Countdown To Freedom (Part 1)

Randy_Muxnahtis

New member
(Note: cerita ini 100% fiksi, imajinasi penulis. Penulis dpt ilham cerita ini dr salah satu game NDS buatan Capcom "Phoenix Wright" ditambah bbrp cerita Detektif Conan)



Aku adalah seorang detektif kepolisian. Namaku Edmund. Sebagai detektif, aku memiliki reputasi yang cukup ternama di kota tempatku tinggal. Akan tetapi, saat ini, aku sedang menghadapi sebuah kasus yang aneh, yang bahkan tak akan kau temukan di buku atau film cerita detektif yang kau tau. Aku akan menceritakan sedikit tentang "latar belakang" kasus yang sedang aku hadapi ini.

Cerita ini mulai sekitar 4 hari lalu. Aku sedang bermain catur dengan salah seorang keponakanku di kantor tempat aku bekerja ketika datang seorang pria paruh baya dengan terengah-engah, hendak menemuiku. Pria itu mengaku bahwa dia telah membunuh seorang pria, usia 28 tahun, sesungguhnya, korban adalah calon menantunya. Pria paruh baya ini (kemudian akan aku sebut sebagai "klien") membawa sebuah tas koper cukup besar. Sebelum klien-ku itu membuka tas kopernya, dia meminta keponakanku untuk meninggalkan kami. Maka, pergilah keponakanku itu, dan klien-ku membuka tas kopernya. alangkah terkejutnya aku, karena isi koper itu adalah sebuah pisau dapur, berukuran cukup besar, dan masih berlumuran darah segar. Tanpa segan-segan, dia mengakui perbuatanya kepadaku, bahwa dia telah membunuh seorang pria, yang merupakan calon menantunya. Dia juga menyerahkan kepadaku sebuah amplop coklat, yang setelah kubuka, berisi data diri korban. Korban bernama Kenny, usia 28 tahun, seorang pegawai kantoran biasa. Selain itu, amplop tersebut juga terdapat beberapa lembar foto korban. Tampak korban ditikam dengan pisau dapur yang sedang kuperiksa. Malah, ada 1-2 lembar foto yang memperlihatkan bahwa klien-ku ini sedang memegang pisau tersebut. Yang lebih buruk lagi, klien-ku juga mengeluarkan sebuah kantong plastik bewarna hitam, dan, ketika klien-ku itu mengeluarkan isinya, aku nyaris muntah karena mual, tampak sepotong telinga manusia. Klien-ku itu juga menjelaskan dengan rinci, bagaimana dia membunuh korban tersebut. Klien-ku juga menjelaskan bahwa dia bernama Alvin, usia 45 tahun. Dia juga memiliki seorang istri, Agatha, usia 43 tahun. Putrinya, yang juga kekasih korban, berusia 27 tahun, bernama Juliet. Agatha, 43 tahun, bekerja sebagai seorang juru masak di sebuah restoran. Klien-ku meneceritakan dengan rinci, bahwa dia membunuh korban dengan menggunakan salah satu pisau milik istrinya, makanya pisau tersebut berukuran cukup besar, karena itu sesungguhnya adalah pisau untuk memotong daging.

Dalam ceritanya lebih lanjut, aku mengetahui bahwa korban dan Juliet, pertama kali bertemu di sebuah gereja, karena mereka berdua memiliki agama yang sama. Pada masa awal, Juliet dan Kenny hanya kenal sebagai teman gereja biasa. Namun, karena sering bertemu, getaran rasa cinta di antara mereka secara perlaha namun pasti, muncul. Dan mereka pun menjadi sepasang kekasih. Alvin dan Agatha, secara umum, tidak merasa keberatan dengan hubungan mereka. Secara singkat, semua bukti sudah jelas bahwa Alvin ini adalah pelaku pembunuhan Kenny. Dia sendiri juga sudah mengakuinya. Akan tetapi, ketika aku akan membawa klien-ku tersebut ke kantor polisi, dia berkata kepadaku, "Tuan Edmund, saya sudah mengakui seluruh kejahatan saya kepada anda. Dan saya juga siap untuk menerima ganjaran atas kejahatan saya tersebut. Akan tetapi, saya ingin menantang anda dan juga pihak kepolisian di kota ini." Aku yang sedang mengambil borgol, tertegun mendengar ucapanya. "Apakah tantangan anda tersebut?" tanyaku, membatalkan rencanaku untuk mem-borgol dia. Karena, jujur saja, sepanjang aku menghadapi kasus kriminal, baru kali ini ada penjahat yang justru menantangku dan pihak kepolisian secara terang-terangan. "Saya sudah mengakui kejahatan saya. Akan tetapi, saya belum menjelaskan alasan atau motif saya membunuh korban, yang sekaligus calon menantu saya. Nah, tantangan dari saya sederhana saja. Saya tantang anda dan pihak kepolisian untuk menemukan apa motif saya membunuh korban. Anda mempunyai waktu selama 30 hari untuk mencari tau kebenaran dari kasus ini. Apabila anda dan pihak kepolisian berhasil menemukan motif saya membunuh, maka saya akan dengan rela dan tulus masuk penjara untuk proses hukum lebih lanjut." Dia diam sebentar, tersenyum cukup hangat. "Akan tetapi," dia melanjutkan, "apabila anda dan pihak kepolisian tidak berhasil menemukan apa motif saya membunuh korban, maka saya dinyatakan bebas secara penuh sama-sekali, tanpa embel-embel apa-pun. Selamat siang." Katanya sambil berjalan ke pintu keluar, dan membiarkanku sendiri, bingung.


