Kuliner Dalam Sejarah Dan Budaya [Last Subject: Garam]

Re: 1st Project Forum Sejarah & Budaya: Kuliner Dalam Bingkai Sejarah dan Budaya

Pernah terlintas pertanyaan soal bagaimana awalnya ada masakan yang namanya gudeg? Siapa yang pertama kali memakai bumbu cabe dalam sebuah masakan? Kapan orang pertama kali menggunakan garam? Bagaimana sejarahnya sate, pempek, rendang, pecel dan lain-lain? Filosofi apa yang ada dibalik tumpeng? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya...

Kalau iya, berarti sama dengan yang terjadi pada saya. Dan berawal dari situ, melalui thread ini, saya mencoba untuk membuat kajian historis dan budaya dalam sebuah kuliner, baik itu mengenai bahan mentahnya ataupun masakan yang sudah jadi...

Menuliskan sebuah sejarah makanan tertentu itu sangatlah susah sekali. Disamping masih belum banyak literatur, juga karena yang namanya makanan itu bukan 'ditemukan' tapi ada karena berkembang sehingga sulit ditentukan kapan waktunya makanan atau bahan makanan itu muncul...

Saya menyebut thread ini sebagai project forum sejarah & budaya, karena nantinya apa yang akan kita tulis dan kita bahas bukanlah sebuah thread yang sekedar copy paste, tapi juga berdasarkan studi pustaka, pengumpulan bahan, wawancara dan pengamatan yang kemudian dirangkum dalam sebuah tulisan...

Karena itu saya meminta bantuan dari rekan-rekan masyarakat ii sekalian untuk menyampaikan informasi, data ataupun sumber dari topik tertentu yang sedang kita bahas, yang pastinya semua info yang disampaikan tersebut bisa dipertanggungjawabkan dan valid, untuk kemudian kita rangkum menjadi sebuah artikel dengan topik kuliner, bisa bahan makanan, bumbu atau masakan yang ditinjau dari sisi sejarah dan atau budayanya....

Sebagai contoh begini, ketika kita sedang membahas soal sejarah penggunaan garam, info atau data yang bisa disampaikan kita fokuskan pada hal itu dulu, nanti dari banyak info lalu kita rangkum dalam bentuk artikel mengenai garam....

Info sekecil apapun mengenai topik tertentu sangatlah diharapkan...So let's begin....




-dipi-
 
Re: 1st Project Forum Sejarah & Budaya: Kuliner Dalam Bingkai Historis dan Kultural

Garam

Kita bahas mengenai garam ya...

Garam ini adalah bahan/bumbu masakan yang ditemukan hampir di semua peradaban. Diperkirakan awal munculnya adalah sejak jaman neolitikum. Reay Tannahill dalam bukunya Food in History menyebutkan bahwa produksi garam sudah dilakukan manusia pada jaman neolitikum yaitu fase atau tingkat kebudayaan pada zaman prasejarah yang mempunyai ciri-ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan dari batu yang diasah, pertanian menetap, peternakan, dan pembuatan tembikar. Tapi penggunaan 'rasa asin' pada makanan sudah dilakukan manusia seribu abad sebelum manusia memproduksinya pada jaman neolitikum tersebut. Sebelum ditemukan cara memproduksi garam, manusia memberikan rasa asin pada makanannya dengan cara diantaranya dengan menggunakan air laut, akan tetapi rasa tersebut akan segera hilang saat selesai dimasak (dibakar).

Garam mulai diproduksi secara masal diperkirakan dilakukan pada milenium pertama sebelum Masehi, di mana pada saat itu sudah berdiri pemerintahan administratif di China, Dinasti Ptolemy di Mesir dan Dinasti Sekulus di Persia.

Dalam buku Cambridge World History of Food, Kenneth F. Kiple dan Kriemhild Conee Ornelas menuliskan bahwa pada masa awal produksi garam yang sekarang kita kenal, yaitu Natrium Klorida (NaCl) dilakukan dengan beberapa metode seperti dengan menguapkan air laut dengan bantuan sinar matahari, mendidihkan air yang mengandung garam sehingga terbentuk lapisan garam sampai ke penambangan garam yang sudah membatu karena proses alam di sumber-sumber air garam.

