Perjanjian Bongaya: Mengupas Sejarah dan Latar Belakangnya

sisarimerah

New member
Dahulu, pada saat negara Indonesia masihlah dijajah oleh Belanda sepanjang lebih kurang 350 th., sangat banyak kerajaan-kerajaan di beberapa daerah yang lakukan perlawanan untuk mengusir beberapa tentara penjajah ini.

Telah tak terhitung berapakah banyak peperangan yang berkecamuk pada tentara kerajaan dengan tentara penjajah. Tetapi, tak bermakna sepanjang 3, 5 era itu keadaan di Indonesia senantiasa dalam kondisi perang. Seringkali berlangsung juga kesepakatan damai pada ke-2 pihak. Satu diantara kesepakatan perdamaian yang berlangsung di saat penjajah yaitu Kesepakatan Bongaya.

Perjanjian Bongaya (dalam sebagian teks buku histori dimaksud dengan nama Bongaja serta atau Bungaya) yaitu kesepakatan perdamaian pada dua pihak, yakni pihak dari Kerajaan Gowa – Tallo serta pihak dari penjajah Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Kesepakatan ini dimaksud dengan nama Bongaya sesuai sama nama desa tempat kesepakatan ini dikerjakan. Kesepakatan Bongaya sendiri dikerjakan pada tanggal 18 November 1667.

Akan tetapi, kesepakatan pada dua pihak yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa – Tallo serta Laksamanan Cornelis Speelman dari VOC ini begitu tak untungkan pihak Kerajaan Gowa – Tallo.

Alih-alih kesepakatan perdamaian, Kesepakatan Bongaya lebih pas dimaksud dengan kesepakatan pengesahan monopoli perdagangan VOC di lokasi Makassar. Serta kesepakatan ini dapat jadi sinyal kekalahan dan kerugian besar Kesultanan Gowa dari pihak penjajah yakni VOC.

Sesungguhnya, apa saja yang melatarbelakangi sampai dapat terjadinya histori Kesepakatan Bongaya antar dua pihak yang sama-sama bermusuhan ini?

Jadi, saat masa-masa VOC serta pihak Belanda menjajah Indonesia, banyak kerajaan ataupun kesultanan di beberapa lokasi yang lakukan perlawanan. Tak dapat disangkal, kehadiran Belanda ke Indonesia memanglah menginginkan kuasai lokasi yang begitu strategis untuk jalur perdagangan, terkecuali menginginkan kuasai rempah-rempah yang begitu banyak di Indonesia.

Satu diantara lokasi yang menginginkan dikuasai serta dikalahkan oleh Belanda yaitu Sulawesi Selatan, di mana waktu itu kerajaan yang berkuasa yaitu Kerajaan Gowa serta Tallo. Memanglah, lokasi Sulawesi Selatan jadi satu diantara jalur perdagangan yang begitu strategis waktu itu. Tidak ayal, peperangan pada ke-2 pihak ini senantiasa berlangsung kurun waktu yang lama.

Sampai selanjutnya, saat Kerajaan Gowa di pimpin oleh Sultan Hasanuddin sekitaran th. 1653 sampai 1669, perlawanan Kerajaan Gowa meraih puncak-puncaknya. Namun, perlawanan dari pihak Kerajaan Gowa hadapi tantangan penambahan. Lantaran mereka harus juga hadapi perlawanan Aru Palaka dari Kerajaan Bone.

Satu diantara yang mengakibatkan kenapa Kerajaan Gowa mesti hadapi perlawanan dari Kerajaan Bone tak lain lantaran kiat adu domba (divide et impera) dari pihak Belanda yang bikin kekuataan tentara Kerajaan Gowa melemah.

Walau sebenarnya, waktu itu Kerajaan Gowa dapat disebutkan tengah dalam periode emasnya di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Pada akhirnya, pecahlah perang di lokasi Makassar sepanjang lebih kurang Sembilan th. (1660 – 1669).

Kiat adu domba yang bikin Kerajaan Bone dibawah komando Aru Palaka turut menyerang Kerajaan Gowa, ditambah dengan adanya banyak persediaan senjata dari pihak tentara Belanda bikin kemampuan dari Kerajaan Gowa melemah.

Sampai selanjutnya, di th. 1667, dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin mesti di tandatangani Kesepakatan Bongaya yang pada praktiknya begitu merugikan pihak Kerajaan Gowa.

Berbarengan dengan kekalahan pihak Kerajaan Makassar di th. 1667, kesepakatan perdamaian yang dikerjakan di desa Bongaya/Bongaja juga dikerjakan oleh ke-2 pihak. Pihak Kerajaan Makassar diwakili oleh Sultan Hasanuddin serta pihak VOC Belanda diwakili oleh Cornelis Janszoon Speelman.

Walau diberi nama kesepakatan perdamaian, namun sebenarnya Kesepakatan Bongaya begitu merugikan pihak Kerajaan bersama orang-orang Makassar.