Countdown To Freedom (Part 2)

Maka, aku menerima tantangan dari klien tersebut. Hari berikutnya, klien-ku itu meneleponku. Dia berkata bahwa aku dan pihak kepolisian boleh meng-interogasinya sesuai kehendak kami, bahkan mendatangi tempat tinggalnya, bertanya kepada sejumlah saksi, dan sebagainya, asalkan tantangan yang dia berikan masih tetap berlaku. Maka, aku dan beberapa orang polisi mendatangi rumah Alvin. Aku mendatangi kediaman Alvin dengan beberapa orang polisi. Alvin adalah seorang yang amat sangat kaya raya. Hal itu terbukti dari rumahnya yang sangat mewah, mobilnya pun juga berharga minimal 1 milyar. Di tempat tersebut, kami bertanya kepada seluruh penghuni rumah. Meskipun Juliet masih dirundung duka karena kematian kekasihnya, namun kami tetap harus menjalankan tugas kami sebagai detektif dan polisi. Dari keterangan seluruh penghuni rumah tersebut, kami menyimpulkan bahwa memang klien-ku, Alvin pelakunya. Tapi, tak ada satupun dari mereka yang mengetahui apa alasan Alvin membunuh calon menantunya, termasuk Juliet, sebagai kekasih korban. Setelah kami bertanya ke orang-orang tersebut, kami melakukan olah TKP. Ketika kami mengolah TKP, kami berpencar menjadi 2 tim. Tim yang pertama bertugas untuk mengolah TKP, sedangkan tim yang kedua bertugas untuk mewawancarai tetangga sekitar. Sebagai detektif, otomatis aku masuk dalam tim pertama. Ternyata, hampir tak ada yang bisa dilakukan dalam hal olah TKP, karena situasi TKP, yang merupakan dapur rumah Alvin sendiri, sama persis dengan apa yang tampak di foto yang Alvin perlihatkan padaku di hari sebelumnya, kecuali mayat sudah dibawa ke sebuah rumah sakit untuk diproses lebih lanjut.

Tak berapa lama kemudian, tim kedua kembali ke bergabung, dan, menurut hasil wawancara mereka atas tetangga sekitar, tetangga bahkan tidak mengetahui kejadian ini. Jujur saja, aku menjadi merasa ada sesuatu yang janggal dalam kasus ini. Perilaku kelaurga Tuan Alvin amat sangat aneh. Tuan Alvin dan istrinya mendukung hubungan asmara anak mereka, Juliet, dengan si korban. Juliet sendiri juga tampak sangat mencintai korban. Tapi kenapa Tuan Alvin membunuh korban? Istrinya juga tampak tenang, dan malah, cenderung mendukung kejahatan suaminya. Seolah mereka berdua memang sepakat untuk membunuh korban dengan alasan yang sedang aku cari tahu. hanya Juliet yang tampak terpukul atas kematian korban. Kesimpulanku jelas, Tuan Alvin dan Nyonya Agatha seolah-olah bersekongkol untuk mebunuh Kenny. Hanya Juliet yang tidak mengetahui rencana mereka, dan, setahu Juliet, Kenny tidak pernah berbuat sesuatu yang buruk terhadap keluarga tersebut. Jadi, seharusnya, Tuan Alvin tidak punya motif untuk mebunuh. Tapi, pada hari sebelumnya, justru Tuan Alvin sendiri yang mengatakan bahwa dia punya motif untuk membunuh, dan itu yang harus aku cari tahu sendiri, dengan taruhan kelau aku tidak berhasil menemukan motifnya dalam waktu 30 hari, maka dia akan dianggap bebas. Setelah seharian berada di rumah Tuan Alvin dan tidak menemukan petunjuk apa-pun, akhirnya kami meninggalkan tempat tersebut untuk pergi ke rumah sakit untuk mengetahui lebih jauh tentang kondisi korban. tetapi, di sini, lagi-lagi kami menyebar menjadi 2 tim. Tim pertama pergi ke rumah sakit. Tim kedua kembali ke markas polis dengan membawa Tuan Alvin sebagai tahanan. Tuan Alvin tidak tampak keberatan dibawa ke markas polisi. "Asalkan kita masih 'bermain', saya tidak merasa masalah," kata Tuan Alvin sambil tersenyum ramah ketika dia masuk ke dalam mobil polisi. Nyonya Agatha juga dibawa ke markas polisi. Meskipun status Nyonya Agatha masih belum jelas sebagai tersangka atau pelaku atau saksi, namun jelas bahwa dia juga memegang kunci penting untuk kasus ini.Aku memutuskan untuk bergabung dalam tim yang akan melihat kondisi korban lebih jauh. Maka, aku dan tim pergi ke rumah sakit. Di rumah sakit, aku melihat kondisi korban juga sama persis seperti di foto yang Tuan Alvin perlihatkan.