Pembuatan garam pada jaman tersebut sudah dimasukkan dalam salah satu kegiatan pertanian, di mana orang jaman itu sudah menyebutnya dengan kegiatan memanen garam. Menurut sejarawan kuno Herodotus, garam merupakan produk yang sangat penting di masa itu. Banyak orang rela bepergian jauh untuk mendapatkan garam, seperti melintasi Sahara untuk menuju ke Libya di mana di sana disebutkan ada pertambangan garam yang besar. Mereka menukar garam dengan emas atau budak. Pada masa sebelum Alexander yang Agung berkuasa disebutkan bahwa terdapat pertanian ladang garam yang cukup besar di daerah India Utara. Begitu juga dengan wilayah Amerika, sebelum kedatangan Columbus, suku Maya dan Aztec sudah melakukan pengolahan makanan dengan menggunakan garam dan melakukan perdagangan garam. Di China bukti adanya penambangan garam ditemukan dengan menunjukkan tahun 2000 SM. Di Eropa, di masa awal produksi garam, dilakukan dengan cara menambang sumber garam yang terdapat di bawah tanah, seperti yang dilakukan di pertambangan garam Nantwich di Cheshire dan Luneburg di Jerman, seperti yang ditulis Alan Davidson dalam Oxford Companion to Food. Pada abad ke 18, mulai ditemukan beberapa pengembangan industri dari penggunaan garam, seperti dikembangkannya natrium carbonat pada 1792 dalam industri bahan baku air soda karbonasi.

Sebegitu pentingnya garam dalam kehidupan, Plato menggambarkan garam sebagai "Sebuah material yang dicintai dewa", Aristoteles menulis bahwa garam adalah hadiah musim semi yang berasal dari dewa dan homer menyebut garam sebagai "wahyu Ilahi". Pada masa Romawi Kuno, harga garam sangat mahal. Oleh karena mahalnya garam pada masa itu lalu dipakai untuk membayar gaji para pekerja dan prajurit dengan salarium (garam). Istilah salarium (Latin) yang maksudnya ‘garam’ itu dipakai untuk gaji yang kemudian diambil dalam bahasa Inggris salary. Lucunya garam dalam bahasa Inggris kuno adalah ‘sealt’. Bila kita hilangkan dua huruf terakhir –lt, kita akan dapatkan kata ‘sea’ yang artinya laut. Mungkin juga maksudnya begitu karena air laut rasanya asin dan garam berasal dari laut.

Khusus di China, Mark Kurlansky dalam Salt: A World History, menyebutkan garam ada pada masa Huangdi, di mana pada masa itu berkembang juga peradaban dalam soal tulis menulis, pengembangan persenjataan dan transportasi. Pada masa tersebut diduga terjadi perang yang disebabkan karena perebutan lahan garam, di mana saat itu terdapat ladang garam di China Utara tepatnya di Provinsi Shanxi. Di wilayah ini terdapat ladang garam dari danau air asin yang mengering, yaitu danau Yuncheng. Pada tahun 6000 SM, dikatakan hampir setiap tahun pada saat panen garam terjadi perang untuk mengontrol kepemilikan garam oleh beberapa dinasti di tempat ini. Untuk produksi garam, bukan dari menambang, di China disebutkan diawali pada tahun 800 SM pada jaman dinasti Shia.

Bagaimana dengan sejarah garam di Nusantara?

Butiran sejarah garam di Nusantara ini yang juga pernah disebutkan Denys Lombard sepertinya masih harus dituliskan karena dalam Encylopaedie Nederlandsch Indie dibawah entri zout (garam) tidak memberikan keterangan apa pun mengenai sejarah garam sebelum abad ke-19.

Padahal, jauh sebelumnya menurut beberapa catatan disamping gula kelapa, asam, terasi, ikan asin, bawang merah dan bermacam-macam bumbu, garam (wuyah) merupakan salah satu komoditas makanan dan bumbu-bumbuan yang dibawa para pedagang yang lebih profesional serta memiliki jangkauan yang lebih luas di Jawa (Rahardjo 2002:331; Nastiti 1995:88-89). Hal ini dapat ditemukan dalam prasasti abad IX-X Masehi. Dalam hal ini garam yang diperoleh dengan cara kuno erat kaitannya dengan proses pengawetan ikan (ikan asin) pada masa itu.

