THOMAS BROKANSA

anakwadon

New member
Nama gue Thomas Brokansa, sekilas mirip nama bule, tapi jangan salah, gue seratus persen produk dalam negeri, bokap asli Tegal, Jawa Tengah dan nyokap asli Bogor, Jawa Barat. Nama Thomas dengan huruf “H” setelah “T” gue dapet pas masuk sekolah dasar, nama yang dikasih kedua orang tua gue sebenernya cuma Tomas yang kata nyokap merupakan akronim dari Sunarto (Bokap yang gue panggil Abi) dan Masitoh (Nyokap yang gue panggil Umi). Karena panggilan Umi itulah, gue jadi bayi yang beda dengan bayi-bayi lain yang lahir di tahun yang sama, disaat bayi-bayi lain minum ASI (Air Susu Ibu) atau ASMA (Air Susu Mama), gue sendiri yang minum ASU (Air Susu Umi).

Gue lahir tepat tiga hari menjelang Idul Adha di tahun 1993, menurut Umi, saat itu Abi tengah bisnis jual beli hewan kurban, dalam usia kandungannya yang sudah sembilan bulan, Umi masih rajin bantu-bantu Abi ngasih makan sapi di kandang, saat itulah Umi mules-mules. Abi yang panik langsung mengambil langkah cerdas dengan mencari bantuan ke rumah tetangga yang punya mobil untuk bawa Umi ke rumah sakit atau bidan, sedangkan Umi hanya berdua sama nenek gue yang kebetulan lagi nganter makan siang buat anak sama menantunya. Waktu Abi lagi cari bantuan itulah, nenek gue yang jadi saksi sekaligus menolong kelahiran gue, cucu pertamanya yang lahir tepat di atas tumpukan jerami, makanan sapi. Jadi, Abi ga sempet nyaksiin bagaimana penderitaan Umi waktu ngelahirin gue.

Nama Brokansa sebenarnya merupakan nama yang ga sengaja di kasih almarhum kakek gue, awalnya beliau ga setuju kalau cucu pertamanya dikasih nama Tomas, kebarat-baratan menurutnya, tapi Abi keukeuh dengan pendiriannya, karena kesal, dari mulut kakek gue keluar nama Brokansa yang artinya “Brojol (lahir) di kandang sapi”. Bukannya marah, Abi malah setuju dengan nama yang keluar dari bibir kakek gue secara ga sengaja itu, keren katanya. Selain keren, menurut Abi, nama itu bakal selalu ngingetin gue dari mana gue berasal, jadi gue akan tabah kalau nantinya hidup gue susah, dan ga bakal sombong kalau gue dianugerahi kekayaan.

Sejak usia 28 tahun, Abi sudah mengabdikan dirinya pada negara dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil di sebuah lembaga di bawah Departemen Kehakiman. Waktu itu, kata Umi umur gue masih dua tahun, dan pada usia empat tahun gue mulai diasuh Bi Mimin yang juga membatu Umi untuk mengurus rumah yang Abi cicil sejak dirinya diangkat menjadi PNS, sejak itu Bi Mimin menjadi bagian dari keluarga gue.

Walaupun dalam keseharian abi termasuk orang yang tegas, dimata gue, beliau termasuk orang yang asik diajak ngomong, gue lebih bisa terbuka tentang masalah apapun sama Abi, saat gue lagi galau, Abi selalu bisa jadi pendengar yang baik, saat itulah sosok Abi berubah dari Ayah menjadi sohib, sosok sohib yang asik itu bisa tiba-tiba berubah menjadi monster kalau dalam pandangan Abi gue melakukan kesalahan, apalagi kesalahan yang dinilainya fatal, pernah suatu waktu, saat Abi melakukan sidak ke kamar gue, saat itu gue lagi asik nonton (maaf) video p#rn# yang baru aja gue down load, sontak muka Abi yang kehitam-hitaman itu berubah menjadi ungu, dalam imajinasi gue, wajah Abi yang biasanya sejuk berubah menjadi menyeramkan, dari kepalanya yang hampir botak separo itu keluar dua buah tanduk, matanya merah, dari sela bibirnya keluar gigi yang memanjang seperti taring, persis tokoh imajinatif yang sering diceritain Bi Mimin waktu gue kecil dulu, kata Bi Mimin, makhluk itu suka makan anak yang ga mau mandi. Memang dari kecil gue paling takut sama mandi.

Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Abi, sorot matanya tajam menyiratkan rasa kecewa, gue, anak tunggalnya itu kini udah mulai terbawa arus pergaulan yang negatif. Dalam kepanikan, jempol kaki gue refleks menekan tombol on/off di CPU, layar monitor langsung gelap, sepi. Abi keluar dari kamar gue, dengan perasaan takut, gue ikutin Abi dari belakang dengan maksud mau minta maaf.

Sampai di ruang keluarga, Abi duduk di salah satu sofa dengan muka masih ditekuk, belum sempet gue ngomong, Abi sudah berteriak, “Umi…! Mimin…!” suara Abi memenuhi semua ruangan. Tak butuh waktu lama Umi muncul dari belakang, Bi Mimin nguntit di belakang, tangannya yang mungkin basah di usap-usapkannya ke clemek yang dipakainya.

Setelah semua anggota keluarga berkumpul, termasuk Bi Mimin, pengadilan luar biasa digelar dengan gue sebagai terdakwa. Selain sebagai saksi kunci, Abi merangkap menjadi penuntut sekaligus hakim yang punya wewenang penuh untuk memutuskan perkara. Umi jadi pengacara gue, sedang Bi Mimin hanya jadi penonton yang ga punya hak suara apapun dalam persidangan. Makanya selama persidangan berlangsung, Bi Mimin cuma bungkem, hanya bola matanya yang liar, kadang melotot ke arah Abi, kadang manteng ke muka Umi, sesekali melirik ke muka gue yang cuma bisa nunduk, seolah-olah ada tiga karung beras di pundak gue.

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, dengan tanpa ketukan palu, akhirnya jatuh juga vonis, hukuman gue jadi 30 hari tanpa uang jajan, ditambah harus mengerjakan semua pekerjaan rumah kecuali masak, internet dicabut, ponsel disita. Tadinya kunci motor gue juga mau disita, tapi atas perjuangan Umi, motor masih dalam kekuasaan gue.

“Berarti selama sebulan kerjaan saya cuma masak aja dong Pak” Bi Mimin yang dari tadi bungkem mendadak nyeletuk setelah mendengar keputusan Abi, gue yang masih gondok melotot ke muka Bi Mimin.

“Ya, mulai besok, semua tugas Bi Mimin, termasuk ngasih makan si Beni (kucing anggora piaraan Abi) kecuali masak jadi tugas Tomas, kalau ketahuan Bi Mimin bantuin kerjaan Tomas, Bi Mimin yang nanti saya kasih hukuman.” Tegas Abi. Bi Mimin hanya senyum-senyum seneng, gue? Gondok abis.

“Terima saja semuanya dengan lapang dada Tom, itu semua karena kesalahan kamu yang ga bisa jaga amanat dari Abi,” kata Umi setelah Abi meninggalkan ruang sidang yang kini sudah beralih fungsi kembali jadi ruang keluarga, Bi Mimin balik ke belakang setelah pamitan sama Umi. “ Abi ngasih semua fasilitas itu buat menunjang kuliah kamu, bukan untuk disalahgunakan. Omongan Abi kamu tadi betul, tindakan kamu itu sudah bisa dibilang korupsi, karena menyalahgunakan fasilitas.” Kata Umi lagi, bijak.

Ingatan gue terbang ke masa-masa SMU dulu, waktu itu gue orang yang paling depan menolak peraturan yang dikeluarkan kepala sekolah tentang larangan siswa jajan di luar lingkungan sekolah hanya lantaran istri kepala sekolah buka kantin di lingkungan sekolah. Waktu itu gue menjadi orator yang menyuarakan aspirasi para siswa untuk menolak peraturan yang terkesan subjektif tersebut.