Kesepakatan Bongaya sendiri terbagi dalam 30 poin. Sebagian poinnya yaitu :

1. Seluruh raja dan bangsawan di Makassar diwajibkan untuk membayar ubah rugi semua utang pada pihak Belanda (VOC).
2. Seluruh orang Inggris, Portugis, ataupun orang Eropa terkecuali dari Belanda mesti pergi serta diusir dari lokasi Makassar. Beberapa orang itu juga tak bisa lagi beraktivitas perdagangan dan tinggal di Makassar.
3. Pihak Belanda (VOC) diberikan kebebasan dari masalah pembayaran pajak impor serta pajak ekspor.
4. Seluruh benteng yang ada di selama pantai Makassar (Barombong, Garassi, Mariso, Pa’nakkukang, serta Boro’boso) mesti dihancurkan. Terkecuali Sombaopu yg tidak bisa dihancurkan.
5. Koin Belanda bisa dipakai untuk perdagangan di lokasi Makassar.
6. Pihak Belanda bisa bangun benteng Rotterdam di Makassar.
7. Aru Palaka diangkat jadi Raja Bone.
 
tambahan artikel




Kulisusu dan Perjanjian Bongaya: “Kisah Kecil” di Tengah Pergolakan Politik Abad ke-17

perjanjian%2Bbongaya.jpg

Ketika menyebut perjanjian Bungaya (Bongaya atau Bongaja), yang terlintas dipikiran pasti soal kekalahan Gowa dalam menghadapi kedigdayaan VOC yang ditandai dengan penandatangan perjanjian damai (Gowa di bawa Sultan Hasanuddin dan Hindia Belanda di bawa pimpinan Laksamana Cornelis Speelman). Tentu saja itu bagi mereka yang mendalami atau setidaknya pernah membaca sejarah. Tapi bagi yang tidak pernah sama sekali membaca sejarah, yang terlintas hanya pertanyaan, “apa itu perjanjian Bungaya?”

Untuk itu saya harus segera menegaskan bahwa tulisan ini tidak diniatkan untuk menjelaskan sejarah perjanjian Bungaya. Seperti judulnya, tulisan ini hendak meneropong “kisah kecil” tentang peranan Kulisusu di tengah pergolakan politik abad ke-17 yang melatar belakangi lahirnya perjanjian Bungaya. Itu pun dengan penuh kesadaran bahwa tulisan ini hanya berupa sekelumit informasi saja, mustahil dapat menyajikan informasi yang utuh dan sistematis. Tulisan ini hanyalah bentuk kegelisahan saya terhadap lenyapnya peran Kulisusu dalam telaah sejarah perjanjian Bungaya itu.

***

Tak banyak yang tahu, di ujung utara Pulau Buton bermukim satu suku yang disebut suku Kulisusu (kulit kerang). Hal ini cukup disadari, karena itu, Orang Kulisusu diperantauan selalu mengidentifikasi dirinya sebagai suku Buton. Seorang laki-laki tua asal Kulisusu mengisahkan hal ini. Ia menghabiskan separuh hidupnya di atas samudra, sudah melewati pelayaran antar pulau di tanah air ini hingga pelayaran antar Benua. Tapi saat di tanya ia orang apa, jawabannya “saya orang Buton”. Kisah ini membuat saya sontak bertanya, “kenapa bapak tidak bilang saya Orang Kulisusu?”, jawabannya jelas, “karena di luar sana orang lebih kenal Buton ketimbang Kulisusu”. Ini menegaskan posisi kuasa Buton sebagai kebudayaan dominan yang memengaruhi konstruksi identitas Orang Kulisusu.

Selain itu, bagi saya hal di atas juga adalah sekelumit fakta yang kurang lebih menggambarkan suatu ketimpangan: jangankan sejarahnya, sukunya saja banyak yang tidak tahu. Atau paling-paling orang mengenal Kulisusu dalam sejarah Buton sebagai salah satu Barata (kerajaan penyanggah) dari empat Barata Kesultanan Buton yang ada (barata pata palena). Orang tidak pernah tahu bahwa Kulisusu pernah mengayunkan pedang dan menusukkan keris di perut Orang Belanda, pernah menentang Kesultanan Buton yang begitu mesrah berkawan dengan Belanda dan yang luput dari perhatian adalah kemana aliansi politik Orang Kulisusu saat menghadapi gejolak politik abad ke-17 ini?

