Undand-undang Cipta Kerja disahkan Presiden

spirit

Mod
w1200

Massa dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja di jalan Medan Merdeka Barat tepatnya depan Gedung Sapta Pesona mengarah ke Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (12/10/2020). Mereka menuntut pengesahan UU Cipta Kerja itu yang tidak mengakomodir usulan dari mitra perusahaan, Undang-undang Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan sangat mendegradasi hak-hak dasar buruh serta mendesak soal kontrak kerja tanpa batas, outsourcing diperluas tanpa batas jenis usaha, upah dan pengupahan diturunkan dan besaran pesangon diturunkan.​

8 Poin UU Cipta Kerja yang Disorot Buruh, dari Sistem Kerja Kontrak hingga Alasan PHK

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah menandatangani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terdiri atas 1.187 halaman.

Sejak disetujui oleh DPR dan pemerintah menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Senin (5/10/2020), aturan sapu jagat ini mendapat kritik dari kelompok pekerja atau buruh dan akademisi.

Sebab, sejumlah ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan dinilai akan memangkas dan menghilangkan hak buruh.

Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mencatat delapan poin yang menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja tidak berpihak pada kelompok pekerja.

"Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).

Delapan poin itu tak mengalami perubahan sejak draf UU Cipta Kerja disetujui dalam Rapat Paripurna hingga diteken oleh Presiden Jokowi.

1. Masifnya sistem kerja kontrak

Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh.

Demikian juga perpanjangan PKWT yang selanjutnya akan diatur Peraturan Pemerintah (PP).

Dengan skema perpanjangan melalui PP, maka aturan yang akan dibentuk berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Praktik outsourcing kian meluas

UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.

Sedangkan, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas.

Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain. Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011.

Sementara, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja.

Alhasil, peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.

3. Jam lembur semakin eksploitatif

Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding.

Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Berkurangnya hak istirahat dan cuti

Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan.

Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.

Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.

5. Terkikisnya peran gubernur

Pasal 88C UU Cipta Kerja mengatur bahwa gubernur "dapat" menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK.

Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai "jaring pengaman sosial" terancam.

Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan makin kokohnya cengkeraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.

6. Hilangnya peran negara

Dalam UU Ketenagakerjaan terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan peran negara melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.

Hal ini, kendati sering dilanggar, penting untuk memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK. Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan tersebut.

7. Berkurangnya nilai pesangon

UU Cipta Kerja mengurangi skema pembayaran pesangon bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) maksimal 32 kali gaji.

Berdasarkan aturan tersebut, pekerja yang terkena PHK kini hanya mendapat 25 kali upah dengan rincian 19 kali dibayar pengusaha dan 6 kali dibayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan.

8. Alasan PHK

Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja.

Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

Sementara, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.


Penulis: Achmad Nasrudin YahyaEditor: Kristian Erdianto

.
 
495247487.jpg

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (8/7/2019).(KOMPAS.com/Devina Halim)​

Kajian Amnesty Terkait RUU Cipta Kerja: Hilangnya Hak Cuti Berbayar hingga Turunnya Upah

JAKARTA, KOMPAS.com - Amnesty Internasional Indonesia telah mengantongi hasil kajian terkait omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Kajian tersebut dilakukan sejakt Maret 2020. Hasilnya, terdapat tujuh pasal yang dianggap bermasalah dan rawan bagi eksistensi pekerja. Tujuh pasal tersebut berkaitan dengan klaster ketenagakerjaan yang termaktub dalam BAB IV draf RUU Cipta Kerja.

"Pertama, RUU Cipta Kerja mencabut Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Pencabutan ini menghilangkan jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara, jangka waktu perpanjangan maksimum, dan kondisi lain," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam konferensi pers virtual, Rabu (19/8/2020).

Kedua, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 77A, yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur atau overtime untuk sektor tertentu. Jumlah kompensasi untuk jam kerja ekstra tersebut ditentukan pemberi kerja melalui skema masa kerja dan bukan tatif yang ditetapkan pemerintah.

Ketiga, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 88C, yang menghapuskan upah minimum kota/kabupaten (UMK), sebagai salah satu dasar upah minimum bagi pekerja. Menurut Usman, ketentuan ini akan memukul rata standar upah minimum di semua kota dalam satu provinsi. Dengan skema itu, maka aturan tersebut berisiko menurunkan upah pekerja.

Keempat, RUU Cipta Kerja mengubah rumus penghitungan upah minimum dalam Pasal 88D dengan menghilangkan tingkat inflasi yang sebelumnya diperhitungkan dalam perhitungan upah minimum. Sedangkan, tingkat inflasi secara langsung mempengaruhi biaya hidup dan daya beli pekerja. "Sehingga menentukan apakah tingkat upah minimum akan cukup untuk mendukung standar hidup layak bagi pekerja," kata Usman.

Kelima, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 88B, yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar perhitungan upah melalui sistem upah per satuan.

Keenam, RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti berbayar yang tertuang dalam Pasal 93 (2) UU Ketenagakerjaan. Amendemen ini meniadakan beberapa bentuk cuti berbayar. Misalnya, cuti haid, cuti orang tua, dan hari raya keagamaan. Termasuk cuti untuk acara keluarga yang meliputi pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga.

Ketujuh, RUU Cipta kerja menghapus Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan. Perubahan tersebut meniadakan kewajiban bagi pengusaha untuk membayar pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. "Itu apabila perjanjian terkait upah antara pengusaha dan pekerja lebih rendah dari standar upah minimum," terang Usman.

Dengan adanya setumpul pasal bermasalah tersebut, pihaknya pun mendesak Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR agar memastikan peraturan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. "Presiden dan DPR harus memastikan, bahwa peraturan pemerintah yang mengatur tentang hal-hal teknis yang berkaitan dengan hak-hak pekerja sesuai dengan standar HAM internasional," tegas dia. Adapun hak-hak pekerja tersebut meliputi hak upah minimum, jam kerja, hingga hari istirahat.



.
 
Back
Top