Apa Hukum dan Dalil Islam Mengenai Masalah Hibah di Keluarga Kami?

emilliano

New member
Bandung, 3 Januari 2016
Pertanyaan Mengenai Masalah Hibah:
Assalamualaikum Ustadz saya (Kania Dewi temannya Teh Yeti) ingin bertanya mengenai masalah aturan hibah dalam Islam beserta hadis-hadis dan dalil Al Quran yang memperkuat aturan hibah dalam Islam. Sebelumnya saya ingin menjelaskan mengenai hubungan keluarga dan kronologis kejadian yang sebenarnya.

Kami memiliki seorang kakek dan nenek dari ibu yang hanya memiliki seorang anak kandung yaitu Ibu kami. Kakek sudah meninggal dunia dan Nenek (umurnya sekitar 95 tahun) masih hidup,tetapi sudah mulai pikun. Disebut pikun karena dia susah nyambungnya kalau diajak bicara. Kadang-kadang nyambung, tetapi tiba-tiba pindah lagi ke topik saat dia hidup di zaman jepang. Malah pernah dia pipis, tetapi disangkanya air hujan dari rumah yang bocor. Ibu kami hanya memiliki tiga orang anak kandung, yaitu anak pertama laki-laki namanya Susena (panggilannya Aa Sena, belum menikah umur 41 tahun), anak kedua perempuan yaitu saya sendiri Kania Dewi (panggilannya Kania, sudah menikah umur 39 tahun), anak ketiga perempuan yaitu Siti Sutariah (panggilannya Tita, sudah menikah umur 38 tahun). Kami masih memiliki ayah yaitu Sukarna (umur 83 Tahun) dan Ibu, yaitu Euis Setiati (umur 76 tahun). Kedua orang tua kami masih sehat, pendengaran masih jelas, penglihatan masih jelas, tidak pikun dan pikiran masih kuat mengingat, masih kuat berjalan bahkan Ibu masih aktif ikut pengajian dan kadang-kadang Ayah kami berladang ke kebun. Bahkan sampai saat usianya 65 tahun, Ibu kami pun masih kuat dan aktif mengajar di dua tempat di Unpad dan Unisba sampai akhirnya beliau pensiun saat umur 65 tahun di Unpad dan akhirnya memilih berhenti mengajar di Unisba.

Pertama kali semenjak kami bertiga masih kecil nenek dan kakek kami sangat menyayangi kami bertiga sebagai cucu-cucunya. Mereka berdua selalu berlaku adil terhadap kami bertiga, termasuk kalau memberikan sesuatu atau menghadiahkan uang kepada kami bertiga. Bahkan semenjak kakek meninggal saat kami masih SMA dan uang pensiunan kakek masih terus mengalir ke nenek, nenek kami pun selalu menyayangi kami bertiga dan selalu berlaku adil terhadap kami bertiga baik dalam memberikan makanan ataupun uang kepada kami bertiga. Nenek kami mempunyai sebidang tanah yang luas di sekitar wilayah di Jalan Peta dekat Padepokan Seni, Bandung dan dijadikan kebun kangkung oleh nenek dan kakek kami. Saat kami masih SMA di tahun 2002 ada seorang pengusaha cina yang tertarik ingin membeli tanah di Jalan Peta dekat Padepokan Seni milik nenek kami setelah suaminya meninggal. Saat itu nenek kami masih belum pikun dan tetap ingin mempertahankan tanah yang dimilikinya untuk berkebun, dan tetap tidak mau menjualnya ke siapa pun. Sampai akhirnya tahun 2008 bulan juli saya menikah dan terpaksa ikut suami ke Malaysia karena suami melanjutkan studi doktornya / S3 ke malaysia. Selama 6 tahun saya bersama suami di Malaysia (2008-2014) dan selama itu pula saya tidak pernah mendengar kabar mengenai tanah milik nenek itu. Sampai akhirnya saya (Kania) mendengar kabar pernikahan adik saya Tita di bulan January 2014 di Bandung. Ketika Tita, adik saya datang ke Malaysia menjenguk saya dan suami karena saya baru bersalin di Malaysia. Saya dan suami masih belum tahu kalau ternyata adik yang menjualkan tanah milik nenek. Yang saya tahu berdasarkan informasi dari ibu bahwa nenek menjual tanahnya yang di Jalan Peta dekat Padepokan Seni. Kemudian nenek memberi saya uang sebesar 30 juta rupiah (karena anak saya harus dioperasi kasai di Hospital Kuala Lumpur dan Aa Sena (kakak saya) diberi 20 juta rupiah serta bapak saya diberi 20 juta rupiah, sedangkan ibu tidak mau diberi karena beliau berpikir sudah merasa cukup dengan uang pensiunan dosennya.

