Perfect Crime

YUmee_miru

Well-known member
A brand New series By Daina Amarea Winata.
Genre angst seperti biasa, Dan ada sedikit sedikit misterinya juga,
Masih bersambung, hoho,
Judul dan cover diambil dari lagu hanatan&pokota, 'Perfect crime' dimana Daina memilih untuk mengadaptasinya sebagai salah satu elemen dalam cerita ini,
Hope you like it, and Enjoy!

-
-
-
-

8363270-256-k311982.jpg


-
-
-
-

"Dahulu sekali, pernah ada cerita tentang Iblis yang menawarkan kebebasan kepada seorang sufi dari hukuman mati raja lalim.

Aku tidak pernah bermimpi bahwa aku akan mengalami kejadian yang sama,

Tidak secara keseluruhan, hanya dari sudut pandangku.

Kapan? Sejak kapan?

Yang kutahu, aku telah merasakan hal ini sepanjang waktu ketika kesunyian mendekat, ketika seluruh kota telah terlelap, ketika misteri menjadi raja dan tidak ada seorangpun yang berkuasa.



Ketika labirin bernama ‘Dia’ menawarkanku untuk mendekat.



Jadi kapan ini bermula?

Jika kau pikirkan lebih jauh, segalanya menjadi masuk akal, bukan?

Kami saling mencari kebenaran jauh didalam hati kami masing masing.

Hatinya yang dipenuhi oleh kegelapan dibalik pintu itu, hatiku yang dipenuhi oleh rasa penasaran yang kotor, dan aku menjadi sangat tertarik untuk mengintip..

Cinta yang manis, kenyataan yang pahit,

Sekarang aku dan dia bisa berkata “Karakter Pahlawan tidak akan menarik jika tidak menyandang sebuah dosa.”

Kamipun saling berjuang untuk bisa terjalin.

Jadi tolong, saat kau membaca cerita ini, lupakanlah segala sudut pandang moral ataupun kebaikan dihatimu, kau tidak akan mendapatkan apapun kecuali rasa manusiawi yang ganjil, kau tidak akan mendapat kepuasan, mungkin juga kau tidak akan berhenti menghujat,

Karena kami hanya menunggu waktu untuk jawaban yang tepat.



Pelan pelan ia menyelipkan rahasia itu kedalam genggamanku,

Kusadari aku tidak bisa berbalik lagi.

Bahkan tidak ingin berbalik lagi.

Meminta untuk dibebaskan, dengan tidak meninggalkan bukti apapun,



Tidak ada bukti.

Begitulah segalanya berawal, Kriminalitas yang sempurna."




Riana gadis yang berasal dari keluarga terpelajar, mapan sebagai editor buku, ia bahagia, baik hati, pandai, ramah pada siapa saja, serta bercita cita ingin jadi seorang penulis.
Sayangnya kehidupan sosialnya berbalik dengan kehidupan cintanya.
Karena suatu kesalahan dimasa lalu, Riana diperbudak oleh lelaki yang juga mantan pacar yang sangat dibencinya, Andika.

Dunia terasa gelap bagi tuan puteri yang serba bisa itu,
Dika merebut separuh lebih kebahagiaan miliknya.
Membuatnya gila akan ketakutan bahwa ia telah mengecewakan keluarga yang sangat mencintainya dan juga ia cintai.
Tidak ada yang menyenangkan, tidak ada,

Kecuali sejak Leo yang mempesona namun misterius bersedia diajak bekerja sama sebagai narasumbernya...

BASED ON TRUE STORY.
Read and review.
 
Last edited:
Prologue.





Aku terdiam dengan sebuket rangkaian mawar merah ditanganku,

Ke empat kalinya, ya.

Dan empat-empatnya dikirimkan oleh orang yang sama.

Kugigit bibir bawahku perlahan, Aku tahu siapa dia, aku juga tahu apa yang ada dibalik wajah dingin itu, mata penuh pesona, pribadi yang hangat, namun juga berbahaya.

Mempercayainya? Apakah itu mudah bagiku? Setelah apa yang telah dilakukannya,

Aku tahu siapa dia…

Namun, sulit mengindahkan kenyataan, ia yang menarik perhatianku,sejak awal.

Ia membebaskanku, Iblis itu…

Walau aku tahu siapa dia…

Hanya dari sudut pandangku. Mungkinkah aku mendekap apa yang ia tawarkan?

Kebebasan dan kemerdekaan dari hidup terjajah penuh rasa ketakutan yang tidak hanya mengorbankan diriku sendiri, tapi juga orang orang yang kucintai?

"Apa kau menyesalinya?" Tanyaku, tidak berani membuka mata, ia berada dibalik pintu ini, seperti legenda lama tentang makhluk jahat yang tidak akan bisa masuk kerumahmu kecuali kau sendiri mengundangnya datang.

"Tidak."

Ia menjawab tegas, "Jika untuk melindungi orang yang kucintai, mengulangi kejahatan itu berkali kali dan lagi pun tidak masalah bagiku."

'Orang yang kucintai' ia bilang? Mengapa sekarang segalanya begitu buram hanya karena satu kata itu saja? kemana perginya sudut pandang moral dan kemanusiaanku?

Bukankah mereka dan isi kitab suci mengajarkanmu untuk memaafkan meskipun kau dijahati dan rasa sakit hatimu sebesar gunung ataupun sedalam lautan?

Anehnya akal sehatku merasa bimbang, menuntutku membenarkan hal paling salah hanya karena satu kata yang seharusnya paling diimpikan oleh semua umat manusia.



Hanya dari sudut pandangku…
 
1st.



Aku menyiapkan pena dan kertas dihadapanku, sebenarnya tidak terlalu perlu, mengingat alat perekam telah kuletakkan disamping tanganku, Orange Juice-ku tinggal setengahnya,

Oh, sudahlah, aku hanya Novelis amatir yang senang mencari bahan tulisan dengan cara semacam ini, aku tidak bisa meninggalkan sahabat setiaku-pulpen dan kertas-begitu saja.

Rasanya seperti mengkhianati diri sendiri.

Detik demi detik berlalu, Hanya aku kah yang merasa terlalu lama ataukah ‘Jam Karet’ memang kebiasan orang itu?

Pandanganku terhenti kearah pintu kafe yang sejak tadi tidak tampak kedatangan seseorang yang kutunggu-tunggu.

Aku nyaris putus asa.



Kulirik ponselku.

Sudah berapa lama aku menunggu?

Hari ini Dika tidak menghubungiku seperti biasa, syukurlah.

Aku menghela nafas lega.

Hanya pada saat saat seperti ini aku merasa nyaman, entahlah, mungkin aku tidak waras, harusnya wanita sepertiku merasakan kecemasan maupun berbagai kekhawatiran jika kekasih mereka tidak menghubungi untuk beberapa waktu yang lama.



Tapi bukan aku.



Aku tahu.

Dika pastilah sedang bersama gundiknya-entah siapa- dan melupakanku sesaat karena terlalu asyik dengan mainan barunya.

Atau ia malah sedang bersama istri sah-nya? Hak mereka.

Aku mengetuk ngetuk ujung jemariku diatas meja berusaha menyingkirkan kegelisahan, aku malah bersyukur, ya, bersyukur ia tidak menghubungiku sekarang.

Merasakan duniaku damai tanpa ancaman ancaman dan bentakan bentakan bodohnya.

Cinta? Masa bodohlah, aku tidak peduli.

Hatiku benar benar mati sudah sejak setahun lalu.

Kuhirup kembali minumanku, mengalihkan kembali pikiranku kepada seseorang yang akan segera kutemui,

Sejak sepuluh hari yang lalu, aku membuat janji ini,

Tepatnya sejak aku bertemu seseorang yang sangat menarik, Aku tidak tahu namanya, tidak tahu dia siapa, dan aku hanya orang yang dengan sembrono membuat janji dengannya karena…, aku ingin tahu ‘Dia’.

Dia yang dimintai bantuan oleh kantor kakak iparku,

Oke, masalahnya sederhana, aku yang mulai duluan, aku yang menyaksikannya menyelesaikan masalah yang sempat membuat kantor penerbitan kakak iparku yang juga menjadi tempatku mencari nafkah kalang kabut, aku yang menghampirinya diparkiran ketika ia akan pamit, menghentikan langkahnya,

Dan berkata ‘Aku ingin bertemu’.

Hanya karena ia menarik, Aku tidak mungkin melewatkan seseorang dengan aura semenarik itu, bukan?

Aku sudah pernah menuliskan tentang orang orang asing yang tidak kukenal sebelumnya (Entah mengapa mereka membuatku tertarik), Dan aku ingin tahu latar belakangnya, aku ingin tahu semuanya…

Sangat membingungkan, orang itu seperti magnet berjalan bagiku,

Sebelum ini, aku sudah pernah mendapatkan beberapa narasumber unik yang bisa kuajak berbagi cerita, aku tidak pernah melihat apakah mereka itu mantan narapidana kasus pembunuhan, atau bahkan penganut aliran sesat, atau gay, aku menerima semuanya.

Berharap cerita menarik lahir dari kegemaranku mendengarkan pengalaman hidup orang lain, Daya khayalku berasal dari sana.

Banyak penulis mendapatkan inspirasi dari cara mereka yang agak tidak lazim, kan?

Saat aku berpikir sembari merasakan waktu demi waktu bergerak lambat disekitarku, pikiranku kembali melayang kepada sosok tersebut.

Seseorang yang menarik perhatianku melebihi siapapun saat ini.

Ia jangkung, kurus dan memiliki rambut hitam berantakan yang menampakkan sisi liar dalam dirinya, seperti binatang yang bereinkarnasi sebagai manusia.



Aku hanya merasakan ketertarikan yang sangat, setiap manusia memiliki kisah yang berbeda beda, kali ini aku ingin mendengarkan kisahnya.



Lamunanku terhenti saat sorot mata tajam memandang kearahku, ia mengangguk pelan padaku, sosok bertubuh tinggi itu tahu kearah mana ia harus menuju.

