Serangga Transgenik sebagai Sumber Energi Terbarukan

nurcahyo

New member
Serangga Transgenik sebagai Sumber Energi Terbarukan

Seorang pemenang Nobel memberi solusi unik bagi krisis energi yang akan melanda dunia cepat atau lambat. Steven Chu, pemenang penghargaan Nobel bidang fisika tahun 1997 menyatakan bahwa setiap halaman rumah kita menyimpan sumber energi alami. Bahkan sumber energi ini cukup ramah lingkungan dan bisa dibudidayakan di tiap rumah tangga. Apakah itu? Sumber energi tersebut tak lain adalah rayap alias anai-anai. Menggelikan?
Chu memang tidak langsung mengklaim bahwa hewan tersebut bisa menyelamatkan dunia. Tapi ia yakin betul bahwa proses alami memungkinkan anai-anai menjadi pabrik penghasil sejenis materi tetumbuhan bernama selulosa. Materi ini bisa dibuat menjadi etanol, sejenis bahan bakar yang jauh lebih murah, ramah lingkungan dan tentu saja terbarukan.
Tentu saja mendengar kata rayap, pikiran kita melayang ke serangga merugikan yang mengganggu. Namun pikiran seorang Chu tak sampai di situ. Ia bahkan berpikir hingga bagaimana menciptakan serangga sejenis yang sengaja direkayasa sehingga bisa menghasilkan lebih banyak bahan etanol. Berarti akan ada anai-anai buatan yang mampu mengkonversi selolusa yang cukup bagi sumber energi manusia.
Memang proyek ini terdengar mengawang-awang. Faktanya Chu berhasil mendapat fasilitas untuk penelitiannya tersebut. Ia mengepalai Lawrence Berkeley Laboratory. Di sinilah ia bersama timnya menjalankan proyek ?awang-awang? tersebut.
Mutan
Etanol memang menjadi isu hangat di kalangan ilmuwan bidang energi saat ini. Bahan ini dipercaya mampu menjadi pengganti gasoline atau bensin. Namun ada satu masalah yang mengganjal. Dari banyak studi yang sudah dilakukan, justru dibutuhkan lebih banyak energi untuk mengekstraksi etanol dari sumbernya seperti jagung dibanding energi yang dihasilkannya. Tentu saja ini kerugian, bukan keuntungan.
Masalah inilah yang dijadikan "pekerjaan rumah" oleh Chu dan kawan-kawan. ?Kami mulai menguraikan mikro-organisme dalam perut anai-anai. Begitu satu gen saja berhasil diidentifikasi, para ilmuwan bisa mengembangkan apa yang disebut pemahaman kimiawi mengenai apa yang sungguh terjadi dalam selolusa,? ungkap Chu seperti yang dilansir ABC News Online baru-baru ini.
Selolusa terbentuk dari dinding keras sel-sel tumbuhan, sehingga bisa mewakili semua materi tanaman, baik mulai yang ada di pegunungan hingga sampah. Selolusa ini bisa dihancurkan atau difermentasi oleh mikroba yang memproduksi aneka produk seperti hidrogen dan metanol. Proses itu tak selamanya berjalan mulus. Kadang mikroba tak memproduksi cukup hidrogen maupun metanol untuk dimanfaatkan manusia. Inilah yang ingin diubah oleh Chu beserta timnya.
"Jika kita lihat bagaimana alam menyebabkan degradasi pada materi biologi seperti selolusa, maka kita akan menemukan bahwa mikro-organismelah yang paling berperan dalam pembentukan etanol dan metana," papar Chu. Masalahnya mikroba-mikroba ini menghasilkannya dalam jumlah minim ketimbang yang diperlukan. Maka jawabannya adalah mikro-organisme mutan alias buatan. Chu beserta timnya ingin membuat organisme yang jauh lebih efisien dalam memproduksi selolusa, lebih dari jumlah yang mereka butuhkan untuk sekadar bertahan hidup.
Pembuatan mikro-organisme mutan ini bisa dilakukan dengan perkawinan pilihan. Langkah ini hampir sama dengan yang dilakukan dalam membentuk kuda balap bibit unggul atau bibit jagung hibrida. Bahkan lebih tepat bila dikatakan mendekati proses transgenik, yakni memasukkan sandi khusus ke dalam DNA mikroba yang bersangkutan.
Transgenik
Langkah ini dimulai dari memasukkannya ke dalam genom mikro-organisme seperangkat gen-gen yang bisa membuatnya melakukan perintah kimiawi seperti yang kita inginkan. Ini yang disebut dengan biologi sintetis. Tentu saja prosedur ini membutuhkan perhatian khusus sebab tak setiap mikro-organisme akan bisa dengan mudah bereaksi dengan hal itu. Menurut Chu, mikro-organisme tersebut kadangkala merasa tak enak dengan kehadiran gen baru dalam tubuhnya, sebab menghasilkan perilaku atau sifat yang tidak mereka inginkan sebelumnya.
Prosedur rekayasa genetika alias transgenik seperti yang dilakukan Chu sudah memancing protes dan kritikan. Produk seperti tanaman transgenik beserta bibitnya telah mengundang kontroversi antarilmuwan dengan pemerhati lingkungan. Chu cukup paham dengan kenyataan tersebut. Terlebih lagi yang dilakukan Chu merupakan rekayasa genetika terhadap mikro-organisme serangga yang bisa dengan mudah menyebarluas tak terkendali. Bukan mustahil serangga mutan bisa menghadirkan efek Franskenstein yakni monster buatan justru menyerang manusia penciptanya. Chu mengklaim bahwa mikroba-mikroba itu bisa diprogram dengan baik. Ia bisa membuat serangga yang bersangkutan mati apabila melarikan diri.


Sumber : Sinar Harapan
 
Last edited by a moderator:
Back
Top