Kenapa Harga Beras RI Lebih Mahal dari Internasional?

spirit

Mod
8cbb35a3-7ff9-4958-9e91-3c5d8b7ea15b_169.jpeg

Masalah harga menjadi faktor utama beras RI tak bisa bersaing dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Bahkan, selisih harga beras dalam negeri dibandingkan dengan dua negara tersebut mencapai sekitar Rp 2.900 per kilogram (kg).

Menurut harga beras internasional yang dikutip dari Food and Agriculture Organizations (FAO), harga internasional beras ekspor kualitas bawah (varitas white rice 25% broken) dari Thailand sekitar Rp 5.395 (data Juni 2019). Kemudian, harga beras kualitas sama dari Vietnam sekitar Rp 5.324/kg.

Sedangkan, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga beras dalam negeri kualitas bawah I hari ini yang termurah yakni di wilayah DKI Jakarta Rp 8.200/kg.

Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, beberapa hal mendasar menjadi penyebab mahalnya harga beras RI dibandingkan negara lain.

Pertama, faktor produksi. Produksi beras ini masih dilakukan dengan cara-cara konvensional. Hal tersebut berkaitan dengan kepemilikan sawah petani yang kecil, sehingga tak efisien apabila produksi beras menggunakan teknologi pertanian terbaru, yang kemudian berdampak pada mahalnya harga beras dalam negeri.

"Kenapa konvensional? Karena memang lahannya sempit. Nah kenapa lahannya sempit? Karena memang selama ini harga jualnya tidak menutup biaya produksi. Sehingga petani ini tidak berkembang, karena lahannya sempit tadi. Lahan sempit ini kan teknologi dan sebagainya sulit masuk," jelas Sutarto kepada detikFinance, Selasa (9/7/2019).

Kemudian, masalah sewa lahan juga menyebabkan harga beras dalam negeri masih tinggi. Pengamat pangan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengatakan, sebagian besar petani Indonesia tergolong petani gurem atau petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare.

"Petani kita masih sewa lahan. Sebagian besar petani kita petani penggarap, bukan petani pemilik lahan, karena banyak petani gurem.Mereka tetap sewa tanah tahunan, itu yang menjadikan kita mahal," papar Rusli ketika dihubungi detikFinance.

Kemudian, ia juga menyebutkan soal buruh tani yang bayarannya cukup tinggi. Kurangnya minat generus muda untuk menjadi petani mengharuskan sejumlah pemilik sawah padi untuk membayar buruh.

"Kemudian masalah buruh. Petani kita sudah tua-tua, sehingga buruhnya berkurang, orang yang muda-muda nggak mau jadi petani. Kita supply petaninya berkurang, demandnya untuk tenaga tani tinggi, ini akhirnya harga buruhnya mahal. Sekarang buruh di sawah desa-desa itu bayarannya Rp 50.000-70.000 sehari, kan mahal itu. Jadi untuk masalah ekspor kita susah," lanjut dia.

Terakhir, biaya transportasi atau pengiriman. Sutarto mengatakan, biaya transportasi mahal dan juga adanya gangguan preman yang dapat menyebabkan tingginya biaya produksi, sehingga harga beras RI mahal.

"Biaya transportasi kita mahal, itu yang mestinya harus dilihat. Kadang-kadang kita hanya melihat harga berasnya tapi tidak melihat bagaimana persaingan atau biaya transport di kita ASEAN. Mestinya begitu. Dan juga mesti lihat apakah di sana banyak preman atau tidak," tandas Sutarto.


sumber
 
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengungkapkan upaya ekspor beras terkendala karena harga beras Indonesia lebih mahal dibanding harga beras secara internasional. Selisih harga beras tidak memungkinkan untuk bersaing dengan negara eksportir lainnya.

"Kalau kita lihat rata-rata harga beras di internasional berkisar Rp6.200 per kg. Dengan produksi yang sama, beras kita mencapai Rp8.000 per kg. Selisih Rp1.800 ini jauh. Kita tidak mungkin bersaing karena ekspor memakai harga internasional," kata Budi Waseso.
 
Back
Top