Hari ini, ia mengenakan T-shirt hijau tua dan celana jins dengan potongan yang modis, Kulit putihnya semakin pucat, nyata sekali ia tipe yang jarang keluar rumah, dan rambutnya yang berwarna sama hitam dengan warna matanya ia biarkan berantakan dan mencuat kesana-sini,

Apa ini? Makhluk yang nyaris mengalahkan kecantikan seorang wanita, dan ketampanan yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata…

Pria yang tinggi dan tampan, tapi daripada wajahnya atau sorot matanya, yang paling menarik perhatianku adalah bahu tegap itu. Karena dibalik itu semua, aku merasakan adanya kerapuhan.

Ah, aku terlalu banyak berpikir, payah…

Kejadian selanjutnya bisa ditebak, ia menghampiriku,

Ia berjalan dengan santai sembari memasukkan kedua tangan kedalam saku, ekspresinya acuh tak terbaca.

Tapi toh tidak mengurangi estetika kecantikan makhluk ini sedikitpun.

Aku segera berdiri seraya mengangsurkan tanganku,

“Riana…, Aku yang waktu itu meminta untuk bertemu disini, hari ini,”

Betapa bodohnya, tanganku sama sekali tidak disambut olehnya, ia hanya menatap tanganku, pandangan waspada, lalu menghela nafas,

“Aku tidak bersalaman pada pertemuan pertama” katanya dingin.

Aku terkesiap, apa-apaan?

Namun dengan cepat aku mengendalikan diri, sambil bertanya-tanya dimana sebelumnya orang ini belajar sopan santun, aku mengangkat bahuku, tanda paham. Kemudian ikut duduk didepannya.

Mempersilakan ia untuk duduk, kali ini undangan ‘baik baik’ dariku diterimanya, untunglah, tak tahan menghadapi mata yang sama sekali tidak bisa dianggap sopan karena terus menerus memandang seakan melotot kearahku itu, aku mengalihkan pandangan demi mencairkan suasana.

“Aku…Harus memanggilmu dengan ‘apa’?” tanyaku hati-hati,

Sunyi, menit demi menit berlalu tanpa jawaban.

ia nampak berpikir, kelihatannya orang ini menguji kesabaranku, sangat.

Aku menunduk dalam dalam, baiklah… Teman, Baik…



Aku mendengarnya berdehem, lalu menjawab pelan, “Leo…, Itu namaku”



“Baiklah, Leo, Kau mau minum atau…”

Aku berpikir untuk menawarkan minuman ketika Leo menggelengkan kepalanya,



“Langsung ke pokok persoalannya saja, apa yang kau inginkan dariku?”

Betapa terkejutnya aku, Lelaki ini terlalu terus terang, menakutkan.

Aku memaksakan diriku tersenyum, senyum yang lemah, tanpa melihatpun aku sudah tahu, sejak dahulu aku tidak bisa berbohong jika sedang merasa gelisah ataupun tersudut.



Aku memberanikan diri menatap matanya, yang kutemukan hanyalah hutan yang gelap. “Aku… Aku seorang novelis,” suaraku agak parau ketika menambahkan “Masih amatir, memang,” Dibelakangnya.

Ia masih menatapku, hutan itu, tanpa mengedip sedikitpun,

Menunggu kelanjutan dari apa apa yang akan kukatakan berikutnya.

Aku mendesah berat, tidak pernah, seburuk apapun kepribadian orang orang yang kujadikan bahan tulisanku, membuatku sampai segugup ini.

Mungkin jika aku professional, aku bisa melakukannya dengan lebih dingin.

Yah, andai saja…

“Aku berpikir untuk menjadikanmu narasumber, untuk bahan ceritaku, Aku sudah terbiasa mengadakan wawancara secara pribadi dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan profesi, kuharap kau mau…”



“Kalau aku menolak?” ia memotong perkataanku, lagi-lagi…



“Aku bisa menjamin privasi setiap sumberku, yang kuinginkan cerita, bukan sebuah sensasi, aku ingin mendapatkan sumber cerita yang nyata dari orang-orang yang kupilih sendiri, lalu aku akan merahasiakan hal-hal yang dianggap tidak perlu untuk dibeberkan, Aku jamin.”



Leo menunduk, “Tidak ada yang menarik dari memanfaatkan Cerita orang lain, kau tidak tahu apa yang kau lakukan,”



“Aku hanya…”



“Setiap orang memiliki kisahnya masing-masing,” Ia menambahkan, kami cocok untuk pemikiran itu, tapi tidak untuk yang berikutnya, “Tidak ada gunanya membandingkan penderitaanmu dengan mereka.”

Kata katanya menusukku.

Amat dalam.

Kuremas ponsel ditanganku, Membandingkan…

Perbandingan… Apakah itu yang kucari…? Baru kali ini ada yang berkata demikian kepadaku.

Apakah ia membaca hatiku…?

Ataukah ia memikirkan lebih banyak daripada kelihatannya…?



“Pulanglah,” suruhnya, “Aku menolak.”



Aku begitu ingin marah, tapi tidak bisa,

Bodoh sekali, aku mengajak orang yang tidak bisa diajak bekerja sama seperti ini, terlebih, terlebih lagi…

Kata kata yang melukaiku… itu…

Aku terdiam beberapa saat, Marahpun, tidak ada gunanya,

Apa yang ia katakan…



Itu semua benar.



Aku meremas ponselku lebih kuat,

Berharap pesan pesan sialan itu takkan datang lagi padaku.

Ketakutanku yang terbesar, penderitaan yang terasa lebih menyayat daripada kematian.

Kesalahanku.

Ingin marah, tapi tidak bisa…



Pada akhirnya aku hanya menutup mataku beberapa detik, mencari pikiran pikiran segar yang mungkin akan menghiburku.

Aku sudah tahu mataku jeli melihat orang-orang ‘bermasalah’.

Terdiam sesaat, Aku tahu tidak ada gunanya membujuknya, jadi aku menyerahkan kartu namaku diatas meja,



“Jika berubah pikiran, hubungi aku,” ujarku, “Aku akan mendengarkan, ceritamu, siapa tahu beban akan berkurang…”

Dan akupun beranjak dari kursiku, sempat kulihat ia membisikkan kata ‘Beban…’ dengan begitu lirih sebelum akhirnya aku benar-benar angkat kaki dari tempat itu.



-

-

-

-

-



Tadinya kukira kami takkan bertemu lagi,

Tak kuduga seminggu kemudian datang SMS dari nomer ponsel yang tak kukenal, mengisyaratkan janji bahwa akan ada pertemuan berikutnya.



Jika aku berubah pikiran?



Aku sudah tahu siapa yang mengirimkan pesan singkat itu.







++++
 
2nd.




Kulangkahkan kakiku menuju meja Bartender, Orang yang kucari telah berada disana, bagus, jadi aku tidak usah berlama-lama menunggu nya seperti kemarin.

Night Club, Apa yang menyebabkan ia ingin bertemu di tempat semacam ini? Membuatku menebak nebak salah satu sisi dalam dirinya.

Ia tampak kalut, menelungkupkan kepalanya pada meja, sloki kecil berisi minuman berbau alkohol yang menyengat terletak tak jauh, aku kembali menebak, ini Hobi-nya? Mabuk, lalu tergeletak seperti orang sinting?

Aku mengerinyitkan kening,

“Soft Drink saja,”

Ia yang semula kusangka telah setengah teler mendadak menoleh kearahku, Mendengar suaraku yang sedang memesan minuman, lagi-lagi menggagalkan niatku untuk menepuk bahunya, Sekedar memberikannya ganjaran,

“Kita bertemu lagi, Ya.” Ucapnya pendek, “Ariana…,Rahadian?”

Aku memperhatikannya yang menyebutkan nama lengkapku, Tanpa menoleh kearahku, seakan akan aku tidak ada dan dia sedang bicara sendiri didunianya, betapa dingin!

“Panggil Riana saja,” saranku, “Dan…, Aku belum tahu nama lengkapmu?”

“Aku tidak punya nama lengkap, Orang-orang disekitarku hanya memanggilku dengan ‘Leo’ saja”

Perlu waktu lama bagiku, sebelum akhirnya aku bertanya lagi,

“Siapa Kau…?”

Betapa terkejutnya aku, Leo tertawa, Alis-nya yang lebat dan nyaris bertaut terlihat sangat elok, Kelihatannya wajah yang Stoic itu baru mengenal ekspresi setelah bibir itu menyentuh minuman keras,

“Apa yang ingin kau tahu sebenarnya? Tentang Penderitaan? Tentang Pekerjaanku?”

“Bukan itu,” jawabku gugup, “Aku…, yang ingin kutahu adalah…”

Jika pertama kali aku yang menunggu, kini malah ia yang menunggu,

Menungguku memberikan jawaban atas pertanyaannya.

“Aku ingin, kau menceritakan tentang pengalaman hidupmu, Awalnya aku memang tertarik pada kepribadianmu, kemisteriusanmu, tapi, jika kupikirkan sekali lagi, bukan itu yang sebenarnya kucari darimu,”

“Jadi?”

“Aku ingin tahu, Tentangmu, Tentang hidupmu, Aku sangat tertarik pada orang-orang yang misterius dan terlihat sarkatis, jadi kuputuskan, aku akan memintamu menjadi narasumber yang berbagi pengalaman denganku,”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ini misterius dan sarkatis?” Ada sedikit nada geli pada suaranya,

Ya, ampun, pertanyaannya begitu banyak! Kalau begini, seperti aku yang diwawancarai, dan bukannya dia!

“Naluriku jarang bermasalah” ucapku dengan jujur dan sedikit PD yang berlebihan, (Membuatku mentertawakan diriku sendiri,) “Percayalah, aku sudah melakukannya berkali-kali, Dan sangat sulit menemukan ‘tebakanku’ meleset,”

“Kau dulu mengatakan kau ini amatir, tapi sekarang kau membanggakan diri sendiri sampai seperti itu.”

“Ini-dan-itu beda!” Sergahku, “Dalam soal pekerjaan, aku memang belum punya nama,” Aku mendesah, pahit, Ya Tuhan, ia bawel dan menyebalkan, “Tapi aku paling mengenal diriku sendiri.”

