Deklarasi Djuanda

Dipi76

New member
14.jpg


Pada awal kemerdekaan Indonesia, persoalan wilayah (teritorial) menjadi salah satu isu strategis. Perdebatan yang terjadi di dalam BPUPKI ketika pembahasan wilayah republik menjadi buktinya. Akan tetapi, beragam pendapat yang muncul terbatas pada soal wilayah daratan. Tidak banyak tokoh republik pada waktu itu yang menyinggung pentingnya wilayah lautan, kecuali Muhammad Yamin.

Kondisi geografis Indonesia yang unik, banyaknya wilayah laut dibanding darat, menyadarkan pemerintah bahwa persoalan wilayah laut merupakan faktor penting bagi kedaulatan negara. Atas asumsi itulah Deklarasi Djuanda dideklarasikan pada 13 Desember 1957.

Berdasarkan fakta sejarah itulah maka sejak tahun 1999 setiap tanggal 13 Desember diperingati sebagai Hari Nusantara yang kemudian dikukuhkan berdasarkan Keppres No.126/2001 sebagai hari nasional.

Namun, dalam pembahasan terhadap lahirnya Deklarasi Djuanda, terdapat “masalah” kecil yang penting untuk dibicarakan, yaitu mengenai otentisitas ide.

Penggagas Ide Negara Kepulauan

Ide cemerlang yang terdapat dalam Deklarasi Djuanda adalah konsepsi negara kepulauan. Konsepsi itu mamandang “segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau dinyatakan sebagai bagian yang integral dari wilayah Indonesia.” Pendapat demikian pada waktu itu tidak lazim dalam hubungan antarnegara. Selain itu, kita hanya memiliki aturan hukum wilayah laut warisan dari Belanda. (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie/TZMKO, 1939), yang hanya mengatur lebar laut teritorial sejauh tiga mil saja.

Pemerintah menyadari bahwa wilayah perairan Indonesia banyak yang melebihi jarak 3 mil sesuai dengan TZMKO pasal 1 ayat 1. Dampaknya adalah terdapat laut bebas yang dapat dilalui oleh kapal-kapal asing dalam wilayah republik. Adanya laut bebas itu dikhawatirkan akan digunakan oleh kapal-kapal Belanda untuk mengganggu kedaulatan negara. Apalagi pada waktu itu kita masih bersengketa mengenai status Irian Barat.

Berdasarkan keterangan Mochtar Kusumaatmadja, saat itu menjadi salah satu tim penyusun RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, bahwa tim tersebut telah berhasil menyusun lebar laut teritorial seluas 12 mil sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam hukum internasional. Kemudian Chaerul Saleh (Menteri Veteran) mendatangi beliau dan tidak setuju dengan usulan tim penyusun. Alasannya adalah jika aturan diterapkan maka terdapat laut bebas antara pulau-pulau di Indonesia sehingga kapal-kapal asing bisa bebas keluar masuk. Hal tersebut jelas dapat “mengganggu” kedaulatan Indonesia yang masih berumur muda. Saran dari Chaerul Saleh adalah untuk menutup perairan dalam (Laut Jawa) sehingga tidak ada kategori laut bebas didalamnya. Mochtar lantas menjawab tidak mungkin karena tidak sesuai dengan hukum internasional saat itu dan berjanji untuk mendiskusikanya dengan tim.

Hari Jumat 13 Desember 1957, tim RUU Laut Teritorial menghadap kepada perdana menteri Djuanda. Beliau meminta untuk dijelaskan perihal hasil rancangan tim. Mochtar Kusumaatmadja sebagai ahli hukum internasional (hukum laut) tampil ke depan untuk menjelaskan. Kemudian diputuskan untuk menerima sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda.