Beruntung ada karya Susanto Zuhdi yang mengutip beberapa sumber asing berbahasa Belanda tetang Kulisusu dalam buku: Labu Rope Labu Wana; Sejarah Buton yang Terabaikan. Sayangnya karya Susanto Zuhdi tidak mengelaborasi secara lebih jauh tentang Kulisusu. Persoalannya, ternyata nama Kulisusu bukan tidak ada pada naskah-naskah berbahasa Belanda, nama Kulisusu (Kalentjoesa dalam naskah Belanda) ada, tapi sayangnya tidak ada peneliti yang tertarik untuk menelusurinya, mungkin saja Kulisusu tidak menarik dibahasa karena namanya kurang dikenal sehingga tak punya nilai jual. Atau boleh jadi, banyaknya akademisi di Kulisusu tapi tidak pernah meneliti dengan seirus tentang sejarahnya sendiri.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, kemana aliansi politik Orang Kulisusu di tengah pergolakan politik abad ke-17? Berikut ini akan saya jawab secara tidak lengkap dan tidak sistematis berdasarkan pada informasi-informasi dari buku Susanto Zuhdi yang sudah disebutkan di atas.

***

Zuhdi (2010) mengisahkan bahwa pada 1662-1663, Kesultanan Buton tengah menghadapai pemberontakan dari Barata Kulisusu dan desa Kumbewaha. Perlawanan Kulisusu atas Buton tersebut terjadi pada masa sultan La Awu (1654-1664). Pemberontakan ini rupanya diakibatkan oleh jatuhnya Kulisusu dan Kumbewaha dalam kelompok-kelompok yang masuk dalam pengaruh Makassar (Zuhdi, 2010:119). Dalam situasi politik semacam itu, sultan La Awu memilih untuk melakukan intervensi militer, ia mengajukan permohonan bantuan pada raja Ternate untuk membebaskan Kulisusu dan Kumbewaha dari pengaruh Gowa (Zuhdi, 2010:118-119).

Di tahun yang sama (1663) Barata Kulisusu juga bermasalah dengan Gubernur Banda, karena orang Kulisusu membunuh warga bebas (burger) yang berasal dari Banda. Akibat pembunuhan tersebut, Gubernur Banda bereaksi keras, ia meminta bantuan kepada Gubernur Ternate dan Gubernur Ambon untuk bersama-sama menghadapi perlawanan orang Kulisusu (Zuhdi, 2010:119). Menurut Fraassen, saat itu sultan Ternate Mandarsyah mengirim bantuan berupa satu ‘chialoup’ dengan empat kora-kora yang bergerak dari kepulauan Sula menuju ke Buton untuk bersama angkatan perang Buton menghukum Kulisusu, hasil ekspedisi ini tidak diketahui, akan tetapi, pada tahun 1663 penduduk Kulisusu tidak dikirim ke Ternate (Zuhdi, 2010:119). Dalam tradisi lisan Orang Kulisusu, perang ini disebut sebagai “Perang Tobelo”.

Dengan bantuan armada dan pasukan yang besar, perlawanan orang Kulisusu akhirnya dapat dipadamkan. Dan mengenai keberadaan orang Kulisusu di Ternate, terjadi pada 1667, yakni setelah armada Gowa dapat ditaklukkan oleh pasukan Speelman yang dibantu Ternate di perairan Buton (Zuhdi, 2010:119). Karena keberhasilan tersebut, termasuk keberhasilan membebaskan Barata Kulisusu dari pengaruh Gowa, Ternate merasa berhak atas wilayah Kulisusu dan meminta sebagian penduduknya untuk dibawa ke Ternate (Rudyansjah, 2009:224). Selain persoalan hadiah yang diinginkan Ternate itu, dari segi kedaulatan menurut MvO J.H. Tobias Buton mempunyai masalah kekuasaan teritorial dengan ternate, beberapa wilayah kekuasaan Buton diklaim sebagai wilayah Ternate, seperti Tiworo, Wawonii dan Kulisusu (Zuhdi, 2010:117). Hal ini sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut:

“[...] waren nog voor weinige jaren onnenigheden ontstaan omtrent hunne (Ternate:sz) regte op de lanstreken wowona, Tioro, en Kalentjoesa [...]”

Artinya:
“masih untuk beberapa tahun perselisihan tetap mengenai hak ternate atas daerah wowona (baca juga wowoni), Tioro (Tiworo) dan Kalentjoesa (Kulisusu)” (Zuhdi, 2010:117).

Pada bulan Juni 1667 (beberapa bulan sebelum penandatanganan Perjanjian Bungaya), pihak VOC dan Buton menandatangani kontrak yang disaksikan sultan Ternate Mandarsyah dan Kapitan Laut Reti. Saat itu, Buton menginginkan agar Barata Kulisusu kembali ke dalam wilayah kekuasaannya (Zuhdi, 2010:119). Sementara itu, Ternate bermaksud untuk membawa orang Kulisusu sebagai hadiah dari bantuannya menaklukkan Gowa. Persoalan ini kemudian menimbulkan konflik perbedaan kepentingan antara Buton dan Ternate. Di pihak Kesultanan Buton, Kulisusu dianggap sebagai salah satu barata (vassal)nya, sedangkan bagi Ternate orang kulisusu dapat menambah penduduknya yang minim, akan tetapi nampaknya mereka dijadikan budak oleh orang Ternate dibawah para bobato (Zuhdi, 2010:119). Sesudah penandatanganan perjanjian Bungaya pada 18 November 1667, Kapitan Laut Reti membawa orang Kulisusu ke Ternate pada tahun 1690 (Zuhdi, 2010:119).