Menurut penuturan kakak kami Aa Sena, semenjak saya bersama suami ke Malaysia (Juli 2008), sekitar tahun 2008, Aa Sena ada membeli sebuah motor Honda untuk dipakai bersama,yaitu oleh Aa Sena, saya dan adik di Bandung untuk berbagai keperluan termasuk untuk mengantar ibu ke nenek . Karena saya dan suami ada di Malaysia akhirnya motor tersebut dipakai adik (setelah AA Sena mengajari Tita mengendarai motor tersebut) setiap harinya untuk mengajar di SMP dan untuk mengantar ibu ke nenek. Kami semua selalu berpikiran positif kepada adik (Tita), kalaupun dia mengurus semua keperluan nenek itu semua akan dilakukannya untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Sementara AA Sena saat itu sibuk ke Kalimantan karena mendapat pekerjaan dari konsultan untuk melakukan pekerjaan survey dan pemetaan. Saat pulang project tak jarang AA Sena suka memberikan sedikit uang ke adik sebagai bentuk perhatian ke adiknya yang saat itu belum menikah dan masih mengajar honorer di SMP.

Akan tetapi yang terjadi diluar dugaan. Tanpa sepengetahuan kami (Sena, Ibu dan Saya/Kania), Tita adik kami telah melakukan penjualan tanah milik Emak, nenek kami (Sebelum pernikahan Tita/adik kami yaitu sebelum January 2014) tanpa sepengetahuan saya dan kakak saya dan Tita mengatakan bahwa nenek sudah menghibahkan seluruh uang penjualan tanah nenek yang di Jalan Peta dekat Padepokan Seni.Tita bilang ke ibu bahwa Tita pernah nanya ke Nenek. “ Nek, uang penjualan tanah nenek itu mau digimanakan? Tita juga mau menikah Nek. Lalu kata nenek, ” Gimana Neng Tita saja.” Karena jawaban nenek ” Gimana Neng Tita saja.” Tita merasa nenek telah menghibahkan, tanpa bukti surat hibah yang sah. Ibu mengatakan Adik hanya menyerahkan secarik kertas untuk ditandatangani ibu dan nenek pada saat menyerahkan surat penjualan tanah yang menyatakan ibu dan nenek setuju ( tidak didepan notaris ), setelah itu selanjutnya proses dijualnya seperti apa ibu tidak tahu. Tita juga tidak memberitahukan ke kakak-kakaknya seolah-olah kakak-kakaknya dianggap orang lain. Bahkan ibu tak pernah menerima sesenpun uang hasil penjualan tanah tersebut melainkan uang tersebut seluruhnya dimasukkan ke rekening Tita/adik kami. Menurutnya uang hasil penjualan tanah tersebut sekitar Rp. 1,3 Milyar. Tita/adik kami tidak menunjukkan surat bukti penjualan tanah tersebut kepada kami (Sena, Ibu dan Saya/Kania). Tita (adik kami) mengatakan bahwa uang hasil penjualan tanah nenek kami tidak dipakai untuk dia semuanya / tidak dimakan sendirian olehnya karena menurutnya, dia ada memberikan 20 juta rupiah ke Aa Sena saat sebelum pernikahan Tita padahal Aa Sena tidak tahu kalau uang penjualan tanah nenek kami semuanya dipegang oleh Tita/ adik kami dan AA Sena tidak tahu uang 20 juta rupiah yang diberikan ibu secara langsung ke Aa Sena itu ternyata dari Tita/adik, dalam pikirannya Aa Sena tahunya bahwa uang 20 juta rupiah tersebut dari nenek yang menunjukkan bahwa neneknya masih peduli dengan dia dan seluruh uang hasil penjualan tanah neneknya dipegang semuanya oleh ibu ( Saat itu uang diberikan ibu secara langsung ke AA Sena dan ibu mengatakan uang tersebut dari nenek kira-kira 2 minggu sebelum pernikahan Tita, menurut penuturan AA Sena : “ Tiba-tiba ibu ngasih uang ke saya 20 juta rupiah katanya dari nenek, saya senang karena nenek ingat cucu-cucunya. Lalu ibu bilang Kania juga dikasih, Tita juga dikasih untuk biaya pernikahan” ), Tita pun menyangkal kalau uang hasil penjualan tanah neneknya dimakan sendirian olehnya karena dia pun juga ada memberikan 30 juta rupiah ke saya/Kania saat saya di Malaysia, yaitu ketika saya baru bersalin di Malaysia. Kemudian secara bertahap ketika saya/Kania sudah pulang dari Malaysia, Tita masukan ke rekening saya untuk bantu anak saya yang sakit. Hingga menurut perincian Tita bahwa ke saya sudah memberikan sebanyak 100 juta rupiah. Alasan lainnya lagi dia juga ada membersihkan harta uang hasil penjualan tanah neneknya dengan membagi-bagikan uang tersebut ke anak yatim / panti asuhan.
AA Sena baru mengetahui semua kejadian di atas tersebut pada awal Januari 2015, saat itu Aa sena punya pikiran mengusulkan agar ibu membeli mobil untuk keluarga, karena Aa Sena tahunya bahwa uang nenek disimpan ibu. Ketika ditanyakan ke ibu, ibu menjawab bahwa beliau tidak menyimpan uangnya, ternyata semua uangnya disimpan di rekening Tita. Betapa kagetnya kakak saya apalagi setelah mendengar bahwa Tita menganggap uang hasil penjualan tanah nenek telah dihibahkan semuanya ke Tita hanya karena jawaban nenek : ”Gimana eneng saja” ketika Tita menanyakan “ Nek, uang penjualan tanah nenek itu mau digimanakan?” Saya pun (Kania) tahu kejadian ini setelah mau balik ke Indonesia (Juni 2014) padahal kejadian penjualan tanah milik nenek kami tersebut sebelum Tita/adik kami menikah (sebelum Januari 2014). Alasan Tita/adik kami tidak memberi tahu saya/Kania kakaknya karena saat itu saya/Kania jauh berada di Malaysia jadinya ribet kalo menghubungi lewat telepon. Akan tetapi, anehnya lagi kenapa pada Aa Sena/ kakaknya yang paling tua dan ada di Indonesia juga tak diberitahu. Alasan Tita dia tak memberi tahu Aa Sena karena Aa Sena sering mengungkit-ungkit atau membahas masa lalu karena kecewa dengan sikap bapak kami yang tidak mendukung keinginan anak yang positif dan protes sama orang tua karena masa lalu,yaitu masalah ingin bisa main gitar dan ingin punya motor biarpun itu motor bekas. Alasan yang dibuat-buat dan setahu saya tak pernah ada orang yang menguruskan tanah/suatu hal dan kemudian mengambil seluruh hasil penjualannya dengan alasan karena dia yang menguruskan semuanya sebab dia pernah berkata karena dia yang menguruskan semuanya dia berhak mendapatkan semuanya ditambah lagi nenek kami sudah memberikan hibah semuanya kepadanya.