Sebagai masyarakat yang tinggal di negara kepulauan dan dikelilingi laut tentu masyarakat Nusantara yang tinggal di pantai tahu cara-cara membuat garam. Apalagi garam, khususnya di pulau Jawa tidak berada di dalam tanah, melainkan di atas permukaan tanah yaitu di pantai. Sementara itu orang Maluku membuat garam dengan menuangkan air laut ke unggunan api di pantai kemudian merebus lagi abunya dengan air laut.

Di beberapa daerah pantai yang musim kemaraunya panjang, mereka mengusahakan garam dengan membiarkan matahari mengeringkan air laut yang sudah dipetak-petakkan di tepi pantai, seperti di pantai utara Jawa Timur. Dan garam ini merupakan salah satu komoditi ekspor utama dari pelabuhan-pelabuhan antara Juwana dan Surabaya. Para pedagang lalu membawa garam Jawa Timur ini ke Sulawesi dan Maluku serta memperdagangkannya secara langsung maupun melalui Banten ke Sumatera.

Pieter Willemsz dalam Atchins Dachregister 1642 mengatakan dari Jaratan, Gresik, Pati, Juwana dan tempat-tempat di sekitarnya, para pedagang itu membawa garam yang mutunya baik. Orang biasanya membeli 800 gantang (1 gantang = 3,1 kg) seharga 150.000 perak dan menjualnya ke Banten seharga 1.000 perak setiap 3 gantang. Mereka juga membawanya ke Sumatera ke pelabuhan-pelabuhan seperti Baros, Pariaman, Tulang Bawang, Indragiri dan Jambi.

Gerrit Knaap dan Heather Sutherland menyebutkan bahwa pada 1720 komoditas perdagangan utama yang dikirim Semarang ke Makassar adalah tembakau, beras dan garam. Masing-masing seberat 2300, 1800 dan 800 pikul (Knaap & Sutherland 2004: 140). Garam itu memang didatangkan dari Jawa karena Makassar ketika itu sedang berada dalam peperangan. Awalnya Makassar juga mengirimkan garam, hasil produk lokal mereka namun akhirnya lenyap pada paruh kedua abad ke-18 karena kualitasnya kalah bersaing dengan garam dari Jawa.

J.Crawfurd dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (1856) menyebutkan bahwa prinsip tambak garam hanya dikenal di pantai utara Jawa dan di daerah Pengasinan di Pulau Luzon. Ia juga menyebutkan adanya proses kuno pembuatan garam di tempat lain seperti pembakaran tanaman air di Kalimantan dan pengumpulan air laut yang kemudian dipercepat penguapannya di pantai selatan Jawa (Lombard II 2000:98). Tetapi hal itu dibantah Denys Lombard, menurutnya cara itu tidak ditemukan di pantai selatan Jawa tetapi di Bali timur (daerah Karang Asem) dan di dekat Bandar Aceh, Sumatera Utara. Ada kemungkinan proses pembuatan garam dengan membuat tambak-tambak itu mendapat pengaruh dari metode pembuatan garam di Hokian, China. Tetapi tampaknya kita perlu membandingkannya dengan perbagai cara yang diuraikan dalam teks-teks China untuk dapat mengenali teknik kuno di Jawa tersebut.

Dilihat dari sejarah, produksi garam di Indonesia sebelum dikembangkannya pembuatan garam secara modern oleh Pemerintah Kolonial pada abad ke-19, hampir seluruhnya dikuasai orang Tionghoa. Pemerintah Kolonial lalu mengambil alih tambak-tambak garam besar yang terdapat di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura) di Jawa Timur.

Penggarapan tambak garam inilah merupakan salah satu hal yang menyebabkan pulau Madura memiliki nilai ekonomi yang lebih besar sebagai pemasok utama garam ke wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara (Ricklefs 2005:286). Namun menurut Daghregister dari Batavia pada 1648, 1661, 1663 tidak disebutkan garam dalam daftar hasil yang diekspor. Yang disebutkan justru hanya beras, sayur-sayuran dan bumbu serta barang anyaman, minyak dan cita Jawa (batik). Sehingga dapat disimpulkan garam belumlah dapat dikatakan sebagai sumber penghasilan yang tertua bagi Madura (Lombard II 2000: 411).