Dari penjelasan di atas dapat dilihat arah aliansi politik Orang Kulisusu pada saat itu adalah ke Kesultanan Gowa. Dengan cara demikian, Orang Kulisusu mengobarkan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Namun sayangnya pemberontakan Orang Kulisusu ini dapat dipadamkan dan Gowa sendiri akhirnya dapat dipukul mundur hingga menyerah pada 1667. Tapi, perlawanan Orang Kulisusu tidak berakhir di sini, dan hubungan kerjasama dengan Gowa dan sekitarnya tidak putus. Api perlawanan terus-menerus dikobarkan walau harus berakhir dengan kekalahan. Berikut ini akan saya ceirtakan narasi lokal mengenai perang Tobelo.

Di masa pemerintahan La Ode Ode, pasukan Ternate yang dikenal sebagai pasukan Tobelo pernah merongrong kedaulatan barata Kulisusu. Coppenger (2012) menyebutkan bahwa pasukan Tobelo saat itu dipimpin oleh Kapiten Maranua, sementara menurut Abu Saru, dipimpin oleh Kapten Soroasa, dan menurut Zahari dipimpin oleh Tomba Mohalo (Zahari, 1977). Dalam pertempuran itu, panglima perang Barata Kulisusu yang bernama La Ode Gure bergelar Raja Jin tewas terbunuh oleh pasukan Ternate. Raja Jin dianggap sebagai salah satu pahlawan di Buton Utara yang gugur dimedan tempur (Hadara, 2010). Makam Raja Jin dapat kita jumpai dalam wilayah benteng Lipu. Akibat kekalahan ini, orang Kulisusu mengungsi ke bukit Bangkudu dan mendirikan benteng pertahanan yang disebut “benteng Bangkudu”. Dibenteng ini orang Kulisusu tetap mengobarkan perlawanan atas Belanda dan Tobelo atau Ternate.

Pasukan Ternate kemudian menangkap sejumlah 40 orang termasuk putri La Ode-Ode yag bernama Wa Ode Kotanda untuk dibawa sebagai tawanan perang ke Ternate. Menurut Dihasa, setelah Sultan Ternate mengetahui bahwa Wa Ode Kotanda adalah cucu dari Sultan Buton ke-4 La Elangi, maka Wa Ode Kotanda dilepaskan dan dipulangkan ke Kulisusu bersama rombogan yang berjumlah 20 orang. Sehingga masih tersisah 20 orang lagi di Ternate, inilah kemudian yang menetap di Ternate dan sampai sekarang keturunan mereka masih mengakui Kulisusu sebagai daerah asalnya. Zuhdi (2010) mengatakan bahwa nama Kulisusu sampai sekarang dapat ditemukan di Ternate yakni sebagai soa Kulisusu yang terletak di sebelah utara kedaton dan sebagai kampung yang kulisusu terletak di sebelah selatan kedaton. Soa Kulencusu atau Kulisusu terdiri dari orang Kulisusu yang dipindahkan ke Ternate dalam abad ke-17 (Zuhdi, 2010:122-123).

Kekalahan orang Kulisusu melawan tiga pasukan (Buton, Belanda dan Ternate) tidak hanya menimbulkan kerugian materil dan ditangkapnya orang Kulisusu yang di bawa ke Ternate. Terjadi pula intervensi kultural yang kuat dan menyebabkan beberapa tradisi budaya juga ikut berubah. Perubahan itu diantaranya adalah arah makam dan tradisi menginjak vosil kulit kerang (kulisusu) sebagaimana diungkapkan berikut ini.

Terjadinya Kulisusu ini di injak setelah masuknya perang Tobelo dan masuknya Wolio. Awalnya tidak boleh di injak. Tobelo merupakan suku Tobelo yang ada di Ternate yang masuk bersama Wolio ke Kulisusu untuk yang mempengaruhinya, itulah sehingga terjadi Kulisusu ini diinjak. Sedangkan kuburan kalau aslinyakan menghadap Utara-Selatan, ketika disujudkan akan menhadap kiblat, tetapi setelah penyerangan Tobelo yang bekerja sama dengan Wolio dan Belanda, maka arah kuburan itu berubah menghadap barat laut, ketika disujudkan akan menghadap Wolio. Kalau kuburan asli dulu menghadap Utara-Selatan sebelum masuk perang Tobelo. Jadi ketika disujudkan mayat akan menghadap ke kiblat, kalau sekarang bukan lagi menghadap kiblat, menghadap ke Wolio karena itu pengaruh dari Wolio sama dengan arahan untuk menginjak Kulisusu ini karena pengaruh dari Wolio (Kasim, wawancara 29 Mei 2014)