“Itu sama saja dengan menyalahgunakan kewenangan…!” teriak gue lantang dengan tangan kiri dikepalkan dan meninju-ninju ke udara, disusul suara riuh tepuk tangan dan yel-yel dari para peserta aksi. “Biarkan masyarakat sekitar mengambil sedikit keuntungan dengan adanya sekolah ini…! Dan perlu Bapak ketahui, kami bukan binatang piaraan yang harus terkunci dalam kandang, kembalikan kebebasan kami…!” kurang lebih seperti itu orasi gue di depan hampir seluruh siswa yang ikut dalam aksi, satpam sekolah, juga jajaran guru yang waktu itu berbaris rapi di halaman kantor kepala sekolah, hanya kepala sekolah yang ga kelihatan batang hidungnya, entah takut, mungkin juga malu karena kebetulan saat itu juga ada beberapa warga yang menyaksikan keriuhan tersebut.

Bagai seorang pahlawan perang, nama “Thomas Brokansa” (atau temen-temen gue biasa panggil "MAS BRO") jadi buah bibir, foto-foto gue pas aksi terpampang gagah di mading sekolah, jadi head line di bulletin sekolah yang waktu itu dikelola si Hardiman, kawan sekelas gue waktu SMP. Mungkin karena itu pulalah, perolehan suara gue waktu pemilihan ketua OSIS melejit jauh meninggalkan dua orang rival gue yang lain, Albert Situmorang, anak Medan dan TB. Agus Samsudin yang masih keturunan Sultan Banten.

“Dari pada ngelamun, mendingan mandi, udah waktunya shalat ashar,” suara Umi sukses menarik gue kembali ke ruang keluarga, kenangan masa jaya itu buyar lagi. “Ga usah terlalu jadi beban, nanti Umi coba lobi Abi lagi.” Kata Umi setengah berbisik, terus pergi ke belakang.

Pantat gue masih menempel di tempat duduk, berat badan gue serasa bertambah puluhan kwintal. Gue kenal banget karakter Abi, keras, tegas dan ga pernah mau mencabut apa yang udah jadi keputusannya. Masalah nama Tomas aja ga mau ngalah sama kakek gue yang jelas-jelas Bapak mertuanya, apa lagi gue yang sekarang statusnya cuma rakyat kecil dalam pemerintahan mikronya, “benar-benar otoriter” umpat gue dalam hati.

Memang gue akuin, secara keseluruhan Abi termasuk orang yang demokratis, gue dikasih kebebasan buat pengembangan diri gue, Abi ga pernah memaksa gue harus jadi apa nantinya, gue ga pernah dilarang bergaul dengan siapapun. Namun dalam hal-hal yang menurut pandangan Abi salah, Abi ga pernah bisa kompromi.

* * *

“Lo harus belajar dari gitar mas bro.” Komen Haris, sobat gue setelah jadi ember curhatan gue. “Senar-senarnya harus ditegangkan untuk menghasilkan nada-nada indah” sambungnya sambil asi muter-muter tuning peg gitar akustiknya, tapi tetep harus beraturan.” Katanya lagi, jari-jarinya yang udah kapalan itu kini lincah menari-nari diatas frets mengalunkan melodi yang gue ga paham lagu siapa, jujur, gue “buta huruf” dalam soal musik. Takut keliatan bego, gue cuma manggut-maggut. Gitar diletakkannya di lantai, mungkin si Haris narsis dan sedikit bau amis karena seumur hidupnya mengharamkan deodorant itu udah kehilangan selera bernyanyi, atau mungkin juga ga tega kalau harus nyanyi-nyanyi, sementara gue lagi dalam masalah besar menurut ukuran gue.

