Persoalan Pengelolaan Ekonomi Indonesia

tenrie

New member
Dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI, sangat mungkin Konsep Pembangunan Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu 1999, yang disusun oleh Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) dan diterbitkan pada tanggal 29 Juni 1999, akan dipergunakan sebagai salah satu acuan pokok oleh pemerintah yang baru. Konsep tentang pemulihan ekonomi yang merupakan lampiran Pidato Politik Megawati pada tanggal 29 Juli 1999 juga akan dipergunakan sebagai acuan. Ditambah dengan GBHN hasil MPR 1999 ini, maka sebenarnya pemerintah yang baru ini tidak akan kekurangan konsep baik untuk mengatasi permasalahan ekonomi dalam jangka pendek maupun untuk pembangunan ekonomi dalam jangka menengah/panjang.

Agenda ekonomi jangka pendek untuk mengatasi krisis ekonomi, seperti yang disarankan oleh LPNU, meliputi upaya melakukan restrukturisasi pinjaman luar negeri swasta, menggerakkan kembali sektor riil, membantu golongan masyarakat yang terbawah/paling miskin, mengundang masuknya penanam modal asing, mendorong ekspor secara habis-habisan, serta melaakukan penyehatan APBN. Dalam Pidato Politik Megawati, dan kembali disebutkan dalam pidatonya setelah disumpah menjadi Wakil Presiden, masalah penegakkan hukum mendapat tekanan sebagai prasyarat memulihkan kembali kepercayaan, yang merupakan faktor utama bagi pemulihan kembali perekonomian nasional. Agenda ekonomi jangka menengah/panjang LPNU menekankan pada pembangunan perekonomian yang berdaya saing, mandiri dan berkeadilan. GBHN 1999 juga menekankan pada peningkatan daya saing serta aspek keadilan.

Di atas kertas, dan dari segi konsep, tampaknya tidak akan ada banyak kontroversi tentang arah dan garis besar pembangunan ekonomi, kecuali dalam bidang fiskal. Kritik utama terhadap konsep yang diajukan oleh LPNU adalah kecenderungan untuk menggunakan (dan "mengobral") insentif fiskal untuk beberapa tujuan tertentu, termasuk menarik masuk penanam modal asing. Selain salah sebagai prinsip, pada waktu disusun mungkin belum disadari bahwa Indonesia akan mengalami krisis fiskal yang berat untuk beberapa tahun mendatang ini. Dalam hubungan ini segera diperlukan rumusan baru bagi kebijaksanaan fiskal (APBN). Dalam lampiran Pidato Politik Megawati mulai disadari bahwa persoalan ini akan mengharuskan kita membuat pilihan-pilihan (trade-off) yang tidak mudah. PDI-P menganjurkan untuk menerapkan prinsip kemandirian dengan melakukan pengurangan dalam pinjaman luar negeri, dan sebagai konsekuensinya bersedia mengurangi pengeluaran pembangunan dan mengarahkannya pada beberapa sektor terpenting saja. Dalam jangka pendek diusulkan untuk melakukan restrukturisasi utang luar negeri pemerintah. Dalam jangka menengah diupayakan memobilisasi sumber-sumber ekonomi dalam negeri sendiri. Arah kebijaksanaan ini merupakan satu pilihan politik. Utang pemerintah yang sudah begitu besar dewasa ini membuat pilihan ini menarik. Tetapi ini bukan pilihan satu-satunya. Sangat mungkin, dalam jangka pendek/menengah ini pemerintah masih perlu untuk melakukan pinjaman luar negeri dalam jumlah yang tidak kecil. Bila demikian, masalah yang paling pokok adalah penggunaan yang tepat dari utang tersebut. Melanjutkan proses berutang ini menuntut adanya kepercayaan terhadap pemerintah dan prospek ekonomi Indonesia, konsistensi dan disiplin tinggi dalam kebijaksanaan dan dihilangkannya distorsi-distorsi dalam ekonomi. Dalam hubungan ini masalah pengelolaan ekonomi merupakan masalah yang sangat penting.

Catatan kecil ini mengetengahkan pemikiran mengenai pola pengelolaan ekonomi Indonesia yang dapat menghindarkan berulangnya praktik-praktik yang berkembang semasa pemerintahan Soeharto dan Habibie, yaitu KKN. Dengan perkataan lain, yang diutarakan di sini adalah suatu pola pengelolaan ekonomi yang kebal terhadap KKN.