Hingar bingar musik tidak dapat menyembunyikan betapa muka ku merah padam saat ini, aku seperti mempermalukan diriku dihadapannya,

Tidak jelas mau bicara apa.

Aku memang hanya pernah menulis beberapa cerpen serta cerita bersambung yang dimuat dalam tabloid wanita, Atau beberapa kali memenangkan penghargaan di majalah, tidak penting memang, karena nyaris mustahil ada yang mengingat namaku, tidak lebih, namun sungguh,

Minat maupun keseriusanku dalam bidang ini tidak usah diragukan lagi.

Hanya inilah hiburanku,

Kesungguhanku, tempatku melarikan diri.

Menghibur diriku sendiri.

Terutama tahun tahun belakangan ini…

Suasana diantara kami hening sesaat, tidak ada yang berbicara,

Tepat pada saat musik berganti dengan nada-nada lembut, aku menangkap reaksi dari Leo, Untuk pertama kalinya, ia menatapku secara langsung,

“Baiklah, Ini seperti riset begitu? Kau Novelis, kan?”

Aku hendak membuka mulutku untuk menjawab, namun dengan cepat ia memotong apa yang hendak kukatakan,

“Dan kau butuh bantuanku? Berdansalah denganku, Setelah itu, Aku janji akan beritahu apapun yang ingin kau ketahui,” Lebih kedengaran seperti perintah, Bukan permintaan,



Egois!



Betapa Egois dan merepotkannya laki-laki ini, Tidak membiarkanku bicara sampai selesai, Juga tidak sekalipun menjawab pertanyaan penting yang kuajukan, mengalihkan pembicaraan, sementara pertanyaannya begitu banyak,

Orang lain tidak berhak memilih, hanya ia yang berhak.

Mereka semua sama saja, laki laki dimana mana…

Menyebalkan, Aku tahu aku tidak terlalu suka dia,

Tapi aku juga tidak suka kalah.

Uluran tangan dihadapanku lebih terasa seperti tantangan untukku,

Aku menyambutnya, dan mengikutinya yang membimbingku melantai.

Aku menyesal tidak mengenakan pakaian yang lebih kasual, bukan Dress One piece warna ungu gelap selutut yang mempersulit gerakanku ini…

Ups! Benar, kan!

Aku nyaris tersandung, tapi tangan Leo menangkapku dengan gesit,

Leo sama sekali tidak bertanya apakah aku baik-baik saja, aku juga tidak mengharapkan ia bersikap demikian,

Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya.

Detik berikutnya, Leo menarik tubuhku agar merapat padanya, nyaris berpelukan.

Kaki-kaki dan anggota tubuh kami yang lain bergerak seirama alunan musik yang lembut.

“Kenapa kau, bisa ada di kantor kakakku waktu itu? Siapa yang menyuruhmu datang?” tanyaku tidak sabar,

Sungguh membingungkan, mengingat kakak iparku juga tidak terlalu tahu latar belakang pria ini, ia datang begitu saja, dan berkata akan membantu,

Aku yang ada disana hanya bisa terpaku, bukan pada ketampanannya, aku bukan wanita yang menilai seorang pria dari bentuk fisk, walau kuakui makhluk ini memang indah,

Yang membuatku tertarik adalah kemisteriusannya,

Seperti magnet yang membakar rasa ingin tahu orang-orang sepertiku,

Andai aku pelukis, aku pasti sudah melukisnya ribuan kali, karena dapat kuingat ia dengan sangat jelas, mengisi penuh seluruh ruang alam imajinasiku,

Andai aku penyair, akan kubuat puisi berdasarkan keelokan yang dingin ini,

Dan, andai aku seorang pemusik, akan ada banyak lagu yang tercipta untuknya,

Sosok yang benar-benar menjadi surga Eden, sebagai Sumber Inspirasi yang tak terbatas, setidaknya itulah yang kurasakan sekarang.

“Aku dimintai bantuan,” Lalu ia mendekatkan bibirnya ke telingaku,

Aku menatapnya penasaran, nafasnya sedikit berbau alkohol tercium olehku,

“Istri temanku.” Ujarnya sambil tersenyum-senyum sendiri, senyuman kosong, “Harusnya temanku itu yang menyelesaikan urusan disana, Tapi apa boleh buat, aku tidak ingin temanku dan istrinya kesulitan, kan? Apalagi istrinya sedang hamil besar, jadi kuputuskan untuk menggantikannya mengatasi masalah,”

Kurasakan bagian pinggangku didekap dengan lembut,

Aku tidak mengerti apa maksud yang ia katakan barusan, Namun kuputuskan untuk tidak mengungkit-ungkit lagi soal itu.

Tidak ada hubungannya dengan apa yang ingin kutahu.

“Kau akan menepati janjimu, Bukan?” tagihku,

Ah, ekspresinya berubah lagi, Aku suka ekspresinya kali ini,



Ekspresi lelaki jalang.



++++



“Aku tidak tahu dimana aku dilahirkan, aku tidak punya kenangan indah tertentu saat masa kecilku, yang kutahu adalah, keberadaanku salah, Seharusnya aku tidak ada didunia ini, atau, sebut saja aku terlahir dari benih yang salah.”



Dengan demikian aku tidak akan melihat penderitaan ibuku yang setiap hari harus mengalami hari-hari menyakitkan dengan siksaan bertubi-tubi yang diberikan ayahku,

Aku tidak tahu apa salahnya,



Ibuku adalah seorang yang lembut dan penyayang, Aku tidak pernah tega untuk menyakitinya, turut prihatin, dan diam, ketika ia menyimpanku didalam lemarinya, memintaku untuk tidak keluar apapun yang terjadi, Agar aku tidak turut menjadi Korban kekerasan ayahku yang pulang dengan kekalahan dari meja judi nya,

Meminta uang dari kami untuk menghidupi lonte-lonte kurang ajar yang menggerogotinya tanpa ia sadari.

Aku terbiasa mendidik diriku sendiri untuk tidak merepotkan orang lain dengan keinginan pribadiku.”



Jerit kesakitan ibu, adalah hal-hal yang biasa kudengar dari dalam bilik kecil itu, keesokan harinya, kudapati luka-luka, bukti kesakitan dan kesedihan wanita yang selama 9 bulan mengandungku, Tapi ibu tidak pernah bercerita kenapa, dan karena apa, hal yang sebenarnya terjadi, yang baru kumengerti beberapa tahun kemudian.



Aku mencintai ibu, aku menyayanginya lebih dari apapun, karena hanya ia satu-satunya yang mengerti dan melindungiku, membuatku merasa nyaman.”



Ketika aku memasuki usia sekolah dasar,

Perlahan wanita yang melahirkanku berubah, didepanku, ia tetap ibu, tetap sama, orang yang sama, senyum yang sama.

Namun dalam sekejap, demi ayahku, ia mampu merubah dirinya menjadi perempuan binal yang tidak kukenali lagi, menggoda setiap laki-laki,

ia suci dimataku, namun kotor dipermukaan.

Aku menyalahkan Ayahku, hanya dalam hati,

Aku tidak pernah tega mengungkapkan apa yang kurasakan, hanya demi ego,

Aku tidak ingin mengatakan sesuatu yang melukai hati wanita yang paling ingin kulindungi andai saja aku punya kekuatan waktu itu.

Ibuku mencintainya, aku tahu itu, dan aku tidak berhak mengaturnya.







Baik,

Anak seorang pramuria, itu cukup untuk mengejutkanku,

Waktu telah menunjukkan jam setengah Sembilan pagi, Waktunya mengakhiri acara mengetikku, Hari minggu yang berat, Aku tidak tidur sampai jam segini.

Ingatanku melayang pada saat-saat tadi malam,

Karena mabuk, dia tidak sadar apa yang diceritakannya, aku memaninya minum hingga pagi, menceracau tidak jelas, garis besarnya, seperti yang kuketik diatas,

Ketika kami akan berpisah, hari sudah beranjak subuh, tiba-tiba saja Leo menyerahkan kunci mobil dan rumahnya, sebelum ia ambruk sungguhan,

Aku datang dengan taksi, Dan Leo, ia membawa Mercedez mewah yang aku yakin tidak akan bisa kumiliki walau aku menabung selama sisa umurku,

Oke, Aku punya ijin menyetir, aku cukup sering dipercaya untuk mengantar jemput kakakku, dan untunglah aku bukan tipe yang suka mabuk,

mengingat Leo sudah benar-benar Teler aku tahu sangatlah bodoh jika mengharapkannya dapat menolong dirinya sendiri saat ini,

‘Tidak apa-apa, Riana, laki-laki ini tidak berdaya, kau bisa menendang bokongnya dengan mudah jika ia berani berbuat macam-macam terhadapmu.’

Jadi aku mengangkutnya, lebih tepat meminta sekuriti untuk membawanya ke mobil, mudah sekali, seperti Leo itu mayat atau karung bekas berisi kapuk.

Setelah memberikan tips ala kadarnya pada sang sekuriti, akhirnya aku mencicipi duduk didalam mobil mewah kalangan atas…

Tidak buruk.

Leo tergeletak di jok belakang.

Kemana aku harus mengantarnya? Aku tidak tahu rumahnya dimana,

Perhatianku teralih pada dasbor mobil, mencari-cari petunjuk, Kuambil sehelai kartu nama pada kotak kecil di bagian dasbor, alamat.

Dia tidak bohong, namanya hanya tertera ‘Leo’, Surprise berikutnya, ia seorang ahli hukum alias pengacara,

Padahal kemarin kukira dia itu hacker atau semacamnya, karena ia bisa memperbaiki system di kantor kakakku hanya dalam hitungan menit.

Waktu itu, nyaris selama semenit penuh aku terdiam, Pekerjaannya…

Aku mengurut Dahiku, jubah mandi yang sedari tadi kukenakan masih belum kulepas, demikian pula handuk yang melilit kepala,

“Kemarin malam kemana saja?” Terdengar suara renyah kakakku, ketika kulangkahkan kaki menuju dapur, mengambil segelas air putih.

