Hailibu, Sang Pemburu

singthung

New member
Hailibu, Sang Pemburu

Demi menolong orang banyak, dirinya rela berkorban untuk menyelamatkan orang banyak .

Dahulu kala, hiduplah seorang pemburu yang bernama Hailibu. Ia adalah seseorang yang suka menolong orang lain. Daripada menyimpan semua hasil buruannya untuk diri sendiri, biasanya ia membagi-bagikan hasil buruannya kepada para tetangganya. Hal ini membuatnya sangat populer. Suatu hari Hailibu pergi berburu memasuki hutan yang sangat dalam di pegunungan. Di suatu pinggiran hutan yang lebat, ia melihat seekor ular putih kecil yang sedang melingkar dan tidur terlelap di bawah pohon. Karena tidak ingin membuatnya terbangun, Hailibu berjingkat perlahan dan berlalu. Tepat pada momen ini, seekor bangau kelabu terbang melintas, menerkam ular kecil tersebut, mencengkramnya dan kemudian terbang pergi menukik ke angkasa.

Terbangun dalam kekagetan, ular putih kecil berteriak, “Tolong! Tolong!” Hailibu dengan segera membidikkan anak panahnya dan melepaskan tembakan ke bangau kelabu yang sedang terbang naik ke dinding gunung. Bangau itu mengelak dari anak panah dan menjatuhkan ular kecil tersebut, kemudian terbang pergi. Hailibu berkata kepada ular kecil, “Kamu makhluk kecil yang malang. Pulanglah ke rumah orang tuamu.” Ular kecil itu menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan terima kasih dan kemudian menghilang diantara rerimbunan tebal. Hailibu menyarungkan anak panahnya, menggantungkan busur di bahunya dan kemudian pulang.

Hari berikutnya, ketika melewati tempat itu lagi, Hailibu melihat seekor ular putih kecil merangkak datang kepadanya, dikawal oleh sekumpulan pengawal ular. Dalam keheranan Hailibu, ular kecil berkata, “Apa kabar, penyelamatku? Kamu mungkin tidak dapat mengenaliku. Aku adalah putri dari Raja Naga. Kemarin kamu telah menyelamatkan nyawaku. Orangtuaku secara khusus menyuruhku datang kesini untuk mengundangmu datang ke rumah kami, sehingga mereka dapat mengungkapkan rasa terima kasihnya secara pribadi kepadamu.” Ular kecil melanjutkan, “Ketika kamu tiba di sana, janganlah terima apapun yang ditawarkan orang tuaku, melainkan mintalah batu berharga yang disimpan ayahku di dalam mulutnya.

Dengan batu berharga tersebut di mulutmu, kamu akan bisa memahami bahasa dari seluruh kerajaan binatang. Tapi kamu tidak boleh memberitahukan hal ini kepada orang lain, jika tidak, tubuhmu akan berubah menjadi batu, dan kamu akan mati.”

Mendengar hal ini, Hailibu mengangguk dan mengikuti ular kecil tersebut. Jalan yang mereka lewati menuju ke sebuah lembah yang dalam, dan semakin jauh Hailibu berjalan, ia merasa semakin dingin. Mereka kemudian tiba di depan sebuah pintu yang lebar, dan ular putih kecil berkata, “Orangtuaku sedang menunggumu di pintu masuk ruang penyimpanan. Mereka sekarang ada di sini.” Selagi ular kecil berbicara, Raja Naga melangkah maju dan menyambut Hailibu serta berkata dengan rasa hormat, “Engkau telah menyelamatkan putriku tersayang. Saya berterima kasih dari lubuk hati yang terdalam. Ini adalah ruang penyimpanan tempat saya menyimpan harta dan pusaka berharga.

Izinkanlah saya menunjukkannya padamu. Ambil saja apapun barang yang Engkau sukai, mohon jangan merasa sungkan.” Setelah mengatakan hal ini, Raja Naga membuka ruang penyimpanannya dan membawa Hailibu masuk. Ruang itu penuh dengan permata dan mutiara, penuh kilau dan kemegahan.

Raja Naga yang sudah tua tersebut membawanya dari satu ruang ke ruang lain. Setelah mereka melewati seratus delapan ruang tanpa satupun barang dipilih oleh Hailibu, Raja Naga berkata dengan rasa malu, “Tuan, apakah tidak ada satupun barang yang Engkau sukai?” Hailibu menjawab, “Barang-barang tersebut sangat bagus, tapi mereka hanyalah bisa digunakan sebagai pajangan. Mereka tidak berguna untuk seorang pemburu seperti saya. Jika Yang Mulia benar-benar ingin memberikan saya sesuatu sebagai kenang-kenangan, mohon berilah saya batu berharga yang ada di dalam mulut Yang Mulia.” Mendengar hal ini, Raja Naga menundukkan kepala-nya, merenung sejenak, kemudian dengan canggung memuntahkan batu berharga dari mulutnya dan memberikannya kepada Hailibu.

