Kakus Sepuluh Pintu

Kakus Sepuluh Pintu

Hari ini muka Elah tampak lusuh. Tak ada lagi keceriaan dan kelincahan yang tergambar di wajahnya. Ia masih kepikiran dengan peristiwa kemarin. Waktu ia dan kawan – kawan kuliahnya ngadaian sosialisasi ke sebuah kampung di desa ‘super’ miskin tentang makanan bergizi. Dan kebetulan, ia menjadi penyuluh untuk program itu.
Peristiwa unik yang mengejutkan. Tapi, sudah cukup untuk membuatnya kapok dan ogah jadi penyuluh untuk program serupa. Bagaimana tidak, awalnya meyakinkan, tapi ternyata akhirnya mengecewakan. Kemarin, dengan semangat empat lima dan suara nyaring ia bicara di depan ibu – ibu desa itu tentang makanan bergizi. Di akhir pemaparannya ia berkata,
“Bagaimana ibu – ibu, sudah tahu kan makanan yang bergizi itu apa saja. Nah, cobalah menyediakannya untuk keluarga anda. Agar keluarga anda sehat dan cerdas.”
“Mbak, kami bukannya tidak tahu mana makanan yang bergizi dan mana yang bukan. Kami hanya tak sanggup menyediakannya. Kami tak punya duit untuk beli makanan gituan yang harganya selangit.” Keluh seorang ibu muda yang sedang hamil menanggapi perkataan Elah.
“Iya. Benar itu.” Suara Ibu yang lain menimpali. Suasana ruangan pun menjadi ramai.
“Lebih baik bila Mbak – Mbak sering – sering saja bikin program sembako murah di sini.” Saran Ibu muda yang sedang hamil itu.
Elah tersentak mendapati protes ibu – ibu itu. Tak ia sangka bakalan mendapatkan keluhan semacam itu. Lidahnya kelu untuk berkata. Apa yang telah ia paparkan tadi seakan menjadi tak berarti. Rasanya malu menyampaikan hal yang menjadi tak berguna dan menyinggung kemampuan finansial mereka.
Berarti program penyuluhan makanan bergizi ini hanya merupakan sebuah menara gading yang indah namun tak tersentuh warga, batin Elah. Ogah deh jadi penyuluh buat acara gituan lagi. Aku udah kapok, gerutunya dalam hati.

***

Sore ini wajah Elah masih cemberut. Kejadian satu minggu yang lalu di kampung ‘super’ miskin itu masih membekas di benaknya.
“Hey, cemberut aje. Entar cantiknya hilang loh.” Goda Faris sambil menepuk punggung Elah.
“Abang ini ngagetin aja. Orang lagi bete juga, digangguin terus.”
“Lagi bete yah. Pantes mukanya ditekuk terus. Emangnya kamu bete kenapa?”
Elah Pun menceritakan kejadian waktu penyuluhan di kampung ‘super’ miskin itu. Bagaimana ia yang dengan semangatnya memaparkan tentang makanan bergizi. Malah harus gigit jari karena diprotes sama ibu – ibu soal ketidakmampuan finansial mereka untuk menyediakan daftar makanan bergizi yang dipaparkan Elah. Elah merasa malu. Sangat malu dengan kejadian itu. Siapa yang enggak sebel mendapatkan hasil akhir kayak gitu.
Faris tertawa terkekeh mendengar cerita Elah. Baginya itu adalah kejadian lucu yang pernah didengarnya dan membuatnya tertawa.
Elah mendengus kesal melihat tingkah Abangnya yang malah menertawakannya. Elah sebel. Kesel. Diceritai, eh malah ditawain. “Ih, Abang jahat.”
Faris menahan ketawanya. “Ee, gimana kalau kamu besok ikut kakak jalan – jalan?” Faris melontarkan ajakan pada Elah.
“Jalan – jalan?” Tanya Elah bimbang.
“Iya, jalan – jalan. Kamu lagi bete kan ? Nah, biar gak bete lagi kita jalan – jalan.”
“Kemana?”
“Pokoknya seru. Dijamin. Kamu ikut ya!”
“Iya, deh.” Jawab Elah.

