Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta

spirit

Mod
74140983068169893357.large

Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977). (Desmaizal Zainal/Matra).​

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap sejumlah kepala daerah yang menyimpan uang puluhan miliar di kasino luar negeri.

“PPATK menelusuri transaksi keuangan beberapa kepala daerah yang diduga melakukan penempatan dana dalam bentuk valuta asing dengan nominal setara Rp50 miliar ke rekening kasino di luar negeri,” kata Kiagus Ahmad Badaruddin, ketua PPATK, di kantor PPATK, Jumat (13/12/2019), dikutip cnnindonesia.com.

Kepala daerah dan kasino mengingatkan kita pada Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977). Dia mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan melegalkan judi dan memajakinya untuk mendapatkan dana pembangunan.

Di awal menjabat, Ali Sadikin terkejut ketika mengetahui APBD DKI Jakarta hanya Rp66 juta sudah termasuk hasil pungutan pajak daerah dan subsidi dari pemerintah pusat. Dia meminta kepada pejabat senior pemerintah DKI Jakarta mencari jalan untuk menambah anggaran pendapatan.

Wardiman Djojonegoro, kepala Biro II yang membawahi dinas kehumasan dan keprotokolan, membuka-buka beberapa peraturan pemerintah yang kebanyakan masih berbahasa Belanda. Dia kemudian menemui Djoemadjitin, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, dan menunjukkan kepadanya peraturan pemerintah Belanda yang termuat pada Staatsblad (Lembaran Negara).

Peraturan kolonial yang dimaksud adalah Statsblad tahun 1912 No. 230 dan Statsblad tahun 1935 No. 526. Statsblad itu kemudian dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Undang-Undang No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk memungut pajak perjudian.

“Di situ tertulis, pendanaan bisa saja diperoleh dari sumber tidak resmi, tidak dari APBD provinsi. Pak Djoemadjitin mengatakan dulu Volksraad atau Dewan Rakyat menyetujui dana yang diperoleh dari pajak perjudian. Dia lalu melapor ke Ali Sadikin bahwa ada peraturan daerah yang menyatakan bisa memungut pajak dari izin perjudian,” kata Wardiman dalam Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa.

“Apakah masih berlaku dan legal?” tanya Ali Sadikin.

“Masih Pak, legal,” jawab Djoemadjitin.

“Baiklah saya akan menertibkan perjudian, dan dari judi saya akan memungut pajak,” kata Ali Sadikin.

Sayembara Menulis
Keputusan Ali Sadikin menertibkan perjudian dan memungut pajaknya mendapat dukungan dari tulisan pemenang sayembara mengarang yang diselenggarakan pemerintah daerah DKI Jakarta. Lomba mengarang dalam rangka memperingati hari ulang tahun ke-440 tahun DKI Jakarta itu bertema “Mengatasi Problematik Pendidikan SD di Ibu Kota Jakarta” pada 14 Agustus 1967.

Pemenang pertama sayembara itu adalah Christianto Wibisono, wartawan harian KAMI. Dia yang kelak menjadi pengamat ekonomi memenangkan hadiah dua sepeda motor: satu untuk dirinya, satu lagi untuk koran KAMI, tempat karangannya dimuat.

“Saya mengusulkan lokalisasi perjudian sebagai sumber pembiayaan inkonvensional dalam tulisan di harian KAMI. Tulisan itu memenangkan hadiah pertama, dan usul saya dilaksanakan langsung,” kata Christianto dalam tulisannya di buku Empu Ali Sadikin Delapan Puluh Tahun.

Dalam tulisannya, Christianto mengusulkan agar pemerintah DKI Jakarta melegalkan kasino dan memajakinya sebagai sumber dana untuk membangun gedung sekolah dasar bagi 600.000 anak usia sekolah yang terancam tidak bisa sekolah. APBN pemerintah pusat tidak ada karena sekolah dasar memang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, sementara APBD DKI Jakarta defisit.

"Jadi, kalau tidak ada pendapatan dari sumber inkonvensional, ya akan telantarlah 600.000 anak usia SD, tidak bisa bersekolah di ibu kota Republik Indonesia," tulis Christianto.

Pada 26 Juli 1967 Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan yang melarang perjudian gelap di wilayah DKI Jakarta. Dua bulan kemudian, dia meresmikan kasino pertama di Petak Sembilan No. 52 dengan pelaksana Atang Latief dan pemodal Dadi Darma (Yauw Foet Sen), ayah Jan Darmadi.