Kami (Saya/Kania dan suami) pernah berdiskusi masalah/hal ini kepada ustadz di Masjid Salman ITB. Beliau mengatakan bahwa dalam Islam, orangtua atau siapa pun juga tidak boleh menghibahkan seluruh hartanya karena ada ahli waris. Kalau pun diberikan semuanya, yang mendapat hibah itu hanya berhak paling banyak 1/3 dari harta keseluruhannya. Itupun baru berhak mendapatkan 1/3 kalau ada surat bukti wasiat/hibah resmi yang ditulis oleh pewasiatnya dan ada saksinya tapi kenyataannya Nenek kami tak pernah ada surat wasiat resmi dan juga tak ada saksinya saat bicara ke Tita/adik kami apalagi saksi saat membuat/mengumumkan surat wasiat karena tak ada surat wasiat. Bahkan nilai 1/3 itu pun tetap berlaku meskipun dalam surat wasiat dituliskan seluruh harta tersebut dihibahkan untuk dia seorang. Dan menurut beliau dalam kasus ini Tita/adik kami sudah melakukan pelanggaran dalam Islam yaitu mencuri dan berkhianat karena tak pernah berdiskusi/musyawarah dengan anggota keluarga lainnya.

Kami tidak mau melanjutkan masalah ini ke ranah hukum, tetapi cukup kami serahkan pada keadilan Allah swt. saja. Kami berharap Tita/adik kami bisa sadar dari kesalahannya dan bertaubat, tetapi kami tidak bisa dipaksa untuk mengikhlaskan perbuatannya tersebut karena kalau kami ikhlaskan perbuatannya tersebut sama saja kami membenarkan perbuatan jahatnya di sisi Allah swt. (yaitu mencuri dan berkhianat) dan kami akan dianggap salah di sisi Allah karena membenarkan suatu kejahatan dan itu sama saja menjerumuskan adik sendiri ke jurang neraka. Na’udzubillahi mindzalik.

