Kejawen

spirit

Mod
191145p.jpg

Dalam konteks mitologi kejawen, ada beberapa kegiatan ritual yang sangat dipegang sebagai kegiatan sakral, antara lain :

1. satu suro/1 muharram

Satu suro merupakan hari dan bulan keramat dan sakral dalam pandangan Kejawen, sebagaimana seremoni atau perayaan suran. Menurut sejarah jawa dimulai pada tanggal 1 suro 1925 yang terdapat makna didalamnya, yaitu hari yang 7 jumlahnya (saptawara), berangkapan pasaran yang berjumlah 5 (pancawara), mangsa (pranatamangsa) yang beerjumlah 12 wuku yang berjumlah 30, peringkelan yang berjumlah 6 (sadwera), tahun yang berjumlah 8, dan windu yang berjumlah 4. Perangkapan hitugan atau pitungan ini merupakan warisan ngelmu dalam kosmologi jawa yang selalu dikaitkan dengan berbagai kegiatan kehidupan dalam wujud laku yang bernilai keprihatinan.

Ritual ini selalu diselenggarakan dikeraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran. Masyarakat berjalan berbondong-bondong mengelilingi pusaka keraton yang dianggap ampuh dan mampu menolak malapetaka. Di daerah gunung Serandil Cilacap, yang terletak ditepi laut selatan, dibangun gedung palereman dan pamujaan, begitu pula di padepokan Jambe Pitu gunung Serandil kebanyakan masyarkat mempercayai ramalan seorang medium yang katanya kerasukan Ki Lengkung Kusumo (petruk) tentng peristiwa keadaan tahun yang akan datang.

Kegiatan ritual masyarakat Kejawen pada umumnya menelenggarakan selametan suro dengan acara sajian bubur dengan lauk pauk tertentu atau jenang manggul disertai dengan bunga setaman dan kepulam kemenyan, kegiatan mencuci pusaka wesi aji yang disebut siraman (kepercayaan sebagian masyarakat, mereka datang dan mengambil berkah lewat cucian air pusaka dengan cara mencuci muka dan bahkan ada yang meminumnya), dan kegiatan berpuasa Suro yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan 10 atau 9 dan 10 suro.

2. Nyadran

Nyadran berarti melaksanakan upacara “sadran” atau sadranan. Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (jawa) atau sya’ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan, antara lain :

a) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa.

b) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan.

c) Beriarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih).

3. Ritual selamatan lingkaran hidup seperti hamil 7 bulan, kelahiran, kematian, dan lain-lainnya. Kebanyakan masyarakat Jawa melaksanakan upacara peringatan 7 bulan kehamilan (mitoni), sesuai tradisi yang ada, yaitu yamng hamil menual rujak dengan batu kecil (kerikil), disamping itu dengan bancaan mengundang anak-anak kecil untuk makan ambeng pada nampan. Selain itu uga mengundang tetangga untuk acara do’a bersama dengan upacara tahlilan.

4. Ritual selamatan berkaitan dengan bersih (rikat) desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pad abulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do’a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen, ruwatan merupakan acara pembebasan anak atau orang yang kelahirannya di anggap tidak menguntungkan atau ada marabahaya dari Batharakala.

5. Rituial selamatan berkaitan dengan tanah pertanian, baik pemggarapan atau saat panen.

6. Ritual berkaitan dengan menolak marabahaya, seperti ngruwat, sedekah bumi dan lain-lainnya.

Laku : Sembahyang dan Olah Rasa

Laku, sembahyang dan olah rasa merupakan kegiatan peribadatan kebatina yang penting dalam perjalanan hidup dan merupakan cara untuk mencapai puncak peningkatan kekuatan spiritualitas Kejawen, yaitu menuu manunggaling kawulo gusti. Yang ditempuh dalam laku ini adalah kesatuan jiwa dan raga manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa manusia merupakan rasa yang dapat merasakan kedekatan dan bahkan menyatu dengan gusti Yang Maha Kuasa.

Rasa adalah tolok ukur pragmatis dari segala mistik orang jawa atau Kejawen. Rasa yang membawa keadaan dirinya menjadi puas, tenang, tentram batin (tentrem ing manah), dan ketiadaan ketegangan. Karena merupkan respon kejiwaan yang diterima oleh indera atau bagian tubuh dari suatu objek tertentu, rasa dapat juga dipandang sebagai unsur psikologis manusia pada ranah efektif yang digunakn untuk menangkap kebenaran-kebenaran batiniyah.

Kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui laku dan rasa harus didasarkan pada ngelmu untuk menuju kesempurnaan yang hakiki, menurut mulder, pemikiran mistis jawa, paling tidak yang dikenal dengan namaa ngelmu kesempurnaan (ilmu kesempurnaan), adalah jalan menuu kesatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Ngelmu dalam terminologi kejawen menggunakan kata pengawikan jawi, hakekatmya, bukan sekedar pengetahuan, melainkan mengandung kebijaksanaan. Olah pikir dan asah budi para pemikir Jawa senantiasa memakai slogan yang didambakannya aitu mamayu hayuning saliro, mamayu hauning bangsa, mamayu hayuning bawana (memelihara kesejahteran diri, memelihara kesejahteraan bangsa, memelihara kesejahteraan dunia). Konsep ngelmu tersebut adalah sangat jelas dipengaruhi oloeh konsep-konsep islam, yaitu mulai dari persoalan kosmologi sampai dengan adab suami isteri, sebagaimana dalam buku-buku Kejawen Betal jemur atau adam ma’na yyang dipengaruhi oleh kitab mujarobat.

Disamping kegiatan laku dan olah rasa, sembahyang juga sangat urgen dalam pandangan Kejawen meskipun kata sembahyang dalam terminologi Jawa kuno tidak ada; yang ada adalah kata sembah dan hyang. Sembah berarti menghormati, tunduk; sedangkan hyang berarti dewa atau dewata. Dengan demikian., kesatuan istilah tersebut menjadi sembahyang yang berarti penyembahan kepada dewa atau Tuhan menurut aliran kepercayan Pangestu, konsep sembahyang atau ritual ada 2 cara, yaitu ritual kelompok (bawa raos) dan ritual perorangan (panembah dan pangesti).

Tata cara ritual bawa raos meliputi : pangesti pembuka (mohon tuntunan), bawa raos (ceramah), pengungkapan pengalaman –pengalaman dalam penyiswan, pangesti penutup (mohon kesejahteraan), lagu Dandang Gula (eling-eling). Ritual perorangan panembah adalah semacam sembahyang wajib seperti shalat dalam agama islam. Pelaksanaan waktunya sesuai dengan jenjang kesiswaannya, sedangkan pangestia adalah do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan kapan saja.

Kegiatan laku dan sembahyang dalam pandangan kebatinan atau Kejawen merupakan cara atau jalan untuk memperdalam olah rasa dalam pencapaian kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Gusti Allah, atau dengan kata lain menuju kesatuan manunggaling kawula gusti.

Rumusan Rekayasa Sosio Kultural dalam Dakwah

Berangkat dari uraian diatas, sistem kepercayan yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa pada umumnya adalah Hindu dan Budha sebagai Mainstream keagamaannya. Selanjutnya terjadilah sinkritisme ketika kerajaan-kerajaan atau bahkan di kedua keraton baik Yogyakarta, Surakarta, maupun Mangkunegara yang notabenenya merupakan pusat Kejawen beragama Hindu dan Budha, kemudian dalam proses perkembangan pergantian kekuasaan dikeraton pada saat yang bersamaan teradilah elaborasi Islam kedalam keluarga istana, hanya saa Islamisasi dilakukan secara evolusioner dan tanpa terjadi ketegangan ketika pertemuan antara kedua simbol dan ritus tersebut.

Simbol-simbol dan ritus-ritus yang esensinya adalh laku, sembahyang dan olah rasa merupakan dasar atau inti Kejawen dalam pencapaian kesempurnaan hidup tertinggi. Berbagai ritus yang telah mendarah daging di masyarakat kejawen hingga dewasa ini masih sangat kental dan banyak pengikutnya khususnya di pulau Jawa. Ada dua pendekatan dalam mengkai sinkritisme di Jawa, yaitu pertama, melihat pengaruh ekologi lingkungan fisik terhadap cara masyarakat mengorganisasi dirinya.pendekatan ke dua,adalah bagaimana sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol,dan bagimana sistem simbol mempengaruhi sistem-sistem sosio kultural.

Sistem sosio kultural masyarakat selalu berubah sesuai dengan perkembangan tingkat pendidikan,status ekonomi,dan berbagai pengaruh IPTEK masyarakat itu sendiri. Berangkat dari perubahan inilah dakwah Islam dapat mengmbil peluang (opportunity) dengan memperkenalkan sistem nilai dalam islam. Sistem nilai dalam Islam adalah konsep tauhid. Dari konteks tauhid inilah manusia diciptakan oleh Tuhan dan kembali kepadaNya, konsep tersebut dalam kosmologi Kejawen terkenal dengan sangkan paraning dumadhi.