Sepertinya tak ada yang bisa kulakukan lagi di hari itu. Maka, aku pulang sambil berpikir keras. Dari semua sudut pandang, sudah jelas bahwa memang Tuan Alvin-lah pelakunya. Tapi aku tidak tahu mengapa istrinya juga (kesimpulanku sementara) bersekongkol dengan suaminya. Lalu, yang menjadi pertanyaan terbesar, apa motifnya, dan apa maksud Tuan Alvin menantang aku dan pihak kepolisian? Hari berikutnya, aku memutuskan untuk kembali menginterogasi Juliet, sebagai kekasih korban, dia pasti lebih mengenal korban. Mungkin saja dengan menginterogasi Juliet, aku bisa menemukan petunjuk kemungkinan alasan Tuan Alvin membunuh Kenny. "Aku pertama kali bertemu Kenny di sebuah gereja. Pertama-tama, kami hanya kenal sebagai teman gereja biasa. Namun, lama kelamaan, kami jadi semakin dekat dan akhirnya kami pacaran. Setelah beberapa waktu kami pacaran, kami pun mulai berkenalan dengan anggota keluarga. Saya memperkenalkan Kenny kepada orang tua-ku. Kenny juga memperkenalkan aku kepada orang tuanya. Secara umum, setahuku, kami tidak ada masalah. Jadi, aku benar-benar tidak mengerti kenapa ayahku tega membunuhnya," hanya itu keterangan yang bisa kuperoleh dari Juliet di hari itu. Aku mencoba menggali informasi lebih jauh. "Di gereja mana pertama kalian bertemu?" aku bertanya. Juliet menyebutkan nama gerejanya. "Hm.. mungkin aku bisa menemukan petunjuk di sana," kataku dalam hati. Setelah itu, aku bertanya tentang bagaimana Kenny ketika dia masih hidup dan ketika mereka pacaran. "Dia adalah laki-laki yang biasa saja. Dia berasal dari keluarga sederhana. Dia pernah cerita bahwa dia jago bermain catur, bahkan pernah menang lomba catur tingkat propinsi. Dia sering bermain catur bersama ayahku, dan, mungkin ada, dari 10 kali mereka bermain, Kenny menang 7 atau 8 kali." "Hm... catur ya? Aku tidak yakin apakah itu cukup berharga untuk kujadikan sebagai data. Tapi ada baiknya aku simpan informasi ini sebagai informasi tambahan, karena menurutku, masalah catur adalah masalah sepele, dan mungkin tidak ada hubunganya dengan kasus ini. Maksudku, tidak mungkin Tuan Alvin sampe nekad membunuh hanya karena gara-gara kalah bermain catur. Lagipula, menurut keterangan Juliet, Tuan Alvin dan Kenny, tidak pernah terlibat cek-cok yang besar. Meskipun Tuan Alvin kalah dalam bermain catur bersama Kenny, menurut keterangan Juliet, mereka hanya menganggap itu sebagai sebuah permainan biasa. Bahkan, Tuan Alvin justru bangga mempunyai calon menantu yang memiliki keahlian bermain catur," aku berpikir keras. Namun, akhirnya, aku menyimpulkan bahwa motif Tuan Alvin membunuh Kenny, bukan gara-gara kalah dalam bermain catur. Setelah menginterogasi Juliet selama kira-kira 3 jam, aku pergi ke markas polisi untuk menginterogasi Tuan Alvin beserta istrinya. Sebetulnya, alasan aku ingin mengiterogasi Tuan Alvin berserta istrinya adalah untuk mencocokan data yang sudah kuperoleh dari Juliet. Maka, di ruang interogasi, aku menceritakan informasi yang berhasil kuperoleh dari Juliet. "Ah, ya," kata Tuan Alvin sambil tersenyum senang. "Kenny, dia sangat mahir dalam bermain catur. Saya bangga mempunyai calon menantu seperti dia. Karena, orang yang pandai bermain catur adalah orang yang cerdas. Dan, biasanya, orang yang bermain catur, sangat pandai dalam membuat strategi. Hm, kalau dia menikah dengan Juliet, dia bisa membantu saya dalam menyusun strategi bisnis saya. Pasti bisnis saya bisa lebih maju dengan strategi yang dibuat Kenny. Wah, kalau dia sepintar itu dalam strategi bisnis, saya akan mewariskan 1 atau 2 perusahaan saya kepadanya. Saya percaya dia bakal berhasil," demikian komentar Tuan Alvin ketika aku menceritakan tentang keahlian Kenny dalam bermain catur, seperti yang diceritakan oleh Juliet. "Menurut cerita anak anda, Juliet, anda sering bermain catur bersama Kenny, dan anda sering kalah jika bermain catur bersama Kenny..." aku agak ragu-ragu untuk meneruskan perkataanku. Tuan Alvin mengangkat alisnya, dia bahkan tersenyum jenaka, "ayolah, anda tidak berpikir, karena saya sering kalah dalam bermain catur dengan Kenny, kemudian saya menjadi dendam terhadap Kenny dan lantas membunuhnya, kan?" katanya seakan membaca pikiranku. "Tidak, tidak," katanya lagi sambil menggelengkan kepala, masih tersenyum. "Saya justru bangga mempunyai calon menantu cerdas seperti Kenny itu, tidak mungkin saya membunuh Kenny hanya karena saya kalah bermain catur." Mau tidak mau aku juga ikut tersenyum. "Memang pikiran yang konyol," aku menyetujui dalam hati, "sangat tidak mungkin dan sangat konyol apabila Tuan Alvin membunuh Kenny hanya karena kalah dalam bermain catur." Sepertinya aku tidak bisa memperoleh keterangan lebih jauh lagi dari Tuan Alvin. Maka, kami menyudahi intogasi itu, Tuan Alvin kembali ke sel tahananya, sedangkan aku pulang ke rumah sambil berpikir keras. "Apa, kalau begitu?" pikiranku berputar, "apa motifnya?"

Sudah sekitar 2-3 hari sejak aku menerima kasus ini, dan aku masih buntu. Maka dari itu, aku kemudian memutuskan untuk mencari informasi dari keluarga Kenny. Aku mengunjungi kediaman Kenny. Dan, seperti yang diceritakan oleh Juliet, Kenny adalah keluarga yang sederhana. Orang tuanya masih shock karena kematian anak mereka, dan mereka juga tidak mengerti apa alasan Tuan Alvin membunuh anak mereka. Secara singkat, keterangan yang berhasil kuperoleh dari keluarga Kenny, juga sama seperti yang kudapat dari Juliet dan Tuan Alvin. "Apa? Apa motifnya?" pikiranku terus berputar di sepanjang sisa hari itu.



Countdown To Freedom (Part 3)

Esok harinya, aku memutuskan untuk mengunjungi gereja di mana Juliet betremu dengan Kenny untuk pertama kalinya. Gereja itu berukuran sedang dan cukup indah. Gereja itu memiliki taman dan beberapa kursi di taman tersebut. Aku memutuskan untuk mencoba mencari informasi tentang Juliet dan Kenny sebagai jemaat gereja tersebut. Maka, aku masuk ke dalam ruang sekretariat gereja tersebut. Pengurus gereja tersebut tidak terlalu memperhatikan Kenny dan Juliet, karena ada begitu banyak jemaat gereja tersebut, sehingga tidak mungkin untuk mengingat satu-persatu. Namun, pengurus gereja tersebut kadang-kadang melihat, memang ada sepasang kekasih yang "unik", karena, setelah selesai ibadat, sepasang kekasih tersebut sering duduk-duduk di bangku taman gereja, asyik bercengkrama, sampai seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Rupanya, mereka bercengkrama, sambil menunggu sang perempuan untuk dijemput pulang oleh seorang pria yang jauh lebih tua, yang kalau menurut pengurus gereja, pasti ayah si perempuan tersebut. Yang "unik" dari pasangan tersebut, menurut keterangan pengurus gereja, sang pria suka bermain catur dengan ayah sang perempuan di bangku taman gereja. Bahkan, sang pria sampe mebawa sebuah tas kecil ketika sedang ibadat, dan, selesai ibadat, ketika ayah sang perempuan datang untuk menjeput sang perempuan, sang laki-laki sering bermain catur bersamanya. Ayah tersebut juga tampak sering kalah dalam bermain catur. Rupanya, tas yang dibawa oleh pemuda tersebut berisi buah-buah catur, dan pemuda tersebut tidak membawa papan caturnya, karena, di salah satu bangku taman gereja, ada bangku yang memiliki motif dan ukuran seperti papan catur. Padahal, hal itu dimaksudkan hanya sebagai hiasan taman gereja, namun, rupanya pemuda tersebut sedemikian kreatif dan hobi bermain catur, sehingga bangku taman tersebut malah dijadikan sebagai alas catur sungguhan. hanya itu keterangan yang berhasil kuperoleh dari pengurus gereja. Meskipun si pengurus gereja tidak mengetahui nama pemuda tersebut, dan kekasihnya, dan ayah sang kekasih, namun dari ciri-ciri yang disebutkan, aku yakin bahwa itu tak lain dan tak bukan adalah Kenny, Juliet, dan Tuan Alvin. Aku pamit keluar dari ruang sekretariat gereja dan bergeas mengunjungi taman gereja tersebut. Dengan mudah, aku menemukan bangku yang mempunyai motif seperti papan catur, persis seperti yang diceritakan oleh pengurus gereja.