Tampak jelas dari kutipan wawancara di atas bahwa perang Tobelo di Kulisusu adalah perang melawan tiga pasukan yakni Belanda, Ternate dan Buton sendiri. Hal ini sesuai dengan penjelasan Zuhdi (2010) yang telah kita bicarakan sebelumnya. Sesudah perang tersebut, intervensi kuasa Buton atas Kulisusu ternyata semakin kuat, hingga merambah ke persoalan tradisi budaya, seperti telah disebutkan di atas yakni perubahan arah makam yang awalnya menghadap arah Utara-Selatan berubah arah menghadap kiblat agar ketika kepala mayat di putar ke arah kanan (disujudkan), maka mayat tersebut akan menghadap persis di wilayah Kesultanan Wolio/Buton. Hal ini dalah simbol penaklukkan yang serius sebab tidak hanya urusan kaetika hidup, saat matipun orang Kulisusu wajib berkiblat ke Buton. Selain itu tradisi menginjak vosil kulit kerang (kulisusu) yang dilindungi dalam keraton Barata Kulisusu adalah suatu simbol kekalahan, karena dengan menginjak simbol wilayahnya berarti orang Kulisusu sama dengan menginjak harga dirinya sendiri. Hal ini seperti ditulis oleh Jaadi (tanpa angka tahun) dalam naskah Lokal: Nama-nama Daerah Ini (Kulisusu):

Kaum veodal menetapkan bahwa tiap pengunjung/pendatang diharuskan menginjak vosil Kulisusu. Seorang pendatang namun telah berpuluh kali berkunjung ke daerah ini bila belum menginjak vosil Kulisusu di katakan bahwa oknum bersangkutan belum pernah ke Kulisusu [...] Maksud dan Tujuan/Nilai Tradisional Menginjak lahir-bathin putra-putri Kulisusu.

Kaum feodal yang dimaksudkan adalah penjajah Belanda yang dalam hal ini bekerjasama dengan Buton dan Ternate untuk menumpas pemberontakan orang Kulisusu dalam perang yang dikenal sebagai perang Tobelo (1663-1667). Padahal sebelum kekalahan dalam perang itu, orang Kulisusu tidak pernah menginjak vosil kulit kerang itu. Jaadi dalam naskah yang sama menuliskan tata tertib mengunjungi vosil kulit kerang itu.

Tiap pengunjung yang berasal dari luar daerah Kulisusu (bukan pribumi) Mansuana berkewajiban mengantarnya ke vosil Kulisusu. Mansuana melekatkan jari telunjuk kanannya pada vosil Kulisusu kemudian jari telunjuk kanan Mansuana dilekatkan pada dahi pengunjung (merudukuni). Upacara semacam ini hanya sekali seorang. Pada kunjungan ke dua tdak lagi di rundukuni [...] Maksud dan Tujuan/Nilai Tradisional: Suatu janji atau suatu pengakuan bahwa pengunjung bersangkutan bersedia menjunjung tinggi/menaati segala peraturan tata tertib/adat istiadat pribumi selama bersangkutan berada di Kulisusu atau tiap kali berada di Kulisusu.

Perampokan Kapal Bark Noteboom

Pada awal 1790, Buton kembali menghadapi pemberontakan dari vassalnya sendiri yakni Barata Muna dan Kulisusu (Zuhdi, 2010:257). Pemberontakan orang Kulisusu pada kesultanan Buton dalam hal ini diperlihatkan melalui perampokan orang-orang Kulisusu terhadap kapal Belanda, Bark Noteboom yang karam dan terdampar di teluk Kulisusu. Menurut Zuhdi (2010) perampokan kapal Bark Noteboom yang karam di Teluk Kulisusu itu melanggar perjanjian antara VOC dan Sultan Buton pasal 12 kontrak tahun 1766 maupun yang diperbaharui (kontrak tahun 1791) mengatakan bahwa Buton akan memberi bantuan kepada kapal Kumpeni yang melalui perairan Buton. Adapun bunyi perjanjian itu (diterjemahkan dari bahasa Belanda) adalah:

Raja butun serta sekalian mentri-mentrinya dan orang besar-besar sekalian mengaku dan berjanji pada sekarang sebarang kapal Kumpeni yang lalu dari sana atau sangkut sebab kekurangan makanan atau kayu atau barang sebagainya seboleh-boleh raja menulung dia adanya (Zuhdi, 2010:259).