Ibu saya seolah-olah bersikap membela Tita/adik kami, Ibu saya pernah berkata: “ Daripada ribut-ribut anggap saja uangnya ibu serahkan semuanya ke Tita/adik kami”. Pertanyaannya apakah sikap seperti ini dibenarkan dalam Islam? Apakah sikap seperti ini bisa memberikan penyelesaian masalah? Bagaimana dengan anak ibu yang lainnya (karena anak ibu bukan cuma Tita/adik kami seorang, tetapi juga ada Aa Sena dan juga saya/Kania) ? Bagaimana dengan cucu nenek kami yang lainnya (AA Sena dan juga saya/Kania)? Bagaimana dengan cara/prinsip keadilan Islam? Apakah sikap ibu ini bisa menyelamatkan atau malah menjerumuskan Tita/adik kami ke neraka? Akhirnya saya katakan pada ibu: “Kalau saya/Kania jadi Ibu pasti Kania akan berlaku adil terhadap anak-anak yang lain dan tidak menyerahkan harta tersebut kepada satu anak saja. Saya /Kania sama seperti Aa Sena tidak akan bertindak seperti Tita karena kami (Kania dan Aa Sena) lebih suka mengutamakan kebersamaan dan memusyawarahkannya dengan semua anggota keluarga secara terbuka karena melihat kondisi nenek yang sudah sepuh dan sudah mulai pikun.” Ibu seolah-olah berusaha menyelamatkan anaknya dari neraka sementara di sisi yang lain malah membuatnya berlaku tidak adil terhadap anaknya yang lain. Benar-benar bagaikan buah simalakama.

Ibu kami ingin semuanya rukun-rukun saja seperti dulu. Ibu saya tidak ingin kami bertengkar dan ribut-ribut mempermasalahkan tanak milik nenek. Kata Ibu: “Bahkan kalau mau, ibu bersedia menggantikan tanak milik nenek yang diambil Tita dengan tanah milik ibu di tempat yang lain”.
Pertanyaannya: Memangnya apa bisa begitu sementara orang tua masih hidup? Apa itu sama saja dengan menyumpahi/mengharapkan orang tua cepat-cepat meninggal? Saya/Kania dan Aa Sena tidak mau berbuat seperti itu karena selama orang tua masih hidup kan belum ada harta warisan? Apa itu bisa dibenarkan dalam Islam? Akhirnya terpaksa saya katakan pada ibu: “ Di dalam harta warisan itu (tanah milik ibu itu) ada hak Tita/adik kami, saya tidak akan mau memakan hak Tita/adik kami, itu sama saja memasukkan api neraka kedalam perut saya/Kania”, tegas saya. Dalam hati saya katakan: “Saya akan tetap berprinsip seperti itu meskipun Tita/adik kami telah berbuat tidak adil terhadap kami kakak-kakaknya (Sena dan saya/Kania) bahkan saya/Kania merasa dianggap orang lain oleh adik saya sendiri”.

Saya/Kania pun pernah berkata pada Tita/adik kami: “Kalau saya jadi Tita, saya gak akan melakukan seperti yang Tita lakukan, tetapi mendiskusikan dan musyawarahkan ke kakak-kakaknya (Aa Sena dan Kania) dan Ibu.

Saya ingin bertanya pada Ustadz bagaimana menyikapi masalah seperti ini? Apakah ada dalil Al Quran/ Hadits yang berkaitan dengan masalah hibah seperti ini? Apakah dalam surat hibah itu harus ada ijab qabul dan mencantumkan para saksi? Berapa orang saksinya kalau perempuan yang mendapat hibah dan berapa orang saksinya kalau laki-laki yang mendapat hibahnya? Dan para saksi diambil dari siapa/dari mana? Tolong masukannya dan pencerahannya ustadz untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi bagi saya pribadi saya hanya menyerahkan masalah ini pada keadilan Allah saja dan tidak membenarkan perbuatan yang dilakukan adik saya. Terima kasih ustadz atas perhatiannya dan pencerahannya.




Hormat Saya,


Kania Dewi, S.S.
 
Bandung, 3 Januari 2016
Pertanyaan Mengenai Masalah Hibah:
Assalamualaikum Ustadz saya (Kania Dewi temannya Teh Yeti) ingin bertanya mengenai masalah aturan hibah dalam Islam beserta hadis-hadis dan dalil Al Quran yang memperkuat aturan hibah dalam Islam. Sebelumnya saya ingin menjelaskan mengenai hubungan keluarga dan kronologis kejadian yang sebenarnya.

