikannya karena situasi memanas di luar.

Tenaga Kerja Wanita asal Indramayu, Widaningsih, 24, mengatakan bahwa rumah majikannya, yang merupakan kakak ipar Ben Ali bernama Jalila Trabelsi, dikepung oleh ratusan orang pendemo. Widaningsih bersembunyi di loteng dan mengaku sangat ketakutan karena massa yang marah mulai memasuki rumah.

“Saat itu, rumah majikan saya sudah hancur dan barang-barang sudah ludes dijarah. Saya sangat ketakutan,” ujar Widaningsih saat bersaksi di Kementrian Luar Negeri Indonesia di Jakarta. Bersama 31 orang lainnya, Widianingsih berhasil dievakuasi dari Tunisia.

Widaningsih mengatakan bahwa saat itu majikannya sudah kabur entah kemana, meninggalkan dia bersama para tenaga kerja lainnya yang berasal dari berbagai negara. Dia mengaku tidak tahu menahu apa yang dilakukan oleh majikannya sehingga rumahnya dihancurkan sedemikian rupa.

“Lalu orang-orang naik ke atas, saya sangat ketakutan, takut diapa-apakan,” lanjut perempuan asal Kota Indramayu itu.

Beruntung, beberapa mahasiswa menolong Widaningsih dan menenangkannya. “Mereka mengatakan untuk tidak takut, karena saya tidak ada hubungannya dengan hal ini,” ujar Widaningsih. Kemudian dia menelepon Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tunis untuk minta dijemput.

Situasi yang sama dialami oleh Sriyati, 31, yang bekerja di rumah keluarga menantu Ben Ali, Mohamed Sakhr El-Matri, yang . Mereka sempat terperangkap selama beberapa hari di lingkungan istana kepresidenan dengan penjagaan ketat militer.

“Kami tidak bisa keluar, militer berjaga di semua tempat, sampai ke atap-atap,” ujar Sriyati.

Militer tidak memperbolehkan semua orang keluar dari rumah tersebut dengan alasan keamanan. Sriyati kemudian menelepon pihak KBRI di Tunis untuk menjemputnya ke istana. Namun, ujarnya, militer bertindak sangat agresif dan mengusir staf KBRI yang datang untuk menjemput mereka.

“Bahkan militer menembak ban mobil staf KBRI,” kata Sriyati.

Setelah beberapa lama, barulah dia diperbolehkan untuk keluar oleh militer dan ditampung di KBRI, lalu dipulangkan ke tanah air.

Ketiga orang ini, seperti semua WNI yang dipulangkan ke tanah air, adalah para pekerja ilegal yang tidak memiliki surat izin kerja dan izin tinggal, serta tanpa dilindungi kontrak kerja yang jelas. Dipekerjakannya mereka di lingkungan kepresidenan dikarenakan calo atau sponsor yang menyalurkannya mempunyai hubungan dengan keluarga presiden.

“Kami diberi kemudahan karena akan bekerja pada keluarga presiden,” ujar Widaningsih yang mengaku dibawa dari Dubai menuju Tunisia oleh seorang calo yang dekat dengan keluarga Presiden. "Kapok, saya tidak akan kembali kerja di luar negeri," ujar Widaningsih.• VIVAnews
 
TKI di Tunisia Ditinggal Kabur Anak Presiden

"Dia orangnya royal. Saya tidak tahu apa pekerjaannya, pokoknya dia punya semuanya."

Sebanyak 32 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Tunisia telah dipulangkan ke tanah air menyusul kaburnya para majikan mereka ke luar negeri. Diantara mereka ada WNI yang bekerja untuk keluarga presiden Zine El Abidine Ben Ali, yang kabur ke Arab Saudi. Dia adalah Juju Juhariah. Perempuan berusia 34 tahun itu bekerja sebagai pembantu di rumah putri Presiden Ben Ali, Nesrine. Bersama suaminya, Nesrine, diduga ikut melarikan diri ke luar negeri.
Juju melihat gelagat yang tidak beres atas kepergian majikan kali ini. "Mereka bilang akan pergi keluar negeri selama dua hari, mereka memang biasa pergi keluar negeri," kata Juju saat ditemui di Kementrian Luar Negeri di Jakarta, Kamis 27 Januari 2011 setelah dievakuasi dari Tunisia.
"Biasanya mereka pergi tiap bulan, dua hari saja lalu kembali," lanjut Juju lagi. Namun, setelah berhari-hari, kedua majikan Juju tidak pulang.
Juju tiap bulannya mengaku digaji US$200 dan tambahan uang tips sebesar 100 dinar. Setiap tiga bulan, dia akan mendapatkan bonus sebesar 135 dinar. Sebagai pembantu, dia bertanggungjawab mencuci dan menyetrika baju majikan.
Kendati jarang bertegur sapa, Juju menilai majikannya adalah orang baik. "Dia orangnya royal. Saya tidak tahu apa pekerjaannya, pokoknya dia punya semuanya," ujar Juju.
Ditanya apakah dia tahu kemana majikannya pergi, Juju mengaku hanya mengetahuinya dari media. "Ada yang bilang ke Jeddah, Prancis atau Abu Dhabi. Tapi itu saya ketahui dari televisi," ujar Juju.
Karena mereka kehilangan majikan yang menampung dan membiayainya, maka Kedutaan Besar Republik Indonesia di Ibukota Tunisia, Tunis, memulangkan Juju dan 31 WNI lainnya ke Tanah Air.
Kini, Juju diantar pulang ke kampung halaman di Indramayu. Ditanya apakah ingin kembali lagi bekerja di luar negeri, Juju mengaku lagi tidak berminat."Untuk sementara ini nggak dulu deh," ujar Juju.


Viva News
 
Back
Top