“Kadang-kadang saya merasa ‘menyesal’, mengapa saya tidak langsung saja minta saham kosong kepada Dadi Darma sebagai imbalan atas ‘jasa’ mengusulkan kasino yang mengorbitkannya jadi konglomerat sejak 1967, sebelum Liem Sioe Liong bergerak mendirikan pabrik tepung terigu Bogasari,” kata Christianto.

Namun, lanjut Christianto, seandainya diberi saham kosong dan menjadi komisaris kasino, barangkali kinerja sebagai jurnalis akan steril dan tidak akan jadi salah satu pendiri majalah Tempo (1971) dan kemudian pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) pada 1980.

Pajak Judi untuk Pembangunan

Kebijakan Ali Sadikin melegalkan judi ditentang banyak orang. Bila ada kesempatan memberikan sambutan, dia menjelaskan bahwa dia sendiri sadar itu tidak benar menurut ajaran agama apa pun, tetapi kenyataannya judi itu ada dan sulit diberantas.

"Saya habis-habisan dicaci maki. Karena itu, saya disebut gubernur judi, gubernur maksiat," kata Ali Sadikin dalam Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab.

Ali Sadikin mengakui sebenarnya benci judi, tetapi waktu itu ada judi liar dan dia butuh uang untuk pembangunan. Saat itu, ada enam tempat judi ilegal yang di belakangnya ada oknum-oknum tentara.

"Saya panggil muspida, saya beritahu, saya perlu uang untuk sekolah, untuk ini, untuk ini, untuk ini. Pinjam dari bank tidak boleh. Dari luar negeri tidak boleh. Ini ada sumber uang, akan saya ambil. Dan ada undang-undang yang membenarkan saya sebagai gubernur memberikan izin judi. Saya ambil pajaknya untuk biaya membangun Jakarta," kata Ali Sadikin.

Dengan melegalkan judi, Ali Sadikin juga dapat mencegah para penjudi pergi ke luar negeri. "Judi ini saya atur hanya untuk kalangan tertentu. Saya pikir, untuk apa mereka menghambur-hamburkan uang di Makau. Lebih baik untuk pembangunan di Jakarta saja," kata Ali Sadikin dalam biografinya, Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H.

Menurut Christianto, dari pajak kasino pemerintah DKI Jakarta memperoleh surplus dana yang berfungsi sebagai dinamo pembangunan untuk pelbagai bidang, bukan hanya untuk gedung-gedung sekolah. "Bidang kesenian memperoleh dana yang cukup besar untuk membangunan fasilitas PKJ (Pusat Kesenian Jakarta) di kompleks bekas kebon binatang Cikini. Fasilitas fisik kesenian di Taman Ismail Marzuki itu sangat megah mengingat kondisi ekonomi makro Indonesia waktu itu (1968)," tulis Christianto.

Ali Sadikin mengklaim telah membangun 2.400 gedung sekolah, lebih dari 1.200 kilometer jalan raya, memperbaiki kampung, membina pusat kesehatan, masjid, dan penghijauan dengan uang sendiri. "Sebagiannya adalah hasil judi," kata Ali Sadikin.

Di awal menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin hanya memiliki APBD sebesar Rp66 juta. Dia berhasil meningkatkannya di antaranya dengan pajak judi. Sebelas tahun kemudian, dia meninggalkan APBD kepada penggantinya, Tjokropranolo, sebesar Rp116 miliar.

"Kerja, kerja, kerja. Cari uang untuk rakyat, termasuk (dari pajak) judi," kata Ali Sadikin.



sumber
 
Di awal menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin hanya memiliki APBD sebesar Rp66 juta. Dia berhasil meningkatkannya di antaranya dengan pajak j#di. Sebelas tahun kemudian, dia meninggalkan APBD kepada penggantinya, Tjokropranolo, sebesar Rp116 miliar.
bisa begitu, hahaha
 
Mengenal Porkas dan SDSB, Undian Lotre Legal Zaman Orde Baru yang Bisa Mengubah Nasib

fi-porkas.jpg


Budaya undian atau lotre memang sengat marak di negara-negara maju. Mulai dari Jepang hingga negeri paman Sam Amerika. Bayangkan saja, mulai dari pertandingan bola hingga e-sport pun ada lotrenya tersendiri. Memang bukan hal aneh sih mengingat kalau di sana lotre menjadi sebuah hiburan, namun tidak di Indonesia karena tidak cocok dengan budaya dan kultur bangsa.