Dalam perdagangan bahan makanan di perairan Asia Tenggara, Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah pengekspor terbesar. Selama dua bulan di tahun 1642, dua belas perahu orang Jawa sampai ke Aceh. Muatan utama perahu-perahu itu terutama adalah bahan makanan “garam, gula, buncis, kacang-kacangan dan bahan-bahan makanan lainnya”, demikian tulis Pieter Willemsz dalam Atchins Daghregister 1642 (Reid 1992:37).

Di Aceh, dimana emas dipakai sebagai alat tukar orang Aceh menukarnya kepada orang-orang yang mereka kenal baik, di daerah Minangkabau dengan beras, senjata dan kain katun. Seperti juga kepada orang Priaman dengan lada, garam, baja dari Masulipatam dan kain dari Surat (Lombard 2006:100)

Karena dianggap menguntungkan maka aturan terhadap garam dianggap perlu juga diterapkan. Peraturan pertama mengenai garam ditemukan dalam Plakaatboek yang berangka tahun 1648. Isinya mengenai orang Cina Conjock yang telah memasang kuali-kuali garamnya (zoutpannen) di sebelah barat Batavia dan memperoleh izin untuk mengekspor hasilnya secara bebas bea. Tetapi dengan syarat mereka dapat memenuhi keperluan Kompeni dan kaum burgher (penduduk kota) dengan harga yang ditetapkan sebesar 8 rial sekali muat. Monopoli itu dikonfirmasikan pada tahun berikutnya dan diterbitkan dalam bahasa Belanda, Portugis, Melayu dan Cina. Namun peraturan itu kemudian dibatalkan tahun 1654 karena kualitas garam yang dipasok pada masa itu menurun sekali. (Lombard II 2000:273)

Dengan kata lain sebelum pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19 mengembangkan pembuatan garam secara modern dengan mengambil alih tambak-tambak garam besar di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura), produksi garam dikuasai oleh orang Tionghoa.

Di abad 18, Plakaatboek yang sama juga beberapa kali menyebutkan pengusaha garam yaitu orang Tionghoa, dan ketika telah dibangun zoutnegoryen (negeri garam) justru para penduduk sebenarnya dikuasai oleh pemilik tambak garam. Semacam monopoli pembuatan dan perdagangan garam oleh orang Tionghoa. Sistem ini ditegaskan kembali pada masa pemerintahan Daendels (1807-1810) dalam Nederlandsch Indië Plakaatboek XV yang dapat dilihat dalam “Reglement voor de huurders van negorijen en desa’s, aan suikermolens, zoutpannen en de zoogenaamde volgelnest klippen verbonden”.

Sistem tersebut adalah sistem monopoli dimana orang Tionghoa mendapat hak privilege atas garam ini kelak dianggap memalukan bagi Raffles yang memerintah di Hindia Belanda 1811-1816 sehingga ia menghapuskan untuk selamanya sistem itu. Hal itu kemungkinan besar merupakan pukulan keras bagi struktur perekonomian orang Tionghoa. (Lombard II 2000:273)

Tahun 1813, Raffles menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Namun, karena kaum buruh garam, terutama di pantai utara Jawa seperti di Banten, Karawang, Cirebon dan Semarang berhasil mensiasati peraturan monopoli itu, maka pada tahun 1870 akhirnya pengusahaan garam dibatasi dengan sewenang-wenang pada Pulau Madura saja. Dengan alasan lebih mudah diawasi.

Pada awalnya pemerintah kolonial hanya membeli garam dari pembuat-pembuatnya dengan harga tetap, lalu mereka membuka perusahaan pada tahun 1918 dan pada akhirnya pada tahun 1936 mengambil alih seluruh produksinya. Sistem yang dipakai masih berlangsung hingga sekarang. Para buruh membawa garam ke gudang. Lalu garam itu dibersihkan dan dibentuk briket sebelum didistribusikan. Garam itu berasal dari tambak garam yang luasnya kini kira-kira 6000 ha, terletak di berbagai tempat di pantai selatan, terutama di sebelah timur daerah Sumenep, 600 ha terletak di pantai Jawa, di sekitar Gresik. Sementara itu produksi tahunan dari waktu ke waktu berubah banyak, rata-rata ditaksir sebesar 50 ton per ha, kira-kira secara keseluruhan sebanyak 300.000 ton. Perusahaan itu mempekerjakan 5000 buruh tetap dan 15.000 buruh musiman (Lombard II 2000:98).

