Sekolah Alam

Kalina

Moderator
Oleh D. Zawawi Imron
Pada umumnya, ruang kelas di sekolah itu dipagari empat keping tembok. Para pendidik tentunya tidak bermaksud agar anak didik sulit melihat keluar sehingga ada jarak dengan alam bebas. Di ruang kelas, anak didik cukup belajar dari buku dan ucapan-ucapan guru. Anak boleh mendengar di kelas nama pohon mahoni, tapi tak akan pernah melihat pohon itu karena di halaman atau di kebun sekolah tak ada pohon mahoni. Yang terjadi kemudian adalah sejenis verbalisme. Verbalisme dalam pendidikan barangkali belum dosa, hanya sekadar dianggap salah kaprah.

Penata tari Gusmiati Suid pernah bercerita bahwa ia bertemu anak orang gedongan yang jadi murid sekolah modern. Ketika anak itu ditanya dari mana asalnya telur, anak itu menjawab, "dari supermarket". Habis, anak itu tidak pernah menyaksikan ayam bertelur.

Tidak itu saja, di beberapa tempat, ada anak peternak yang sudah tidak akrab lagi dengan sapi, karena di sekolah tak ada waktu untuk memperkenalkan ternak secara konkret. Padahal, kata kolomnis Mahbub Djunaidi, sekali melihat lebih baik daripada seribu kali mendengar.

Itulah kiranya, di beberapa tempat ada orang-orang berinisiatif mendirikan "sekolah alam". Antara lain, produser film Boy Rifai mendirikan sekolah alam di Tawangmagu, Karanganyar, Jawa Tengah. Budayawan H M. Nasruddin Anshoriy Ch. mendirikan sekolah alam di pesantren "Ilmu Giri" di Bantul, Jogjakarta.

Yang pernah saya kunjungi ialah sekolah alam "Insan Mulia" di Surabaya. Sekolah ini didirikan tahun 1999 oleh para cendikiawan yang peduli terhadap alam, antara lain Drs Sulthon Amin MM, Prof Dr Muchlas Samani, dan beberapa pakar lainnya. Di sekolah ini, murid-murid diajak mengenal, mengakrabi, dan kemudian bersahabat dengan alam. Alam kalau dimakmurkan akan banyak memberikan manfaat bagi kita. Misalnya, kalau ditanami, dipupuk, disiram, dan dirawat dengan cinta, tanaman itu akan memberikan buah-buah yang baik kepada manusia. Tapi, kalau alam itu dirusak, dicemari, misalnya hutan-hutannya digunduli, alam itu bisa membalas dengan banjir yang menyengsarakan. Bahkan, kalau alam itu dijadikan arena maksiat, korupsi, pengkhianatan, dan lain-lain, maka alam kadangkala bisa marah dan membalas dengan bencana tak terduga sehingga teknologi yang supercanggih pun tidak berdaya menangkisnya.

Anak didik di sekolah alam yang saya kunjungi itu diupayakan terhindar dari verbalisme, yang sekadar tahu namanya, tapi tidak tahu beda dan kegunaannya. Agar anak-anak di sekolah alam itu mengenal aneka ragam pohon, di halaman sekolah yang luas ditanami lebih dari 100 jenis pohon. Murid-murid diberi sejenis "teologi khalifah" bahwa manusia diturunkan ke bumi ialah ditugaskan Tuhan untuk memakmurkan bumi.

Agar murid-murid mengenal margasatwa, mereka diantar ke kebun binatang. Ke kebun binatang mereka tidak sekadar diarahkan sebagai turis, lebih dari itu diberi bekal rasa "ingin tahu" sebagai calon intelektual yang "haus ilmu". Dalam bidang studi sastra, sekali-kali sekolah alam itu mengundang sastrawan untuk mengajar menulis dan membaca puisi. Pada saat yang lain, siswa secara bergantian diajak hidup dan bermalam di tengah-tengah masyarakat petani. Siswa ikut turun ke sawah berlumur lumpur, ikut bekerja, dan bersuka duka bersama petani selama beberapa hari.

Meskipun anak-anak ini rata-rata putra orang-orang kelas menengah ke atas, dan tidak semua akan jadi petani, mereka ditanami rasa cinta pada dunia pertanian. Kalau nanti mereka jadi pejabat diharapkan menjadi pejabat yang mengerti penderitaan orang kecil dan perjuangan Bapak Tani.

Di sekolah alam itu tidak hanya diajarkan percaya kepada buku. Semua bidang studi yang ditargetkan kurikulum pemerintah diajarkan, tapi selebihnya mereka diarahkan untuk membaca alam. Ada adagium dalam bahasa latin, natura artis magistra, alam adalah guru seni yang baik. Tapi, bagi orang Minangkabau, alam bukan sekadar guru seni, tapi guru kehidupan. Buktinya mereka punya kearifan lokal berbunyi, alam takambang jadi guru, alam terkembang jadi guru. Sekarang, kalau di mana-mana ada kesadaran baru orang merasa perlu belajar pada alam, terkembang jadi guru. Sekarang, kalau di mana-mana ada kesadaran baru orang merasa perlu belajar pada alam, akhirnya kearifan lokal itu akan menjadi kearifan global.

Mungkin tidak semua pakar menyetujui adanya sekolah alam itu. Tapi, biarkan saja terus berkembang. Tidak perlu ada larang-melarang, apalagi larangannya hanya berdasarkan teori, tidak berdasarkan pengalaman. Kalau perlu di mana-mana muncul sekolah-sekolah alam yang lain. Biarkan seribu bunga bermekaran di atas bumi pertiwi.

Sekolah alam itu memang mengajarkan teori-teori seperti sekolah pada umumnya, kelebihannya ditambah dengan pengalaman-pengalaman yang konkret, agar teori tidak sekadar menjadi angan-angan atau mimpi.

Kalau dirumuskan dengan singkat, sekolah alam adalah sekolah tempat belajar bertindak mencintai alam, belajar menjadi manusia yang berdaya lahir batin, bertanggung jawab merawat dan mengawal negara, karena alam atau tanah air adalah sajadah tempat bersujud kepada Tuhan.
 
Back
Top