***

“Kak, udah deket belum kampungnya?” Tanya Elah dengan nafas tersenggal. Beban berat dipunggungnya terus menekan. Tas ranselnya semakin berat, rasanya seperti memikul gunung yang ia rasakan. Apa lagi jalannya yang menantang, naik turun bukit.
“Eh, kenapa? Capek ya?” Kata Faris dengan suara menyindir. “Tinggal melewati bukit yang di depan.” Lanjutnya.
Elah mendesah panjang. Ia mengumpulkan semua tenaga yang masih tersisa. Di hadapannya sebuah bukit menjulang kokoh.
Fhuuhh, kok seperti jejak petualang.
Perjalanan kali ini membuat seluruh badan Elah terasa sakit dan pegal. Sesampainya di rumah temannya Faris, ia langsung selonjoran melepas semua rasa lelah dan sakitnya. Kakinya memar. Buah dari jalan – jalan bareng Faris.
Ini sih, jalan – jalan beneran, jalan pake kaki doang, guman Elah dalam hati. Tak ia sangka, Faris, Abang satu – satunya itu akan sekejam ini menyiksanya.
“Faris, terima kasih sudah mau datang kemari.” Ucap Nurmala, sang pemilik rumah yang juga teman Faris semasa kuliah, berterimakasih atas kedatangan Faris dan Elah ke kampungnya.
“Aku datang atas permintaan sahabatku. Tak perlu kau ucapkan terimas kasih atas kedatanganku. Aku akan membantumu sebisaku.” Jawab Faris.
“Ris, seperti yang aku kabarkan padamu tentang kejadian di kampung ini yang sempat bikin geger, kita akan mengalami kesulitan untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang hidup bersih! Kau sudah siap?! Di sini sangat berbeda dengan di kota !”
“Kak, emangnya apa yang terjadi di kampung ini?” Tanya Elah penasaran.
“Dua minggu yang lalu, di kampung ini terjadi musibah muntaber. Korbannya banyak sekali, hampir seluruh warga di sini kena muntaber. Dan ada yang meninggal. Itu semua karena pola hidup warganya yang sangat jauh dari kata sehat. Termasuk prilaku buang hajat sembarangan. Mereka sangat susah untuk dinasehati. Dan kebanyakan warga sini sedikit sekali yang punya wc pribadi.”
Elah menganggup paham mendengar penuturan Nurmala. Sekarang ia berada di Lebak , ia tahu kondisi di sini sangat berbeda dengan di Serpong. Dalam perjalanan tadi, ia sekilas melihat kehidupan warganya. Bila dbandingkan dengan kampung yang minggu lalu dikunjunginya, kampung ini jauh lebih miskin.
“Apa yang akan kamu lakukan, Ris?” Tanya Nurmala.
“Yang akan kulakukan pertama kali… penyuluhan!” Jawab Faris.
“Penyuluhan?!” Suara Nurmala terdengar kaget. “Aku sudah melakukannya. Berkali – kali. Namun, hasilnya percuma.”
Elah pun tersentak mendengar jawaban dari Abangnya itu. Penyuluhan, itu adalah hal yang sia – sia untuk dilakukan. Mengingat kondisi finansial warga kampung sini yang lemah dan pemahaman kesehatan yang alit. Terbayang di kepalanya kejadian satu minggu yang lalu. Mungkin, kejadian itu akan terulang lagi.
“Ya. Penyuluhan hal pertama yang akan aku lakukan! Selanjutnya, kalian lihat saja!” Tukas Faris tenang.
Elah dan Nurmala hanya bisa mereka – reka apa yang nanti akan terjadi. Mereka bingung dengan rencana apa yang akan Faris lakukan.