“Pergi main dengan teman” jawabku asal, Kak Lusi tampak heran, melihat raut keheranan kakakku, aku tahu jawabanku sudah sangat keterlaluan.

Aku tidak memberikan alasan yang jelas, disanalah letak salahnya.

“Riana, aku tidak pernah melarangmu, aku tahu kamu sudah dewasa tapi…”

Akh, mulai lagi, ia terkadang agak paranoid karena hanya kami dua bersaudara, dan suaminya, mas Agung, adalah pemilik sebuah kantor penerbitan.

Kakakku awalnya karyawati bank, namun ia memilih berhenti dari pekerjaannya dan memilih menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga.

Sedangkan orang tuaku adalah dosen yang walaupun sering bepergian, tetap menyempatkan diri untuk bersama dengan anak anak mereka.

Bisa kubilang hidupku beruntung,

Berada dalam lingkup ruang penuh kasih sayang seperti ini.

Tak pernah bisa kulukiskan betapa besar rasa syukurku.

Segalanya akan sangat sempurna seandainya bajingan itu tidak muncul.

Dan seandainya aku tidak begitu bodoh termakan oleh rayuan mautnya.

“Kakak pasti kaget jika tahu dengan siapa aku pergi,” kuputuskan untuk berkata jujur.

“Siapa…?” Tanya kak Lusi penasaran, “Bukan Dika, kan…? Riana, sudah sering kukatakan padamu, jangan bergaul dengan Dika, Dia itu…”

Aku duduk dimeja makan menghadap tempat duduknya,

Menatapnya dengan sorot mata setengah memprotes,

“Orang yang waktu itu kuceritakan, yang memperbaiki dan menyelamatkan seluruh data dalam komputer kantor Mas Agung…, Akhirnya aku bertemu dengannya lagi…” Potongku cepat.

“Dengan Laki-laki Emo itu?” Mas agung yang masih menggendong fajar, keponakanku yang berusia 11 bulan, tiba-tiba muncul,

“Benar!” Tukasku, “Dia menarik, kan? Aku sangat suka mengajaknya berbincang…Dan dia bukan Emo yah, Dia… Tidak pakai pemulas bedak atau semacamnya…”

Kakakku dan suaminya memandangiku sesaat, kemudian tawa mereka meledak bersamaan, “Tidak pernah berubah, ya, Aku ingat kau memandangi patung atau hiasan dinding seharian hanya karena benda itu memancarkan ‘energi khusus’ menurut pandanganmu,”

“Kau juga mengajak orang gila bicara berjam jam karena kau pikir itu menarik.”

“Diamlah,” Protesku, “Kenapa kalian begitu ngotot mengurusi hobi orang lain?”

“Hobimu unik,” Kakakku tertawa,

“Aku tidak tahu siapa dia,” kata mas Agung lagi, “Datang begitu saja seperti makhluk gaib dan memberi pertolongan, kuakui pendapatmu sama denganku, dia orang yang terlihat misterius dan lumayan unik, Kita berhutang padanya, data perusahaan itu sangat penting, bahkan didalam komputer itu juga ada karya karya pengarang yang sudah selesai di revisi, Aku pikir kita akan mati,”

“Kau, pergi dengan laki-laki, semalam suntuk?!” Kakakku nyaris histeris.

“Oh, ayolah,” marahku, “Tidak akan ada yang perlu dicemaskan, Aku sudah dewasa, Tidak akan terjadi hal buruk selama aku menggunakan akal sehatku.”

Ya, benar, Dulu aku terjebak dengan Dika karena aku masih muda dan tolol… Tidak akan lagi, tidak akan pernah lagi.

Siapa yang bisa menghancurkanku sekarang?

Aku sudah hancur terlebih dahulu…

Aku menggigit bibir menyembunyikan perih.

“Riana benar, Mungkin kau saja yang terlalu mencemaskannya,” Hibur mas Agung, Dengan santai aku memainkan jemari mungil si kecil Fajar.

Keluargaku selalu mempercayaiku, selalu… Dan hal ini adalah kebanggaan terbesarku sejak dulu.

“Orang itu, Gudang inspirasi bagiku, aku sangat suka gayanya, berbeda, artistik, misterius, elegan,” mataku menerawang membayangkan segala kelebihan Leo,

“Lalu, benarkah hanya itu? Tidak ada hubungan khusus misalnya?” Goda kak Lusi, aku mendelik marah.

“Hubunganku dengannya hanya sebatas penulis dan orang yang kurencanakan menjadi model dalam Novelku berikutnya! Aku tidak sedikitpun memikirkannya hingga kesitu.”

Kakakku Dan suaminya saling pandang dan melempar senyum, tapi aku tidak mengerti apa makna dibalik semua itu.

Perhatianku teralih pada tumpukan kertas yang sedang dipegang kak Lusi.

Melihat sekilas saja aku sudah tahu apa itu.

Naskah kasar dalam bentuk Print-Out.

“Cerita tentang apa, itu?” tanyaku seraya menunjuk, Kak Lusi tersenyum sambil memberikan kertas Hasil Print-Out itu padaku.

“Novel yang baru masuk beberapa hari lalu, Aku tidak sengaja melihat Novel ini diseleksi, Dan aku menjadi sangat tertarik hanya dengan membaca Prolog nya saja.”

“Daina…, Amarea Winata…,” Aku membaca nama pengarang yang tertera disana sebelum mengeja judulnya, “Descendant Of The Death Master…” “Pengarang baru, ya?”

“Sangat berbakat,” jawab mas Agung, “Dan penuh imajinasi,”

Kata-kata itu membakar minatku, Aku ingin membacanya, tapi kurasa aku harus antri dulu dengan kak Lusi.

“Bukan cerita gadis miskin dengan CEO tampan kaya raya yang kawin paksa kemudian saling jatuh cinta dan mengadakan pesta keliling naik kereta labu, kan?” sambungku.

“Kapal pesiar,” Kak Lusi meralat. “Tentu saja bukan, kau mikir apasih,”

Aku tersenyum simpul, “Berarti kalau kakak sudah selesai, Aku pinjam, ya”

Kak Lusi mengangguk, “Kelihatannya cerita ini belum selesai, Kita harus menunggu ceritanya rampung dulu baru memutuskan mau menerbitkannya atau tidak,”

“Jika memang bagus, mengapa tidak?”

Tepat pada saat itu HP ku berbunyi.

Jantungku berdebar seakan mau copot, tidak… jangan sekarang… menjauhlah, pergilah… Jangan didepan mereka!



Aku permisi dari ruangan itu, membawa ponselku ke tempat yang kiranya lebih nyaman untuk bicara, Aku telah membuat kakakku cemas karena pergi semalam suntuk,

Aku tidak mau ia lebih cemas jika tahu aku berada di Night Club juga,

Aku bisa jujur padanya, walau tidak semua, kupikir cukup bijak,

Ini kan’ menyangkut urusanku.



Leo.



Nama itu muncul begitu saja di layar ponselku,

Lututku lemas seakan akan neraka dunia baru saja melewatiku,

Syukurlah, syukurlah bukan Dika…

Aku bersandar pada dinding, mencoba mencari keseimbangan, mengatur nafasku agar nada bicaraku kedengaran lebih wajar, perlahan mengangkat telepon.

“Hallo,”

Untuk beberapa saat Sunyi, lalu desah nafas berat diiringi suara yang serak-serak basah mengawali percakapan diantara kami.

“Hai,” Katanya mencoba agar kedengaran lebih tulus.

Aku menjawabnya dengan berdehem,

“Sudah bangun?” Tanyaku, “Cepat sekali,”

“Semabuk apapun, biasanya aku hanya tidur tiga jam sehari, itu sudah biasa,”

“Baguslah,” Komentarku seraya menambahkan, “Tidak ada yang ingin kau ucapkan padaku, Tuan pengacara?”

Leo terbatuk, Dari nada suaranya nyata sekali ia sedang bingung, tidak tahu harus bicara apa.

“Hn, Terima kasih karena kau sudah mengantarku ke rumah tadi malam, ngomong-ngomong, aku hanya penasaran kau pulang dengan Apa” ia memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya.

Tentu saja dia harus berterima kasih karena aku sudah sangat repot membopongnya dan meletakkannya di sofa rumahnya, sampai tumit sepatuku hampir lepas,

“Sama-sama, Aku pulang setelah menelepon taksi,”

Apakah hanya perasaanku, atau aku memang mendengar desah nafas lega diseberang sana?

“Kau ada rencana hari ini?”

Aku tidak begitu menghiraukan pertanyaannya, banyak yang harus kukerjakan setelah aku mendapat banyak bahan renungan tadi malam,

Jadi kujawab seadanya.

“Sore ini aku ke kantor kakakku, Aku harus mengantar naskah kesana, Tabloid yang memuat Cerita bersambung karyaku terbit awal bulan nanti.”

Aku tidak mengerti mengapa bisa dengan mudah menceritakan kegiatan rutinku kepadanya,

“Artinya kau cukup sibuk juga, ya”

“Maksudnya?”

Aku bisa membayangkan wajah dinginnya yang tidak dapat melunak sedikitpun itu menatap bosan, seperti mau mati saja.

“Sudahlah, Sampai ketemu lagi” ujarnya mengakhiri pembicaraan.

“Ya.”

Aku masih memandangi layar ponselku bahkan meskipun telepon telah ditutup.

Memikirkan maksud ucapannya.

‘Sampai ketemu lagi’ Adalah ungkapan yang secara tidak langsung memiliki makna khusus.



++++
 
3rd.




Hari telah sore ketika aku beranjak keluar dari kantor redaksi milik mas agung, Aku bermaksud mencari Taksi lalu langsung pulang,

Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk mengantarkan naskah baik milikku pribadi maupun milik orang lain yang sudah selesai kusunting, sempurna, Aku tidur nyaris seharian, Pergi sebentar, dan sekarang sudah pukul lima sore.