Monopoli pemerintah kolonial tidak hanya di Jawa dan Madura, monopoli meluas ke beberapa distrik di Sumatra dan hampir seluruh Borneo (Kalimantan). Sementara itu di barat daya Sulawesi pembuatan garam masih berada di tangan pihak swasta (Handbook of the Netherlands Indies 1930:121)

Pada jaman Jepang ketika produksi garam di Pulau Jawa berhenti, penduduk Sumatra ramai-ramai merebus air laut untuk mendapatkan garam. Pada 1957 monopoli garam dihapus. Garam negara pun berubah menjadi perusahaan negara pada 1960 (Cribb 2004: 382).


Ada yang ingin menambahkan??




-dipi-
 
Re: 1st Project Forum Sejarah & Budaya: Kuliner Dalam Bingkai Historis dan Kultural

Garam

Kita bahas mengenai garam ya...

Garam ini adalah bahan/bumbu masakan yang ditemukan hampir di semua peradaban. Diperkirakan awal munculnya adalah sejak jaman neolitikum. Reay Tannahill dalam bukunya Food in History menyebutkan bahwa produksi garam sudah dilakukan manusia pada jaman neolitikum yaitu fase atau tingkat kebudayaan pada zaman prasejarah yang mempunyai ciri-ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan dari batu yang diasah, pertanian menetap, peternakan, dan pembuatan tembikar. Tapi penggunaan 'rasa asin' pada makanan sudah dilakukan manusia seribu abad sebelum manusia memproduksinya pada jaman neolitikum tersebut. Sebelum ditemukan cara memproduksi garam, manusia memberikan rasa asin pada makanannya dengan cara diantaranya dengan menggunakan air laut, akan tetapi rasa tersebut akan segera hilang saat selesai dimasak (dibakar).

Garam mulai diproduksi secara masal diperkirakan dilakukan pada milenium pertama sebelum Masehi, di mana pada saat itu sudah berdiri pemerintahan administratif di China, Dinasti Ptolemy di Mesir dan Dinasti Sekulus di Persia.

Dalam buku Cambridge World History of Food, Kenneth F. Kiple dan Kriemhild Conee Ornelas menuliskan bahwa pada masa awal produksi garam yang sekarang kita kenal, yaitu Natrium Klorida (NaCl) dilakukan dengan beberapa metode seperti dengan menguapkan air laut dengan bantuan sinar matahari, mendidihkan air yang mengandung garam sehingga terbentuk lapisan garam sampai ke penambangan garam yang sudah membatu karena proses alam di sumber-sumber air garam.

Pembuatan garam pada jaman tersebut sudah dimasukkan dalam salah satu kegiatan pertanian, di mana orang jaman itu sudah menyebutnya dengan kegiatan memanen garam. Menurut sejarawan kuno Herodotus, garam merupakan produk yang sangat penting di masa itu. Banyak orang rela bepergian jauh untuk mendapatkan garam, seperti melintasi Sahara untuk menuju ke Libya di mana di sana disebutkan ada pertambangan garam yang besar. Mereka menukar garam dengan emas atau budak. Pada masa sebelum Alexander yang Agung berkuasa disebutkan bahwa terdapat pertanian ladang garam yang cukup besar di daerah India Utara. Begitu juga dengan wilayah Amerika, sebelum kedatangan Columbus, suku Maya dan Aztec sudah melakukan pengolahan makanan dengan menggunakan garam dan melakukan perdagangan garam. Di China bukti adanya penambangan garam ditemukan dengan menunjukkan tahun 2000 SM. Di Eropa, di masa awal produksi garam, dilakukan dengan cara menambang sumber garam yang terdapat di bawah tanah, seperti yang dilakukan di pertambangan garam Nantwich di Cheshire dan Luneburg di Jerman, seperti yang ditulis Alan Davidson dalam Oxford Companion to Food. Pada abad ke 18, mulai ditemukan beberapa pengembangan industri dari penggunaan garam, seperti dikembangkannya natrium carbonat pada 1792 dalam industri bahan baku air soda karbonasi.