Seiring dengan adanya perubahan sosio kultural masyarakat, para aktivis dakwah Islam harus mampu secara komprehensif melakukan rekayasa sosial (social engenering) dengan mengimplementasikan rumusan Allah SWT, yaitu amar makruf, nahi munkar dan tu’kminubillah; mengajak kepada kebajikan, mencegah kemunkaran, dan mengajak untuk beriman kepada Allah SWT. Dalam kedua rumusan tersebut terlihat adanya proses saling berkait yang sekaligus berlawanan, tapi merupakan satu kesatuan, yaitu emansipasi dan penbebasan.

Emansipasi (amar makruf) atau bertindak kebajikan merupakan seruan kemanusiaan oleh setiap manusia, maka dalam konteks dakwah di kalangan Kejawen diperlukan partisipasi dan dialektika intensif dengan menggunakan bahasa atau pun cara berpikir mereka, sebagaimana contoh kasus nyadran, yang hingga kini masih ada dan tentunya sudah mengalami pergeseran kepada nuansa keislaman, yaitu dengan kegiatan thlilan dan semua jamuan mkanan diniatkan sebagai shadaqah. Pergeseran ini terjadi di daerah yang dekat dengan perkotaan. Meskipun di pusat-pusat kejawen belum tampak berubah dan masih kehtal dengan nuansa animistik.

Pembebasan atau upaya mencegah kemungkaran (kejahatan) merupakan usaha pengorbanan setiap manusia dalam mengangkat harkat dan martabat di tengah-tengah masyarakat. Bentuk-bentuk pengorbanan ini misalnya mengangkat atau membantu orang keluar dari kebodohan, ketertindasan, kemusyrikan, dan segala yang dapat menghancurkan kesempurnaan hidup manusia. Dalam konteks dakwah di kalangan Kejawen ini, yamg dapat dilakukan oleh para aktivis dakwah adalah mengadakan disksi-diskusi bersama tentang pentingnya kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, kajian bersama tentang ketuhanan dan filsafat kehidupan.

Pembebasan dalam kerangka filsafat kehidupan dimasa lalu dapat dijadikan sebagai ekspresi-ekspresi ritual, sehingga nilai keislaman berpengaruh sangat kuat. Sebagai contoh acara ritual pangiwaahan. Upacara ini bertujuan agar manusia menjadi wiwoho atau mulia. Dengan demikian setiap manusia harus memuliakan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Konsep pangiwahan tersebut menjadi kegiatan ritual yang berkaitan dengan kemuliaan hidup manusia. Hal ini berarti esensi ritual ini sudah dipengaruhi oleh nilai dan ajaran islam

sumber: darunnajah.wordpress.com
(Sulkhan Chakim, Penulis adalah Magister Manjemen UNSOED Purwokerto dan Dosen Tetap Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto)
 
ini kejawen islam ya den.. ala wali songo abangan.. secara penanggalannya pake penanggalah hijriah.
 
ini kejawen islam ya den.. ala wali songo abangan.. secara penanggalannya pake penanggalah hijriah.

yup
kejawen islam

Menurut pandangan Kejawen, perjalanan menuju Tuhan harus ditempuh dengan seperangkat laku. Laku merupakan jalan untuk menempuh kehidupan spiritualitas yang tertinggi, yaitu penyatuan hamba dengan Tuhannya (manunggaling kawula gusti). Penyatuan hamba dengan Tuhan ini merupakan tujuan utama mistik Kejawen.
 
manunggaling kawulo gusti? terdengar syekh siti jenar banget.. hehehe.. meskipun dalam terminologi sufisme hal ini sudah ada jauh sebelum kejawen Islam, yang menurut saya hanya sebuah akulturasi budaya animisme setempat dengan Islam itu sendiri. Lalu apakah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yang pake warna hijau itu, yang juga sering mengadakan ritual / selamatan setelah orang meninggal itu mau disebut kejawen, rasa2nya koq tidak. :D
 
manunggaling kawulo gusti? terdengar syekh siti jenar banget.. hehehe.. meskipun dalam terminologi sufisme hal ini sudah ada jauh sebelum kejawen Islam, yang menurut saya hanya sebuah akulturasi budaya animisme setempat dengan Islam itu sendiri. Lalu apakah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yang pake warna hijau itu, yang juga sering mengadakan ritual / selamatan setelah orang meninggal itu mau disebut kejawen, rasa2nya koq tidak. :D

kita juga bisa memperhitungkan bagaimana Islam (NU) itu masuk tanah jawa. Saat sebelum islam memang kejawen sudah ada. Dan untuk kepentingan Syiar maka nilai2 yang ada pada kejawen itu d adopsi oleh para ulama demi menarik minat masyarakat jawa pra islam utk mempelajari lbh dalam lagi esensi islam itu sendiri. maka timbullah pewayangan ala islam yang sebelumnya murni lakon kejawen, dan juga seperti acara ritual nuju bulan, jumat kliwon, ruwatan, dll.
 