Kami memiliki seorang kakek dan nenek dari ibu yang hanya memiliki seorang anak kandung yaitu Ibu kami. Kakek sudah meninggal dunia dan Nenek (umurnya sekitar 95 tahun) masih hidup,tetapi sudah mulai pikun. Disebut pikun karena dia susah nyambungnya kalau diajak bicara. Kadang-kadang nyambung, tetapi tiba-tiba pindah lagi ke topik saat dia hidup di zaman jepang. Malah pernah dia pipis, tetapi disangkanya air hujan dari rumah yang bocor. Ibu kami hanya memiliki tiga orang anak kandung, yaitu anak pertama laki-laki namanya Susena (panggilannya Aa Sena, belum menikah umur 41 tahun), anak kedua perempuan yaitu saya sendiri Kania Dewi (panggilannya Kania, sudah menikah umur 39 tahun), anak ketiga perempuan yaitu Siti Sutariah (panggilannya Tita, sudah menikah umur 38 tahun). Kami masih memiliki ayah yaitu Sukarna (umur 83 Tahun) dan Ibu, yaitu Euis Setiati (umur 76 tahun). Kedua orang tua kami masih sehat, pendengaran masih jelas, penglihatan masih jelas, tidak pikun dan pikiran masih kuat mengingat, masih kuat berjalan bahkan Ibu masih aktif ikut pengajian dan kadang-kadang Ayah kami berladang ke kebun. Bahkan sampai saat usianya 65 tahun, Ibu kami pun masih kuat dan aktif mengajar di dua tempat di Unpad dan Unisba sampai akhirnya beliau pensiun saat umur 65 tahun di Unpad dan akhirnya memilih berhenti mengajar di Unisba.

Pertama kali semenjak kami bertiga masih kecil nenek dan kakek kami sangat menyayangi kami bertiga sebagai cucu-cucunya. Mereka berdua selalu berlaku adil terhadap kami bertiga, termasuk kalau memberikan sesuatu atau menghadiahkan uang kepada kami bertiga. Bahkan semenjak kakek meninggal saat kami masih SMA dan uang pensiunan kakek masih terus mengalir ke nenek, nenek kami pun selalu menyayangi kami bertiga dan selalu berlaku adil terhadap kami bertiga baik dalam memberikan makanan ataupun uang kepada kami bertiga. Nenek kami mempunyai sebidang tanah yang luas di sekitar wilayah di Jalan Peta dekat Padepokan Seni, Bandung dan dijadikan kebun kangkung oleh nenek dan kakek kami. Saat kami masih SMA di tahun 2002 ada seorang pengusaha cina yang tertarik ingin membeli tanah di Jalan Peta dekat Padepokan Seni milik nenek kami setelah suaminya meninggal. Saat itu nenek kami masih belum pikun dan tetap ingin mempertahankan tanah yang dimilikinya untuk berkebun, dan tetap tidak mau menjualnya ke siapa pun. Sampai akhirnya tahun 2008 bulan juli saya menikah dan terpaksa ikut suami ke Malaysia karena suami melanjutkan studi doktornya / S3 ke malaysia. Selama 6 tahun saya bersama suami di Malaysia (2008-2014) dan selama itu pula saya tidak pernah mendengar kabar mengenai tanah milik nenek itu. Sampai akhirnya saya (Kania) mendengar kabar pernikahan adik saya Tita di bulan January 2014 di Bandung. Ketika Tita, adik saya datang ke Malaysia menjenguk saya dan suami karena saya baru bersalin di Malaysia. Saya dan suami masih belum tahu kalau ternyata adik yang menjualkan tanah milik nenek. Yang saya tahu berdasarkan informasi dari ibu bahwa nenek menjual tanahnya yang di Jalan Peta dekat Padepokan Seni. Kemudian nenek memberi saya uang sebesar 30 juta rupiah (karena anak saya harus dioperasi kasai di Hospital Kuala Lumpur dan Aa Sena (kakak saya) diberi 20 juta rupiah serta bapak saya diberi 20 juta rupiah, sedangkan ibu tidak mau diberi karena beliau berpikir sudah merasa cukup dengan uang pensiunan dosennya.

Menurut penuturan kakak kami Aa Sena, semenjak saya bersama suami ke Malaysia (Juli 2008), sekitar tahun 2008, Aa Sena ada membeli sebuah motor Honda untuk dipakai bersama,yaitu oleh Aa Sena, saya dan adik di Bandung untuk berbagai keperluan termasuk untuk mengantar ibu ke nenek . Karena saya dan suami ada di Malaysia akhirnya motor tersebut dipakai adik (setelah AA Sena mengajari Tita mengendarai motor tersebut) setiap harinya untuk mengajar di SMP dan untuk mengantar ibu ke nenek. Kami semua selalu berpikiran positif kepada adik (Tita), kalaupun dia mengurus semua keperluan nenek itu semua akan dilakukannya untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Sementara AA Sena saat itu sibuk ke Kalimantan karena mendapat pekerjaan dari konsultan untuk melakukan pekerjaan survey dan pemetaan. Saat pulang project tak jarang AA Sena suka memberikan sedikit uang ke adik sebagai bentuk perhatian ke adiknya yang saat itu belum menikah dan masih mengajar honorer di SMP.