Aku memeriksa bangku tersebut sambil membayangkan bagaimana Kenny dan Tuan Alvin bermain catur di bangku tersebut. Namun, tak ada petunjuk penting yang bisa kuperoleh. Tapi, aku kemudian terpaksa membuat kesimpulan, yang aku sendiri juga mengakui, sebuah kesimpulan konyol, bahwa kemungkinan Tuan Alvin membunuh Kenny karena catur. Tapi apa penyebab pastinya? Kalau Tuan Alvin membunuh Kenny hanya karena dia kalah bermain, itu tidak cukup kuat untuk menjadi motif membunuh. Konyol malah iya! Tapi, kalau bukan karena catur, lantas apa motifnya? Karena menurut keterangan yang berhasil aku kumpulkan, Kenny tidak mempunyai masalah besar dengan keluarga Juliet. Aku memejamkan mataku, dunia terasa berputar. Apa? Apa motifnya?

Aku memutuskan untuk kembali ke kantor polisi untuk kembali menginterogasi Tuan Alvin. Kali ini, aku ingin memakai alat "lie detector" untuk menginterogasi Tuan Alvin. "Ha-ha-ha, anda rupanya berpikir saya berbohong dalam memberi keterangan kepada anda kemarin lalu. OK, silahkan saja anda menginterogasi saya dengan alat 'lie detector', saya tidak keberatan, malah bagus, karena itu akan membuktikan bahwa saya berkata jujur 100%," ada nada menantang dalam perkataan Tuan Alvin ketika tubuhnya dihubungkan dengan alat tersebut. Singkat cerita, hasil interogasi tersebut menunjukan hasil negatif, yang berarti, keterangan yang Tuan Alvin berikan kepadaku adalah jujur 100%. Dengan rasa marah dan frustasi aku meninggalkan kantor polisi, namun, di dalam hatiku, aku juga setuju, Tuan Alvin tidak mungkin membunuh Kenny hanya karena dia kalah bermain catur. Sudah seminggu aku menerima kasus ini, dan aku masih berputar-putar di tempat. Aku menarik napas dalam-dalam, dan memejamkan mataku. Berpikir keras. Kenapa Tuan Alvin tidak berbohong dalam memberikan informasi? Permainan apa yang dia mainkan? Kenapa dia menantang polisi? Kenapa dia tidak keberatan kami perlakukan sesuai "kehendak" kami? Kenapa catur terus muncul dalam penyelidikanku? Apa motifnya? Pikiranku terus berputar. Aku terjebak di jalan buntu, pikirku getir.

Beberapa jam kemudian, ketika pikiranku sudah tenang, aku pergi ke rumah Tuan Alvin dengan sejumlah orang polisi. Aku akan menggeledah rumah Tuan Alvin untuk mencari petunjuk apa kira-kira, motif Tuan Alvin membunuh. Aku melakukan penggeledahan tersebut dengan rasa marah, frustasi, bingung, harap-harap-cemas. Jika sudah seperti ini, biasanya aku akan membutuhkan jasa seorang psikolog, dan beberapa obat penenang, karena, jujur saja, aku ini termasuk orang yang gampang merasa stress apabila aku menemui jalan buntu dalam kasus. Tentu saja, hal itu bukan berarti aku menyerah dalam kasus, hanya saja, pikiranku perlu ditenangkan sedikit. Apabila aku tidak berkonsultasi dengan psikolog dan menelan beberapa obat penenang, maka pikiranku akan menjadi kacau sebagai dampak dari stress. Aku bahkan bisa saja menendang TV di rumah sampe kacanya pecah, menyerang tanpa sebab yang jelas siapa-saja yang kebetulan sedang berada di dekatku tanpa perduli dia kawan atau lawan, atau mengigit orang yang saat iu sedang berada di dekatku, aku bahkan bisa saja berguling-gulingan di lantai. Apabila saat itu tidak ada orang di sekitar, maka, sebagai gantinya, aku memukuli diriku sendiri. Jika sudah seperti itu, aku akan berhenti sampe stress-ku reda, dan itu bisa berlangsung selama kira-kira 30 menit. Maka dari itu, sebaiknya aku berkonsultasi dengan seorang psikolog dan menelan beberapa obat penenang atau kejadian yang lebih buruk akan terjadi. Dan itu akan kulakukan setelah aku selesai menggeledah rumah Tuan Alvin.