“Tidak bisa, Dika,” Aku mengelak, sengaja berjalan cepat cepat agar terkesan terburu buru,

“Ri, ini sudah dua minggu, kan?” suara partner teleponku diseberang sana terdengar sangat memelas, “Sebentar saja, ya, sayang?”

Aku mengutuk muak dalam hati. “Aku harus mengurus pekerjaan kakakku, aku tidak bisa bertemu denganmu sekarang,” Dustaku,

“Kau bertemu laki laki lain, heh?” Dika terdengar berang, astaga, mulai lagi…

“Dika, aku harus buru buru,” Ujarku cepat cepat, kututup sambungan, setidaknya bisa menyelamatkanku untuk sekarang,

Terdengar suara panggilan panggilan masuk dari ponselku, aku buru buru memasukkan ponselku kedalam tas tanpa mempedulikannya,

Trrrrr! Lagi-lagi ponselku berbunyi, berkali kali, bahkan didalam tas sekalipun getarannya masih terasa,

Dengan tidak sabar aku mengobrak-abrik isi tasku, mencari cari asal getarannya, Aku sudah akan mematikan benda sialan itu saat aku tahu siapa yang tengah meneleponku saat ini.

“Ya, Leo?”

“Lihat ke parkiran.”

Suara dingin bernada tegas itulah yang membuatku menyapukan pandangan keseluruh areal parkir dua detik kemudian.

Aku membelalakkan mata nyaris tidak percaya.

Leo ada disana, berdiri dengan posisi agak bersandar pada mobilnya.

Ia mengenakan setelan kantor, kemeja putih yang tidak rapi sehingga tampak berantakan, namun menampilkan dengan jelas bentuk tubuhnya yang bagus, dan dasi yang terpasang longgar, serta jas warna hitam yang ia tenteng ditangan kiri,

Kuakui, ia keren.

“Mengapa kau bisa ada disini? Pekerjaanmu bagaimana?” Cecarku sesaat setelah aku berada disisinya,

Leo memandang acuh tak acuh, membuka pintu mobilnya lalu menarik tanganku, “”Masuk.” Perintahnya.

“Jangan sentuh,” Kutepis tangannya, “Aku bisa melakukannya sendiri.”

Betapapun ia adalah sumber sejuta inspirasi bagiku, Etika sebagai teman itu harus tetap ada, aku menghormati hubungan pertemanan diantara kami, kalau kami memang teman.

Aku masuk kedalam mobil, untuk kedua kalinya aku berada di dalam sini,

Leo menanyakan alamat rumahku, Dan aku memberitahu nya, lalu tidak ada percakapan lagi selama beberapa saat.

Mobil tengah melaju di jalanan beraspal yang basah, karena hujan gerimis baru saja turun, ketika akhirnya kami memecahkan keheningan yang kaku dengan beberapa patah kata,

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” sungutku,

Leo masih tetap acuh, matanya menatap lurus kedepan, ia tampak mempertimbangkan sesuatu, lalu merogoh saku kemejanya, memberikan sesuatu padaku.

Aku menerimanya, Aku kenal benda itu, Anting-anting yang kemarin malam kupakai,

“Terima kasih,” ujarku mau-tak-mau,

“Kemarin malam, apa saja yang kuceritakan?” Leo menoleh, membuatku terkejut tiba-tiba,

“Banyak,” Aku memutuskan untuk jujur, aku yakin ini bukan saat yang tepat untuk berbohong. “Terutama masa kecilmu, lalu tentang Trauma…” kutimang anting-anting mutiara kecil ditelapak tanganku, resah.

Leo menatapku tajam.

“Aku sudah terlalu banyak bicara.”

“Semua orang selalu seperti itu saat mereka mabuk…” sahutku lirih.

Suasana kembali menjadi tidak enak,

Apa dia marah? Tapi bukankah aku tidak memaksanya untuk bercerita?

Hatiku bertanya tanya, apakah ia marah…? Setelah ini pasti ia tidak ingin bertemu denganku lagi, perasaanku menyesal…

Kami tidak saling bicara lagi, kecanggungan membuat masing masing dari kami merasa letih.

Dan tanpa terasa aku telah berada didepan rumahku sendiri,

Tanpa menunggu lagi aku bergegas keluar dari mobilnya, Mengucapkan terima kasih sekali lagi atas tumpangan yang ia berikan.

“Tunggu,” suara Leo menahan langkahku, kubalikkan badan menghadapnya, ia keluar dari mobilnya, lalu meraih anting-anting dalam genggamanku,

Tangannya menyentuh cuping telingaku dengan lembut, memasangkan hiasan itu disana.



“Apa kita bisa bertemu lagi?”



Pertanyaan dan perlakuannya membuatku serba salah , laki-laki ini…



Aku tidak pernah bisa menebak apa-apa yang ada dalam pikirannya…



++++



Aku terhenyak diatas tempat tidur, menunggui Dika bangun tidur sama bodohnya dengan mengganggu macan tidur.

Ia takkan memikirkanku, tidak pernah, tidak akan pernah.

Lelah, kupunguti pakaianku yang berserakan dilantai.



Aku bukan wanita baik baik, sama sekali,

Jika kuingat ingat, bodoh sekali aku, terkadang bersikap sok suci terhadap mereka yang kehidupannya liar seperti binatang malam.

Kenyataannya, mereka lebih baik dariku…

Seorang munafik terselubung, Nampak suci diluar, padahal didalam berlepotan noda seperti ini…



Dengan tangan bergetar aku meraih piring berisi buah kupas diatas buffet kecil samping tempat tidur, menusuk sepotong besar mangga dengar garpu, menyuapnya tanpa merasakan.

Kutatap punggung telanjang Dika yang tertidur kelelahan disebelahku,

Perih, sakit, ingin bebas…

Kugenggam erat erat garpu ditanganku.



Lakukan, Riana…



Suara hatiku memberikan dukungan.

Apa sebaiknya kulakukan saja…? Aku toh sudah terlanjur salah, kotor dan penuh dosa,

Menambah sedikit lagi takkan merubah keadaan…

Air mataku meleleh.

Mencari cari sisa sisa cinta didalam hati yang mungkin saja akan mencegahku melakukan perbuatan gila apapun alasannya.

Dan tidak kutemukan.

Cinta, kenangan indah, hal yang berharga…

Bahkan setetespun.



Aku menutup mata, aku akan membunuhnya… membunuhnya…

Kali ini aku akan…

Sekelebat wajah anggota keluargaku menyampiri ingatan.

Kakakku, suami dan anaknya… Ayah dan Ibuku… Reputasi mereka, kehormatan mereka… Kepercayaan mereka padaku…

Benda tajam ditanganku jatuh berdenting diatas lantai keramik yang dingin.

Mengikuti tubuhku yang limbung, ikut jatuh menyampir disamping tempat tidur saksi bisu perzinahan gila yang kulakukan… dengan suami orang lain.

Tangisku pecah, tersembunyi didalam kesunyian, tergugu hebat tanpa suara, hanya deguk deguk janggal yang terdengar keluar dari tenggorokanku,

Perasaan berdosa, rasa bersalah.

Rasa ingin bebas, semua menghantuiku.

Tanpa jalan keluar, tanpa bantuan.

Detik itu juga aku ingin sekali lenyap dari dunia ini.





++++



Saat kami berpisah didepan rumahku itu, sejak itu, baik aku maupun Leo, kami begitu sering merencanakan perjumpaan diantara kami.

Kami tidak pernah lagi mengadakan pertemuan di Night Club seperti waktu dulu, Leo lebih sering mengajakku makan siang diakhir pekan, atau sekedar saling menelepon, yang jelas, tidak ada satu minggupun terlewatkan tanpa melihatnya atau mendengar suaranya.

Jangan salah sangka dulu, Hubungan kami tetap teman, bahkan sampai saat ini aku masih belum bisa mengerti dia.

Dia tidak begitu banyak bicara, hanya menjawab jika kutanya, ia tetap acuh dan diam, namun belakangan dia juga yang lebih sering meminta bertemu,

Ia mendekat seperti ada keperluan mendesak yang tidak bisa ditangguhkan lagi, lalu setelah bertemu, ia malah bungkam seribu bahasa,

Tak jarang hal yang kami berdua lakukan hanya makan siang dalam diam,

Percaya tidak percaya, bisa dihitung dengan jari adanya obrolan disetiap kesempatan pertemuan kami, bagiku dia orang aneh.

Namun itulah uniknya, aku semakin ingin tahu dan menggali pribadinya lebiih dalam.

Bagaimana denganku?

Aku merasa cukup senang, Dengan menatap wajahnya saja aku senang,

Dengan Leo disisiku, aku merasa tidak perlu lagi pergi ke galeri lukisan hanya untuk menyaksikan keindahan sebuah karya seni.

Aku seorang pemimpi, tapi aku juga wanita yang memiliki rasa gengsi yang tinggi, Aku tidak berharap ada perasaan lebih diantara kami,

Lagipula aku teramat yakin, tidak ada, tidak akan ada laki laki yang bersedia menerima wanita sepertiku,

Apalagi jika mereka tahu aibku…

Belum lagi kemungkinan aku lepas dari Dika sangat sangat kecil adanya…

Aku hanya bisa tertawa hambar mengingat ingat hal tersebut.

Bagian yang paling menarik dari kedekatanku dan Leo,

Dia semakin sering bercerita tentang dirinya, ia pendengar yang cukup baik jika kami saling bertukar kisah, seperti waktu itu, saat kami pergi ke pantai berdua,

Hanya melihat laut, sambil duduk diatas karang, menonton ombak yang membentur karang bisu.

Tentu saja kisahku yang terlahir dari keluarga bahagia dan serba cukup ini tidak dapat dibandingkan dengan kepahitan hidup Leo,

Meskipun belakangan dengan kehadiran Dika, aku menjadi pribadi yang sangat amat mengecewakan, tidak hanya diriku sendiri tapi juga orang lain…

Saat mereka tahu aku, siapa aku sebenarnya.