Sebegitu pentingnya garam dalam kehidupan, Plato menggambarkan garam sebagai "Sebuah material yang dicintai dewa", Aristoteles menulis bahwa garam adalah hadiah musim semi yang berasal dari dewa dan homer menyebut garam sebagai "wahyu Ilahi". Pada masa Romawi Kuno, harga garam sangat mahal. Oleh karena mahalnya garam pada masa itu lalu dipakai untuk membayar gaji para pekerja dan prajurit dengan salarium (garam). Istilah salarium (Latin) yang maksudnya ‘garam’ itu dipakai untuk gaji yang kemudian diambil dalam bahasa Inggris salary. Lucunya garam dalam bahasa Inggris kuno adalah ‘sealt’. Bila kita hilangkan dua huruf terakhir –lt, kita akan dapatkan kata ‘sea’ yang artinya laut. Mungkin juga maksudnya begitu karena air laut rasanya asin dan garam berasal dari laut.

Khusus di China, Mark Kurlansky dalam Salt: A World History, menyebutkan garam ada pada masa Huangdi, di mana pada masa itu berkembang juga peradaban dalam soal tulis menulis, pengembangan persenjataan dan transportasi. Pada masa tersebut diduga terjadi perang yang disebabkan karena perebutan lahan garam, di mana saat itu terdapat ladang garam di China Utara tepatnya di Provinsi Shanxi. Di wilayah ini terdapat ladang garam dari danau air asin yang mengering, yaitu danau Yuncheng. Pada tahun 6000 SM, dikatakan hampir setiap tahun pada saat panen garam terjadi perang untuk mengontrol kepemilikan garam oleh beberapa dinasti di tempat ini. Untuk produksi garam, bukan dari menambang, di China disebutkan diawali pada tahun 800 SM pada jaman dinasti Shia.

Bagaimana dengan sejarah garam di Nusantara?

Butiran sejarah garam di Nusantara ini yang juga pernah disebutkan Denys Lombard sepertinya masih harus dituliskan karena dalam Encylopaedie Nederlandsch Indie dibawah entri zout (garam) tidak memberikan keterangan apa pun mengenai sejarah garam sebelum abad ke-19.

Padahal, jauh sebelumnya menurut beberapa catatan disamping gula kelapa, asam, terasi, ikan asin, bawang merah dan bermacam-macam bumbu, garam (wuyah) merupakan salah satu komoditas makanan dan bumbu-bumbuan yang dibawa para pedagang yang lebih profesional serta memiliki jangkauan yang lebih luas di Jawa (Rahardjo 2002:331; Nastiti 1995:88-89). Hal ini dapat ditemukan dalam prasasti abad IX-X Masehi. Dalam hal ini garam yang diperoleh dengan cara kuno erat kaitannya dengan proses pengawetan ikan (ikan asin) pada masa itu.

Sebagai masyarakat yang tinggal di negara kepulauan dan dikelilingi laut tentu masyarakat Nusantara yang tinggal di pantai tahu cara-cara membuat garam. Apalagi garam, khususnya di pulau Jawa tidak berada di dalam tanah, melainkan di atas permukaan tanah yaitu di pantai. Sementara itu orang Maluku membuat garam dengan menuangkan air laut ke unggunan api di pantai kemudian merebus lagi abunya dengan air laut.

Di beberapa daerah pantai yang musim kemaraunya panjang, mereka mengusahakan garam dengan membiarkan matahari mengeringkan air laut yang sudah dipetak-petakkan di tepi pantai, seperti di pantai utara Jawa Timur. Dan garam ini merupakan salah satu komoditi ekspor utama dari pelabuhan-pelabuhan antara Juwana dan Surabaya. Para pedagang lalu membawa garam Jawa Timur ini ke Sulawesi dan Maluku serta memperdagangkannya secara langsung maupun melalui Banten ke Sumatera.

Pieter Willemsz dalam Atchins Dachregister 1642 mengatakan dari Jaratan, Gresik, Pati, Juwana dan tempat-tempat di sekitarnya, para pedagang itu membawa garam yang mutunya baik. Orang biasanya membeli 800 gantang (1 gantang = 3,1 kg) seharga 150.000 perak dan menjualnya ke Banten seharga 1.000 perak setiap 3 gantang. Mereka juga membawanya ke Sumatera ke pelabuhan-pelabuhan seperti Baros, Pariaman, Tulang Bawang, Indragiri dan Jambi.