Akan tetapi yang terjadi diluar dugaan. Tanpa sepengetahuan kami (Sena, Ibu dan Saya/Kania), Tita adik kami telah melakukan penjualan tanah milik Emak, nenek kami (Sebelum pernikahan Tita/adik kami yaitu sebelum January 2014) tanpa sepengetahuan saya dan kakak saya dan Tita mengatakan bahwa nenek sudah menghibahkan seluruh uang penjualan tanah nenek yang di Jalan Peta dekat Padepokan Seni.Tita bilang ke ibu bahwa Tita pernah nanya ke Nenek. “ Nek, uang penjualan tanah nenek itu mau digimanakan? Tita juga mau menikah Nek. Lalu kata nenek, ” Gimana Neng Tita saja.” Karena jawaban nenek ” Gimana Neng Tita saja.” Tita merasa nenek telah menghibahkan, tanpa bukti surat hibah yang sah. Ibu mengatakan Adik hanya menyerahkan secarik kertas untuk ditandatangani ibu dan nenek pada saat menyerahkan surat penjualan tanah yang menyatakan ibu dan nenek setuju ( tidak didepan notaris ), setelah itu selanjutnya proses dijualnya seperti apa ibu tidak tahu. Tita juga tidak memberitahukan ke kakak-kakaknya seolah-olah kakak-kakaknya dianggap orang lain. Bahkan ibu tak pernah menerima sesenpun uang hasil penjualan tanah tersebut melainkan uang tersebut seluruhnya dimasukkan ke rekening Tita/adik kami. Menurutnya uang hasil penjualan tanah tersebut sekitar Rp. 1,3 Milyar. Tita/adik kami tidak menunjukkan surat bukti penjualan tanah tersebut kepada kami (Sena, Ibu dan Saya/Kania). Tita (adik kami) mengatakan bahwa uang hasil penjualan tanah nenek kami tidak dipakai untuk dia semuanya / tidak dimakan sendirian olehnya karena menurutnya, dia ada memberikan 20 juta rupiah ke Aa Sena saat sebelum pernikahan Tita padahal Aa Sena tidak tahu kalau uang penjualan tanah nenek kami semuanya dipegang oleh Tita/ adik kami dan AA Sena tidak tahu uang 20 juta rupiah yang diberikan ibu secara langsung ke Aa Sena itu ternyata dari Tita/adik, dalam pikirannya Aa Sena tahunya bahwa uang 20 juta rupiah tersebut dari nenek yang menunjukkan bahwa neneknya masih peduli dengan dia dan seluruh uang hasil penjualan tanah neneknya dipegang semuanya oleh ibu ( Saat itu uang diberikan ibu secara langsung ke AA Sena dan ibu mengatakan uang tersebut dari nenek kira-kira 2 minggu sebelum pernikahan Tita, menurut penuturan AA Sena : “ Tiba-tiba ibu ngasih uang ke saya 20 juta rupiah katanya dari nenek, saya senang karena nenek ingat cucu-cucunya. Lalu ibu bilang Kania juga dikasih, Tita juga dikasih untuk biaya pernikahan” ), Tita pun menyangkal kalau uang hasil penjualan tanah neneknya dimakan sendirian olehnya karena dia pun juga ada memberikan 30 juta rupiah ke saya/Kania saat saya di Malaysia, yaitu ketika saya baru bersalin di Malaysia. Kemudian secara bertahap ketika saya/Kania sudah pulang dari Malaysia, Tita masukan ke rekening saya untuk bantu anak saya yang sakit. Hingga menurut perincian Tita bahwa ke saya sudah memberikan sebanyak 100 juta rupiah. Alasan lainnya lagi dia juga ada membersihkan harta uang hasil penjualan tanah neneknya dengan membagi-bagikan uang tersebut ke anak yatim / panti asuhan.
AA Sena baru mengetahui semua kejadian di atas tersebut pada awal Januari 2015, saat itu Aa sena punya pikiran mengusulkan agar ibu membeli mobil untuk keluarga, karena Aa Sena tahunya bahwa uang nenek disimpan ibu. Ketika ditanyakan ke ibu, ibu menjawab bahwa beliau tidak menyimpan uangnya, ternyata semua uangnya disimpan di rekening Tita. Betapa kagetnya kakak saya apalagi setelah mendengar bahwa Tita menganggap uang hasil penjualan tanah nenek telah dihibahkan semuanya ke Tita hanya karena jawaban nenek : ”Gimana eneng saja” ketika Tita menanyakan “ Nek, uang penjualan tanah nenek itu mau digimanakan?” Saya pun (Kania) tahu kejadian ini setelah mau balik ke Indonesia (Juni 2014) padahal kejadian penjualan tanah milik nenek kami tersebut sebelum Tita/adik kami menikah (sebelum Januari 2014). Alasan Tita/adik kami tidak memberi tahu saya/Kania kakaknya karena saat itu saya/Kania jauh berada di Malaysia jadinya ribet kalo menghubungi lewat telepon. Akan tetapi, anehnya lagi kenapa pada Aa Sena/ kakaknya yang paling tua dan ada di Indonesia juga tak diberitahu. Alasan Tita dia tak memberi tahu Aa Sena karena Aa Sena sering mengungkit-ungkit atau membahas masa lalu karena kecewa dengan sikap bapak kami yang tidak mendukung keinginan anak yang positif dan protes sama orang tua karena masa lalu,yaitu masalah ingin bisa main gitar dan ingin punya motor biarpun itu motor bekas. Alasan yang dibuat-buat dan setahu saya tak pernah ada orang yang menguruskan tanah/suatu hal dan kemudian mengambil seluruh hasil penjualannya dengan alasan karena dia yang menguruskan semuanya sebab dia pernah berkata karena dia yang menguruskan semuanya dia berhak mendapatkan semuanya ditambah lagi nenek kami sudah memberikan hibah semuanya kepadanya.