Aku sangat yakin mereka tidak akan segan segan meludahi wajahku ini…

Tapi Leo… Mendengar kisahnya, Aku merasa aman, Aku jadi merasa bahwa aku bukan satu satunya orang yang menderita didunia ini,

Jika aku diperbudak oleh kekasih tak berhati macam Dika,

Ia seakan diperbudak nasibnya sendiri, setidaknya dulu.

Apa kau tahu rasanya kehilangan?



Aku menjawab dengan gelengan.

Seperti biasa, Leo menghembuskan nafas panjang sebelum memulai ceritanya,



Pengorbanan demi sesuatu yang dicintai, Hanya orang bodoh yang mau melakukan hal sia-sia semacam itu,

Cinta itu ada berbagai macamnya, tapi kalau aku, tidak akan bersedia melakukannya, manusia bodoh yang mau diperlakukan tidak layak, hanya karena ia begitu mencintai, bahkan ia tahu penyiksa itu adalah orang yang pernah berbagi cinta, dulu sekali,

Namun ia tidak punya akal sehat untuk melihat secara nyata,

Bahwa ia sudah tidak dicintai lagi…




“Kupikir semua orang hidup demi cinta?” Kataku membela diri, aku merasa ia seperti sedang menyindirku, atau kata katanya yang membuatku teringat akan diriku yang dulu, yang mengorbankan segala galanya hanya demi seorang Andika Lesmana, pria egois, pemabuk, pemarah, cemburuan, yang belakangan kuketahui bahkan sudah memiliki anak istri segala…



Apa ada orang yang pandai mau hidup dengan cinta yang mungkin saja membunuhnya?



Terdiam, aku menunduk, “Jadi, kau bukan tipe yang mau berkorban demi cinta, ya.” Komentarku,

Leo menggeleng, “Aku tidak tahu” itulah yang ia katakan.

Dibilang pengorbanan, Aku juga pernah melakukan suatu hal terlarang yang tidak manusiawi, untuk cinta,



Mendengarnya, aku hanya bisa menaikkan alis tanda tertarik,

Hal terlarang yang tidak manusiawi? Macam apa itu?

Ingin, Aku ingin sekali bertanya, namun kutahan, kupalingkan wajahku agar mimik penasaran itu tersamarkan, aku yakin jika aku terlalu bersemangat ia mungkin akan membatalkan niatnya bercerita.

Namun ternyata aku salah.

Leo itu peka, sudah sangat terlambat ketika aku menyadari tangannya terulur untuk menyentuh daguku, reflek wajah kami berdekatan dan aku dapat dengan sangat jelas menatap matanya dari sini,

Onyx, kecantikan sempurna… Ia seperti binatang malam.

Lingkaran hitam dibawah matanya tidak mampu menyembunyikan keindahan disana.

Ia Insomnia akut, itulah sebabnya kulitnya tampak lebih pucat dan lebih ringkih daripada orang biasa, walau begitu, tenaganya kuat, jauh lebih kuat daripada apa yang orang lain bayangkan,

Dan ironisnya tangan ini, begitu lembut, halus, ia menyentuhku dengan hati hati seakan takut meremukkanku,

Aku menutup mata, sudah berapa lama aku mendambakan diperlakukan seperti ini…?

Ibuku sering melakukannya untuk memberikanku ketenangan hati.

Itu sudah lama sekali,

Sebelum aku merasa tidak pantas lagi untuk menerima kelembutan itu, sebelum aku menyadari bahwa yang bisa kuberikan pada mereka yang kucintai hanyalah kepalsuan.

Sebelum setitik rasa bersalah terus menerus menggangguku saat aku menerima kenyamanan semacam ini.

Leo memiliki tangan yang dingin, suhu tubuhnya rendah, tetapi perasaan hangat ini mampu masuk sampai kehatiku.

Kelembutannya, jari jarinya, wangi aroma tubuhnya,

Semua begitu lembutnya…

Hanya dua puluh detik, berikutnya suara ombak menampar karang terdengar seperti raungan, iapun melepaskanku,

Aku merasa di introgasi, ia tidak suka aku menyembunyikan sesuatu darinya, dan aku yakin ia tahu.

Ia tahu jantungku berdebar amat dahsyat.

Bukan lagi karena rasa ingin tahu, bukan karena pura-pura tidak peduli,

Sesuatu yang lain.

Ia tidak menjelaskan arti ucapannya, ia mengalihkan pembicaraan, hanya saja, ia cukup pandai, setidaknya cerita pengganti yang dikisahkannya bisa membuatku puas dan merasa cukup dipercaya.

Aku tersenyum mengingat kejadian di tepi pantai itu,

Namun senyumku begitu cepat pudar mengingat apa yang ia katakan selanjutnya.

Karena pekerjaannya sebagai wanita malam, ibuku terkena penyakit, kehidupan kami sangat miskin, dan kurasa, itu merupakan alasan utama kesulitan kami, ayahku? Ia selalu membawa wanita lain yang berganti-ganti setiap malamnya,

Belakangan, wanita yang dibawanya tinggal bersama kami,

Bisa kau bayangkan perasaan aku maupun ibu?

Waktu itu aku dua belas tahun,

Yang kulakukan adalah bekerja keras, melakukan apapun yang bisa kukerjakan,



Kemudian, kutanya apakah ia tidak punya teman,

Leo tersenyum, kelihatannya ia senang dengan pertanyaanku,

Aku ikut tersenyum, merasa telah melakukan hal yang benar.

Kalau bukan karena temanku, mana mungkin aku bisa hidup seperti sekarang ini? Aku cukup banyak memiliki hutang budi padanya…

Hm, dan kutanyakan lagi, apakah yang ia ceritakan ini ada hubungannya dengan ‘Teman’ yang ia bilang yang waktu itu?

Leo mengiyakan.

Ia salah satunya, ada tiga orang,

Semuanya adalah keluarga bagiku,

Diantara mereka ada seorang yang melakukan pengorbanan besar untukku, andai saja masih ada cukup kesempatan, aku kesal karena tidak sempat melakukan sesuatu untuknya.

Sebelum ia pergi untuk selamanya.


Wow, ini hebat sekali, aku ingin bertemu mereka,

Tapi, penyesalan itu, artinya…

Kematian, kan?

Orang yang paling dihormati oleh Leo, orang yang tidak mungkin bisa kembali lagi.

Lagi-lagi aku mendengar Leo bergumam, tersamarkan suara berisik air laut.

Kalimat yang menguatkanku, entah mengapa.



Bagaimanapun jika hanya demikian, aku masih bisa bertahan, aku akan tahan,

Hidup memang tidak selamanya berjalan seperti yang kita inginkan…






++++
 
4th.



Tidak bisa kualihkan pandanganku dari helaian kertas dihadapanku,
Descendant of the Deathmaster,

Novel ini menceritakan tentang Vampir dan kehidupan jauh di dunia masa depan, bukan cerita novelnya yang membuatku terkejut,

Namun tokoh-tokoh didalamnya yang secara nyata mampu merebut simpatiku, dan yang paling menarik perhatianku adalah, karakter yang tidak dapat dikategorikan sebagai protagonis maupun antagonis, Stast The Origin.

Berambut dan bermata hitam, sifat tidak bisa ditebak-nya, dan kecantikan seorang raja yang ia miliki, walau ia tidak sebaik yang terlihat.

Ia memiliki kecerdasan disertai masa lalu yang kelam, dan ia juga kejam.

Ia mungkin saja menyelamatkan dunia, tapi karena ia terus menerus hidup didalam kebencian, dirinya yang haus akan pembuktian dan keinginan untuk diakui, senjata yang seharusnya menjadi kekuatan bagi umat manusia, ironisnya justru berbalik menjadi bumerang

Mengingatkanku akan seseorang.

Orang pertama yang terlintas dipikiranku ketika membaca bagian yang sampai pada pertarungan antara tokoh utama dan sang raja Vampir yang dipanggil ‘Stast’ itu, Adalah Leo…



Entah mengapa, Leo-lah orangnya.



“Seru, kan!” serbu kak Lusi saat aku menghampirinya untuk makan pagi, aku mengangguk bersemangat,



“Ya, Aku juga tidak boleh kalah, aku akan membuat cerita yang tidak kalah bagusnya.” Sahutku antusias.

Kak Lusi tersenyum, “Bakatmu diasah setiap kali selesai membaca, ya,”

Bahkan iapun tahu, aku sangat menyenangi membaca, semua bentuk huruf dan apa saja yang bisa dibaca adalah kitab suci bagiku,

Aku tidak pernah bosan menambah pengetahuanku yang masih sedikit ini,

Dan, Novel ini begitu besar dampaknya terhadapku, dibuat diatas imajinasi dan daya khayal yang seperti kegilaan bagi pengarangnya, aku yakin,

Aku ingin tahu kelanjutannya, Akhir sedih, ataukah Akhir bahagia,

Dan yang jelas, aku ingin bisa menggambarkan karakter seperti itu, seakan aku benar-benar mengenalnya,



Pikiranku masih dipenuhi Leo, Mungkin karena Novel yang kubaca barusan memiliki tokoh yang mirip dengannya,





Atau mungkin karena aku mulai merindukannya.



++++

Malam itu, aku harus pergi pada pukul dua belas malam,

terbangun oleh suara ponsel,
Nomer yang tidak dikenal.

Dan, hal merepotkan kedua adalah, aku harus menjemput Leo yang sedang mabuk berat, yang saat ini tergeletak tak sadarkan diri dimeja bartender,
yang meneleponku adalah bartender disana, ia kebingungan sebab Leo nyaris tidak punya kenalan, dan satu satunya orang yang terlihat pernah diajaknya Clubbing hanyalah aku sehingga ia tahu namaku karena sering mendengar Leo memanggilku.
Aku tahu, tidak seharusnya aku sesenang ini mendengarnya

Kesialan berikutnya, aku mendatanginya saat ia benar-benar mabuk, tapi ia lupa dimana ia menyimpan kunci rumahnya, menanyai orang mabuk sungguh tidak lebih baik dari menanyai seorang anak bayi,
Responnya buruk, menceracau tidak karuan, dan ia hanya punya kunci mobilnya, yang kutemukan setelah menggeledah saku celana-nya,
Repot, repot, repot,

Satu-satunya keberuntungan adalah:
Kakakku dan suaminya serta anak mereka sedang berada diluar kota, bayangkan kakakku akan pingsan jika tahu aku membawa seorang pria asing, dalam keadaan mabuk, dan memberikan tumpangan padanya…

Susah payah kuseret Leo, ia berat!
Apalah artinya tenaga seorang wanita, setelah perjuangan panjang, akhirnya aku bisa juga melemparnya ke sofa,
Aku cukup waras untuk tidak berbagi kamar dengannya.