Peristiwa ini juga dapat dilihat dari sumber lokal dalam kabanti atau syair Kanturuna Mohelana (lampunya orang berlayar), yang mengisahkan tentang perang di Kulisusu akibat perompakan kapal Belanda yang karam di Teluk Kulisusu (Zuhdi, 2010260):

daangiamo giu ragona karimbi demikianlah berbagai kesulitan
apebaangimo kapasa iliwuto mulanya kapal karam di pulau
atutunia kapasa ikolencusu pemberitahuan kapal karam di kulisusu
aegantimo amarana kompaniya mengingat marahnya Kumpeni
asalimea kafaka imangengena menghilang asal mufakat lama
waktuuna zamani inciasiytuu waktu zamannya
osulutani Abdulu Gafuuru Sultan Abdul Gafur Muhuyudin Muhuyudin
akalencusu ato potemboakamo berperang di Kulisusu
sababuna apewau mo larangi sebabnya berbuat yang dilarang
saincana kolencusu aturumo yang intinya supaya Kulisusu patuh

Pemberontakan Kulisusu ini akhirnya berhasil ditaklukkan oleh pasukan Sultan Buton yang diperkuat oleh pasukan VOC. Kemudian Sultan Buton mengirimkan seratus orang budak dari Kulisusu kepada VOC sebagai ganti rugi atas kapal yang dirompak orang Kulisusu (Zuhdi, 2010:261).

Perompakan Kapal Rust en Werk

Susanto Zuhhdi (2010:212) menerangkan bahwa tenggelamnya kapal Rust en Werk pada Juli 1752 yang belabuh di Bau-Bau terjadi akibat serangan kelompok yang dipimpin oleh Frans-Fransz, seorang mantan jurubahasa di Bulukumba. Namun pada bagian sebelumnya Zuhdi (2010) juga menyebutkan bahwa perompakan kapal Rust en Werk dilakukan oleh orang Kulisusu. Karena itu perlu ditegaskan bahwa kelompok yang dipimpin oleh Frans tersebut termasuk didalamnya adalah orang-orang Kulisusu yang dikatakan Zuhdi (2010) merompak kapal Rust en Werk pada bulan Juli 1752. Menurut Ligtvoet, Frans kemudian bertahan di wilayah Kobaena sampai akhirnya Franz dan pengikutnya-pengikutnya berhasil ditaklukan. Frans sendiri terbunuh oleh Kapiten melayu yang ambil bagian dalam operasi penumpasan tersebut (Zuhdi, 2010:212).

Penjelasan di atas sangat kontras dengan penjelasan Ali Hadara (2010) dalam laporan penelitiannya di Buton Utara yang menjelaskan bahwa kapal Rust en Werk ditenggelamkan oleh La Ode Gola (Wa Opu yi Loji). Hadara (2010) mengatakan bahwa kapal Rust en Werk yang dipimpin oleh Van den Burg berhasil ditenggelamkan oleh La Ode Gola dan pasukannya di perairan laut Banda dekat pelabuhan desa Wa Ode Buri. Hadara juga menyimpulkan bahwa menurut tradisi lisan nama Wa Ode Buri berasal dari nama Van den Burg.

Saya akan menelusuri dan memaparkan beberapa kekeliruan yang dijelaskan oleh Hadara (2010): pertama, persoalan tahun tenggelamnya kapal Rust en Werk dan tahun kelahiran La Ode Gola. Dijelaskan di atas bahwa kapal Rust en Werk ditenggelamkan di pelabuhan Baubau pada bulan Juli 1752 (pertengahan abad ke-18) (Zuhdi, 2010). Sementara La Ode Gola atau Waoupu yi Loji dilahirkan pada pertengahan abad ke-19 (Hadara, 2010:94). Hal ini adalah sangat mustahil terjadi, sebab sehebat-hebatnya orang atau seajaib-ajaibnya orang tidak mungkin orang yang lahir di abad ke-19 akan terlibat pada peristiwa yang terjadi di abad ke-18.

Kedua, seandainya kapal yang ditenggelamkan La Ode Gola dalam penjelasan Hadara (2010) adalah kapal Rust en Werk yang berbeda dengan kapal yang ditenggelamkan Frans dan pasukannya dipelabuhan Baubau seperti penjelasan Zuhdi (2010), seharusnya Hadara memberi penjelasan yang lebih detail tentang perbedaan ini. Ironisnya Hadara jelas-jelas dalam kutipannya merujuk pada Zuhdi (2010). Artinya, kapal yang ditenggelamkan La Ode Gole dalam penejelasan Hadara (2010) sepenuhnya merujuk pada kapal Rust en Werk yang sama yakni kapal yang ditenggelamkan oleh Frans di pelabuhan Baubau. Hanya saja dalam hal ini, Hadara mengubah tempat kejadian, tahun dan pelaku peristiwa. Hal ini adalah sebuah kekeliruan yang serius dalam ilmu sejarah jika seorang sejarawan untuk kepentingan tertentu merubah tahun peristiwa, pelaku peristiwa dan tempat kejadian hingga tidak sesuai dengan sumber rujukannya. Dengan demikian penjelasan Ali Hadara tersebut perlu kita ragukan kebenarannya.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, menurut pendapat saya, perlawanan orang Kulisusu merupakan bentuk ketidak senangan kerajaan Kulisusu terhadap VOC dan juga sebagai bentuk protes terhadap kerajaan Buton yang mau berkompromi dengan Belanda. Hal yang tidak dapat juga dinafikan bahwa munculnya pengaruh dari Gowa yang juga ikut mendorong perlawanan orang Kulisusu terhadap kesultanan Buton yang bekerjasama dengan Belanda.[1] Setiap pemberontakan yang dilakukan oleh kerajaan Kulisusu selalu dapat dipadamkan dengan bantuan Ternate dan VOC.