Kami (Saya/Kania dan suami) pernah berdiskusi masalah/hal ini kepada ustadz di Masjid Salman ITB. Beliau mengatakan bahwa dalam Islam, orangtua atau siapa pun juga tidak boleh menghibahkan seluruh hartanya karena ada ahli waris. Kalau pun diberikan semuanya, yang mendapat hibah itu hanya berhak paling banyak 1/3 dari harta keseluruhannya. Itupun baru berhak mendapatkan 1/3 kalau ada surat bukti wasiat/hibah resmi yang ditulis oleh pewasiatnya dan ada saksinya tapi kenyataannya Nenek kami tak pernah ada surat wasiat resmi dan juga tak ada saksinya saat bicara ke Tita/adik kami apalagi saksi saat membuat/mengumumkan surat wasiat karena tak ada surat wasiat. Bahkan nilai 1/3 itu pun tetap berlaku meskipun dalam surat wasiat dituliskan seluruh harta tersebut dihibahkan untuk dia seorang. Dan menurut beliau dalam kasus ini Tita/adik kami sudah melakukan pelanggaran dalam Islam yaitu mencuri dan berkhianat karena tak pernah berdiskusi/musyawarah dengan anggota keluarga lainnya.

Kami tidak mau melanjutkan masalah ini ke ranah hukum, tetapi cukup kami serahkan pada keadilan Allah swt. saja. Kami berharap Tita/adik kami bisa sadar dari kesalahannya dan bertaubat, tetapi kami tidak bisa dipaksa untuk mengikhlaskan perbuatannya tersebut karena kalau kami ikhlaskan perbuatannya tersebut sama saja kami membenarkan perbuatan jahatnya di sisi Allah swt. (yaitu mencuri dan berkhianat) dan kami akan dianggap salah di sisi Allah karena membenarkan suatu kejahatan dan itu sama saja menjerumuskan adik sendiri ke jurang neraka. Na’udzubillahi mindzalik.