Kupandangi wajahnya yang pulas, masih tetap tampan,

Hei, anak cantik, kau pikir siapa dirimu? Siapa aku?
Kita bukan siapa-siapa, kita hanya kenalan biasa,

Kuusap wajahnya dengan lap hangat, mengganti kemejanya dengan piyama milik mas Agung kakak iparku, menyeka leher dan dadanya yang penuh keringat,

Perlahan-lahan bau rokok dan alkohol yang menyengat lenyap
Dia bukan perokok, tapi yang jelas, siapa yang bisa mempertahankan bau yang nyaman jika berada ditempat macam itu?!
Apa setiap malam ia begini, ya,
Dan, apakah malam ini ia sebegitu frustasi nya sehingga tidak bisa mengatasi dirinya sendiri seperti ini?!

“Lelaki bodoh…” gumamku,

Padahal ada aku, kau bisa bercerita apa saja, aku akan menerimamu dengan senang hati, aku siap meski menjadi tempat sampah untukmu sekalipun,
Karena itulah kita berteman…

Leo menggeliat, namun ia tidak terbangun sedikitpun,
Aku mengambilkan selimut bulu agar ia tidak kedinginan,
Berharap ia tidur dengan tenang dan bermimpi hal indah,



Aku masih belum tahu kalau hal itu tidak terjadi.

******************************************************
******************************************************

Pukul setengah tiga pagi, aku terbangun lagi, karena teriakan Leo,
Bergegas kudatangi Leo, ia masih tidur, tapi ia mengigau, ia berteriak-teriak tentang hal mengerikan,

“Aku akan membunuhmu! Karena kau, kami menderita!”
Aku mengguncangkan tubuhnya sekuat yang aku bisa,

“Mati…! Mati…!”

Kusebut namanya berkali-kali, kudekap ia dan ia terbangun, dalam keadaan gemetar.
Dahinya basah oleh keringat, dadanya juga, seperti habis dikejar setan…

“Riana…?” ujarnya menatapku tidak paham, air mata mengalir di pipinya yang menjadi merah padam, nafasnya pun tidak beraturan,
Ia nampak terkejut dengan keberadaanku, dalam sekejap ia menyadari ia ada diruangan yang berbeda dengan tempat ia tinggal.


Rumahku.


Aku berdiri untuk mengambilkannya air putih, Leo menarik pergelangan tanganku, sekejap saja ia menjadi seperti anak kecil, menahanku agar tidak pergi menjauh darinya,

“Aku pikir…, Kau butuh sesuatu untuk menenangkan diri?”
Ia melepaskan cengkramannya saat aku mengakhiri kalimatku,
Kubiarkan ia termenung seorang diri sementara aku mengambilkan minuman dingin,
Aku tak bisa menebak apa yang saat itu tengah ia pikirkan.

Kusodorkan segelas air putih dingin ketangannya, ia tidak langsung meminumnya, sebaliknya ia memandangiku agak lama dengan sorot mata aneh yang tidak dapat dijelaskan.

“Aku tidak memasukkan racun, kok.” Protesku kepadanya.

Ia kelihatan terkejut mendengar kalimat yang baru saja kulontarkan padanya, pelan pelan meraih gelas ditanganku.
Meminumnya dalam kesunyian.
Ia seperti robot, gerakannya demikian kaku sehingga membuat orang mudah merasa tidak nyaman.

“Kau dengar…” Suaranya memecah kesunyian. “Kau dengar apa yang baru saja kukatakan saat aku,” ia menelan ludah sebelum melanjutkan,
“Tertidur…?”

Aku terdiam sejenak.
Dalam posisi masih berdiri, kugerakkan tubuhku, menggeser dan duduk disebelahnya,
Agak berjarak, tetapi aku masih bisa melihat mata bagaikan kumbang hitam itu berkilat resah.
Kutarik nafasku dalam dalam, mencoba mengingat ingat sesuatu yang terjadi antara sadar dan tidakku.
Aku juga setengah tidur tadi, aku tidak bisa menyalahkan diriku dan berharap banyak dari ingatanku ini.
“Kau…” Ujarku mengingat ingat. “Menyebutkan sesuatu tentang ‘mati’,” Menggaruk garuk kepala bertanya tanya sendiri apakah aku salah atau tidak, aku merasa malu.
“Kau meneriaki seseorang… mengharapkannya mati…”

Aku menunggu.
Berusaha membaca reaksi Leo dari dalam mata kumbangnya.
Lelaki itu melamun, tampak tidak menghiraukan jawabanku,
Ini menyebalkan sekali! Siapa sih yang tadinya bertanya duluan?
Aku jadi merasa sia sia berpikir keras jika tidak dihiraukan… atau mungkin aku menunggu pernyataannya, apakah aku salah atau benar, apakah aku berhasil membantunya atau tidak.
Ini menyebalkan.
Kenapa aku jadi sangat resah menunggu sepatah kata bernada komentar darinya saja?!

“Leo…!” Tegurku keras keras.

Leo tersentak lagi, gelas ditangannya bergoyang, nyaris tumpah.

“Ada apa sebenarnya?” Tanyaku lagi, kali ini bukan hanya sekedar rasa ingin tahu.
Tetapi murni kekhawatiranku semata.
Leo memalingkan wajahnya, menghindari tatapanku, ia masih tidak bicara sedikitpun.
Aku masih menunggunya-merasa dungu sekali- selama beberapa saat,
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menyerah.
Kualihkan pandanganku pada asbak kayu berukir kesayangan ayahku diatas meja tamu, mencoba menemukan pola pola abstrak diantara ukiran ukiran rumit tanpa jeda tersebut.
Merupakan pekerjaan yang membantuku pada saat saat canggung semacam ini.
Sangat berharap punya seratus buah lagi yang seperti itu, untuk diletakkan dimana mana saat aku sedang bersama Leo.

“Aku kadang juga begitu,” Ujarku akhirnya, antara putus asa dan menyerah.
Leo membatu disampingku, tapi aku tahu ia mendengarkan.
“Berharap untuk melenyapkan sesuatu.” Aku tahu tidak ada gunanya aku mendesaknya bicara, sebagai gantinya, aku yang akan bicara,
Aku juga tidak mengerti mengapa sekarang aku ingin sekali bicara begini.
Padahal aku tahu,
Tidak ada seorangpun mengerti masalahku, tidak seorangpun.

“Kau tahu,” Lanjutku, “Aku tidak pernah membenci hidupku, hidupku sempurna, aku bangga dengannya, aku punya hal hal yang kucintai dan mencintaiku melebihi apapun…” pandanganku melayang kesekitar ruangan, dimana dinding dinding penuh kebisuan menggantungkan foto foto penuh kenangan dari keluargaku,
Semua tersenyum bahagia, disalah satu foto, Nampak aku, ayah, ibu dan kakakku, berfoto mengenakan baju yang sama disebuah tempat liburan.
Lalu foto foto keponakan mungilku,
Foto fotoku saat upacara wisuda, foto pernikahan kakakku…
Foto masa kecil kami… Semua, semuanya begitu sempurna.
Aku dicintai, aku menyayangi dan bangga akan kasih sayang yang diberikan keluargaku, yang mana seseorang diluar sana pasti rela melakukan apapun demi mendapatkan cinta seperti ini.
Aku mengepalkan tangan, mengutuk seseorang jauh disana, “Tapi kadang, aku masih saja tidak bisa menghentikan diriku untuk berharap agar satu dua orang mati saja.
Karena hidupku yang sempurna, bahagia, akan jauh lebih baik lagi tanpa kehadirannya.
Aku pikir, itu manusiawi.”

“Itu tidak,” Suara lembut Leo terdengar, membuatku terkejut, karena aku sama sekali tidak menyangka ia akan menanggapi ocehanku,
“Membunuh orang atau membuatnya lenyap tidak semudah apa yang kau pikirkan,” Ia bicara tanpa melihat kearahku lagi,
Aku menunduk, mendengarkan, biarlah, bodohnya aku mengharapkan ia melihat kearahku pada saat seperti ini.
Penghiburan darinya…? Mustahil.

“Nyawa manusia itu berat.” Lirihnya.

“Tapi didunia ini juga ada manusia yang nyawanya sama sekali tidak berharga, hanya tahu caranya menghancurkan hidup orang lain dan menjadikan orang lain mainan! mereka tidak lebih dari sekedar sampah!” desakan dalam dadaku membuncah, “Karena selama masih ada orang yang…” Aku menghentikan kalimatku, menarik nafas, “Mengambil keuntungan dari rasa cinta yang diberikan padanya…” Oh, tidak, lagi lagi, jangan, Riana, jangan didepan orang tidak berperasaan ini.
Ia sama saja seperti yang lainnya.
“Mengharapkan kebahagiaan bukan demi orang lain tapi demi diri sendiri itu manusiawi…” Aku mengakhiri kata kata ‘pembenaranku’.
Ya, dia sama saja dengan mereka semua, tidak akan ada yang membelaku karena kebodohanku sendiri… tidak akan ada,

“Kau berpikir begitu…?”

Kuberanikan diri mengangkat wajahku, saat itu aku bersedia bersumpah demi apa saja bahwa aku sedang tidak bermimpi.
Bahwa Leo sedang tersenyum.

Ia tersenyum kearahku.