“Masih banyak orang-orang diluar sana yang masalahnya lebih menumpuk dan pastinya lebih rumit dari lo. Dan semua orang pasti punya masalah, kecuali yang udah almarhum. Sebab, si mas yang satu ini selalu datang tanpa diundang, dan kebanyakan bikin susah orang yang disinggahinya,” berhenti sebentar, nyalain rokok, lalu dihisap dalam-dalam, mulutnya monyong-monyong membentuk bulatan-bulatan asap putih yang ga lama hilang bersama angin lewat pintu kamar kost yang sengaja dibuka. “Yakin aja bro… Tuhan ga bakal ngasih masalah yang diluar bataskemampuan kita untuk menyelesaikannya.” Klise memang, tapi seenggaknya gue ga ngerasa sendirian, masih ada kawan yang care sama gue.

Bagai piringan CD yang dimasukin ke VCD Player, piringan itu terus bersuara, dan gue tau, penyakit “ngoceh” si ucok yang satu ini udah parah, kalo udah mulai ngoceh, gempa bumi atau gunung meletuspun kayaknya ga bisa bikin piringan CD yang jarang mandi itu berhenti. Topik bahasannya loncat-loncat, dari analogi metamorfosa ulat hingga jadi kupu-kupu, sampai kisah heroik Muhammad dalam usahanya menyebarkan Islam hingga agama itu kini bukan hanya dianut masyarakat di tanah Arab, namun sudah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sepanjang omongannya entah berapa kali Haris mengucapkan kata yang sama “ Iya kan mas bro?” atau “bukan begitu mas bro?” atau mungkin karena kata-kata itulah omongannya jadi lancar.

Gue jadi pendengar setia ceramahnya, hanya “Oo…”, “Iya, gue paham”, atau “maksud lo?” yang keluar dari mulut gue. Selebihnya hanya manggut-manggut atau miring kiri, miring kanan menghindari hujan ludah dari mulut Haris. Habis rokok sebatang, disambungnya lagi, begitu seterusnya, betul-betul lokomotif kereta diesel kawan gue yang satu ini. Jujur ga semua yang diomonginnya gue pahamin, begitu pula hidup, ga semua yang kita alami atau kita kerjain itu betul-betul kita mengerti maksud dan tujuannya, begitu kata Haris.

“Untuk meraih predikat nomor satu dalam lomba lari, seorang pelari hanya perlu menambah kecepatannya sepersekian detik dari para pesaingnya. Sepersekian detik itulah yang menentukan dia jadi pemenang, runner-up atau mungkin jadi pelari terakhir yang sampai di garis finish, mulailah belajar manage waktu dari sekarang bro, kalo hukuman dari bokap lo itu gue ibaratin kompetisi, gue berharap lo jadi pemenangnya.” Tutur Haris bersamaan dengan habisnya rokok terakhir yang dibenamkannya kedalam asbak dari tanah liat yang sudah penuh dengan abu rokok dan puntung rokok kretek.

Gue cuma diam mematung, ingatan gue sejak beberapa menit yang lalu terbang entah kemana meninggalkan dua tubuh (tubuh gue dan tubuh Haris) yang masih duduk berhadapan, yang satu (tubuh gue) duduk melengkung dengan tangan menopang kepala membentuk huruf ”e”, sedangkan yang lain (tubuh Haris) sibuk menyeleksi puntung yang masih layak untuk didaur ulang. Beberapa saat sepi, hanya suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang krannya udah ga bisa ditutup rapat.

“Ga usah dijadiin beban bro, santai aja, sebisa mungkin gue pasti bantu lo.” Haris yang sudah berhasil mendaur ulang puntung rokok itu kembali bersuara sambil meludah-ludah sedikit membuang serpihan tembakau yang menempel di birirnya yang kehitam-hitaman. Sukma gue udah kembali ke kamar kost Haris, jam digital berdebu yang dipajang di atas lemari pakain sudah menampilkan angka 16:12, gue pamit pulang.

