Obrolan Paling Memuakkan di Kantor

fajarsany

New member
Tlit, tlit, tlit! Alarm ponsel Ramzi berbunyi, membangunkannya dari tidur malam yang nyenyak. Dengan sedikit berat dia membuka kedua matanya, kemudian terduduk sebentar, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Setelah mandi dan berwudhu, dia melaksanakan shalat shubuh.

Selesai mandi dia berdandan dan memakai pakaian kerjanya, sepatu kulit hitam, celana katun hitam, kemeja biru, dan dasi hitam, dengan jaket sebagai tambahannya. Tak lupa sarapan roti selai kacang kesukaannya dan segelas jus jeruk.

Dia pergi menuju kantornya menggunakan bus umum, meskipun sebenarnya dia memiliki sepeda motor sendiri. Ekspresi wajah dan gerak tubuhnya menunjukkan dia sedang bersemangat kerja. “Semoga hari ini semuanya dilancarkan, amin.” Katanya dalam hati.

Di sebelah kanan meja kerjanya ada Adit, dan disebelah kirinya ada Yanti yang baru bekerja seminggu di kantor tersebut. Yanti menggantikan Herman yang mengundurkan diri.

Yanti sudah cukup dekat dengan Adit, sedangkan Ramzi belum, karena selama 3 hari Ramzi ditugaskan ke luar kota. Jadi hari ini adalah hari ke-4 nya dia bekerja bersama Yanti.

Hari itu adalah hari Sabtu, kantor tidak begitu sibuk. Jam menunjukkan pukul 11 siang. Adit sedang mengobrol dengan Yanti.

Melalui ponselnya, Adit menunjukkan foto pernikahan temannya kepada Yanti, “Jadi bagaimana menurutmu dengan dekorasi dan pakaian pengantinnya?”

Yanti menimbang-nimbang sebentar, “Hmmm... dekorasi sudah bagus, tapi pakaian pengantin wanitanya terlihat berat di bagian kepala. Harusnya tidak perlu diberi terlalu banyak hiasan.”

“Haha... benar nih yang namanya ibu-ibu dan perias pengantin memang peka dengan hal-hal seperti ini.” Kata Adit.

Ramzi tidak ikut mengobrol, dia hanya mendengarkan saja, perhatiannya terfokus kepada layar komputer di depannya. “Semangat, semangat, sebelum istirahat harus beres!” Katanya dalam hati.

“Wah sepertinya Ramzi sedang bersemangat, tenang saja Ram jangan terlalu serius begitu mengetiknya,” kata Adit menggoda, kemudian melanjutkan obrolannya dengan Yanti, “ketika aku melihat temanku itu, aku dapat melihat rasa bahagia terpancar dari mata mereka. Jadi benar kalau pernikahan itu adalah hari yang paling bahagia, maksudku salah satu hari yang paling bahagia dalam hidup seseorang, selain hari gajian, hehehe.”

“He... iya juga, tapi kalau pernikahanku menyedihkan,” jawab Yanti, “aku ingat waktu itu dananya kurang, jadi acaranya pun ya... pas-pasan. Pokoknya kalau mengingat hari pernikahanku, itu menyedihkan sekali.”

“Tapi menurutku bukan masalah acaranya yang mewah atau sederhana, yang terpenting adalah bahtera rumah tangganya apakah bahagia atau tidak. Banyak kan orang yang pernikahannya mewah, tapi kehidupan rumah tangganya tidak harmonis; sebaliknya ada orang yang pernikahannya cuman kecil-kecilan, tapi kehidupan rumah tangganya harmonis.” Kata Adit.

“Benar juga sih, tapi suamiku itu orangnya terlalu pendiam.” Kata Yanti.

Adit mengerutkan keningnya, “Pendiam bagaimana? Kalau dilihat dari foto-fotonya, sepertinya suamimu itu orangnya baik. Aku bisa menilai dari matanya. Emh... tapi itu hanya penilaianku saja, berdasarkan ilmu psikologi yang pernah aku pelajari dari Internet.”

“Tapi bagiku dia terlalu pendiam... (Yanti melanjutkan obrolannya dengan Adit.)”

Ramzi menyelesaikan pekerjaannya, kedua tangannya dia angkat ke atas sambil menghirup napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya sambil berkata, “Fuh... akhirnya beres juga.” Dia mulai melirik percakapan Adit dan Yanti.

“Sepertinya kalian berdua dari tadi asyik sekali, sedang membicarakan apa sih?” Tanya Ramzi.

“Ini katanya Yanti kurang puas sama suaminya setiap malam, kurang...” Jawab Adit sambil setengah tersenyum, yang kemudian dihentikan oleh Yanti.

Wajah Ramzi menjadi keheranan, “Emh, sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan, sepertinya tentang hubungan suami-istri?”

Adit menjawab sambil tersenyum kecil, “Pelajaran buat kita nih Ram, langsung dari orang yang berpenga...”

“Eh! Tidak, tidak, hehe...” kata Yanti sambil tersenyum malu-malu, “Dit!”

Ramzi memalingkan mukanya dari Adit dan Yanti, lalu memainkan game di ponselnya sambil menunggu jam 12 tiba. Tapi telinganya tetap mendengarkan apa yang dibicarakan Adit dan Yanti. Sepanjang percakapan, Adit mendengarkan Yanti yang terus berbicara.

“Setiap hari, tanganku selalu pegal setelahnya semalaman memberikan susu formula kepada anakku itu.”

“ASI? Bagaimana aku bisa memberi ASI? Dari awal kehamilan, payudaraku hanya mengeluarkan sedikit ASI, tidak cukup untuk menyusui si dedek. Lagipula, biasanya kan kalau puting payudara perempuan hamil itu menonjol keluar, kalau aku tidak, malah masuk kedalam. Aku juga heran kenapa bisa begitu.”

“Aku juga kesal dengan adik laki-lakiku yang suka rewel padaku, padahal dia sudah kelas 5 SD. Masa aku harus memberikan uang jajan kepadanya, padahal mamah dan bapakku masih ada?”

“Terkadang kalau aku sedang malas dengan si dedek karena menangis terus, aku suka menitipkannya kepada pembantu di rumah mamah.”

Tak terasa Adit dan Yanti mengobrol hingga pukul 12 siang. Selama itu Adit terus mendengarkan Yanti dengan serius, terkadang sambil tertawa kecil dan tersenyum-senyum, tanpa membalas satu ucapan pun.

“Aku duluan ke masjidnya, setelah itu makan di tempat biasa.” Kata Ramzi kepada mereka berdua sambil berdiri meninggalkan mejanya. Dia meninggalkan gedung, menuju masjid untuk menunaikan shalat Dzuhur.

“Oke!” Kata Adit dan Yanti yang masih mengobrol.

Setelah menunaikan shalat Dzuhur, Ramzi menuju sebuah warung pulsa yang terletak disebelah kompleks masjid.

“Mas Ramzi, gimana kabarnya, lama gak keliatan, gimana kerjanya?” Tanya penjaga pulsa yang sudah akrab dengan Ramzi.

“Aduh agak sedikit pusing mas.” Jawab Ramzi.

“Lho kenapa bisa pusing toh?” Tanya penjaga pulsa lagi.

“Karena baru saja saya mendengarkan... obrolan paling memuakkan di kantor. Dan selama 3 tahun saya bekerja di sana, baru saya alami barusan.” Jawab Ramzi sambil memijit-mijit kepalanya.
 
Back
Top