Dari hasil penggeladahan, aku menemukan beberapa hal menarik, terutama, di perpustakaan Tuan Alvin, aku menemukan cukup banyak buku tentang penyakit kejiwaan. Apakah ada kerabat Tuan Alvin yang menderita masalah kejiwaan? Atau Tuan Alvin memang tertarik dengan hal-hal kejiwaan? Atau Tuan Alvin adalah bekas seorang bekas dokter jiwa? atau jangan-jangan, Tuan Alvin sendiri yang menderita masalah kejiwaan? pertanyaan itu muncul dalam benakku. Aku memutuskan untuk mempelajari buku tersebut lebih jauh besok, maka aku mebawa pulang buku-buku tersebut. Aku segera meninggalkan rumah Tuan Alvin dan pergi ke seorang psikolog langgananku. Seperti yang dulu-dulu, aku berkonsultasi tentang masalah stress yang kuhadapi karena kasus ini, dan psikolog itu memberikan layanan konseling serta aku disuruh minum beberapa obat penenang agar pikiranku tenang. Setelah selesai layanan konseling, aku tidak pulang ke rumah, tetapi aku pergi ke sebuah taman rekreasi untuk membuat pikiranku lebih tenang, dan juga, aku akan membaca-baca sekilas buku yang berhasil aku temukan di rumah Tuan Alvin. Maka, di taman rekreasi, aku mencari bangku kosong, menemukanya, dan mulai membaca. Aku mebaca salah satu buku hingga kira-kira seperempat bagian. Setelah itu, aku berkeliling tempat rekreasi tersebut, bermain beberapa permainan, dan akhirnya pulang. Di rumah, aku meredupkan lampu, memutar kaset musik yang lembut, membakar zat aroma-terapi yang aromanya membuat pikiranku lebih tenang, meminum sedikit wine sambil menikmati suasana, dan akhirnya aku tidur dengan pikiran tenang karena kombinasi konseling, obat tenang, taman rekreasi, musik yang lembut, dan aroma-terapi.

Esok harinya, aku pergi ke markas kepolisian untuk bertanya lebih jauh tentang buku-buku tentang masalah kejiwaan yang aku temui di perpustakaan Tuan Alvin. Ternyata, aku mendapat reaksi yang tak kuduga sebelumnya. Begitu Tuan Alvin melihat buku yang kubawa, dia berusaha menyembunyikan gelagat terkejut. Tapi daya observasiku sudah terlatih, dan, sepertinya dia menyadari bahwa dia tampak salah tingkah di depanku. Maka, Tuan Alvin pun buru-buru menjelaskan bahwa alasan kenapa dia terkejut karena buku yang aku bawa, adalah karena dia takut dan merasa minder. Maklum, sebagai orang yang terpandang, maka apabila ketahuan bahwa dia menyimpan buku-buku kejiwaan di rumahnya, akibatnya akan menjadi desas-desus tidak sedap di masyarakat. Lebih jauh lagi, dia menjelaskan bahwa salah seorang temanya bekerja sebagai seorang ahli kejiwaan, Tuan Alvin merasa tertarik dalam masalah kejiwaan, maka dia pun membeli buku-buku tersebut. Tapi, tetap saja, ketika dia menjelaskan kepadaku perihal buku tersebut, dia tampak menyembunyikan sesuatu. Benar-benar janggal. "OK, kalau anda tidak mau berkata jujur, ga masalah. Nanti saya akan kembali menggeledah rumah anda. Kita lihat nanti, seberapa pandai anda berbohong," kataku dalam hati. Maka, itulah yang kulakukan sepulang dari markas kepolisian. Dan, lagi-lagi, hasil penggeledahan ini tidak sia-sia. Aku menemukan sejumlah obat penenang, dan macam-macam obat untuk masalah penyakit kejiwaan lainya di rumah Tuan Alvin. "OK, ini semakin aneh saja. Kalau Tuan Alvin hanya tertarik akan masalah kejiwaan, maka seharusnya dia tidak perlu sampe membeli obat penyakit kejiwaan segala." aku berkomentar kepada diriku sendiri, lalu menyimpan obat-obatan tersebut di sebuah kantong plastik cukup besar, untuk kujadikan sebagai barang bukti. Setelah itu, aku juga menemukan beberapa kaset video, dvd film tentang maslaha kejiwaan. beberapa di antaranya berupa film dokumentasi, sharing orang-orang yang memiliki masalah kejiwaan, beberapa lainya film-film fiksi tentang orang yang memiliki masalah kejiwaan. AKu juga mengambil itu semua sebagai barang bukti. Sepertinya tidak ada hal lain yang bisa kulakukan di rumah Tuan Alvin. "OK, sekarang waktunya untuk kembali mnginterogasi Tuan Alvin," kataku sambil tersenyum.

Di ruang interogasi, "Tuan Alvin, apakah anda tau, apa yang saya bawa?" kataku sambil memperlihatkan hasil penggeledahanku. "Kurang ajar!" Anda berani menggeledah rumah saya tanpa ijin!" demikian dia bereaksi. Tuan Alvin sangat terkejut, marah, dan juga takut. "OK, anda yang mebuka kartu anda sendiri," kataku masih tenang. "Kesimpulanya sederhana, anda tidak tertarik sama-sekali dengan masalah kejiwaan. Tetapi, justru anda sendiri yang memiliki masalah kejiwaan!" kataku lagi. Kemudian aku menjelaskan alasan kenapa aku membuat kesimpulan demikian, "anda mengatakan kepada saya sebelumnya bahwa anda tertarik dengan masalah kejiwaan. Akan tetapi, sangat tidak wajar apabila anda sampe membeli obat untuk penyakit kejiwaan, kecuali apabila anda atau salah seorang anggota keluarga anda memiliki penyakit kejiwaan. Dan, saya yakin, anak anda, atau istri anda, ataupun juga pembantu rumah anda, tidak ada yang menderita penyakit kejiwaan. Maka, jelas bahwa anda memiliki masalah penyakit kejiwaan. Dan, saya yakin, bahwa alasan kenapa anda membunuh Kenny, calon menantu anda sendiri, berhubungan dengan penyakit kejiwaan yang anda derita!" aku mengakhiri penjelasanku. Tuan Alvin tampak shock selama beberapa saat, namun dia berhasil menguasai dirinya. "Wah, wah, wah, betul-betul kesimpulan yang hebat, Tuan Detektif. Baiklah, saya mengaku bahwa saya memang punya penyakit kejiwaan. Kesimpulan yang barusan anda ceritakan, itu 100% benar," dia diam sebentar, tersenyum agak getir. "Tapi, anda masih belum menemukan motif saya membunuh Kenny. Memang benar, tebakan anda saya membunuh Kenny ada hubunganya dengan masalah penyakit jiwa yang saya derita, saya mengakuinya," dia tersenyum dingin, lalu meneruskan, "tapi, apakah anda bisa mencari tau apa alasan yang lebih tepatnya?" Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruang interogasi, seakan mencari sesuatu, rupanya dia mencari kalender, setelah dia menemukanya, dia berkata lagi kepadaku, "anda sudah menghabiskan waktu sekitar 10 hari. Waktu anda tinggal 20 hari lagi. Nah, apabila anda sudah selesai dengan saya di sini, silahkan anda pergi. Syaa ingin kembali beristirahat di sel tahanan saya yang tenang dan damai. Selamat sore." Dia menutup pembicaraan.