Gerrit Knaap dan Heather Sutherland menyebutkan bahwa pada 1720 komoditas perdagangan utama yang dikirim Semarang ke Makassar adalah tembakau, beras dan garam. Masing-masing seberat 2300, 1800 dan 800 pikul (Knaap & Sutherland 2004: 140). Garam itu memang didatangkan dari Jawa karena Makassar ketika itu sedang berada dalam peperangan. Awalnya Makassar juga mengirimkan garam, hasil produk lokal mereka namun akhirnya lenyap pada paruh kedua abad ke-18 karena kualitasnya kalah bersaing dengan garam dari Jawa.

J.Crawfurd dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (1856) menyebutkan bahwa prinsip tambak garam hanya dikenal di pantai utara Jawa dan di daerah Pengasinan di Pulau Luzon. Ia juga menyebutkan adanya proses kuno pembuatan garam di tempat lain seperti pembakaran tanaman air di Kalimantan dan pengumpulan air laut yang kemudian dipercepat penguapannya di pantai selatan Jawa (Lombard II 2000:98). Tetapi hal itu dibantah Denys Lombard, menurutnya cara itu tidak ditemukan di pantai selatan Jawa tetapi di Bali timur (daerah Karang Asem) dan di dekat ###### Aceh, Sumatera Utara. Ada kemungkinan proses pembuatan garam dengan membuat tambak-tambak itu mendapat pengaruh dari metode pembuatan garam di Hokian, China. Tetapi tampaknya kita perlu membandingkannya dengan perbagai cara yang diuraikan dalam teks-teks China untuk dapat mengenali teknik kuno di Jawa tersebut.

Dilihat dari sejarah, produksi garam di Indonesia sebelum dikembangkannya pembuatan garam secara modern oleh Pemerintah Kolonial pada abad ke-19, hampir seluruhnya dikuasai orang Tionghoa. Pemerintah Kolonial lalu mengambil alih tambak-tambak garam besar yang terdapat di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura) di Jawa Timur.

Penggarapan tambak garam inilah merupakan salah satu hal yang menyebabkan pulau Madura memiliki nilai ekonomi yang lebih besar sebagai pemasok utama garam ke wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara (Ricklefs 2005:286). Namun menurut Daghregister dari Batavia pada 1648, 1661, 1663 tidak disebutkan garam dalam daftar hasil yang diekspor. Yang disebutkan justru hanya beras, sayur-sayuran dan bumbu serta barang anyaman, minyak dan cita Jawa (batik). Sehingga dapat disimpulkan garam belumlah dapat dikatakan sebagai sumber penghasilan yang tertua bagi Madura (Lombard II 2000: 411).

Dalam perdagangan bahan makanan di perairan Asia Tenggara, Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah pengekspor terbesar. Selama dua bulan di tahun 1642, dua belas perahu orang Jawa sampai ke Aceh. Muatan utama perahu-perahu itu terutama adalah bahan makanan “garam, gula, buncis, kacang-kacangan dan bahan-bahan makanan lainnya”, demikian tulis Pieter Willemsz dalam Atchins Daghregister 1642 (Reid 1992:37).

Di Aceh, dimana emas dipakai sebagai alat tukar orang Aceh menukarnya kepada orang-orang yang mereka kenal baik, di daerah Minangkabau dengan beras, senjata dan kain katun. Seperti juga kepada orang Priaman dengan lada, garam, baja dari Masulipatam dan kain dari Surat (Lombard 2006:100)

Karena dianggap menguntungkan maka aturan terhadap garam dianggap perlu juga diterapkan. Peraturan pertama mengenai garam ditemukan dalam Plakaatboek yang berangka tahun 1648. Isinya mengenai orang Cina Conjock yang telah memasang kuali-kuali garamnya (zoutpannen) di sebelah barat Batavia dan memperoleh izin untuk mengekspor hasilnya secara bebas bea. Tetapi dengan syarat mereka dapat memenuhi keperluan Kompeni dan kaum burgher (penduduk kota) dengan harga yang ditetapkan sebesar 8 rial sekali muat. Monopoli itu dikonfirmasikan pada tahun berikutnya dan diterbitkan dalam bahasa Belanda, Portugis, Melayu dan Cina. Namun peraturan itu kemudian dibatalkan tahun 1654 karena kualitas garam yang dipasok pada masa itu menurun sekali. (Lombard II 2000:273)

Dengan kata lain sebelum pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19 mengembangkan pembuatan garam secara modern dengan mengambil alih tambak-tambak garam besar di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura), produksi garam dikuasai oleh orang Tionghoa.