“Termaafkan…?” ia bertanya sekali lagi, sementara aku masih terhanyut oleh senyuman langka itu sendiri, aku terkesiap, dengan gugup, tak tahu harus merasa bagaimana.
Mengangguk angguk bodoh kearahnya.
Aku tidak mengerti ia, sesaat tadi ia seperti meng-counter ucapanku, tetapi sekarang ia seperti sedang memintaku membenarkan keyakinanku,
Aku merasa pembicaraan ini seolah sedang mengujiku.

Ia memelukku,
Aku tidak yakin-entah ia hanya bercanda ataukah ia sungguh sungguh berniat melakukannya- yang jelas tangannya melingkari tubuhku, kepalanya bersandar seperti anak anak, nafasnya bahkan seratus kali lebih teratur daripada sebelumnya.

“Terima kasih…”

Aku mendengarnya berbisik sebelum akhirnya rasa kantuk ikut menenggelamkanku.


+++

“Kau tahu aku sedang rapat sekarang,” Aku berkacak pinggang, “Kau tidak bisa masuk sembarangan,”

“Sejak kapan aku dilarang untuk ketemu kekasihku sendiri?” Tangan nakal Dika hinggap diantara helaian rambutku, membuatku jijik, “Kau sudah terima smsku?” Ia bertanya, “Oh ayolah, jangan pura pura tidak tahu, Riana…”

Kutepiskan jari jari kurang ajar itu dari mahkotaku, jangan sentuh aku seakan aku adalah milikmu, ingin sekali kuteriakkan kata kata itu, tapi tertahan ditenggorokanku.
Aku menarik nafas, berusaha menetralkan emosiku, Dari kejauhan kulihat mas Agung melirik penasaran kearah kami berdua.
Aku tahu keluargaku tidak pernah suka pada Dika.
Harusnya aku menuruti mereka sejak awal, untuk tidak berhubungan apalagi mengenalnya.

“Kita keluar saja,” ajakku, menarik lengan Dika, Bajingan itu tersenyum santai kearah mas Agung yang geleng geleng kepala, walau tak terbaca, aku tahu makna dari bahasa mata kakak iparku adalah ‘Kalau-ada-apa-apa-teriak-saja’.
Tenang saja, kak, ia tidak akan bisa menyakitiku lebih dari ini.
Mengutuk dalam hati, aku membawa Dika hingga kaki ini menghentikan langkahnya, tepat didepan pintu keluar kantor,

“Maumu apa?!” Marahku, mencekal baju bagian dada Dika dengan sengit.
Orang yang kupelototi malah bersiul santai menyentuh daguku, murahan, aku menggeleng kuat kuat, memberinya isyarat agar melepaskanku.
Ia tidak melakukannya, sebaliknya ia malah berkata lancang,

“Uangnya? Sudah kau siapkan?”

Aku menutup mata, masih mencoba menenangkan diri sendiri, “Yang kemarin mana? Masa’ sudah habis?!”

“Kau tahu kan, aku kemana saja,” Dika mengorek ngorek telinga kirinya dengan jari kelingking, berlagak inosen, “Segitu mana cukup untuk rokokku, manis,”

“6 juta?! Habis hanya dalam seminggu dan kau sebut itu belum cukup?!” Suaraku meninggi,
Dika menempelkan telunjuknya didepan bibirku, menyuruhku memelankan nada bicara,
Aku mengumpat putus asa dalam hati.

“Sstt, jangan keras keras manis, ini tempat umum, kau tidak mau kakakmu sampai dengar, kan?”

Sial, sial, Kenapa aku atau dia tidak mati saja?

“Aku sudah tidak punya uang lagi,” ucapku melemah, “Yang terakhir itu, adalah uang tabunganku, aku tidak punya apa apa lagi,”

“Kenapa tidak minta saja pada orang tuamu? Bukankah keluargamu kaya,”

“Hell,” Akhirnya aku mengumpat juga. “Kau gila yah?” ingin rasanya aku menampar wajahnya menggunakan map yang kudekap erat.

Dika tersenyum, “Kalau begitu kau terpaksa melakukannya lagi malam ini.”

Bagian bagian tubuhku kaku,
Bodoh sekali aku harus melakukan semuanya sesuai apa yang ia perintahkan.
Hanya satu kesalahan dan ia menguasai hidupku.
Lebih daripada aku sendiri,

“Kau tidak mau kan’ segalanya berakhir sampai disini…?”

Aku tersentak.

Berakhir disini…?

Lagi lagi bayangan kuat akan orang orang yang kucintai mengusik penglihatanku.
Orang orang yang mencintaiku.
Orang orang yang tidak mungkin kukecewakan tapi nyatanya sudah terjadi.

Dika kembali menjawil daguku, tanpa menunggu jawabanku, ia memutar tubuhnya, pergi.

“Kutunggu sampai lusa!” Ia berteriak.

Bagi sebagian orang yang melihat kami sekarang, mungkin kami hanyalah sepasang kekasih biasa yang berpisah setelah saling melepaskan rindu untuk saat ini,
Tak ada yang mendengarnya, betapa aku muak, betapa aku ingin segera mengakhiri lingkaran setan ini.
Tidak ada, tidak akan ada seorangpun datang… Air mataku rasanya akan jatuh.
Tolong,
Siapapun, tolong aku…

“Pacarmu?”

Aku berpaling mencari asal suara dibelakangku.

Leo lagi.
Ini kamis yah, aku lupa, hari pertemuan kami entah yang keberapa kalinya.
Seperti sudah menjadi jadwal khusus.
Aku terlalu tidak berhati hati,
Ah tapi mengapa pula aku harus berhati hati karena Leo?
Ia bukan siapa siapaku…

“Ya-maksudku, bukan,” Cepat cepat kuralat,

“Kau sepertinya bekerja disini, yah, setiap kali bertemu selalu meminta dijemput ditempat ini,” Leo menengadahkan kepalanya, menatap puncak gedung pencakar langit yang menjadi kantor percetakan milik kakak iparku,

“Aku belum bilang yah, aku ini editor buku,” Aku mencelos,

“Salam kenal kalau begitu,” Leo jalan-duluan-tidak-memperhatikan, membuatku dongkol.

“Sial kau,” Aku berjalan mengikutinya, susah sekali karena aku menggunakan sepatu ber-hak dan juga rok span kantoran, lagipula ia tidak sedikitpun memelankan langkahnya.

“Kau tidak sedang ada pekerjaan?” ia bertanya.

“Sudah selesai,” bohongku, yang benar saja, Dika datang tiba tiba ditengah rapat, mencariku seenak udelnya, aku tidak enak pada rekanku yang lain, Tidak tahu harus kembali dan memasang muka seperti apa…
Masa’ datang dan pergi sesuka hati, kerja macam apa itu…
“Tunggu!” Aku susah payah menggerakkan kakiku karena hak sepatu yang seolah bergesek tidak nyaman membuatku ingin terpeleset, “Aku pakai high heels nih!”

Leo berhenti, ia sudah akan sampai kedepan mobilnya.
“Lepaskan saja kalau begitu,” ia menjawab sekenanya,

“W-What?”

“Lepaskan,”
Leo mendatangiku, tanpa kuduga, ia menggendongku begitu saja,
Harusnya romantis tapi fail, karena saat ini ia kelihatan seperti memanggul sekarung gula pasir.

“Bodoh, turunkan!” Teriakku, beberapa pasang mata memandangi kami ditengah parkiran, bahkan tukang parkir sampai menjatuhkan rokok yang terjepit diantara sela bibirnya.

Malu sekali.
Leo kelihatan tidak peduli, ia melemparkanku ke jok belakang.
Sekarang aku merasa bukan lagi gula pasir, melainkan terigu.

“Kau mau tahu seperti apa kelihatannya kita sekarang?” Sambil membereskan map mapku yang berserakan didalam mobil, aku memasang tampang cemberut nyaris tak percaya apa yang dilakukannya.

Ia memang lelaki tak terduga.

“Apa?” Ia menengok kedalam, hanya untuk memastikan jawabanku.

“Aku laku sekali.” Yeah, baru saja bertengkar dengan pacar didepan kantor, sudah dijemput cowok baru lagi.

Leo menyunggingkan senyuman jail.
Aku tidak ingin melihatnya tapi jujur saja, nuraniku menagih meminta lebih...
Ia menutup pintu mobil keras sekali tanpa perasaan, aku menutup kedua telingaku dengan tangan, kertas kertas masih berserakan dipangkuanku.

“Atau,” Ia masuk dan menstarter mobilnya, “Bisa jadi ‘Aku sedang diculik orang aneh’ adalah jawaban paling tepatnya.”

“Orang aneh dengan mobil Mercy ya,” Aku mengibaskan tangan, “Tidak buruk.”

Leo kelihatan seperti menahan tawa didepan,
Aku tidak tahu mengapa, tapi ia kelihatan seperti menghiburku.
Sekejap saja aku lupa betapa beberapa menit lalu aku ingin mati dan menangis.
Padahal ia kelihatan tidak melakukan apapun sesuatu yang istimewa.
Aku tidak paham.

Tersadar, aku baru saja ingat tasku ketinggalan dimeja kerjaku, lengkap dengan hp serta barang barangku yang lain, Dika tidak akan bisa menghubungiku kalau begini…

Kenapa harus, Riana?
Biarkanlah, kali ini saja, hiduplah tanpa dia meskipun hanya beberapa jam.
Benar,
Kuluruskan kakiku, mencoba santai tapi aku malah berakhir rebahan.

Dari kaca didepanku aku bisa melihat mata Leo mengekor padaku, Ia tidak bicara, ia berhenti memandangiku, lalu mengeraskan suara speaker mobilnya, membuat lagu Happy ever after nya Maroon 5 memenuhi ruang dengarku, bukannya berisik, malah menenangkan bagiku, ia tahu bagaimana menyamankan orang lain, dalam diamnya aku merasa dimengerti, aneh…

‘Kalau begitu kau harus melakukannya lagi, kutunggu sampai lusa…’

Siapa peduli.
Aku hanya ingin menikmati rasa aman dan terlindungi didalam sini.
Terlepas dari semua teror itu, Tidak peduli untuk berapa detik aku rela menebusnya dengan separuh hidupku.

++++
 
Back
Top