Fakta di atas memunculkan tiga aktor penting hingga dikeluarkanya Deklarasi Djuanda, yaitu; Djuanda, Mochtar Kusumaatmadja dan Chaerul Saleh. Satu hal yang pasti ialah deklarasi Djuanda merupakan keputusan Djuanda karena posisi dia saat itu sebagai pengambil kebijakan. Lalu apakah ide negara kepulauan merupakan konsep dari Chaerul Saleh, karena berdasarkan kesaksian Mochtar di atas bahwa ide untuk menutup Laut Jawa merupakan saran dari beliau? jawabanya belum pasti, karena terbukti ide tersebut sudah dibahas oleh Muhammad Yamin dalam rapat BPUPKI tahun 1945. Mari kita lihat pernyataan M. Yamin dalam BPUPKI,

“Tanah air Indonesia ialah terutama daerah lautan dan mempunyai pantai yang panjang. Bagi tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau, maka semboyan mare liberum (laut merdeka) menurut ajarah Hugo Grotius itu dan yang diakui oleh segala bangsa dalam segala seketika tidak tepat dilaksanakan dengan begitu saja, karena kepulauan Indonesia tidak saja berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, tetapi juga berbatasan dengan beberapa lautan dan beribu-ribu, selat yang luas atau yang sangat sempit. Di bagian selat dan lautan sebelah dalam, maka dasar “laut merdeka” tidak dapat dijalankan, dan jikalau dijalankan akan sangat merendahkan kedaulatan negara dan merugikan kedudukan pelayaran, perdagangan laut dan melemahkan pembelaan negara. Oleh sebab itu, maka dengan penentuan batasan negara, haruslah pula ditentukan daerah, air lautan manakah yang masuk lautan lepas. Tidak menimbulkan kerugian, jikalau bagian Samudea Hindia Belanda, Samudera Pasifik dan Tiongkok Selatan diakui menjadi laut bebas, tempat aturan laut merdeka. Sekeliling pantai pulau yang jaraknya beberapa kilometer sejak air pasang-surut dan segala selat yang jaraknya kurang dari 12 km antara kedua garis pasang-surut, boleh ditutup untuk segala pelayaran di bawah bendera negara luaran selainnya dengan seizin atau perjanjian negara kita.”

Jika kita liat pernyataan M. Yamin di atas, khususnya bagian terakhir, beliau secara eksplisit menyebutkan untuk menutup wilayah laut pedalaman. Selain itu, terlihat dengan jelas bahwa beliau menguasai persoalan hukum laut internasional. Hal ini dikarenakan beliau memang salah satu ahli hukum yang brilian di zamannya. Mungkin tidak salah untuk mengakuinya sebagai pionir dalam pemikiran hukum laut.

Oleh karena itu, ada kemungkinan Chaerul Saleh berpendapat demikian dengan alasan strategis, yaitu demi menjaga kesatuan (integral) wilayah Indonesia, karena Chaerul Saleh mempunyai latar belakang militer.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa Mochtar menerima ide Chaerul Saleh padahal dia tahu bahwa usulan tersebut bertentangan dengan hukum internasional pada saat itu? Menurut Adi Sumardiman (Mantan anggota delegasi RI ke berbagai pertemukan Hukum Laut) ada kemungkinan Mochtar dipengaruhi pendapat Norwegia di mahkamah internasional pada kasus “Norwegian Fisheries Case” tahun 1951. Jadi sudah ada presedenya.

Jika benar asumsi Adi Sumardiman, maka Deklarasi Djuanda 1957 tidak sepenuhnya ide otentik Indonesia karena ada persinggungan ide dengan pendapat Norwegia, meskipun M. Yamin pernah menyinggungnya enam tahun sebelumnya.

Perihal siapa tokoh yang paling berperan, maka kembali pada persepsi masing-masing. Seperti kata Taufik Abdullah-ahli sejarah- dalam sejarah tidak ada pahlawan (tokoh) yang ada hanya pelaku sejarah. Namun, kolaborasi antara Djuanda, Chaerul Saleh dan Mochtar Kusumaatmadja telah berhasil merumuskan sebuah politik hukum yang menguntungkan kepentingan republik. Hebatnya, Deklarasi Djuanda dapat diterima oleh masyarakat internasional dan konsepsi negara kepulauan ditetapkan menjadi bagian hukum internasional dengan dicantumkannya dalam United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) pada tahun 1982.


Sumber: http://senandikahukum.wordpress.com


-dipi-
 
Back
Top