KISAH BILAL BIN RABAH MUAZIN RASULULLAH

ISWANDA

New member
KISAH BILAL BIN RABAH MUAZIN RASULULLAH

LANGIN Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman, kesedihan dan duka mendalam. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak.

Hari itu, 12 Rabiul Awal 11 Hijriyah, junjungan kita Nabi Muhammad SAW wafat dalam usia 63 tahun, di Madinah. Saat itu segenap keluarga dan para sahabat tak kuasa menyembunyikan duka dan menahan tangisnya. Seluruh alam semesta seakan berduka dan menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam.

Sementara itu, di satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria berkulit hitam legam tampak sesunggukan tak kuasa menahan tangisnya. Seperti burung yang enggan berkicau, serta daun dan mayang kurma yang enggan melambai, maka Bilal bin Rabah pun, pria legam itu merasa sangat kehilangan atas wafatnya Nabi SAW.


Sampai waktu shalat tiba, Bilal baru beranjak dari tempat duduknya di sudut Masjid Nabi itu untuk menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan azan. ''Allahu Akbar, Allahu Akbar.''

Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju Masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi Masjid.

''Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah...''

Suara azan yang biasanya terdengar bening itu, kini seakan bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di Masjid melihat tangan Bilal bergetar tak beraturan. Asy. hadu.. an..na..M..Mu..mu..hammmad.''

Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapan pun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tak terkontrol.

Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini di penuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah. '' Asy.ha..du. .annna.'' Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan azan yang terpotong.

Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di Masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kesedihan mendalam ditinggal Rasulullah Muhammad SAW untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.

Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar Shiddiq ra tahu. Ia pun membebas tugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan azan. Dan inilah azan terakhir yang tak selesai, yang di kumandangkan Bilal sejak ia diangkat menjadi Juru Azan oleh Rasulullah saw.

BUDAK DARI HABSYAH

Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah ( sekarang Ethiopia ). Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekkah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda' ( putra wanita hitam ).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura ( Mekkah ) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy. Ketika Mekkah diterangi cahaya Islam yang dibawa Rasulullah saw, Bilal termasuk dalam kelompok orang pertama yang memeluk Islam.

Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu'minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, 'Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaibar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas ( mustadh ' afun ) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad SAW.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata: ''Ahad, Ahad... ( Allah Maha Esa ). '' Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata: ''Ahad, Ahad...'' Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan: ''Ahad, Ahad...''

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan 'Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya: ''Ikutilah yang kami katakan!'' Bilal menjawab: ''Lidahku tidak bisa mengatakannya. ''Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras terhadap budak hitam dari Habsyah itu.

Suatu ketika Abu Bakar ra tak kuasa melihat penyiksaan itu, ia pun kemudian mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar: ''Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya. ''Abu Bakar membalas: ''Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.''

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah SAW bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar: ''Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar. ''Ash-Shiddiq ra menjawab: ''Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah SAW.''

BERJIHAD KE SYRIA

Seperti telah diuraikan diatas, setelah Nabi SAW wafat, Bilal merasa sulit untuk menghabiskan waktu di Madinah. Berbagai kenangannya selama lebih dari dua dekade bersama Rasulullah SAW kerap teringat di matanya. Dia pun kemudian meminta kepada Khalifah Abu Bakar untuk membiarkannya pergi ke Syria untuk berjihad. Dan di sana ia menghabiskan sisa waktu hidupnya.

Ia mengumandangkan azan hanya dua kali setelah itu. Yang pertama adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab datang ke Syria dan kedua kalinya ketika ia mengunjungi makam Nabi Muhammad saw di Madinah. Setelah mendengar suara azannya orang-orang menangis, karena mengingat masa-masa kehidupan Nabi Muhammad SAW.

Bilal menghabiskan hari-hari terakhirnya di Syria. Ia wafat pada 18 Hijriyah dalam usia 64 tahun dan dimakamkan di Bal-al-Sagheer dekat Jama Umavi di Damaskus. Ia melayani Nabi Muhammad SAW selama 25 tahun. Islam telah mengangkat derajatnya pada tingkat seperti yang Umar bin Khattab memanggilnya sebagai Sayyidina ( pemimpin kami ).

Di saat-saat pembaringan terakhirnya, istrinya Hind menangis, wa hazana ( suatu kesedihan yang besar ) dan Bilal menjawab: Wa Tarabaa ( suatu sukacita yang besar ); ''Besok saya akan berjumpa dengan orang yang saya cintai, Muhammad SAW dan para sahabatnya.'' Dan, benar, keesokan harinya Bilal, Juru Azan Rasulullah, yang namanya kini diabdikan kepada setiap Juru Azan menghembuskan nafas terakhirnya.
SUMBER
http://blog-iswanda.blogspot.com/2016/03/kisah-bilal-bin-rabah-muazin-rasulullah.html
 
Back
Top