Kalina
Moderator
Jakarta - Dalam bukunya 'Miss Jinjing', Amelia Masniari menceritakan seorang shopaholic sejati Indonesia yang mengkoleksi sekitar 200 tas bermerek mahal. Semua tas itu masih dalam keadaan baru, tak pernah terpakai!
Lantas bagaimana dengan Anda? Apakah Anda termasuk shopaholic? Simak gejala-gejalanya berikut:
Apa shopaholic itu? Shopaholic berasal dari kata shop yang artinya belanja dan aholic yang artinya suatu ketergantungan yang disadari ataupun tidak. Menurut Oxford Expans, shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan.
Lantas bagaimana gejala-gejala seseorang yang mengalami shopaholic? Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mall dapat dikatakan shopaholic.
Menurut Klinik Servo (2007), seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.
Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.
Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.
Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dll yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.
Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.
Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.
Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.
Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.
Shopaholic biasanya digolongkan sebagai "penyimpangan obsesif-kompulsif" yang dapat disembuhkan dengan bantuan psikolog. Dengan kesabaran, ketekunan serta bantuan dari pihak professional, seorang shopaholic dapat kembali mengendalikan hidupnya.
Gangguan obsesif kompulsif adalah suatu gangguan psikologis yang ditandai dengan adanya pikiran-pikiran obsesif (pikiran-pikiran yang selalu berulang-ulang menghantui seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu) dan adanya perilaku kompulsif (perilaku yang selalu dilakukan berulang-ulang, tetapi jika tidak dilakukan maka seseorang akan merasa tersiksa).
Penderita obsesif kompulsif sebenarnya merasakan bahwa apa yang dilakukannya tidak rasional namun dirinya tidak mampu mengontrol kebiasaan yang dilakukannya tersebut.
Beberapa penyebab seseorang mengalami shopaholic:
Seseorang menganut gaya hidup hedonis (materialis) dan mempersepsi bahwa manusia adalah human having. Human having adalah seseorang yang cenderung mempersepsi orang lain berdasarkan apa yang dimiliki (seperti punya mobil, rumah, jabatan). Human having ini akan mengakibatkan seseorang merasa terus kekurangan, selalu diliputi kecemasan, tidak akan termotivasi untuk mengejar kebutuhan pada tingkat yang lebih.
Kecemasan yang berlebihan karena mengalami trauma di masa lalu.
Iklan-iklan yang ditampilkan di berbagai media yang menggambarkan bahwa pola hidup konsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan diri dari stres.
Adanya pikiran-pikiran obsesi yang tidak rasional
DetikNews
Lantas bagaimana dengan Anda? Apakah Anda termasuk shopaholic? Simak gejala-gejalanya berikut:
Apa shopaholic itu? Shopaholic berasal dari kata shop yang artinya belanja dan aholic yang artinya suatu ketergantungan yang disadari ataupun tidak. Menurut Oxford Expans, shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan.
Lantas bagaimana gejala-gejala seseorang yang mengalami shopaholic? Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mall dapat dikatakan shopaholic.
Menurut Klinik Servo (2007), seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.
Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.
Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.
Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dll yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.
Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.
Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.
Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.
Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.
Shopaholic biasanya digolongkan sebagai "penyimpangan obsesif-kompulsif" yang dapat disembuhkan dengan bantuan psikolog. Dengan kesabaran, ketekunan serta bantuan dari pihak professional, seorang shopaholic dapat kembali mengendalikan hidupnya.
Gangguan obsesif kompulsif adalah suatu gangguan psikologis yang ditandai dengan adanya pikiran-pikiran obsesif (pikiran-pikiran yang selalu berulang-ulang menghantui seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu) dan adanya perilaku kompulsif (perilaku yang selalu dilakukan berulang-ulang, tetapi jika tidak dilakukan maka seseorang akan merasa tersiksa).
Penderita obsesif kompulsif sebenarnya merasakan bahwa apa yang dilakukannya tidak rasional namun dirinya tidak mampu mengontrol kebiasaan yang dilakukannya tersebut.
Beberapa penyebab seseorang mengalami shopaholic:
Seseorang menganut gaya hidup hedonis (materialis) dan mempersepsi bahwa manusia adalah human having. Human having adalah seseorang yang cenderung mempersepsi orang lain berdasarkan apa yang dimiliki (seperti punya mobil, rumah, jabatan). Human having ini akan mengakibatkan seseorang merasa terus kekurangan, selalu diliputi kecemasan, tidak akan termotivasi untuk mengejar kebutuhan pada tingkat yang lebih.
Kecemasan yang berlebihan karena mengalami trauma di masa lalu.
Iklan-iklan yang ditampilkan di berbagai media yang menggambarkan bahwa pola hidup konsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan diri dari stres.
Adanya pikiran-pikiran obsesi yang tidak rasional
DetikNews