Lantas, Hailibu kini menjadi pemilik dari batu berharga tersebut. Setelah ia meninggalkan Raja Naga, dalam perjalanannya pulang, ia diikuti oleh ular kecil. Ular kecil terus menerus memperingatkannya, “Dengan batu berharga, kamu bisa mengetahui segalanya. Tapi kamu tidak boleh membocorkan apa yang kamu ketahui. Jika tidak, malapetaka akan menimpamu! Jangan sampai lupa!” Sejak saat itu, mudah sekali bagi Hailibu untuk berburu di gunung-gunung, karena ia memahami bahasa dari burung-burung serta binatang liar dan juga mengetahui dengan pasti binatang apa saja yang ada di sisi lain gunung.

Beberapa tahun telah berlalu... Suatu hari ia pergi berburu di gunung-gunung seperti biasanya. Tiba-tiba ia mendengar sekumpulan burung sedang berdiskusi selagi mereka terbang di udara, “Kita harus secepatnya pindah! Besok gunung-gunung sekitar sini akan meletus; ladang-ladang akan diterjang banjir dan tiada yang tahu berapa banyak hewan yang akan mati tenggelam!”

Mendengar hal ini, Hailibu menjadi sangat prihatin dan tidak lagi punya niat untuk berburu. Ia segera bergegas pulang dan berkata kepada para tetangganya, “Kita harus segera mengungsi secepatnya! Kita tidak bisa tinggal di sini lagi! Kalian semua harus mempercayaiku! Jangan tunggu sampai terlambat!” Mereka semua kebingungan terhadap apa yang Hailibu katakan.

Beberapa dari mereka berpikir bahwa tidak mungkin ada bencana yang sedashyat itu, beberapa lagi mengira bahwa Hailibu telah menjadi gila. Tak ada satupun yang mempercayainya. Hailibu, dengan air mata yang membasahi pipinya, berkata kepada mereka dengan putus asa, “Apakah aku harus mati agar bisa meyakinkan kalian?”

Beberapa orang sesepuh desa berkata pada Hailibu, “Kami semua tahu bahwa Engkau tidak pernah berbohong kepada kami selama ini. Tapi sekarang Engkau mengatakan semua ini tentang gunung-gunung meletus dan ladang-ladang diterjang banjir. Dapatkah Engkau memberitahu kami apa yang membuatmu begitu yakin bahwa semua ini akan terjadi?”

Hailibu merenung dan berpikir, “Bencana begitu jelas di depan mata. Bagaimana mungkin aku melarikan diri sendirian dan membiarkan para penduduk desa musnah? Biarlah aku mengorbankan diriku untuk menyelamatkan mereka.” Jadi Hailibu memberitahukan kepada para penduduk desa semua kisahnya, tentang bagaimana ia mendapatkan batu berharga dan menggunakannya untuk berburu; tentang bagaimana ia mendengar sekawanan burung membicarakan malapetaka dan merencanakan pengungsian. Dia juga memberitahukan mereka bahwa sebenarnya ia tidak boleh memberitahukan hal ini kepada orang lain, kalau tidak, tubuhnya akan berubah menjadi batu dan ia akan mati. Selagi Hailibu berbicara, tubuhnya sedikit demi sedikit menjadi batu.

Para penduduk desa, melihat apa yang telah terjadi, merasa sangat sedih dan menyesal. Mereka segera mengungsi ke tempat lain, membawa serta semua ternak mereka. Selagi mereka bergegas pindah, langit mulai menjadi kelam dan hujan deras turun sepanjang malam. Pagi harinya, mereka mendengarkan gelegar halilintar sahut menyahut dan getaran dashyat yang seakan mengguncang hingga ke dasar bumi. Gunung-gunung meletus, mengirimkan air bah yang membanjiri dan menenggelamkan ladang-ladang.

Tersentuh sedemikian mendalam, para penduduk desa berkata, “Seandainya Hailibu tidak mengorbankan hidupnya untuk kita, kita semua pasti sudah mati ditenggelamkan banjir!” Beberapa lama sesudah itu, penduduk desa menemukan tubuh Hailibu yang telah berubah menjadi batu dan menempatkannya di atas puncak gunung. Generasi demi generasi, mereka memberikan persembahan kepada patung ini sebagai penghormatan dan kenangan terhadap Hailibu, pahlawan yang mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan orang lain. Bahkan hingga saat inipun, konon masih ada satu tempat yang dinamakan “Patung Hailibu”.


 
Back
Top