Persoalan ini diangkat sebagai masalah pokok oleh karena pengalaman telah menunjukkan bahwa walaupun di atas kertas dapat dirumuskan strategi dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang baik, tetapi jika pelaksanaannya penuh dengan penyimpangan dan penyalahgunaan maka hasil yang diperoleh akan sangat jauh dari yang diharapkan. Pengalaman lainnya adalah bahwa memberantas KKN bukan hal yang mudah. Selain karena praktik-praktik itu sudah sedemikian mengakar, tidaklah gampang untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum yang sudah demikian rusak. Oleh karenanya yang perlu segera dilakukan adalah menghilangkan sumber-sumber dan kesempatan bagi KKN. Salah satu sumber utama adalah kebijaksanaan pemerintah, intervensi dan aktivisme pemerintah dalam bidang ekonomi.

Bersamaan dengan ini, masalah penadbiran (governance) harus ditangani untuk terus menerus meningkatkan transparansi, tanggung-gugat (accountability), dan efisiensi. Ini sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi dan penadbiran harus menjadi salah satu agenda nasional yang utama. Masalah ini juga bukan hanya dirumuskan di atas kertas tetapi harus segera dilaksanakan dalam setiap kegiatan ekonomi pemerintah, mulai dari penyusunan DIP (daftar isian proyek) yang harus transparan dan dapat dibaca oleh siapa saja. Dengan cara ini dapat dikurangi atau dihilangkan sumber-sumber dan kesempatan bagi KKN.

Tetapi selain perbaikan struktural-institusional ini, yang perlu diupayakan adalah menghilangkan sumber-sumber KKN yang bersifat sistemik yang bersumber dari berbagai kebijaksanaan, seperti kebijaksanaan perdagangan dan industri. Justru penerapan kebijaksanaan perdagangan dan industri seringkali menciptakan distorsi-distorsi yang memperlemah (bukan memperkuat) sendi-sendi perekonomian nasional. Ini disebabkan karena biaya dari penyimpangan itu tidak diketahui, atau sengaja disembunyikan, dan kebijaksanaan, intervensi dan aktivisme pemerintah disalahgunakan dan menjadi sumber pemburuan rente.

Kebijaksanaan industri yang bersifat selektif tidak diperlukan. Kebijaksanaan yang bersifat umum (seperti perbaikan prasarana) untuk menunjang kegiatan industri dapat diterapkan, tetapi kebijaksanaan serupa ini harus bersifat netral. Artinya, tidak memberikan perlakuan khusus atau memanjakan kegiatan/sektor tertentu. Kebijaksanaan perdagangan dengan menetapkan tarif impor (atau ekspor) secara selektif, yang memang menciptakan distorsi, juga menjadi seringkali menjadi tameng bagi kelompok vested interest atas nama memperkuat kemampuan nasional. Kalau kita memang belum bisa atau mau menerapkan kebijaksanaan perdagangan yang sepenuhnya terbuka, maka kebijaksanaan tarif yang dapat diterapkan adalah yang bersifat netral, yaitu tarif 5% atau 10% across-the-board yang berangsur-angsur diturunkan secara menyeluruh dan "diikat" di WTO. Bahkan dengan kebijaksanaan seperti ini, kita mungkin bisa memulai dengan tarif 12% pada tahun 2000 (tarif rata-rata sekarang) dan menurunkannya menjadi 2% pada tahun 2015.

Dengan menerapkan kebijaksanaan serupa ini peran pemerintah dalam perdagangan dan industri akan jauh berkurang. Aktivisme pemerintah sebaiknya berpindah ke bidang-biang lain, khususnya pendidikan dan upaya peningkatan sumber daya manusia. Ini pun tidak perlu dilakukan sendiri oleh pemerintah. Berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan secara luas dan meluas dapat diserahkan kepada kegiatan swasta bersifat laba atau nirlaba, dengan melibatkan LSM atau kegiatan lainnya, secara kompetitif, bertanggung-gugat, dan transparan. Inilah arah pengelolaan ekonomi yang paling tepat bagi Indonesia.
 
Back
Top