Countdown To Freedom (Part 4)

Dengan rasa marah dan kalah, aku meningalkan markas kepolisian. Aku mengakui memang benar perkataan Tuan Alvin barusan. Aku memang berhasil menebak bahwa motif kejahatan Tuan Alvin memang berhubungan dengan masalah kejiwaan Tuan Alvin, akan tetapi, aku masih tidak bisa menebak, apa alasan pastinya? Aku kembali ke kediaman Tuan Alvin utnuk menginterogasi Juliet, berharap bisa mendapat petunjuk. Aku memperlihatkan kepadanya semua bukti-bukti yang berhasil aku sita. "Ah, ya, ayah memang mempunyai masalah kejiwaan. Tapi saya sendiri tidak paham penyakit ayah tersebut, bahkan para ahli kejiwaan di kota ini pun juga tidak bisa mengidentifikasi kelainan ayah. Secara singkat, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa situasi kejiawaan ayah tidak bisa ditebak. Ayah sering tampak bengong, memikirkan suatu hal yang ada di benaknya, dan apabila hal itu terjadi, dia seakan-akan berada di dalam dunianya sendiri, dan itu bisa berlangsung selama kira-kira 1 jam," kata Juliet. Aku semakin frustasi. Aku segara meninggalkan rumah Tuan Alvin dan pergi ke psikolog langgananku untuk kembali berkonsultasi. "Anda jangan begitu. Saya paham bahwa anda memang memiliki reputasi detektif terbaik di kota ini. Nah, karena anda terlalu khawatir reputasi anda hancur hanya karena kasus ini, anda sampe memaksakan diri anda. Bahkan, ini sudah kedua kalinya dalam minggu ini anda berkonsultasi dengan saya. Sebaiknya anda beristirahat sejenak, barang 1 atau 2 hari supaya pikiran anda tidak tegang. Toh, anda masih punya cukup banyak waktu kan?" demikian tanggapan psikolog langgananku tersebut. Aku kemudian menceritakan tentang masalah kejiwaan yang dimiliki oleh Tuan Alvin dan betapa aku sedang frustasi untuk mencari tau, kelainan jiwa apa yang dimiliki oleh Tuan Alvin. Psikolog mendengarkan ceritaku dengan serius. "Hm," dia kembali berbicara setelah aku selesai bercerita, "saya harus mengakui, penyakit kejiwaan Tuan Alvin ini, kalau dari cerita anda, itu belum pernah saya tangani. Kalau anda tadi mengatakan bahwa dia seakan hidup dalam dunianya sendiri, itu sudah menjurus ke gejala autisme. Tapi, sepertinya kasus Tuan Alvin ini lebih parah daripada gejala autisme pada umumnya," katanya meneruskan. Aku segera mengeluarkan barang-barang bukti yang kudapat dari rumah Tuan Alvin dan memperlihatkanya kepada si psikolog tersebut. Dia mengamat-amati jenis-jenis obat dan buku-buku yang kuperlihatkan, tetapi dia tidak tampak tertarik sama-sekali pada kaset video dan dvd. "Anda simpan saja kaset-kaset itu. Kalau anda sempat, coba anda nonton satu atau dua film itu, supaya anda bisa refreshing sejenak," katanya sambil tersenyum. "Nah," katanya lagi ketika dia selesai mengamati obat dan buku, "secara umum, obat-obatan dan buku-buku ini membahas tentang penenangan jiwa. Sepertinya Tuan Alvin memiliki masalah kejiwaan yang sangat tidak stabil sehingga dia harus mengonsumsi obat-obatan seperti ini. Mungkin alasan kenapa dia sampe membunuh korban, ada kaitanya dengan ini?" katanya lagi. Aku mengangkat alis, "maksud anda, Tuan Alvin seorang pembunuh psikopat?" tanyaku ragu-ragu. Psikolog itu menarik napas sebelum menjawab, "yah, kalau dari cerita anda, kesimpulan yang paling mungkin hanya itu. Mungkin Tuan Alvin seorang psikopat."

Sampe di rumah, aku masih merasa meraba-raba dalam kegelapan, meskipun psikolog sudah memberikan sedikit titik terang tentang kemungkinan Tuan Alvin membunuh Kenny karena dia seorang psikopat. Kalau benar dia seorang psikopat, tapi dia tampak normal-normal saja. Dan, dia tampak tenang dan terkendali baik secara fisik, jiwa, dan emosi. Apa, apa yang ada di benak Tuan Alvin? Merasa buntu, aku memutuskan untuk melupakan kasus ini sejenak. "Hm, mungkin ada benarnya saran psikolog ini, aku emang terlalu tegang dan ketakutan akan reputasiku sehingga aku terlalu memaksakan diri," aku melihat kalender sekilas, masih ada sekitar 18 hari. "Yah, mungkin sebaiknya aku beristirahat sejenak." Maka, aku pun memasang musik irama lembut, membakar aroma-terapi, meredupkan lampu, dan meminum wine. Sekitar 10 menit kemudain, aku kembali menyalakan lampu dan mematikan musik. Aku akan mencoba menonton salah satu video yang kusita dari rumah Tuan Alvin. Aku memilih film yang judulnya paling menarik, dan mulai menonton. Rupanya itu film tentang seorang pengarang buku yang memiliki masalah kejiwaan, dan tanpa sadar, dia mulai membunuh orang-orang terdekatnya. Setelah film itu selesai sekitar 2 jam kemudian, aku merasa lebih santai. "Yah, filmnya cukup menghibur," kataku kepada diriku sendiri. "Sekarang, coba kita lihat, apa yang bisa kulakukan dalam kasus Tuan Alvin ini," kataku lagi.