Di abad 18, Plakaatboek yang sama juga beberapa kali menyebutkan pengusaha garam yaitu orang Tionghoa, dan ketika telah dibangun zoutnegoryen (negeri garam) justru para penduduk sebenarnya dikuasai oleh pemilik tambak garam. Semacam monopoli pembuatan dan perdagangan garam oleh orang Tionghoa. Sistem ini ditegaskan kembali pada masa pemerintahan Daendels (1807-1810) dalam Nederlandsch Indië Plakaatboek XV yang dapat dilihat dalam “Reglement voor de huurders van negorijen en desa’s, aan suikermolens, zoutpannen en de zoogenaamde volgelnest klippen verbonden”.

Sistem tersebut adalah sistem monopoli dimana orang Tionghoa mendapat hak privilege atas garam ini kelak dianggap memalukan bagi Raffles yang memerintah di Hindia Belanda 1811-1816 sehingga ia menghapuskan untuk selamanya sistem itu. Hal itu kemungkinan besar merupakan pukulan keras bagi struktur perekonomian orang Tionghoa. (Lombard II 2000:273)

Tahun 1813, Raffles menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Namun, karena kaum buruh garam, terutama di pantai utara Jawa seperti di Banten, Karawang, Cirebon dan Semarang berhasil mensiasati peraturan monopoli itu, maka pada tahun 1870 akhirnya pengusahaan garam dibatasi dengan sewenang-wenang pada Pulau Madura saja. Dengan alasan lebih mudah diawasi.

Pada awalnya pemerintah kolonial hanya membeli garam dari pembuat-pembuatnya dengan harga tetap, lalu mereka membuka perusahaan pada tahun 1918 dan pada akhirnya pada tahun 1936 mengambil alih seluruh produksinya. Sistem yang dipakai masih berlangsung hingga sekarang. Para buruh membawa garam ke gudang. Lalu garam itu dibersihkan dan dibentuk briket sebelum didistribusikan. Garam itu berasal dari tambak garam yang luasnya kini kira-kira 6000 ha, terletak di berbagai tempat di pantai selatan, terutama di sebelah timur daerah Sumenep, 600 ha terletak di pantai Jawa, di sekitar Gresik. Sementara itu produksi tahunan dari waktu ke waktu berubah banyak, rata-rata ditaksir sebesar 50 ton per ha, kira-kira secara keseluruhan sebanyak 300.000 ton. Perusahaan itu mempekerjakan 5000 buruh tetap dan 15.000 buruh musiman (Lombard II 2000:98).

Monopoli pemerintah kolonial tidak hanya di Jawa dan Madura, monopoli meluas ke beberapa distrik di Sumatra dan hampir seluruh Borneo (Kalimantan). Sementara itu di barat daya Sulawesi pembuatan garam masih berada di tangan pihak swasta (Handbook of the Netherlands Indies 1930:121)

Pada jaman Jepang ketika produksi garam di Pulau Jawa berhenti, penduduk Sumatra ramai-ramai merebus air laut untuk mendapatkan garam. Pada 1957 monopoli garam dihapus. Garam negara pun berubah menjadi perusahaan negara pada 1960 (Cribb 2004: 382).


Ada yang ingin menambahkan??




-dipi-

PEMBUATAN GARAM DI BALI

Secara tradisional, proses pembuatan garam di Bali sangat sederhana. Mula-mula petani garam menyiramkan air laut ke lading garam. Ladang garam adalah petak-petak yang dibuat di hamparan pasir di tepi pantai. Penyiraman air laut itu dilakukan pada pagi hari. Setelah terpanggang cahaya matahari sejak pagi hingga sore, pasir yang bercampur air laut itu akan membentuk gumpalan-gumpalan. Oleh petani garam, gumpalan pasir tersebut dikumpulkan lalu diletakkan pada bak yang tinggi, kemudian disiram lagi dengan air laut. Rembesan airnya ditampung dalam sebuah wadah, lalu disiramkan kembali ke dalam bak tadi.

Tampungan air rembesan yang kedua ditempatkan pada talang-talang yang terbuat dari pohon kelapa, aren atau pohon besar lainnya. Setelah beberapa lama, air itu akan mengristal menjadi garam. Garam tersebut lalu diambil dan ditiriskan dan siap untuk dijual. Pada cuaca baik, seluruh proses tersebut berlangsung selama lima hingga tujuh hari.
 
Back
Top