***

Semua warga kampung Sugih Warah telah berkumpul di balai desa. Mereka dikumpulkan oleh Nurmala, dokter puskesmas yang bekerja sama dengan aparat desa untuk diberikan penyuluhan.
“Bang, katanya mau ngasih penyuluhan? Kok Cuma bawa spidol, kertas karton, ama bendera? Aneh!” Tanya Elah bingung dengan apa yang dibawa Faris untuk penyuluhan. Tak ada leaflet atau brosur – brosur kesehatan seperti layaknya acara penyuluhan.
“Heran ya? Nanti kamu juga tahu sendiri!” Jawab Faris ringan sambil berlalu masuk ke balai desa, tempat para warga telah berkumpul.
Setelah mengucapkan salam, mengenalkan diri, serta mengucapkan kata pembuka, Faris langsung menggambar denah kampung.
“Nah, bapak – bapak dan ibu – ibu, gambar ini kita anggap sebagai peta kampung Sugih Waras ini. Ada kebun, sawah, kali, lapangan, dan lainnya. Sekarang saya mau tanya sama bapak dan ibu yang ada di sini satu persatu.”
Faris menunjuk seorang bapak yang berkumis baplang. “Bapak, kalau buang hajat di mana?” Tanya Faris.
“Di sawah.” Jawab Bapak yang berkumis baplang itu.
“Di sawah. Kita tandain gambarnya.” Kata Faris sambil menandai peta itu. Kemudian ia bertanya kepada warga yang lain.
“Di kali.” Jawab Seorang kakek.
“Di kebun.”
“Di empang.”
“Di lapangan…”
Para warga telah selesai di tanyai satu per satu oleh Faris. Peta yang di gambar tadi telah penuh oleh tanda silang yang menandakan tempat warga buang hajat.
“Wah, kalau kita ngeliat peta itu, berarti kampung kita penuh dengan kotoran, dong!” Celetuk seorang warga.
“Iya, ya.” Jawab warga yang lain.
Ruangan itu jadi ramai dengan komentar para warga.
Faris mengeluarkan bendera – bendera kecil yang dibawanya. “Bapak – bapak dan ibu – ibu, sekarang kita akan menandai tempat bapak – bapak dan ibu – ibu buang hajat dengan bendera ini.” Kata Faris membuyarkan komentar – komentar warga.
Para warga itu mengambil mendera dan pergi menandai tempat mereka buang hajat. Setelah semuanya selesai, orang – orang itu melihat banyak bendera yang menancap di sekelilingnya. Menandakan kalau di sana ada kotoran.
“Wah, ternyata di sana – sini banyak kotoran.” Celetuk Seorang warga berkomentar dengan apa yang dilihatnya.
“Kampung kita penuh dengan tinja.” Komentar yang lain.
“Pantes, muntaber mewabah. Ini dia masalahnya.” Komentar Pak Kades menimpali komentar warga yang lain.
Elah dan Nurmala yang menyaksikan itu bergidik geli. Rasanya jijik berada di kampung itu.
Pak Kades mendekati Faris. “Kalau melihat seperti ini, apa yang harus kita lakukan, Pak?” Tanya Pak Kades.
“Buat Wc umum.”
“Kalau buat Wc umum, kami tak ada dananya!” Tukas Pak Kades gamang.
“Kita buat Wc dari bahan – bahan yang ada saja. Bisa dari bekas bangunan atau yang lainnya.”
“Emang bisa?” Tanya Pak Kades penasaran.
“Bisa. Pastinya bisa kalau kita yakin bisa dan mencobanya.”
“Pak, saya ada bilik yang enggak kepake!”
“Saya, ada semen bekas kemarin bangun rumah.”
“Saya ada dirigen besar.”
“Saya ada genteng.”
“Saya punya Parolen.”
Para warga kampung Sugih Waras memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk pembangunan Wc umum. Barang – barang itu sudah terkumpul. Faris memberikan pengarah kepada para warga tentang Wc yang akan mereka buat.

***

Mentari telah keluar dari persembunyiaanya. Membuka pagi hari yang asri dengan suara desiran angin dan kicauan burung.
Faris dan Elah sudah bersiap untuk pulang kembali ke rumahnya di Serpong. Sesudah dua hari mereka ada di kampong Sugih Waras, memenuhi permintaan Nurmala untuk membantunya mengatasi masalah warga yang buang hajat sembarangan.
Kini masalah itu telah usai. Di dekat kali telah berdiri Wc dengan sepuluh pintu. Wc sederhana yang dindingnya terbuat dari bilik dengan lubang dirigen sebagai klosetnya. Tempat airnya adalah dirigen yang atasnya telah dipotong untuk kloset. Air mengalir dari kali lewat pipa paralon yang terpasang. Sangat sederhana, tapi sudah memecahkan masalah yang ada.
Setelah pamitan dengan warga, Faris dan Elah meninggalkan kampong Sugih Waras. Di wajah mereka terpampang seulas senyum kebahagiaan.
“Bang, dapat dari mana ide kemarin itu? Hebat banget!” Tanya Elah pada Abangnya.
Faris tersenyum mendengar pertanyaan Adiknya itu. “Dari kamu! Dari cerita kamu kemarin. Dari situ Abang bisa ambil pelajaran, yang kita butuhkan bukan hanya semangat, tapi juga pengetahuan tentang budaya dan keadaan sosial masyarakatnya, serta alternative apa yang bisa kita lakukan untuk mereka.”


Imam Farhan Net
 
Back
Top