Nyawa Terancam Jika Gunakan Ponsel di Negara Ini

spirit

Mod
4fb6a42f-913a-469c-b30c-7a3613e0d570_169.jpg

Negara itu adalah Somalia, sebuah negara yang berada di sebelah timur Afrika, bukanlah tempat yang ramah bagi pengguna internet. Bahkan, di Mogadishu, Ibukota dari negara yang berbatasan dengan Kenya dan Ethiopia itu, jaringannya kurang bermutu, mahal, dan tidak bisa diprediksi.

Kondisi lebih parah lagi terjadi di kawasan yang dikuasai oleh kelompok militan al-Shabaab. Di sana, internet tidak ada sama sekali, atau tepatnya tidak diizinkan oleh mereka.

Faktanya, Somalia menempati urutan dua terbawah soal akses internet. Tidak sampai 2% dari total penduduknya yang mendapatkannya. Di bawahnya ada Eritrea, yang hanya 1,2% dari masyarakatnya yang memiliki akses internet.

Untuk lebih tahu bagaimana keluh kesah orang-orang di sana, mari dengarkan kisah Anas Farah. Laki-laki berusia 26 tahun tersebut sempat menjalankan toko musik, namun bisnisnya terhenti lantaran minimnya layanan internet.

"Saya biasa mengunduh musik baru dari internet dan mengunggahnya di Facebook untuk mengiklankan musik baru yang saya punya sehingga pelanggan mau datang dan membeli," ujarnya.

"Kemudian al-Shabaab melarang internet, dan penyedia internet menutup perusahaannya. Tidak ada uang yang dihasilkan dari situ. Saya tidak bisa bertahan tanpa internet jadi saya menutup toko musik saya," katanya menambahkan.

15b08d86-1616-466a-82d9-240d46abf9e5.jpg

Kelompok militan al Shabaab Somalia Foto: Feisal Omar/Reuters​


Selain itu, penduduk kota Marka ini mengaku juga mengunduh materi dakwah Islam dari YouTube. Setelahnya, para pelanggan bisa membawa kartu memori agar bisa mendapat materi yang dimilikinya.

Malang tak dapat ditolak. Itu adalah satu-satunya mata pencaharian Farah, ayah dari tiga orang anak.

"Saya kehilangan pekerjaan saya. Hari ini, jika akses internet kembali berjalan, saya akan membuka kembali toko saya dan menghasilkan uang," ucapnya.

Pegang Ponsel = Cari Mati

Lain Farah, lain lagi dengan Ali Sheikh Hamud. Mahasiswa ini mengaku harus berpindah kota agar bisa terkoneksi dengan internet.

Pria berusia 20 tahun yang tinggal di dekat Bariire ini harus menempuh perjalanan ke Mogadishu demi akses internet ketika ia hendak menjalankan ujian Agustus lalu. Sekadar informasi, dua kawasan tersebut terpaut jarak lebih dari 60 kilometer, dan memakan waktu kira-kira 2 jam jika bepergian dengan mobil.

Sebagai perbandingan, jika kamu tinggal di sekitaran Gandaria, Jakarta Selatan, maka kamu harus pergi ke daerah Karawang, Jawa Barat demi mendapat koneksi internet. Tak diragukan lagi, itu perjuangan yang berat.

"Jika ada memergoki saya memegang smartphone, orang-orang al-Shabaab akan memenggal kepala saya karena menganggap saya mata-mata, jadi saya tidak mau mempertaruhkan nyawa saya," kata Hamud bercerita.

"Jadi saya pergi ke Mogadishu untuk mendapat akses internet. Puji Tuhan saya bisa melaksanakan ujian dari universitas saya," ucapnya menambahkan.

Tempuh 114 km demi akses internet

Amina Nuur Ibrahim juga harus berjuang keras demi mendapatkan akses internet. Perempuan berusia 19 tahun harus meninggalkan kampun halamannya di Jilib menuju Kismayo agar bisa melakukan kontak dengan kekasihnya lewat internet.

Dua kota tersebut terpaut jarak sekitar 114 kilometer. Butuh hampir 2 jam untuk bisa sampai dari satu kota ke kota lain menggunakan mobil.

"Kekasih saya tinggal di Kenya dan dia sudah terkoneksi internet, sayangnya saya tidak bisa (terkoneksi internet). Biaya telpon sangat mahal di sini, jadi saya meninggalkan keluarga di Jilib dan pergi ke Kismayo untuk bisa chat dengan kekasih dan mendiskusikan rencana pernikahan kami," tuturnya.

Sebagai perbandingan, perjalanan yang ia tempuh kurang lebih seperti pergi dari Jakarta menuju Serang, Banten. Bayangkan, perempuan berusia 19 tahun, pergi sejauh itu, 'hanya' demi akses internet.

Kekejaman al-Shabaab, ketakutan masyarakat

Di atas, nama al-Shabaab sempat ditulis sebagai kelompok yang menentang akses internet. Ya, mereka memang melarang orang-orang menggunakan smartphone yang terkoneksi internet serta GPS. Alasannya, mereka takut keberadaan pemimpinnya bisa terbongkar.

Karena alasan tersebut, Mohamed Ali Abukar, seorang pengemudi truk, harus rela meninggalkan ponselnya di Mogadishu ketika ia ingin mengunjungi kakeknya di Gambole.

"Karena saya takut akan keselamatan diri saya. Jika orang-orang al-Shabaab melihat saya dengan smartphone, maka mereka akan langsung membunuh saya," katanya.

"Mereka tidak menyukai smartphone dan akses internet karena banyak pemimpin kelompok militan yang dipercaya mati lantaran memiliki smartphone yang terkoneksi dengan GPS," ujarnya menambahkan.

Ia pun masih ingat terhadap dua anak muda dari kampung halamannya yang dipenggal karena membawa perangkat tersebut.

"Ketika saya sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi kakek saya yang sedang sakit, saya meninggalkan ponsel dan akses internet saya. Sampai saya kembali, saya tak memiliki akses internet," pungkasnya.

Jadi, ketika kamu tengah menggunakan ponsel dan tidak dipenggal kemudian, bersyukurlah, kamu tidak sedang berada di Somalia.



sumber
 
Back
Top