menarik den.. tapi saya penasaran tentang wujud asli kejawen sebelum islam - kristen, seperti tata cara ibadatnya, mantra dll itu hehehe.. karena klo ndak salah di kristen sendiri kan ada pula bentuk primordialisme jawa melalui GKJW, Gereja Kristen Jawi Wetan. :D
 
menarik den.. tapi saya penasaran tentang wujud asli kejawen sebelum islam - kristen, seperti tata cara ibadatnya, mantra dll itu hehehe.. karena klo ndak salah di kristen sendiri kan ada pula bentuk primordialisme jawa melalui GKJW, Gereja Kristen Jawi Wetan. :D

yup

pada dasarnya gereja kristen yang berbasis SUKU (jawa: GKJW, kalimantan: GKE, maluku: GKIT) rata2 menganut kejawen. yaitu tata ibadah tambahan d luar liturgi yg mengawinkan budaya setempat dengan doktrin eklesia yang ada
 
yup

pada dasarnya gereja kristen yang berbasis SUKU (jawa: GKJW, kalimantan: GKE, maluku: GKIT) rata2 menganut kejawen. yaitu tata ibadah tambahan d luar liturgi yg mengawinkan budaya setempat dengan doktrin eklesia yang ada
Nggak salah nih Moja? Mungkin khusus untuk kristen2 jawa aja kali ya kejawennya? dan bukan untuk kalimantan, maluku, batak dll



-dipi-
 
Nggak salah nih Moja? Mungkin khusus untuk kristen2 jawa aja kali ya kejawennya? dan bukan untuk kalimantan, maluku, batak dll



-dipi-


ak pernah observasi d kedua gereja tersebut (GKE dan GKIT).

kl HKBP ak blm tau.

d GKE sendiri yg d Kalbar ada ritual Naik Dangau. Masyarakatnya yg 99% kristen ini melaksanakan acara tsb jika mereka selesai panen. Adat dan ritual mereka juga mengacu pada Sang Khalik (soteriologi) yang ada pada doktrin kristen

sedangkan d NTT pada suku Ngada penganut kristen (GKIT) ada ritual yang d sebut Sangaza. yaitu ritual pembuatan rumah baru atau pemugaran rumah adat. Tata lakunya sama seperti yg terjadi pada kejawen d masyarakat jawa, yaitu mengadopsi adat setempat dan seremoni yang ada d gereja.
 
Last edited:
klo kejawen (yang orang jawa hehehe) sebelum islam itu mengadopsi agama apa ya? hindu, budha atau mungkin yang lain?
 
Dari buku yang pernah aku baca, kejawen (aku lebih prefer menyebutnya javanism) bahkan sudah ada sebelum hindu-budha masuk ke tanah jawa. Pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat)...

Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).....

Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka....

Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra.....



-dipi-
 
kenyataan yg ada saat ini sih khususnya di jawa! orang2 yg ga/males ke masjid pa gereja ambil mudahnya opini orang dia ngikut "kejawen".
cuma kaprahnya.. orang2 kek gini sukanya(umum) ber profesi aneh2. dukun, jual beli keris pa barang2 antik dll.(ke mesjid dibilang musyrik, ke gereja ga pernah kuliah dokter brani ngobatin orang.. malu!)
kejawen yg sebenarnya maunya pengen ngerti, dan lebih dekat ke maha pencipta.
jawa diartikan disini ngerti,paham.
Disini susahnya... sampai saat ini ga ada yg bisa menjelaskan dg detil. harusnya gimana lakunya apa agar mampu dekat padaNYA. kitabnya ga ada. pelajaran diturunkan secara wejangan.(bicara langsung pada muridnya. dan pemali untuk dibukukan!) belum ada dan ga akan ada guru yg bisa ngajarkan dg murni.(meski setingkat syekh siti-jenar masih belum bisa dikatakan guru!) pengajar yg benar adalah tanpa cacat sedikitpun.. selama masih berupa guru manusia selalu ada cacatnya.
mau tau lebih banyak? coba baca2 lansiranku berbagi dasar meditasi.

- n1 -
 
Back
Top