Perlawanan Waopu yi Loji

Menurut Hadara, Waopu yi Loji lahir di Loji pada pertengahan abad ke-19 dengan nama asli La Ode Gola (Hadara, 2010:94). Ia berasal dari kaum bangsawan, sehingga dikemudian hari Ia dapat menjabat sebagai Lakino Kulisusu (jabatan untuk bangsawan). Hadara menceritakan bahwa sejak kecil La Ode Gola telah menunjukan sifat keberanian untuk menentang sesuatu yang dianggap tidak benar. Waopu yi Loji dikenal sangat gigih melawan Belanda.

Waopu yi Loji diyakini memiliki kesaktian, namun sesakti apapun, mustahil jika dikatakan bahwa Waopu yi Loji mampu menenggelamkan Kapal Rust en Werk yang tenggelam pada tahun 1752 oleh pasukan Frans-Franz (bersama orang Kulisusu) dua abad sebelum Waopu yi Loji lahir. Adalah mustahil mengatakan bahwa orang yang lahir pada pertengahan abad ke-19 dapat memimpin serangan yang dapat menenggelamkan kapal Rust en Werk pada pertengahan abad ke-18 sebelum dia sendiri lahir ke dunia. Lagi-lagi Hadara (2010) melakukan kesalahan yang sama, tidak memerhatikan dimensi waktu. Sekalipun demikian, kita tak dapat menyangkal bahwa Waopu yi Loji adalah salah satu pahlawan Buton Utara yang gigih melawan penjajah Belanda pada masanya. Waopu yi Loji menjabat sebagai Lakino Kulisusu selama dua periode yakni pada tahun 1875-1890 dan tahun 1905-1914.

Menurut Hadara (2010), pemerintah kolonial Belanda mencampuri urusan rumah tangga Barata Kulisusu, pada 1906, [2] yang menimbulkan kebencian dan kemarahan warga terhadap VOC. Waopu yi Loji pada waktu itu menjabat sebagai Kapitano Suludadu (panglima perang) tampil dengan sangat gigih untuk mengusir penjajah di tanah Kulisusu.

Kata-kata yang menjadi prinsip Waopu yi Loji saat melawan Belanda: “Kulisusu ai, awunopo, walonopo kai pinaporiporipo”(Kulisusu ini biar nanti sisa-sisa abunya baru disatukan kembali). Pernyataan itu menggambarkan sebesar apa semangat juang yang dimiliki oleh Waopu yi Loji dalam melawan penjajah Belanda. Tidak perduli negerinya (Kulisusu) akan hancur menjadi debu, ia akan tetap melawan Belanda, sebeb ia yakin bahwa suatu saat nanti negeri ini (Kulisusu) akan dibangun kembali dari puing-puing kehancuran. Petetea (tempat peperarangan) yang sekarang diabadikan menjadi nama sebuah desa di Kulisusu Utara merupakan tempat dimana Waoupu yi Loji melancarkan serangan kepada pihak Belanda.

Waopu yi Loji dalam perlawanannya berhasil menenggelamkan kapal Belanda di perairan Laut Banda dekat pelabuhan Labusa Desa Lelamo sekarang. Menurut Hadara, kapal itu adalah kapal Rust en Werk. Namun bukan berarti bahwa tidak benar Waopu yi Loji adalah pejuang yang pernah menenggelamkan kapal Belanda yang dipimpin oleh Van den Burg. Hanya kapal tersebut bukanlah kapal Rust en Werk seperti halnya Kapal Rust en Werk yang dibahas oleh Susanto Zuhdi dalam buku Labu Rope Labu Wana (2010). Dengan demikian kita berkesimpulan bahwa tidak diketahui secara pasti kapal apa yang ditenggelamkan oleh Waopu yi Loji semasa dia hidup. Orang Konawe Selatan mengenal Waopu yi Loji sebagau Lakino Ngguliusu (Kulisusu).