Tetapi siapa yang mengira kalau undian seperti lotre dulu sempat jadi hal yang legal di Indonesia. Bahkan sebagian dana undian diperuntukkan untuk pembangunan. Tentunya semua berdasarkan proses sehingga sistemnya tidak sama dengan perjudian. Lalu bagaiamana cerita lengkapnya? Simak ulasan berikut.

Porkas sebagai salah satu judi besar yang ramai diminati warga Indonesia


Siapa sangka kalau dulu Indonesia juga sempat mengalami masa di mana undian yang cenderung pada judi menjadi hal yang legal. Memang kalau yang seperti ini sejatinya sudah ada sejak zaman penjajahan, namun demikian judi serupa lotre akhirnya dicabut pada masa kepemimpinan Soekarno. Alasannya satu, lantaran dinilai merusak moral dan merugikan masyarakat.

Sejarah-porkas-togel.jpg

Nasional Lotre​

Namun siapa sangka tahun Desember 1985 muncul lagi sebuah undian skala nasional yang menggunakan insting dan keberuntungan untuk memenangkannya. Menurut beberapa kajian, Porkas sendiri dinilai bukan sebuah judi melainkan murni undian kalau dilihat dari sistemnya. Meskipun banyak yang sejatinya tidak sependapat dengan hal itu, tentu semua tergantung pada pendapat masing-masing.

Inti dari Porkas adalah menentukan hasil akhir pertandingan

Menjamurnya Porkas waktu itu bahkan lahir dari undang-undang resmi No 22 Tahun 1954 mengenai undian. Begitu pun aturan yang mengikatnya, pasalnya tidak seperti lotre yang bisa dibeli siapa saja dan dari kalangan mana saja, namun harus melewati syarat khusus. Salah satunya, Porkas tidak dijual di areal pedesaan dan daerah-daerah miskin, melainkan hanya tingkat kabupaten.

Pun demikian mereka yang membelinya, hanya boleh dari kalangan 17 tahun ke atas. Bedanya Porkas ini dari lotre biasa adalah hanya menebak M-S-K ( Menang-Seri-Kalah), jadi kita dituntut untuk “meramal” hasil dari 14 tim yang waktu itu berlaga. Hasil yang dikumpulkan pun tidak main-main, sampai Rp 11 Miliar yang nantinya uang tersebut dibagi ke KONI, PSSI dan lembaga yang terlibat lainnya.

Porkas telah punah, maka terbitlah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah

Lantaran beberapa alasan, Porkas akhirnya berganti nama beberapa kali. Mulai dari SOB (Sumbangan Olahraga Berhadiah) dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah), kemudian diganti menjadi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah). Namun demikian intinya tetap sama, untuk menentukan hasil akhir dari pertandingan atau liga bola.

porkas-1.jpg

SDSB​

Kupon dari undian baru yang satu ini pun dibagi menjadi dua, seharga Rp 5000 dan Rp 1000 tentu dengan nominal hadiah yang berbanding luar biasa pula. Untuk yang kupon A atau 5000 rupiah bisa dapat hadiah sampai 1 Miliar, sedangkan kupon B hanya Rp 3,6 juta. Namun demikian, pada waktu itu tentu jumlah tersebut sangat luar biasa.

Akhir masa kejayaan undian bola yang ada di Indonesia

Meskipun masuk dalam kategori legal waktu itu, namun akhirnya SDSB mengalami masa terpuruknya juga. Ya, hal itu lantaran adanya beberapa alasan yang membuktikan kalau undian ini sudah tidak murni seperti dulu. Misalnya saja, banyak oknum yang bermain curang dengan tidak menyetorkan hasil ke pihak berwajib hingga tindak kriminal akibat SDSB ini.

1754941_a2b0c0b4-4e0c-4bd1-a02a-65b36679b895.jpg

Tanggalan Porkas​

Belum lagi maraknya kasus lain semisal hutang menumpuk hingga kemiskinan yang meraja rela. Alhasil mahasiswa pun tergerak dengan melakukan demo besar bertajuk anti SDSB. Hingga akhirnya tahun 1993 undian ini resmi dihapuskan dari Indonesia.
Terlepas dari benar salah atau halal haram dari undian ini, sejatinya memang benar jadi salah satu sejarah undian di Indonesia. Namun lantaran melihat nasib masyarakat yang malah memburuk, alhasil ketetapannya pun dihapuskan. Dari sini kita bisa tahu usaha pemerintah yang sejatinya mau belajar untuk lebih hati-hati dalam membuat keputusan.



 
Back
Top