Aku memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi dan merangkai hasil penyelidikanku. Semua fakta dan data terus berputar di otaku. Korban adalah calon menantu Tuan Alvin. Korban berasal dari keluarga sederhana, sedangkan Tuan Alvin keluarga sangat kaya. Korban bertemu dengan kekasinya di sebuah gereja. Berdasarkan data, korban tidak punya masalah besar dengan Tuan Alvin. Korban adalah orang yang pandai bermain catur, dia bahkan sering mengalahkan Tuan Alvin dalam permainan catur. Tuan Alvin memiliki kelainan jiwa, meskipun belum diketahui apa persisnya. Tuan Alvin tidak mungkin membunuh korban hanya karena dia kalah bermain catur. Pasti ada sesuatu yang aku lewatkan, tapi apa? Pikiranku terus berputar. Tuan Alvin berencana mewariskan sebagian usahanya kepada korban, apabila korban menikah dengan Juliet, karena Tuan Alvin berpendapat bahwa korban pandai dalam strategi catur, yang artinya korban juga pandai dalam membuat strategi agang. Kalua Tuan Alvin merestui hubungan mereka, bahkan berencana untuk mewariskan sebagian usahanya kepada korban, lalu, kenapa Tuan Alvin malah membunuh korban? Pikiranku terus berputar dan membuatku semakin pusing. Di saat aku sedang pusing itu, tanpa sengaja, perkataan psikolog muncul di benaku, "anda terlalu takut akan reputasi anda, sehingga anda memaksakan diri anda dalam kasus ini." Takut. Takut. Takut. Kata itu juga ikut berputar dalam pikiranku. Memang benar, aku memang takut reputasiku akan rusak apabila aku tidak berhasil memecahkan kasus ini, sehingga aku memaksakan diri, meskipun aku mengakui bahwa aku sudah buntu. Kemudian, aku sadar! "Itu dia! Itulah motif Tuan Alvin membunuh Kenny!" Aku berkata keras-keras, mataku sendiri masih melotot karena terkejut, "tak ada kemungkinan lain! Hanya itu kemungkinan motif anda sampe tega membunuh calon menantu anda sendiri!" Aku masih berkata keras-keras.


Countdown To Freedom (Part 5-End)

Esok harinya, dengan rasa mantap dan pasti, aku pergi ke markas kepolisian. Segera, aku menemui Tuan Alvin di ruang interogasi untuk membeberkan apa yang berhasil kuketahui tentang motif dia membunuh Kenny. Di ruang interogasi, Tuan Alvin masih tampak santai, karena dia tidak menyangka bahwa aku sudah berhasil mengetahui apa motif dia membunuh Kenny. "Tuan Alvin, permainan anda akan segera berakhir. Panggung ini akan menjadi milik saya tidak lama lagi." Kataku tegas. Senyum memudar di wajah Tuan Alvin, digantikan ekspresi serius. "Begitu ya? Tapi apakah anda yakin bahwa anda berhasil mengetahui secara keseluruhan motif saya kali ini? Atau jangan-jangan, anda baru berhasil menegtahui tidak sampe setengah dari motif saya?" Ada senyum mengejek di wajahnya. "Kita akan mengetahuinya nanti," balasku tidak tersenyum. "Tapi, sebelum kita mulai, saya minta anda tidak keberatan apabila tubuh anda dihubungkan dengan alat 'lie-detector'," kataku lagi. Tampak jelas Tuan Alvin sangat terkejut, tapi dia berusaha tegar. "Baiklah," katanya berusaha tersenyum hangat.