Ibu saya seolah-olah bersikap membela Tita/adik kami, Ibu saya pernah berkata: “ Daripada ribut-ribut anggap saja uangnya ibu serahkan semuanya ke Tita/adik kami”. Pertanyaannya apakah sikap seperti ini dibenarkan dalam Islam? Apakah sikap seperti ini bisa memberikan penyelesaian masalah? Bagaimana dengan anak ibu yang lainnya (karena anak ibu bukan cuma Tita/adik kami seorang, tetapi juga ada Aa Sena dan juga saya/Kania) ? Bagaimana dengan cucu nenek kami yang lainnya (AA Sena dan juga saya/Kania)? Bagaimana dengan cara/prinsip keadilan Islam? Apakah sikap ibu ini bisa menyelamatkan atau malah menjerumuskan Tita/adik kami ke neraka? Akhirnya saya katakan pada ibu: “Kalau saya/Kania jadi Ibu pasti Kania akan berlaku adil terhadap anak-anak yang lain dan tidak menyerahkan harta tersebut kepada satu anak saja. Saya /Kania sama seperti Aa Sena tidak akan bertindak seperti Tita karena kami (Kania dan Aa Sena) lebih suka mengutamakan kebersamaan dan memusyawarahkannya dengan semua anggota keluarga secara terbuka karena melihat kondisi nenek yang sudah sepuh dan sudah mulai pikun.” Ibu seolah-olah berusaha menyelamatkan anaknya dari neraka sementara di sisi yang lain malah membuatnya berlaku tidak adil terhadap anaknya yang lain. Benar-benar bagaikan buah simalakama.

Ibu kami ingin semuanya rukun-rukun saja seperti dulu. Ibu saya tidak ingin kami bertengkar dan ribut-ribut mempermasalahkan tanak milik nenek. Kata Ibu: “Bahkan kalau mau, ibu bersedia menggantikan tanak milik nenek yang diambil Tita dengan tanah milik ibu di tempat yang lain”.
Pertanyaannya: Memangnya apa bisa begitu sementara orang tua masih hidup? Apa itu sama saja dengan menyumpahi/mengharapkan orang tua cepat-cepat meninggal? Saya/Kania dan Aa Sena tidak mau berbuat seperti itu karena selama orang tua masih hidup kan belum ada harta warisan? Apa itu bisa dibenarkan dalam Islam? Akhirnya terpaksa saya katakan pada ibu: “ Di dalam harta warisan itu (tanah milik ibu itu) ada hak Tita/adik kami, saya tidak akan mau memakan hak Tita/adik kami, itu sama saja memasukkan api neraka kedalam perut saya/Kania”, tegas saya. Dalam hati saya katakan: “Saya akan tetap berprinsip seperti itu meskipun Tita/adik kami telah berbuat tidak adil terhadap kami kakak-kakaknya (Sena dan saya/Kania) bahkan saya/Kania merasa dianggap orang lain oleh adik saya sendiri”.

Saya/Kania pun pernah berkata pada Tita/adik kami: “Kalau saya jadi Tita, saya gak akan melakukan seperti yang Tita lakukan, tetapi mendiskusikan dan musyawarahkan ke kakak-kakaknya (Aa Sena dan Kania) dan Ibu.

Saya ingin bertanya pada Ustadz bagaimana menyikapi masalah seperti ini? Apakah ada dalil Al Quran/ Hadits yang berkaitan dengan masalah hibah seperti ini? Apakah dalam surat hibah itu harus ada ijab qabul dan mencantumkan para saksi? Berapa orang saksinya kalau perempuan yang mendapat hibah dan berapa orang saksinya kalau laki-laki yang mendapat hibahnya? Dan para saksi diambil dari siapa/dari mana? Tolong masukannya dan pencerahannya ustadz untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi bagi saya pribadi saya hanya menyerahkan masalah ini pada keadilan Allah saja dan tidak membenarkan perbuatan yang dilakukan adik saya. Terima kasih ustadz atas perhatiannya dan pencerahannya.




Hormat Saya,


Kania Dewi, S.S.

Hibah harus memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“BW”), bahwa hibah merupakan pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang-barang bergerak (dengan akta Notaris) maupun barang tidak bergerak (dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah – “PPAT”) pada saat pemberi hibah masih hidup.


Hibah merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jadi, pemberi hibah bertindak secara aktif menyerahkan kepemilikan hartanya kepada penerima hibah.


Namun kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain. Di dalam harta pemberi hibah, terdapat hak bagian mutlak (legitieme portie) anak sebagai ahli warisnya dan hak ini dilindungi undang-undang. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang lain juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar hak anak, maka anak dapat menggugat pemberian hibah. Namun jika anak tidak mempermasalahkan, maka hibah tetap bisa dilaksanakan.


Untuk mencegah terjadinya tuntutan di kemudian hari, dalam praktik selalu disyaratkan adalah Surat Persetujuan dari anak(-anak) kandung Pemberi Hibah. Dengan demikian, pemberian hibah harus memperhatikan persetujuan dari para ahli waris dan jangan melanggar hak mutlak mereka. Hak mutlak adalah bagian warisan yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk masing-masing ahli waris (lihat Pasal 913 BW).


apa yang dialami keluarga Kania Dewi, S.S. merupakan tindakan tidak sah karena tidak memenuhi kaidah hukum
 
Back
Top