***

Hari ini adalah hari ketujuh gue menjalani hukuman, selama itu juga gue kurang tidur, jarang nongkrong di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), dan menjauhi hingar-bingar dunia maya. Yang menjadi fokus gue sekarang adalah berfikir gimana caranya gue melalui masa-masa sulit selama hukuman Abi berlaku, waktu luang diluar jam kuliah gue pake buat nongkrong di pangkalan ojek, kadang jadi tutor di sebuah Bimbel atas rekomendasi Haris. Setiap jumat malam, dengan memboyong laptop beserta printer dari kamar gue, gue sibuk di pasar malam yang digelar sekali dalam seminggu ga jauh dari rumah untuk melayani konsumen yang mau cetak foto dari ponsel, camera digital atau cuman sekedar isi lagu, wall paper juga game ponsel. Abi ga keberatan, sebab kedua benda tersebut bukan termasuk yang diharamkan selama masa hukuman gue.

Gue lagi coba praktekin empat langkah yang diklaim Haris sebagai motto hidupnya. Bekerja lebih keras dengan tidak membiarkan waktu terbuang cuma-cuma untuk hal-hal yang kurang berguna. Berfikir cerdas dengan memanfaatkan apa yang gue punya baik ilmu, tenaga, relasi juga fasilitas dari Abi untuk menunjang kebutuhan gue selama masa hukuman. Berbuat ikhlas dengan ga mengeluh waktu ngerjain semua pekerjaan rumah. Bermimpi jelas, yup, mimpi gue saat ini adalah bisa melalui 30 hari ini dengan fun dan seperti kata Haris, jadi pemenang dengan tidak menunjukan sikap lemah gue didepan orang-orang rumah, terutama Abi selaku hakim yang tujuh hari lalu menjatuhkan vonis.

Betul apa yang dibilang si batak, Haris, 30 hari itu waktu yang cepat, ga terasa lingkaran yang gue buat pada kalender meja di kamar gue udah genap 30, itu berarti saat ini gue bebas dari hukuman. Di ruang keluarga yang sama seperti dulu gue dijatuhi hukuman, hari ini juga semua anggota keluarga berkumpul, pastinya termasuk Bi Mimin. Dalam kesempatan itu, selain ngasih ucapan selamat, Abi juga mengembalikan semua fasilitas yang dulu disitanya, beserta sebuah amplop yang katanya cuman gue yang boleh tau isinya, Abi memberikan kejutan yang seketika menghapus persepsi gue tentang Abi, dalam amlop itu ada beberapa lembar uang pecahan limapuluh ribu, dan sebuah tulisan dari Abi yang isinya permintaan maaf dan ternyata Abi ga bener-bener menghentikan uang jajan gue selama 30 hari, karena uang jajan itu beliau akumulasi dan diserahkannya waktu habis masa hukuman gue.

Resep 4-as (Bekerja keras, Berfikir cerdas, Berbuat ikhlas, dan Bermimpi jelas) dari Haris terbukti udah bikin gue berubah, seenggaknya itu yang bisa gue rasain sekarang, hukuman dari Abi yang semula jadi beban, sekarang gue malah asik ngejalaninnya, bahkan bisa dibilang ketagihan. Buktinya biarpun sekarang gue udah bebas dari hukuman, gue masih mau ngerjain hampir semua pekerjaan sendiri, ga terlalu ngandelin Bi Mimin, kegiatan rutin gue di pasar malam masih gue jalanin, jadi gue masih bisa nyisihin sedikit uang kalau sewaktu-waktu butuh uang mendadak. Profesi “ngojek” udah gue kurangin intensitasnya, karena kegiatan gue di kampus banyak menyita waktu.

Sekarang gue baru ngerti apa yang dibilang Haris dengan “belajar dari gitar”, ketika gue coba menegangkan diri dalam arti ga membuat diri gue manja dengan bersantai-santai, gue bisa mendengar nada-nada indah yang terpancar dari kedua orangtua gue, walaupun nada-nada indah itu tidak sampai ekspressif, tapi dari sikap yang mereka tunjukin, Abi juga Umi gue merasa lebih bangga sama diri gue yang sekarang, Tomas Brokansa (anak Sunarto dan Masitoh yang brojol di kandang sapi). TAMAT
 
wa ceritanya bagus . dari kena hukuman yg di kasih abi nya . skrng hukuman itu mala menjadi pekerjaan sendiri . bagus bagus
 
Back
Top