"Tuan Alvin, anda adalah seorang kaya raya. Putri anda jatuh cinta pada seorang pria sederhana. Pria yang sama inilah yang kemudian anda bunuh. Korban bernama Kenny. Dia bertemu dan berkenalan dengan putri anda, Juliet, di sebuah gereja. Lama kelamaan, mereka menjadi akrab dan saling merajut hubungan cinta. Memang, keluarga anda dan keluarga Kenny sendiri merestui hubungan Kenny dan Juliet. Kenny juga tidak pernah terlibat masalah besar dengan anda, sehingga jika dipandang dari sudut itu, anda tidak memiliki motif untuk membunuhnya," kataku membuka pembicaraan. Tuan Alvin tersenyum senang, "betul itu," katanya singkat. Aku tidak menghiraukan, namun terus melanjutkan penjelasanku, "Anda sering bermain catur dengan korban. Korban selalu menang apabila korban bermain catur dengan anda. Nah, di sinilah yang menyebabkan anda berniat untuk membunuh korban." Aku diam sebentar. "Anda tidak berpikir bahwa saya membunuh calon menantu saya sendiri hanya karena saya dendam terhadap korban hanya karena saya kalah dalam bermain catur, kan?" komentar Tuan Alvin. Aku menggeleng. "Motif seperti itu terlalu dangkal dan terlalu bodoh untuk dijadikan dasar anda membunh," aku menyetujui. "Nah, kalau begitu, apa dong?" senyum kemenangan muncul di wajah Tuan Alvin, dia bahkan bertepuk tangan dengan keras dan senang. "Apakah hanya segitu saja kemampuan anda, Tuan Detektif?" dia kembali mengejek. Lagi-lagi aku tidak menghiraukan, "anda boleh tertawa dan mengejek semau anda. Tapi saya yakin, saya berhasil membongkar sisi gelap anda yang paling gelap," kataku dalam hati. "Anda mempunyai masalah kejiwaan. Saya sudah menginterogasi putri anda, Juliet, dan dia bercerita kepada saya bahwa anda sering melamunkan sesuatu, seolah-olah anda ada di dalam dunia anda sendiri. Menurut seorang psikolog kenalan saya, hal itu disebut autistik. Tapi, masalah kejiwaan yang anda punya, jauh lebih parah dan lebih rumit daripada autistik!" aku berkata keras. Senyum mengejek lenyap sepenuhnya dari wajah Tuan Alvin, malah, dia tampak mulai agak pucat. "Maksud anda, saya lebih mirip seorang psikopat atau sesuatu seperti itu?" katanya keras, tanpa keramahan sedikitpun. Aku kembali menggeleng. "Hampir mirip, tapi lebih rumit daripada itu." Aku meneruskan kembali, "saya sudah memeriksa obat-obta kejiwaan yang saya temukan di rumah anda, saya juga sudah memeriksa buku tentang kejiwaan yang berhasil saya sita dari rumah anda beberapa hari lalu. Secara singkat, anda punya masalah dalam mengontrol emosi dan kejiwaan anda, lebih tepatnya, anda tidak bisa mengontrol imajinasi anda! Itulah masalah kejiwaan yang anda miliki dan itulah yang menjadi motif anda membunuh Kenny, calon menantu anda sendiri!" aku masih berkata keras. Aku terus menyerang Tuan Alvin. "Anda sering kalah dalam permainan catur dengan Kenny. Anda tau, bermain catur memerlukan strategi yang matang. Dan, tanpa sadar, anda sudah menyebutkan sendiri kepada saya, apa motif anda membunuh Kenny, namun saat itu, saya masih belum menyadarinya." "Kapan saya menyebutkan motif saya kepada anda?" Dia tampak bingung. "Anda memuji Kenny sebagai orang yang pintar bermain catur dan pintar dalam membuat strategi, sehingga anda berencana mewariskan sebagian dari usaha anda kepada Kenny ketika dia sudah menikah dengan Juliet, dengan harapan bahwa nantinya perusahaan anda akan lebih untung karena strategi dagang yang Kenny punya. Anda adalah seorang yang sangat kaya!" Aku terus menghujaninya dengan hasil analisaku. Tuan Alvin tampak bengong, tak sanggup berkata apa-apa. Maka, aku kembali terus menyerang, "Tapi, kenyataanya terbalik 180 derajat! Anda orang kaya, anda memiliki masalah kejiwaan, yaitu anda tiak bisa mengontrol imajinasi anda. Secara singkat, anda berimajinasi apabila nanti Kenny, orang yang berasal dari keluarga sederhana, menikah dengan Juliet, yang berasal dari keluarga kaya, anda takut dan berimajinasi bahwa nanti Kenny akan menggunakan kemampuanya dalam strategi bermain catur untuk merebut harta keluarga anda. Ya! Ketakutan dan imajinasi dalam pikiran anda sendiri, bahwa Kenny, yang anda anggap pandai dalam membuat strategi baik dalam bermain catur atau ber-bisnis, lantas membuat anda menjadi ketakutan dan berimajinasi sendiri bahwa nanti Kenny akan menggunakan kemampuan ber-strategi-nya untuk merebut harta anda! Itulah motif yang membuat anda membunuhnya! Dengan kata lain, Kenny merupakan korban dari imajinasi liar anda!"

Tuan Alvin tampak shock. "Ini dia, angin kemenangan ada di pihaku," kataku dengan senang dalam hati. Tuan Alvin diam selama beberapa saat, akhirnya dia meledak, "Benar, semua apa yang anda katakan adalah benar 100%. Memnag itulah motif saya membunuh Kenny, calon menantu saya sendiri. Saya memang memiliki masalah kejiwaan, yaitu saya tiak bisa mengontrol daya imajinasi saya. Awalnya saya tidak punya niat untuk membunuh Kenny sama-sekali. Berapa kali-pun dia mengalahkan saya di permainan catur, saya tidak keberatan. Tapi sayang, imajinasi saya berkata lain. Imajinasi saya mengatakan, bahwa nanti, apabila Kenny menikah dengan Juliet, dia akan menggunakan kemampuanya ber-strategi untuk merebut harta saya. Jelas saya tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, maka saya pun nekad membunuhnya. Kenny yang malang. Dia benar-benar korban, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara kejiwaan!" Dia diam sebentar, "selamat, Tuan Dtektif, anda menang. Tapi saya ada 1 pertanyaan lagi untuk anda sebelum saya mengakui kejahatan saya kepada polisi," dia diam sebentar, tampak ragu-ragu. Aku diam, menunggu." "Apakah anda berhasil menebak, kenapa saya sering melamun, seperti saya berada dalam dunia saya sendiri?" Tanyanya. "Itu mudah," kataku singkat, lalu melanjutkan, "alasan kenapa anda sering tampak melamun, itu bukan karena anda menderita autistik, melainkan, saat anda sedang melamun, saat itulah imajinasi anda menjadi liar, sehingga mendorong anda melakukan hal-hal yang tak terduga, seperti...," aku diam sebentar, ragu-ragu, apakah sebaiknya aku meneruskan atau tidak. "Seperti membunuh calon menantu saya sendiri," Tuan Alvin yang meneruskan kalimatku. Aku mengangguk. Tuan Alvin tersenyum sangat senang. "Anda memang detektif paling hebat, bahkan anda bisa memecahkan kasus saya ini, padahal, kasus ini berhubungan dengan hal yang paling sulit diduga, yaitu isi pikiran manusia. Tapi sepertinya, anda berhasil menebak dengan benar apa yang ada dalam pikiran saya," dia tersenyum, namun senyum yang keluar kali ini adalah senyum kesedihan, dan dia mulai menangis.

Maka, satu kasus-pun telah berakhir.

__________________________THE END________________________________________________________

(Note: cerita ini 100% fiksi, meskipun beberapa bagian cerita ini g dpt ide-ny dr dunia nyata/pengalaman g sendiri. Tp, yg paling besar perany adl salah satu game NDS buatan Capcom, Phoenix Wright. waktu g nulis cerita ini, g terus negbayangin itu game. Kalau ada persamaan sifat, nama, karakter, lokasi, dll, penulis minta maaf, tapi penulis yakin ,tiu hanyalah kebetulan. ini juuga pertama kali g membuat cerita ttg kriminal/thriller/psikolgi, jd kl ada bagian yg ga sesuai, harap maklum. g juga tunggu feedback-komentar dr pembaca. thx)
 
ceritanya bagus, mengalir begitu saja, dan diselesaikan dengan bagus.



keep writing den :D
 
Last edited:
Back
Top