Demokrasi Radikal Perlu Mendapat Tempat di Indonesia

nurcahyo

New member
Demokrasi Radikal Perlu Mendapat Tempat di Indonesia

Kapanlagi.com - Analis Politik dari Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens berpendapat bahwa demokrasi radikal yang dikembangkan dari pemikiran dua Profesor Ilmu Politik Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe perlu mendapat tempat di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan dalam peluncuran bukunya berjudul "Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam Perspektif Postmarxis-Postmodern, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe" di FISIP-UI, Depok, Sabtu.

Dalam buku tersebut Boni menjelaskan Laclau-Mouffe menyadari bahwa persoalan yang tidak mampu diselesaikan oleh demokrasi liberal adalah antagonisme politik di tengah pluralisme nilai sosial dan politik.

Ia mengatakan, maksud politik radikal dalam tesisnya Mouffe, adalah tentang demokrasi model agonistik, dimana pluralisme bukan gangguan terhadap kepentingan demokrasi, melainkan ciri dasar yang membentuk identitas demokrasi.

"Hubungan antara kelompok berbeda kepentingan dalam demokrasi bukanlah hubungan permusuhan kawan-lawan (friend-enemy) melainkan hubungan persaingan kawan-lawan bersahaja (friend-friendly,enemy)," katanya.

Mouffe, katanya, memberi argumentasi pada pemakaian istilah lawan bersahaja dengan menerangkan konsep "common space" (ruang bersama) yang merupakan tempat kawan dan lawan untuk "bonum commune" (kebaikan umum).

Pemikiran Mouffe dinilainya sangat relevan dengan kondisi di Indonesia, misalnya tentang pembentukan partai lokal di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tidak bertentangan dengan ide demokrasi sejati, dimana partai lokal bentuk artikulasi politik masyarakat lokal yang dicapai oleh sistem politik nasional.

"Demokrasi radikal bahkan memandang ini sebagai mekanisme yang mengakomodasi kepentingan yang partikular dan merupakan sumbangan signifikan bagi pembaruan demokrasi di Indonesia," katanya.

Apalagi, amandemen UU 1945 yang telah menghilangkan utusan golongan di parlemen dan digantikan dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Utusan golongan dalam parlemen pada era Orde Baru adalah cerminan dari keragaman subyek politik, yang mencerminkan artikulasi kontingen yang jamak dalam pandangan demokrasi radikal.

Sedangkan DPD adalah simplikasi yang mengabaikan keragaman kepentingan dalam masyarakat. "Demokrasi yang ideal mesti dicirikan oleh artikulasi kepentingan yang jamak," katanya.

Ia mengatakan, dalam buku tersebut juga dijelaskan tentang Pancasila sebagai "Common Space" (wadah bersama).

Mouffe mengatakan salah satu masalah serius dalam demokrasi modern adalah bagaimana mengakomodasi pluralisme kepentingan dalam satu kebijakan yang betul-betul aspiratif.

Di Indonesia, kata Boni Hargens, mengalami hal yang sama seperti pro-kontra mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) dan Perda Anti-Pelacuran di sejumlah daerah tidak terlepas karena tidak adanya common space tersebut.

"Sebenarnya Pancasila merupakan common space yang sudah disepakati sejak awal berdirinya republik ini. Kebangkitan politik identitas yang memakai jubah agama sebetulnya bisa diredam jika masing-masing kelompok tidak saling berlomba `memperebutkan Indonesia`", katanya.
 
Back
Top