Pada tahun 1914 Waopu yi Loji melancarkan serangan besar-besaran kepada pihak Belanda. Dalam penyerangan itu Waopu yi Loji tertangkap oleh VOC dan selanjutnya tidak diketahui keberadaannya. Versi lain menjelaskan bahwa Waopu yi Loji tidak bisa ditangkap oleh tentara Belanda, sehingga Belanda meminta bantuan kepada Buton untuk memadamkan perlawanan Waopu yi Loji. Maka di utuslah Lakino Nambo di Wolio (Buton) yang merupakan rekan seperjuangan Waopu yi Loji. Karena didatangi oleh sehabatnya sendiri yang juga membawa perintah dari Sultan Buton, maka Waopu yi Loji bersedia menyerahkan diri kepada pihak Belanda. Pasca penangkapan Waopu yi Loji, tidak diketahu secara pasti kabar beritanya. Ada yang beranggapan bahwa Waopu yi Loji diasingkan ke pulau Muna ada juga yang mengatakan bahwa Waopu yi Loji diasingkan ke Nusa Kambangan. Ada juga yang beranggapan bahwa Waoupu yi Loji di asingkan di Sulawesi Selatan dan meninggal di dalam penjara (tabua) karena disetrum.

Pendapat lain lagi mengatakan bahwa Waopu yi Loji tidak meninggal karen disetrum, saat berada dalam tahanan di Sulawesi Selatan dia bertemu dengan Iman Idrusein dan mengajak para tahanan untuk memberontak. Namun tak satupun di antara para tahanan yang mau mengikuti ajakannya. Karena itu, Waopu yi Loji berpesan bahwa dia akan meninggal esok hari saat selesai shalat Zuhur. Pada keesokan harinya Waopu yi Loji ditemukan telah meninggal dunia, namun saat prosesi pemakaman berlangsung, tiba-tiba terdengar suara ghaib dari Waopu yi Loji yang mengatakan bahwa dia akan pergi, tetapi dimanapun daerah yang kacau, dia akan muncul dalam kekacauan itu. Versi ini menganggap sampai sekarang Waopu yi Loji belum meninggal dan selalu muncul di daerah-daerah yang mengalami konflik seperti kekacauan yang pernah terjadi di Poso dan Ambon. Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa Waopu yi Loji mati ditenggelamkan oleh Belanda di perairan pulau Maginti (sebuah pulau di Kepulauan Tiworo). Tak ada yang tahu pasti mengenai hal itu, yang jelas Waopu yi Loji adalah pahlawan Kulisusu yang patut kita contoh semangatnya.

Terlepas dari sikap heroik itu, sepak terjang Waopu yi Loji juga meninggalkan sedikit ceritra kekejaman terhadap petani yang bernama Tambera. Tambera adalah seorang petani ulet dan rajin, namun Ia membangkang untuk membayar pajak atau upeti kepada negara: menyerahan hasil-hasil pertanian kepada kerajaan. Karena kesalahan itu Tambera di Bunuh oleh Waopu yi Loji. Sampai sekarang nama Tambera diabadikan sebagai nama sebuah lokasi pertanian di Buton Utara, tepatnya ditentangan antara desa Tomoahi dan Ulunambo. Hal ini juga sebagaimana dinyatakan oleh Lakino Kulisusu, La Ode Ahlul Musafi bawha:

“Sebenarnya Kulisusu pernah mengadakan perlawanan atas Buton ketika Buton menjalin hubungan kerjasama dengan VOC. Pada zaman La Ode Gola atau Waopu yi Loji Kulisusu tidak lagi ikut Wolio. Semua keturunan Oputa Yi Koo datang ke Kulisusu untuk menentang Belanda” (La Ode Ahlul Musafi, wawancara, 16 Maret 2014).

Berdasarkan kutipan di atas, pembangkangan atas kesultanan Buton tidak lepas dari pengaruh bangsawan (kaomu) yang menentang kehadiran VOC di tanah Buton. Dengan demikian, keretakan adat Wolio sudah sejak lama berlangsung. Sekalipun keretakan adat menurut Rudyansjah terjadi setelah Belanda mencampuri urusan rumah tangga kesultanan Buton tahun1906 (Rudyansjah, 2009:222), Namun, gejolak antara pemrintah pusat dan pemerintah Barata, yang dipelopori oleh para bangsawan sendiri, menunjukan keretakan keterpaduan adat.

Untuk menghadapi pemberontakan Barata Kulisusu, kesultanan Buton memperlihatkan tipe pemerintahan yang otoriter, yakni dengan melakukan intervensi militer. Lakino Kulisusu, La Ode Ahlul Musafi, juga menceritakan bahwa pada masa kekuasaan sultan Buton terakhir La Ode Muhamad Faalihi, beberapa orang dipenggal kepalanya seperti Aniyhu agar Kulisusu tunduk terhadap kekuasaan Buton. Selain itu Sultan Buton juga melakukan pendekatan persuasif atau dalam bahasa Kulisusu ndo nea-nea inda agar Kulisusu tunduk terhadap kekuasaan Buton. Dengan demikian, Kulisusu sampai tahun 1959 masih merupakan bagian dari kesultanan Buton sampai kemudian dipisahkan oleh politik pemekaran Kabupaten Muna, sebagaimana telah disinggung dipendahuluan.



sumber
 
Back
Top